Top Banner
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK RESPIRATORIA PBL KASUS 2 Tutor : dr. Nendyah Roestijawati, MKK Kelompok 7 Heidi Dewi Mutia G1A012061 Maya Alvionita G1A012062 Dwi Bamas Aji G1A012063 Hardina Bawatri G1A012064 Gladys Intan Kirana G1A012065 Tomy Gyanovan G1A012066 Davira Azzahra Firjananti G1A012067 Ummu Nur Fathonah G1A012068 Regina Wahyu Apriani G1A012069 Melati Nuretika G1A012070 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
60

Laporan Problem Based Learning 2

May 09, 2017

Download

Documents

gyanovantomy
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Problem Based Learning 2

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK RESPIRATORIA

PBL KASUS 2

Tutor :

dr. Nendyah Roestijawati, MKK

Kelompok 7

Heidi Dewi Mutia G1A012061

Maya Alvionita G1A012062

Dwi Bamas Aji G1A012063

Hardina Bawatri G1A012064

Gladys Intan Kirana G1A012065

Tomy Gyanovan G1A012066

Davira Azzahra Firjananti G1A012067

Ummu Nur Fathonah G1A012068

Regina Wahyu Apriani G1A012069

Melati Nuretika G1A012070

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2014

Page 2: Laporan Problem Based Learning 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario

Informasi 1

Gerhana seorang pelajar SMA datang ke klinik, mengeluh batuk berdahak sejak dua bulan terakhir. Batuk dirasakan hampir setiap hari, dahak berwarna kekuningan dan pernah bercampur darah merah segar beberapa kali. Batuk berdahak disertai penurunan berat badan 8 kg dalam waktu 2 bulan, kadang disertai sesak napas terutama apabila beraktivitas.

Informasi 2

Setahun yang lalu Gerhana pernah batuk darah dan diharuskan menjalani pengobatan yang menyebabkan air kencing berwarna merah setelah dilakukan pemeriksaan dahak di puskesmas. Gerhana hanya meminum obat selama 2.5 bulan karena merasa bosan tiap hari minum obat.

Informasi 3

Pemeriksaan fisik :

Keadaan umum : sedang, tampak sesak

Kesadaran : compo mentis

Kesadaran : tekanan darag 130/70 mmHg (Naik), nadi 92x/menit (Normal), pernafasan 28x/menit (Naik), suhu 37.2C (Naik)

Mata : konjungtiva anemis (-) (Normal)

Paru : Inspeksi : simetris kanan dan kiri (Normal)

Palpasi : hantaran paru kanan = kiri (Normal)

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru (Normal)

Auskultasi : suara dasar vesikuler, ronki -/-, wheezing -/- (Normal)

Page 3: Laporan Problem Based Learning 2

Informasi 4

Pemeriksaan penunjang :

Darah rutin : HB 12 gram% (Normal), Leukosit 8600/mm 3 (Normal)

Sputum BTA SPS : (+/ +++ / +)

Foto thoraks : terdapat gambaran infiltrate kecil-kecil yang tersebar merata di kedua lapangan paru

Informasi 5

Diagnosis : TB paru BTA (+) Lesi luas Kasus putus obat

(dengan penyebaran milier)

Penetalaksanaan :

1. Pemberian OAT kategori II yaitu 2RHZES + 1RHZE + 5RH atau 2(4FDC+S) + 1(4DC)

+ 5(2FDC+E)

2. Mukolitik/ekspetorans

3. Vitamin B6 1x1 tab

Page 4: Laporan Problem Based Learning 2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah

(Tidak ada)

B. Batasan Masalah

1. Identitas Pasien

a. Nama : Gerhana

b. Usia : -

c. Pekerjaan : Pelajar SMA

2. Riwayat Penyakit Sekarang

a. Keluhan utama : Batuk berdahak

b. Onset : 2 hari

c. Durasi : setiap hari

d. Kualitas : dahak berwarna kekuningan dan bercampur darah merah

segar

e. Lokasi : -

f. Faktor pemberat : -

g. Faktor peringan : -

h. Keluhan lain : BB turun, sesak nafas apabila beraktifitas

3. Riwayat Penyakit Dahulu : -

4. Riwayat Penyakit Keluarga: -

5. Riwayat Sosial Ekonomi : -

C. Analisis Masalah

1. Fisiologi batuk dan jenisnya

Reflek batuk terdiri dari 5 komponen utama, yaitu reseptor batuk, serabut saraf

aferen, pusat batuk, susunan saraf eferen, dan efektor (Arimbi, 2012).

a. Reseptor batuk

Page 5: Laporan Problem Based Learning 2

Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa

serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga

toraks. Reseptor yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring,

trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan berkurang pada percabangan

bronkus yang kecil dan sejumlah besar reseptor terdapat di laring, trakea, karina

dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran

telinga, lambung, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma.

b. Serabut saraf aferen

Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan

rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari

telinga melalui cabang arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan

rangsang dari sinus paranasalis. Nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari

faring. Nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.

Nervus vagus, n. frenikus, n. interkostal, n. trigeminus, n. fasialis, n. hipoglosus

dan lain-lain menuju ke efektor.

c. Pusat batuk

Oleh serabut aferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di

dekat pusat pemapasan dan pusat muntah.

d. Susunan saraf eferen

Kemudian dari pusat batuk serabut-serabut eferen meneruskan rangsangan yang

berupa impuls saraf ke efektor.

e. Efektor

Efektor ini terdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkhus, diafragma, otot- otot

interkostal dan lain-lain. Di daerah efektor inilah akan terjadi mekanisme batuk.

Mekanisme batuk terdiri dari 3 fase, yaitu fase inspirasi atau inpulsi, fase

kompresi, dan fase ekspirasi atau ekspulsi (Arimbi, 2012).

Untuk proses pengeluaran mukus, apabila banyak mukus yang terkumpul, reseptor

batuk akan terangsang, sehingga udara beserta mukus akan terlempar keluar dari

saluran napas/ trakhea. Makin ke bawah, epitel dan cillia makin tipis, sehingga bila ada

Page 6: Laporan Problem Based Learning 2

partikel yang masuk sampai bronkhioli maka partikel akan di tangkap oleh makrofag

alveolar (sel debu/sel dust) atau di batukkan keluar (Arimbi, 2012).

Hemoptisis adalah mendahakkan darah yang berasal dari bronkus atau paru.

Darah yang dikeluarkan dapat berupa dahak bercampur darah atau hanya garis merah

cerah di dahak, atau darah dalam jumlah banyak atau sedikit (Pitoyo, 2006).

Menurut National Lung Health Education Program, 2006, penyebab hemoptisis

tersering, antara lain:

· Bronkitis

· Kanker paru

· Tuberkulosis

· Bronkiektasis

· Pneumonia

· Gagal jantung

· Penggunaan antikoagulan atau fibrinolitik

Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran napas, pleura,

jaringan limfoid intra pulmonar, serta persarafan di daerah hilus. Arteri pulmonalis

yang membawa darah dari vena sistemik, memperdarahi jaringan parenkim paru,

termasuk bronkiolus respiratorius. Anastomosis arteri dan vena bronkopulmonar, yang

merupakan hubungan antara kedua sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat

persambungan antara bronkiolus respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini

memungkinkan kedua sumber darah untuk saling mengimbangi. Apabila aliran dari

salah satu sistem meningkat maka pada sistem yang lain akan menurun. Pada keadaan

kronik, dimana terjadi perdarahan berulang, maka perdarahan seringkali berhubungan

dengan peningkatan vaskularitas di lokasi yang terlibat (Pitoyo, 2006).

Pada tuberkulosis, penyebab perdarahan sangat beragam. Pada lesi parenkim akut,

perdarahan dapat disebabkan oleh nekrosis percabangan arteri/vena. Pada lesi kronik,

lesi fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas dapat memiliki tonjolan aneurisma

arteri ke rongga kavitas yang mudah berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial,

hemoptisis disebabkan oleh ulserasi granulasi dari mukosa bronkus (Pitoyo, 2006).

Page 7: Laporan Problem Based Learning 2

2. Perbedaan batuk darah (Hemoptoe) dan muntah darah (hematemesis)

Hemoptoe Hematemesis

Didahului batuk keras tidak tertahankan Tanpa batu, tapi keluar darah saat muntah

Terdengar adanya gelembung udara

bercampur darah du saluran napas

Suara napas tidak ada gangguan

Terasa asin/ darah dan gatal di

tenggorokan

Didahului mual

Warna darah yang dibatukkan merah segar

bercampur buih, lama-lama berwarna

lebih tua dan kehitaman

Warna darah : kehitaman, bergumpal

campur dengan makanan

pH basa pH asam

Beberapa hari, penyebab : kelainan paru Frekuensi muntah tidak sering, penyebab :

sirosis hati, gastritis

3. Hubungan berat badan dengan penyakit pasienPatofisiologi turun berat badan

Page 8: Laporan Problem Based Learning 2

Gambar 1. Patofisiologi Penurunan Berat Badan pada Pasien TB (Anonim, 2011)

4. Anatomi, fisiologi, dan histologi saluran pernafasan bawaha. Anatomi

Paru atau pulmo merupakan bangunan seperti pons dan sangat elastis. Pada

anak-anak pulmo berwarna merah dan menjadi semakin gelap seiring dengan usia

paru akibat inhalasi debu yang terperangkap dalam fagosit pulmo. Pulmo terletak

sedemikian rupa sehingga masing-masing paru terletak di samping dekstra dan

sinistra dari mediastinum. Masing-masing pulmo dilapisi oleh selaput pelindung

yang disebut pleura visceralis dan pleura parietalis yang diantaranya terdapat

cavum pleura yang berisi cairan pleura. Masing-masing pulmo memiliki apex

pulmonis di atas klavikula, basis pulmonis tempat diafragma, facies costalis yang

menghadap costae, facies mediastinum yang merupakan cetakan mediastinum dan

organ mediastinum lainnya, facies diafragma, dan facies vertebralis. Selain itu,

terdapat pula margo anterior, posterior, dan inferior pada masing-masing pulmo

(Snell, 2006).

Pulmo dekstra terkesan sedikit lebih besar dibandingkan dengan pulmo

sinistra karena memiliki lobus yang lebih banyak. Pulmo dekstra memiliki tiga

lobus, yaitu lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior yang dipisahkan oleh

fissura horizontal dan fissura oblique. Sedangkan pada pulmo sinistra hanya ada

dua lobus, yaitu lobus superior dan lobus inferior yang dipisahkan oleh fissura

oblique. Posisi anatomis dari fissura horizontal adalah mengikuti cartilago costalis

IV, costae IV, sampai memotong fissura oblique pada linea axillaris media yang

berjalan dari spina scapulae (baik dekstra maupun sinistra) ke arah anterior,

lateral, dan inferior dan mengikuti costae VI. Perpotongan fissura horizontal dan

fissura oblique ini berada sekitar 6,25 cm di bawah apex pulmonis pulmo sinistra.

Pada facies mediastinalis masing-masing pulmo di tengahnya terdapat hilum

pulmonalis, tempat keluarnya radix pulmonalis yang terdiri dari arteri dan vena

pulmonalis, arteri dan vena bronchiales, pembuluh limfe, dan plexus nervosus dari

nervus cranialis X (Snell, 2006).

Page 9: Laporan Problem Based Learning 2

Segmenta bronchopulmonalia merupakan unit paru secara anatomi, fungsi,

dan pembedahan. Setiap bronkus lobaris yang masuk ke hilus pulmonalis

bercabang menjadi bronkus segmentalis yang masing-masingnya akan dikelilingi

oleh jaringan ikat dan sebuah cabang arteri pulmonalis. Setelah masuk segmenta

bronchopulmonalia, bronkus segmentalis akan membelah menjadi bronkiolus

dengan struktur tanpa kartilago di dalamnya. Bronkiolus lalu membelah lagi

menjadi bronkiolus terminalis dan membelah lagi menjadi bronkiolus respiratorius

yang merupakan jalan awal dari area pertukaran udara yang terdiri dari bronkiolus

respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveolus (Snell, 2006).

b. Histologi

1) Hidung

Hidung adalah bagian yang paling menonjol di wajah, yang berfungsi

menghirup udara pernafasan, menyaring udara, menghangatkan udara

pernafasan, juga berperan dalam resonansi suara (Junqueira, 2009).

Rongga hidung (cavum nasi) memiliki sepasang lubang di depan untuk

masuk udara, disebut nares; dan sepasang lubang di belakang untuk

menyalurkan udara yang dihirup masuk ke tenggorokan, disebut choanae.

Rongga hisung sepasang kiri kanan, dibatasi di tengan oleh sekat yang dibina

atas tulang rawan dan tulang (Junqueira, 2009).

Dinding rongga ditunjang oleh tulang rawan dan tulang. Lantai, di

depan terdiri dari tulang langit-langit, di belakang berupa langit-langit lunak.

Atap juga ditunjang oleh tulang rawan sebagian dan sebagian lagi oleh tulang.

Dari tiap dinding ada tiga tonjolan tulang ke rongga hidung, disebut conchae

(Junqueira, 2009).

Rongga hidung dibagi atas 4 daerah (Junqueira : 2009):

1. Vestibula.

2. Atrium.

3. Daerah pembauan.

4. Daerah pernapasan.

Page 10: Laporan Problem Based Learning 2

Vestibula adalah bagian depan rongga, atrium adalah bagian tengah.

Daerah pembauan berada pada conchae yang atas, sedangkan daerah

pernapasan terletak pada dua conchae yang bawah (Junqueira, 2009).

Rongga hidung dilapisi oleh tunika mukosa. Kecuali di bagian depan

vestibula sampai ke nares. Di sini dilapisi oleh kulit yang strukturnya sama

dengan kulit wajah. Epidermis terdiri atas jaringan epitel squamous kompleks

berkeratin, ada bulu, kelenjar minyak bulu, dan kelenjar peluh. Pada vestibula

itu ada bulu yang keras, disebut vibrissae (Junqueira, 2009).

Tunika mukosa sendiri terdiri atas jaringan epitel columnar

pseudokompleks bersilia. Di daerah pembauan epitel bersilia itu memiliki

struktur dan fungsi khusus, yaitu sabagai indera bau. Diantara sel epitel batang

bersilia tersebar banyak sel goblet. Pada lamina propria banyak terdapat simpul

vena, simpul limfa dan kelenjar lendir. Tak ada bulu, kelenjar minyak bulu

maupun kelenjar peluh. Kelenjar lendir itu di sebut kelenjar Bowman. Tunika

mukosa melekat ketat ke periosteum atau perichondrium di bawahnya

(Junqueira, 2009).

Sekeliling rongga hidung ada empat rongga berisi udara yang

berhubungan dengannya, disebut sinus paranasal. Keempat sinus itu berada

pada tulang-tulang berikut : 1) Frontal; 2) Maxilla; 3) Ethmoid; 4) sphenoid.

Sinus dilapisi oleh tunika mucosa juga, seperti yang melapisi rongga hidung.

Hanya saja lebih tipis dan sel-selnya lebih kecil-kecil serta sedikit mengandung

kelenjar lendir. Lamina propria tidak terliahat dengan jelas (Junqueira, 2009).

2) Faring

Daerah simpangan saluran napas dan saluran makan. Dibedakan atas tiga

daerah :

a) Daerah hidung (naso-pharynx)

Merupakan bagian pertama pharynx kebawah, dilanjutkan dengan bagian

oral organ ini yaitu oro-pharynx.

b) Daerah mulut (oro-pharynx)

Page 11: Laporan Problem Based Learning 2

c) Daerah jakun (laryngeo-pharynx)

Di daerah mulut lapisan muscularis-mucosa dari tunika mucosa

digantikan oleh serat elastis yang rapat dan tebal. Tunika submucosa hanya ada

di dinding daerah hidung dan dekat ke kerongkongan. Di tempat lain tunika

mukosa melekat langsung ke otot lurik sekitar leher. Lapisan serat elastis yang

ada pada bagian bawah tunika mukosa itu tersusun rapat dan berhubungan

dengan jaringan interstisial otot (Junqueira, 2009).

Lamina propria tunika mukosa terdiri dari jaringan ikat rapat yang

berisi jala serat elastis yang halus. Di daerah mulut dan jakun, tunika mukosa

dilapisi oleh jaringan epitel berlapis banyak dan mengelupas, sedang atapnya

tersusun atas jaringan epitel batang berlapis bersilia, dengan banyak sel goblet.

Pada lamina propria, dibawah lapisan serat elastis, banyak terdapat kelenjar

lendir (Junqueira, 2009).

3) Laring

Gerbang trakea ini disusun oleh beberapa keping tulang rawan hialin dan

elastis, jaringan ikat, serat otot lurik, dan dilapisi sebelah kelumen oleh tunika

mucosa. Tunika mucosa itu memiliki kelenjar lendir (Junqueira, 2009).

Keping tulang rawan yang menunjang jakun ialah (Junqueira : 2009):

(1) Tiroid

(2) Krikoid tunggal

(3) Epiglotis

(4) Aritenoid

(5) Kornikulat sepasang

(6) Kuneiform

Permukaan depan dan sebelah belakang epiglotis dan pita suara

diselaputi epitel squamous kompleks berkeratin. Didaerah lain yaitu dasar

epiglotis, trakea dan bronkhus, epitel itu bersilia (Junqueira, 2009).

Page 12: Laporan Problem Based Learning 2

Pada tunika mucosa terdapat banyak sel goblet. Kelenjar lendir disini

tergolong jenis tubulo-acinus. Sedikit kuncup rasa terdapat tersebar pada

bagian bawah epiglotis (Junqueira, 2009).

Pita suara berisi ligamen tiro-aritenoid, yang mengandung serat elastis

dan dibagian sisisnya silengkapi serat otot lurik tiro-aritenoid. Ditengah ditutup

dengan tunika mucosa yang tipis dari epitel berlapis mengelupas (Junqueira,

2009).

4) Tenggorok ( Trakea )

Saluran napas ini menghubungkan larynx dengan paru. Histologi

dinding tenggorok dapat dibedakan atas tiga lapis, yaitu tunika mucosa, tunika

muscularis, tunika adventitia (Junqueira, 2009).

Permukaan lumen diselaputi tunika mukosa, dengan epitel batang

berlapis semu dan bersilia, menumpu pada lamina basalis yang tebal. Pada

selaput epitel banyak terdapat sel goblet. Lamina propria berisi banyak serat

elastis dan kelenjar lendir yang kecil-kecil. Kelenjar terletak sebelah atas

lapisan serat elastis. Dibagian posterior tenggorok kelenjar itu menerobos

masuk ke tunika muscularis. Pada lamina propria terdapat pula pembuluh darah

dan pembuluh limfa. Tunika muscularis sendiri sangat tipis dan tidak terlihat

dengan jelas (Junqueira, 2009).

Tunika adventitia juga tidak terlihat secara jelas, dan berintegrasi

dengan jaringan penunjang yang terdiri dari tulang rawan dibawahnya

(Junqueira, 2009).

Tulang rawan di bawah tunika adventitia itu tersusun dalam bentuk

cincin-cincin hialin bentuk huruf C. Cincin inilah yang menunjang tenggorok

pada sebelah samping dan ventral. Sedangkan dibagian dorsal tenggorok,

ditempat itu adalah bagian terbuka cincin, terdapat serat otot polos yang

susunannnya melintang terhadap poros tenggorok. Serat otot itu melekat ke

kedua ujung cincin, dan berfungsi untuk mengecilkan diameter tenggorok. Jika

otot kendur, diameter tenggorok kembali sempurna (Junqueira, 2009).

Diantara cincin bersebelahan terdapat serat fibroelastis. Dengan struktur

cincin yang tak bulat penuh ini maka tenggorok dapat meregang (membesar)

Page 13: Laporan Problem Based Learning 2

untuk menyalurkan lebih banyak udara ke dalam paru. Di sebelah luar cincin

terdapat jaringan ikat yang berisi banyak serat elastis dan retikulosa (Junqueira,

2009).

5) Cabang Tenggorok (Bronkus)

Merupakan percabangan tenggorok menuju paru kiri-kanan, disebut

bronkus. Tiap bronkus bercabang membentuk cabang kecil, dan tiap cabang

bronkus ini membentuk banyak ranting (Junqueira, 2009).

Histologi dinding bronkus sama dengan trakhea, yaitu terdiri dari :

tunika mucosa, tunika muscularis, tunika adventitia. Cabang yang sudah berada

dalam jaringan paru histologi dindingnya banyak berubah. Cincin tulang rawan

hilang, digantikan oleh keping tulang rawan, yang susunannya tidak teratur dan

mengelilinginy (Junqueira, 2009).

Tunika mucosa pada cabang dan ranting bronkus yang besar, memiliki

epitel bentuk batang bersilia, sedangkan pada ranting yang kecil epitel berubah

jadi kubus dan tak bersilia. Ada lamina basalis tebal, membatasi jaringan epitel

dari lamina propria dan mengandung banyak serat elastis, dan sedikit serat

kolagen serta retikulosa. Di bawah lamina propria erdapat tunika muscularis-

mucosa (Junqueira, 2009).

Kelenjar lendir terkandung dalam tunika mucosa dan tunika submucosa

(Junqueira, 2009).

Tunika adventitia mengandung serat jaringan ikat, sedikit jaringan

lemak, dan dibawahnya terdapat keping tulang rawan yang susunannya tak

teratur. Lapis terluar terdiri dari mesothelium, sebagai penerusan selaput dalam

pleura (Junqueira, 2009).

6) Paru

Cabang bronkus masuk ke dalam paru (pulmo). Paru ada sepasang, kiri-

kanan, terdiri dari lima lobus. Tiap lobus dibatasi oleh septa yang terdiri dari

jaringan ikat terbagi-bagi atas banyak lobulli. Masing-masing lobulus dimasuki

Page 14: Laporan Problem Based Learning 2

oleh satu bronkhiolus. Di dalamnya bronkiolus bercabang-cabang kecil

membentuk bronkiolus terminalis, dan berakhir pada bronkhiolus pernapasan.

Di dalam lobuli mengandung pembuluh darah, pembuluh limfa, urat saraf, dan

jaringan ikat. Pada banyak tempat sepanjang cabang dan ranting bronkus

terdapat nodus limfa menempel pada dinding (Junqueira, 2009).

Sebelah luar arah ke rongga pleura paru diselaputi oleh selaput lanjutan

dari selaput dalam pluera (Junqueira, 2009).

7) Bronkiolus

Bronkus bercabang berkali-kali sampai jadi ranting kecil. Ranting

bronkus itu bercabang halus berbentuk bronkhiolus . Bronkhiolus bercabang

lagi membentuk ranting, disebut bronkhiolus ujung. Bronkhiolus ujung ini

berakhir pada bronkhiolus pernapasan (Junqueira, 2009).

Tunika mucosa pada bagian ini memiliki epitel kubus yang tak bersilia

(Junqueira, 2009).

Di bawah tunika adventitia tidak ada lagi keping tulang rawan. Lapisan

ini mengandung mesothelium sebagai penerusan selaput dalam pleura

(Junqueira, 2009).

8) Bronkiolus Pernapasan

Merupakan bagian ujung bronkiolus, saluran pendek yang dilapisi sel

epitel bersilia. Sel itu di pangkal bentuk batang, makin ke ujung makin rendah

sehingga menjadi kubus dan siliapun hilang. Di bawah lapisan epitel ada serat

kolagen bercampur serat elastis dan otot polos. Di sini tak ada lagi keping

tulang rawan maupun kelenjar lendir. Lendir di sini dihasilkan oleh sel goblet

yang hanya terdapat dibagian pangkal bronkiolus. Sebagai gantinya ada sel

Clara berbentuk benjolan yang menonjol ke lumen. Sel ini menggetahkan

surfaktan untuk melumasi permukaan dalam saluran (Junqueira, 2009).

Bronkiolus pernapasan bercabang-cabang secara radial membentuk

saluran alveoli (Junqueira, 2009).

9) Saluran alveoli

Page 15: Laporan Problem Based Learning 2

Merupakan saluran yang tipis dan dindingnya terputus-putus. Saluran ini

bercabang-cabang, tiap cabang berujung pada kantung alveoli. Dinding saluran

alveoli terdiri atas berkas serat elastis, kolagen dan otot polos (Junqueira,

2009).

10) Kantung alveoli dan alveolus

Kantung alveoli berpangkal pada saluran alveoli. Tiap kantung

memiliki dua atau lebih alveoli (Junqueira, 2009).

Alveolus adalah unit terkecil paru-paru, berupa gembungan berbentuk

polihedral, terbuka pada satu sisi, yaitu muara ke kantung alveoli. Dindingnya

terdiri dari selapis sel epitel gepeng yang tipis sekali. Dinding alveolus dililit

pembuluh kapiler yang bercabang-cabang dan yang beranastomosis. Di luar

kapiler ada anyaman serat retikulosa dan elastis (Junqueira, 2009).

Antara alveoli yang bersebelahan terdapat sekat. Sekat itu terdiri dari

dua lapis sel epitel dan pada kedua sisi sel epitel terdapat serat elastis, kolagen,

kapiler, dan fibroblast (Junqueira, 2009).

Epitel alveolus dibatasi dengan endotel kapiler oleh lamina basalis yang

tipis. Ada pula sel epitel yang berbentuk bundar atau kubus, berada pada

dinding alveolus, disebut sel sekat atau sel alveolus besar. Diperkirakan sel ini

mensekresikan lendir. Ia memiliki mikrovilli dan mebentuk kompleks

pertautan dengan sel epitel alveolus yang gepeng dan yang lebih kecil. Sel

alveolus gepeng itulah dengan endotel kapiler yang melilitnya yang membina

membaran pernapasan (Junqueira, 2009).

Membran pernapasan tersusun atas : membran sel epitel alveolus,

sitoplasma sel epitel elveolus, membran sel alveolus, lamina basalis, membarab

sel endotel kapiler, sitoplasma sel endotel kapiler, membran sel endotel kapiler.

Yang tujuh lapis ini sangat tipis. Karena itu kaluar-masuk gas pernapasan

antara lumen alveolus dan lumen kapiler sangat mudah dan cepat (Junqueira,

2009).

Page 16: Laporan Problem Based Learning 2

Di dinding alveoli sering ditemukan fagosit atau makrofag. Karena

lazimnya sel ini berisi butiran maka disebut dengan sel debu. Sel ini banyan di

temukan pada perokok (Junqueira, 2009).

11) Fisilogi respirasi

Respirasi terdiri dari tiga proses, antara lain (Guyton & Hall, 2008) :

1) Ventilasi pulmonar

Proses pergerakan udara antara atmosfer dengan paru. Pergerakan

udara ini disebabkan oleh perubahan tekanan udara dalam paru. Ventilasi paru

terdiri dari inspirasi/inhalasi dan ekspirasi/ekshalasi.

2) Respirasi eksternal

Proses resapa.n oksigen dalam udara alveoli ke dalam darah di kapiler

alveoli serta proses resapan kabon dioksida dalam arah sebaliknya.

3) Respirasi internal

Merupakan pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara kapiler

sistemik dengan sel jaringan. Saat oksigen meresap ke dalam sel, karbon

dioksida akan meresap ke arah yang bertentangan.

D. Pembahasan Masalah

1. Definisi TBC

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronis jaringan paru tidak termasuk

pleura (selaput paru) yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, atau basil

tuberkel, yang tahan asam. Penularan tuberculosis paru terjadi secara langsung, dan

apabila orang yang belum pernah terpapar TB menghirup cukup banyak tuberkel ke

dalam alveoli, maka terjadilah infeksi tuberculosis yang dapat aktif secara klinis maupun

laten (Depkes, 2002).

2. Patogenesis TBC

Page 17: Laporan Problem Based Learning 2

Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M.tuberculosis. Bakteri

menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat

bertumpuk. Perkembangan M.tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain

dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke

bagian tubuh lain. Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respon dengan

melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan

bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan atau melisiskan basil

dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam

alveoli. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri

(Somantri, 2007).

Interaksi antara M.tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal

infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma

terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding.

Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah

dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri

menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju

(necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan

kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif (Somantri, 2007).

Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan

lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang

sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami

ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang

ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang

terinfeksi kemudian meradang. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau

berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh

limfosit. Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel

epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan respon berbeda, kemudian akhirnya akan

membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Somantri, 2007).

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat

Page 18: Laporan Problem Based Learning 2

mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme

imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya

sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil

kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi

dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan

membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru

disebut Fokus Primer GOHN (Werdhani, 2009)

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar

limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus

primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis)

dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru

bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,

sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar

paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe

regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)

(Werdhani, 2009).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan

sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya

berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam

masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah

yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Werdhani, 2009).

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap

tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks

primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh

terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif

terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah

kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada

sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun

Page 19: Laporan Problem Based Learning 2

seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB

dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru

yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Werdhani, 2009).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna

focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selamabertahun-

tahun dalam kelenjar ini (Werdhani, 2009).

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru

dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis

perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus

sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau

paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena

reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus

akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami

inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,

sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat

menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan

pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmentalkolaps-

konsolidasi (Werdhani, 2009).

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik (Werdhani, 2009).

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman

TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

Page 20: Laporan Problem Based Learning 2

gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.

Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya

otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di

berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman

sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Koloni yang sempat terbentuk kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas

seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung

berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus

potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun- tahun kemudian, bila

daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi

penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (Werdhani).

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat

menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB

diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.

Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta

frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak

adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita

(Werdhani, 2009).

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic

spreaddengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini

akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi

diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi

anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi

merupakan granuloma (Werdhani, 2009).

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran

vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam

darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan

Page 21: Laporan Problem Based Learning 2

denganacute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang

(Werdhani, 2009).

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya

sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,

yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak0.5-

3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini

biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi

segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu

yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung

pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi

kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang

terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda (Werdhani, 2009).

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB.

TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi

dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25tahun

setelah infeksi primer (Wardhani, 2009).

Page 22: Laporan Problem Based Learning 2

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis (Sudoyo, 2009)

3. Perbedaan Microbacterium tuberculosis Primer dan Post Primer

a. Patogenesis Tuberkulosis Primer (Sudoyo, 2009)

Page 23: Laporan Problem Based Learning 2

b. Patogenesis Tuberkulosis Post-Primer (Sudoyo, 2009)

Page 24: Laporan Problem Based Learning 2

Tuberkulosis primer adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis yang pertama

kali dan menimbulkan gejala. Sedangkan tuberkulosis post-primer atau tuberkulosis

sekunder adalah reinfeksi kuman mikobakterium yang dorman bertahun-tahun dan

muncul sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. Mayoritas reinfeksi

mencapai 90% yang terjadi karena imunitas menurun, seperti malnutrisi, alkohol,

penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca-primer ini

bermula dari sarang primer yang terletak di bagian apikal-posterior lobus superior atau

inferior menginvasi ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru (Sudoyo,

2009).

4. Penegakan Diagnosis

Page 25: Laporan Problem Based Learning 2

Alur penegakan diagnosis

Gambar 2. Alur Penegakan Diagnosis Tb (Depkes RI, 2006)

a. Anamnesis

Keluhan (Alsagaff, 2010) :

1) batuk-batuk lebih dari 3 minggu, batuk darah

2) sesak napas, nyeri dada dan napas berbuyi berlangsung lama

3) demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari

disertai dengan keringatmalam. Kadang demam seperti influenza dan bersifat

Page 26: Laporan Problem Based Learning 2

hilang timbul. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah)

4) Penurunan nafsu makan dan berat badan

5) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

b. Pemeriksaan Fisik

Dengan pemeriksaan fisik dapat diketahui (Alsagaf, 2010).:

1) Lokalisasi proses, karena banyak penyakit paru yang mengambil tempat tertentu

di paru, sehingga pemeriksaan fisik yang baik dan teliti akan sangat berguna.

2) Macam-macam proses seperti lambat atau cepatnya suatu proses penyakit

berlangsung sebab tuberkulosis paru jarang yang akut. Umumnya proses

berlangsung menahun. Pada penyembuhannya terbentuk jaringan fibrotik,

kalsifikasi atau disertai dengan kerusakan jaringan parenkim yang meninggalkan

kavitas.

c. Pemeriksaan penunjang (Alsagaf, 2010)

1) Ditemukan basil tahan asam di dalam dahak penderita atau di dalam cairan

lambung, cairan pleura, dll.

2) Radiologis, sesuai dengan gambaran tuberkulosis paru

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai

dengan indikasi sebagai berikut:

a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB

paru BTA positif. (lihat bagan alur di lampiran 2)

b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). (lihat bagan alur

lampiran 2)

c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,

Page 27: Laporan Problem Based Learning 2

efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis

berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

3) Darah rutin, menunjukkan gambaran proses kronis dan disertai LED yang cukup tinggi

Tuberkulosis (Sudoyo,

2009)

Bronkopneumonia

(Ngastiyah, 2005)

Pneumonia

(Gleadle, 2007)

Gejala:

1. Demam; menyerupai

influenza, kadang

dapat mencapai 40oC,

serangan demam

pertama sembuh

sebentar, lalu muncul

lagi. Keadaan ini

dipengaruhi oleh

imun tubuh pasien

dan berat ringannya

infeksi kuman TB

yang masuk.

2. Batuk/batuk darah;

terjadi karena ada

iritasi pada bronkus,

diperlukan untuk

membuang produk-

produk radang keluar.

Sifat batuk dimulai

dari batuk kering

(non-produktif)

kemudian setelah

timbul peradangan

Gejala:

1. Didahului infeksi

respirasi atas

2. Demam dengan

kejang biasanya

3. Nyeri dada seperti

ditusuk

4. Pernapasan cepat

dan dangkal,

pernapasan cuping

hidung sekitar

hidung dan mulut

5. Adanya bunyi

pernapasan

tambahan seperti

ronki dan

wheezing

6. Anoreksia

7. Malaise

8. Batuk kental,

produktif, sputum

kuning kehijauan

kemudian berkarat

atau kemerahan

Gejala:

1. Batuk produktif

menghasilkan

sputum kadang

darah

2. Sesak nafas

3. Kelelahan

4. Anoreksi

5. Mialgia

6. Demam

7. Menggigil

Page 28: Laporan Problem Based Learning 2

menjadi produktif

(ada sputum). Bisa

selanjutnya batuk

darah karena ada

pembuluh darah yang

pecah.

3. Sesak napas; pada

penyakit yang sudah

lanjut, yang

infiltrasinya sudah

meliputi setengah

bagian paru-paru

4. Nyeri dada; bila

infiltrasi radang

sampai ke pleura,

menyebabkan

pleuritis, terjadi

gesekan saat inspirasi

dan ekspirasi

5. Malaise; penyakit

radang menahun,

sering ditemukan

anoreksia, tidak nafsu

makan, badan makin

kurus, sakit kepala,

nyeri otot, meriang,

keringat malam.

PF:

1. Konjungtiva mata

atau kulit pucat

karena anemia, suhu

PF:

Pemeriksaan penunjang:

1. Ada bercak

infiltrat pada satu

PF:

1. Ada suara

ronki, perkusi

pekak,

Page 29: Laporan Problem Based Learning 2

demam, berat badan

turun

2. Tempat kelainan TB

paru paling dicurigai

adalah apeks paru:

ada infiltrat yang

agak luas, maka ada

perkusi redup dan

suara napas bronkial.

Bisa juga suara nafas

tambahan berupa

ronki basah, kering,

dan nyaring.

Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan

sputum SPS

2. Pemeriksaan

radiologi

atau beberapa

lobus, ada

komplikasi juga

pada pleuritis,

ateletaksis, abses,

pneumotoraks

pada foto rontgen.

2. Sel

polimorfonuklear

juga terlihat.

3. Tes darah – cek

leukositosis

4. Sputum

5. Kultur darah

pernafasan

bronkial,

demam,

takipneu,

takikardi,

sianosis

Page 30: Laporan Problem Based Learning 2

Pada anak kecil, TB dapat di diagnosis dan di scorring dengan tabel di bawah ini

5. Penatalaksanaan

d. Medika mentosa

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut

(Depkes RI, 2006) :

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT

tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT)

lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Page 31: Laporan Problem Based Learning 2

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat

(PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a) Tahap awal (intensif)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan

tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi

tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA

positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh

kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Obat yang digunakan pada terapi tuberkulosis adalah Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

OAT ini terdiri dari dua lini. Lini pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid,

Etambutol, dan Streptomisin. Obat-obatan ini merupakan obat pilihan pertama dalam

terapi tuberkulosis. Lini dua OAT adalah obat-obat pilihan kedua dalam terapi, terdiri dari

Kanamisin, Amikasin, dan Kuinolon. Berikut tabel tentang jenis dan dosis OAT (PDPI, 2006).

Obat Dosis

(Mg/Kg

BB/Hari)

Dosis yg dianjurkan Dosis Maks

(mg)

Dosis (mg) / berat badan

(kg)

Harian

(mg/

kgBB /

hari)

Intermitten

(mg/Kg/BB/kali

)

< 40 40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35   750 1000 1500

E 15-20 15 30   750 1000 1500

Page 32: Laporan Problem Based Learning 2

S 15-18 15 15 1000Sesuai

BB750 1000

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT (PDPI, 2006)

Selain itu, terdapat pula beberapa kategori OAT sesuai dengan masing-masing

kasus OAT. Berikut kategori tersebut (PDPI, 2006).

Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan

I- TB paru BTA +,

BTA - , lesi luas

2 RHZE / 4 RH atau

2 RHZE / 6 HE

*2RHZE / 4R3H3

II- Kambuh

- Gagal pengobatan

-RHZES / 1RHZE / sesuai

hasil uji resistensi atau

2RHZES / 1RHZE / 5 RHE

-3-6 kanamisin, ofloksasin,

etionamid, sikloserin / 15-18

ofloksasin, etionamid,

sikloserin atau 2RHZES /

1RHZE / 5RHE

Bila streptomisin

alergi, dapat

diganti

kanamisin

II- TB paru putus

berobat

Sesuai lama pengobatan

sebelumnya, lama berhenti

minum obat dan keadaan

klinis, bakteriologi dan

radiologi saat ini (lihat

uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE /

5R3H3E3

III -TB paru BTA neg.

lesi minimal

2 RHZE / 4 RH atau

Page 33: Laporan Problem Based Learning 2

6 RHE atau

*2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik

RHZES / sesuai hasil uji

resistensi (minimal OAT yang

sensitif) + obat lini 2

(pengobatan minimal 18

bulan)

IV - MDR TBSesuai uji resistensi + OAT

lini 2 atau H seumur hidup

Tabel 2. Kategori OAT (PDPI, 2006)

Dalam OAT dikenal juga obat kombinasi dosis tepat atau Fixed Dose

Combination (FDC), Kombinasi obat ini terdiri dari tiga atau empat jenis obat dalam

satu tablet. Dalam penggunaan FDC ini, apabila terdapat efek samping serius, harus

segera dirujuk ke rumah sakit atau ke dokter spesialis paru yang mampu

menanganinya (PDPI, 2006).

  Fase intensif Fase lanjutan

    2 bulan   4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu

  RHZE

150/75/400/275

RHZ

150/75/400

RHZ

150/150/500

RH

150/75

RH

150/150

30-37

38-54

55-70

>71

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

2

3

4

5

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis dosis tetap (PDPI, 2006)

Page 34: Laporan Problem Based Learning 2

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)

Harian 3x seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5

(4-6)

10

(8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10

(8-12)

10

(8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

(20-30)

35

(30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15

(12-18)

15

(12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

(15-20)

30

(20-35)

Tabel 4. Jenis, sifat dan dosis OAT (Depkes RI, 2006)

OAT memberikan beberapa efek samping,baik yang dapat ditolerir

ataupun harus segera dilaporkan kepada petugas kesehatan. Berikut efek

samping masing-masing OAT yang perlu diketahui (PDPI, 2006).

a. Isoniazid

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek

samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan

selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek

samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian

OAT dapat dilanjutkan (PDPI, 2006).

b. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan

pengobatan simptomatis adalah: (PDPI, 2006)

1) Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

2) Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-

kadang diare

3) Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Page 35: Laporan Problem Based Learning 2

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi adalah: (PDPI, 2006)

1) Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop

dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

2) Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu

dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan

lagi walaupun gejalanya telah menghilang

3) Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata

dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan

tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka

mengerti dan tidak perlu khawatir.

c. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai

pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)

dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.

Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang

lain (PDPI, 2006).

d. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun

demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang

sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang

diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam

beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan

pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi (PDPI, 2006).

e. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan

dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan

meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.

Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi

Page 36: Laporan Problem Based Learning 2

ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),

pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat

segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan

maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan

keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba

disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara

dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang

mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu

maka dosis dapat dikurangi 0,25gr (PDPI, 2006).

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh

diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin

(PDPI, 2006).

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Depkes RI, 2006)

1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Depkes RI, 2006)

Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 x seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Page 37: Laporan Problem Based Learning 2

2) Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) (Depkes RI, 2006)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 6. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 (Depkes RI, 2006)

Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari

RHZE (150/75/400/275)+S

Tahap Lanjutan

3 x seminggu

RH (150/150)+E(275)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg

Streptomisin inj.

2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

+ 2 tab Etambutol

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg

Streptomisin inj.

3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

+ 3 tab Etambutol

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

+ 1000 mg

Streptomisin inj.

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

+ 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tablet 4KDT

+ 1000 mg

Streptomisin inj.

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

+ 5 tab Etambutol

Catatan (Depkes RI, 2006):

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk

streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

Page 38: Laporan Problem Based Learning 2

Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan

aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

3) OAT Sisipan (HRZE) (Depkes RI, 2006)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1

yang diberikan selama sebulan (28 hari).

6. Prognosis

Sejak ditemukannya obat anti tuberkulosis, prognosis penyakit ini baik, kecuali

penderita yang telah mengalami kekambuhan, atau terjadi penyulit pada organ paru dan

organ lain di dalam rongga dada, maka penderita-penderita banyak yang mengalami kor-

pulmonal. Bila terbentuk kaverne yang cukup besar, kemungkinan batuk darah hebat

dapat terjadi dan keadaan ini sering menimbulkan kematian, walaupun secara tidak

langsung. Untuk diabetes melitus sulit dilakukan regulasi sehingga dapat menyebabkan

penyembuhan penderita TBC menjadi lama, walaupun telah memakai regimen yang

adekuat (Alsagaf, 2010).

7. Screening dan pencegahan

Tergantung pada tingkat risiko penularan dari penderita TB, serta faktor

lingkungan dan tingkat interaksi, keluarga atau anggota rumah tangga, teman dekat dan

rekan sekerja sebaiknya menjalani skrining TB secepat mungkin. Apabila menduga sudah

terlalu dekat dengan orang yang menurut diagnosa meng-idap TB, hubungi Unit

Pengendalian TB terdekat (di mana skriningnya dilakukan secara gratis) pada jam kerja,

atau periksakan diri ke dokter, meskipun merasa sehat (Depkes, 2013).

Skrining dan tindak lanjut untuk orang yang berdekatan dengan pengidap TB antara lain:

a. uji kulit tuberkulin (uji Mantoux)

b. Uji Quantiferon TB-Gold (uji darah)

b. rontgen dada

c. vaksinasi BCG

d. pengobatan infeksi TB laten.

Pencegahan infeksi tuberkulosis meliputi (Alsagaf, 2010) :

a. Terhadap infeksi tuberkulosis

Page 39: Laporan Problem Based Learning 2

1) Pencegahan terhadap sputum yang infeksius

2) Pasteurisasi susu sapi dan membunuh hewan yang terinfeksi oleh

Mikobakterium bovis akan encegah tuberkulosis bovin pada manusia

b. Meningkatkan daya tahan tubuh

1) Memperbaiki standar hidup

a) Makan-makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna

b) Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup

c) Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur

d) Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar

2) Usahakan peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG

c. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti tuberkulsis

Page 40: Laporan Problem Based Learning 2

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H,. dan Mukty, H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga

Unevirsity Press

Amin, Zulkifli., dan Bahar, Asril. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.

Anonim. 2011. Tuberkulosis Paru. Available at : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21492/3/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal 16 Maret 2014).

Arimbi. 2012. Batuk Berdahak. Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Wijaya Kusuma. Downloaded at : https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CC8QFjAB&url=http%3A%2F%2Felib.fk.uwks.ac.id%2Fasset%2Farchieve%2Fmatkul%2FIlmu_Penyakit_Dalam%2FInterna%2Fbatuk-berdahak.pptx&ei=6xQkU526KMf5rAf2i4CABw&usg=AFQjCNHVF0_tMc4NSX45Ys7nDLfvHz3d1g&sig2=Su_Bs3WqI0x-PPvoHXMsKA&bvm=bv.62922401,d.bmk (diakses Rabu, 12 Maret 2014)

Department of Health. 2013. Penyakit Tuberkulosis. Centre for Healthcare Related Infection Surveillance and Prevention & Tuberculosis Control.

Depkes. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi. Jakarta: EGC

Eroschenko, Victor P. 2012. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Page 41: Laporan Problem Based Learning 2

Gleadle, Jonathan. 2007. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga

Werdhani, Retno Asti. 2013. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga FKUI.

Guyton, AC., dan Hall, JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Junqueira, L.C. dan J. Carneiro. 1995. Basic Histology (Histologi Dasar). Terjemahan Adji Dharma. Edisi ketiga. Jakarta : EGC.

National Lung Health Education Program. Hemoptysis. 2000. Diunduh dari http://www.nlhep.org/books/pul_Pre/hemoptysis.html.

Pitoyo CW. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hal.220-1

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis. Available at: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.pdf (diakses pada 9 Maret 2014)

Snell. Richard S. 2006. Anatomi Klinik. Jakarta: EGC.

Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.

Werdhani, Retno Asti. 2013. Patofisiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi dan Keluarga FKUI.

Wibisono, jusuf. 2011. Ilmu Penyakit Paru.Surabaya;DepartemenPenyakit Ilmu Paru FK Unair

Page 42: Laporan Problem Based Learning 2