Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan. DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang ditemukan pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat ditemukan di sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak. Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008). Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan angka kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus meninggal adalah 1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008b).
44

Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Apr 09, 2016

Download

Documents

Esaa Felicia

Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah

kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan.

DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang ditemukan

pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat ditemukan di

sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat

empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak.

Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang

baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008).

Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun

terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan angka

kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus meninggal adalah

1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD

dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian

Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008b).

Page 2: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Virus

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan Virus Dengue

yang termasuk anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus berukuran kecil (50

nm) ini memiliki single stranded RNA. Virionnya terdiri atas nucleocapsid dengan bentuk

kubus simetris yang terbungkus dalam sampul lipoprotein. Genome dari virus Dengue

berukuran panjang ± 11.000 base pairs, dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu

selubung protein (E), nucleocapsid atau protein core (C), membrane associated protein (M)

suatu protein envelope dan serta tujuh gen protein non struktural (NS) yaitu NS1, NS2a,

NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah protein nonstruktur 1, merupakan

glikoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum jelas diketahui. NS1

dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi virus dengue dengan reaksi imun

sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi imun primer. NS2

memiliki 2 protein (NS2a dan NS2b) yang berperan pada proses lipoprotein sedangkaan

NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol. Gen NS4 memiliki 2

protein hidrofob (NS4a dan NS4b) yang berperan pada kompleks replikasi membrane RNA.

NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus. Envelope

glycoprotein berhubungan dengan aktifitas hemaglutinasi dan netralisasi virus. Terdapat

empat serotipe virus yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Keempat

serotype ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype Den-3 sering

menimbulkan wabah, sedangkan di Thailand penyebab wabah yang dominant adalah virus

Den-2. Jika seseorang terinfeksi dengan salah satu serotipe tersebut, akan terjadi kekebalan

seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat virus memiliki

daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski

baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu serotipe. Keempat serotipe dapat

menyebabkan penyakit berat dan fatal (Suroso T, 2003; Soegijanto S 2004).

Page 3: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.1 Virus dengue (Soegijanto S, 2004)

2.2 Vektor Penyakit

Penularan virus dengue dari orang ke orang lain adalah melalui gigitan nyamuk Aedes

(Ae) dari sub genus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama.

Vektor sekunder lain yang juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah Ae.

albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. scuttelaris complex dan Ae. (finlaya) niveus.

Selain Ae. agypti semua vektor sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri

yang terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah Ae. Agypti (Suroso T,

2003).

Nyamuk Aedes tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, oleh karena itu seluruh wilayah

Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali pada daerah dengan

ketinggian diatas 1000 m diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara

terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk Aedes (Sungkar S,

2002; Darlan DM, 2004).

Siklus hidupnya dimulai setelah nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat

air jernih dan terlindung sinar matahari langsung ataupun tempat air yang sedikit

terkontaminasi seperti bak mandi, drum, tangki air, tempayan, vas bunga, perangkap semut

dan tempat minuman burung. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur sampai

dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang telah dewasa

siap mengisap darah manusia dan kawin sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa

(kepompong). Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat berkembang biak karena

menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Umumnya nyamuk betina akan

Page 4: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

mati dalam waktu 10 hari, tetapi masa tersebut cukup bagi nyamuk untuk inkubasi virus (3-

10 hari) dan menyebarkan virus (Sungkar S, 2002).

Gambar 2.2 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

2.3 Cara Penularan

Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini

mendapat virus dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit demam berdarah

dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang

didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam

berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.

Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap

masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar

di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu

setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain

(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang

hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu

menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali

nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui

alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah

virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Siregar, 2004).

Page 5: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus ini

mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2–3 hari menyebar ke sirkulasi dan

jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag,

monosit, sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali

dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada

jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali

akan menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila

infeksi berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan

kebal. Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat

pula kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non

neutralisasi, yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini

mengakibatkan semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat

bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD

(Ginting Y, 2004).

Page 6: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.3 Pathogenese DBD (Martina dkk, 2009)

Page 7: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.4 Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue (Lei dkk, 2001)

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a). respons

humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,

sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam

Page 8: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody

dependent enhancement (ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8)

berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1

akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-

4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan

opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus

dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun

menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a (Suhendro dkk, 2009).

Tabel 2.1 Mediator Imun yang berperan dalam infeksi virus dengue

Page 9: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang

menyatakan bahwa DHF terjadi bila sesorang terinfeksi ulang virus dengan tipe yang

berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan

konsentrasi kompleks imun (antigen antibodi) yang tinggi . Keadaan ini mengakibatkan

terjadinya reaksi imunologis berupa:

1. Aktivasi sistem komplemen

Aktivasi sistem komplemen mengakibatkan aktivasi C3 dan C5 sehingga dilepaskan

anafilatoksin C3a dan C5a. Anafilatoksin C3a dan C5a mengakibatkan peninggian

permeabilitas kapiler dengan konsekuensinya yaitu perembesan plasma ke

ekstravaskuler yang mengakibatkan anjloknya volume darah dan dapat berakibat

hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan syok. Hipovolemik

ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perembesan

plasma ini telah terjadi pada saat permulaan penyakit dan memuncak pada saat terjadi

renjatan.

2. Disfungsi trombosit

Kompleks antigen-antibodi melekat pada permukaan trombosit mengakibatkan

kerusakan trombosit yang berakibat pada:

- Gangguan agregasi trombosit

- Trombosit dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial terutam hati dan limpa. Hal ini

akan mengakibatkan trombositopenia yang tentunya mengakibatkan perdarahan.

- Trombosit yang aktif dalam agregasi melepaskan aminovasoaktif yang mengakibatkan

meningginya permeabilitas kapiler yang bisa berakibat pada syok.

3. Pelepasan mediator

Virus dengue menginfeksi sel-sel fagosit. Hal ini menyebabkan sel yang terinfeksi

mengeluarkan mediator yaitu sitokin-sitokin, antara lain interferon (IFN), interleukin 1

(IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). Sitokin-sitokin ini yang

mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler. Selain itu sitokin akan merangsang

hipotalamus anterior dan korteks serebelum yang mengakibatkan demam. Pelepasan

sitokin juga dapat diakibatkan oleh karena endotoksin dari sel gram negatif yang masuk

ke sirkulasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien mengalami syok yang berakibat pada

iskemia dan nekrosis usus.

Page 10: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

4. Koagulopati Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi akan menstimulasi sistem

koagulasi, sehingga terjadi penurunan faktor fibrinogen, faktor V, VII, VIII, X dan XII.

Gangguan pada sistem koagulasi ini dapat menyebabkan koagulasi intravascular

disseminate (KID) (Ginting Y, 2004; Suhendro dkk, 2009).

Mekanisme patofisiologi yang utama pada DBD adalah meningginya permeabilitas

dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni

dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan

masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Nilai hematokrit meningkat

bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.

Meningkatnya nilai hematokrit menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat

kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak.

Trombositopenia terjadi akibat destruksi trombosit yang meningkat dan depresi fungsi

megakariosit. Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor

kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif terjadi

akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi yaitu trombositopenia, gangguan

faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh adanya Koagulasi Intravaskular Diseminata

(KID) (Sungkar S, 2002).

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1). Supresi sumsum

tulang, dan 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang

pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.

Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk

megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai

mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi

melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama

proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui

mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang

merupakan petaanda degranulasi trombosit (Suhendro dkk, 2009).

Page 11: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

2.5 Diagnosa Demam Berdarah

Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.

WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD :

A. Kriteria klinis :

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama

2–7 hari.

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :

a. Uji torniquet positip

b. Petekie, ekimosis, purpura.

c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan

dari tempat lain

d. Hematemesis dan atau melena.

3. Pembesaran hati (hepatomegali).

4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,

kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.

B. Kriteria laboratorium :

1. Trombositopenia (100.000/ ml atau kurang)

2. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan permeabilitas kapiler

dengan manifestasi :

- peningkatan hematokrit ≥ 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan

jenis kelamin.

- penurunan hematokrit ≤ 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan

dengan nilai hematokrit sebelumnya.

- tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.

Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya

peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD (WHO, 1997;

Suhendro dkk, 2009).

Page 12: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

2.6 Derajat Penyakit (WHO, 1997)

Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari demam dengue dan DBD

diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan

hemokonsentrasi), antara lain:

- Demam Dengue : Demam akut selama 2-7 hari disertai 2 atau lebih tanda : sakit

kepala, nyeri retro orbital, mialgia, arthralgia, leukopenia, trombositopenia tidak

ditemukan bukti kebocoran plasma, serologi dengue positif.

- DBD Derajat I : Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan ialah uji Tourniquet positif, trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.

- DBD Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau

perdarahan lain, trombositopenia bukti ada kebocoran plasma.

- DBD Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,

kulit dingin dan lembab serta gelisah, trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.

- DBD Derajat IV : Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah

tidak terukur., trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.

- Dengue Shock Syndrome (DSS)

Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba

memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara

hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi

imunologis (the immunological enchancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus

ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di

sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara

cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat

sebelum syok. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat,

kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang

dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera

diobati apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan

darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat

akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, pendarahan gastrointestinal

hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat segera terjadi

Page 13: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

masa penyembuhan dengan cepat. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera

makan membaik merupakan petunjuk prognosis baik. Pada pemeriksaan laboratorium

ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/μl

ditemukan di antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematocrit merupakan bukti

adanya kebocoran plasma, terjadi pula pada kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat

dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah

hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat.

Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara

leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat

sementara (Sudarmo, et al, 2002).

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus

dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue. Ini dapat

dilihat pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO, 2009)

Page 14: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

DBD Derajat I dan Derajat II tanpa Peningkatan Hematokrit:

1. apabila pasien masih dapat minum, berikan minuman banyak yaitu 1-2 liter/hari atau 1

sendok makan tiap 5 menit.

2. Obat antipiretik diberikan bila suhu > 38,5oC.

3. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya berikan infus

NaCl 0,9%; Dektrose 5% (1:3). Pasang tetesan rumatan sesuai dengan berat badan.

4. Periksa Hb, Ht, dan trombosit tiap 6-12 jam. Apabila telah terjadi perbaikan klinis dan

laboratorium, pasien dapat dipulangkan. Nanum apabila kadar Ht meningkat dan

trombosit cenderung menurun, maka infus cairan ditukar dengan Ringer Laktat (RL) dan

lanjutkan dengan penatalaksanaan DBD Derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi

> 20%.

DBD Derajat II dengan Peningkatan Hemokonsentrasi > 20%:

1. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaC1

0,9% atau Dekstrosa 5% dalam RL/NaC1 0,9% 6-7ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital,

kadar Ht dan trombosit tiap 6 jam.

2. Apabila selama observasi keadaan umum mebaik, tekanan darah dan nadi stabil, diuresis

cukup, Ht cenderung menurun minimal dalam 2X permeriksaan bertururt – turut maka

tetesan dikurangi menjadi 5ml/KgBB/jam. Bila dalam observasi selanjutnya tetap stabil

kurangi tetesan menjadi 3ml/KgBB/jam, kemudian evaluasi 12-24 jam bila stabil dalam

24-48 jam cairan dihentikan.

3. Sepertiga kasus jatuh dalam keadaan syok, bila keadaan klinis tidak ada perbaikan,

gelisah, nafas dan nadi cepat, diuresis kurang dan Ht meningkat maka naikkan tetes

menjadi 10ml/KgBB/jam dan evaluasi 12 jam belum ada perbaikan klinis naikkan

menjadi 15ml/KgBB/jam dan evluasi 12 jam lagi. Apabila nafas lebih cepat, Ht naik dan

tekanan nadi <20 mmHg maka berikan cairan koloin 20-30 ml/KgBB/jam, namun bila Ht

menurun, berikan transfuse darah segar 10ml/KgBB/jam, bila keadaan membaik berikan

cairan sesuai butir 2.

Page 15: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

DBD Derajat III dan IV atau kasus Sindrom Syok Dengue (SSD):

1. Segera infus kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,5%) 20ml/KgBB

dalam waktu 30 menit (bolus) dan Oksigen 2 liter/menit. Untuk SSD berat (derajat IV)

berikan RL dan 20ml/KgBB/jam dan kolod. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, Ht

dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.

2. Setalah 30 menit syok belum teratasi, lanjutkan RI 20ml/KgBB dan tambah plasma (fresh

Frozen Plasma) atau koloid (Dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/KgBB, maksimal

30ml/KgBB. Observasi keadaan umum dan tanda vital tiap 15 menit dan periksa Ht,

trombosit tiap 4-6 jam. Koreki asidosis, elektrolit dan gula darah.

2.7 Manifestasi Klinis

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and

control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3

fase, yaitu: 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.

Fase Demam

Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit

memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri

tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah

muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase

demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi

virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign)

yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan

seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi)

dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan

perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar

dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan

darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar

klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue.

Page 16: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Fase Kritis

Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5-38oC dan

bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler

bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda

awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit

mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung

dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan

ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites.

Shok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur

tubuh dapat subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ

yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan disseminated

intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis, mmiokarditis

dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi

Fase Recovery

Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari

kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik,

kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan

cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit

kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit

kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009)

Page 17: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.6 Fase hari hari sakit infeksi virus dengue (WHO, 2009)

2.8 Diagnosis Laboratorium

Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan

cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau jaringan tubuh, dan deteksi antibody spesifik

dalam serum pasien (Wuryadi S, 2000)

2.8.1 Diagnosis serologis

Uji serologic yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu:

2.8.1.1 Haemagglutination Inhibition test (HI test)

Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering dipakai dan

dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini :

a. Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini

tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.

Page 18: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka

uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.

c. Untuk diagnosa pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali kelipatan dari

titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagi presumtif positif, atau

diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue

infection) (Wuryadi S, 2000).

2.8.1.2 Complement Fixation test (CF test)

Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagostik secara rutin,

oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan

tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibody HI, antibodi

komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3

tahun) (Wuryadi S, 2000)

2.8.1.3 Neutralization test (NF test)

Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk

virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque

reduction neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan reduksi dari plaque

yang terjadi. Saat antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir

bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen

fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan

memerlukan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan waktu yang cukup

lama sehingga tidak dipakai secara rutin (Wuryadi S, 2000).

2.8.1.4 Uji ELISA Anti-Dengue IgM

Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody IgM

terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer maupun

sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada akhir

minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-

6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari ke-

14, kemudian bertahan sampai berbulan-bulan. Pada infeksi sekunder kadar

IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji ini telah dipakai

untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus Japanese B

ensefalitis (Wu SJL, 2000).

Page 19: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

2.8.2 Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe

tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah,

jaringan tubuh manusia dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi

virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik

(misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah

juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Selain untuk menentukan adanya RNA virus

dengue juga dapat menetukan serotipe virus dengue yang ditemukan. Hal ini penting

untuk dapat membuat pola distribusi serotipe virus dengue di berbagai wilayah

khususnya yang berbeda kondisi geografis dan klimatologisnya, seperti daerah dataran

rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Hingga saat ini telah diketahui ada 4

serotipe virus dengue yaitu : Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Wuryudi S, 2000)

2.8.3 Isolasi virus

Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur

sel. Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan yaitu :

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari

b. Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes albopictus

c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva (Wuryudi

S, 2000).

2.9 Diagnosa Banding

Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan Demam Chikungunya,

Malaria, Epstein-Barr Virus (EBV), Leptospirosis, Demam Thypoid, Scarlet fever,

Rickettsial diseases, Heapatitis A, Hantavirus (Suhendro dkk, 2009).

2.10 Penatalaksanaan (Suhendro dkk, 2009)

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi sportif.

Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari

1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam

penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika

asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dubutuhkan suplemen cairan

melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Page 20: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi

Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas

Kedokteran Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa

berdasarkan kriteria :

• Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.

• Praktis dalam penatalaksanaannya

• Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

2.10.1 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa syok

Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita

DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam

memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan

hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat

dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu

24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Leukosit dan trombosit tiap

24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat

Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Page 21: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.7 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa syok

2.10.2 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di Ruang Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok

maka di ruang rawat diberikancairan infus kristaloid sesuai dengan rumus : 1500 +

{20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x

(55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24

jam :

Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan

tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, Trombosit dilakukan tiap 12

jam.

Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan

sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan HT > 20 %.

Page 22: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.8 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di Ruang Rawat

2.10.3 Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan

sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan

memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian

dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai

dengan tanda-tanda hematokrit menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,

produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5

ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan

tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3

ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan

dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal

6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan

hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin

menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.

Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan

perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila

keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi

15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan

Page 23: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesusi dengan protokol

tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka

pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Gambar 2.9 Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

2.10.4 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan

saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan

jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan

kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis harus segera

Page 24: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-

tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan

sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan

(PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl.

Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan

dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Gambar 2.10 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD

2.10.5 Protokol 5.Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang

harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu

penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka

kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita

DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD

mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk

Page 25: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan

renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain

resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan –

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan

kreatini.

Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi

setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah

sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari

100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak

pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7

ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan

menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap

stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan

teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka

pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang

mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan

infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung

dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama

dalam waktu 48 jam pertama setelah terjadi renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20

% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh

karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan

pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,

frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium

kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.

Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan

untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Page 26: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka

pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan

kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka

perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan

plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi

bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn (internal bleeding) maka

pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai

kebutuhan.

Sebelum cairan kristaloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat

cairan tesebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat

10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi

maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan kateter vena sentral,

dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan

sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus

diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,

hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita

sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan

obat inotropik/vasopresor.

Page 27: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

Gambar 2.11 Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue

Page 28: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)

DAFTAR PUSTAKA

Soedarmo S S P, Garna H, Hadinegoro S R S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi

dan Penyakit Tropis edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Suhendro, et.al. Demam Berdarah Dengue. In : Sudoyo, Aru W, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006.

World Health Organization. 2008. Dengue and Dengue Hemmoragic Fever.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/

Page 29: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)
Page 30: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)
Page 31: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)
Page 32: Laporan Kasus Anak Esa (Dhf)