Top Banner
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS) “Tuan Mose Yang Malang...” Tutor : dr.Evy Sulistyoningrum,M.Sc Oleh : Kelompok I Dandhy Dharma S. P. G1A010016 Nur Fitri Margaretna G1A010017 Ning Maunah G1A010031 Angkat Prasetya A.N G1A010038 Dasep Padilah G1A010062 Eviyanti Ratna Suminar G1A010063 Lina Sunayya G1A010075 Rona Lintang Harini G1A010094 Hesti Putri A G1A010099 Tribuana Yogaswara G1A008102 Yanuary Tejo Buntolo G1A009062
52

Laporan Problem Based Learning II Nss

Apr 24, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Problem Based Learning II Nss

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING II

BLOK NEUROLOGY & SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)

“Tuan Mose Yang Malang...”

Tutor :

dr.Evy Sulistyoningrum,M.Sc

Oleh :

Kelompok I

Dandhy Dharma S. P. G1A010016

Nur Fitri Margaretna G1A010017

Ning Maunah G1A010031

Angkat Prasetya A.N G1A010038

Dasep Padilah G1A010062

Eviyanti Ratna Suminar G1A010063

Lina Sunayya G1A010075

Rona Lintang Harini G1A010094

Hesti Putri A G1A010099

Tribuana Yogaswara G1A008102

Yanuary Tejo Buntolo G1A009062

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

2013

Page 2: Laporan Problem Based Learning II Nss

BAB I

PENDAHULUAN

Proses belajar memiliki berbagai metode pembelajaran dalam rangka mencapai

sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan untuk mahasiswa yang bersangkutan.

Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah dengan metode Problem Based Learning,

yakni suatu metode belajar dengan model diskusi pembelajaran bersama terhadap

skenario kasus tertentu yang menuntut mahasiswa berperan aktif secara individu. Tujuan

dari pbl ini yaitu :

a. Mengembangkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dari

skenario masalah yang berisi patient problem.

b. Melatih kemampuan generic learning skills, dan memahami serta menghubungkan

basic sciences dengan clinical sciences.

c. Meningkatkan penguasaan soft skills yang meliputi kepemimpinan, profesionalisme,

ketrampilan komunikasi, kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim,

ketrampilan untuk berpikir secara kritis,serta kemampuan untuk menyelesaikan

masalah yang dihadapi

d. Melatih karakter student centred learning,self directed learning dan adult learning.

Dalam memahami dan mendalami permasalahan yang telah tersedia melalui penerapan

seven jumps, yaitu:

1. Klarifikasi istilah

2. Batasan masalah

3. Analisa masalah

4. Pembahasan masalah

5. Kesimpulan

Pada kasus PBL (Problem Based Learning) kedua blok NSS ini, kami

membahas mengenai meningoencephalitis tuberculosis. Pada pembahasan kali ini,

kami harus benar-benar memahami mulai dari apa itu encephalitis dan meningitis,

mengapa kuman tuberculosis bisa menjadi penyebab terjadinya penyakit ini, fakor

predisposisi, patogenesis, patofisiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan,

komplikasi, pencegahan serta pencegahannya.

Page 3: Laporan Problem Based Learning II Nss

BAB II

PEMBAHASAN

Info I

RPS

Tn Mose. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan

penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran.

Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun tidur pasien

mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat hingga pasien muntah,

keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit. Sehingga oleh

keluarganya Tn.Mose dibawa ke rumah sakit, ditengah perjalanan Tn.Mose mengalami

kejang selama ±10 menit. Sesampainya di IGD pasien mengalami kejang kembali selama ± 5

menit

Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien mempunyai

riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam hari dan

pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan keluhan ini pasien berobat ke

dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen dan diketahui terdapat infeksi pada paru-

parunya. Pasien diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6

bulan, akan tetapi karena keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.

RPD

a. Riwayat hipertensi disangkal

b. Riwayat DM disangkal

c. Riwayat penyakit jantung disangkal

d. Riwayat kejang sebelumnya disangkal

e. Riwayat trauma kepala disangkal

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : penurunan kesadaran

Kesadaran : E2M3V2

Vital sign : TD : 120/80 mmhg

N : 100 x/menit

RR : 24 x/menit

Page 4: Laporan Problem Based Learning II Nss

S : 39 oC

Orientasi

a. Waktu : jelek

b. Orang : jelek

c. Tempat : jelek

Kepala dan leher

a. Kepala : mesochepal, tanda trauma ( jejas ) (-)

b. Leher : kaku kuduk (+)

c. Mata : dbn

Jantung : dbn

Paru : stridor

STATUS NEUROLOGIS

1. Pemeriksaan nervus kranialis

a. N III : ODS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3mm

OS : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+)

sedikit berkurang

b. N VI : kesan parese N VII bilateral

c. N VII : parese facial sinistra tipe sentral

2. Pemeriksaan sensibilitas : sulit dinilai

3. Pemeriksaan neurologis

a. Tes kaku kuduk : (+)

b. Tes brudzinki : (+)

c. Tes kernig : (+)

4. Pemeriksaan fisiologis : (+) meningkat

5. Kekuatan motorik : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat

ekstrimitas

6. Pemeriksaan patologis

a. Reflek babinsky : +/+

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah lengkap (Hb. Leukosit, Ht, trombosit, hitung jenis) GDS, ureum kreatinin,

elektrolit

a. Hb : 14 gr/dl

Page 5: Laporan Problem Based Learning II Nss

b. Leukosit : 17000/mm3

c. Trombosit : 150.000 mm3

d. Hematokrit : 42 %

e. GDS : 145 mg/dl

f. Ureum : 23 mg/ dl

g. kreatinin : 0,7 mg/dl

h. kalium : 4 meq/l

i. natrium : 140 meq/l

j. Klorida : 101 meq/l

2. TB ICT : (+)

3. Foto Thorax : gambaran TB milier paru kanan kiri

4. Brain CT scan

a. gambaran tuberculoma

b. tidak tampak hidrocephalus

c. tidak tampak infark

5. Lumbal pungsi

a. Warna : xantokrom

b. Leukosit : 750 x 10 3 /ml

c. Neutrofil : <75 %

d. Perbandingan glukosa CSS : plasma < 50 %

ASSESMENT

Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese N VI,

parese N VII sinistra tipe sentral, kejang,demam

Diagnosis topis : meningeal, encephalon

Diagnosis etiologi : meningoencephalitis e.c tuberkulosa

Diagnosis banding : Epilepsi

Meningoencephalitis e.c parasit

Prognosis

Fungsional : dubia ad malam

Vitam : dubia ad malam

Sanam : dubia ad malam

Page 6: Laporan Problem Based Learning II Nss

TERAPI

a. IVFD Asering 20 tpm

b. O2 liter/menit

c. Dexamethason IV bolus 0,3 mg/ kgbb/hari

d. Diazepam 10 mg iv pelan

e. Phenitoin 3 x 100 mg iv

f. Paracetamol 3 x 500 mg ( jika panas)

g. Causa

i. Tahap I ( 2 bulan)

a) isoniazid 300 mg

b) rifampisin 600 mg

c) pirazinamid 2 gram

d) etambutol 750 mg

ii. Tahap lanjut ( 7 – 10 bulan)

a. Isoniazid 300 mg

b. Rifampicin 600 mg

A. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Kejang : Kejang merupakan suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan

relaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari

aktivitas elektrik di otak, dapat karena kelainan intrakranial, ekstrakranial, atau

metabolik (Nelson, 2000).

2. Penurunan Kesadaran : Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan yang

mencerminkan pengintegrasian semua impuls aferen dan impuls eferen. Jumlah

impuls aferen menentukan derajat kesadaran, sedangkan cara pengolahan impuls

aferen yang menelurkan pola-pola impuls eferen menentukan kualitas kesadaran

(Sidharta, 2009).

3. Kesadaran merupakan fungsi utama susunan syaraf pusat. Untuk mempertahankan

fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaktsi yang konstan dan efektif anatara

hemisfer serebri yang intak dan formasio retikularis di batang otak. Gangguan

pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat menimbulkan gangguan

kesadaran (Chandra, 1979).

Page 7: Laporan Problem Based Learning II Nss

4. Vomitus adalah pengeluaran involunteer dan ekspulsi yang kuat semua isi lambung dari mulut. Pusat muntah di medulla oblongata distimulasi baik secara langsung (muntah sentral) atau melalui serat eferen (muntah reflek).

Muntah sentral akibat :1) Obat2) Uremia3) Hiperkalsemia4) Infeksi akut5) Kehamilan

Muntah reflek : Penyebab dari gangguan gastrointestinal

B. BATASAN MASALAH

Identitas pasien

Nama : Tn.M

Umur : 38 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Keluhan utama: penurunan kesadaran

Onset : sejak 1 jam yang lalu

Faktor memperberat : (-)

Faktor memperingan : (-)

Gejala penyerta : - Kejang selama ± 10 menit

- Kejang selama ± 5 menit

- Sakit kepala

- Muntah

RPD : - Seminggu sebelum masuk RS pasien merasa demam

- 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering berkeringat pada malam

hari, BB turun

- Foto rontgen terdapat infeksi pada paru-paru, pasien diharuskan minum

obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, tapi pasien tidak

berobat kembali.

Riwayat Sosial : Ekonomi rendah

Page 8: Laporan Problem Based Learning II Nss

C. ANALISIS MASALAH 1

1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala

2. Klasifikasi kejang

3. Tingkat kesadaran

4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran

5. Penyebab penurunan kesadaran

6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis

7. Pemeriksaan Neurologis, yang spesifik pada Meningitis

8. Intrepetasi info 2,3,4,5

D. ANALISIS MASALAH 2

1. Definisi, etiologi, faktor resiko, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis

2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis

3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis

4. Pemeriksaan Lumbal Pungsi

5. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis

6. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis

A. PEMBAHASAN ANALISIS PERTAMA

1. Mekanisme kesadaran, nyeri kepala

Kesadaran

Pusat kesadaran manusia terdapat didaerah pons, formasio retikularis daerah

mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan Magoum disebut

diffuse ascending reticular activating system (ARAS). Melalui lintasan aspesifik ini,

suatu impuls dari perifer akan menimbulkan rangsangan pada seluruh permukaan

korteks serebri (Rumawas, 2000).

Page 9: Laporan Problem Based Learning II Nss

Formatio reticularis

Ascending Reticular Activating System (ARAS)

Batang otak(mesencephalon – pons – medulla

oblongata)

Intralaminar nuclei di thalamus

Saraf sensoris dari seluruh tubuh dan kepala

Korteks serebri teraktivasi

Kesadaran

Excitatory neurotransmitter

Inhibitory neurotransmitter

Glutamat GABA

Kesadaran meningkat Kesadaran menurun

Gambar 2.1. Mekanisme kesadaran (Snell, 2006).

Page 10: Laporan Problem Based Learning II Nss

Bakteri masuk aliran darah

Masuk plexus choroideus

Infeksi epitel plexus

Bisa masuk menembus LCS

Multiplikasi bakteri di dalam LCS

Bakteri keluarkan toksin

Produksi Sitokin & Kemokin

Gangguan permeabilitas BBB Leukosit masuk LCS

Degranulasi

Keluarkan metabolit toksin

Ganggu metabolisme sel dan pompa elektrolit

Bakteri membentuk eksudat di ruang subarachnoidea

Cytotoxic edema

Mengganggu resorpsi LCS ke sinus dural

Memblokir granulasi arachnoidea

Hydrocephalus malresorpsi

Protein plasma masuk LCS

Vasogenic Edema

TIK >>

Aliran LCS yang sedikit teresorpsi mendesak sinus dural Sinus dural mendesak duramater pars periostealRangsang reseptor nyeri di duramater

NYERI KEPALA

Respon inflamasi

Mediator inflamasi keluar menuju sinus dural

Berikatan dengan reseptor nyeri

NYERI KEPALA

Nyeri Kepala

Gambar 2.2. Mekanisme nyeri kepala (Sylvia, 2005).

Page 11: Laporan Problem Based Learning II Nss

2. Klasifikasi kejang

Kejang merupakan suatu kelainan yang diakibatkan oleh gangguan

neurologis yang terjadi karena lepasnya muatan paroksismal yang berlebihan dari

suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu atau disebut juga fokus kejang

( Price, 2005) :

Tabel Klasifikasi Kejang ( Price, 2005)

No Klasifikasi Karakteristik

1. PARSIAL Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah ; fokus

hanya disuatu bagian tapi dapat menyebar ke bagian lain

a. Parsial

Sederhana

1.Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral)

2.Dapat bersifat sensorik ( merasakan, membaui,

mendengar sesuatu yang abnormal)

3.Dapat Bersifat Autonomik ( takikardia, bradikardia,

takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium)

4. Dapat bersifat psikis ( disfagia, gangguan daya

ingat)

5. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit

b. Parsial

Kompleks

1.Dimulai dari kejang parsial sederhana kemudian

berkembang menjadi kejang yang disertai oleh

a. Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme

( mengecap-ecapkan bibir, mengunyah, menarik-

narik baju)

b. Beberapa kejang parsial komplek mungkin

berkembang menjadi kejang generalisata

c. Biasanya berlangsung 1-3 menit

2. Kejang Umum ( generalisata)

1. Kejang absens

- Gangguan kewaspadaan dan responsivitas

- Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang

dari 15 detik

- Awalan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan

Page 12: Laporan Problem Based Learning II Nss

konsentrasi penuh

- Umumnya dimuali pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh

dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

2. Kejang Mioklonik

Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi

mendadak.

- Sering terjadi pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik,

berupa kedutan- kedutan singkron dari leher, bahu, lengan atas, dan

kaki.

- Umumnya berlangsung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam

kelompok.

- Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

3. Kejang Tonik-Klonik

- Diawali dengan hilangnya kesadaran disaat tonik, kaku umum pada

otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah, yang langsung kurang dari 5

menit.

- Dapat disertai dengan hilangnya control kandung kemih dan usus.

- Tidak ada respirasi dan sianosis.

- Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan

bawah.

- Letargi, konflusi, dan tidur dalam fase postical.

4. Kejang Atonik

- Hilangnya tonus secara mendadak sehingga menyebabkan kelopak

mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah.

- Singkat, dan terjadi tampa peringatan ( Price, 2005)

3. Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran secara umum adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang

terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :

1) Compos mentis (concious), yaitu keasadaran normal,sadar sepenuhnya, dapat semua

pertanyaan tentang keadaan sekeliling

Page 13: Laporan Problem Based Learning II Nss

2) Delirium, yaitu gangguan kedasaran yang biasanya tampak dalam bentuk hambatan

pada fungsi kognitif. Delirium mempunyai beberapa sebab. Semuanya mempunyai

pola gejala serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pendeita

misalnya gelisah, disorientasi (orang,tempat,waktu)

3) Somnolen, yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat mudah

tidur,namun kesadaran dapat pulih apabila dirangsang

4) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap tetapi ada respon terhadap

nyeri

5) Koma yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun

4. Menentukan atau menilai tingkat Kesadaran

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat

kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian

dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah

diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon

verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.

Jenis Pemeriksaan NilaiRespon buka mata (Eye Opening, E)

      Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)      Respon terhadap suara (suruh buka mata)      Respon terhadap nyeri (dicubit)      Tida ada respon (meski dicubit)

4321

Respon verbal (V)       Berorientasi baik       Berbicara mengacau (bingung)       Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat,

misalnya, “aduh… bapak..”)       Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)       Tidak ada suara

543

21

Respon motorik terbaik (M)      Ikut perintah      Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)      Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)      Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki

extensi saat diberi rangsang nyeri)      Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari

mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)      Tidak ada (flasid)

6543

2

1

Page 14: Laporan Problem Based Learning II Nss

Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam

simbol E…V…M…

Klasifikasi total skor GCS :

a. Skor 14-15 : compos mentis

b. Skor 12-13 : apatis

c. Skor 11-12 : somnolent

d. Skor 7-10 : Delirium

e. Skor < 7 : koma

Pada Kasus Kesadaran E2M3V2

- Tingkat kesadaran: Delirium dengan total skor 7

5. Penyebab penurunan kesadaran SEMENITE1) Sirkulasi : stroke dan penyakit jantung2) Ensefalitis : infeksi sistemik / sepsis3) Metabolik : hiperglikemia, hipoklimia, hipoksia, uremia, koma hepatikum4) Elektrolit : diare dan muntah yang berlebihan5) Neoplasma : Tumor otak primer / metastasis6) Intoksikasi : obat / bahan kimia7) Trauma : trauma kapitis8) Epilepsi : pasca serangan grand mall / pada status epileptikus dapat menyebabkan

penurunan kesadaran

6. Perbedaan meningitis dengan encephalitis

Pengertian MeningitisMeningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula

spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Meningitis

merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari

mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza

dan bahan aseptis (virus).

Sindroma Meningitis yaitu berupa:

1) Demam

2) Nyeri kepala hebat

3) Gangguan kesadaran

4) Kejang – kejang

Dan ditandai pula dengan adanya tanda Rangsangan Meningeal, berupa :

Page 15: Laporan Problem Based Learning II Nss

1) Kaku kuduk

2) Tes brudzinsky positif

3) Tes kernig yang positif

Etiologi

1. Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),

Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus

aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas

aeruginosa.

2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.

4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir

kehamilan.

5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem

persarafan.

Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :

1. Meningitis serosa

Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang

jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya

lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

2. Meningitis purulenta

Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula

spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria

meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,

Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas

aeruginosa (Harsono. 2003).

Page 16: Laporan Problem Based Learning II Nss

Pengertian Encephalitis

Encephalitis adalah suatu peradangan dari otak. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis,

kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini

disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit

yang menyebabkan peradangan dari otak. Encephalitis adalah infeksi jaringan atas oleh

berbagai macam mikroorganisme

Tanda dan Gejala

Gejala-gejala dari encephalitis termasuk demam yang tiba-tiba, sakit kepala, muntah,

kepekaan penglihatan pada sinar, leher dan punggung yang kaku, kebingungan, keadaan

mengantuk, kecanggungan, gaya berjalan yang tidak mantap, dan mudah terangsang.

Kehilangan kesadaran, kemampuan reaksi yang buruk, serangan serangan, kelemahan

otot, demensia berat yang tiba-tiba dan kehilangan memori dapat juga ditemukan pada

pasien-pasien dengan encephalitis.

1. Demam

2. Sakit kepala dan biasanya pada bayi disertai jeritan 3. Pusing

4. Muntah

5. Nyeri tenggorokan

6. Malaise

Etiologi

1. Mikroorganisme: bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Macam- macam

encephalitis virus menurut Robin :

a. Infeksi virus yang bersifat epidermik:

1) Golongan enterovirus = poliomyelitis, virus coxsackie, virus ECHO.

2) Golongan virus ARBO = western equire encephalitis, St. louis encephalitis, Eastern

equire encephalitis, Japanese B. encephalitis, Murray valley encephalitis.

Page 17: Laporan Problem Based Learning II Nss

b. Infeksi virus yang bersifat sporadic : rabies, herpes zoster, limfogranuloma, mumps,

limphotic, choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan olehvirus tetapi

belum jelas.

c. Encephalitis pasca infeksio, pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca

vaksinia, pasca mononucleosis, infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus

respiratorius yang tidak spesifik.

7. Pemeriksaan Fisik spesifik pada Meningitis

Pemeriksaan Rangsangan Meningeal

1. Pemeriksaan Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan

rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan

pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat

disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi

kepala.

2. Pemeriksaan Tanda Kernig

Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi

panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa

nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°

(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti

rasa nyeri.

3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)

Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah

kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan

cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada

pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.

4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul

(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada

pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral

(Harsono. 2003)..

Page 18: Laporan Problem Based Learning II Nss

8. Intrepetasi ifo 3,4,5

INFO 3

Pemeriksaan fisik

KU : penurunan kesadaran

Kesadaran : E2M3V2

Vital sign : TD : 120 / 80

Nadi : 100 x/menit

RR : 24 x/menit

S : 39 0C

Orientasi

- Waktu : jelek

- Orang : jelek

- Tempat : jelek

Kepala dan leher

- Kepala : mesochephal, tanda trauma (jejas) (-)

- Leher : kaku kuduk (+)

- Mata : dbn

Jantung : dbn

Paru : stridor +

Interpretasi INFO 3

Dilihat dari pemeriksaan fisik yang terdapat pada info diatas, kondisi ketidaknormalan

ditemui pada penurunan kesadaran, peningkatan suhu, terdapat tanda kaku kuduk (+)

disertai suara stridor dari rongga thoraks.

Pengukuran derajat kesadaran, digunakan GCS (Glasow coma scale) yang merupakan

metode penilaian kuantitatif dengan menggunakan tiga parameter, yaitu : Eye response,

Motor response, dan Visual response ?

Penjelasan mengenai skor derajat kesadaran Tn. M dimana GCS E2 M3 V2

diinterpretasikan sebagai berikut Tn. M mampu membuka mata dengan rangsangan nyeri,

gerakan ekstensi / flexi flaccid dengan rangsang nyeri, merintih, serta tidak dapat

mengdentifikasi secara tepat terhadap waktu, tempat dan orang.

- Terjadinya peningkatan suhu menandakan adanya infeksi

Page 19: Laporan Problem Based Learning II Nss

- Adanya kaku kuduk (+) menggambarkan adanya infeksi pada daerah meningens

- Adanya bunyi stridor merupakan pertanda adanya obstrusksi pada jalan napas akibat

benda asing, penyebab bunyi ini bias diketahui dari sifat kemunculannya. Bunyi

stridor pada saat inspirasi ditemui pada pasien dengan obstrusksi laring, sedangkan

bunyi stridor pada saat ekspirasi ditemui pada pasien dengan obstruksi

trakheobronkial. Berdasarkan penyebab, bunyi stridor sering dialami oleh pasien

dengan peradangan paru seperti kasus tuberculosis (Isselbacher, et al. 2000)

INFO 4

1. Status nervus kranialis

a. N III ODS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3 mm

OS : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+) sedikit berkurang

b. N VI : kesan parese N VI bilateral

c. N VII : parese fascialis sinistra tipe sentral

2. Pemeriksaan sensitibilitas : sulit dinilai

3. Pemeriksaan neurologis

- Tes kaki kuduk : (+)

- Tes brudzinski I – IV : (+)

- Tes kernig : (+)

4. Pemeriksaan fisiologis : (+) meningkat

5. Kekuatan motorik : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat

ektrimitas

6. Pemeriksaan patologik

Reflek babinsky : +/+

Interpretasi INFO 4

a) Pemeriksaan Occuli dextra-sinistra dilakukan dengan cara inspeksi langsung pada

kedua mata: bentuk pupil yang isokhor mengindikasikan adanya kesamaan bentuk

maupun ukuran pupil dextra dan sinistra, maka hal tersebut normal.

b) Pemeriksaan refleks cahaya langsung dan tidak langsung, dilakukan dengan

memberikan stimulus cahaya pada mata pasien dari arah lateral ke medial baik secara

langsung maupun konsensual. Pada hasil pemeriksaan refleks ini, pasien pada mata

kanan pasien memiliki penurunan reflex, sehingga hal ini mengindikasikan adanya

parase di nervus III.

Page 20: Laporan Problem Based Learning II Nss

c) Kesan parese N VI bilateral, mengindikasikan adanya gangguan pada nervus VI yang

bisa diakibatkan oleh lesi pada system saraf. Hal ini dapat terjadi pada kondisi

infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus meningitis,

meningoenchepalitis, dan perdarahan subarakhnoid

d) Parese fasialis sinistra tipe sentral

e) Parase tipe sentral pada nervus VII.

Nervus VII (fasialis) merupakan nervus yang mengatur jalannya pergerakan otot-otot

daerah muka terutama dahi, pipi, dan mulut, serta sebagai inervator sensoris pada 2/3

anterior lidah.

Letak lesi sentral menunjukkan adanya lesi pada upper motor neuron (UMN) yang

mengakibatkan gangguan pada gerak otot di daerah muka. Lesi pada upper motor

neuron pada salah satu hemisfer cereberi menyebabkan kelemahan gerak otot wajah

selain dahi pada area kontra lateral, dikarenakan otot-otot wajah selain dahi hanya

dipersarafi oleh satu sisi hemisfer yang kontra lateral, namun hal ini tidak berlaku

pada gerak otot wajah pada dahi, sebab otot oto tersebut diinervasi oleh kedua sisi

hemisfer (Baehr dan Frotscher, 2012).

f) Reaksi meningeal (+), Reaksi meningeal sign positif merupakan tanda khas pada lesi/

infeksi meningens

Pemeriksaan Neurologis

1. Meningeal sign

Meningeal sign adalah salah satu cara untuk mengetahui gejala dari adanya

peradangan pada selaput otak misalnya pada meningitis. Pemeriksaan ini terdiri dari

Kaku Kuduk (nuchal rigidity), Tanda Lasegue, Tanda Kernig, dan Tanda Burdzinki

(Lumbantobing, 2011).

1) Kaku Kuduk

Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang

selaput otak. Sangat jarang dapat mendiagnosis meningitis tanpa adanya gejala

ini.

a. Cara pemeriksaan :

Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring.

Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai

dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.

b. Interpretasi :

Page 21: Laporan Problem Based Learning II Nss

Bila terdapat kaku kuduk maka akan didapatkan tahanan dan dagu tidak dapat

mencapai dada. Kaku kuduk bersifat ringan apabila ada tahanan sewaktu

menekukkan kepala. Kaku kuduk yang berat, didapatkan kepala yang tidak

dapat ditekuk. Kaku kuduk juga dapat ditemukan pada keadaan miositis otot

kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis di servikal (Lumbantobing, 2011).

2) Tanda Lasegue

a. Cara pemeriksaan :

Pasien berbaring, diluruskan (diekstensikan) kedua tungkainya. Kemudian satu

tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya.

Tungkai yang satu lagi harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus).

b. Interpretasi :

Pada keadaan normal, dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit

dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70

derajat, maka Tanda Lasegue positif. Tanda Lasegue positif ditemukan pada

kelainan seperti rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral

(misalnya hernia nukleus pulposus lumbalis) (Lumbantobing, 2011).

2. Tanda Kernig

a. Cara pemeriksaan :

Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggul

sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada

persendian lutut.

b. Interpretasi :

Pada keadaan normal, kita dapat melakukan ekstensi sampai sudut 135 derajat,

antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri

sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda Kernig positif. Tanda ini

positif ditemukan pada kelainan rangsang selaput otak dan iritasi akar lumbpsakral

atau pleksusnya (misalnya pada HNP-lumbal). Pada meningitis biasanya positif

bilateral, sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral (Lumbantobing, 2011).

3. Tanda Burdzinski I

a. Cara pemeriksaan :

Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan

kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi

sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah deiangkatnya badan.

b. Interpretasi :

Page 22: Laporan Problem Based Learning II Nss

Tanda ini dinilai positif apabila tindakan mengakibatkan fleksi pada kedua tungkai

(Lumbantobing, 2011).

Tanda Burdzinki II

a. Cara pemeriksaan :

Pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persedian panggul,

sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus).

b. Interpretasi :

Tanda ini positif apabila tungkai yang satu ini pun ikut pula terfleksi

(Lumbantobing, 2011).

Pemeriksaan Patologis

Refleks babinsky merupakan reflex primitive yang bias ditemui pada pasien balita,

Terdapat reflek patologi babinsky merupakan kondisi patologis. Refleks babinsky positif

pada umumnya dikarenakan oleh adanya kelainan pada sistem traktus piramidalis, baik

struktur ataupun fungsinya. Hal ini menjadikan respon segmental jari kaki untuk flexi

hilang, seharusnya ada kesigesgisan untuk flexi dan ekstensi. Dalam hal ini, muncul otot

Ekstensor Hallucis Longus sehingga muncullah tanda babinsky (Khwaja, 2005).

Intrepetasi Pemeriksaan Fisiologis

Pada reflek fisiologis terdapat kesan kelemahan pada keempat ekstrimitas dapat terjadi

pada gangguan korteks serebri yang mengatur gerak motorik seseorang, hal ini dapat

terjadi pada kondisi infeksi pada selaput otak dan parenkim otak seperti pada kasus

meningitis, meningoenchepalitis, dan perdarahan subarachnoid.

INFO 5

1. Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, Trombosit, Hitung jenis) GDS, ureum

kreatinin eletrolit

Hb : 14 gr/dl (13,5 –18,0 g/dl) Normal

Leukosit : 17.000 mm3(4000-10.000/ µL) Meningkat

Trombosit : 150.000 mm3(150.000-400.000 /µL) Normal

Hamtokrit : 42% (40% – 52%) Normal

GDS : 145 mg/dl (≤200 mg/dl) Normal

Ureum : 23 mg/dl (8- 25 mg/dl) Normal

Kreatinin : 0,7 mg/dl (0,7 – 1,5 mg/dl) Normal

Page 23: Laporan Problem Based Learning II Nss

Kalium : 4 meq/l (3,5 – 5 meq/l) Normal

Natrium : 140 meq/l (135 – 145 meq/l) Normal

Klorida : 101 meq/l (94 – 111 meq/l) Normal

2. TB ICT : (+)

3. Foto Thorax : gambaran TB Milier paru kanan - kiri

4. Brain CT scan

- Gambaran tuberculoma

- Tidak tampak tampak hidrosefalus

- Tidak tampak infark

5. Lumbal fungsi

- Warna : Xantokrom

- Leukosit : 750 x 103/ml ( 6000-9000) Meningkat

- Neutrofil : < 75% ( 60 – 70 %) Meningkat

- Perbandingan glukosa LCS : plasma < 50% (50 – 60%) Menurun

- Protein meningkat

Interpretasi INFO 5 :

1. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan adanya peningkatan leukosit (leukositosis),

hal ini menunjukan bahwa sedang terjadi proses infeksi pada pasien

2. TB ICT (Immunochromatographic Tuberculosis) merupakan tes serologi untuk

seseorang terkena TB, hasil psoitif pada pasien menunjukkan bahwa pasien terkena

infeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.

3. Pada pemeriksaan lumbal pungsi, didapatkan warna xantrokom dengan terdapat

peningkatan jumlah pada protein, leukosit dan neutrofil, disertai dengan penurunan

pada perbandingan glukosa LCS palasma menurun.

- warna xantrokom (warna jernih kekuningan yang mengindikasikan adanya

peningkatan jumlah PMN)

- Peningkatan leukosit dan neutrofil merupakan indikasi terjadi infeksi

- Peningkatan pada protein mengindikasikan adanya proses lesi atau inflamasi.

Karena protein merupakan molekul yang besar untuk sanggup melewati sawar

darah otak pada keadaan normal, namun pada keadaan inflamasi, hal tersebut

menjadi mungkin dikarenakan kondisi sawar darah otak yang lebih permeable

pada saat terjadinya infeksi dan inflamasi. Beberapa informasi diatas telah

mengindikasikan adanya infeksi pada selaput otak (meningens) yang kita

kenal sebagai meningitis (Kemenkes RI, 2010).

Page 24: Laporan Problem Based Learning II Nss

4. Gambaran tuberkuloma Pada brain CT-scan merupakan massa menyerupai tumor

yang berasal dari pembesaran tuberkel kaseosa di paru. Tuberkuloma terbentuk dari

kavitas tuberculosis yang memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) membentuk

suatu nodul (Aditama, 2006). Adanya gambaran tuberculoma pada hasil brain CT

scan pasien menyatakan bahwa terdapat infeksi mycobacterium tuberkulosis sampai

ke bagian parenkim otak Gambaran tuberculoma pada ct scan. Tuberkuloma terlihat

pada CT scan kepala berupa iso- hypo- atau hyperdense lesions, diameter 1.5-7cm,

dengan peripheral enhancement pada pemberian kontras dan adanya edema perifokal

(Ceylan, 2005). Tuberkuloma terlihat avaskular oleh angiografi, dan terlihat bervariasi

oleh CT scan dan MRI. Selama fase initial dari penyakitnya terlihat edema dan

nekrosis pada CT scan. Pada fase granuloma akan lebih jelas terlihat dengan

pemberian kontras, terdapat kalsifikasi dan ring enhancement dan berbagai derajat

edema. Penyengatan bisa homogen atau radiolusen di area sentral dari nekrosis

(Manoj, 1997). Perkejuan di tengah lesi dikelilingi sel epiteloid reaktif, sel giant

Langerhans dan berbagai limfosit, polimorf, dan sel plasma (Revindra, 1996).

1. Lumbal Pungsi

a. Definisi

Merupakan upaya mengambil cairan liquor cerebro spinal (LCS) dengan

memasukkan jarum ke dalam ruang subarachnoidea. Pemeriksaan ini dilakukan

dengan tujuan untuk memeriksa spesimen LCS yang diambil, mengukur dan

mengurangi tekanan LCS dan untuk menentukan ada tidaknya darah dalam ruang

subarachnoidea.

Pemeriksaan ini dapat dikategorikan diagnostik invasif karena LCS dikeluarkan

untuk pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan prinsip aseptik dengan

menusukkan jarum pungsi di antara vertebrae lumbal III dan IV atau vertebrae lumbal

IV dan V hingga mencapai ruang subarachnoidea di bawah medulla spinalis daerah

cauda equina. Ujung jarum pungsi dilengkapi manometer yang berfungsi untuk

mengetahui tekanan intraspinal.

Pemeriksaan ini membutuhkan sekitar 2-3 mL LCS yang kemudian dialirkan ke

sebuah tempat spesimen steril yang terbuat dari plastik. Nantinya, cairan LCS tersebut

akan diobservasi berdasarkan warna, konsistensi, dan lain-lain. Setelah pengambilan

LCS dirasa cukup, jarum dicabut dan tempat penusukan tersebut ditutup perban.

b. Indikasi

Page 25: Laporan Problem Based Learning II Nss

a. Mengambil LCS untuk keperluan penegakan diagnosis, utamanya yang dicurigai

mengalami meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan penyakit autoimun

b. Mengidentifikasi adanya darah di dalam LCS akibat trauma atau perdarahan

subarachnoidea.

c. Memasukkan zat kontras ke dalam ruang subarachnoidea.

d. Menentukan tekanan cairan otak

e. Mengkonfirmasi penyebab inflamasi akut atau kronik

f. Melihat perluasan infark atau stroke

g. Memasukkan obat intratekal seperti anestesi, dan lain-lain.

c. Kontraindikasi

1. Infeksi dekat tempat penusukan

2. Kontaminasi dari infeksi akan menyebabkan meningitis

3. Infeksi epidural

4. Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, karena herniasi cerebral bisa

terjadi.

5. Pasien dengan penyakit sendi vertebrae degeneratif, karena akan sulit untuk

melakukan penusukan jarum ke ruang interspinal

6. Pasien yang mengalami kelainan psikiatrik berat

d. Alat & Bahan

a. Kassa steril

b. Kapas steril

c. Sarung tangan steril

d. Baju steril

e. Jarum pungsi lumbal No. 20 dan 22 G beserta stylet

f. Manometer spinal

g. Antiseptik : alkohol 70 % dan povidone iodine

h. Anestesi lokal

i. Spuit dan jarum untuk anestesi lokal

j. Lidokain 1%

k. Tempat penampung spesimen steril, terbuat dari plastik

l. Plester

m. Tempat sampah

e. Prosedur

a. Pengambilan Sampel

Page 26: Laporan Problem Based Learning II Nss

1) Posisikan pasien

Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal,

ekstremitas inferior fleksi maksimum, dan columna vertebralis sejajar dengan

tempat tidur

2) Lakukan cuci tangan steril

3) Persiapan alat

4) Jaga privasi pasien

5) Paparkan daerah lumbal

6) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebrae L4 dan L5 yaitu dengan

menemukan garis potong columna vertebralis dan garis antara kedua SIAS kiri

dan kanan

7) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm

dengan larutan povidone iodine diikuti dengan alkohol 70 % dan tutup dengan

duk steril dimana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka

8) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah

memakai sarung tangan steril selama 30 detik yang akan menandai titik pungsi

tersebut selama satu menit

9) Anestesi kulit dengan Lidokain

10) Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum

perlahan menyusuri vertebrae sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke

atas sampai menembus duramater (sensasi terasa lepas). Umumnya jarak pada

usia dewasa sekitar 6-8 cm

11) Hubungkan jarum lumbal dengan manometer, untuk mengetahui tekanan LCS,

normalnya 60-180 mmHg

12) Lepaskan stylet perlahan dari jarum dan cairan keluar. Untuk mendapatkan hasil

yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil

cairan untuk pemeriksaan dan masukkan pada tempat sampel yang sudah

disiapkan.

13) Cabut jarum dan tutup area tusukan dengan plester

14) Rapikan alat-alat yang sudah digunakan

15) Cuci tangan steril

Page 27: Laporan Problem Based Learning II Nss

Gambar . Sampling LCS Posisi Lateral Decubitus

b. Pengiriman dan Penyimpanan

1) Harus segera dikirim

2) Sel mulai degenerasi dalam waktu 30 menit

3) Penundaan pengiriman menyebabkan glukosa turun

4) Harus segera dilaksanakan setelah pengambilan (terbaik: kurang dari 1 jam)

5) Penyimpanan 4°C dapat memperlambat degenerasi sel dan kimia

6) Pemeriksaan mikrobiologi harus segera dilakukan jangan disimpan dalam suhu

dingin karena menghambat Neisseria meningitidis & Haemophilus influenzae.

Sampel sebaiknya dalam suhu kamar.

7) Sisa spesimen dibekukan -20°C untuk pemeriksaan kimiawi, serologi & materi

genetik tambahan

b. Perawatan pasca pemeriksaan

a. Pasien berbaring datar (sudut elevasi tidak lebih dari 30o) dengan hanya 1 bantal

untuk mengurangi post-dural puncture headache

b. Anjurkan pasien tidur datar selama 6-12 jam setelah dilakukan prosedur

c. Observasi tempat penusukan, apakah terjadi kebocoran untuk 4 jam pertama

setelah pemeriksaan

d. Observasi pasien berhubungan dengan orientasi, gelisah, perasaan mengantuk,

mual, kelemahan tungkai untuk 4 jam pertama setelah pemeriksaan

e. Anjurkan pasien melapor kepada dokter atau perawat bila terjadi nyeri kepala dan

berikan obat analgesik sesuai dorsi

c. Interpretasi Laboratorium

a. Nilai Normal

1) Tekanan : 50-180 cm H2O

Page 28: Laporan Problem Based Learning II Nss

2) Warna : transparan bening

3) Eritrosit : -

4) Leukosit : 0-5 sel/µL atau 0-5 x 106 sel/L atau 0-5 x 103/mL

5) Protein : 15–45 mg/dl atau 0,15-0,45 gr/L SI unit (sekitar 70 mg/dl pada anak-

anak dan lansia)

6) Glukosa : 50-75 mg/dl (2,8-4,2 mmol/L SI unit atau 60-70 % dari glukosa darah

plasma)

7) Klorin : 700-750 mg/dl (110-125 mEq/L atau mmol/L SI unit)

8) Glutamine : 6-15 mg/dl

9) Laktat : <2 – 7,2 U/mL

10) Globulin-δ: 3-12 % dari total protein

Berdasarkan interpretasi di atas di dapatkan diagnosis meningoensefalitis

B. PEMBAHASAN ANALISIS KEDUA

c. Definisi, etiologi, diagnosis differential meningoencephalitis tuberculosis

a. Definisi dan etiologi

Meningoencephalitis tuberculosis merupakan suatu reksi peradangan akibat infeksi

sekunder bakteri tuberculosis yang mengenai parenkim otak, satu atau semua lapisan

selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang

menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa (Mardjono, 2008).

b. Diagnosis Banding Meningoencephalitis Tuberculosis

Tuberculosis

Hal ini di dasarkan pada anamnesis diketahui bahwa 1 bulan yang lalu pasien

didiagnosis menderita infeksi pada paru-parunya dan diharuskan meminum obat

tanpa putus selama 6 bulan. Selain itu pasien juga mengeluh batuk, sering

berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun yang

menunjukkan adanya tuberculosis paru. Karena pengobatan terputus kurang dari 1

bulan pengobatan, maka kemungkinan pasien masih menderita tuberkulosis paru.

Untuk dapat menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan visik, tes darah

lengkap, foto thorak, tes SPS (Hariadi, 2010).

Epilepsi

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik

yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy

Page 29: Laporan Problem Based Learning II Nss

(ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005

merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai

oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,

perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang

diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan

epilepstik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda

dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang

berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak (Browne TR.,2000)

Meningitis et causa Virus

Meningitis karena virus sebagian besar disebabkan karena entero virus , dapat juga

karena virus campak, gondong, cacar air, influenza atau herpes. Infeksi entero

virus di Amerika Serikat sering terjadi pada musim panas atau musim gugur,

dapat tanpa gejala, dapat juga menimbulkan gejala flu atau bercak kemerahan

dikulit atau nyeri tenggorokan dengan demam ringan , berlangsung selama 7 - 10

hari kemudian sembuh, sangat jarang yang kemudian diikuti terjadinya

Meningitis.

Meningitis

Meningitis merupakan radang pada selaput otak. Kondisi pasien yang menderita

TB paru merupakan salah satu faktor resiko timbulnya meningitis, karena TB paru

dapat menimbulkan komplikasi berupa meningitis TB akibat penyebaran kuman

TB dari paru ke meningens secara hematogen. Saat terjadi penyebaran muncul

gejala prodormal berupa demam yang juga dirasakan oleh pasien 1 minggu

sebelumnya. Gejala klinis meningitis yang juga ada pada pasien adalah

penurunan kesadaran, kejang, sakit kepala. Untuk dapat menegakkan diagnosis ini

diperlukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan fisik, tes babinsky, tes

darah lengkap, CT scan, lumbal pungsi, tes kaku kuduk, tes brudzinski, tes kernig

2. Patofisiologi dan patogenesis meningoencephalitis tuberculosis

Pada kasus Meningoencephalitis ini terjadi infeksi meningitis terlebih dahulu oleh

Mycobacterium tuberculosis yang kemudian menyebabkan terjadinya inflamasi pada

parenkim otak. Pathogenesis meningoencephalitis yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis terjadi dalam dua langkah, langkah pertama yaitu ketika bakteri masuk ke

dalam tubuh melalui inhalasi droplet, dan langkah kedua adalah ketika fokus bakteri

rupture dan menyebar melalui spatium subarachnoidea (Ramachandran, 2011).

Page 30: Laporan Problem Based Learning II Nss

Inhalasi droplet yang mengandung M. tuberculosis

Difagositosis oleh makrofag alveolar

Terjadi bakteremia dalam waktu singkat

Bakteri mencapai meninges atau parenkim otak

Bakteri membentuk fokus di subpial atau subependymal

Fokus rich / tuberkel

Rupture di ruang subarachnoid

Eksudat gelatinosa tebal

Meluas sampai parenkim otak

Adesi di sekitar fossa

interpendikularis (gangguan N. III,

IV, VI, VII)

meningitis Medulla spinalis

encephalitis

Sumbat LCS

hidrocephalus

Infeksi lokal paru

Menyebar lewat kelenjar getah bening regional

Membentuk kompleks primer

ISPA, TBC

Septikemi (multifikasi lewat darah)

Patofisiologi

Page 31: Laporan Problem Based Learning II Nss

Sakit kepala, nyeri kepala

Peningkatan tekanan intrakranial Edema serebral

Gangguan perfusi dan sirkulasi

Suplai O2 menurn, gangguan metabolisme

Menekan saraf vagal

Mual muntah

Hipotalamus

Page 32: Laporan Problem Based Learning II Nss

3. Penegakan diagnosis meningoencephalitis tuberculosis

Diagnosis meningoensephalitis pada pasien dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa

dan pemeriksaan fisik serta penunjang yang dilakukan pada pasien. pada pasien

didapatkan keluhan demam yang berlangsung selama 5 hari,

2. Anamnesis

Meningitis sering dijumpai bersama dengan encephalitis. Tidak menutup

kemungkinan pasien menderita encephalitis yang diakibatkan perluasan infeksi dari

meningens. Tanda dan gejala pada meningitis seperti demam, sakit kepala, kekakuan

pada leher, vomiting, diikuti oleh penurunan kesadaran,dan kadang-kadang tanda-

tanda neurologik, tanda peningkatan tekanan intrakranial atau gejala-gejala psikiatri

tidak jauh beda dengan meningitis. Gejala –gejala ensephalitis yang muncul berupa

gejala peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala, vertigo, nause, konvulsi

dan perubahan mental. Gejala lain yang mungkin timbul termasuk photophobia,

perubahan sensorik, dan kekakuan leher. Penegakan diagnosis dilakukan dengan

prosedur seperti yang dilakukan pada meningitis dan eksefalitis diantaranya

pemeriksaan cairan serebrospinal; pemeriksaan darah termasuk didalamnya kultur;

pemeriksaan imaging, diantaranya CT scan, MRI dan elektroencephalogram.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Pada pemeriksaan Kernigs sign (+) dan Brudzinsky sign (+) menandakan

bahwa infeksi atau iritasi sudah mencapai ke medulla spinalis bagian bawah.

Pada pemeriksaan Kernig sign terdapat penarikan nervus Ischiadicus yang

akan merangsang radix posterior L4 apabila ditemukan ada kelainan di medula

spinalis timbul nyeri.

b. Hasil pemeriksaan dan laboratorium yang menunjukkan adanya leukositosis

menunjang terjadinya demam pada pasien, hasil pemeriksaan fisik juga

menunjukkan adanya infeksi pada meningen yang belum mencapai medulla

Page 33: Laporan Problem Based Learning II Nss

spinalis, oleh karena itu gejala yang didapat pada pasien ditunjang dengan

pemeriksaan fisik dan penunjang maka sesuai dengan diagnosis meningitis.

untuk mengetahui penyebab pastinya dibutuhkan adanya kultur.

4. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium; Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan

laboratorium lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau

kekuning-kuningan (xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun

umumnya jarang melebihi 1.500/3 mm3 dan terdiri terutama dari limfosit. Kadar

protein meninggi sedangkan kadar glukosa dan klorida total menurun. Bila cairan

otak didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel), tempat yang sering

ditemukannya basil tuberkulosis.Pungsi lumbal ulangan dapat memperkuat

diagnosis.

5. Pemeriksaan

6. Penatalaksanaan (farmako dan non farmako) meningoencephalitis tuberculosis

Pengobatan medika medika mentosa sesuai rekomendasi American Academy of

Pediatries 1994. Pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian

LNH dan Rifampisin selama 10 bulan.

a. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 300 mg/hari.

b. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis masksimum 600 mg /hari.

c. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2000 mg/hari.

d. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari, dosis maksimum 2500 mg/hari.

e. Prednizon 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan lapering-off..

Jika didapatkan hidrosefalus dapat dilakukan pemasangan VP-Shunt. Pengobatan suportif

meliputi restrksi cairan, posisi kepala lebih tinggi dan fisioterapi pasif. (Caroline, 2010)

Steroid diberikan untuk :

a. Menghambat reaksi inflamasi

b. Mencegah komplikasi infeksi

c. Menurunkan edema serebri

d. Mencegah perlekatan

e. Mencegah arteritis / infark otak

Indikasi pemakaian steroid :

1. Penurunan kesadaran

2. Defisit nemologis fokal

Page 34: Laporan Problem Based Learning II Nss

Steroid yang biasa dipakai yaitu dexametason

Pengobatan simptomatis

a. Menghentikan kejang:

Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis

rektal suppositoria, kemudian dilanjutkan dengan:

Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau

b. Menurunkan panas:

Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 10

mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari

Kompres air hangat/biasa

7. Komplikasi dan prognosis meningoencephalitis tuberculosis

a. Komplikasi akut:

1. Edema otak

2. Hipertenis intrakranial

3. Ventrikulitis

4. Kejang

5. Meningkatnya tekanan intracranial (Tsumoto, 2001)

b. Komplikasi intermediet :

1. Efusi dubdural

2. Abses otak

3. Hidrosefalus

4. Demam (Tsumoto, 2001)

DAFTAR PUSTAKA

Page 35: Laporan Problem Based Learning II Nss

Nelson, 2000. Ilmu kesehatan anak volume 1 edisi 15. Jakarta : EGC

Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis dalam Prektek Umum. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm

496-7

Chandra, B. Diagnostik dan Penanggulangn Penderita dalam Koma. Cermin Dunia

Kedokteran. 1979. 97-100

Price dan Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta:

EGC. Hal 1047, 1159

Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume

1. Jakarta : EGC

Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of

Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18

Baehr, M dan Frotscher M. 2007. Diagnosis Topik Neurologi Duus Edisi 4. Jakarta : EGC.

Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI.

Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :

http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm

Aditama. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : PDPI

Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgery Fifth Edition. New York:

Thieme.

Isselbacher, et al. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13.

Jakarta: EGC.

Kementerian kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Interpretasi Data Klinik.

Jakarta.

Lumbantobing, S. M., 2011. Neurologi klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FKUI.

Page 36: Laporan Problem Based Learning II Nss

Lumbantobing. 2008. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia

Manoj K. Goel etc . 1997. Miliary tuberculosis with brain tuberculomas a rare

presentation.Ind J Tub. 44: 87.

Mansjoer, Arif,Suprohaitaet all. 2000. Kapita selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid II.

Jakarta : Media Aesculapius. FKUI.

Mardjono, M & Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar.Jakarta: Dian Rakyat.

Mardjono, Mahar dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Martini, Frederic H.. 2009. Brain and cranial nerve; The spinal cord, spinal nerves, and

spinal reflexes dalam Fundamentals of Anatomy and Physiology. San Fransisco :

Pearson.

Netter, Frank H., John A. Craig, James Perkins, John T. Hansen, Bruce M. Koeppen. 2002.

Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA : Icon Custom Communication.

Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:

EGC.

Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Perjalanan

Penyakit, Volume 2, Edisi 6. Jakarta: EGC.

Ravindra, K. 1996. Diagnosis of Intra cranial Tuberkuloma. Department of Neurology, King

George’s Medical College, Lucknow. Ind. J. Tub.43: 35.

Rizal T. Rumawas. 2000. Patologi dan patofisiologi gangguan kesadaran.. Jakarta:

Simposium Koma.

Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. Jakarta: EGC.

Snell, Richard S. 2006. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 5. Jakarta:

EGC.

Tsumoto, S. 2001. Guideline to meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge

Page 37: Laporan Problem Based Learning II Nss