Top Banner
LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI TIM PENELITI Ketua : I Made Budi Arsika, SH, LLM (NIDN.0010068102) Anggota : Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH, MKn, LLM (NIDN.0016058202) Sagung Putri M.E. Purwani, SH, MH (NIDN.0013037106) PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA OKTOBER 2015 Kode/Bidang Ilmu: 596/Ilmu Hukum
67

LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Nov 25, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

LAPORAN

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN

DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI

TIM PENELITI

Ketua : I Made Budi Arsika, SH, LLM (NIDN.0010068102)

Anggota : Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH, MKn, LLM (NIDN.0016058202)

Sagung Putri M.E. Purwani, SH, MH (NIDN.0013037106)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

OKTOBER 2015

Kode/Bidang Ilmu: 596/Ilmu Hukum

Page 2: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

ii

HALAMAN PENGESAHAN

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Judul Penelitian : Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia Dalam

Penerapan Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing Di

Bali

Bidang Ilmu : Ilmu Hukum

Ketua Peneliti : a. Nama lengkap dengan gelar : I Made Budi Arsika, ,SH.,LLM

b. NIP/NIDN : 19810610 200501 1 003/0010068102 c. Pangkat/Gol : Penata /IIIc

d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor/- e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)

f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum

g. Fakultas : Hukum h. Alamat Rumah / HP : Jl.Tukad Pancoran I/18 Denpasar /081936281062

i. E-mail : [email protected] Jumlah Tim Peneliti : 3 (tiga) orang

Pembimbing : a. Nama lengkap dengan gelar : I Ketut Sudiarta,SH.,MH

b. NIP/NIDN : 19621505 1988 03 1 004 c. Pangkat/Gol : Pembina / IV/a

d. Jabatan Fungsional/Stuktural : Lektor Kepala / Pembantu Dekan I e. Pengalaman penelitian : (terlampir dalam CV)

f. Program Studi/Jurusan : Ilmu Hukum g. Fakultas : Hukum

Lokasi Penelitian : Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali

Kerjasama (jika ada) a. Nama Instansi : - b. Alamat : -

Jangka waktu penelitian :

Biaya Penelitian : Rp. 9.000.000,- (Sembilan Juta Rupiah )

Denpasar, 30 Oktober 2015

Mengetahui,

Ketua Bagian, Ketua Peneliti

Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH.,MH I Made Budi Arsika,SH.,LLM

NIP. 19730220 200312 1 001 NIP: 1981 20050610 01 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof.Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH.

NIP: 19530401 198003 1 004

Page 3: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

RINGKASAN ............................................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 7

1.2 Rumusan Masalah,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 8

2.1 Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia ................... 8

2.2 Deportasi dan Hak Asasi Manusia ..................................................... 10

BAB III MANFAAT DAN TUJUAN PENELITIAN ............................................ 14

3.1 Tujuan Penelitian ............................................................................... 14

3.2 Manfaat Penelitian ............................................................................. 14

3.3 Urgensi Penelitian ............................................................................. 15

BAB IV METODE PENELITIAN .......................................................................... 16

4.1 Jenis Penelitian................................................................................... 16

4.2 Jenis Pendekatan ................................................................................ 16

4.3 Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 17

4.4 Lokasi Penelitian ................................................................................ 17

4.5 Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................. 18

4.6 Tehnik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............................... 18

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 19

5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi

Terhadap Tenaga Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya

Dengan Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi

Manusia ................................................................................................ 19

5.1.1 Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia ...... 19

5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai

Tindakan Keimigrasian ........................................................... 21

5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga

Kerja Asing .............................................................................. 21

5.1.4 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga

Kerja Asing .............................................................................. 22

5.1.5 Tinjauan mengenai Penghormatan, Perlindungan dan

Pemenuhan Hak Asasi Manusia ............................................... 24

5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan

Deportasi yang Dilakukan oleh Pejabat Kemigrasian Tidak

Melanggar Hak Asasi Manusia Tenaga Kerja Asing di Bali ............... 26

5.2.1 Aspek Substansi ....................................................................... 26

Page 4: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

iv

5.2.2 Aspek Prosedural ..................................................................... 27

5.2.3 Aspek Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak

Asasi Manusia .......................................................................... 28

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 31

6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 31

6.2 Saran .................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 33

Page 5: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

v

RINGKASAN

Sejumlah tindakan deportasi yang dikenakan kepada para Warga Negara Asing

(WNA) yang menyalahgunakan Visa Kunjungan sebagai dalih untuk bekerja di Bali

merupakan latar belakang utama dari penelitian ini. Dari informasi yang dapat

ditelusuri, peneliti mengasumsikan belum petugas keimigrasian belum terlalu

memperhatikan aspek terpenuhinya standar pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan

hak-hak asasi manusia (HAM) dalam tindakan deportasi yang dilakukan.

Ada dua hal yang menjadi tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini

bermaksud untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM

dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga

kerja asing di Indonesia. Kedua, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis aspek-

aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang

dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar HAM yang dimiliki oleh tenaga

kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja

asing di Bali. Secara praktis, hasil penelitian ini nantinya akan sangat berguna bagi para

pengambil kebijakan keimigrasian berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur

operasi standar (standard operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat

aspek-aspek HAM.

Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan

meneliti bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum

mengenai deportasi dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian

kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun

bahan hukum tersier. Sebagai suatu tinjauan Hukum HAM, penelitian hukum normatif

ini juga akan dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian HAM. Dalam

penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara normatif, pengaturan hukum

keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia telah

memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Selanjutnya, penelitian ini juga menyimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan proses

deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, ada sejumlah aspek yang perlu

diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat

kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki oleh tenaga kerja

asing tersebut, yaitu aspek substansi, aspek prosedural, dan aspek penghormatan,

perlindungan,dan pemenuhan HAM.

Kata Kunci: Deportasi, Tenaga Kerja Asing, Hukum Hak Asasi Manusia

Page 6: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

1

JUDUL PENELITIAN :

TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM PENERAPAN DEPORTASI

BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proses deportasi sejumlah warga negara asing (WNA) yang menyalahgunakan visa

kunjungan ke Bali untuk bekerja ternyata menjadi sorotan berbagai pihak. Menuruk pada data

yang dilansir oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Provinsi Bali, I Gusti Kompiang Adyana pada tanggal 26 Januari 2015 lalu, diungkapkan

bahwa pihaknya telah mendeportasi 408 WNA yang datang ke Bali selama kurun waktu

tahun 2014, sedangkan untuk awal tahun 2015 telah terdapat 11 orang WNA yang sedang

dalam proses deportasi.1

Menariknya, tenaga kerja asing tersebut tidak sepenuhnya bekerja di Bali Selatan

sebagai wilayah yang selama ini diasumsikan sebagai konsentrasi industri pariwisata yang

menyerap banyak tenaga kerja baik domestik maupun asing. Faktanya, Sebagaimana

dinyatakan oleh Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja Aditya, sebanyak 282 WNA yang

sebagian besar berasal dari Tiongkok jusru dideportasi Kantor Imigrasi Kelas II Singaraja

selama tahun 2014.2 Dijelaskan pula bahwa selama kurun tahun 2014 terdapat 675 orang

Tenaga Kerja Asing di Buleleng yang mana sejumlah 225 orang di antaranya merupakan

pekerja asing baru.

Tenaga kerja asing yang bekerja dengan memiliki ijin di Bali sesungguhnya cukup

banyak. Pada tanggal 21 Januari 2015 lalu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Bali I Gusti Agung Sudarsana, menyebutkan ada 1800 orang tenaga kerja asing yang

bekerja di Bali.3 Keberadaan Tenaga Kerja Asing tersebut sesungguhnya berkontribusi bagi

Bali melalui retribusi perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) kepada

Pemerintah Provinsi Bali sebesar US $ 100 per orang per bulan, sebagaimana ditetapkan

dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali dan Peraturan Gubernur Bali.4

1 Surat Kabar Pos Bali, Artikel “408 WNA Dideportasi dari Bali”, 27 Januari 2015,

http://posbali.com/408-wna-dideportasi-dari-bali/ 2 Beritabali.com, Artikel “282 WNA Dideportasi Imigrasi Singaraja Selama 2014”, 18 Desember 2014

http://beritabali.com/index.php/page/berita/bll/detail/2014/12/18/282-WNA-Dideportasi-Imigrasi-Singaraja-

Selama-2014/201412180001 3 Sinar Harapan, Artikel “Ada 1800 Tenaga Kerja Asing di Bali”, 21 Januari 2015,

http://sinarharapan.co/news/read/150121031/ada-1800-tenaga-kerja-asing-di-bali 4 Pasal 25D Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu dan Pasal 6 Peraturan

Page 7: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

2

Perihal tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia sesungguhnya telah memiliki

pengaturan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kemudian, keberadaan tenaga kerja asing resmi yang bekerja di Bali juga relatif tidak

menimbulkan masalah. Problematika justru hadir sehubungan dengan maraknya tenaga kerja

asing yang dianggap terlalu leluasa menjalankan usahanya dan merebut pekerjaan-pekerjaan

yang sebenarnya bisa ditangani oleh pekerja lokal, yang ternyata telah lama dikeluhkan oleh

berbagai kalangan. Dalam suatu diskusi di Bali Tourism Board, pengurus Majelis Utama

Desa Pakraman (MUDP) Bali Gde Nurjaya mengungkapkan modus yang dilakukan banyak

orang asing yang masuk ke desa-desa dan menikahi orang lokal lalu membuka usaha atas

nama istrinya.5 Demikian pula halnya Ketut Rasna dari Gabungan Pengusaha Wisata Bahari

(GAHAWISRI) Bali yang menemukan perusahaan jasa selam yang seluruh pekerjanya orang

asing dari level manager sampai guide. Isu penegakan hukum terhadap para tenaga kerja

asing ilegal juga dikemukakan oleh Ketut Rasna yang menyatakan bahwa para pekerja asing

itu tidak mempedulikan razia oleh para pengusaha, namun mereka tunduk apabila berhadapan

dengan pihak Imigrasi karena takut dideportasi.6 Mengenai hal ini, Kepala Seksi Informasi

dan Komunikasi Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar, Saroha Manullang menegaskan bahwa

pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi dan penertiban, hanya saja masalahnya orang

asing di Bali sangat banyak sementara jumlah petugas masih kurang.7

Isu tenaga kerja asing ternyata telah menjadi perhatian pemerintah dalam kaitkannya

dengan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Mengantisipasi isu ini,

Kantor Imigrasi di seluruh wilayah Provinsi Bali tahun ini akan lebih menekankan penegakan

hukum dalam pengawasan terhadap warga negara asing dalam kerangka MEA 2015 yang

diprediksi akan meningkatkan jumlah para pekerja yang memiliki keahlian khusus memasuki

negara-negara di kawasan Asia Tenggara, selain pergerakan pasar bebas untuk barang dan

jasa lainnya.8

Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5

Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi

Perizinan Tertentu 5Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-Ilegal . 6 Tempo.Co, Artikel Selasa, “Pekerja Asing Ilegal di Bali Dikeluhkan”, 25 Maret 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/090565312/Pekerja-Asing-Ilegal-di-Bali-Dikeluhkan 7Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-Ilegal . 8 Imigrasi Tekankan Penegakan Hukum WNA Terkait MEA

http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-utama/654-imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-

wna-terkait-mea dan http://posbali.com/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea/

Page 8: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

3

Dalam kaitannya dengan tindakan deportasi bagi tenaga asing tersebut, perlu kiranya

diketahui mengenai makna dari deportasi itu sendiri. Deportasi merupakan istilah yang

berasal dari bahasa Inggris, yaitu deportation, yang memiliki sejumlah padanan kata yaitu

expulsion dan exile. Istilah ini seringkali didengar oleh masyarakat karena pemberitaan media

berkaitan dengan proses penegakan hukum terhadap para WNA yang melanggar ijin tinggal.

Istilah deportasi juga kerap diasosiasikan sebagai tindakan pengusiran terhadap orang asing

dari wilayah Indonesia. Dalam konteks hukum nasional, pengaturan mengenai deportasi

dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Keimigrasian) yang mendefinisikan deportasi

sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia.9 Selanjutnya,

Pasal 75 Undang-Undang Keimigrasian Deportasi juga menentukan bahwa deportasi

merupakan salah satu bentuk Tindakan Administratif Keimigrasian terhadap Orang Asing

yang berada di Wilayah Indonesia yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga

membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak menaati

peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan oleh Pejabat Imigrasi berdasarkan

kewenangan yang dimilikinya.

Deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi

penegakan hukum pidana. Hal ini dikenal dengan istilah „tindak pidana keimigrasian

sebagaimana dikualifikasikan berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang Keimigrasian10

yang

merupakan tindak pidana khusus‟, sehingga hukum formal dan hukum materiilnya berbeda

dengan hukum pidana umum, yang juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) Keimigrasian yang menjalankan tugas dan wewenang secara khusus pula.11

Salah satu kasus yang menarik untuk dicermati adalah pendeportasian terhadap empat

orang WNA yaitu Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas

(Inggris), dan Marina Naloni (Amerika Serikat) sebagaimana diberitakan oleh Surat Kabar

Pos Bali, 19 November 2014 lalu.12

Terungkap bahwa mereka menyalahgunakan Visa on

Arrival untuk bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak. Dalam konferensi pers

9 Pasal 1angka 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

10 Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal

127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat

dikenai penahanan.” 11

Lihat Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian 12

Uraian kasus dalam paragraf ini disarikan dari Surat Kabar Pos Bali, Artikel “Gunakan VoA untuk

Kerja, Empat WNA Dideportasi”, 19 November 2014, http://posbali.com/gunakan-voa-untuk-kerja-empat-wna-

dideportasi/

Page 9: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

4

terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi

Kelas I Khusus Ngurah Rai, Mohamad Soleh yang didampingi oleh Kepala Seksi

Pengawasan Keimigrasian, Tri Hernanda Reza dan Kepala Seksi Sarana Komunikasi

Keimigrasian, Danny Ariana menjelaskan bahwa alat bukti berupa video, foto dan pengakuan

keempat WNA tersebut menunjukkan bahwa mereka telah bekerja di salon tersebut sejak

awal bulan November 2014. Menariknya, berita ini melansir bahwa Kepala Bidang

Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Ngurah Rai justru

menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus menerima sanksi yang tertuang dalam

Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, di mana

sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau di-black list) untuk masuk kembali ke

Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah dideportasi.

Tampak ada sedikit kejanggalan apabila kita mencermati berita tersebut. Isi dari Pasal

122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sesungguhnya

memuat ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja

menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya. Namun berdasarkan pemberitaan tersebut,

sanksi yang diberikan bukanlah pidana penjara ataupun pidana denda, namun bentuknya

justru berupa deportasi dan penangkalan yang merupakan bentuk tindakan administratif.13

Bahkan ada pula kasus aktual pelaksanaan deportasi yang dianggap terlalu cepat

dilakukan oleh pihak imigrasi di Kalimantan Timur. Kapolres Balikpapan AKBP Andi Aziz

Nizar pada bulan November 2014 lalu sangat menyayangkan situasi ini karena deportasi

dilakukan padahal pihak kepolisian belum cukup banyak mengorek keterangan dan

mengumpulkan bukti-bukti terhadap dugaan pidana yang dilakukan WNA yang dideportasi.14

Isu deportasi sesungguhnya tidak hanya menjadi urusan aparat keimigrasian di daerah

Bali saja, sebab kebijakan strategis mengenai deportasi juga merupakan ranah pemerintah

pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Direktorat

Jenderal Keimigrasian. Faktanya, berbagai kalangan telah mendesak Menteri Hukum dan

13

Lihat Pasal 234 dan 236 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 14

Balikpapan Pos, Artikel “WNA Mengarah Kejahatan Dunia Maya: Kapolres Sayangkan Imigrasi

Cepat Melakukan Deportasi”, 4 November 2014 http://www.balikpapanpos.co.id/berita/detail/139882-wna-

mengarah-kejahatan-dunia-maya.html ,

Page 10: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

5

Hak Asasi Manusia (Menkumham) agar mendeportasi WNA bermasalah.15

Secara normatif,

Menkumham telah menyampaikan komitmennya untuk melakukan deportasi terhadap WNA

pelanggar aturan.16

Fenomena di atas sesungguhnya mengandung sejumlah isu hukum. Pertama, terdapat

isu penyalahgunaan visa kunjungan yang digunakan oleh WNA untuk bekerja di Bali yang

melahirkan apa yang kerap disebut sebagai tenaga kerja asing ilegal. Kedua, dalam situasi

yang tidak terkendali dan teratur, eksistensi tenaga asing berpotensi mengancam hak tenaga

kerja lokal dalam hal kesempatan kerja. Ketiga, pemerintah menerapkan deportasi sebagai

upaya penegakan hukum terhadap WNA yang menjadi tenaga kerja asing di Bali yang

melanggar peraturan perundang-undangan.

Menjadi suatu diskursus yang menarik pula untuk mengaitkan isu deportasi ini dengan

teori kewenangan aparat keimigrasian dalam menerapkan teori kedaulatan teritorial Negara

untuk memaksakan hukum nasionalnya berlaku bagi orang asing. Dalam adagium Romawi

hal ini disebut dengan qui in territorio meo est, etiam meus subditus est, yang dalam konteks

ini dapat dimaknai sebagai individu yang mendiami suatu wilayah tertentu haruslah tunduk

dan patuh pada kekuasaan hukum dai Negara yang memiliki wilayah tersebut.17

Ada sejumlah bidang hukum yang selama ini dilekatkan dalam isu ini. Hukum

Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) tentu menjadi bidang hukum yang paling relevan

berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga kerja, termasuk tenaga kerja asing. Hukum

Keimigrasian juga menjadi aspek penting dalam menentukan keabsahan tindakan aparat

keimigrasian dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dalam hal pelanggaran

imigrasi oleh orang asing di Indonesia. Sayangnya, hukum hak asasi manusia nampaknya

belum terlalu mengeksplorasi isu ini.

Dalam konteks HAM, tindakan deportasi yang semena-mena sesungguhnya dapat

dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan politik yang dimiliki setiap

individu. Pasal 28D (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Dalam konteks Hak atas Rasa Aman, Pasal 34

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa

15

Okezone.com, Artikel, Menkumham Didesak Deportasi WNA Bermasalah, 11 September 2014

http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037694/menkumham-didesak-deportasi-wna-

bermasalah 16

Tribunnews, Artikel “Menkumham : Kami Akan Deportasi WNA Pelanggar Aturan”, 24 Juni 2014,

http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/menkumham-kami-akan-deportasi-wna-pelanggar-

aturan 17

Saru Arifin, 2014, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h.33-34.

Page 11: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

6

“Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang

secara sewenang-wenang”.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai instrumen

hukum HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia juga memberikan pembatasan

tindakan deportasi untuk dapat diterapkan oleh Indonesia. Pasal 13 ICCPR juga

menggariskan bahwa orang asing yang berada secara sah di Indonesia dapat diusir dari

Indonesia hanya menurut keputusan yang dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada

alasan-alasan kuat sehubungan dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan

mengajukan keberatan terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau

kembali dan diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang

secara khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang.

Lebih jauh, Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Committee) memberikan

klarifikasi makna Pasal 13 ICCPR dalam kaitannya dengan penerapan deportasi bagi orang

asing yang statusnya masih di „area abu-abu‟, sebagai berikut “if the legality of an alien’s

entry or stay is in dispute, any decision on this point leading to his expulsion or deportation

ought to be taken in accordance with article 13”.18

Dapat diartikan bahwa terhadap situasi

dalam hal legalitas orang asing untuk tinggal masih belum jelas, maka deportasi terhadapnya

harus memperhatikan Pasal 13 ICCPR.

Peneliti telah mencoba menelusuri karya karya ilmiah yang membahas deportasi.

Namun tinjauan karya ilmiah tersebut cenderung berfokus pada aspek administrasi.19

Ulasan

yang membahas tenaga kerja asing di Indonesia juga relatif sedikit, karena kebanyakan

membahas hak-hak para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Demikian pula halnya dengan

sedikitnya pembahasan mengenai segi Hak Asasi Manusia dalam deportasi yang selama ini

cenderung dikaitkan dengan ekstradisi.20

Mengingat dalam pergaulan antar bangsa, isu deportasi orang asing dapat menjadi

masalah diplomatik, sesungguhnya penerapan tindakan deportasi yang dilandasi prinsip

penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM mereka amat diharapkan Terlebih fakta

18

General comment of the Human Rights Committee No. 15: The position of aliens under the

Covenant, Twenty-seventh session

http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=INT%2fCCPR%2fGEC%2f6

625&Lang=en 19

Sebagai contoh, lihat Sunit Budhi Cahyono, Tinjauan Terhadap Deportasi Warga Negara Asing

Karena Pelanggaran Batas Ijin Tinggal Dan Akibat Hukum Oleh Kantor Imigrasi Surakarta (Studi Kasus

Pendeportasian Mohamed Tarek Mohamed Mohamed El Atreiry), abstrak skripsi, Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret, Surakarta, http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=10920 20

Sebagai contoh, lihat Smith, Rhona K, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford

University Press Inc., New York, Bagian 15.2.2.2 Extradition, Expulsion, and Deportation, h. 249-250

Page 12: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

7

bahwa Bali telah menjadi salah satu primadona bagi tenaga kerja asing untuk mencari

penghidupan, maka stereotip kurang baik mengenai tindakan administratif yang melanggar

HAM orang asing akan menjadi sangat kontraproduktif bagi citra Indonesia dan Bali pada

khususnya.

Dari uraian di atas, dapat tergambar betapa pentingnya memberikan analisis hukum

yang bersifat teoritik maupun bersifat praktis kepada para pemangku kepentingan di bidang

keimigrasian, ketenagakerjaan, dan Hak Asasi Manusia maupun kepada para akademisi. Hal

inilah yang sesungguhnya menimbulkan ketertarikan peneliti untuk melaksanakan dan

menyusun penelitian dengan judul “TINJAUAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA

DALAM PENERAPAN DEPORTASI BAGI TENAGA KERJA ASING DI BALI”

1.2. Rumusan Masalah

Ada dua masalah hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu;

a. Apakah pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga

kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan

pemenuhan hak-hak asasi manusia?

b. Dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, aspek-

aspek apakah yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang

dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki

oleh tenaga kerja asing tersebut?

Page 13: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Asing di Indonesia

Telah menjadi pendapat umum bahwa negara mempunyai kewajiban mengutamakan

tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negeri sendiri untuk dapat memakmurkan negaranya

dan dalam perekrutan tenaga kerja pada dasarnya mengutamakan tenaga kerja Indonesia dari

pada tenaga kerja asing.21

Isu ini sesungguhnya membuka ruang bagi perdebatan mengenai

diskriminasi dalam ketenagakerjaan (discrimination in employment) yang telah cukup lama

tidak terselesaikan.22

Dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing didefinisikan sebagai warga negara asing pemegang visa

dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Lebih jauh, penggunaan tenaga kerja asing

diatur secara khusus dalam Bab VIII undang-undang tersebut. Sebagai prinsip umum, dapat

dikutip Pasal 42 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin

tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing.

(3) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi

perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai

diplomatik dan konsuler.

(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja

untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.

(5) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

(6) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya

habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing

lainnya.

Ketentuan lain di dalam Bab ini mengatur mengenai rencana penggunaan tenaga kerja

asing oleh pemberi kerja,23

ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku

bagi tenaga kerja asing,24

kewajiban pemberi kerja tenaga kerja asing,25

pembatasan jabatan-

jabatan terntu bagi tenaga kerja asing,26

pembayaran kompensasi,27

kewajiban pemulangan ke

21

Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, h.50-51. 22

Hal ini dapat dilihat dalam Chapter 8 mengenai “Discrimination in Employment” dalam buku

Duncan, Nigel, 2008, (The City Law School, City University London) “Employment Law in Practice, 8th

Edition, Oxford University Press, New York, h. 191-227 23

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 24

Pasal 44 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 25

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 26

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 27

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Page 14: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

9

negara asal,28

serta ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing serta pelaksanaan

pendidikan dan pelatihan tenaga kerja pendamping.29

Mengingat peluang kerja bagi orang asing di Bali ada pada sektor pariwisata, ada

baiknya untuk mengutip ketentuan mengenai Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing dalam

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam Pasal 56 ayat (1)

disebutkan bahwa “Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga kerja ahli warga

negara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ayat (2) semakin

memperjelas bahwa tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja profesional

kepariwisataan.

Pemerintah juga telah menetapkan pembatasan mengenai jabatan-jabatan yang hanya

boleh diisi oleh tenaga kerja asing. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu

Yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing disebutkan beberapa larangan tersebut, yaitu:

Nama Jabatan

No Indonesia Kode Inggris

1. Direktur Personalia 1210 Personnel Director

2. Manajer Hubungan Industrial 1232 Industrial Relation Manager

3. Manajer Personalia 1232 Human Resource Manager

4. Supervisor Pengembangan

Personalia

1232 Personnel Development Supervisor

5. Supervisor Perekrutan Personalia 1232 Personnel Recruitment Supervisor

6. Supervisor Penempatan Personalia 1232 Personnel Placement Supervisor

7. Supervisor Pembinaan Karir

Pegawai

1232 Employee Career Development Supervisor

8. Penata Usaha Personalia 4190 Personnel Declare Administrator

9. Kepala Eksekutif Kantor 1210 Chief Executive Officer

10. Ahli Pengembangan Personalia dan

Karir

2412 Personnel and Careers Specialist

11. Spesialis Personalia 2412 Personnel Specialist

12. Penasehat Karir 2412 Career Advisor

13. Penasehat tenaga Kerja 2412 Job Advisor

14. Pembimbing dan Konseling Jabatan 2412 Job Advisor and Counseling

15. Perantara Tenaga Kerja 2412 Employee Mediator

16. Pengadministrasi Pelatihan

Pegawai

4190 Job Training Administrator

17. Pewawancara Pegawai 2412 Job Interviewer

18. Analis Jabatan 2412 Job Analyst

28

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 29

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Page 15: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

10

Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa tidak semua jenis pekerjaan dapat

dilakukan oleh tenaga kerja asing di Indonesia.

2.2. Deportasi dan Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human

Rights/UDHR) secara umum dianggap sebagai sumber penting dalam Hukum HAM

Internasional karena memuat prinsip-prinsip fundamental HAM yang bersifat universal30

dan

menjadi dasar bagi perlindungan dan pemajuan HAM di seluruh dunia dan didukung semua

negara termasuk Indonesia31

serta telah menjadi kewajiban moral untuk diterapkan oleh

seluruh negara anggota PBB.32

Mengenai deportasi, Pasal 9 UDHR menyebutkan “No one

shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile”. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak

seorangpun dapat dipaksa pergi dari suatu tempat tertentu secara sewenang-wenang.

Ketentuan ini sesungguhnya dapat dikaitkan dengan Pasal 13 UDHR yang menyatakan

bahwa setiap orang bebas untuk bergerak/pergi menuju dan tinggal di dalam batas-batas

wilayah setiap negara33

serta memiliki hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk

negaranya, dan kembali ke negaranya.34

Secara argumentum a contrario, ketentuan ini dapat

diartikan sebagai adanya hak yang dimiliki setiap orang untuk tidak kembali ke negaranya

atas alasan apapun, termasuk karena paksaan.

Selain UDHR, ada sejumlah perjanjian internasional utama di bidang HAM (core

human rights treaties) yang juga berkaitan dengan isu deportasi. Apabila UDHR memiliki

karakter soft law, berbeda halnya dengan sejumlah perjanjian internasional berikut yang

memiliki kekuatan hukum mengikat bagi negara yang meratifikasinya.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), sesungguhnya

menegaskan substansi yang terdapat di Pasal 13 UDHR dengan menyatakan bahwa setiap

orang yang secara sah berada di dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk

bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya di wilayah tersebut.35

Ketentuan

yang spesifik mendekati isu deportasi dapat dilihat dalam Pasal 13 ICCPR yang berbunyi

sebagai berikut:

30

Lihat Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peran, dan Fungsi Dalam Era Dinamika

Global, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan Keempat, 2011, h. 679-68. 31

Yahya Ahmad Zein, 2012, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberti, Yogyakarta, h. 16. 32

Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi, Universitas

atma Jaya, Jakarta, h. 17 33

Pasal 13 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 34

Pasal 13 ayat (2) Universal Declaration of Human Rights 35

Pasal 12 (1) International Covenant on Civil and Political Rights

Page 16: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

11

“An alien lawfully in the territory of a State Party to the present Covenant may be

expelled therefrom only in pursuance of a decision reached in accordance with law and

shall, except where compelling reasons of national security otherwise require, be

allowed to submit the reasons against his expulsion and to have his case reviewed by,

and be represented for the purpose before, the competent authority or a person or

persons especially designated by the competent authority”

(terjemahan: Orang asing yang berada secara sah di wilayah Negara Pihak pada

Kovenan ini dapat diusir dari Negara tersebut hanya menurut keputusan yang

dikeluarkan berdasarkan hukum dan, kecuali ada alasan-alasan kuat sehubungan

dengan keamanan nasional, ia harus diberi kesempatan mengajukan keberatan

terhadap pengusiran dirinya, dan meminta agar kasusnya ditinjau kembali dan

diwakili untuk keperluan ini, oleh pihak yang berwenang atau orang-orang yang secara

khusus ditunjuk oleh pihak yang berwenang)

Terlihat di dalam ketentuan di atas bahwasanya orang asing yang tinggal di suatu

negara secara sah tidak dapat diusir (dideportasi) tanpa adanya keputusan yang dikeluarkan

berdasarkan hukum. Dengan demikian, legalitas daripada suatu tindakan deportasi akan

ditentukan oleh suatu prosedur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kepentingan politik

yang berpotensi sewenang-wenang. Penting juga untuk mengutip kesimpulan kritis yang

diambil Sarah Joseph Jenny Schultz, and Mellissa Castan dalam mengomentari Pasal 13

ICCPR tersebut yang menyatakan sebagai berikut, “Article 13 does not provide aliens with a

guarantee against expulsion. Indeed, its procedural nature may mean that is not even a

comprehensive guarantee against arbitrary expulsion”.36

Kesimpulan ini tentu mereduksi

pandangan bahwa Pasal 13 ICCPR merupakan dasar hukum yang kuat untuk menjustifikasi

adanya pelanggaran HAM dalam tindakan deportasi.

Selanjutnya, ada dua konvensi hak asasi manusia internasional yang menentukan

pembatasan tindakan deportasi dengan alasan bahwa tindakan tersebut justru kemungkinan

membahayakan hidup pihak yang dideportasi. Hal ini dapat dilihat dalam Convention against

Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang

secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir seseorang dari wilayah negaranya

karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut akan disiksa di negara lain37

serta

di dalam International Convention for the Protection of All Persons from Enforced

Disappearance (CPED) yang juga secara tegas melarang suatu negara pihak untuk mengusir

seseorang dari wilayah negaranya karena ada situasi yang meyakinkan bahwa orang tersebut

36

Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, 2004, The International Covenant on Civil and

Political Rights: Cases, Materials, and Commentary, Second Edition, Oxford University Press Inc., New York,

h. 387 37

Pasal 3 ayat (1) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment

Page 17: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

12

akan menghadapi situasi bahaya atau dapat dihilangkan secara paksa di negara lain.38

Dalam

hukum internasional, penghilangan paksa (enforced disappearance) dianggap sebagai suatu

pelanggaran terhadap martabat manusia,39

yang mana martabat manusia merupakan prinsip

fundamental dalam HAM.40

Terdapat pula pengaturan deportasi dalam kaitannya dengan HAM yang dimiliki

seorang anak. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 9 (4) Convention on the Rights of the Child

(CRC) yang secara explisit menyebut deportasi sebagai berikut:

“Where such separation results from any action initiated by a State Party, such as the

detention, imprisonment, exile, deportation or death (including death arising from any

cause while the person is in the custody of the State) of one or both parents or of the

child, that State Party shall, upon request, provide the parents, the child or, if

appropriate, another member of the family with the essential information concerning

the whereabouts of the absent member(s) of the family unless the provision of the

information would be detrimental to the well-being of the child. States Parties shall

further ensure that the submission of such a request shall of itself entail no adverse

consequences for the person(s) concerned.”

Pengaturan hak asasi manusia internasional yang paling rinci mengenai deportasi dapat

ditemukan dalam Pasal 22 International Convention on the Protection of the Rights of All

Migrant Workers and Members of Their Families (ICRMW) yang menentukan hal-hal

sebagai berikut:

1. Para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh menjadi sasaran kebijakan

pengusiran secara massal. Setiap kasus pengusiran harus diperiksa dan diputuskan

sendiri-sendiri.

2. Para pekerja migran dan anggota keluarganya hanya dapat diusir dari wilayah suatu

Negara Pihak atas suatu keputusan yang diambil oleh pejabat yang berwenang sesuai

dengan hukum.

3. Keputusan tersebut wajib dikomunikasikan kepada mereka dalam bahasa yang mereka

pahami. Atas permintaan mereka, kecuali merupakan kewajiban, keputusan itu wajib

disampaikan secara tertulis dan, kecuali dalam keadaan terkait keamanan nasional,

beserta alasan-alasannya. Orang-orang yang bersangkutan wajib diberi tahu mengenai

hak-hak ini sebelum atau selambat-lambatnya pada saat keputusan itu diambil.

38

Pasal 16 ayat (1) International Convention for the Protection of All Persons from Enforced

Disappearance 39

Smith, Rhona. K, 2010, Text and Materials on International Human Rights, Second Edition,

Routledge, New York, h. 488. 40

Bantekas, Ilias and Lutz Oette, 2013, International Human Rights Law and Practice, Cambridge

University Press, New York, h.74.

Page 18: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

13

4. Kecuali, apabila suatu keputusan akhir telah ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang,

orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak untuk menyampaikan alasan-alasan

mengapa mereka tidak boleh diusir dan untuk meminta kasusnya ditinjau kembali oleh

pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan sebaliknya, dengan alasan keamanan

nasional. Selama menunggu peninjauan kembali, orang-orang yang bersangkutan harus

memiliki hak untuk meminta penundaan keputusan pengusiran tersebut.

5. Apabila keputusan pengusiran yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan, orang yang

bersangkutan harus memiliki hak untuk menuntut ganti rugi menurut hukum, dan

keputusan yang pertama tidak boleh dipergunakan untuk mencegahnya memasuki

kembali negara yang bersangkutan.

6. Dalam hal pengusiran, orang-orang yang bersangkutan harus memiliki hak atas

kesempatan yang cukup sebelum atau sesudah keberangkatannya, untuk menyelesaikan

pembayaran gaji atau hak lain yang harus diberikan dan juga utang-utangnya.

7. Tanpa mengurangi pelaksanaan keputusan pengusiran, seorang pekerja migran atau

anggota keluarganya yang menjadi sasaran keputusan tersebut dapat memohon untuk

memasuki suatu negara yang bukan negara asalnya.

8. Dalam hal pengusiran seorang pekerja migran atau anggota keluargannya, biaya

pengusiran tidak boleh dibebankan kepadanya. Orang yang bersangkutan dapat diminta

untuk membayar biaya perjalanannya sendiri.

9. Pengusiran dari negara tempat bekerja tidak boleh mengurangi hak apa pun yang telah

diperoleh pekerja migran atau anggota keluarganya sesuai dengan hukum negara

tersebut, termasuk hak untuk menerima gaji dan hak lain yang harus diterimanya.

Pengaturan mengenai deportasi dapat juga ditemui dalam sejumlah instrumen hak asasi

manusia regional. Di kawasan Eropa Article 1 Protocol 7 European Convention on Human

Rights merupakan instrumen yang menegaskan bahwa bahwa orang asing yang secara sah

tinggal di suatu negara tidak dapat diusir kecuali berdasarkan suatu keputusan berdasarkan

hukum. Mengenai penggunaan kata „expulsion‟, Explanatory Report dari ketentuan ini

menyebutkan bahwa istilah ini harus diartikan sebagai konsep otonom yang berbeda dari

definisi yang dikenal di lingkup domestik.41

Di kawasan Asia Tenggara, Pasal 15 ASEAN

Human Rights Declaration tidak mengatur secara spesifik mengenai deportasi, tetapi hanya

menyebut bahwa setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan tinggal di dalam batas-batas

suatu negara (Every person has the right to freedom of movement and residence within the

borders of each State).

41

Flinterman, Cees (rev) dalam Dijk, Pieter van, Fried van Hoof, Arjen van Rijn and Leo Zwaak (Eds),

2006,, Theory and Practice of the ECHR, Intersentia, Antwerpen-Oxford, h. 966

Page 19: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

14

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberlakuan Hukum Hak

Asasi Manusia dalam fenomena-fenomena hukum yang berkembang di Indonesia, khususnya

di Bali. Secara khusus, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu;

a. Untuk menganalisis pengormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia

dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap tenaga

kerja asing di Indonesia

b. Untuk menganalisis aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa

tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi

manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut dalam kaitannya dengan proses

deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.

3.2 Manfaat Penelitian

Ada sejumlah manfaat yang kiranya dapat dipetik bagi sejumlah kalangan dari

penelitian ini :

a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat dijadikan suatu rujukan akademik di

bidang hukum hak asasi manusia, mengingat saat ini penelitian di bidang ini masih

sedikit dilakukan di Indonesia.

b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis ilmiah

mengenai praktik ideal penerapan deportasi bagi WNA, khususnya Tenaga Kerja Asing.

c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini bermanfaat bagi perumusan kebijakan

nasional berkaitan dengan penyempurnaan dalam prosedur operasi standar (standard

operational procedure/SOP) tindakan deportasi yang memuat aspek-aspek HAM.

d. Bagi lembaga pendidikan, khususnya Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH

UNUD), penelitian ini dapat menjadi tindak lanjut dan pengembangan terhadap materi-

materi yang disajikan dan dibahas di dalam perkuliahan, seperti misalnya Hukum Hak

Asasi Manusia, Hukum Kewarganegaraan dan Kependudukan, Hukum Ketenagakerjaan,

dan Hukum Internasional.

Page 20: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

15

3.3 Urgensi Penelitian

Penelitian ini amat penting untuk dilakukan mengingat adanya tren peningkatan kasus

penyalahgunaan visa kunjungan yang melibatkan warga negara asing di Indonesia sekaligus

tren peningkatan jumlah tenaga kerja asing yang mencari sumber penghidupan di Bali.

Sebagai destinasi pariwisata, Bali merupakan tempat potensial bagi warga negara asing untuk

bekerja sebagai tenaga kerja asing. Tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) juga

menjadikan penelitian ini urgen untuk dilakukan dalam rangka memberikan analisis hukum

mengenai proporsionalitas bagi tindakan administratif keimigrasian yang dapat dikenakan

terhadap tenaga kerja asing yang nantinya bekerja di Indonesia, khususnya di Bali, dalam

framework dan arrangement MEA.

Penelitian ini juga relevan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi terhadap tenaga

kerja asing di Indonesia, khususnya Bali, sesuai dengan instrumen HAM nasional dan

internasional terkait yang telah diratifikasi, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvensi

Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota

Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant

Workers and Members of Their Families)

Page 21: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

16

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian hukum normatif yang akan meneliti

bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan isu dan pengaturan hukum mengenai deportasi

dan tenaga kerja asing. Dalam desain ini, akan dilakukan penelitian kepustakaan, baik

terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier. Sebagai

suatu tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia, penelitian hukum normatif ini juga akan

dipadukan dan diperkaya dengan metode penelitian Hak Asasi Manusia yang telah mulai

digunakan dalam berbagai penelitian HAM saat ini.42

4.2. Jenis Pendekatan

Penelitian hukum normatif dikenal beberapa metode pendekatan, yakni pendekatan

peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical approach),

pendekatan analisis /konsep (analytical or conceptual approach), pendekatan filsafat

(philosophical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan

pendekatan kasus (case approach).43

Dalam penelitian ini, pendekatan yang akan digunakan

adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis /konsep, dan

pendekatan fakta.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

instrumen-instrumen hukum nasional dan internasional yang mengatur tentang isu deportasi

dan tenaga kerja asing. Pendekatan analisis/konsep (analytical or conceptual approach)

selanjutnya akan digunakan dalam rangka memperdalam pemahaman mengenai aspek-aspek

hak asasi manusia dalam penerapan deportasi terhadap tenaga kerja asing. Terakhir,

pendekatan fakta dimaksudkan untuk menganalisis fakta-fakta mengenai penerapan tindakan

deportasi bagi tenaga kerja asing di Indonesia, khususnya di Bali.

42

Sebagai salah satu rujukan referensi adalah Buku yang berjudul Methods of Human Rights Research

yang merupakan kompilasi metode penelitian HAM oleh Fons Coomans, Fred Grunfeld, dan Menno T

Kamminga (Eds), Methods of Human Rights Research, Maastricht Centre for Human Rights, Intersentia,

Antwerp, 2009. 43

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.

93 - 95

Page 22: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

17

4.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum, secara umum dipahami bahwa sumber bahan hukum

dibedakan antara bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Ketiga jenis bahan hukum tersebut akan dipergunakan dalam penelitian ini.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi sejumlah instrumen hukum nasional,

di antaranya Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian serta peraturan perundang-

undangan lainnya. Sejumlah instrumen internasional juga akan digunakan sebagai bahan

hukum primer, di antaranya Universal Declaration on Human Rights, International Covenant

on Civil and Political Rights, International Convention on the Protection of the Rights of All

Migrant Workers and Members of Their Families.

Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau bahan-

bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel,

jurnal, hasil penelitian, makalah dan bahan bacaan lainnya yang terkait dengan deportasi,

tenaga kerja asing, hukum dan hak orang asing, keimigrasian, Hak Asasi Manusia, dan

bacaan lain yang menunjang penelitian ini.

Sebagai pelengkap dari bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier juga

akan digunakan dalam penelitian ini. Bahan hukum tersebut dapat berupa kamus umum,

kamus hukum dan dokumen-dokumen lainnya, serta bahan penunjang di luar bidang hukum,

di antaranya bahan dari ilmu politik yang dapat mendukung dan memperjelas bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. 44

Dalam penelitian ini, selain sumber hukum yang diperoleh dari sumber hukum primer,

sekunder, dan tersier, akan ditunjang pula dengan hasil wawancara kepada aparat

Keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.

4.4. Lokasi Penelitian

Selain penelitian kepustakaan yang nampaknya akan lebih banyak dilakukan, lokasi

penelitian yang direncanakan pada penelitian ini adalah Kantor Imigrasi yang berada di

bawah lingkup Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali.

44

Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, h.41

Page 23: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

18

4.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum berupa telaah

pustaka dengan menggunakan sistem kartu (card system) yaitu meneliti berbagai literatur

yang ada kaitanya dengan materi yang akan dibahas dalam penelitian ini dan untuk

selanjutnya dicatat dalam kartu lepas dengan mencantumkan nama pengarang, judul buku,

nama penerbit, alamat/kota tempat penerbit, tahun, serta nomor halaman yang dikutip.45

Langkah awal pengumpulan data yang akan dilakukan adalah kegiatan inventarisasi,

kemudian dilakukan pengoleksian dan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem

informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali

bahan-bahan yang diperlukan. Dalam rangka memperkaya informasi serta melakukan

konfirmasi mengenai substansi-substansi penelitian ini, akan dilakukan wawancara dengan

aparat keimigrasian di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi

Bali.

4.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum pada hakekatnya

merupakan kegiatan untuk melakukan sistemisasi terhadap bahan-bahan hukum. Dalam hal

ini bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah

menganalisa bahan-bahan tersebut. Setelah itu dilakukan interpretasi hukum yang berkaitan

dengan kata-kata dari peraturan hukum yang dapat memberikan penafsiran yang berbeda-

beda serta ketidakpastian hukum.46

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap bahan hukum

yang diolah untuk dapat melakukan penelitian terhadap bahan-bahan yang diperoleh,

sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai ada atau tidaknya pengormatan, perlindungan,

dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam pengaturan hukum keimigrasian mengenai

tindakan deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia serta mengenai aspek-aspek yang

perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang dilakukan oleh pejabat

kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia yang dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut

dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali.

45

Lihat Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta, h. 37

46

LB. Curzon, 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,

Plymouth PL6 7PZ, h. 253 – 255.

Page 24: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

19

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengaturan Hukum Keimigrasian Mengenai Tindakan Deportasi Terhadap Tenaga

Kerja Asing di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Pengormatan, Perlindungan,

dan Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia

Ada sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian yang mengatur

mengenai isu deportasi terhadap tenaga kerja asing di Indonesia. Dalam legislasi Indonesia,

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (selanjutnya disebut dengan

Undang-Undang Keimigrasian) merupakan instrumen hukum nasional yang di antaranya

mengatur isu tenaga kerja asing, keimigrasian, dan deportasi. Dalam penjabarannya lebih

lanjut, telah pula diterbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Keimigrasian.

Sistematika Pembahasan sub bab 5.1 ini akan dimulai dengan analisis mengenai

dimungkinkannya warga asing untuk mendapat izin sebagai tenaga kerja asing di Indonesia.

Selanjutnya akan dibahas pula kualifikasi sanksi deportasi bagi tenaga kerja asing sebagai

tindakan keimigrasian dan aspek pidana berkaitan dengan deportasi terhadap tenaga kerja

asing. Terakhir, akan dilakukan semacam tinjauan komprehensif mengenai pengormatan,

perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

5.1.1. Izin bagi Warga Asing untuk dapat Bekerja di Indonesia

Dalam Pasal 39 huruf a Undang-undang Keimigrasian digariskan bahwa Visa tinggal

terbatas diberikan kepada Orang Asing yang berprofesi sebagai pekerja. Penjelasan atas

ketentuan tersebut mejabarkan lebih lanjut bahwa Visa tinggal terbatas dalam penerapannya

dapat diberikan untuk melakukan kegiatan dalam rangka bekerja, yaitu:

a. sebagai tenaga ahli;

b. bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di

wilayah perairan Nusantara, laut territorial, atau landas kontinen, serta Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia;

c. melaksanakan tugas sebagai rohaniwan;

d. melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi dengan menerima bayaran, seperti

olahraga, artis, hiburan, pengobatan, konsultan, pengacara, perdagangan, dan kegiatan

profesi lain yang telah memperoleh izin dari instansi berwenang;

e. melakukan kegiatan dalam rangka pembuatan film yang bersifat komersial dan telah

mendapat izin dari instansi yang berwenang;

Page 25: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

20

f. melakukan pengawasan kualitas barang atau produksi (quality control);

g. melakukan inspeksi atau audit pada cabang perusahaan di Indonesia;

h. melayani purnajual;

i. memasang dan reparasi mesin;

j. melakukan pekerjaan nonpermanen dalam rangka konstruksi;

k. mengadakan pertunjukan;

l. mengadakan kegiatan olahraga profesional;

m. melakukan kegiatan pengobatan; dan

n. calon tenaga kerja asing yang akan bekerja dalam rangka uji coba keahlian.

Ketentuan di atas secara ekspilisit mengatur bahwa secara administratif, orang asing

dapat bekerja di Indonesia dengan memegang Visa tinggal terbatas. Lebih jauh, mereka juga

dapat bekerja di Indonesia dengan memegang izin tinggal tetap, sebagaimana diatur di dalam

Pasal 54 ayat (1) huruf a Undang-undang Keimigrasian.

Dengan demikian, warga negara asing yang bekerja di Indonesia dalam waktu yang

relatif lama tentu tidak cukup memiliki Visa tinggal terbatas saja, karena substansi visa

adalah keterangan tertulis yang memuat persetujuan bagi Orang Asing untuk melakukan

perjalanan ke Wilayah Indonesia.47

Adapun izin tinggal sebagai suatu izin yang diberikan

kepada Orang Asing untuk berada di Wilayah Indonesia,48

khususnya izin tinggal tetap, tentu

lebih memiliki status hukum yang lebih kuat karena mereka diberikan izin bertempat tinggal

dan menetap di Wilayah Indonesia dalam status sebagai penduduk Indonesia.49

Hak untuk bekerja bagi warga negara asing tersebut vis a vis juga menimbulkan

sejumlah kewajiban. Dalam kaitannya dengan konteks ketenagakerjaan, salah satu kewajiban

tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 71 yang menentukan bahwa setiap Orang Asing yang

berada di Wilayah Indonesia wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai

identitas dirinya serta melaporkan setiap perubahan status pekerjaan dan Penjamin kepada

Kantor Imigrasi setempat.50

Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk memperlihatkan dan

menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh

Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka pengawasan Keimigrasian.51

47

Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 48

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 49

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 50

Pasal 71 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 51

Pasal 71 Huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Page 26: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

21

5.1.2 Sanksi Deportasi Bagi Tenaga Kerja Asing sebagai Tindakan Keimigrasian

Bab VII Undang-undang Keimigrasian mengatur tentang Tindakan Administratif

Keimigrasian. Ditentukan bahwa orang asing yang melakukan kegiatan berbahaya dan patut

diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau tidak

menaati peraturan perundang-undangan dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian

oleh Pejabat imigrasi yang berwenang.52

Ada sejumlah tindakan Administratif Keimigrasian

sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 75 ayat (2), yaitu:

a. pencantuman dalam daftar Pencegahan atau Penangkalan;

b. pembatasan, perubahan, atau pembatalan Izin Tinggal;

c. larangan untuk berada di satu atau beberapa tempat tertentu di Wilayah Indonesia;

d. keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di Wilayah Indonesia;

e. pengenaan biaya beban; dan/atau

f. Deportasi dari Wilayah Indonesia.

Apabila Pasal 1 angka 36 Undang-Undang Keimigrasian mendefinisikan deportasi

sebagai tindakan paksa mengeluarkan Orang Asing dari Wilayah Indonesia, maka ketentuan

Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Keimigrasian memperjelas kualifikasi bahwa deportasi

merupakan salah satu bentuk tindakan administratif keimigrasian.

Menariknya, tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi dapat juga dilakukan

terhadap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia karena berusaha menghindarkan diri

dari ancaman dan pelaksanaan hukuman di negara asalnya.53

Secara teoritik, hal ini tentu

menjadi diskursus mengenai upaya ekstradisi yang dapat juga diterapkan dalam situasi

serupa.

Berkaitan dengan batas waktu ijin tinggal dan pembayaran biaya beban, deportasi dapat

dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang tidak membayar biaya beban

karena telah berakhir masa berlakunya dan masih berada dalam Wilayah Indonesia kurang

dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu Izin Tinggal. Selain itu, deportasi juga dapat

dikenakan bagi Orang Asing pemegang Izin Tinggal yang telah berakhir masa berlakunya

dan masih berada dalam Wilayah Indonesia lebih dari 60 (enam puluh) hari dari batas waktu

Izin Tinggal bagi. Namun demikian, pengenaan tindakan deportasi dalam situasi ini bersifat

opsional, karena hal serupa dapat pula dikenakan tindakan administratif lain, yaitu

penangkalan.54

52

Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 53

Pasal 75 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 54

Lihat Pasal 78 dan Pasal 1 angka 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Page 27: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

22

Pengenaan sanksi deportasi ternyata memiliki konsekuensi hukum bagi izin tinggal

yang dimiliki oleh pemegang izin tersebut yang ternyata dideportasi. Undang-undang

Keimigrasian menentukan bahwa tindakan deportasi secara otomatis mengakhiri izin tinggal

kunjungan,55

izin tinggal terbatas,56

dan izin tinggal tetap.57

Bagi Tenaga Kerja asing yang

dideportasi tetapi ternyata tidak mempunyai Dokumen Perjalanan yang sah dan masih

berlaku atau perwakilan negaranya di Wilayah Indonesia, maka dapat diberikan Surat

Perjalanan Laksana Paspor.58

Konsekuensi hukum ternyata tidak hanya berlaku terhadap orang asing saja, tetapi juga

bagi para penjamin. Berdasarkan Pasal 63 ayat (3) huruf b Undang-undang Keimigrasian

disebutkan bahwa Penjamin berkewajiban untuk membayar biaya yang timbul untuk

memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia

apabila Orang Asing yang bersangkutan dikenai Tindakan Deportasi.

5.1.3 Aspek Pidana berkaitan dengan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya di bagian latar belakang laporan ini,

deportasi sebagai tindakan administratif keimigrasian juga memiliki dimensi penegakan

hukum pidana yang dikualifikasikan sebagai „tindak pidana keimigrasian‟ berdasarkan Pasal

109 Undang-Undang Keimigrasian.59

Tindak pidana keimigrasian juga digolongkan sebagai

„tindak pidana khusus‟ yang mana memiliki hukum formal dan hukum materiil tersendiri,

berbeda dengan hukum pidana umum. Bahkan aparat penegakan hukum keimigrasian juga

juga dilengkapi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian yang

menjalankan tugas dan wewenang secara khusus sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1

angka 8 dan Penjelasan Bagian Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian.

Bab XI Undang-Undang Keimigrasian mengatur mengenai Ketentuan Pidana yang

dimuat di dalam undang-undang ini. Menariknya, ada substansi ketentuan pidana yang dalam

penegakannya nampaknya justru berpotensi dikenakan tindakan administratif deportasi. Hal

ini dapat dilihat di dalam Pasal 116 yang mengatur bahwa setiap Orang Asing yang tidak

55

Pasal 51 huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 56

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 57

Pasal 62 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 58

Pasal 58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 59

Disebutkan bahwa “Terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana keimigrasian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal

127, Pasal 128, Pasal 129, Pasal 131, Pasal 132, Pasal 133 huruf b, Pasal 134 huruf b, dan Pasal 135 dapat

dikenai penahanan.”

Page 28: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

23

melakukan kewajibannya untuk memberikan segala keterangan yang diperlukan mengenai

identitas diri serta melaporkan setiap pekerjaan dan Penjamin maupun tidak melakukan

kewajibannya untuk memperlihatkan dan menyerahkan Dokumen Perjalanan atau Izin

Tinggal yang dimilikinya apabila diminta oleh Pejabat Imigrasi yang bertugas dalam rangka

pengawasan Keimigrasian,60

dapat dikenakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama

3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta

rupiah).

Ketentuan lain dapat dilihat dalam Pasal 122 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketentuan ini memuat ancaman pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta

rupiah) bagi setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan

kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan

kepadanya ataupun bagi setiap orang yang menyuruh atau memberikan kesempatan kepada

Orang Asing menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud

atau tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.

Sepanjang penelusuran penulis, berkaitan dengan sanksi deportasi bagi orang asing,

termasuk tenaga kerja asing, ternyata terjadi ketidakjelasan antara pemidanaan dan tindakan

administratif. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa tindakan administratif lebih diutamakan

karena alasan efisiensi61

ataupun karena minimnya keinginan untuk mengadili kasus

keimigrasian menjadi suatu mekanisme pro justitia.62

Hal ini dapat dilihat dari kasus pendeportasian terhadap empat orang WNA yaitu

Nicholas William Thomas (Inggris), Nancy May (Inggris), Steven Thomas (Inggris), dan

Marina Naloni (Amerika Serikat), sebagaimana sebelumnya diuraikan di bagian latar

belakang laporan ini. Keempat WNA ini diduga menyalahgunakan Visa on Arrival untuk

bekerja di salah satu salon di jalan Oberoi Seminyak sejak awal bulan November 2014

dengan alat bukti berupa video, foto dan pengakuan yang menunjukkan bahwa mereka telah

bekerja di salon tersebut sejak awal bulan November 2014. Namun dalam konferensi pers

terkait kasus ini, Kepala Bidang Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi

Kelas I Khusus Ngurah Rai justru menyebutkan bahwa keempat WNA tersebut harus

60

Lihat Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 61

Lihat Lalu Hartadi, Pelaksanaan Pengawasan Wisatawan Asing yang Menggunakan Visa Kunjungan

Saat Kedatangan (Visa On Arrival): Studi di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi Mataram), Jurnal, Program Studi

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram, 2015, h. 14 62

Bahkan keengganan ini juga terjadi di negara lain, yang mana Hakim enggan untuk mengintervensi

isi deportasi. Lihat Helen Fenwick and gavin Phillipson, Text, Cases, and Materials on Public Law and Human

Rights, Routledge-Cavendish, Oxon, 2006, h.844.

Page 29: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

24

menerima sanksi yang tertuang dalam Pasal 122 Huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2011 tentang Keimigrasian, di mana sanksinya berupa deportasi plus penangkalan (atau di-

black list) untuk masuk kembali ke Indonesia selama enam bulan ke depan terhitung setelah

dideportasi. Hal ini tentu mengindikasikan seolah pengenaan tindakan administratif atau

proses pidana menjadi pilihan yang membuka ruang interpretasi dan diskresi bagi aparat

keimigrasian dalam kasus-kasus yang ditanganinya.

5.1.4. Tinjauan mengenai Pengormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi

Manusia

Penyusunan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian ternyata

dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek HAM. Pada Konsideran menimbang huruf b

Undang-undang tersebut mengakui diperlukannya peraturan perundang-undangan yang

menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan

hak asasi manusia. Selanjutnya, pada bagian Umum Penjelasan atas undang-undang tersebut

dinyatakan sebagai berikut:

“… bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya tuntutan terwujudnya tingkat

kesetaraan dalam aspek kehidupan kemanusiaan, mendorong adanya kewajiban

untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagai bagian

kehidupan universal … Berdasarkan kebijakan selektif (selective policy) yang

menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, diatur masuknya Orang Asing ke dalam

Wilayah Indonesia, demikian pula bagi Orang Asing yang memperoleh Izin Tinggal

di Wilayah Indonesia harus sesuai dengan maksud dan tujuannya berada di Indonesia.

Berdasarkan kebijakan dimaksud serta dalam rangka melindungi kepentingan

nasional, hanya Orang Asing yang memberikan manfaat serta tidak membahayakan

keamanan dan ketertiban umum diperbolehkan masuk dan berada di Wilayah

Indonesia”

Penghormatan terhadap nilai HAM dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (Selanjutnya disebut sebagai Peraturan

Pemerintah tentang Keimigrasian). Pada dasarnya, terdapat penegasan bahwa Pejabat

Imigrasi berwenang menempatkan orang asing (tenaga kerja asing) dalam Ruang Detensi

Imigrasi maupun Rumah Detensi Imigrasi dalam hal Orang Asing menunggu pelaksanaan

Deportasi.63

Selanjutnya, dalam Pasal 214 Peraturan Pemerintah tentang Keimigrasian

disebutkan bahwa Pendetensian terhadap Orang Asing dilakukan sampai Deteni di Deportasi

63

Pasal 208 (1) huruf d dan Pasal 209 huruf d Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

Tentang Keimigrasian

Page 30: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

25

dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. Terhadap orang asing ini, Menteri atau

Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dapat memberikan izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi

kepada Deteni.64

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah tersebut ternyata memuat penerapan terhadap nilai

HAM, yang menyatakan sebagai berikut”

“Terhadap Orang Asing yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan,

dikenakan Tindakan Administratif Keimigrasian, menunggu pelaksanaan Deportasi, atau

ditolak masuk ke Wilayah Indonesia, Pejabat Imigrasi berwenang untuk

menempatkannya di Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi dan

berkewajiban untuk pemulangan atau pendeportasian :terhadap Orang Asing Deteni

dimaksud. Dalam rangka penerapan nilai hak asasi manusia khusus terhadap deteni

yang hingga dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun belum juga dapat

dipulangkan atau dideportasi, kepada Deteni tersebut dapat diberikan izin berada di

luar Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan persetujuan Menteri, dengan tetap

mewajibkannya melapor secara periodik/berkesinambungan kepada Pejabat Imigrasi.”

Selain itu, dalam konteks otoritas, keimigrasian merupakan bidang yang dipimpin oleh

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan

hak asasi manusia65

yang secara lebih teknis diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal

Imigrasi sebagai unsur pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia di bidang Keimigrasian.66

Realitas struktural ini tentu mengasumsikan bahwa isu

keimigrasian tidak terlepas dari hak asasi manusia.

Pemahaman HAM yang dimiliki oleh aparat keimigrasian dalam menerapkan prosedur

dan mekanisme deportasi tentu sangat diharapkan. Sebagaimana telah menjadi rambu etika

institusi, petugas imigrasi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia dituntut memiliki etika dalam penyelenggaraan pemerintahan

untuk menghormati, memajukan, memenuhi, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang di dalam

Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Nomor M.HH-07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil di

Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.67

Secara khusus, Peraturan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-02.KP.05.02

Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi juga menentukan bahwa etika pegawai

64

Pasal 220 ayat (1) Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 65

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 66

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian 67

Pasal 5 huruf I Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Kementerian Hukum dan

Hak Asasi Manusia

Page 31: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

26

imigrasi dalam bernegara meliputi pula perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia

setiap orang dengan tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara.68

5.2 Aspek-aspek yang Perlu Diperhatikan Untuk Menjamin Tindakan Deportasi yang

Dilakukan oleh Pejabat Kemigrasian Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia Tenaga

Kerja Asing di Bali

Dalam melakukan tindakan Deportasi terhadap Tenaga Kerja Asing di Bali, ada

sejumlah aspek yang perlu diperhatikan agar tindakan yang Dilakukan oleh Pejabat

Kemigrasian Tidak Melanggar Hak Asasi Manusia yang dimiliki TKA tersebut.

5.2.1 Aspek Substansi

Ada sejumlah hal substansi yang perlu diklarifikasi sebelum mengenakan tindakan

administratif deportasi kepada TKA. Dalam istilah lain, proses ini dapat disebut sebagai due

dilligent obligation.

Berkaitan dengan unsur pelanggaran yang dijadikan dasar bagi pengenaan sanksi,

misalnya seorang TKA dapat dideportasikan karena bekerja di luar profesi atau jabatan atau

jenis pekerjaan yang diperbolehkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang

ketenagakerjaan Indonesia. Di Bali misalnya, cukup sering terdengar rumor yang

menyebutkan bahwa orang lokal hanya bekerja sebagai pekerja biasa, sementara „bos‟nya

adalah orang asing. Terhadap hal ini, petugas imigrasi dan dinas ketenagakerjaan terkait tentu

penting untuk memastikan jenis-jenis pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang asing

sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang Jabatan-Jabatan Tertentu Yang Dilarang Diduduki

Tenaga Kerja Asing, yang sebelumnya telah diuraikan di sub bab 2.1.

Status pekerja ilegal atau yang biasa dikenal sebagai undocumented worker69

juga

perlu dicermati sebagai aspek substantif bagi pengenaan tindakan deportasi. Hal lain adalah

mengenai kejelasan status orang yang akan dideportasi tersebut apakah memang masih

tercatat sebagai TKA atau tidak. Terhadap hal ini, klarifikasi dapat dilakukan kepada pemberi

kerja dan/atau Dinas Ketenagakerjaan

Dalam aspek substansi, ada satu catatan lagi yang kiranya penting untuk dicermati.

Berkaitan dengan isu Hak Asasi Manusia yang akan lebih lanjut dibahas pada sub bab 5.2.3,

68

Pasal 6 huruf d Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

M.HH-02.KP.05.02 Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi 69

Lihat Chizuko Hayakawa, Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers in Japan, Japan

Labor Review, vol. 7, no.3, Summer 2010, h. 24-25

Page 32: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

27

perlu dilakukan penelusuran bahwa rekomendasi dilakukannya deportasi bukan disebabkan

oleh praktik yang terjadi di tempat kerja, seperti misalnya diskriminasi ras, diskriminasi

jender, sexual harassment, orientasi seksual, diskriminasi agama, diskriminasi berbasis

kewarganegaraan, diskriminasi usia, diskriminasi kaum difabel.70

5.2.2 Aspek Prosedural

Selain aspek substansi, seperangkat prosedur internal juga perlu diperhatikan untuk

memastikan bahwa tindakan deportasi diambil melalui prosedur yang benar. Dengan

demikian, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia dan Direktur Jenderal Keimigrasian yang berkaitan dengan isu deportasi tentu perlu

untuk ditaati.

Koordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya dinas ketenagakerjaan baik di

tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Bali juga perlu dilakukan. Contoh yang baik

mengenai kerjasama antara Dinas Tenaga Kerja dan Kantor Imigrasi di Palembang

memperlihatkan sinergi di antara kedua instansi pemerintah lintas sektoral tersebut.71

Selain itu, koordinasi dengan perwakilan pemerintah asing mengenai warga

negaranya yang merupakan tenaga kerja asing di Indonesia yang mengalami deportasi juga

penting untuk dilakukan. International Convention on the Protection of the Rights of All

Migrant Workers and Members of their Families yang telah diratifikasi melalui Undang-

undang Nomor 6 tahun 2012 mengatur hal bagi pekerja asing yang mengalami deportasi.

Dalam Pasal 23 Konvensi tersebut dinyatakan bahwa pekerja asing harus memiliki hak untuk

memperoleh pilihan meminta perlindungan dan bantuan pejabat konsuler atau diplomatik dari

Negara asalnya atau Negara yang mewakili kepentingan Negara tersebut, apabila hak-hak

yang diakui dalam Konvensi ini dilanggar. Bahkan khusus dalam hal deportasi, orang yang

bersangkutan wajib diinformasikan mengenai hak ini dengan segera dan pejabat dari Negara

yang melakukan pengusiran wajib memfasilitasi pelaksanan hak tersebut.

70

Isu ini dibahas oleh Dawn D. Bennett-Alexander dan Laura P. Hartman, Employment Law for

Business, Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Irwin, New York, 2007, Part Two. 71

http://palembang.tribunnews.com/2015/10/19/disnaker-dan-imigrasi-akan-deportasi-tenaga-kerja-

asing-bermasalah

Page 33: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

28

5.2.3 Aspek Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia

Sangatlah penting bagi petugas imigrasi untuk menjamin tidak terjadi pelanggaran

HAM dalam proses deportasi. Salah satu bentuk ekstrim dari kesengajaan deportasi oleh

petugas imigrasi ini dapat tergambar dari tulisan Matthew J. Gibney dalam sebuah Jurnal

bernama Refugee Survey Quarterly sebagai berikut:72

“At the extreme, deportation is a form of international movement that is all push and no

pull. The push is provided by the agents of the State who use detention centres,

handcuffs, physical force and, sometimes even drugs, to effect departure. Deportation is

a form of forced migration in which individuals who do not leave the State under their

own steam will be shackled, bound, and literally carried out the State.”

Berangkat dari deskripsi tersebut, maka Pembahasan berikut akan memfokuskan pada

aspek Hak Asasi Manusia, khususnya mengenai jaminan bahwa tindakan deportasi tidak

melanggar HAM. Analisis akan didasarkan pada kewajiban internasioal Indonesia yang lahir

dari perjanjian-perjanjian internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi.

Pada prinsipnya, ada sejumlah HAM yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang

perlu dipenuhi oleh petugas imigrasi dalam proses deportasi TKA, khususnya yang memuat

keputusan untuk melakukan detensi, yaitu implementasi terhadap Pasal 11 International

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah diratifikasi Indonesia melalui

Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 yaitu mengenai Hak TKA yang akan dideportasi

untuk mendapatkan makan dan minum yang layak (right to adequate food), mendapatkan

pakaian yang layak (right to adequate clothing), dan hal untuk mendapat tempat tinggal yang

layak (right to adequate housing and shelter). Adapun pemenuhan terhadap hak-hak tersebut

perlu dipahami sebagai pemenuhan dalam situasi detensi di ruang detensi imigrasi atau rumah

detensi imigrasi.

Selanjutnya, terdapat pula sejumlah hal yang juga perlu diperhatikan. Pertama,

petugas imigrasi harus menjamin bahwa TKA tidak boleh disiksa selama TKA yang

menunggu proses deportasi berada di dalam ruang detensi imigrasi atau rumah detensi

imigrasi. Istilah detensi di sini nampaknya dapat diperluas maknanya sebagaimana halnya

detensi (detention) yang dikenal dalam proses acara pidana yang pada dasarnya

menghilangkan kebebasan bergerak seseorang untuk sementara waktu. Sebagaimana

umumnya diketahui, penyiksaan (torture) merupakan suatu pelanggaran HAM. Indonesia

juga telah meratifikasi Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading

72

Gibney, Matthew J., 2013, Is Deportation a Form of Forced Migration?, Refugee Survey Quarterly,

Vol. 32, No. 2, pp. 116–129, h. 117. http://rsq.oxfordjournals.org/content/32/2/116.full.pdf+html

Page 34: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

29

Treatment or Punishment (CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998. Jika merujuk

Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 Konvensi ini, maka petugas keimigrasian seyogyanya telah

mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk tdak melakukan penyiksaan dalam proses

interogasi maupun penahanan (detensi) dan metode pelaksanaannya pun telah memperhatikan

aspek pencegahan terjadinya kasus penyiksaan.

Kedua, khusus dalam hal masih terdapat proses penentuan terdapatnya unsur

pelanggaran yang dapat berpotensi diberikan tindakan administratif deportasi atau justru

merupakan tindak pidana keimigrasian, maka petugas keimigrasian perlu memperhatikan

substansi yang terdapat di dalam Pasal 14 ICCPR, di antaranya:

a. Menghormati prinsip praduga tidak bersalah

b. Memberikan kesempatan untuk mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi

dengan pengacaranya.

c. Dalam hal petugas imigrasi dan TKA yang akan dideportasi menemui kesulitan dalam

berkomunikasi karena keterbatasan pemahaman bahasa yang dialami oleh salah satu

pihak atau kedua belah pihak, maka petugas imigrasi perlu menyediakan penerjemah.

Ketiga, Petugas imigrasi juga perlu memperhatikan perlakuan yang tidak diskriminatif

dalam menerapkan tindakan administratif deportasi. Adapun diskriminasi dimaksud dapat

berupa diskriminasi ras, diskriminasi jender, diskriminasi agama, maupun diskriminasi

berbasis kewarganegaraan.

Keempat, tindakan deportasi hanya dilakukan terhadap TKA secara individual.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada sub bab 2.2, Pasal 22 ayat (1) International

Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their

Families menentukan bahwa para pekerja migran dan anggota keluarganya tidak boleh

menjadi sasaran kebijakan pengusiran secara massal. Diatur lebih lanjut bahwa setiap kasus

pengusiran harus diperiksa dan diputuskan sendiri-sendiri.

Kelima, Petugas imigrasi juga perlu memberikan Perlakuan khusus terhadap TKA

yang masih dikualifikasikan sebagai anak-anak dan TKA yang merupakan kaum disabilitas.

Anak-anak perlu mendapatkan perlakukan khusus dalam proses detensi sebagaimana

dilindungi di dalam Pasal 14 ayat (4) ICCPR. Secara lebih mengkhusus, hak anak juga diatur

di dalam Pasal 9 ayat (4) Convention on the Rights of Child yang telah diratifikasi oleh

Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Berikut merupakan kutipan

ketentuan tersebut:

Page 35: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

30

“Where such separation results from any action initiated by a State Party, such as the

detention, imprisonment, exile, deportation or death (including death arising from any

cause while the person is in the custody of the State) of one or both parents or of the

child, that State Party shall, upon request, provide the parents, the child or, if

appropriate, another member of the family with the essential information concerning the

whereabouts of the absent member(s) of the family unless the provision of the

information would be detrimental to the well-being of the child. States Parties shall

further ensure that the submission of such a request shall of itself entail no adverse

consequences for the person(s) concerned.”

Adapun kekhususan bagi TKA yang merupakan penyandang disabilitas harus

dilakukan merujuk pada ketentuan yang tertuang di dalam Convention on the Rights of

Persons with Disabilities sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 19

tahun 2011. Merujuk Pasal 14 ayat (2), maka Indonesia, dalam hal ini pemerintah melalui

petugas imigrasi harus menjamin bahwa jika penyandang disabilitas dicabut kebebasannya

melalui proses apa pun, mereka berhak, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap

jaminan-jaminan yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional dan harus

diperlakukan sesuai dengan tujuan dan prinsip Konvensi ini, termasuk ketentuan akomodasi

yang beralasan.

Keenam, perlu diterapkan prinsip kehati-hatian mengenai kewarganegaraan TKA.

Dalam kasus Stewart v Canada (583/93), CCPR menyimpulkan bahwa keputusan deportasi

tidak sah dan merupakan pelanggaran HAM berdasarkan Pasal 12 ayat (4) ICCPR.73

73

Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, Op.Cit, h. 369-374.

Page 36: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

31

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas:

1. Secara normatif, pengaturan hukum keimigrasian mengenai tindakan deportasi terhadap

tenaga kerja asing di Indonesia telah memperhatikan pengormatan, perlindungan, dan

pemenuhan hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 Tentang Keimigrasian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011

Tentang Keimigrasian. Secara lebih spesifik, hal ini terefleksikan dari norma yang

menerapkan nilai hak asasi manusia bagi deteni yang hingga dalam jangka waktu 10

(sepuluh) tahun belum juga dapat dipulangkan atau dideportasi, untuk dapat diberikan

izin berada di luar Rumah Detensi Imigrasi berdasarkan persetujuan Menteri, dengan

tetap mewajibkannya melapor secara periodik/berkesinambungan kepada Pejabat

Imigrasi.

2. Dalam kaitannya dengan proses deportasi terhadap tenaga kerja asing di Bali, ada

sejumlah aspek yang perlu diperhatikan untuk menjamin bahwa tindakan deportasi yang

dilakukan oleh pejabat kemigrasian tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) yang

dimiliki oleh tenaga kerja asing tersebut, yaitu aspek substansi, aspek prosedural, dan

aspek penghormatan, perlindungan,dan pemenuhan HAM. Aspek substansi berkaitan

dengan unsur pelanggaran yang dijadikan dasar bagi pengenaan sanksi, kejelasan status

pekerja baik mengenai klasifikasinya maupun mengenai masa efektivitas tercatat sebagai

Tenaga Kerja Asing, serta penelusuran bahwa deportasi bukan dilakukan karena praktik

diskriminasi yang terjadi di tempat kerja. Dari aspek prosedural, seperangkat prosedur

internal juga perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa tindakan deportasi diambil

melalui prosedur yang benar. Selain itu, koordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya

dinas ketenagakerjaan baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota di Bali serta

koordinasi dengan perwakilan pemerintah asing mengenai warga negaranya yang

merupakan tenaga kerja asing di Indonesia yang mengalami deportasi juga penting untuk

dilakukan. Mengenai aspek penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM pada

prinsipnya, ada sejumlah HAM yang merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu

dipenuhi oleh petugas imigrasi dalam proses deportasi TKA, khususnya yang memuat

Page 37: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

32

keputusan untuk melakukan detensi, yaitu hak untuk mendapatkan Makan dan minum

yang layak (right to adequate food), mendapatkan pakaian yang layak (right to adequate

clothing), dan hal untuk mendapat tempat tinggal yang layak (right to adequate housing

and shelter). Selanjutnya, terdapat pula sejumlah hal yang juga perlu diperhatikan, yaitu

jaminan bahwa TKA tidak boleh disiksa selama TKA yang menunggu proses deportasi

berada di dalam ruang detensi imigrasi atau rumah detensi imigrasi, penghormatan

terhadap prinsip praduga tidak bersalah, pemberian kesempatan untuk mempersiapkan

pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacaranya, penyediaan penerjemah apabila

diperlukan, pencegahan atas perlakuan yang diskriminatif dalam menerapkan tindakan

administratif deportasi, kepastian bahwa tindakan deportasi hanya dilakukan terhadap

TKA secara individual, pemberian perlakuan khusus terhadap TKA yang masih

dikualifikasikan sebagai anak-anak dan TKA yang merupakan kaum disabilitas serta

penerapan prinsip kehati-hatian mengenai kewarganegaraan TKA.

6.2 Saran

1. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu menginisiasi Pendidikan dan

Pelatihan yang melibatkan aparat-aparat Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali serta Pemerintah Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota se- Bali, khususnya dinas ketenagakerjaan dalam rangka memberikan

wawasan mengenai aspek Hak Asasi Manusia dalam isu deportasi dan sekaligus

memberikan pelatihan teknis mengenai penerapan tindakan deportasi bagi Tenaga Kerja

Asing di Bali.

2. Dalam rangka pencegahan dan koordinasi, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia Provinsi Bali dan Pemerintah Daerah di Bali hendaknya melakukan

diseminasi yang memadai bagi konsulat pemerintah asing yang berada di Bali mengenai

perkembangan pengaturan dan praktik deportasi terhadap tenaga kerja asing.

Page 38: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

33

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal

Bantekas, Ilias and Lutz Oette, 2013, International Human Rights Law and Practice,

Cambridge University Press, New York

Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional: Pengertian, Peran, dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Edisi Kedua, Cetakan Keempat.PT. Alumni, Bandung

Coomans, Fons, Fred Grunfeld, dan Menno T Kamminga (Eds), 2009, Methods of Human

Rights Research, Maastricht Centre for Human Rights, Intersentia, Antwerp

Chizuko Hayakawa, 2010, Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers in

Japan, Japan Labor Review, vol. 7, no.3.

Curzon, LB, 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,

Plymouth PL6 7PZ

Dawn D. Bennett-Alexander dan Laura P. Hartman, 2007, Employment Law for Business,

Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Irwin, New York.

Dijk, Pieter van, Fried van Hoof, Arjen van Rijn and Leo Zwaak (Eds), 2006, Theory and

Practice of the European Convention of Human Rights, Intersentia, Antwerpen-Oxford

Duncan, Nigel, 2008, (The City Law School, City University London) “Employment Law in

Practice, 8th

Edition, Oxford University Press, New York

Fenwick, Helen and gavin Phillipson, 2006, Text, Cases, and Materials on Public Law and

Human Rights, Routledge-Cavendish, Oxon.

Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Gibney, Matthew J., 2013, Is Deportation a Form of Forced Migration?, Refugee Survey

Quarterly, Vol. 32, No. 2, pp. 116–129.

http://rsq.oxfordjournals.org/content/32/2/116.full.pdf+html

Joseph, Sarah, Jenny Schultz, and Mellissa Castan, 2004, The International Covenant on

Civil and Political Rights: Cases, Materials, and Commentary, Second Edition, Oxford

University Press Inc., New York

Lalu Hartadi, 2015, Pelaksanaan Pengawasan Wisatawan Asing yang Menggunakan Visa

Kunjungan Saat Kedatangan (Visa On Arrival): Studi di Wilayah Kerja Kantor Imigrasi

Mataram), Jurnal, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Max Boli Sabon, 2014, Hak Asasi Manusia: Bahan Pendidikan untuk Perguruan Tinggi,

Universitas atma Jaya, Jakarta

Page 39: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

34

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. 4, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta.

Saru Arifin, 2014, Hukum Perbatasan Darat Antar Negara, Sinar Grafika, Jakarta

Setyo Yowono Sudikni, 1983, Pengantar Karya Ilmiah, Cet.III, Aneka Ilmu, Jakarta.

Smith, Rhona K, 2010, Textbook on International Human Rights, Oxford University Press

Inc., New York

Smith, Rhona. K, 2010, Text and Materials on International Human Rights, Second Edition,

Routledge, New York.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, CV. Rajawali, Jakarta.

Sunit Budhi Cahyono, Tinjauan Terhadap Deportasi Warga Negara Asing Karena

Pelanggaran Batas Ijin Tinggal Dan Akibat Hukum Oleh Kantor Imigrasi Surakarta

(Studi Kasus Pendeportasian Mohamed Tarek Mohamed Mohamed El Atreiry), abstrak

skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta,

http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=10920

Yahya Ahmad Zein, 2012, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberti, Yogyakarta

B. Peraturan Perundang-Undangan Nasional dan Lokal

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

07.KP.05.02 Tahun 2012 Tentang Kode Etik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-

02.KP.05.02 Tahun 2010 tentang Kode Etik Pegawai Imigrasi

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu

Peraturan Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu

Page 40: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

35

C. Instrumen Internasional

ASEAN Human Rights Declaration

Convention on the Rights of Child

Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment

European Convention on Human Rights (Protocol 7)

General comment of the Human Rights Committee No. 15: The position of aliens under the

Covenant, Twenty-seventh session

International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance

International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and

Members of Their Families

International Covenant on Civil and Political Rights

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

Universal Declaration of Human Rights

D. Artikel

Balikpapan Pos, Artikel “WNA Mengarah Kejahatan Dunia Maya: Kapolres Sayangkan

Imigrasi Cepat Melakukan Deportasi”, 4 November 2014

http://www.balikpapanpos.co.id/berita/detail/139882-wna-mengarah-kejahatan-dunia-

maya.html

Beritabali.com, Artikel “282 WNA Dideportasi Imigrasi Singaraja Selama 2014”, 18

Desember 2014 http://beritabali.com/index.php/page/berita/bll/detail/2014/12/18/282-

WNA-Dideportasi-Imigrasi-Singaraja-Selama-2014/201412180001

Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Surat Kabar Pos

Bali, dan Antara News, Artikel “Imigrasi Tekankan Penegakan Hukum WNA Terkait

MEA dan Surat Kabar Pos Bali” http://www.imigrasi.go.id/index.php/berita/berita-

utama/654-imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea,

http://posbali.com/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-terkait-mea/

danhttp://antarabali.com/berita/66957/imigrasi-tekankan-penegakan-hukum-wna-

terkait-mea

Page 41: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

36

Okezone.com, Artikel, Menkumham Didesak Deportasi WNA Bermasalah, 11 September

2014

http://news.okezone.com/read/2014/09/11/339/1037694/menkumham-didesak-

deportasi-wna-bermasalah

Sinar Harapan, Artikel “Ada 1800 Tenaga Kerja Asing di Bali”, 21 Januari 2015,

http://sinarharapan.co/news/read/150121031/ada-1800-tenaga-kerja-asing-di-bali

Surat Kabar Pos Bali, Artikel “Gunakan VoA untuk Kerja, Empat WNA Dideportasi”, 19

November 2014, http://posbali.com/gunakan-voa-untuk-kerja-empat-wna-dideportasi/

Surat Kabar Pos Bali, Artikel “408 WNA Dideportasi dari Bali”, 27 Januari 2015,

http://posbali.com/408-wna-dideportasi-dari-bali/

Tempo.Co, Artikel “Bali Dibanjiri Pekerja Asing Ilegal”, 25 Maret 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/058565217/Bali-Dibanjiri-Pekerja-Asing-

Ilegal .

Tempo.Co, Artikel Selasa, “Pekerja Asing Ilegal di Bali Dikeluhkan”, 25 Maret 2014,

http://www.tempo.co/read/news/2014/03/25/090565312/Pekerja-Asing-Ilegal-di-Bali-

Dikeluhkan

Tribunnews, Artikel “Menkumham : Kami Akan Deportasi WNA Pelanggar Aturan”, 24 Juni

2014, http://www.tribunnews.com/nasional/2014/06/24/menkumham-kami-akan-

deportasi-wna-pelanggar-aturan

Page 42: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

I Made Budi Arsika

Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati

Sagung Putri M.E. Purwani

Made Maharta Yasa

Economic Rights of Foreign Workers

in Tourism Industry in Bali:

A Human Rights Law Perspective

International Seminar

Economic Approach to Law in Tourism Industry

Bali, 28 August 2015

Page 43: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

OUTLINE Background

Facts and Figures

Legal Issues

Methodology

Scope of Analysis

Relevant Concept

Analysis on relevant instruments

Case Laws

Some Notes

Conclusion

Recommendation

Page 44: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA
Page 45: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

BACKGROUND Tourism industry in Bali

The coming of foreign workers to Bali

Medias mostly make reports on the negative impacts of the foreign

workers, especially for the local workers

Most issues are dealing with the readiness of local workers to

compete with foreign workers

Some violations of law and administrative procedure by illegal

foreign workers

The recognition of economic rights of foreign workers?

Measures should be taken by the National and Local

Governments?

Page 46: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

http://www.balidiscovery.com/messages/message.asp?id=7744

Page 47: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Facts and Figures

Minister of Manpower and Transmigration: It is estimated 68.000- 70.000 foreign workers are working in Indonesia until August 2015.

Director General Immigration: Some 6.236 foreigners have been deported between January-June 2015, including illegal foreign workers. Most of them are nationals of Bangladesh, Myanmar, PRC, Thailand, Vietnam, Malaysia, and Cambodia.

Head of Manpower and Transmigration Office of the Bali Province: Government has issued 1.019 License to Employ Foreign Worker (IjinMempekerjakan Tenaga Kerja Asing/IMTA) between January-June 2015. Most of them are Malaysian, Singaporean, American, and Japanese who predominantly work in tourism sector (hotel, travel, and other accommodation service) and hold “top” manager position.

Foreign workers have to pay US$ 100 per month to Provincial Government of Bali. The Government of Bali Province targeted IDR 21 Billion revenue in 2015 getting from this license.

Page 48: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Legal Issues

What are the obligations of the governments to protect the

economic rights of foreign workers in tourism industry?

Should government consider human rights perspective to

ensure the enjoyment of economic rights of foreign workers

in tourism industry in Bali?

Page 49: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

METHODS

Legal Research methods:

- Conceptual approach : Explore and define the legal concept

- Statutory approach: Inquiries on relevant international,

regional, national, and local instruments

- Case approach

Methods of Human Rights Research

Page 50: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Scope of Analysis

Exploring and analyzing the existing laws and regulations

(lex lata)

Proposing what the law should be(lex ferenda)

Page 51: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Relevant Concepts

Human Rights: Second generation rights

Economic Rights: the right to work, the right to the free

choice of employment and to just and favourable conditions

of work; the right to form and join trade unions; the right to

own property. etc

Rights of Nationals and Non-nationals

Workers and Foreign Workers

Tourism and tourism industry

Page 52: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Relevant Instruments

International

Regional

National

Local

Page 53: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

International Instruments

ILO Conventions No 111 concerning Discrimination in Respect

of Employment and Occupation (ratified by Act of the Republic

of Indonesia No. 21 Year 1999)

International Convention on the Protection of the Rights of All

Migrant Workers and Members of their Families (ratified by Act

of the Republic of Indonesia No. 6 Year 2012)

International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

(ratified by Act of the Republic of Indonesia No. 12 Year 2005)

Global Code of Ethics for Tourism (The principles were adopted

in Act of the Republic of Indonesia No. 10 Year 2009)

Page 54: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

ILO Conventions No 111 concerning Discrimination

in Respect of Employment and Occupation

• Article 1 (1) (a)

For the purpose of this Convention the term discriminationincludes-- any distinction, exclusion or preference made on the basis of race, colour, sex, religion, political opinion, national extraction or social origin, which has the effect of nullifying or impairing equality of opportunity or treatment in employment or occupation;

• Article 2

Each Member for which this Convention is in force undertakes to declare and pursue a national policy designed to promote, by methods appropriate to national conditions and practice, equality of opportunity and treatment in respect of employment and occupation, with a view to eliminating any discrimination in respect thereof.

Page 55: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

International Convention on the Protection of the Rights

of All Migrant Workers and Members of their Families

Article 25

1. Migrant workers shall enjoy treatment not less favourable than that whichapplies to nationals of the State of employment in respect of remuneration and:

(a) Other conditions of work, that is to say, overtime, hours of work, weekly rest,holidays with pay, safety, health, termination of the employment relationshipand any other conditions of work which, according to national law andpractice, are covered by these terms;

(b) Other terms of employment, that is to say, minimum age of employment,restriction on home work and any other matters which, according to nationallaw and practice, are considered a term of employment.

2. It shall not be lawful to derogate in private contracts of employment from theprinciple of equality of treatment referred to in paragraph 1 of the presentarticle.

3. States Parties shall take all appropriate measures to ensure that migrantworkers are not deprived of any rights derived from this principle by reason ofany irregularity in their stay or employment. In particular, employers shall notbe relieved of any legal or contractual obligations, nor shall their obligations belimited in any manner by reason of such irregularity.

Page 56: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

International Covenant on Economic,

Social, and Cultural RightsArticle 2

1. Each State Party to the present Covenant undertakes to take steps, individually and through international assistance and co-operation, especially economic and technical, to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present Covenant by all appropriate means, including particularly the adoption of legislative measures.

2. The States Parties to the present Covenant undertake to guarantee that the rights enunciated in the present Covenant will be exercised without discrimination of any kind as to race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.

3. Developing countries, with due regard to human rights and their national economy, may determine to what extent they would guarantee the economic rights recognized in the present Covenant to non-nationals.

Page 57: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Global Code of Ethics for Tourism Article 9 Rights of the workers and entrepreneurs in the tourism

industry

(1) The fundamental rights of salaried and self-employed workers in the tourism industry and related activities, should be guaranteed under the supervision of the national and local administrations, both of their States of origin and of the host countries with particular care, given the specific constraints linked in particular to the seasonality of their activity, the global dimension of their industry and the flexibility often required of them by the nature of their work;

(2) Salaried and self-employed workers in the tourism industry and related activities have the right and the duty to acquire appropriate initial and continuous training; they should be given adequate social protection; job insecurity should be limited so far as possible; and a specific status, with particular regard to their social welfare, should be offered to seasonal workers in the sector;

(4) Exchanges of experience offered to executives and workers, whether salaried or not, from different countries, contributes to foster the development of the world tourism industry; these movements should be facilitated so far as possible in compliance with the applicable national laws and international conventions;

Page 58: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Regional ASEAN Human Rights Declaration

Article 27.

(1) Every person has the right to work, to the free choice of employment, to enjoy just,

decent and favourable conditions of work and to have access to assistance schemes for

the unemployed.

(2) Every person has the right to form trade unions and join the trade union of his or her

choice for the protection of his or her interests, in accordance with national laws and

regulations.

ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant

Workers

Obligations of Receiving States:

- Intensify efforts to protect the fundamental human rights, promote the welfare and

uphold human dignity of migrant workers (Article 5)

- Promote fair and appropriate employment protection, payment of wages, and adequate

access to decent working and living conditions for migrant workers (Article 8)

Page 59: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

National

Act of the Republic of Indonesia No. 103Year 2003 concerning Manpower: Chapter VIII concerning Employment of Foreign Worker

Act of the Republic of Indonesia No. 10 Year 2009 concerning Tourism

Article 56

(1) Tourism enterprises may employ foreign expert worker in accordance with the provisions in the statutory regulation

(2) The foreign expert worker referred to paragraph (1) shall have prior recommendation from tourism professional workers association

Page 60: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Local Regulation

Provincial Regulation of Bali Province No. 2Year 2012

concerning Bali’s Cultural Tourism: determines that every

person has right to work in tourism industry

Provincial Regulation of Bali Province No. 5 Year 2013:

includes provision on the extension of License to Employ

Foreign Worker (Ijin Mempekerjakan Tenaga KerjaAsing/IMTA)

in Bali

Page 61: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

The Nature of State Obligation

in Economic Rights

The Maastricht Guidelines On Violations Of Economic,

Social And Cultural Rights mentions the following obligations on

ecosoc rights

Obligation to respect

Obligation to protect

Obligation to fulfil

Obligations of conduct

Obligation of result

Page 62: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Main Issue: Obligation to Protect:

1. Government must protect the enjoyment of economic

rights of the foreign workers by continuously monitoring

the proper job and responsible payment scheme --including

the compliance of minimum wage-- are provided by

business entities that employed foreign workers

2. Government must protect foreign workers from any

economic discrimination based on segregation between

nationals and non-nationals (discrimination based on

national extraction)

Page 63: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Case Laws

Decision of the Indonesian Supreme Court No. 777

K/Pdt.Sus/2011 , Case between PT. Royal Bali Leisure

(Peninsula Beach Resort) vs. Gavin Michael David Wilson

(UK); Issues covered: Dismissal, Job Contract, KITAS,

Illegal working relationship; The Supreme Court annulled the

decision of Industrial Relation Court of Denpasar.

Decision of the Indonesian Supreme Court Nomor 286

K/Pdt.Sus-PHI/2013 ,Case between PT. Siemens Indonesia

vs. Stephen Michael Young: Judges consider constitutional

rights of equality legal treatment applied to national and non-

nationals.

Page 64: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Some Notes

Most foreign workers in Bali occupied high-rank job (“top”

manager position) and have status as foreign expert worker.

As the employers need their expertise, economic rights of

this kind of foreign workers seems not violated.

Potential Case: Dismissal and Interpretation of Contract.

Link between public and private dimensions

Page 65: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

CONCLUSION

1. Government must protect the exercise of economic rights

of the foreign workers and must also protect foreign

workers from any economic discrimination based on

national extraction.

2. The government should use a human rights-based

approach to ensure the enjoyment of economic rights of

foreign workers in tourism industry in Bali.

Page 66: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

RECOMENDATION

National government should ensure that the rights of fair

trial of the foreign workers in defending their economic

rights on litigation proceedings, are protected.

Local Government should identify some potential cases

arising from the violation of economic rights of foreign

workers who work in tourism industry in Bali. The results

should be used as a basis to create anticipative policies and

regulations.

Page 67: LAPORAN HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

THANK YOU VERY MUCH