-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN i
KATA PENGANTAR
LAPORAN PENDAHULUAN ini merupakan salah satu hasil dari Kegiatan
Penyusunan Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Sungai Penuh yang dilaksanakan
dibawah koordinasi Dinas
Pekerjaan Umum Kota Sungai Penuh.
LAPORAN PENDAHULUAN ini berisikan Pendahuluan, Dinamika
Perkembangan Penataan
Ruang, Kebijakan Pembangunan, Gambaran Umum Wilayah Perencanaan,
Metodologi dan
Pendekatan, Rencana Kerja, serta Organisasi Pelaksanaan dan
Uraian Tugas.
Semoga LAPORAN PENDAHULUAN ini dapat dijadikan acuan dalam
pelaksanaan tahap
selanjutnya. Dan atas bantuan semua pihak kami ucapkan terima
kasih.
Sungai Penuh, Oktober 2012
Tim Penyusun
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II
DAFTAR TABEL VI
DAFTAR GAMBAR VII
BAB I PENDAHULUAN I-1
1.1 LATAR BELAKANG I-1
1.2 MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN I-2
1.3 RUANG LINGKUP I-2
1.3.1 RUANG LINGKUP WILAYAH I-2
1.3.2 RUANG LINGKUP MATERI I-2
1.4 DASAR HUKUM I-3
1.5 METODOLOGI I-6
1.6 SISTEMATIKA I-8
BAB II DINAMIKA PERKEMBANGAN PENATAAN RUANG DALAM PENYUSUNAN
RDTR II-1
2.1 PEMAHAMAN DASAR-DASAR PERENCANAAN KOTA II-1
2.1.1 PEMAHAMAN DASAR-DASAR PERENCANAAN KOTA II-1
2.1.2 PARADIGMA PENATAAN RUANG DI INDONESIA PASCA UU 26 TAHUN
2007 II-4
2.1.3 HIRARKI DAN JENIS RENCANA TATA RUANG II-8
2.1.4 RDTR DALAM KERANGKA PENATAAN RUANG DI INDONESIA II-10
2.2 KEBERADAAN RDTR DALAM RANGKAIAN PELAKSANAAN PENATAAN RUANG
II-11
2.2.1 KEDUDUKAN RDTR DALAM KERANGKA PENATAAN RUANG DI INDONESIA
II-11
2.2.1.1 Persyaratan RDTR II-12
2.2.1.2 Muatan RDTR II-13
2.2.1.3 Format RDTR II-14
2.2.1.4 Masa Berlaku RDTR II-14
2.2.2 PENYUSUNAN RDTR DAN PERATURAN ZONASI II-14
2.2.2.1 RDTR dan Proses Penyusunannya II-14
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN iii
2.2.2.2 Penyusunan Peraturan Zonasi Sebagai Instrument
Pengendalian Dan
Pemanfaatan Ruang II-16
2.2.2.3 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Proses
Penyusunan
Rencana Tata Ruang II-18
2.2.2.4 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Proses
Pemanfaatan
Ruang Dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang II-19
2.2.2.5 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Perangkat
Pengendalian II-20
2.2.2.6 Pertimbangan Mitigasi Bencana dalam Pengembangan
Kawasan
Perkotaan II-23
BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA SUNGAI PENUH III-1
3.1 RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA SUNGAI PENUH
TAHUN 2005 2025
(PERDA NO 6 TAHUN 2012) III-1
3.2 RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SUNGAI PENUH (PERDA
NO.5/2012) III-2
3.2.1 TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG KOTA SUNGAI
PENUH III-2
3.2.2 STRUKTUR RUANG KOTA SUNGAI PENUH III-6
3.2.3 POLA RUANG KOTA SUNGAI PENUH III-7
3.2.3.1 Rencana Pola Ruang Kawasan Lindung III-7
3.2.3.2 Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya III-8
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN IV-1
4.1 GAMBARAN UMUM KOTA SUNGAI PENUH IV-1
4.1.1 ADMINSTRASI DAN LETAK GEOGRAFIS IV-1
4.1.2 KONDISI FISIK DASAR IV-5
4.1.2.1 Kondisi Fisiografis IV-5
4.1.2.2 Kondisi Topografi IV-5
4.1.2.3 Klimatologi IV-6
4.1.2.4 Jenis Tanah IV-6
4.1.2.5 Hidrologi IV-6
4.1.2.6 Kebencanaan IV-7
4.1.3 PENGGUNAAN LAHAN KOTA IV-9
4.1.4 KEPENDUDUKAN IV-12
4.1.4.1 Jumlah dan Karakteristik Penduduk IV-12
4.1.4.2 Sosial Budaya Masyarakat IV-14
4.1.5 PEREKONOMIAN KOTA IV-14
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN iv
4.2 GAMBARAN UMUM KECAMATAN SUNGAI PENUH IV-17
4.2.1 KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASIF IV-17
4.2.2 KARAKTERISTIK KEPENDUDUKAN IV-19
4.2.3 PENGGUNAAN LAHAN IV-20
4.2.4 POTENSI PENGEMBANGAN KOTA IV-22
4.2.4.1 Perkembangan Kawasan Terbangun IV-22
4.2.4.2 Keberadaan Pusat-Pusat Kegiatan Kota IV-22
4.2.4.3 Potensi Lansekap Kota IV-23
4.2.4.4 Keberadaan Bangunan Bersejarah IV-24
BAB V METODOLOGI DAN PENDEKATAN V-1
5.1 PENDEKATAN PENYUSUNAN RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR)
V-1
5.2 METODOLOGI TEKNIS V-5
5.2.1 PENDEKATAN DAN METODOLOGI DALAM PROSES IDENTIFIKASI AWAL
DAN PENDATAAN V-5
5.2.1.1 Pendekatan Studi Dokumenter dalam Identifikasi dan
Kajian Materi
Pekerjaan V-5
5.2.1.2 Metode Survey V-5
5.2.1.3 Metode Observasi V-9
5.2.1.4 Metode Survey Blok V-9
5.2.1.5 Metode Wawancara V-12
5.2.1.6 Metode Survey Instansional V-12
5.2.1.7 Kebutuhan Data dan Peta V-12
5.2.2 PENDEKATAN DAN METODOLOGI DALAM PROSES ANALISIS
PERENCANAAN V-15
5.2.2.1 Pendekatan Analisis Perencanaan V-15
5.2.2.2 Metode Analisis Perencanaan V-16
5.2.2.3 Metode Analisis Kependudukan V-19
5.2.3 PENDEKATAN DAN METODOLOGI DALAM PERUMUSAN KONSEP DAN
PENYUSUNAN
RENCANA DETAIL TATA RUANG V-21
5.2.3.1 Pendekatan Preskriptif dalam Perumusan Konsep
Pengembangan
Kawasan V-22
5.2.3.2 Pendekatan Interpretasi Kebutuhan Perencanaan V-22
5.2.4 BERBAGAI PENDEKATAN DAN METODE PENYUSUNAN RENCANA DETAIL
LAINNYA V-24
5.2.4.1 Pendekatan Perencanaan Incremental-Strategis dan
Strategis
Proaktif dalam Penyusunan RDTR dan Zoning Regulation Kawasan
Perkotaan V-24
5.2.4.2 Identifikasi Permasalahan Pembangunan dan Perwujudan
Ruang
Kawasan V-26
5.2.4.3 Perkiraan Kebutuhan Pelaksanaan Pembangunan Kawasan
V-28
5.2.4.4 Pendekatan Pelibatan Pelaku Pembangunan V-32
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN v
5.2.4.5 Metode Analisis SWOT V-33
BAB VI RENCANA PELAKSANAAN PEKERJAAN VI-1
6.1 TAHAPAN RENCANA KERJA VI-1
6.1.1 TAHAP PERSIAPAN VI-1
6.1.2 TAHAP SURVEI VI-1
6.1.3 TAHAP ANALISIS VI-2
6.1.4 TAHAP RANCANGAN RENCANA VI-2
6.1.5 TAHAP PENYUSUNAN RENCANA VI-3
6.2 WAKTU PELAKSANAAN KERJA VI-3
6.3 STRUKTUR ORGANISASI PELAKSANA PEKERJAAN VI-5
6.4 STRUKTUR ORGANISASI KONSULTAN VI-6
6.5 JADWAL PENUGASAN PERSONIL VI-7
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN vi
DAFTAR TABEL
Tabel II-1 Tingkat Ketelitian Peta Rencana Sesuai
Perundang-Undangan Peta Wilayah II-10
Tabel II-2 Prosedur Penyusunan Peraturan Zonasi II-20
Tabel II-3 Proses Penetapan Aturan Dalam Peraturan Zonasi
II-21
Tabel IV-1 Luas Wilayah Kota Sungai Penuh dan Pembagian Daerah
Administrasi
Menurut Kecamatan Tahun 2011 IV-3
Tabel IV-2 Ketinggian Kota Sungai Penuh IV-5
Tabel IV-3 Klasifikasi Lereng di Kota Sungai Penuh IV-5
Tabel IV-4 Jenis Tanah di Kota Sungai Penuh IV-6
Tabel IV-5 Susunan Batuan Kota Sungai Penuh IV-8
Tabel IV-6 Penggunaan Lahan Kota Sungai Penuh Tahun 2010
IV-10
Tabel IV-7 Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Sungai Penuh Tahun
2006 - 2010 IV-12
Tabel IV-8 Kepadatan Penduduk Kota Sungai Penuh Tahun 2010
IV-12
Tabel IV-9 Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur Kota Sungai
Penuh Tahun 2009
- 2010 IV-13
Tabel IV-10 Penduduk Kota Sungai Penuh menurut Jenis Pekerjaan
IV-14
Tabel IV-11 Luas Kecamatan Sungai Penuh Menurut Desa Tahun 2010
IV-17
Tabel IV-12 Jumlah Penduduk Kecamatan Sungai Penuh Tahun 2010
IV-19
Tabel IV-13 Kepadatan Penduduk di Kecamatan Sungai Penuh Menurut
Desa IV-20
Tabel IV-14 Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Sungai Penuh
Menurut Desa IV-21
Tabel V-1 Identifikasi Kebutuhan Data dalam Penyusunan RDTR
V-6
Tabel V-2 Jenis Kegiatan Untuk Survey Blok Dalam Penyusunan RDTR
Kecamatan
Sungai Penuh V-10
Tabel V-3 Daftar Kebutuhan Data Dalam Penyusunan RDTR Kecamatan
Sungai Penuh V-13
Tabel V-4 Daftar Kebutuhan Peta Dalam Penyusunan RDTR Kecamatan
Sungai Penuh V-15
Tabel VI-1 Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan Penyusunan Rencana
Detail Tata Ruang Kota
(RDTR) dan Peraturan Zonasi VI-4
Tabel VI-2 Jadwal Penugasan Personil VI-7
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II-1 Pembagian Kewenangan dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang II-7
Gambar II-2 Jenis dan Hirarki Produk Rencana berdasarkan UU No
26 Tahun 2007 II-9
Gambar II-3 Komposisi Muatan Rencana Tata Ruang II-11
Gambar II-4 Kerangka Penyusunan Peraturan Zonasi II-18
Gambar II-5 Kedudukan Peraturan Zonasi dalam Kerangka Proses
Penyusunan Rencana
Tata Ruang II-19
Gambar II-6 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Perangkat
Pengendalian II-20
Gambar II-7 Contoh Zoning Regulation dan Zoning Text Dalam
Penyusunan Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) II-22
Gambar II-8 Upaya Mitigasi Bencana Alam Secara Menyeluruh
II-23
Gambar IV-1 Peta Administrasi Kota Sungai Penuh IV-4
Gambar IV-2 Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Sungai Penuh
IV-11
Gambar IV-3 Piramida Penduduk Kota Sungai Penuh IV-13
Gambar IV-4 Peta Administrasi Kecamatan Sungai Penuh IV-18
Gambar V-1 Kerangka Pendekatan Penyusunan RDTR Kecamatan Sungai
Penuh V-4
Gambar V-2 Keterlibatan Pelaku Pembangunan Dalam Penyusunan
Rencana V-32
Gambar V-3 Matriks SWOT Analysis V-34
Gambar VI-1 Struktur Organisasi Proyek VI-5
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam rangka tercapainya pemenuhan kebutuhan masyarakat secara
layak sesuai dengan
standar kebutuhan yang semestinya maka upaya yang ditempuh
pemerintah berupa
pembangunan. Perkembangan penduduk suatu kota mempengaruhi
kondisi internal kota
didalamnya. Perkembangan ini disebabkan oleh pertambahan
penduduk yang tinggi
sedangkan lahan perkotaan terbatas. Kegiatan kota yang tinggi
memerlukan suatu sarana dan
prasarana yang baik termasuk didalamnya utilitas dan perumahan.
Apabila perkembangan
kota tidak didukung oleh pembangunan baik secara fisik maupun
non fisik, maka
perkembangan kota ini akan tidak sehat dan akan membawa
konsekuensi negatif pada
perkembangan kota.
Upaya untuk mengkoordinasikan pembangunan sektoral di daerah
yang selama ini telah
dilakukan dalam bentuk pemanfaatan rencana tata ruang, dapat
diamati masih belum mantap.
Hal ini terutama dikaitkan dengan keberadaan rencana tata ruang
belum merupakan suatu
kesatuan dengan pola dasar pembangunan daerah, baik dari segi
substansinya maupun
landasan perundangannya.
Dengan adanya kondisi pembangunan di Kota Sungai Penuh yang
masih kurang berkembang,
untuk mengantisipasi dan diharapkan dapat mengatasi
masalah-masalah kota yang timbul,
maka perlu adanya rencana penataan ruang kota yang bersifat
umum, detail maupun teknis.
Untuk mengantisipasi perkembangan ke depan, terutama dengan
adanya Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti
Undang-undang Nomor 24
Tahun 1992, diperlukan peninjauan kembali terhadap produk
rencana tata ruang yang sudah
ada.
Rencana Detail Tata Ruang juga merupakan rencana yang menetapkan
blok-blok peruntukkan
pada kawasan fungsional perkotaan, sebagai penjabaran kegiatan
kedalam wujud ruang,
dengan memperhatikan keterkaitan antara kegiatan dalam kawasan
fungsional, agar tercipta
lingkungan yang harmonis antara kegiatan utama dan kegiatan
penunjang dalam kawasan
fungsional tersebut.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-2
1.2 Maksud, Tujuan, dan Sasaran
Tujuan dari Penyusunan RDTR Kota Sungai Penuh adalah :
Sebagai arahan bagi masyarakat dalam pengisian pembangunan fisik
kawasan,
Sebagai pedoman bagi instansi dalam menyusun zonasi, dan
pemberian perijinan
kesesuaian pemanfaatan bangunan dengan peruntukan lahan.
Sasaran dari Penyusunan RDTR Kota Sungai Penuh adalah :
Menciptakan keselarasan, keserasian, keseimbangan antar
lingkungan permukiman
dalam kawasan.
Mewujudkan keterpaduan program pembangunan antar kawasan maupun
dalam
kawasan.
Terkendalinya pebangunan kawasan strategis dan fungsi kota, baik
yang dilakukan
pemerintah maupun masyarakat/swasta
Mendorong investasi masyarakat di dalam kawasan.
Terkoordinasinya pembangunan kawasan antara pemerintah dan
masyarakat/swasta.
1.3 Ruang Lingkup
1.3.1 Ruang Lingkup Wilayah
Letak Geografis Kota Sungai Penuh antara 1010 14' 32'' BT sampai
dengan 1010 27' 31'' BT dan
020 01' 40'' LS sampai dengan 020 14' 54'' LS. Dengan luas
keseluruhan 39.150 ha, Secara
administrasi batasan wilayah Kota Sungai Penuh sebagai berikut
:
Sebelah Utara : Kecamatan Depati Tujuh Kabupaten Kerinci.
Sebelah Selatan : Kecamatan Sitinjau Laut, dan Kecamatan
Keliling Danau Kabupaten
Kerinci.
Sebelah Barat : Kab. Pesisir dan Kab. Mukomuko.
Sebelah Timur : Kecamatan Air Hangat Timur.
Kota Sungai Penuh terdiri dari lima kecamatan.
1.3.2 Ruang Lingkup Materi
Muatan RDTR kawasan meliputi struktur dan sistematika tujuan dan
sasaran pembangunan
kawasan perencanaan, perumusan kebijakan dan strategi
pengembagnan kawasan, identifikasi
potensi dan masalah kawasan, analisis ruang makro dan mikro
kawasan perumusan kebutuhan
pengembangan dan penataan ruang kawasan, perumusan rencana
detail tata ruang kawasan,
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-3
perumusan dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai
mana digambarkan
dalam uraian berikut:
Persiapan penyusunan RDTR
Pengumpulan dan pengolahan data;
Analisa kawasan perencanaan
Perumusan dan ketentuan teknis rencana detail
Pengendalian rencana detail
Kelembagaan dan peran serta aktif masyarakat
1.4 Dasar Hukum
Dalam penyusunan RDTR Kota Sungai Penuh akan berlandaskan
Undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri maupun pada peraturan daerah Kota
Sungai Penuh, landasan
tersebut terdiri dari :
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274).
2. Undang-Undang 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317).
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara
Nomor3419).
4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Tahun
1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3427).
5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3469).
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470).
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3478).
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699).
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah.
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-4
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
14. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377).
15. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan
Nasional.
16. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran
Negara Tahun 2004
Nomor 132, tambahan Lembaran Negara Nomor 4444).
17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
(Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881).
18. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888).
19. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(Lembaran Negara
Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4169).
20. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838).
22. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat
Ketelitian Peta Untuk
Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 20,
Tambahan Lembaran
Negara 3934).
23. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol
(Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4489).
24. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan.
25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi
Kegiatan Instansi Vertikal
di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan
Lembaran Negara Nomor
3373).
26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991
tentang Sungai.
27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1993
tentang Angkutan Jalan.
28. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993
tentang Prasarana dan
Lalu Lintas Jalan.
29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996
tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang.
30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom.
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002
tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan
Penggunaan Kawasan
Hutan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-5
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan
Tanah.
34. Peraturan Pemeritah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2009
tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan.
35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005
tentang Jalan Tol.
36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006
tentang Irigasi.
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.
38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2009
tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Perkotaan.
39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang.
41. Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
42. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
43. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1991 tentang Penggunaan
Tanah bagi Kawasan
Industri.
44. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Kawasan
Jabodetabekpunjur.
45. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara
Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
46. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di Bidang
Pertanahan.
47. Keputusan Presiden Nomor 4 tahun 2009 tentang Koordinasi
Penataan Ruang Nasional.
48. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001
tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau kegiatan yang wajib di lengkapi dengan analisis
mengenai dampak lingkungan
hidup.
49. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 2004 tentang
Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Daerah.
50. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang
Pedoman Prasyarat
Teknis Bangunan Gedung.
51. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Pedoman Perencanaan
Kawasan Perkotaan.
52. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 5 Tahun 2008 tentang
Pedoman Ruang Terbuka
Hijau di Perkotaan.
53. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi.
54. Standar Nasional Indonesia Nomor 03-1733-2004 tentang Tata
Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan di Perkotaan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-6
55. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Sungai
Penuh.
56. Peraturan Daerah No 6 Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang
Daerah Kota Sungai Penuh.
57. Peraturan Daerah No 12 Tahun 2012 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kota Sungai Penuh.
1.5 Metodologi
Metodologi penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan
Sungai Penuh
dilakukan dalam 4 tahap yaitu pendahuluan/persiapan, pemahaman
terhadap kondisi wilayah
perencanaan dan kedalaman materi analisa keruangan dan sistem
kegiatan, serta perumusan
Rencana Detail Tata Ruang.
1. Tahap Persiapan
Tujuan pada tahap ini adalah untuk mengidentifikasi kondisi awal
dan dan dapat
memberikan suatu potret awal dari wilayah perencanaan
berdasarkan data-data yang
akan diperoleh. Beberapa langkah yang dilaksanakan dalam tahap
pendahuluan/persiapan
ini adalah sebagai berikut:
Studi kepustakan untuk menentukan visi, misi, dan tujuan serta
mengumpulkan
kebijaksanaan, strategi, rencana dan perogram yang terdapat
dalam dokumen
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sungai Penuh, serta dokumen lain
yang berkaitan.
Inventarisir data primer dengan cara observasi ataupun wawancara
dengan
masyarakat, juga pengumpulan data sekunder dengan melakukan
survei instansional
untuk mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkan.
Melakukan kajian mengenai gambaran awal atas kondisi eksisting,
yang terdiri atas
kondisi fisik, sosial, ekonomi dan prasarana dan sarana dasar,
serta merumuskan
potensi dan permasalahan di wilayah studi yang terangkum dalam
laporan
pendahuluan.
2. Tahap Identifikasi Wilayah Perencanaan
Pada tahap ini, sasaran utamanya adalah mengidentifikasi
karakteristik dari wilayah
perencanaan berdasarkan data-data yang diperoleh maupun hasil
observasi lapangan.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah
sebagai berikut:
Studi kepustakaan untuk menentukan visi, misi, dan tujuan serta
mengumpulkan
kebijaksanaan, strategi, rencana dan program yang terdapat dalam
dokumen Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Sungai Penuh, serta dokumen yang
berkaitan.
Inventarisir data primer dengan cara observasi ataupun wawancara
dengan
masyarakat, juga pengumpulan data sekunder dengan melakukan
survey instansional
mengumpulkan informasi-informasi yang dibutuhkan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-7
Merumuskan potensi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi
dalam
pembangunan di wilayah studi baik yang telah, sedang dan akan
dilaksanakan.
Membuat kompilasi data atas kondisi eksisting kawasan
perencanaan, yang terdiri atas
kondisi sumberdaya alam, manusia, buatan, kondisi kegiatan
sosial dan ekonomi.
3. Tahap Analisa Keruangan dan Sistem Kegiatan
Tahap ini dimaksudkan untuk memahami kondisi ruang wilayah,
dengan memperhatikan
kebijaksanaan yang ada. Analisa yang dilakukan meliputi analisis
kondisi ekisting dan
kecenderungan di masa mendatang, dengan menggunakan data-data
yang telah
dikumpulkan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan pada tahap
ini adalah:
Analisis Kebijaksanaan Pembangunan Wilayah Kota Sungai Penuh
Analisis regional dan keterkaitan wilayah perencanaan dengan
kawasan sekitarnya
Analisis perekonomian dan sistem kegiatan
Analisis sumberdaya, manusia dan buatan yang meliputi:
- Kondisi fisik geografis
- Kondisi kependudukan dan kualitas pendidikan
- Kondisi sarana dan prasarana wilayah perencanaan
Analisis pola penggunaan lahan yang meliputi:
- Kawasan budidaya
- Kawasan lindung
4. Tahap Perumusan Rencana dan Program
Pada tahap ini akan dilakasanakan kegiatan perumusan rencana
kota yang disusun
berdasarkan hasil pengkajian pada tahap sebelumnya. Adapun
muatan dari tahap
perumusan rencana dan program ini adalah:
1) Perumusan rencana struktur ruang atau struktur pelayanan,
meliputi Rencana
Distribusi Penduduk Kawasan Perkotaan, Rencana Struktur
Pelayanan Kegiatan
Kawasan Perkotaan, Rencana Sistem Jaringan Pergerakan, dan
Rencana Sistem
Jaringan Utilitas.
2) Perumusan rencana alokasi pemanfaatan ruang, menggambarkan
ukuran, fungsi serta
karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam, yang
dituangkan dalam blok-blok
peruntukan, dengan memperhatikan pedoman yang ada yaitu pedoman
pelaksanaan
pembangunan kawasan perkotaan, meliputi arahan kepadatan
bangunan, arahan
ketinggian bangunan, arahan perpetakan bangunanm arahan garis
sempadan, rencana
penanganan blok peruntukan, serta rencana penanganan prasarana
dan sarana.
3) Perumusan rencana pengendalian pemanfaatan ruang, berupa
kegiatan pengawasan
penertiban terhadap pemanfataan ruang berdasarkan mekanisme
perijinan,
pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi,
mekanisme pelaporan,
mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan
sanksi.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN I-8
1.6 Sistematika
Laporan Pendahuluan merupakan laporan pertama dalam rangkaian
pelaporan yang harus
disusun dalam pelaksanaan pekerjaan Penyusunan RDTR Kecamatan
Sungai Penuh ini. Pada
dasarnya laporan pendahuluan berisi usulan metodologi
pelaksanaan dan rencana
pelaksanaan pekerjaan ini. Laporan ini disusun dalam 5 (lima)
bab dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang pekerjaan,
maksud, tujuan dan
sasaran serta ruang lingkup dari pelaksanaan pekerjaan
Penyusunan RDTR
Kecamatan Sungai Penuh ini.
BAB 2 DINAMIKA PERKEMBANGAN PENATAAN RUANG DALAM PENYUSUNAN
RDTR
Bab ini berisi uraian tentang pengertian perencanaan ruang
dengan segala
tingkatannya, serta kedudukan dari RDTR dalam system perencanaan
ruang yang
berlaku saat ini.
BAB 3 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA SUNGAI PENUH
Bab ini berisi uaraian tentang kajian kebijakan dalam penyusunan
tata ruang Kota
Sungai Penuh
BAB 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN
Bab ini berisi uaraian tentang kajian gambaran umum wilayah Kota
Sungai Penuh dan
kawasan perencanaan Kecamatan Sungai Penuh.
BAB 5 METODOLOGI DAN PENDEKATAN
Bab ini berisi usulan pendekatan serta metodologi yang akan
digunakan dalam
pelaksanan pekerjaan ini. Diuraikan pula rencana metodologi
teknis yang dapat
digunakan untuk melakukan analisis pada setiap aspek yang
terkait dalam proses
penyusunan RDTR ini.
BAB 6 RENCANA PELAKSANAAN PEKERJAAN
Bab ini berisi usulan rencana pelaksanaan pekerjaan yang
meliputi rencana tahapan
pelaksanaan, rencana jadwal pelaksanaan, usulan tenaga ahli dan
struktur organisasi
pelaksanaan pekerjaan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-1
BAB II DINAMIKA PERKEMBANGAN PENATAAN RUANG DALAM
PENYUSUNAN RDTR
2.1 PEMAHAMAN DASAR-DASAR PERENCANAAN KOTA
2.1.1 Pemahaman Dasar-Dasar Perencanaan Kota
Bagian berikut akan membahas landasan teoritis mengenai kawasan
perkotaan itu sendiri.
Pengertian kota dapat ditinjau dari beberapa lingkup yaitu :
1. Secara Geografis : Kota adalah suatu wilayah dengan wilayah
terbangun (built up area)
yang lebih padat dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Secara
geografis kota berlokasi
pada suatu lokasi strategis.
2. Secara Fisik: Kota merupakan suatu wilayah yang didominasi
oleh struktur binaan (man
made structure).
3. Secara demografis: Kota adalah wilayah dimana terdapat
konsentrasi penduduk yang
jumlah dan tingkat kepadatannya lebih tinggi dibanding wilayah
sekitarnya.
4. Secara Statistis: Kota merupakan suatu wilayah yang besaran
atau ukuran penduduknya
sesuai dengan batasan atau ukuran kriteria kependudukan
kota.
5. Secara Sosial : Kota merupakan suatu wilayah di mana terdapat
kelompok kelompok sosial
masyarakat yang bersifat beragam (heterogen) -
tradisional-modern; formal - informal;
maju terbelakang.
6. Secara Ekonomi : Kota adalah suatu wilayah di mana terdapat
kegiatan usaha masyarakat
yang sangat beragam (heterogen) dengan dominasi sektor kegiatan
non pertanian atau
sektor kegiatan primer seperti perdagangan, industri, pelayanan
jasa, perkantoran ,
perangkutan dll. Pada kehidupan kota terdapoat suatu sirkulasi
dan mobilitas finansial
yang tinggi baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
7. Secara Administratif : Kota merupakan suatu wilayah
kewenangan pemerintahan yang
dibatasi oleh suatu garis batas kewenangan administrasi
pemerintahan yang ditetapkan
berdasarkan Undang Undang.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-2
Perkembangan dan pertumbuhan kota pada dasarnya merupakan
konsekwensi dari berbagai
perubahan sosial budaya, sosial ekonomi dan politik. Salah satu
faktor yang sangat kuat
berpengaruh atas perkembangan kota adalah karena pertambahan
penduduk, baik secara
alami maupun karena migrasi desa-kota dan perkembangan,
perubahan kegiatan usaha dan
kehidupan penduduk kota tersebut. Keadaan ini mengakibatkan
timbulnya berbagai
permasalahan di perkotaan, seperti meningkatnya kebutuhan akan
fasilitas sarana dan
prasarana.
Enam tahapan Perkembangan Kota, meliputi :
Tahap I : Terjadinya pengelompokan (konsentrasi) manusia dengan
berbagai kegiatan dan
mobilitasnya pada suatu lokasi geografis yang dapar memenuhi
kebutuhan tempat
tinggal, berusaaha, bekerja terutama dalam sekotor agraris dan
berkomunikasi ke
tempat lain. Tahapan pertama ini masih dalam skala lingkup yang
terbatas disebut
sebagai Eopolis.
Tahap II : Terjadinya pengelompokan manusia yang semakin padat
dalam proporsi jumlah
penduduk dengan ruang. Kegiatan usaha dan kerja sudah lebih
berorientasi kepada
kegiatan non agraris seperti perdagangan (pertukaran),
pengolahan bahan baku
menjadi barang pakai, kegiatan pertukaran dan kegiatan pasar
yang semakin luas,
perhubungan antar lokasi konsentrasi manusia dengan berbagai
kegiatan dan
pertukaran alat tukar (finansial) yang semakin intensif.
Fenomena tahapan kedua
ini disebut sebagai Polis
Tahap III : Terjadinya peningkatan fungsi dan kemampuan kota
untuk semakin menempatkan
atau menanpung manusia dari berbagai kegiatan fungsional telah
membuka
hubungan bahkan hubungan kesaling bergantungan antara suatu
polis (kota) induk
dengan wilayah, kota kota lain atau desa desa lain yang berada
di dalam wilayah
sekitarnya. Dengan demikian akan terjadi suatu formasi kota
induk (mother city)
dengan konurbasi dari kota kota kecil atau menengah yang berada
di dalam wilayah
di sekitar kota induk. Dalam keadaan ini suatu kota induk bukan
merupakan suatu
kota parasitik yang berkembang sendiri dengan dukungan wilayah
sekitarnya tetapi
akan saling memiliki kepentingan yang saling menunjang (mutual
dependency).
Terjadilah suatu kota Metropolis dengan Wilayah
Metropolitannya
Tahap IV : Dominasi dari beberapa kota metropolis yang masing
masih sudah membentuk
suatu wilayah metropolitan menyebabkan semakin luasnya hubungan
fungsional
maupun demografis antara wilayah metropolitan dari suatu
metropolis dengan
wilayah wilayah metropolitan dengan metropolis metropolis
lainnya. Maka akan
terjadi suatu koalisi antara beberapa wilayah metropolitan
dengan metropolisnya
dalam suatu kesatuan yang sangat besar melewati batas wilayah
kewenangan
daerah. Kejadian ini disebabkan oleh karena hubungan kepentingan
sosial, ekonomi
maupun fisik dari suatu wilayah mtropolitan yang satu dengan
wilayah wilayah
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-3
metropolitan lainnya. Maka terjadilah suatu wilayah yang secara
masif tumbuh
berkembang sebagai suatu wilayah terbangun. Dengan demikian akan
terjadi suatu
formasi wilayah metropolitan induk dalam suatu kolusi
(coalescence) dengan
wilayah metropolitan lainnya yang berbatasan langsung. Dalam
keadaan ini ada
kalanya suatu wilayah metropolitan mengingat semakin besarnya
peran yang harus
ditanggung akan menjadi wilayah parasitik dari wilayah
metropolitan tetangganya
atau akan mendjadi suatu wilayah koalitif yang saling menunjang.
Terjadilah suatu
kota raksasa yang disebut sebagai Megalopolis dengan wilayah
megalopolitannya.
Tahap V : Terjadinya suatu kota besar yang sangat ditentukan
oleh pertimbangan kapitalisme.
Kota merupakan suatu pusat kewenangan ekoniomi dan politik
sehingga
kesemuanya kekuatan yang ada dalam kota besar hanyalah untuk
kepentingan
pengembangan ekonomi dan kekuasaan pemerintahan. Peran kota
dalam hal
perekonomian dan penguasaan pemerintah demikian besarnya sehingg
pranan
kota akan ditentukan oleh kekuatan kekuatan ekonomi (pemodal)
dan penguasa
pemerintahan (politik). Terjadilah suatu kota raksasa yang
diatur secara tunggal
oleh kekuiatan politik pemerintahan yang berkoalisi dengan
pemodal untuk
memperoleh kekuatan ekonomi. Saat ini kota raksasa ini dikatakan
sebagai Kota
Tirani (Tyrannopolis).
Tahap VI : Terjadinya suatu kota besar yang sudah mencapai
keadaan limit penunjang
kebutuhan kehidupannya sehingga kota kota raksasa ini akan
kehilangan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai
kelengkapan kota
mengalami degradasi secara besar besaran dalam mencari nafkah,
memenuhi
kebutuhan fasilitas, dan utilitas umum. Untuk memperoleh
kebutuhannya
penduduk kota tidak akan segan segan untuk memperebutkannya
dengan berbagai
cara apapun. Baik pemerintah kota maupun penduduknya akan
berbuat anarkis
untuk memenuhi kebutuhannya atau mengatur kotanya.
Kepemntingan
pemenuhan kebutuhan individual akan menentukan pola kehidupan
kota. Survival
akan ditetukan oleh kekuatan fisik kelompok atau individu. Pada
saat ini suatu kota
akan menjadi suatu kota yang penuh anarki. Kota pada tahapan ini
disebut sebagai
Nekropolis atau Anarkopolis.
Ruang kota yang berkualitas terbentuk dari beberapa elemen
rancang kota. Menurut Shirvani
(1985) elemen ini merupakan komponen-komponen yang dapat diatur
dalam perancangan
kota, yaitu :
a. Tata guna lahan, kebijakan tata guna lahan berkaitan dengan
menentukan fungsi-fungsi
yang sesuai untuk kawasan tertentu. Modifikasi pola tata guna
lahan dapat meningkatkan
ragam kegiatan pada lingkungan binaan. Penetapan guna lahan dan
densitas
pembangunan pada kawasan memberikan kemungkinan karakter berbeda
kawasan.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-4
b. Tata massa bangunan, berkaitan dengan konfigurasi dan raut
massa bangunan. Peraturan
tentang massa bangunan mencakup hal-hal seperti ketinggian
maksimum, sempadan, FAR,
material, langgam, tekstur dan koefisien bangunan.
c. Sirkulasi dan parkir, sirkulasi terkait dengan guna lahan
pada kawasan. Sirkulasi
merupakan elemen pembentuk pola dan struktur lingkungan binaan.
Sirkulasi mampu
memberi karakter dan pendukung aktivitas pada suatu kawasan
tertentu. Kapasitas
pelayanan kawasan yang direncanakan berbanding lurus dengan rute
pencapaian dan
ruang parkir.
d. Ruang terbuka, ruang terbuka dapat dikatakan sebagai unsur
ruang alam yang dibawa ke
dalam kota. Korelasi massa membentuk derajat ketertutupan baik
berupa linier maupun
node. Secara visual ruang terbuka memberikan persepsi visual dan
orientasi penggunanya.
Ruang terbuka kota harus mempunyai keterkaitan dengan elemen
lain suatu kota dan
kemudahan akses bagi semua warga kota. Ruang terbuka meliputi
taman kota, ruang
terbuka hijau, dan elemen pendukung seperti vegetasi, bangku,
kolam, kios, dan
sebagainya.
e. Jalur pejalan, jalur pejalan merupakan elemen yang aktraktif
dan menyumbangkan
vitalitas sebuah kota. Pertimbangan dalam merancang jalur
pejalan adalah faktor
kapasitas, keamanan dan kenyamanan baik fisik maupun psikis.
Elemen perancangan jalur
pejalan meliputi tata vegetasi, sistem penanda, perabot jalan,
material, dimensi,
perawatan, durabilitas dan fleksibilitas.
f. Kegiatan pendukung, aktivitas pendukung meliputi
fungsi-fungsi yang dapat memperkuat
karakter ruang publik kota. Rancangan ruang urban harus mampu
menarik orang dan
kegiatan yang beragam. Integrasi kegiatan indoor maupun outdoor
merupakan salah satu
aspek perencanaan.
g. Penanda Kawasan, penanda kawasan dapat berupa informasi umum
dan komersial. Aspek
perancangan penanda kawasan yang perlu diatur adalah dimensi dan
tampilannya agar
tidak merusak tampilan kawasan secara keseluruhan
2.1.2 Paradigma Penataan Ruang di Indonesia Pasca UU 26 Tahun
2007
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang baru diberlakukan membawa
perubahan yang
cukup signifikan dalam proses penataan ruang. Beberapa hal
mendasar yang berubah antara
lain : matra laut dan ruang bawah tanah yang diatur dalam
penataan ruang, hirarki dan
kedalaman rencana tata ruang, jangka waktu perencanaan hingga 20
tahun untuk semua
jenjang rencana, pengaturan pengendalian yang cukup jelas
melalui zoning regulation, insentif
dan disisentif, pemberian sanksi hukum, dan sebagainya.
Berikut hal-hal menonjol yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 :
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-5
1. Penataan Ruang dibutuhkan untuk mewujudkan ruang Nusantara
yang Aman, Nyaman,
Produktif dan Berkelanjutan.
2. Perwujudan Tujuan Penataan Ruang dilakukan dengan Strategi
Umum seperti Penyiapan
Kerangka Strategis Pengembangan Penataan Ruang Nasional dan
Strategi Khusus berupa
Penyiapan Peraturan Zonasi, Pemberian Insentif dan Disinsentif,
Pengenaan Sanksi, dan
lain-lain.
3. Produk perencanaan tata ruang tidak hanya bersifat
Administratif akan tetapi juga
mengatur perencanaan tata ruang yang bersifat Fungsional dan di
klasifikasikan ke dalam
Rencana Umum dan Rencana Rinci Tata Ruang.
4. Penataan Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/
Kota dilakukan secara
Berjenjang dan Komplementer sehingga saling melengkapi satu
dengan yang lain,
bersinergi, dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
penyelenggaraannya.
5. Undang-undang Penataan Ruang telah mengakomodasi perkembangan
lingkungan
strategis seperti pengaturan Ruang Terbuka Hijau (Rth) di
Perkotaan dan Daerah Aliran
Sungai (DAS), Standar Pelayanan Minimal (SPM), integrasi
penataan ruang Darat, Laut,
dan Udara, Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Penataan Ruang
Kawasan Perkotaan dan
Perdesaan, dan Aspek Pelestarial Lingkungan Hidup.
6. Untuk menjamin pelaksanaan UU Penataan Ruang yang tertib dan
konsisten telah diatur
Ketentuan Peralihan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dan
Kelembagaan Penataan
Ruang.
Dengan telah diakomodasikannya berbagai isu strategis penataan
ruang di dalam UU Penataan
Ruang, diharapkan nantinya penyelenggaraan penataan ruang dapat
lebih berdayaguna dan
berhasilguna.
Strategi Umum dan Strategi Impelementasi Penyelenggaraan
Penataan Ruang
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang
aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dan
Ketahanan Nasional dengan :
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya
buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia; dan
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaaatan ruang.
Strategi Umum
a) Menyelenggarakan penataan ruang wilayah nasional secara
komprehensif, holistik,
terkoordinasi, terpadu, efektif dan efisien dengan memperhatikan
faktor-faktor politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian
lingkungan hidup
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-6
b) Memperjelas pembagian wewenang antara Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan
ruang
c) Memberikan perhatian besar kepada aspek
lingkungan/ekosistem
d) Memberikan penekanan kepada aspek pengendalian pemanfaatan
ruang
Strategi Implementasi
a) Penerapan prinsip-prinsip komplementaritas dalam rencana
struktur ruang dan
rencana pola ruang RTRW Kabupaten/Kota dan RTRW Provinsi.
b) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus dapat dijadikan acuan
pembangunan,
sehingga RTRW harus memuat arah pemanfaatan ruang wilayah yang
berisi indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan.
c) Pemanfaatan ruang harus mampu mendukung pengelolaan
lingkungan hidup yang
berkelanjutan dan tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang.
d) Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan
peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, dan pengenaan
sanksi.
e) Penegakan hukum yang ketat dan konsisten untuk mewujudkan
tertib tata ruang.
Penyelenggaraan Penataan Ruang
Pembagian Kewenangan yang lebih Jelas antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang
diatur dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007, sebagaimana terlihat pada skema
berikut :
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-7
Gambar II-1 Pembagian Kewenangan dalam Penyelenggaraan Penataan
Ruang
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-8
2.1.3 Hirarki dan Jenis Rencana Tata Ruang
Sehubungan dengan tingkat kepentingan dan lingkup strategi
permasalahannya, maka rencana
tata ruang disusun secara bertahap dan dalam jenjang cakupan
yang berurutan. Secara
sistematis jenjang cakupan rencana ini dimulai dari lingkup yang
lebih luas dan substansinya
menyeluruh hingga ke jenjang cakupannya semakin terinci
(detailed). Semakin kecil cakupan
wilayahnya, maka rencana tersebut semakin terinci dan semakin
tertuju kepada segi fisik yang
lebih nyata.
Pada awalnya penyusunan rencana kota di Indonesia telah diatur
melalui Permendagri No. 2
Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Mengingat
peraturan perundang-
undangan yang telah ada belum dapat menampung tuntutan
perkembangan pembangunan,
maka Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 24 Tahun 1992
mengenai Penataan
Ruang. Tata ruang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
adalah wujud struktural dan
pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Mengacu
pada UU No 24 Tahun
1992, jenis rencana tata ruang dibedakan menurut hirarki
adminstrasi pemerintahan, fungsi
wilayah serta kawasan, dan kedalaman rencana. UU No. 26 Tahun
2007 membawa perubahan
yang cukup signifikan terhadap produk rencana tata ruang, yaitu
bukan hanya berdasar pada
wilayah administrasi saja, tetapi dapat didasarkan pada
fungsional dari suatu kawasan.
Setiap tingkatan rencana tata ruang tersebut memiliki cakupan
wilayah perencanaan yang
berbeda dengan maksud yang berbeda pula.. Dengan berlakunya UU
No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, maka acuan penataan ruang di Indonesia
haruslah mengikuti UU No.
26 Tahun 2007. Dalam setiap proses perumusannya, rencana tata
ruang kota tersebut selalu
mengacu kepada kebijakan-kebijakan lain yang secara luas terkait
dalam suatu struktur
kebijakan pembangunan, yang dimulai dari kebijakan skala
nasional, regional hingga kebijakan
pembangunan kota itu sendiri.
Substansi rencana tata ruang biasanya dibedakan dari yang sangat
makro sampai ke sangat
rinci. Pada masa Undang-Undang Penataan Ruang No. 24 tahun 1992
maupun UU No. 26
Tahun 2007, judul tidak mencerminkan substansi. Pada masa
sebelum Undang-Undang No. 24
tahun 1992 maupun UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
judul baik dari RTR
tingkat wilayah dan RTR di tingkat kawasan, judul jenis RTR
sangat mencerminkan substansi
atau isi.
Tingkat kedalaman pengamatan atau skala rencana sangat
dipengaruhi oleh isi dan produk dari
setiap jenis RTR. Pada skala mana isi dan produk tersebut dapat
diamati dasar-dasar
penyusunannya di lapangan dan kemudian dapat ditampilkan dengan
baik agar manfaatnya
dapat tercapai.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-9
Gambar II-2 Jenis dan Hirarki Produk Rencana berdasarkan UU No
26 Tahun 2007
Di dalam penjelasan UU Penataan Ruang No. 24/1992 pasal 19
maupun UU No. 26 Tahun 2007
tingkat ketelitian rencana disesuaikan dengan perundang-undangan
yang mengatur peta
wilayah. Namun demikian tingkat dalam penjelasan pasal 19 ini
adalah tingkat ketelitian
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tingkat ketelitian yang
dimaksud/diminta adalah
tingkat ketelitian minimal. Pengertian minimal ini untuk skala
peta dikandung arti bahwa suatu
rencana tata ruang dapat digambarkan dalam peta wilayah berskala
yang lebih besar.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-10
Tabel II-1 Tingkat Ketelitian Peta Rencana Sesuai
Perundang-Undangan Peta Wilayah
Pra UUPR No.24/1992 UUPR No.24/1992
UUPR No.26/2007
Jenis/Jenjang Skala Peta Jenis/Jenjang Skala Peta (Minimal)
SNPPTR 1 : 1.000.000 RTRW Nasional 1 : 1.000.000
RSTRP 1 : 250.000 RTRW Provinsi 1 : 250.000
RUTRD 1 : 1.000/50.000 RTRW kab/kot 1 : 1.000/ 50.000
RUTR Perkotaan 1 : 50.000 RTR-K perkotaan RTR-K pedesaan, RTR
Rinci
RUTRK 1 : 10.000
RDTRK 1 : 5.000
RTRK 1: 1.000
2.1.4 RDTR Dalam Kerangka Penataan Ruang di Indonesia
Perkembangan suatu kota atau wilayah, pada dasarnya tidak dapat
dilepaskan dari ruang.
Ruang ini menjadi suatu wadah atau tempat bagi berlangsungnya
aktivitas kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya (pasal 1 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang),
yang berarti pula tempat terjadinya segala pembangunan dan
perkembangan suatu kota.
Terkait dengan hal ini, untuk menciptakan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan
berkelanjutan diperlukan suatu proses penataan ruang yang pada
intinya merujuk pada suatu
sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan
ruang (pasal 1 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2007). Dalam UU No. 26
Tahun 2007 sebagai pengganti
UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, proses penataan
ruang ini merupakan bagian
dari proses pelaksanaan1. Proses ini berlaku untuk semua
wilayah, baik dalam lingkup
nasional, regional, maupun lokal.
Proses perencanaan tata ruang itu sendiri sebagai bagian dari
pelaksanaan penataan ruang,
pada dasarnya, dilakukan dengan mengikuti berbagai ketentuan
atau tata cara minimum yang
berlaku untuk mendapatkan kualitas produk rencana tata ruang
yang bagus. Adapun
ketentuan atau tata cara minimum dalam penyusunan rencana detail
tata ruang tersebut
diatur dalam Permen Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2011 tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.
Terkait dengan pekerjaan
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Sungai
Penuh Kota Sungai Penuh.
Pemahaman mengenai produk rencana tata ruang beserta proses dan
prosedur
penyusunannya menjadi suatu yang penting, karena nantinya
menjadi dasar dalam
penyusunan RDTR kawasan di lokasi yang menjadi salah satu
keluaran dalam rangkaian
pekerjaan ini.
1 Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, proses
penyelenggaraan penataan ruang meliputi
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang. Dalam proses pelaksanaan meliputi
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang yang sebelumnya adalah menjadi
domain dari penataan ruang itu sendiri.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-11
2.2 Keberadaan RDTR dalam Rangkaian Pelaksanaan Penataan
Ruang
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, keberadaan UU No. 26
Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, telah membawa perubahan baru dalam
penyelenggaraan penataan ruang di
Indonesia. Salah satunya terkait dengan pengadaan RDTR sebagai
suatu bentuk rencana rinci
tata ruang. Dalam sudut pandang ini, RDTR pada dasarnya
diselenggarakan pada tingkat
daerah (kabupaten/kota) yang ada akhirnya ditetapkan dalam suatu
dokumen peraturan
daerah.
Keberadaan kegiatan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Sungai
Penuh ini pada intinya merupakan suatu bentuk kegiatan yang
dibiayai dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk mewujudkan rencana detail
tata ruang yang mendukung
terciptanya kawasan strategis maupun kawasan fungsional secara
aman, produktif, dan
berkelanjutan. Sebagai bagian dari suatu proses bantek, kegiatan
penyusunan RDTR dalam
rangkaian kegiatan ini harus memperhatikan 3 hal, yaitu adanya
pembangunan kesadaran
aparat/pelaku pembangunan daerah, fasilitasi kegiatan, dan
inisiasi tindak lanjut.
2.2.1 Kedudukan RDTR dalam Kerangka Penataan Ruang di
Indonesia
Dalam UU No. 26 Tahun 2007 ini, perencanaan tata ruang merupakan
suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana
tata ruang. Proses perencanaan tata ruang salah satunya
menghasilkan produk yang disebut
sebagai rencana tata ruang, yang pada intinya memuat mengenai
struktur ruang dan pola
ruang. Kebutuhan mengenai perwujudan struktur ruang dan pola
ruang tersebut berbeda-
beda sesuai dengan tingkat rencana tata ruang. Terkait dengan
hal tersebut, saat ini dikenal 2
(dua) kelompok rencana tata ruang, meliputi rencana umum dan
rencana rinci. Rencana
umum pada dasarnya memuat mengenai kebijakan umum dari penataan
ruang suatu wilayah
atau kawasan, sedangkan rencana rinci adalah penjabaran
operasionalisasi dari rencana umum
yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi
masyarakat (penjelasan pasal 14
ayat 1 (b)).
RENCANA TATA
RUANG KAWASAN
RENCANA DETAIL
Pengaturan Struktur
Pemanfaatan Ruang
Pengaturan Pola
Pemanfaatan Ruang
Sumber : Keputusan Menteri Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002
Gambar II-3 Komposisi Muatan Rencana Tata Ruang
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-12
Di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga memuat
mengenai arahan
pengendalian pemanfaatan ruang sebagai suatu bentuk perwujudan
tertib tata ruang (Pasal 1
ayat 15). Arahan pengendalian tersebut diwujudkan dalam berbagai
instrumen pengendalian
yang minimal terdiri atas arahan peraturan zonasi (zoning
regulation), arahan perizinan,
arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Arahan
perturan zonasi ini nantinya
menjadi pertimbangan dalam penyusunan dokumen peraturan zonasi
yang diturunkan dari
dokumen RDTR Kecamatan Sungai Penuh Kota Sungai Penuh.
2.2.1.1 Persyaratan RDTR
Rencana Detail Tata Ruang Kota adalah rencana yang disusun dan
ditetapkan Pemerintah
Daerah dengan prasyarat perencanaan sebagai berikut :
1. RDTR disusun menurut bagian wilayah kota yang telah
ditetapkan fungsi kawasannya
dalam struktur ruang RTRW Kota.
2. RDTR dapat ditentukan menurut kawasan yang mempunyai nilai
sebagai kawasan yang
perlu percepatan pembangunan, pengendalian pembangunan, mitigasi
bencana, dan
lainya.
3. RDTR mempunyai wilayah perencanaan mencakup sebagian atau
seluruh kawasan
tertentu yang terdiri dari beberapa unit lingkungan perencanaan,
yang telah terbangunan
ataupun yang akan dibangun.
4. RDTR mempunyai skala perencanaan 1: 5000 atau lebih besar
sesuai dengan kebutuhan
tingkat kerincian dan peruntukan perencanaannya.
5. RDTR merupakan salah satu pedoman pembangunan daerah yang
memiliki kekuatan
hukum berupa Peraturan Daerah (Perda)
6. RDTR ini dilakukan dengan memeriksa kesesuaian semua rencana
dan ketentuan sektoral
baik horizontal, vertikal, diagonal seperti UU, PP, Kepres,
Kepmen, Perda, KepGub, KepWal
atau KepBup, SKB, NSPM dan pedoman-pedoman yang menunjang
termasuk produk pra
desain serta desain kegiatan sektoral tersebut.
7. RDTR merupakan pedoman berkekuatan hukum yang merupakan
arahan pembangunan
daerah untuk :
a. Perijinan pemanfaatan ruang
b. Perijinan letak bangunan dan bukan bangunan,
c. Kapasitas dan intensitas bangunan dan bukan bangunan
d. Penyusunan zonasi
e. Pelaksanaan program pembangunan
Menetapkan dan mengoperasionalisasikan Rencana Detail Tata Ruang
Kota, perlu
mempertimbangkan beberapa aspek kebutuhan pembangunan daerah,
baik untuk
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan.
Oleh karena itu RDTR merupakan
perwujudan Kegiatan yang membentuk suatu kawasan kedalam ruang,
yang terukur baik
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-13
memenuhi aspek ekonomi, sosial, budaya, keamanan, kenyamanan,
keserasian dan
keterpaduan, serta berkesinambangan. Dengan memperhatikan
keterkaitan antar kegiatan,
yaitu tercipta lingkungan yang harmonis antara kegiatan utama,
kegiatan penunjang serta
pelengkapnya dalam suatu kawasan.
2.2.1.2 Muatan RDTR
Struktur dan sistematika Rencana Detail Tata Ruang Kota memuat
langkah-langkah penentuan
tujuan dan sasaran pembangunan kawasan perencanaan, perumusan
kebijakan dan strategi
pengembangan kawasan, identifikasi potensi dan masalah kawasan,
analisis ruang makro dan
mikro kawasan, perumusan kebutuhan pengembangan dan penataan
ruang kawasan,
perumusan rencana detail tata ruang kawasan, pengaturan
ketentuan amlop ruang, dan
ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang, sebagaimana
digambarkan dalam uraian berikut.
1. Persiapanan penyusunan RDTR;
2. Pengumpulan dan pengolahan data;
a. Inventarisasi
b. Elaborasi
3. Analisa kawasan perencanaan
a. Analisa struktur kawasan perencanaan
b. Analisa peruntukan blok rencana
c. Analisa prasarana transportasi
d. Analisa Fasilitas Umum
e. Analisa utilitas umum
f. Analisa amplop ruang
g. Analisa kelembagaan dan peran serta masyarakat
4. Perumusan dan ketentuan teknis rencana detail
h. Konsep rencana
i. Produk rencana detail tata ruang
Rencana struktur ruang kawasan
Rencana peruntukan blok
Rencana penataan bangunan dan lingkungan (amplop ruang)
Indikasi Program pembangunan
Legalisasi rencana detail tata ruang
5. Pengendalian rencana detail
j. Tujuan
k. Komponen pengendalian
Zonasi
Aturan insentif dan dis insentif
Perijinan dalam pemanfaatan ruang
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-14
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Pengawasan
6. Kelembagaan dan peran serta aktif masyarakat :
l. Peran kelembagaan,
m. Peran serta masyarakat
2.2.1.3 Format RDTR
Format Rencana Detail Tata Ruang Kota mempertimbangkan faktor
ekonomis dan kebutuhan
pembangunan daerah, untuk itu pengaturan skala perencanaan
adalah :
1. Produk RDTR mempunyai skala perencanaan 1: 5.000
2. Sedangkan kegiatan yang memerlukan pendetailan yang lebih
rinci, kegiatan analisis
dibuat dalam peta kerja 1:1.000., atau sebaliknya pada fungsi
ruang yang ektensif
(pertanian, perkebunan, kehutanan) skala peta dapat lebih kecil
1:25.000
3. Format peta analisis sekurang-kurang skala 1:5000, untuk
lingkungan yang lebih detail
dibuat dalam skala 1:1000.
4. Peta dasar dapat menggunakan sumber hasil foto udara, citra
satelit, disarankan setiap
daerah telah memiliki foto udara pada kawasan perkotaan, kawasan
cepat tumbuh, dan
kawasan strategis kota.
5. Format laporan disajikan dalam buku berukuran A-4, terkecuali
pada laporan akhir dalam
format A-3, dengan album peta A-1(full color).
6. Dokumen RDTR merupakan bagian dari rencana wilayah, yang
ditetapkan serendahnya
melalui Keputusan kepala daerah.
2.2.1.4 Masa Berlaku RDTR
Rencana Detail Tata Ruang Kota dilaksanakan dalam rentang waktu
20 (dua puluh) tahun, atau
sesuai dengan masa berlaku Rencana Tata Ruang Wilayah, dan
ditinjau kembali setiap 5 (lima)
tahun.
2.2.2 Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
2.2.2.1 RDTR dan Proses Penyusunannya
Berdasarkan Permen Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,
RDTR (Rencana Detail Tata
Ruang) pada dasarnya merupakan penjabaran dari rencana umum tata
ruang. Dalam RDTR ini
memuat mengenai :
Rencana pemanfaatan ruang bagian wilayah kabupaten/kota secara
rinci;
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-15
Penetapan blok-blok peruntukan pada kawasan fungsional sebagai
suatu bentuk
penjabaran kegiatan dalam wujud ruang;
Program pembangunan yang lebih rinci sebagai penjabaran dari
indikasi program
dalam rencana umum.
Sebagai suatu pendetailan dari suatu rencana umum, maka segala
bentuk kebijakan spasial
dalam RDTR dan peraturan zonasi ini dituangkan dalam skala peta
yang lebih besar yaitu skala
1: 5.000 atau lebih. Secara khusus RDTR dan peraturan zonasi
berfungsi untuk:
Kendali mutu pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota
berdasarkan RTRW;
Acuan bagi kegiatan pemanfaatan ruang yang lebih rinci dari
kegiatan pemanfaatan
ruang yang diatur dalam RTRW;
Acuan bagi kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang;
Acuan bagi penerbitan izin pemanfaatan ruang; dan
Acuan dalam penyusunan RTBL.
Sedangkan manfaat RDTR dan peraturan zonasi yaitu sebagai:
Penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi
dan lingkungan
permukiman dengan karakteristik tertentu;
Alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan
pelaksanaan
pembangunan fisik kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah
Daerah, swasta dan/atau masyarakat;
Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang untuk setiap bagian
wilayah sesuai dengan
fungsinya dalam struktur ruang kabupaten/kota secara
keseluruhan; dan
Ketentuan bagi penetapan kawasan yang diprioritaskan untuk
disusun program
pengembangan kawasan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya pada
tingkat BWP
atau Sub BWP.
Berdasarkan Permen Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2011 tentang
Pedoman Penyusunan
Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota,
masing-masing dokumen
rencana telah dijelaskan muatan minimal yang harus tercakup.
Untuk dokumen RDTR dan
perturan zonasi muatan minimalnya adalah sebagai berikut :
Tujuan penataan Bagian Wilayah Perkotaan (BWP);
Rencana Pola Ruang yang terdiri dari rencana zona lindung dan
zona budidaya;
Rencana Jaringan Prasarana yang meliputi; rencana pengembangan
jaringan
pergerakan, jaringan energi/kelistrikan, jaringan
telekomunikasi, jaringan air minum,
jaringan drainase, jaringan air limbah dan pengembangan
prasarana lainnya.
Penetapan SUB BWP yagn diprioritaskan penanganannya;
Ketentuan pemanfaatan ruang; dan
Peraturan zonasi
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-16
Terkait dengan keberadaan UU Penataan Ruang yang terbaru yaitu
UU No. 26 Tahun 2007,
dalam proses penyusunan rencana tata ruang termasuk didalamnya
penyusunan RDTR perlu
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Sinkronisasi rencana tata ruang, dimana dalam hal ini semua
dokumen rencana yang
disusun harus terintegrasi satu sama. Selain itu, sinkronisasi
juga dilakukan terhadap
kegiatan penataan ruang lainnya meliputi sikronisasi dengan
pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan penataan ruang.
2. Pemanfaatan media tayang dalam penataan ruang, dimana
diarahkan sebagai suatu upaya
sosialisasi terhadap dokumen penataan ruang yang sudah ada.
Dengan media tayang yang
menarik dan informatif diharapkan ada suatu pemahaman yang lebih
baik terkait dengan
perencanaan tata ruang yang dilakukan tersebut.
3. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang, dimana diarahkan
sebagai suatu bentuk
perwujudan tertib tata ruang. Arah pengendalian pemanfaatan
ruang tersebut menjadi
penting terkait dengan banyaknya penyimpangan terhadap dokumen
perencanaan yang
telah disusun. Arahan pengendalian tersebut dapat berupa
pengaturan zonasi, aturan
insentif dan disinsentif, aturan sanksi, dan aturan
perizinan.
2.2.2.2 Penyusunan Peraturan Zonasi Sebagai Instrument
Pengendalian Dan Pemanfaatan
Ruang
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU
no. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, masing-masing Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota menyusun
Rencana Tata Ruang Kawasan Kota/Perkotaan. Untuk dapat
mengefektifkan pelaksanaannya,
diperlukan suatu Aturan Pola Pemanfaatan Ruang (Zoning
Regulation) sebagai alat operasional
rencana tata ruang. Materi Aturan Pola Pemanfaatan Ruang
ditetapkan berdasarkan kondisi
kawasan kota/perkotaan yang direncanakan. Semakin besar dan
semakin kompleks kondisi
kota, semakin beragam jenis-jenis zona yang harus diatur.
Di beberapa negara maju, istilah Aturan Pola Pemanfaatan Ruang
dikenal dengan berbagai
istilah seperti land development, zoning code, zoning
regulation, zoning resolution, urban
code, planning act dan lain sebagainya. Pengertian dasar
istilah-istilah ini adalah sama, yaitu
mengatur ketentuan-ketentuan teknis tentang pembangunan kota.
Adapun Peraturan Zonasi
(Zoning regulation) di negara-negara berkembang diprioritaskan
terutama untuk kawasan yang
memiliki trend perkembangan relatif tinggi.
Aturan Pola Pemanfaatan Ruang memiliki tujuan sebagai
berikut:
Mengatur keseimbangan keserasian pemanfaatan ruang dan
menentukan program
tindak operasional pemanfaatan ruang atas suatu satuan
ruang;
Melindungi kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan
masyarakat;
Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan;
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-17
Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan
berhasil guna serta
mendorong partisipasi masyarakat (pengendalian pemanfaatan ruang
: pengaturan
perijinan).
Untuk melengkapi standar dan acuan/pedoman penataan ruang maupun
sebagai bahan
rujukan kegiatan perencanaan tata ruang, Direktorat Penataan
Ruang Nasional Ditjen
Penataan Ruang Departemen Kimpraswil mengeluarkan pedoman
Penyusunan ATURAN POLA
RUANG (ZONING REGULATION) KAWASAN PERKOTAAN yang diterbitkan
pada bulan April
2003.
Dalam kaitan dengan pengelolaan lahan, kedudukan aturan ini juga
menjadi acuan dalam
pengembangan lahan atau land development. Pihak yang akan
melaksanakan pengembangan
lahan harus menjabarkan kegiatannya sesuai dengan Aturan Pola
Pemanfaatan Ruang di
kawasan yang akan menjadi lokasi pengembangan lahannya. Demikian
pula sebaliknya,
instansi yang berwenang dalam memberikan perijinan akan
menggunakan Aturan Pola
Pemanfaatan Ruang ini sebagai dasar pemberian ijin.
Masyarakat dan stakeholder lain dapat berpartisipasi dalam
seluruh mekanisme pengaturan
zoning :
Tahap penyusunan aturan : penyediaan data/informasi, pemberian
masukan/saran
Pemanfaatan aturan : menerapkan aturan zoning dan memelihara
lingkungan
berdasarkan aturan zoning
Pengendalian aturan : partisipasi menegakkan transparansi
penerapan aturan zoning dengan
cara pengawasan, memberikan koreksi atau tanggapan terhadap
pemanfaatan ruang yang
menyimpang dari aturan yang ditetapkan oleh daerah.
Institusi yang terkait dalam penyusunan dan penerapan Aturan
Pola Ruang adalah instansi dan
pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembangunan kota, yaitu
:
DPRD sebagai institusi yang terkait dalam pengesahan aturan
menjadi Peraturan
Daerah
BAPEDA
Kantor atau Dnas Pertanahan
Dinas PU atau Dinas Kimpraswil atau Dinas Tarkim
Dinas Tata Kota
Dinas Pertanian
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Dinas Bangunan
Dinas Pertamanan
BUMN/BUMD dan Swasta : PT TELKOM, PLN, PDAM, PN GAS, Operator
Telekomunikasi
Seluler
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-18
Pihak-pihak yang menggeluti masalah pelaksanaan pembangunan
fisik kota, yaitu Organisasi
Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi.
2.2.2.3 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Proses
Penyusunan Rencana Tata
Ruang
Terkait dengan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
Kecamatan Sungai Penuh, dan
sebagai bagian dari suatu proses penataan ruang, keberadaan
Peraturan Zonasi tidak dapat
dipisahkan dari suatu kerangka kebijakan penataan ruang.
Berdasarkan Konsep Dasar Panduan
Penyusunan Peraturan Zonasi Wilayah Perkotaan, keberadaan
Peraturan Zonasi ini dalam
kerangka kebijakan tersebut dapat dilihat dari 3 sudut pandang,
yaitu dalam kaitannya dengan
proses penyusunan Rencana Tata Ruang, dalam proses pemanfaatan
ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang, serta dalam kerangka perangkat pengendalian
pembangunan.
Dalam kerangka proses penyusunan Rencana Tata Ruang, Peraturan
Zonasi merupakan bentuk
pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ruang sebagaimana
yang telah diatur dalam
RTRW Kota dan untuk melengkapi aturan pembangunan pada penetapan
penggunaan lahan
yang telah ditetapkan dalam RDTRK. Terkait dengan hal ini, maka
Peraturan Zonasi menjadi
suatu rujukan dalam penyusunan rencana yang lebih rinci dari
RDTRK seperti Rencana Teknik
Ruang Kawasan (RTRK), atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL). Secara skematik,
kerangka proses penyusunan Peraturan Zonasi ini dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar II-4 Kerangka Penyusunan Peraturan Zonasi
Sumber : Konsep Dasar Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi
Wilayah Perkotaan
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-19
2.2.2.4 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Proses
Pemanfaatan Ruang Dan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Dalam kerangka proses pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang, Peraturan
Zonasi ini menjadi suatu panduan rinci mengenai pemanfaatan
ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam RTRW Kota. Walaupun
merupakan penjabaran
dari RTRW Kota, dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan
ruang, Peraturan Zonasi ini perlu dipahami sebagai sesuatu yang
berbeda dari RDTRK. Adapun
perbedaan antara keduanya adalah :
Peraturan Zonasi memiliki tingkat ketelitian yang sama dengan
RDTRK namun
mengatur lebih rinci dan lebih lengkap
RDTRK merupakan salah satu jenjang rencana tata ruang kota yang
memuat mengenai
arahan perencanaan ruang, sedangkan Peraturan Zonasi merupakan
salah satu
perangkat pengendalian pemanfaatan ruang yang memuat ketentuan
teknis dan
administratif pemanfaatan ruang dan pengembangan tapak
Peraturan Zonasi lebih diarahkan untuk melengkapi aturan
pemanfaatan ruang dalam
RDTRK yang telah ditetapkan
Peraturan Zonasi ini dalam kaitannya dengan kerangka proses
pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang menjadi rujukan perijinan,
pengawasan, dan
penertiban dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu,
Peraturan Zonasi ini
menjadi landasan untuk manajemen lahan dan pengembangan tapak.
Secara
diagramatis kedudukan Peraturan Zonasi dalam kerangka
pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar II-5 Kedudukan Peraturan Zonasi dalam Kerangka Proses
Penyusunan Rencana Tata
Ruang
Sumber : Konsep Dasar Panduan Penyusunan Peraturan Zonasi
Wilayah Perkotaan
KegiatanIntensitas
Tata Masa BangunanSarana dan Prasarana
Indikasi Program
Manajemen Lahan(Kawasan)
Land Development(persil ; blok ; sektor)
Undang-Undang Manajemen Lahan
Peraturan, Perijinan, Pengawasan, Penertiban,
Kelembagaan
Peraturan Zonasi- Peraturan dan Peta
- Kelembagaan dan Administrasi
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-20
2.2.2.5 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Perangkat
Pengendalian
Dalam kerangka perangkat pengendalian pembangunan, sebagaimana
telah dijelaskan di atas,
Peraturan Zonasi ini merupakan salah satu dari sekian banyak
perangkat pengendalian yang
ada, terutama yang terkait dengan proses perizinan. Peraturan
Zonasi menjadi salah satu dasar
rujukan dalam memeriksa kesesuaian pemohonan ijin. Peraturan
Zonasi ini bukan sesuatu
yang tunggal, didalamnya terdapat berbagai teknik yang menjadi
suatu varian dan diterapkan
sesuai dengan lokasi, kasus, maupun kondisi yang ada.
Gambar II-6 Kedudukan Peraturan Zonasi Dalam Kerangka Perangkat
Pengendalian
Tabel II-2 Prosedur Penyusunan Peraturan Zonasi
TAHAPAN TUJUAN KOMPONEN
MEMBUAT TIPOLOGI ZONA Memastikan penggunaan lahan ditempatkan di
tempat yang benar Memastikan tersedia ruang yang cukup
4 Zona dasar dirinci atas 15 sub zona Zona spesifik (fungsi
khusus)
MENENTUKAN NORMA ZONA
Mengatur ketentuan dasar pengembangan zona
4 Zona dasar dirinci atas 15 sub zona Zona spesifik (fungsi
khusus)
MENENTUKAN KRITERIA Menentukan persyaratan dasar, Persyaratan
dasar : aksesibilitas,
PLAN
RTRWN
RTRWP
RTRWK
RDTRK
RTBL
ZONING
REGULATIONS
AND
STANDAR
GUIDELIN
LEGISLATI
PERMI DEVELOPMENT
Relevant
standards to
urban planning
and
Performance Zoning
Special Zoning
Bonus Zoning
TDR
Negotioned Devt
Flood Plain Zoning Conditional Uses
Non-Conforming Uses
Spot Zoning Floating Zoning
Exclusionaary Zoning
Contract Zoning
Growth Control Etc
Special Site Control
Site Plan Control
Building, Housing amd Sanitary Codes
Design and Historic Preservation,
Etc
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-21
TAHAPAN TUJUAN KOMPONEN
ZONA kriteria teknis dan kriteria ekologis bagi masing-masing
tipologi zona
kompatibilitas, fleksibilitas, ekologi Persyaratan teknis :
persyaratan kesehatan, persyaratan keandalan sarana dan prasarana
lingkungan Persyaratan ekologis : keserasian-keseimbangan
lingkungan fisik dengan sos-bud
MENENTUKAN PENGGUNAAN ZONA
Menentukan peraturan penggunaan, fasilitas zona dan teknis
pembangunan
Identifikasi paket penggunaan zona Peraturan penggunaan zona
Peraturan penggunaan tambahan zona Peraturan penyediaan fasilitas
lingkungan permukiman Peraturan teknis pembangunan zona
Tabel II-3 Proses Penetapan Aturan Dalam Peraturan Zonasi
KONDISI AWAL KOTA MEMILIKI RTRW ADA ZONING REGULATION
Evaluasi RTRW Memantapkan zoning regulation
KOTA MEMILIKI RTRW TANPA ZONING REGULATION
Menyusun zoning regulation Menetapkan zoning regulation
sebagai
amandemen RTRW
KOTA BELUM MEMILIKI RTRW Menyusun RTRW termasuk zoning
regulation Menetapkan RTRW (termasuk zoning
regulation)
PROSES PENETAPAN ZONING REGULATION
Persiapan Evaluasi RTRW dan aturan pelaksanaannya Penyusunan
rencana kerja Administrasi dan teknis
Pengumpulan data dan informasi Fisik dasar Penggunaan lahan dan
bangunan Sempadan bangunan dan ketinggian lantai
bangunan Kondisi prasarana lingkungan Perda pemanfaatan lahan,
bangunan dan
prasarana lingkungan kota Referensi zoning regulation dari kota
lain
Perumusan rancangan zoning regulation yang akan menjadi
instrumen pengendalian pembangunan kota
Pembahasan rancangan zoning regulation
Penetapan zoning regulation
MUATAN ZONING REGULATION
Substansi zoning (materi yang diatur, kedalaman materi yang
diatur, pengelompokan materi yang diatur
Arahan penentuan zona Ketentuan penggunaan zona Peraturan
pembangunan Pengendalian pemanfaatan zona
Kelembagaan dan prosedur pengesahan Kelembagaan Tugas dan
wewenang Jenis perijinan Proses perijinan Peranserta masyarakat
Proses peninjauan kembali
PEMANFAATAN ZONING REGULATION
Sbg instrumen pengendalian pembangunan
Sbg pedoman penyusunan rencana operasional
Sbg panduan teknis pengembangan lahan di kawasan perkotaan
Sbg alat bantu pencegahan dampak pembangunan yang merugikan
Sbg rujukan rancang bangun bangunan dan prasarana
Sbg jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaan pembangunan
PENGENDALIAN Kegiatan pemantauan Pemantauan pemanfaatan zona,
fungsi kawasan,
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-22
ZONING REGULATION sarana dan prasarana, kesesuaian terhadap
peraturan pembangunan yang telah ditetapkan
Kegiatan evaluasi dan peninjauan kembali Merekam
perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan kota
Penertiban Pengenaan sanksi Pembatalan ijin pembangunan
Penundaan pembangunan Dan/atau penerapan persyaratan2 teknis
PENINJAUAN KEMBALI Tujuan : Mengakomodir kemungkinan
pemanfaatan baru dari bangunan dan lahan
Mengakomodir alihfungsi bangunan dan lahan
Mengakomodir kebutuhan akan ketentuan teknis yang lebih
sesuai
Mengakomodir dampak yang belum diperhitungkan
Posisi Zoning Regulation setelah peninjauan kembali : Diganti
karena banyak perubahan yang
mendasar Diperbaiki karena terjadi beberapa simpangan Diberi
aturan tambahan bila ada materi yang
kurang
Pada gambar berikut akan ditampilkan contoh dari sebuah produk
zoning regulation yang
merupakan zoning map beserta legal text dari zoning regulation
tersebut.
Gambar II-7 Contoh Zoning Regulation dan Zoning Text Dalam
Penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR)
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-23
2.2.2.6 Pertimbangan Mitigasi Bencana dalam Pengembangan Kawasan
Perkotaan
Pada dewasa ini konsep pembangunan yang sesuai (utamanya di
wilayah pesisir) adalah yang
bersifat proaktif, yaitu mencegah (prevent), memperbaiki
(mitigate) dan
mengurangi/memperkecil (reduce) dari kerugian-kerugian dan
dampak lingkungan yang terjadi
akibat adanya potensi bencana.
Langkah-langkah tersebut dituangkan dalam penataan ruang melalui
pengelolaan ruang yang
tanggap terhadap bencana, yang selanjutnya dapat sebagai dasar
dalam tahapan rekonstruksi
dan rehabilitasi pasca terjadinya bencana.
Program pengelolaan ruang berupa kesiapan dalam menghadapi
resiko bencana, dengan
dikembangkannya perencanaan spasial untuk mendorong pemanfaatan
ruang (pemanfaatan
lahan) yang lebih tepat, berdasarkan pada hasil studi/kajian
tentang karakteristik tipe bencana,
frekuensi terjadinya bencana, tingkat keparahan akibat bencana
dan lokasi (zonasi) terjadinya
bencana. Dalam hal bencana gempabumi, gunungapi, tsunami dan
banjir dilengkapi dengan
data historis tentang kejadiannya.
Secara menyeluruh upaya mitigasi bencana alam dapat dilakukan
dengan upaya struktur (fisik)
dan upaya non struktur (non fisik). Untuk lebih jelasnya
mengenai upaya mitigasi bencana
alam secara menyeluruh untuk mengurangi besarnya kerugian akibat
bencana dapat dilihat
berikut ini.
Gambar II-8 Upaya Mitigasi Bencana Alam Secara Menyeluruh
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-24
Pengelolaan kawasan dari bahaya bencana alam pada dasarnya tidak
terlepas dari berbagai
faktor dan aspek yang mempengaruhinya, baik politik, ekonomi,
maupun sosial budaya. Oleh
karena itu dalam upaya pemanfaatan ruang kawasan rawan bencana
haruslah
mempertimbangan aspek-aspek tersebut.
Usaha mitigasi bencana yang direncanakan didasarkan kepada
tinjauan berbagai tingkatan
wilayah yaitu pada lingkup nasional yang diarahkan berdasarkan
rencana tata ruang nasional;
pada lingkup daerah provinsi yang secara lebih spesifik
berdasarkan ancaman bencana dalam
lingkup provinsi serta pada lingkup daerah kabupaten dan daerah
kota.
Enam hal pokok dalam pengembangan wilayah dan kota yang tanggap
terhadap bencana
adalah :
1. Pencegahan
Pembatasan wilayah yang dapat dibangun untuk mendirikan
bangunan. Dalam usaha
pencegahan ini juga dilakukan pembatasan perkembangan penggunaan
lahan pada
wilayah wilayah yang rentan kemungkinan bencana alam seperti
wilayah yang rawan
banjir, rentan kelongsoran, rentan gempa bumi dan tsunami,
wilayah wilayah sesar ,
maupun dari bagian wilayah yang sudah atau sedang dieksploitasi
seperti wilayah pasca
penambangan terutama batu bara, wilayah penambangan mineral atau
bahan bangunan
(galian C), tanah garapan atau pembukaan lahan pada wilayah
lereng,pengembangan
wilayah penyanggah (buffer area) pada industri pencemar.
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN II-25
2. Penyiapan suatu struktur bangunan yang tingkat keamanannya
tinggi
Desain struktur bangunan dengan tingkat keamanan yang tinggi
misalnya bangunan yang
dipertinggi dengan dukungan tiang tiang pada wilayah banjir atau
konstruksi khusus yang
anti gempa (anchored building construction). Dalam hubungan ini
juga termasuk
perancangan lokasi tapak dan struktur konstruksi bangunan yang
sesuai dengan sifat
lingkungan fisik seperti lokasi pada jarak aman, orientasi
perletakan bangunan dari gejala
bencana alam, konstruksi pondasi dan bangunan tahan terhadap
suatu bentuk bencana
alam tertentu (gempa bumi, longsor, banjir, badai ,
amblesan).
3. Pembatasan pemanfaatan dan penggunaan lahan
Untuk jenis penggunaan lahan seperti perumahan, industri, pusat
perdagangan, pertanian
harus diatur dalam usaha menghadapi bencana pada wilayah yang
bersangkutan.
Demikian pula pemanfaatan lahan misalnya kepadatan penduduk,
kepadatan bangunan
harus diatur dengan peraturan di dalam menghadapi potensi
bencana di suatu wilayah
tertentu, pembatasan kepadatan penggunaan lahan dengan
pembatasan KDB, KLB,
ketinggian bangunan.
4. Pengembangan Sistem Peringatan
Beberapa jenis bencana dapat diperkirakan untuk mem-punyai waktu
guna melakukan
tindakan darurat. Sistem peringatan dini dilakukan melalui
sosialisasi reguler, sistem
komunikasi peringatan, sistem informasi melalui media elektronik
dan media cetak;
peningkatan pema-haman masyarakat tentang lingkungannyadan
pengembangan pola
perilaku masyarakat terhadap lingkungannya.
5. Penetapan Kebijaksanaan dan Peraturan Daerah Tentang
Pembangunan Dalam Mitigasi
Bencana
Penetapan kebijaksanaan dan peraturan penggunaan lahan
(peruntukan bagian wilayah,
peraturan bangunan, peraturan penetapan intensitas penggunaan
lahan yang sesuai
dengan lingkungan, jaringan prasarana dan pengamanan
lingkungan.
6. Asuransi Kebencanaan
Sistem suatu jaminan asuransi dari pemerintah daerah untuk
penduduk yang berada di
dalam wilayah rentan bencana dapat diusahakan dengan sistem yang
disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi masyarakat
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN III-1
BAB III KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA SUNGAI PENUH
3.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sungai
Penuh
Tahun 2005 2025 (Perda No 6 Tahun 2012)
Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam
sistem perencanaan
pembangunan nasional, yang disusun dalam jangka panjang, jangka
menengah dan jangka
pendek, oleh karena itu untuk memberikan arah dan tujuan dalam
mewujudkan cita-cita dan
tujuan daerah sesuai dengan visi, misi dan arah kebijakan
daerah, maka perlu disusun Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah kurun waktu 20 (dua puluh)
tahun mendatang.
RPJP Daerah Kota Sungai Penuh digunakan sebagai pedoman dalam
menyusun RPJM Daerah
Kota Sungai Penuh pada masing-masing tahapan dan periode RPJM
Daerah Kota Sungai Penuh
sesuai denganvisi, misi, dan program Kepala Daerah yang dipilih
secara langsung oleh rakyat.
RPJM Daerah tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam Rencana
KerjaPemerintah Daerah
(RKPD) yang merupakan rencana pembangunan tahunan daerah, yang
memuat prioritas
pembangunan daerah,rancangan kerangka ekonomi makro, yang
mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal
serta program dan kegiatan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Sungai Penuh.
Tujuan yang ingin dicapai dengan ditetapkannya Peraturan Daerah
tentang RPJP Daerah Kota
Sungai Penuh Tahun 2005-2025 adalah untuk (a) mendukung
kelancaran koordinasi antar
pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan daerah, (b) menjamin
terciptanya integrasi,
sinkronisasi dan sinergisitas baik antar daerah, antar ruang,
antar waktu, antar fungsi
pemerintah pusat dan daerah, (c) menjamin keterkaitan dan
konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan, (d) menjamin
tercapainya penggunaan sumber
daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan
serta (e) mengoptimalkan
partisipasi masyarakat.
keterkaitan dokumen RPJPD dengan dokumen rencana pembangunan
daerah lain, secara
hubungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. RPJPD Kota Sungai Penuh 2005-2025 disusun mengacu pada RPJP
Nasional Tahun
2005-2025. Keterkaitan dengan RPJPD Kota Sungai Penuh disamping
dengan dokumen
lainnya, adalah guna memahami posisi kerangka sistem perencanaan
pembangunan
nasional dan menyelaraskan antara visi, misi arah dan kebijakan
pembangunan serta
-
BIDANG TATA RUANG DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KOTA SUNGAI
PENUH
LAPORAN PENDAHULUAN III-2
tahapan dan prioritas pembangunan jangka panjang sehingga muatan
RPJPD Kota
Sungai Penuh tercipta sinkronisasi dan sinergi baik dalam
pelaksanaan pembangunan
maupun arah pembangunan dengan tetap memperhatikan visi dan misi
RPJP Nasional
2005-2025, dengan harapan akan terwujudnya kesejahteraan
masyarakat
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
2. RPJPD Kota Sungai Penuh 2005-2025 disusun mengacu pada RPJP
Provinsi Jambi Tahun
2005-2025 dan RPJMD Provinsi Jambi 2011-2015, yang merupakan
pola dasar utama
yang tidak terpisahkan dari visi dan misi pemerintah Provinsi
Jambi yang diarahkan
pada pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan Provinsi Jambi
2005-2025. Untuk
mewujudkan visi pembangunan jangka panjang tersebut ditempuh
melalui 6 (enam)
misi pembangunan yaitu :1) Mewujudkan daerah yang memiliki
keunggulan
kompetitif, 2) Mewujudkan masyarakat beriman, bertaqwa dan
berbudaya, 3)
Mewujudkan masyarakat demokratis dan budaya hukum, 4) Mewujudkan
kondisi yang
aman, tentram dan tertib, 5) Mewujudkan pembangunan yang merata
dan
berkeadilan, 6) Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pada
tahap kedua
RPJMD Provinsi Jambi yang dimuat di dalam RPJPD Provinsi Jambi,
fokus
pembangunan diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan dasar,
pertumbuhan
ekonomi serta peningkatan kualitas pengelola