1 LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA HUBUNGAN KEJADIAN KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK SD SERTA PENGOBATAN KECACINGAN PADA ANAK SD DI DESA JAGAPATI, KOTAMADYA DENPASAR -BALI Dibiayai oleh Dana DIPA PNBP Universitas Udayana Dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian Nomor: 237-22/UN.14/PNL.01.03.00/2014 Tanggal: 14 Mei 2014 TIM PENELITI 1. dr. Desak Putu Yuli Kurniati, M.KM (0023078301) 2. dr. Ni Wayan Septarini, MPH (0029098010) 3. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra (0004048104) PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
LAPORAN PENELITIAN
DOSEN MUDA
HUBUNGAN KEJADIAN KECACINGAN DENGAN STATUS GIZI ANAK
SD SERTA PENGOBATAN KECACINGAN PADA ANAK SD DI DESA
JAGAPATI, KOTAMADYA DENPASAR -BALI
Dibiayai oleh Dana DIPA PNBP Universitas Udayana
Dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian
Nomor: 237-22/UN.14/PNL.01.03.00/2014
Tanggal: 14 Mei 2014
TIM PENELITI
1. dr. Desak Putu Yuli Kurniati, M.KM (0023078301)
2. dr. Ni Wayan Septarini, MPH (0029098010)
3. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra (0004048104)
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
2
b. Halaman Pengesahan
HALAMAN PENGESAHAN
PENELITIAN DOSEN MUDA
Judul Penelitian: Hubungan kejadian kecacingan dengan status gizi serta
pengobatan kecacingan pada anak SD di Desa Jagapati, Kotamadya Denpasar, Bali
Bidang Ilmu: Ilmu Gizi dan Epidemiologi
Ketua Peneliti
a. Nama lengkap dengan gelar : dr. Desak Putu Yuli Kurniati, MKM
b. Pangkat/Gol/NIP: Penata Muda Tingkat I/IIIb/19830723 200801 2 007
c. Jabatan Fungsional/Struktural : Asisten ahli
d. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)
e. Program Studi/Jurusan : Kesehatan masyarakat
f. Fakultas : Kedokteran
g. Alamat Rumah/HP : Jl. Tukad Pancoran/081290802144
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 6
BAB II. STUDI PUSTAKA....................................................................................10
BAB III. METODE PENELITIAN .........................................................................18
BAB IV. HASIL PENELITIAN..............................................................................21
BAB V. PEMBAHASAN PENELITIAN .............................................................26
BAB VI. KESIMPULAN........................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN DAN GAMBAR
5
ABSTRAK
Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dandisembuhkan. Kecacingan dengan prevalensi tertinggi ditemukan pada anak-anak.Kecacingan bila tidak terdeteksi dan tidak segera diobati dapat mengakibatkanpenderita kekurangan gizi. Jagapati merupakan desa dengan letak geografis didataran tinggi yang beriklim sejuk yang merupakan media tanah yang cocok bagiperkembangan cacing usus STH (soil transmited helminthelminthes). Tujuanpenelitian ini adalah mengetahui prevalensi kecacingan serta hubungan kecacingandengan status gizi pada anak SD di Desa Jagapati serta pengobatan bagi anak yangterbukti terinfeksi.
Penelitian ini menggunakan studi cross sectional. Sampel dalam penelitian iniadalah siswa SDN 1 dan SDN 2 Jagapati kelas 3 dan 4. Pemilihan sampelmenggunakan simple random sampling dengan total sampel sebanyak 61 orang.Pengumpulan data dilakukan pada waktu kunjungan ke sekolah dengan carapemeriksaan feses, pengukuran berat badan, dan tinggi badan. Penelitian akandilaksanakan selama kurang lebih 5 bulan.
Dari hasil didapatkan perhitungan prevalensi kecacingan pada anak sekolahdasar di SD Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati sebesar 3,3% atau sebanyak2 orang, dengan distribusi prevalensi pada masing-masing jenis cacing untuk sampelpositif kecacingan didapatkan bahwa infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)dan Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) memiliki proporsi yang sama masing-masing sebesar 1,6%, dan untuk infeksi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenaledan Necator americanus) seluruh sampel dinyatakan negatif, sehingga prevalensiuntuk cacing tambang 0%.. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan status gizi,sebagian besar anak SD di Desa Jagapati mempunyai status gizi normal berdasarkanIMT/unur dan jenis kelamin. Penelitian ini tidak mendapatkan hubungan antarastatus gizi dengan infestatsi kecacingan, dimana mereka yang mederita kecacinganberada pada status gizi normal.
Jika dilihat dari perspektif Ilmu Kesehatan Masyarakat, penelitian inimenunjukkan kemajuan yang signifikan jika dibandingkan dengan penelitiansebelumnya yang dilakukan di daerah Bali dengan hasil positif kecacingan yangrendah yaitu sebesar 3,3%.
6
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh terjadinya infeksi
cacing, namun penyakit kecacingan sendiri kurang mendapat perhatian karena masih
dianggap dianggap sebagai penyakit yang tidak menimbulkan wabah maupun
kematian.
Data dari profil PPM-PL Dinas Kesehatan RI tahun 2006 menyatakan bahwa di
Indonesia, infeksi kecacingan memiliki prevalensi cukup tinggi. Dalam keputusan
Kementrian Kesehatan Indonesia Nomor : 424/MENKES/SK/VI/2006, pada
Deklarasi yang dilakukan di Bali menjelaskan bahwa program pemberantasan
cacingan menghasilkan perbaikan besar baik bagi kesehatan perorangan maupun
kesehatan masyarakat. Setiap negara berkembang harus memberikan perhatian yang
tinggi terhadap program pemberantasan penyakit cacingan (Kemenkes RI, 2006).
Penyakit kecacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,
kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak
menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein
serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Prevalensi kecacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit
penyakit ini serta pada anak-anak.
Sumber daya manusia yang produktif amat ditentukan oleh kualitas sumber
daya usia muda, khususnya pada usia sekolah dasar. Salah satu penyakit yang banyak
diderita oleh anak sekolah dasar (SD) adalah penyakit infeksi kecacingan (Umar,
2008). Tingginya angka kecacingan tersebut pada usia anak sekolah dikarenakan
mereka sering bermain atau kontak dengan tanah yang merupakan tempat tumbuh
dan berkembangnya cacing-cacing perut.
7
Pemantaun secara terus menerus (1987-1994) pada kelompok anak usia sekolah
dasar di Jakarta menunjukkan tingginya prevalensi cacingan pada kelompok ini, yang
rata-ratanya mencapai 60-70% (Sri Margono dkk, Sasongko, 1994). Selain itu dalam
Kepmenkes RI(2006) hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi
pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk
semua umur berkisar antara 40% - 60% dari 220.000.000 jumlah penduduk. Hasil
survei subdit diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi meunjukkan
prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2%-96,3%.
Status gizi anak merupakan salah satu hal terpenting untuk perkembangan
dan pertumbuhan anak yang secara tidak langsung akan mempengaruhi prestasi anak.
Status gizi anak dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya genetik, asupan
makanan, pola makan, aktifitas fisik, serta adanya penyakit infeksi. Salah satu
penyakit infeksi yang mempengaruhi status gizi adalah kecacingan. Kecacingan
secara kronik akan menyebabkan kekurangan karbohidrat, protein serta kehilangan
darah yang secara tidak langsung akan meurunkan produktivitas. Kecacingan pada
anak juga akan menurunkan daya tahan tubuh mereka sehingga mudah terserang
penyakit lain. Kecacingan pada anak sekolah dasar akan menghambat mereka dalam
mengikuti pelajar prestasi dan bekarena anak menjadi cepat lelah, mengantuk,
capek, malas belajar dan pusing.
Pemerikasaan infeksi kecacingan pada anak SD sehingga upaya pencegahan
sekunder termasuk pengobatan akan dapat segera dilakukan. Pengobatan awal dan
pencegahan sekunder telah terbukti menjadikan status gizi anak lebih baik karena
fungsi pencernaan dan penyerapan makanan mereka lebih baik serta asupan nutrisi
menjadi terserap dengan optimal. Dengan terserapnya nutrisi secara optimal,
kemampuan anak untuk beronsentrasi juga akan bertambah baik. Dalam kutipan
yang diperoleh dari penelitian (Palgunadi, 2010), secara epidemiologi Infeksi oleh
nematode usus biasanya berkaitan dengan jeleknya hygiene. Infeksi ini selalu ada
terutama di daerah tropis dan subtropis. Serangan cacing dalam jumlah sedikit
biasanya asimptomatis tetapi infeksi yang berat dapat menimbulkan masalah yang
serius terutama pada anak – anak yang biasanya diikuti oleh terhambatnya
perkembangan anak. ( Greenwood D, 2007 ; Brooks GF,2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kapti dkk di daerah Bali
selama kurun waktu 2003-2007, diperoleh prevalensi infeksi cacing usus pada anak
8
SD di daerah Bali tergolong tinggi yaitu berkisar antara 40,94%- 92,4%. Selain itu
dari hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asri Damayanti tahun 2009, di
Sekolah Dasar No. 1Desa Luwus dari pemeriksaan tinja yang dilakukan terhadap 140
orang siswa/i, ditemukan sebanyak 54 orang atau sebesar 38,57% yang terinfeksi
kecacingan. Tingginya angka kecacingan ini juga didukung dari kutipan pernyataan
Ketua Pengurus Harian PKBI Bali dr. Mangku Karmaya yang mengatakan; “jumlah
penderita cacing pada anak-anak SD masih cukup tinggi” (Bali Post : 28 Desember
2004).
Menurut Kapti (2004) tingginya prevalensi infeksi cacing pada anak-anak SD
disebabkan kurangnya pengetahuan anak dan orangtua terhadap penyakit ini. Pada
penelitian Bakta (1995) di Desa Jagapati Bali menemukan bahwa intensitas infeksi
cacingan juga dipengaruhi oleh kebiasaan tidak memakai alas kaki, sehingga hal ini
memungkinkan terjadinya penularan cacing perut yang ditularkan melalui tanah (soil
transmitted helminths). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asri Damayanti
(2009) dikatakan dapat terjadi re-infeksi kecacingan,oleh sebab itu peneliti ingin
melanjutkan penelitian dari Bakta untuk melihat prevalensi kecacingan pada anak SD
di Desa Jagapati tahun 2014. Dengan letak geografis Desa yang berada di dataran
tinggi yang beriklim sejuk yang merupakan media tanah yang cocok bagi
perkembangan cacing usus STH.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam pendahuluan diatas dapat dirumuskan masalah:
1. Seberapa besar prevalensi kecacingan pada anak SD di Desa Jagapati,
Kotamadya Denpasar
2. Bagaimana status gizi (IMT/U) anak SD di Desa Jagapati, Kotamadya Denpasar
3. Bagaimana hubungan antara kejadian kecacingan dengan status gizi (IMT/U)
pada anak SD di Desa Jagapati, Kotamadya Denpasar
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kecacingan dan
hubungannya dengan status gizi (IMT/U) pada anak SD kejadian kecacingan pada
9
anak SD di Desa Jagapati pada tahun 2014 serta pemberian pengobatan bagi yang
ditemukan menderita kecacingan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui prevalensi Cacing Gelang (Ascaris Lumbricoides) pada anak
SD di Desa Jagapati pada tahun 2014
2. Untuk mengetahui prevalensi Cacing Cambuk (Trichuris Trichura) pada anak
SD di Desa Jagapati pada tahun 2014.
3. Untuk mengetahui prevalensi Cacing Tambang (Ancylostoma Duodenale &
Necator Americanus) pada anak SD di Desa Jagapati pada tahun 2014.
4. Untuk mengetahui prevalensi kecacingan secara keseluruhan pada anak SD di
Desa Jagapati pada tahun 2014.
5. Untuk mengetahui status gizi (IMT/U) anak SD di Desa Jagapati pada tahun
2014.
6. Untuk mengetahui hubungan kejadian kecacingan dengan status gizi anak SD di
Desa Jagapati pada tahun 2014.
7. Untuk memberikan pengobatan bagi anak SD yang positif kecacingan
1.4 Manfaat / Urgensi / Keutamaan Penelitian
1. Sebagai masukan untuk instansi kesehatan yang berwenang dalam hal ini
Puskemas dan Dinas Kesehatan Kotamadya Denpasar dalam melakukan
monitoring dan evaluasi program P2PL, khususnya untuk pemegang program
P2B2 Kecacingan.
2. Sebagai bantuan data dan tambahan informasi untuk Puskesmas dalam
monitoring dan evaluasi program P2B2 Kecacingan.
3. Sebagai dasar untuk mengembangkan program promosi kesehatan yang tepat
sasaran dan materi terutama kepada anak SD dan keluarganya tentang
kecacingan
10
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1 Prevalensi Kecacingan
Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu penyakit
atau kondisi pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah kasus yang
ada dengan kondisi pada waktu tertentu dan penyebutnya adalah populasi total
(Dorland, 2002). Prevalensi kecacingan merupakan jumlah populasi yang menderita
kecacingan.
Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih
banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected
diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang
tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan
banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti
kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan
pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian (Sudomo, 2008).
Penyakit kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus,
sebagian besar penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu
digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil-
Transmitted Helminths. Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth
adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides,Trichuris trichiura dan Cacing tambang
(Ancylostomaduodenale dan Necator americanus). (Palgunadi, 2010).
Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),
yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing
perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted
helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
dan cacing cambuk (Trichuris trichiura).Jenis-jenis cacing tersebut banyak
ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia.Pada umumnya telur cacing bertahan
pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk
ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya.
11
Gejala penyakit Cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan
penyakit-penyakit lain. Anak yang menderita Cacingan biasanya lesu, tidak
bergairah, konsentrasi belajar kurang.
2.2 Species Cacing yang akan Diteliti
2.2.1 Cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
Pada stadium dewasa cacing ini hidup di rongga usus halus, cacing betina
dapat bertelur sampai 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi
dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif
ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke
jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah,
lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea
melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu
menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan
waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa
(Gandahusada, 1998).
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-
kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan
berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat
terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila
cacing mengumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus
obstructive) (Effendy, 1997).
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis perutnya nampak buncit (karena
jumlah cacing dan kembung perut); biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit
mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang.
Hal ini sering bukan dianggap masalah karena anak masih dapat berjalan dan
sekolah.
Karena gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk
membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam
12
tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
beratnya infeksi (dengan cara menghitung telur).
Secara Epidemiologi telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat
yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif.
Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama
makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah
dengan telur cacing).
2.2.2 Cacing cambuk (Trichuris trichura)
Cacing cambuk atau yang sering disebut cacing kremi dewasa hidup di kolon
asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing
betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang
dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan
infektif) dalam waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara
infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah
menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan
sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan
siap bertelur sekitar 30 – 90 hari.
Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan
rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus
akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya
ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan.
Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan
anemia.
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis
yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk yang
berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri,
anemia, dan berat badan menurun. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering
disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan
menemukan telur di dalam tinja.
13
Secara Epidemiologi penyebaran penyakit ini adalah terkontaminasinya tanah
dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Telur tumbuh dalam tanah liat,
lembab dan tanah dengan suhu optimal + 30oC. Infeksi cacing cambuk terjadi bila
telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pemilihan
obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :
a. Mudah diterima di masyarakat.
b. Mempunyai efek samping yang minimum.
c. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.
d. Harganya murah (terjangkau).
Obat cacing kini telah tersedia dalam dosis sekali minum yang sangat praktis trutama
bagi anak-anak yang susah minum obat. Obat tersebut dapat melindungi anak dari
18
kecacingan slama kurang lebih 6 bulan (Kemenkes RI, 2006). Pemberian obat cacing
hendaknya selektif didasarkan atas ditemukannya cacing atau telur cacing pada feses
anak dan tidak diberikan rutin selama 6 bulan walaupun efek sampingnya ringan
(Winita dkk, 2012)
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi cross sectional untuk mempelajari hubungan antara
kejadian kecacingan dengan status gizi anak SD di Desa Jagapati, Kotamadya
Denpasar.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kotamadya Denpasar, Provinsi Bali, tepatnya di 2
(dua) SD Desa Jagapati. SD tersebut adalah SDN 1 Jagapati dan SDN 2 Jagapati.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
a) Populasi.
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah siswa kelas 3, 4, dan 5 yang
terdapat di SDN 1 Jagapati dan SDN 2 Jagapati pada tahun ajaran 2013/2014.
b) Sampel
Responden dari penelitian ini adalah siswa/i SD yang terpilih berdasarkan
teknik sampling yang digunakan yaitu simpel random sampling. Besar sampel
dihitung dengan cara :
n = (Z1-α)2 x px(1-p)d2
n = 1,96 x 38,57% x (1-38,57%)(0,1)2
n = 1,96 x 38,57% x (1-38,57%)0,01
n = 3,8416 x 0,3857 x 0,6143
19
0,01n = 91,02
nK= 91,021 + 91,02
183nK= 91,02
1 + 0,49737705
nK= 91,021,49737705
= 60,7862929
nk= 61
Jadi besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini sejumlah 61 orang siswa yang
akan dipilih secara acak dengan teknik simpel random sampling berdasarkan
sampling frame yang berupa absen siswa kelas tersebut.
3.4 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan kurang lebih selama 5 bulan (Bulan April-Agustus
2014)
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Adapun variabel dan definisi operasional variabel dalam penelitian ini disajikan
dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Variabel dan definisi operasional variabel
Variabel Definisi
operasional
Alat ukur Skala
pengukuran
Skala dalam
analisis
Kejadian
kecacingan
Sampel yang
dalam fesesnya
terdapat cacing
atau telur
cacing
Spesimen
(feses)
Nominal 0 : Positif
1: Negatif
Umur Ulang tahun
terakhir dari
Kuesioner Interval
20
sampel
Jenis kelamin Sudah jelas - Nominal 0: laki-laki
1:perempuan
Berat badan Berat anak saat
penelitian
(dalam kg)
Timbangan Ratio
Tinggi Badan Tinggi anak
saat penelitian
(dalam meter)
Microtois Ratio
Indeks massa
tubuh
BB/TB2 Ratio
Status gizi Keadaan gizi
anak yang
didapat dengan
IMT
Perhitungan Nominal 0: Kurus
1: Normal
2. Gemuk
21
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden Penelitian
Anak sekolah yang menjadi respondendalam penelitian berasal dari 2
sekolah berbeda, yaitu SD Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati.
Responden dalam penelitian ini adalah anak kelas 3, 4, dan 5 yang berstatus
sebagai pelajar sekolah dasar di SD Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati
pada tahun ajaran 2013-2014.
Enam puluh satu orang responden terpilih sebagai sampel dalam penelitian
ini yang terdiri atas responden yang berasal dari SD Negeri 1 Jagapati, sejumlah
31 orang, dengan distribusi responden pada masing-masing kelas sejumlah 10
orang, namun ada 1 kelas dengan jumlah 11 orang dan responden yang berasal
dari SD Negeri 2 Jagapati, sejumlah 30 orang dengan distribusi masing-masing
10 orang pada masing-masing kelas. Anak kelas 3, 4, dan 5 dipilih karena sudah
dianggap mampu menerima informasi dan instruksi yang diberikan oleh peneliti
dengan tepat.
Dalam pelaksanaan penelitian, setiap responden diobservasi secara
langsung dengan mendampingi masing-masing responden pada saat menjawab
pertanyaan kuesioner terstruktur untuk mengetahui karakteristik social
demografinya. Kemudian diikuti dengan pengukuran berat badan dan tinggi
badan masing masing responden/sampel. Setelah dilakukan perkenalan dan
observasi, responden diinstruksikan untuk mengumpulkan spesimen berupa
feses tepat keesokan hari setelah dilakukan perkenalan dan observasi. Sebelum
pot tinja dibagikan, peneliti memberikan surat pemberitahuan penelitian kepada
22
orang tua yang disampaikan dengan perantara siswa/siswi yang terpilih sebagai
responden dalam penelitian. Setelah itu responden dibagikan pot tinja yang telah
diberi kode sesuai dengan Nomor Induk Siswa (NIS), pot tersebut diisi dengan
tinjanya sendiri dan dikumpulkan tepat pada keesokan harinya. Peneliti
menjelaskan cara pengambilan spesimen dengan memberikan contoh peragaan
didepan kelas mengenai cara pengambilan feses, selain itu peneliti juga
menjelaskan jumlah tinja yang dimasukkan ke dalam pot sekitar 100 mg (sebesar
kelereng atau ibu jari tangan). Spesimen harus dibawa tepat keesokan harinya
setelah responden melakukan Buang Air Besar (BAB) dengan memasukkan pot
kedalam kantung plastik yang telah disediakan oleh peneliti.
Karakteristik Responden Berdasarkan Asal Sekolah, Jenjang Kelas, Jenis
Kelamin, dan Umur
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Variabel Frekuensi %
Asal Sekolah SD Negeri 1 Jagapati 31 50,8%
SD Negeri 2 Jagapati 30 49,2%
Jenjang Kelas 3 20 32.8%
4 20 32.8%
5 21 34.4%
Jenis Kelamin Perempuan 32 52,5%
Laki-laki 29 47,5%
Umur 8 7 11,5%
9 21 34,4%
10 13 21,3%
11 17 27,9%
12 3 4,9%
Total 61 100%
23
Karakteristik subyek penelitian berdasarkan asal sekolah terdiri dari SD Negeri
1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati dengan jumlah siswa yang menjadi responden
pada SD Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati hampir sama, dapat dilihat dari
persentase masing-masing SD yang tidak jauh berbeda. Jika dilihat berdasarkan
jenjang kelas, dapat diketahui distribusi frekuensi untuk kedua sekolah pada masing-
masing kelas sejumlah 10 orang, dimana jika dijumlahkan pada kedua sekolah maka
akan berjumlah 20 orang pada masing-masing kelas. Untuk responden yang berada
pada kelas 5, terdapat perbedaan jumlah responden dari kelas lain sejumlaah 1 orang,
dikarenakan total responden dalam penelitian ini sejumlah 61 orang. Siswa kelas 5
yang memiliki 11 responden adalah siswa kelas 5 yang berada pada SD Negeri 1
Jagapati. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, dapat diketahui bahwa persentase
antara responden laki-laki dan perempuan hampir sama. Dan jika dilihat karakteristik
responden berdasarkan umur, dapat diketahui umur dari siswa kelas tiga sampai
kelas lima diantara 7 sampai 12 tahun. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa sebagian
besar responden berumur 9 tahun yaitu sebesar 34,4%.
4.2 Prevalensi Kecacingan
Prevalensi kecacingan adalah seluruh kejadian positif kecacingan yang
menginfeksi sampel setelah dilakukan uji laboratorium terhadap specimen berupa
feses yang telah dikumpulkan dalam waktu penelitian.
Berikut merupakan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap keseluruhan
infeksi kecacingan yang terjadi :
24
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium untuk Seluruh Cacing
Hasil Pemeriksaan Seluruh Cacing Frekuensi %
Positif 2 3,3%
Negatif 59 96,7%
Total 61 100%
Berdasarkan data dari tabel diatas ditemukan sebanyak 3,3% atau 2 orang yang
dinyatakan positif kecacingan dari keseluruhan sampel yang berjumlah 61 orang
yang telah diuji pada laboratorium. Jadi prevalensi kecacingan pada anak sekolah
dasar di SD Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati sebesar 3,3% atau sebanyak
2 orang. Dimana didapatkan satu orang menderita cacing gelang, sedangkan seorang
lagi di fesesnya terdapat telur cacing cambuk. Tidak satupun yang didapatkan
menderita cacing tambang. Kedua penderita berjenis kelamin laki-laki serta berumur
9 dan 12 tahun.
4.3 Status Gizi (IMT)
Status gizi pada sampel didasarkan pada indeks masa tubuh (IMT), dimana IMT
merupakan hasil dari perhitungan antara BB dan TB dengan formula :
IMT = BB(kg)
TB(m)2
Setelah di dapatkan hasil IMT kemudian dickategorikan menjadi kurus, normal dan
gemuk didasarkan pada IMT, jenis kelamin dan umurnya sesuai tabel WHO 2007.
Hasil perhitungan status gizi berdasarkan IMT/umur tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
25
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan IMT pada Sampel
Kategori IMT Frekuensi %
Kurus 2 3,3%
Normal
Gemuk
53
6
86,9%
9,8
Total 61 100%
Dari table diatas dapat dilihat hanya sebagian kecil dari sampel yang tergolong kurus
berdasarkan IMT dan umur. Sebagian besar responden mempunyai status gizi
normal.
4.4 Hubungan Prevalensi Kecacingan dengan Status Gizi (IMT)
Tabel 4.4 Hubungan antara Kejadian Kecacingan dengan Status Gizi
Status GIzi Positif Negatif Total
Kurus 0 (0%) 2 (100%) 2 (100%)
Normal
Gemuk
2 (3,8%)
0(0%)
51 (96,2%)
6 (100%)
53 (100%)
6 (100%)
Total 2 (3,3%) 59 (96,7%) 61 (100%)
Dari tabel 4.4 diatas, dapat dilihat bahwa kedua siswa yang menderita kecacingan
mempunyai status gizi yang tergolong normal. Analisis lanjutan tidak dapat
dilakukan lagi mengingat lebih dari 1 sel mempunyai nilai nol (0).
26
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Prevalensi Kecacingan pada Anak SD di Desa Jagapati
Prevalensi adalah jumlah orang dalam populasi yang menderita suatu
penyakit atau kondisi pada waktu tertentu; pembilang dari angka ini adalah jumlah
kasus yang ada dengan kondisi pada waktu tertentu dan penyebutnya adalah
populasi total (Dorland, 2002). Jadi prevalensi kecacingan merupakan jumlah
populasi yang menderita kecacingan.
Pada penelitian ini perhitungan terhadap prevalensi kecacingan dilakukan
dengan melakukan uji laboratorium terhadap spesimen pada Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.
Sampel dalam penelitian ini adalah anak kelas 3,4, dan 5 yang berstatus
sebagai pelajar sekolah dasar pada tahun ajaran 2013-2014 yang berjumlah 61
orang, dengan jumlah masing-masing berdasarkan asal sekolah responden yaitu
responden yang berasal dari SD Negeri 1 Jagapati, sejumlah 31 orang, dengan
distribusi responden pada masing-masing kelas sejumlah 10 orang, namun ada 1
kelas dengan jumlah 11 orang dan responden yang berasal dari SD Negeri 2 Jagapati,
sejumlah 30 orang dengan distribusi masing-masing 10 orang pada masing-masing
kelas. Anak kelas 3, 4, dan 5 dipilih karena sudah dianggap mampu menerima
informasi dan instruksi yang diberikan oleh peneliti dengan tepat dalam hal
pengambilan/pengumpulan feses.
Jumlah siswa yang dijadikan sampel pada masing-masing SD tidak jauh
berbeda, yaitu sebanyak 50,8% merupakan siswa dari SD Negeri 1 Jagapati
sedangkan sebanyak 49,2% merupakan siswa dari SD Negeri 2 Jagapati. Dalam
27
perhitungan statistik berdasarkan jenjang kelas, dapat diketahui distribusi frekuensi
untuk kedua sekolah pada masing-masing kelas sejumlah 10 orang, dimana jika
dijumlahkan pada kedua sekolah maka akan berjumlah 20 orang pada masing-masing
kelas. Untuk responden yang berada pada kelas 5, terdapat perbedaan jumlah
responden dari kelas lain sejumlah 1 orang, dikarenakan total responden dalam
penelitian ini sejumlah 61 orang. Siswa kelas 5 yang memiliki 11 responden adalah
siswa kelas 5 yang berada pada SD Negeri 1 Jagapati. Jika dilihat distribusi
responden berdasarkan jenis kelamin maka didapat sampel dengan jenis kelamin
perempuan sebanyak 52,2%, sedangkan responden dengan jenis kelamin laki-laki
sebanyak 47,5%, hal ini menunjukkan persentase antara responden laki-laki dan
perempuan tidak jauh berbeda. Selain itu jika dilihat karakteristik responden
berdasarkan rentang umur dari siswa kelas tiga sampai kelas lima diantara 7 sampai
12 tahun, dari hasil perhitungan statistik diketahui bahwa sebagian besar responden
berumur 9 tahun yaitu sebanyak 34,4%.
Gejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan
penyakit-penyakit lain, namun pada anak yang menderita cacingan biasanya lesu,
tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang. Berdasarkan hasil laboratorium
dalam penelitian ini menunjukkan kejadian kecacingan sebesar 3,3% responden yang
dinyatakan positif kecacingan sedangkan sebesar 96,7% dinyatakan negatif
kecacingan, dengan perhitungan jumlah sampel positif kecacingan dibagi dengan
jumlah keseluruhan sampel maka didapat prevalensi kecacingan sebesar 3,3% atau
sebanyak 2 orang dari total 61 responden. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kapti dkk di daerah Bali selama kurun waktu 2003-2007, yang
menyatakan prevalensi infeksi cacing usus pada anak SD di daerah Bali tergolong
tinggi yaitu berkisar antara 40,94%- 92,4%. Namun penelitian ini sejalan dengan
28
penelitian Wandira yang dilakukan di kota Manado pada tahun 2013, yang
menyatakan dari 60 responden hanya 1 atau sebesar 1,7% responden yang positif
terinfeksi kecacingan.
Penyakit kecacingan pada usus manusia sering disebut sebagai cacing usus,
sebagian besar penularan cacing usus ini terjadi melalui tanah. Oleh karena itu
digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil-
Transmitted Helminths. Yang termasuk dalam kelompok Soil-Transmitted Helminth
adalah nematoda usus Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides), Cacing Cambuk
(Trichuris trichiura), dan Cacing Tambang (Ancylostomaduodenale dan Necator
americanus). (Palgunadi, 2010)
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel positif kecacingan didapatkan
bahwa infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing Cambuk (Trichuris
trichiura) memiliki proporsi yang sama masing-masing sebesar 1,6%, dan untuk
infeksi Cacing Tambang (Ancylostomaduodenale dan Necator americanus) seluruh
sampel dinyatakan negatif, sehingga prevalensinya 0%. Namun dalam penelitian
Friscasari, dkk yang dilakukan pada murid sekolah dasar di Desa Teling Kecamatan
Tombariri Kabupaten Minahasa pada tahun 2011, menunjukkan prevalensi Cacing
Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing Tambang (Ancylostomaduodenale dan
Necator americanus) dengan proporsi yang sama masing-masing sebesar 36,4%,
sedangkan prevalensi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) sebesar 9,0%. Dari kedua
hasil perhitungan diatas tentunya dapat dilihat perbedaan prevalensi kejadian
kecacingan untuk masing-masing jenis cacing yang diteliti, dimana persentase
prevalensi kecacingan pada masing-masing jenis cacing lebih besar dalam penelitian
yang telah dilakukan oleh Friscasari. Untuk gangguan yang disebabkan oleh cacing
dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan
29
seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada anak-anak yang
menderita Ascariasis perutnya nampak buncit (karena jumlah cacing dan kembung
perut); biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti
batuk pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang. Hal ini sering bukan
dianggap masalah karena anak masih dapat berjalan dan sekolah. (Palgunadi 2010).
Sedangkan untuk infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing
cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti
diare, disenteri, anemia, dan berat badan menurun. Infeksi cacing cambuk yang berat
juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat
dengan menemukan telur di dalam tinja. (Palgunadi 2010). Sehingga untuk
mencegah risiko terjadinya infeksi berat, maka harus segera dilakukan pengobatan
bagi responden yang mengalami positif kecacingan.
5.2 Prevalensi Kecacingan Berdasarkan Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini karakteristik responden dapat dipaparkan kedalam 3
kelompok yaitu berdasarkan jenis kelamin, asal sekolah dan umur.
Dalam penelitian ini seluruh populasi target memiliki kesempatan yang sama
untuk terpilih menjadi responden, sehingga tidak ada pengaruh jenis kelamin
terhadap pemilihan responden. Dalam penelitian ini jenis kelamin dikodekan dengan
“0” untuk perempuan sedangkan “1” untuk laki-laki. Berdasarkan perhitungan
statistik jika dilihat dari hasil pemeriksaan Laboratorium terhadap jenis kelamin
dengan kejadian kecacingan, bahwa seluruh responden yang dinyatakan positif
kecacingan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan untuk responden perempuan
seluruhnya dinyatakan negatif kecacingan.
30
Rentang umur untuk siswa kelas 3 sampai kelas 5 diantara 7 sampai 12 tahun,
dan diketahui bahwa sebagian besar responden berusia 9 tahun yaitu sebanyak
34,4%. Prevalensi kecacingan pada sampel hanya 3.3% (hanya 2 orang yang positif
menderita kecacingan) berdasarkan hasil pemeriksaan feses. Untuk hasil
pemeriksaan laboratorium terhadap variabel umur dengan kejadian kecacingan
didapat proporsi yang sama pada umur 9 dan 12 tahun, masing-masing 1 orang atau
sebesar 50%.
31
5.3 Hubungan Status gizi berdasarkan IMT/Umur dengan Prevalensi
Kecacingan
Berdasarkan hasil perhitungan IMT serta dengan mencocokkan terhadap tabel
WHO tentang status gizi anak berumur 6-12 tahun berdasarkan IMT, umur dan jenis
kelamin didapatkan murid-murid SD di Jagapati ini sebagian besar mempunyai
status gizi normal. Status gizi yang normal dicapai karena kecukupan asupan
makanan terutama makronutrien (karbohidrat, protein dan lemak) pada anak-anak
ini. Hanya sebagian kecil saja yang kurus (hanya 3.3%) serta 6 orang saja yang
tergolong gemuk (9.8%). Disini terlihat anak yang gemuk lebih banyak daripada
anak yang kurus. Hal ini kemungkinan adanya faktor gaya hidup dan jenis makanan
yang dikonsumsi anak-anak lebih banyak mengandung gula dan lemak, sehingga
risiko obesitas meningkat.
32
Jika diluhat hubungan antara status gizi tersebut dengan infeksi kecacingan
pada anak SD di Jagapati ini, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara status
gizi tersebut dengan infeksi kecacingan. Hal ini dapat dilihat dari analisis bivariate
antara status gizi tersebut dengan infeksi kecacingan. Seharusnya mereka yang
terinfeksi kecacingan mempunyai status gizi yang lebih rendah (dalam hal ini adalah
kurus) dibanding teman-teman mereka yang tidak menderita kecacingan. Namun
hasil analisis mendapatkan mereka yang positif kecacingan mempunyai status gizi
yang normal. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa kemungkinan, diantaranya,
pertama, kemungkinan anak yang terinfeksi kecacingan tersebut sebelumnya
tergolong anak yang mempunyai gizi lebih, sehingga setelah beberapa lama,
kemungkinan status gizinya menjadi normal akibat infestasi cacing ini. Hal ini hanya
dapat dibuktikan dengan adanya pemantauan regular/rutin terhadap berat badan
anak-anak tersebut, sehingga dapat dilihat peningkatan/penurunan berat badan yang
terjadi. Kedua, infestasi cacing yang dialami tidak terlalu parah/banyak, sehingga
cacing-caing tersebut tidak/belum sampai mengganggu metabolisme dan penyerapan
gizi pada anak-anak tersebut sehingga status gizinya tetap normal. Namun jika hal
tersebut tetap dibiarkan/tidak diberi pengobatan, maka kemungkinan besar
metabolism dan penyerapan zat gizi anak tersebut akan terganggu.
5.4 Pengobatan Kecacingan
Setelah mengetahui anak-anak yang menderita kecacingan, anak-anak tersebut
diberikan pengobatan berupa tablet Albendazole yang merupakan obat pilihan bagi
penderita cacing gelang dan cacing cambuk. Beberapa bulan terakhir puskesmas juga
memberikan pengobatan massal kecacingan pada anak-anak SD di Jagapati. Hal ini
tentunya untuk mencegah terjadinya infeksi kecacingan ini diantara anak SD.
33
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan perhitungan prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di SD
Negeri 1 Jagapati dan SD Negeri 2 Jagapati sebesar 3,3% atau sebanyak 2 orang,
dengan distribusi prevalensi pada masing-masing jenis cacing untuk sampel positif
kecacingan didapatkan bahwa infeksi Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan
Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) memiliki proporsi yang sama masing-masing
sebesar 1,6%, dan untuk infeksi Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) seluruh sampel dinyatakan negatif, sehingga prevalensi untuk
cacing tambang 0%.
Berdasarkan hasil perhitungan status gizi, sebagian besar anak SD di Desa
Jagapati mempunyai status gizi normal berdasarkan IMT/unur dan jenis kelamin.
Penelitian ini tidak mendapatkan hubungan antara status gizi dengan infestatsi
kecacingan, dimana mereka yang mederita kecacingan berada pada status gizi
normal.
Namun jika dilihat dari perspektif Ilmu Kesehatan Masyarakat, penelitian ini
menunjukkan kemajuan yang signifikan jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan di daerah Bali dengan hasil positif kecacingan yang
rendah yaitu sebesar 3,3%.
34
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan, antara lain :
1. Instansi pemerintah
Adanya peningkatan kerjasama antara Dinas kesehatan dengan Puskesmas
untuk melakukan pemeriksaan berkala, untuk memonitoring terjadinya infeksi
baru atau re-infeksi kecacingan. Walaupun tingkat kecacingan rendah, namun ada
kemungkinan terjadinya penularan. Termasuk juga pemantauan status gizi pada
anak SD untuk memonitor peningkatan dan penurunannya sehingga dapat diambil
tindakan pencegahan yang sesuai.
2. Masyarakat
Disarankan kepada orang tua siswa/siswi untuk ikut menjaga dan mengawasi
hygiene perorangan untuk mencegah infeksi kecacingan di kemudian hari, seperti
menjaga kebersihan kuku serta melaksanakan cuci tangan pakai sabun.
35
DAFTAR PUSTAKA
Andaruni, et al. (2012). Hubungan Infeksi Kecacingan Dengan Status HemoglobinPada Anak Sekolah Dasar Diwilayah Pesisir Kota Makassar PropinsiSulawesi Selatan Tahun 2013. (diakses 10 Januari 2014).
Ani, LS et al. (2010). Kadar Feritin Serum dan Hemoglobin Pada Wanita PasanganPengantin Baru Di Bali. Jurnal Gizi dan Pangan 5(1):26–30,(online)http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Kadar-Feritin-Serum-Dan-Hemoglobin-Pada-Wanita-Pasangan-Pengantin-Baru-Di-Bali.pdf (diakses 10 Januari 2014)
Bakta, I Made. (1995). Aspek Epidemiologi Infeksi Cacing Tambang pada PendudukDewasa Desa Jagapati Bali. Jurnal Medika. Jakarta.
Brooks GF dkk. (1996). Mikrobiologi. Kedokteran. Edisi 20. EGC. Hal. 670-678.Greenwood D et al. (2007). Medical Microbiology. 17th edition. ChurchillLivingstone. pp. 634-636.
Dachi, Rahmat. (2005). Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar No. 174593Hatoguan terhadap Infeksi Cacing Perut di Kecamatan Palipi KabupatenSamosir.(Online).http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15363/1/mki-des2005-%20%285%29.pdf. (Diakses 10 Januari 2014).
Damayanti, Asri. (2009). Pengobatan dan Penilaian Status Gizi Anak SDN 1 Luwus,Baturiti yang Menderita Cacingan (Soil- transmitted Helminthiasis). BagianParasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. (diakses 10 Januari2014).
Departemen Kesehatan R.I. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36Tahun 2009, Tentang Kesehatan. (Online)http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/ UU-36-2009Kesehatan.pdf (diakses 10Januari 2014).
Depkes RI. (2006). Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan. (Online).http://www.hukor.Depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20424%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Cacingan.pdf. (Diakses 10 Januari2014).
Dharmawan, Yudhy, S.KM, M.Kes. Dasar Penelitian Kesehatan. (diakses 10 Januari2014).
Endriani, et al. (2010). Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan KejadianKecacingan Pada Anak Usia 1-4 Tahun. Mahasiswa Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang. (diakses 10 Januari2014).
Faridan, Kharis. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan KejadianKecacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Banjarbaru. JurnalEpidemiologi dean Penyakit Bersumber Binatang, Program Studi KesehatanMasyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung MangkuratBanjarbaru. (diakses pada 22 April 2014).
Fenny, Etrawati & Notoatmodjo, S. (2012). Intervensi Perilaku Dan LingkunganDalam Pencegahan Kejadian Penyakit Malaria Di Indonesia Tahun 2012.Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni; Jakarta; Rineka Cipta; 2010. (diakses10 Januari 2014).
Fitri, J. Et al.(2012). Analisis faktor-faktor risiko infeksi kecacingan murid sekolahdasar di kecamatan angkola timur kabupaten tapanuli selatan tahun 2012.Universitas Riau. (diakses 10 Januari 2014).
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/12/28/b15.htm. (Bali Post : 28Desember 2004). (diakses 10 Januari 2014)
Indana, Eva et al. (2011). Hubungan Kecacingan Dengan Status Gizi Pada SiswaSekolah Dasar Negeri 41 Ampenan Kelurahan Jempong Baru KecamatanSekarbela Tahun 2011. (Diakses 10 Januari 2014).
Kapti I N. (2002). Soil-Transmitted Helminthes pada Anak-Anak SD Desa Jagapatidan Punggul, Kecamatan Abiansemal, Badung, Bali. International Seminaron Parasitology and The 9th Congress of The Indonesian Parasitic DiseasesControl Associatiaon. The Indonesian Parasitic Diseases ControlAssociation. Bogor, Hal 30-31.
Kundaian, Friscasari. (2011).Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan InfestasiCacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan TombaririKabupaten Minahasa. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas SamRatulangi Manado. (diakses 10 Januari 2014).
Mahar, Mochammad Taufik. (2008). Hubungan Antara Pengetahuan denganKejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminths (STH) pada PekerjaGenteng di Desa Kedawung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. FakultasKedokteran Universitas Diponogoro Semarang. (diakses 10 Januari 2014).
Palgunadi, Bagus. Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan YangDisebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia. Dosen FakultasKedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. (diakses 9 Januari 2014).
Rahmat, E.S., & Setianingrum, S.W. (1997). Perbandingan Efektifitas PengobatanCacingan dengan Piperasin VS Levamisol pada murid SD. MajalahKedokteran Indonesia 1997; 47: 435-440.
Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.Jakarta: CV Agung Seto. (Diakses 10 Januari 2014).
37
Sudomo, M. (2008). Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia,Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska. Jakarta.(diakses 9 Januari 2014).
Sumanto, D. (2010). Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah(Studi kasus kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). (Diakses 10Januari 2014).
Supariasa, I.D.N, Bakri, B dan Fajar, I, 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit BukuKedokteran EGC, Jakarta.
Umar, Z. (2008). Perilaku Cuci Tangan Sebelum Makan dan Kecacingan padaMurid SD di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal KesehatanMasyarakat Nasional Vol.2.Nomor6Juni.(Online),http://www.promosikesehatan.com/?act=article&id=423.(diakses 10 Januari 2014).
Wandira, Geri et al.( 2013). Hubungan Antara Kecacingan Dengan Kadar FeritinPada Pelajar Kelas 4 dan 5 di SD Katolik STA. Theresia Malalayang KotaManado Tahun 2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas SamRatulangi Manado. (diakses 10 Januari 2014)
WHO, dalam data Soil Transmitted Helminths Infections, diperbaharui pada bulanJuni 2013. (diakses pada 13 Maret 2014)