Top Banner
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO F BLOK 19 Kelompok 7 Tutor : dr. Rusmiati, SpPK Hustinoprianrest 54081001009 Imam Arief Winarta 04111401018 Shelvia Chalista 04111401024 Ali Zainal Abidin 04111401026 Eliya 04111401031 Muharam Yoga Kharisma 04111401043 Intan Permatasari 04111401048 A Rifky Rizaldi 04111401067 Muhammad Reyhan 04111401068
52

Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Jan 20, 2016

Download

Documents

icamelisa

blok kulit fk unsri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO F BLOK 19

Kelompok 7Tutor : dr. Rusmiati, SpPK

Hustinoprianrest 54081001009

Imam Arief Winarta 04111401018

Shelvia Chalista 04111401024

Ali Zainal Abidin 04111401026

Eliya 04111401031

Muharam Yoga Kharisma 04111401043

Intan Permatasari 04111401048

A Rifky Rizaldi 04111401067

Muhammad Reyhan 04111401068

Ririn Tri Sabrina 04111401076

M. Aulia M.O.PC 04111401079

Mohd. Quarratul Aiman 04111401089

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013

Page 2: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

KATA PENGANTAR

Penulis sangat berterima kasih kepada Dosen pembimbing atas bimbingan

beliau selama proses tutorial skenario F di Blok 19 ini berlangsung.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada

kedua orang tua, yang telah bekarja keras selama ini untuk memenuhi kebutuhan

moril maupun materil penulis dalam menjalani pendidikan.

Terima kasih juga kepada para teman-teman sejawat dan seperjuagan di

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya atas semua dorongan dan semangatnya

sehingga segala yang berat terasa begitu ringan dan yang sulit menjadi mudah.

Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna

perbaikan di masa mendatang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberikan

sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi kita semua.

Palembang, Oktober 2013

Penulis

2

Page 3: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

DAFTAR ISI

1. Kata Pengantar ........................................................................................ ...2

2. Daftar Isi ..................................................................................................... 3

3. BAB I : Pendahuluan .................................................................................. 4

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 4

1.2 Maksud dan Tujuan .............................................................................. 5

4. BAB II : Pembahasan ................................................................................. 5

2.1 Data Tutorial ........................................................................................ 5

2.2 Skenario Kasus ..................................................................................... 6

2.3 Paparan ................................................................................................. 7

2.3.1 Klarifikasi Istilah ......................................................................... 7

2.3.2 Identifikasi Masalah .................................................................... 8

2.3.3 Analisis Masalah .......................................................................... 9

2.3.4 Kerangka Konsep ...................................................................... 28

5. BAB III : Sintesis ...................................................................................... 29

3.1 Otot Ekstraokular dan Inervasinya ................................................ 29.

3.2 Strabismus ...................................................................................... 31

6. BAB IV : Penutup ...................................................................................... 33

4.1 Kesimpulan .................................................................................... 33

7. Daftar Pustaka ............................................................................................ 34

3

Page 4: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Blok Neurosensory merupakan blok 19 pada semester 5 dari Kurikulum Berbasis

Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran

untuk menghadapi kasus yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis

memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang laki laki berumur 22 tahun

yang datang dengan keluhan mata kanannya juling ke dalam setelah mengalami

kecelakaan lalu lintas 6 bulan yang lalu. Ia juga mengeluh mata kanan sulit

digerakkan kearah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila

melihat kearah ke temporal kanan. Kemudian didapatkan berbagai informasi dari

hasil pemeriksaan oftalmologi yang dilakukan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :

1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem

pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode

analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep

dari skenario ini.

4

Page 5: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Data Tutorial

Tutorial Skenario A

Tutor : dr. Rusmiati, SpPK

Moderator : Muhammad Reyhan

Sekretaris papan : Mohd. Quarratul Aiman

Sekretaris meja : M. Aulia M.O.PC

Waktu : Senin, 30 September 2013

Rabu, 2 Oktober 2013

Peraturan tutorial : 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.

2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan

pendapat dengan cara mengacungkan tangan

terlebih dahulu dan apabila telah dipersilahkan

oleh moderator.

3. Tidak diperkenankan meninggalkan ruangan

selama proses tutorial berlangsung.

4. Tidak diperbolehkan makan dan minum.

5

Page 6: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

2.2. Skenario F Blok 19 Tahun 2013

Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata

kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu

lintas 6 bulan yang lalu. Pada kecelakaan tersebut kepalanya terbentur dan penderita

sempat kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 menit.

Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke

arah temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke

temporal kanan.

Pemeriksaan Oftalmologi :

AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6Hischberg : ET 15°ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominanDuction & Version :

OD OS

Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kananWFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila melihat ke sisi mata non dominan.FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan bantuan pinset.

6

Page 7: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

2.3 Paparan

2.3.1 KLARIFIKASI ISTILAH

1. Mata juling ke dalam : Esotropia dextra, deviasi sumbu penglihatan kea rah mata

yang lain (konvergen strabismus).

2. Temporal kanan : Daerah temporal kanan.

3. Penglihatan ganda : Persepsi adanya dua bayangan dari satu objek.

4. AVOD : Aciesvisus oculus dextra; pemeriksaan untuk mengetahui

ketajaman penglihatan mata kanan.

5. AVOS : Aciesvisus oculus sinistra; pemeriksaan untuk mengetahui

ketajaman penglihatan mata kiri.

6. Hischberg test : Suatu pemeriksaan untuk menilai sudut deviasi mata dengan

melokalisir refleks cahaya pada permukaan kornea.

7. ACT : Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah

terjadi deviasi pada mata.

8. Shifting : Perubahan atau penyimpangan yang ditemukan pada OS

mata dominan.

9. WFDT : Pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui

binokularitas mata yang dominan, mata yang supresi, atau

mata yang diplopia.

10. FDT : Pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan ada atu

tidaknya pergerakkan mata karena kelainan neurologis atau

restriksi mekanis.

11. Uncrossed diplopia : Diplopia dimana bayangan pada mata kanan tidak pindah ke

kiri yang merupakan bayangan mata kiri.

12. Uji Duksi : Pemeriksaan yang digunakan untuk melihat perlambatan

atau percepatan dari gerakan otot mata.

2.3.2 IDENTIFIKASI MASALAH

7

Page 8: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

1. Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata

kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu

lintas 6 bulan yang lalu.

2. Pada kecelakaan tersebut, kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan

kesadaran selama lebih dari 30 menit.

3. Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke arah

temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke

temporal kanan.

4. Pemeriksaan oftalmologi:

AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6

AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6

Hischberg : ET 15°

ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominan

Duction & Version :

OD OS

Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kanan

WFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila

melihat ke sisi mata non dominan.

FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan

bantuan pinset.

2.3.3 ANALISIS MASALAH

8

Page 9: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

1. Seorang laki-laki berumur 22 tahun datang ke klinik dengan keluhan mata

kanannya juling ke dalam. Keluhan ini muncul sejak mengalami kecelakaan lalu

lintas 6 bulan yang lalu.

A. Bagaimana etiologi dan mekanisme mata juling ke dalam?

Etiologi

- Kelumpuhan salah satu atau kedua otot rektus lateralis sebagai akibat

kelumpuhan n. abducens,

- Fraktur dinding medial orbita dengan penjepitan otot rektus medialis,

- Penyakit mata tiroid dengan kontraktur otot rektus medialis,

- Sindrom retraksi duane

Pada kasus ini, etiologi mata juling ke dalam adalah trauma kepala yang

menyebabkan kelumpuhan salah satu atau kedua otot rektus lateralis sebagai

akibat kelumpuhan n. abducens.

Mekanisme

Trauma kepala kelumpuhan n. abducens paresis otot rektus lateralis

mata kanan ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular posisi bola

mata terganggu mata kanan juling ke dalam (esotropia dekstra).

B. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan utama?

Strabismus bisa terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Prevalensi

sekitar 2% anak- anak usia di bawah 3 tahun dan sekitar 3% remaja dan

dewasa muda. Tidak terdapat perbedaan antara jumlah wanita dan pria.

Angka kejadian tertinggi ada pada jenis esotropia strabismus. Strabismus

mempunyai pola dalan keturunan (autosoamal dominan). Misalnya, jika

salah satu atau kedua orangtua stabismus, sangat memungkinkan anaknya

terkena strabismus juga. Namun beberapa kasus bisa terjadi strabismus tanpa

adanya riwayat dalam keluarga.

C. Apa saja klasifikasi mata juling?

9

Page 10: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Klasifikasi mata juling terbagi atas :

1. Menurut manifestasinya

a. Heterotropia : strabismus manifes (sudah terlihat)

Suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua

penglihatan tidak berpotongan pada titik fikasasi.

Contoh: esotropia, eksotropia, hipertropia, hipotropia

Gambar 3. Jenis-Jenis Heterotropia

b. Heteroforia : strabismus laten (belum terlihat jelas)

Penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi

dengan reflek fusi.

Contoh: esoforia, eksoforia

2. Menurut jenis deviasi

a. Horizontal : esodeviasi atau eksodeviasi

b. Vertikal : hiperdeviasi atau hipodeviasi

c. Torsional : insiklodeviasi atau eksiklodeviasi

d. Kombinasi: horizontal, vertikal dan atau torsional

10

Page 11: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

3. Menurut kemampuan fiksasi mata

a. Monokular : bila suatu mata yang berdeviasi secara konstan

b. Alternan : bila kedua mata berdeviasi secara bergantian

4. Menurut usia terjadinya :

a. kongenital : usia kurang dari 6 bulan.

b. didapat : usia lebih dari 6 bulan.

5. Menurut sudut deviasi

a. Inkomitan (paralitik)

Sudut deviasi tidak sama, pada kebanyakan kasus disebabkan kelumpuhan otot penggerak bola mata.

b. Komitan (nonparalitik)

Sudut deviasi tetap konstan pada berbagai posisi, mengikuti gerak mata yang sebelahnya pada semua arah dan selalu berdeviasi dengan kekuatan yang sama. Deviasi primer (deviasi pada mata yang sakit) sama dengan deviasi sekunder (deviasi pada mata yang sehat).

6. Psedostrabismus Psedotrabismus adalah juling palsu dengan penglihatan yang masih normal .

Psedostrabismus esotropia dapat terlihat pada anak dengan lipatan yang

berat pada kulit kelopak sebelah hidung/epikantus, sehingga terlihat

juling kedalam.

Psedostrabismus eksotropia dapat dilihat kadang-kadang pada anak

dengan jarak bola mata jauh (hipertelorisme) memberi kesan juling

keluar. (Sidarta Ilyas, 2004)

D. Otot apa saja yang bermasalah pada kasus ini?

M. rektus lateralis

Origo : Annulus tendineus communis pada dinding posterior orbita.

11

Page 12: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Insersio : Permukaan lateral bola mata tepat posterior terhadap taut

corneo-scleral.

Persarafan : N. abducens (N.VI), extraocculer tidak ada selaput

pelindung.

Fungsi : Memutar bola mata sehingga kornea menghadap ke lateral.

E. Nervus apa saja yang bermasalah pada kasus ini?

Nervus Abducens

Saraf ini muncul dari permukaan anterior rhombencephalon di antara

pons dan medulla oblongata, dan berjalan ke depan bersama a. carotis

interna melalui sinus cavernosus di dalam fossa crania media dan masuk

orbita melalui fissure orbitalis superior. N. abducens mempersarafi m. rectus

lateralis.

Pada trauma kepala, nervus abducens lebih cenderung mengalami

kerusakan, hal ini disebabkan karena lokasinya yang paling lateral dan tidak

memiliki pelindung. Nervus abducens merupakan saraf yang menginervasi

kerja m. rektus lateralis, sehingga terjadinya gangguan pada nervus

abducens dapat menyebabkan paresis muskulus rektus lateralis

Kerusakan pada nervus adbucens , esotropia nya secara khas lebih

berat pada jarak jauh di bandingkan jarak dekat, lebih berat pada saat

memandang kesisi yang terkena, dan paresis otot rektus lateralis kanan

menyebabkan esotropia yang lebih berat sewaktu memandang ke kanan dan

kerusakan nervus abducens bilateral akan menyebabkan esotropia yang lebih

berat pada pandang ke samping di bandingkan posisi primer.

2. Pada kecelakaan tersebut, kepalanya terbentur dan penderita sempat kehilangan

kesadaran selama lebih dari 30 menit.

A. Jelaskan hubungan keluhan utama dengan riwayat kecelakaan 6 bulan yang

lalu?

12

Page 13: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Kecelakaan yang berupa benturan di kepala menyebabkan terjepitnya

nervus abducens. Pada trauma kepala, nervus abducens lebih cenderung

mengalami kerusakan, hal ini disebabkan karena lokasinya yang paling

lateral dan tidak memiliki pelindung. Nervus abducens merupakan saraf

yang menginervasi kerja otot ekstraokuler (muskulus rektus lateralis),

sehingga terjadinya gangguan pada nervus abducens dapat menyebabkan

paresis muskulus rektus lateralis. Paresis pada otot ini mengakibatkan

ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular dalam mempertahankan posisi

bola mata, sehingga mata terlihat juling ke dalam.

3. Bersamaan dengan itu penderita mengeluh mata kanan sulit digerakkan ke arah

temporal kanan dan penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke

temporal kanan.

A. Mengapa mata kanan sulit digerakan ke arah temporal kanan?

Karena adanya trauma di kepala menyebabkan kelumpuhan nervus abducens secara bilateral dan mempengaruhi otot rektus lateralis kanan yang memiliki fungsi memutar bola mata sehingga terjadi kesulitan ketika menggerak kan bola mata sebelah kanan ke arah temporal

B. Bagaimana mekanisme terjadinya diplopia?

Pada mata normal bila melihat sebuah benda maka titik silang

penglihatan berada pada benda yang dilihat. Bayangan yang dilihat pada

mata difokuskan pada macula lutea kedua mata.

Pada kasus ini :

Trauma kepala kelumpuhan n. abducens paresis otot rektus lateralis

mata kanan ↓ fungsi kerja primer otot rektus lateralis mata kanan

(abduksi) ketidakseimbangan tarikan otot ekstraokular posisi bola

mata terganggu mata kanan juling ke dalam (esotropia dekstra) (pada

saat melihat benda) kedua fovea menerima bayangan yang berbeda

diplopia.

13

Page 14: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

C. Apa makna klinis penglihatan ganda semakin bertambah bila melihat ke

temporal kanan?

Benda yang tercitra di kedua fovea tampak dalam arah ruang yang

sama. Proses lokalisasi benda yang secara spatial terpisah ini ke lokasi yang

sama disebut kebingungan penglihatan (visual confusion). Benda yang

terlihat oleh salah satu fovea dicitrakan di daerah retina perifer di mata yang

lain. Bayangan fovea terlokalisasi tepat di depan, sedangkan bayangan retina

dari benda yang sama di mata yang lain dilokalisasi di arah yang lain.

Dengan demikian, benda yang sama terlihat di dua tempat.

Pada kasus ini karena telah terjadi diplopia maka saat mata digerakan

ke temporal kanan (ke arah otot yg mengalami kelemahan) bayangan mata

jatuh semakin menjauhi fovea dan jatuh di retina perifer sehingga

penglihatan ganda semakin bertambah.

D. Bagaimana keterkaitan diplopia dengan strabismus?

Pada keadaan mata yg strabismus terjadi ketidakseimbangan antara

otot-otot ekstraokular sehingga gerakan pada bola mata menjadi terganggu,

dan pada saat melihat benda kedua fovea akan menerima bayangan cahaya

yg berbeda, maka terjadilah diplopia.

4. Pemeriksaan oftalmologi:

AVOD : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6

AVOS : 6/12 dengan koreksi lensa S-0,75 6/6

Hischberg : ET 15°

ACT (Alternating Cover Test) : Shifting (+) OS mata dominan

Duction & Version :

OD OS

14

Page 15: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Terdapat hambatan gerakan abduksi ke temporal pada mata kanan

WFDT (Worth Four Dot Test) : Uncrossed Diplopia semakin bertambah bila

melihat ke sisi mata non dominan.

FDT (Forced Duction Test) : Tidak terdapat tahanan pada gerakan dengan

bantuan pinset.

A. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan oftalmologi?

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi

AVOD 6/12 dengan koreksi lensa S-

0,75 -> 6/6

6/6 Terjadi

penurunan

ketajaman

penglihatan

AVOS 6/12 dengan koreksi lensa S-

0,75 -> 6/6

6/6 Terjadi

penurunan

ketajaman

penglihatan

Hischberg ET 15° - Esotropia,

dengan

deviasi 2 mm

ACT

(Alternating

Cover Test)

Shifting (+) mata dominan (-)

Esotropia

Duction &

Version

OD

OS

OD

OS

Kelemahan

pada kerja

otot rektus

lateralis mata

kanan.

15

Page 16: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

WFDT

(worth four

dot test)

Uncrossed diplopia semakin

bertambah bila melihat ke sisi

mata non dominan

(-) Diplopia

FDT (forced

duction test)

Tidak terdapat tahanan pada

gerakan dengan bantuan

pinset

(-) Normal

B. Bagaimana cara pemerikaan AVOD dan AVOS?

Mata diperiksa satu persatu dengan menutup mata yang tidak diperiksa. Pertama kali diperiksa adalah mata kanan dengan melihat huruf, angka, atau gambar pada kartu Snellen jarak 6 meter atau 20 feet dari pasien. Baris huruf terkecil yang dapat dibaca lebih dari separuhnya adalah tajam penglihatan tanpa koreksi.

Bila huruf yang terbaca tersebut :Terdapat pada baris dengan tanda 30, dikatakan tajam penglihatan mata kanan (acies visus oculus dextra/AVOD) adalah 6/30 atau 20/100 atau 0.2Tajam penglihatan dikatakan normal bila 6/6 atau 20/20 atau 1.0

Apabila tidak dapat melihat huruf terbesar yang ada di kartu Snellen maka dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :Pasien diminta menghitung jari pemeriksa mulai dari jarak 1 meter, 2 m, 3 m, sampai maksimal 6 m. Pemeriksaan dilakukan sampai jarak terjauh pasien dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar. Jika pasien dapat menyebutkan jumlah jari pemeriksa dengan benar sampai jarak 1 m, maka tajam penglihatan dinyatakan 1/60

Apabila pasien tidak dapat melihat jari pemeriksa dari jarak 1 m, dilakukan gerakan lambaian tangan pada jarak 1 m dari siswa. Jika dapat melihat lambaian tangan maka tajam penglihatan dinyatakan 1/300

Apabila pasien tidak dapat melihat lambaian tangan, mata pasien disinari senter dari sisi atas, bawah, kiri, dan kanan di tempat yang gelap. Jika dapat menentukan arah sinar dengan benar maka dinyatakan 1/ ~ atau light projection/LP proyeksi baik, jika dapat melihat tetapi tidak dapat menentukan arah sinar dengan benar dinyatakan 1/ ~ proyeksi salah.

16

Page 17: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Jika tidak dapat melihat sinar, maka dinyatakan nol atau no light perception (NLP). 

C. Bagaimana cara pemerikaan Hischberg?

Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian

lihat pantulan cahaya pada kedua kornea mata.

1)   Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi2)      Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 º3)   Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 º4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45 º

D. Bagaimana cara pemerikaan ACT (Alternating Cover Test)?

Alternating cover test bertujuan untuk melihat apakah mata melihat

dengan binokuler. Dasar dari pemeriksaan ini adalah tutup mata bergantian

tidak dimungkinkan kedua mata melihat bersama-sama. Dengan menutup

satu mata kan terjadi disosiasi.

Adapun teknik dari pemeriksaan alternating cover test:

Pasien melihat jauh 6 meter/dekat 30 cm

Okuler dipindah dari satu mata ke mata lain bergantian

Pada tiap penutupan mata diberikan waktu cukup untuk mata lain berfiksasi

Selanjutnya pemeriksaan tersebut dinilai:

Bila tidak terdapat pergerakan mata berarti mata ortoforia atau ortotropia yakni

normal

Pemeriksaan ini membantu cover dan uncover

Bila terjadi pergerakan berarti ada tropi atau foria dengan mata tampak juling

atau juling laten

17

Page 18: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

E. Bagaimana cara pemerikaan Duction & Version?

Duksi (rotasi monokular)Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang

digerakkan kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik.

Versi (gerakan Konjugasi Okular)Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya

pada jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer – lurus kedepan; sekunder – kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier – keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja –kurang (underreaction). Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi. Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik.

F. Bagaimana cara pemerikaan WFDT (Worth Four Dot Test)?

Tujuan test ini adalah untuk melihat adanya supresi, deviasi, ambliopia,

dan fusi. Cara melakukan pemeriksaan ini :

1. Pasien memakai kaca mata, koreksi diberikan sesuai kaca mata. Kaca

filter merah pada mata kanan dan kaca filter hijau pada mata kiri.

2. Pasien diperiksa pada jarak 6 meter atau 30cm.

3. Pasien diminta menerangkan apa yang dilihat dengan kedua mata,

sewaktu melihat Worth four dots ( kotak hitam dengan 4 lobang,

lebar 2-3 cm, susunan ketupat. 2 lobang lateral berwarna hijau. 1

diatas warna merah. 1 dibawah warna putih ).

Nilai :

- Bila 2 titik merah saja yang terlihat berarti ada supresi mata kiri

18

Page 19: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

- Bila 3 titik hijau saja yang terlihat berarti ada supresi mata kanan

- Bila tampak sumber cahaya putih kadang – kadang berwarna hijau kadang –

kadang berwarna merah berarti adanya supresi berganti.

- Bila tampak 5 sinar berarti diplopia yang dapat bersilang.

G. Bagaimana cara pemerikaan FDT (Forced Duction Test)?

FDT menjadi pilihan yang populer sebagai metode yang simpel dan

sangat berguna untuk mendiagnosis adanya gangguan mekanik dari motilitas

okular.

Cara pemeriksaan :

1. Kita beri Anastesi pada konjungtiva dengan beberapa tetes lidocaine

hydriochloride 4% (Xylocaine). Xylocaine tidak seperti anastesi lokal lain

yang mempunya efek epitelium kornea.

2. Kemudian gerakkan bola mata dengan two-toothed forceps pada

konjungtiva di sekitar limbus. Lakukan Gerakan yang berlawanan dengan

bagian yang dicurigai mengalami gangguan atau keterbatasan

3. Two-toothed forceps dapat diletakkan pada posisi jam 12 dan jam 6,

gerakkan secara pasif dengan forceps tadi ke arah kanan kiri

Hasil :

Jika tidak terjadi tahanan, defek motilitas jelas disebabkan oleh paralisis dari

otot rectus lateralis. Apabila terjadi tahanan, defek motilitas jelas disebabkan

oleh kontraktur dari otot rectus medialis, konjungtiva, atau kapsul tenon,

atau myositis pada otot rectus medialis

19

Page 20: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

H. Apa saja klasifikasi dari diplopia?

Monocular

Penglihatan ganda yang timbul pada mata yang sakit saat mata yang lain

ditutup. Merupakan keluhan yang dapat diberikan oleh penderita dan sebaiknya

diperhatikan adalah adanya kelainan refraksi. disebabkan oleh katarak dini,

parut bedah, iridodialis, subluksasi lensa, kelainan refraksi astigmat yang tidak

dikoreksi, hysteria dan malingering

Binocular

Penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan kedua mata dan menghilang

bilang salah satu mata ditutup. disebabkan perubahan kedudukan bola mata,

palsi otot penggerak mata, setelah bedah retina. Pada esotropia atau satu mata

bergulir ke dalam maka bayangan di retina terletak sebelah nasal macula dan

benda seakan terletak sebelah laterak mata tersebut sehingga pada esotropia

didapatkan diplopia tidak bersilang (uncrossed) / homonimus. Sedang pada

eksotropia didapatkan diplopia crossed/ heteronimus

5. Apa diagnosis banding untuk kasus ini?

esotropia et causa parese saraf abdusen

pseudoesotropia et causa wide epicanthus

esotropia et causa cedera otot

esotropia laten

6. Bagaimana cara menegakan diagnosis pada kasus ini?

Cara penegakkan diagnosis pada strabismus, yaitu :

2.4 Riwayat

Dalam mendiagnosis strabismus, diperlukan anamnesis yang cermat :

Riwayat keluarga

20

Page 21: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Usia onset

Jenis onset

Jenis deviasi

Fiksasi

2.5 Ketajaman penglihatan

2.6 Penentuan sudut strabismus

Metode Hirschberg

Metode refleks prisma (uji krimsky)

2.7 Duksi (rotasi monocular)

2.8 Versi (gerakan mata konjugat)

2.9 Pemeriksaan sensorik

Uji stereopsis

Uji supresi

Uji kelainan korespondensi retina

Uji kaca beralur Bagolini

7. Apa diagnosis kerja pada kasus ini?

esotropia et causa paresis nervus abducens dextra, myopia simpleks oculi

dextra et sinistra.

8. Apa saja pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan pada kasus ini?

o Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky)

o Pemeriksaan Sensorik :

- Uji stereopsis

- Uji supresi

- Uji kelainan korespondensi retina

21

Page 22: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

9. Bagaimana patogenesis kasus ini?

Trauma yang dialami laki-laki tersebut menyebabkan cedera pada nervus

abducens yang mengakibatkan melemahnya otot ekstraokuler m.rektus lateralis,

melemahnya gerakan otot tersebut mengakibatkan gerakan bola mata tidak

seimbang sehingga terjadilah juling (stabismus). Strabismus inilah yg

menyebabkan bayangan benda (pada mata) yang jatuh di fovea terganggu

sehingga penglihatan laki-laki tersebut menjadi ganda (diplopia) dan apabila

melakukan gerakan mata ke arah otot yg mengalami kelemahan maka

penglihatan semakin ganda akibat bayangan benda yang semakin menjauhi

fovea.

10. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini?

Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang

hilang karena strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan

mempertahankan mata yang telah membaik dan telah diluruskan baik secara

bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa dengan strabismus akuisita,

tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan binokular

tunggal.

Pengobatan non-bedaha.       Terapi oklusi : mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan   mata    yang ambliop

b.      Kacamata : perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang tepat. Bayangan yang jelas di retina karena pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme fusi bekerja sampai maksimal. Jika ada hipermetropia tinggi dan esotropia, maka esotropianya mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia akomodatif refraktif).

22

Page 23: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Obat farmakologik

SikloplegikSikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara menghalangi kerja

asetilkolin ditempat hubungan neuromuskular dan dengan demikian mencegah akomodasi. Sikloplegik yang digunakan adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan konsentrasi 0,5% (anak) dan 1% (dewasa).

MiotikMiotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang berlebihan pada

esotropia dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi. Obat yang biasa digunakan adalah ekotiofat iodine(Phospholine iodide) atau isoflurat (Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan neuromuskular menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek impuls saraf.

Toksin Botulinum Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot ekstraokular menyebabkan

paralisis otot tersebut yang kedalaman dan lamanya tergantung dosisnya.               

Pengobatan BedahMemilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada

berbagai arah pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat pada posisi primer, arah pandangan sekunder untuk jauh, dan arah pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua sisi untuk dekat.

Reseksi dan resesi

Cara yang paling sederhana adalah  memperkuat dan memperlemah.

Memperkuat otot dilakukan dengan cara yang disebut reseksi. Otot dilepaskan

dari mata, ditarik sepanjang ukuran tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong

dan ujungnya dijahit kembali pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi

adalah cara melemahkan otot yang baku. Otot dilepaskan dari bola mata,

dibebaskan dari perlekatan-perlekatan fasial, dan dibiarkan menjadi retraksi.

Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal pada jarak

yang telah ditentukan.

23

Page 24: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

11. Apa saja faktor resiko untuk kasus ini?

- Terdapat gangguan pada salah satu otot penggerak bola mata, yang dapat

mengganggu keseimbangan posisi bola mata.

- Hipertensi sistemik atau diabetes.

- Tumor atau peradangan pada susunan saraf pusat.

- Trauma kepala

- Katarak dan kasus yang menyebabkan penurunan visus lainnya juga dapat

menyebabkan strabismus.

12. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini? (Imam)

Pada kasus strabismus, pasien dapat mengalami komplikasi berupa kelainan

sensorik. Komplikasi tersebut yaitu :

Diplopia

Apabila terdapat strabismus, kedua fovea menerima bayangan yang

berbeda. Benda yang tercitra di kedua fovea tampak dalam arah ruang yang

sama. Proses lokalisasi benda yang secara spatial terpisah ini ke lokasi yang

sama disebut kebingungan penglihatan (visual confusion). Benda yang

terlihat oleh salah satu fovea dicitrakan di daerah retina perifer di mata yang

lain. Bayangan foveal terlokalisasi tepat di depan, sedangkan bayangan

retina dari benda yang sama di mata yang lain dilokalisasi di arah yang lain.

Dengan demikian, benda yang sama terlihat di dua tempat (diplopia).

Supresi

Supresi mengambil bentuk suatu skotoma di mata yang berdeviasi

hanya dibawah kondisi penglihatan binocular, suatu skotoma adalah daerah

penurunan penglihatan di dalam lapangan pandang, dikelilingi oleh daerah

penglihatan yang sedikit berkurang atau normal. Skotoma supresi pada

esotropia biasanya berbentuk hampir elips, berjalan di retina dari tepat

sebelah temporal fovea ke titik di retina perifer di mana benda yang

bersangkutan untuk mata yang lain dicitrakan.

24

Page 25: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

Ambliopia

Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan tanpa dapat

dideteksi adanya penyakit organic pada suatu mata. Pada strabismus, mata

yang biasa digunakan untuk fiksasi masih mempunyai ketajaman yang

normal dan mata yang tidak dipakai sering mengalami penurunan

penglihatan (ambliopia).

Anomali korespondensi retina

Pada strabismus, retina perifer di luar daerah skotoma supresi dapat

mengambil nilai-nilai arah dalam ruang yang baru yang tergeser oleh

deviasi. Hal ini menimbulkan anomaly korespondensi nilai-nilai arah antara

titik-titik retina di kedua mata.

Fiksasi eksentrik

13. Apa saja gejala klinis pada kasus ini?

1. Strabismus

- Gerak mata terbatas, pada daerah dimana otot yang lumpuh bekerja. Hal

ini menjadi nyata pada kelumpuhan total dan kurang nampak pada parese.

- Deviasi : Kalau mata digerakkan ke arah lapangan dimana otot yang

lumpuh bekerja, mata yang sehat akan menjurus ke arah ini dengan baik,

sedangkan mata yang sakit tertinggal. Deviasi ini akan tampak lebih jelas,

bila kedua mata digerakkan kearah dimana otot yang lumpuh bekerja.

Tetapi bila mata digerakkan ke arah dimana otot yang lumpuh ini tidak

berpengaruh, deviasinya tak tampak.

Contoh : kelumpuhan m.rektus lateralis, menyebabkan esotropia, mata

berdeviasi ke nasal. Deviasi ini tampak jelas bila kedua mata digerakkan

kearah temporal dan menjadi tidak nyata, bila digerakkan kearah nasal.

Deviasi dari mata yang strabismus disebut deviasi primer, selalu kearah

berlawanan dengan arah bekerjanya otot yang lumpuh. Kalau mata yang

sakit melihat sesuatu obyek dan mata yang sehat ditutup maka mata yang

25

Page 26: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

sehat ini akan berdeviasi pada arah yang sesuai dengan mata yang sakit,

tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Deviasi dari mata yang sehat

disebut deviasi sekunder. Deviasi sekunder ini lebih besar, karena

rangsangan yang kuat dibutuhkan mata yang sakit untuk melihat kearah

tempat otot yang sakit bekerja. Kekuatan rangsangan yang sama

didapatkan pula oleh otot yang normal sebagai pasangannya, karena itu

timbul deviasi sekunder yang kuat, pada mata yang sehat (hukum

Hering).

Ini merupakan cara untuk membedakan strabismus paralitik dari yang

nonparalitika, dimana diviasi primer sama dengan diviasi sekunder. Mata

melihat lurus ke depan, esotropia mata kanan nyata. Mata melihat ke kiri

tak tampak esotropia. Mata melihat ke kanan esotropia nyata sekali.

- Diplopia : terjadi pada lapangan kerja otot yang lumpuh dan menjadi

lebih nyata bila mata digerakkan kearah ini.

- Ocular torticollis (head tilting) : Penderita biasanya memutar ke arah

kerja dari otot yang lumpuh. Kedudukan kepala yang miring, menolong

diagnosa strabismus paralitikus. Dengan memiringkan kepalanya,

diplopianya terasa berkurang.

- Proyeksi yang salah Mata yang lumpuh tidak melihat obyek pada

lokalisasi yang benar. Bila mata yang sehat ditutup, penderita disuruh

menunjukkan suatu obyek yang ada di depannya dengan tepat, maka

jarinya akan menunjukkan daerah disamping obyek tersebut yang sesuai

dengan daerah lapangan kekuatan otot yang lumpuh. Hal ini disebabkan,

rangsangan yang nyata lebih besar dibutuhkan oleh otot yang lumpuh,

untuk mengerjakan pekerjaan itu dan hal ini menyebabkan tanggapan

yang salah pada penderita.

26

Page 27: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

- Vertigo, mual-mual, disebabkan oleh diplopia dan proyeksi yang salah.

Keadaan ini dapat diredakan dengan menutup mata yang sakit.

2. Esotropia Paralitikus (abdusen palcy / noncomitant esotropia)

- Gangguan pergerakan mata kearah luar

- Diplopi homonim, yang menjadi lebih hebat, bila mata digerakkan kearah

luar

- Kepala dimiringkan kearah otot yang lumpuh

- Deviasinya menghilang, bila mata digerakkan kearah yang berlawanan

dengan otot yang lumpuh

- Pada orang dewasa, dimana esotropianya terjadi sekonyong-konyong,

penderita mengeluh ada diplopia, karena pola sensorisnya sudah tetap dan

bayangan dari obyek yang dilihatnya jatuh pada daerah-daerah retina di

kedua mata yang tidak bersesuaian (corresponderend).

14. Bagaimana prognosis pada kasus ini?

Vitam : Dubia ad Bonam

Fungsionam : Dubia ad Bonam

15. Apa SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) untuk kasus ini?

SKDI Tingkat 2

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya :

pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter mampu merujuk

pasien secepatnya ke spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti

sesudahnya.

27

Page 28: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

2.3.4 Kerangka Konsep

28

Riwayat Trauma

Cedera Pada N.VI (Abducens)

Keseimbangan Gerakan Bola Mata Terganggu

Mata Juling Ke Dalam (Strabismus)

Gangguan penerimaan bayangan di fovea

Diplopia

Kelemahan Pada M.Rectus Lateralis

Mata Sulit Digerakkan Ke Temporal Kanan

Page 29: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

BAB III

SINTESIS

3.1 Otot Ekstraokular dan Inervasinya

A. Muskulus Rektus Medialis

Otot rektus medial merupakan satu dari dua rektus horizontal bersama otot

rektus lateralis. Berorigo pada annulus zinn, otot ini kemudian berjalan sepanjang

dinding orbita medial dan berinsersi ± 5.5 mm dari limbus yang merupakan

insersi otot ekstraokuler terdekat ke limbus dibandingkan otot lainnya.

Tendon otot sebelum insersi berkisar 4 mm. Otot ini memiliki panjang ±

40,6 mm dan lebar 9-10 mm. Persarafan otot berasal dari nervus abdusens yang

menembus pertengahan permukaan otot.

C. Muskulus Rektus Superior

Otot ini berorigo pada annulus zinn dan melalui bagian atas bola mata

berjalan ke anterior dan lateral membentuk sudut 23o terhadap aksis visual pada

posisi primer. Panjang otot ± 42 mm dan lebar ± 10.6 mm. Insersi otot ini sekitar

7.7 mm dari limbus dengan panjang tendon sebelum insersi 5.8 mm. Insersi otot

rektus superior berbentuk konveks dengan sisi nasal lebih dekat ke limbus

daripada sisi temporal. Pada permukaan superior terdapat m. levator palpebra

yang juga merupakan otot ekstraokuler namun tidak berperan dalam pergerakan

bola mata.

D. Muskulus Rektus Inferior

Otot rektus inferior sangat mirip dengan otot rektus superior kecuali

insersinya dibawah bola mata. Otot ini juga berorigo di annulus zinn, mengarah

ke anterolateral di bawah bola mata sepanjang dasar orbita membentuk sudut 23o

terhadap aksis visual pada posisi primer. Insersinya pada sklera ±6.5 mm dari

29

Page 30: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

limbus, dengan panjang tendon sebelum insersi sekitar 5.5 mm. Panjang otot ini

adalah ±40 mm dengan lebar ±9.8 mm.

E. Muskulus Oblik Superior

Merupakan otot ekstraokuler terpanjang, yakni sekitar 60 mm. Panjangnya

±40 mm dan lebar ±10.8mm. Otot ini berorigo pada apeks orbita, superomedial

dari annulus zinn dan m.rektus medialis. Otot ini berjalan pada daerah antara

dinding medial orbita dan atap orbita. Oleh trochlea, yang merupakan suatu

struktur kartilago yang melekat pada tulang frontalis pada orbita superonasal,

diarahkan ke posterior, inferior dan lateral membentuk sudut sebesar 51o

terhadap aksis visual pada posisi primer. Tendon otot ini melakukan penetrasi

pada sekitar 2 mm kearah nasal dan 5mm posterior dari insersi bagian nasal otot

rektus superior. Setelah melewati bagian bawah otot rektus superior, tendon

berinsersi pada kuadran posterosuperior bola mata.

F. Muskulus Oblik Inferior

Merupakan satu-satunya otot ekstraokuler yang tidak berorigo pada annulus

zinn melainkan pada periosteum os maksillaris, posterior margo orbita dan lateral

fossa lakrimalis.

Vaskularisasi & Inervasi

A. Sistem Arteri

Cabang muskuler dari arteri oftalmika merupakan penyuplai darah utama

untuk otot-otot ekstraokuler. Cabang muskuler lateral mensuplai rektus lateral,

rektus superior, oblik superior, dan levator palpebra. Cabang muskuler medial

mensuplai rektus inferior, rektus medial, dan oblik inferior. Rektus lateral

sebagian disuplai oleh arteri lakrimalis, arteri infraorbitalis mensuplai oblik

inferior dan rektus inferior. Cabang muskuler mempercabangkan arteri siliaris

anterior yang menyertai otot-otot rektus dimana setiap otot rektus disuplai oleh 1

30

Page 31: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

hingga 3 arteri siliaris anterior. Arteri-arteri ini kemudian melewati episklera dan

akan mensuplai darah ke segmen anterior bola mata.

C. Inervasi

Mayoritas inervasi otot ekstraokuler berasal dari nervus okulomotorius (III).

Cabang superior N.III menginervasi otot rektus superior dan levator palpebra

superior, sedangkan cabang inferiornya menginervasi rektus medialis, rektus

inferior, dan oblik inferior. Nervus trochlearis (IV) menginervasi oblik superior

dimana nervus ini menyilang sisi medial otot oblik superior yang kemudian

menembus permukaan atasnya 12 mm anterior dari origo otot-otot ekstraokuler.

Nervus abdusens (VI) menginervasi rektus lateralis.

3.2 Strabismus

Strabismus adalah suatu keadaan dimana kedudukan kedua bola mata tidak

searah. Strabismus merupakan suatu kelainan posisi bola mata dan bisa terjadi

pada arah atau jauh penglihatan tertentu saja, atau terjadi pada semua arah dan

jarak penglihatan. Strabismus ditimbulkan oleh cacat motorik, sensorik atau

sentral. Cacat sensorik disebabkan oleh penglihatan yang buruk, tempat ptosis,

palpebra, Parut Kornea Katarak Kongenital Cacat Sentral akibat kerusakan otak.

Cacat Sensorik dan Sentral menimbulkan Strabismus Konkomitan atau non

paralitik. Cacat motorik seperti paresis otot mata akan menyebabkan gerakan

abnormal mata yang menimbulkan strabismus paralitik. Deviasi horizontal dapat

dibagi menjadi 2 yaitu : esotropia dan exotropia. Esotropia adalah strabismus

konvergen horizontal. Penyimpangan horisontal dibagi lebih lanjut ke

penyimpangan comitant dan incomitant (juga disebut sebagai bersamaan dan

noncomitant, masing-masing). Comitant merujuk ke deviasi mata yang tidak

berbeda dengan arah pandangan; incomitant menggambarkan deviasi mata yang

bervariasi dengan arah tatapan. Esotropia adalah jenis strabismus atau

misalignment mata. Istilah ini berasal dari 2 kata Yunani: Eso, yang berarti ke

31

Page 32: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

dalam, dan trépò, berarti giliran. Dalam esotropia, mata disilangkan, yaitu,

sementara satu mata melihat lurus ke depan, mata lainnya adalah berpaling ke

arah hidung. Penyimpangan ini ke dalam mata dapat mulai sejak bayi, kemudian

di masa kecil, atau bahkan menjadi dewasa.

Esotropia Mengakuisisi dapat terjadi setelah masa kanak-kanak dan tidak

selalu responsif terhadap kacamata rabun dekat, karena ini, itu tidak jatuh ke

dalam kategori esotropia bawaan atau esotropia akomodatif, yang dijelaskan

dalam artikel lain. Meskipun esotropia diperoleh dapat terjadi pada pasien usia 1-

8 tahun, biasanya berkembang pada pasien berusia 2-5 tahun dan tampaknya

jarang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya. Dengan mengakuisisi

esotropia, sudut deviasi relatif kecil, dan koreksi bedah dini (jika diperlukan)

lebih mungkin mencapai fiksasi bifoveal untuk pasien ini dibandingkan mereka

yang esotropia bawaan.

32

Page 33: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Seorang laki-laki berusia 22 tahun menderita diplopia e.c esotropia

paresis nervus cranialis VI (n.abducens) dextra e.c trauma capitis ditambah

miopia simpleks occuli dextra et sinistra.

33

Page 34: Laporan Tutorial Skenario F Blok 19 Kelompok B7

DAFTAR PUSTAKA

Hall, Guyton. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta

Snell, R Richard. 2006. Anatomi Klinik. EGC: Jakarta

Eva, Riordan., Asbury., Vaughan. 2000. Oftalmologi Umum. Widya Medika: Jakarta

Ilyas, Sidarta. 2000. Ilmu Penyakit Mata. Universitas Indonesia : Jakarta

Wahab, A. Samik (editor). IKA Nelson Vol. 2 Ed. 15. 1999. Jakarta: EGC

34