LAPORAN PENELITIAN Kebijakan Ekonomi Mikro Kabupaten Boyolali Tahun 2006 Tim Peneliti 1. Ismail AL Habib 2. Harry Jocom 3. Hendro Riyanto LKTS Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial Bangunharjo Rt 07/II No A2. Pulisen Boyolali Jateng Phone: 0276 324501 Fax: 0276 324501
74
Embed
Kebijakan Ekonomi Mikro Kabupaten Boyolali Tahun 2006 Riset Ekonomi Mikro.pdf · LAPORAN PENELITIAN Kebijakan Ekonomi Mikro Kabupaten Boyolali Tahun 2006 Tim Peneliti 1. Ismail AL
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PENELITIAN
Kebijakan Ekonomi Mikro
Kabupaten Boyolali Tahun
2006
Tim Peneliti
1. Ismail AL Habib
2. Harry Jocom
3. Hendro Riyanto
LKTS
Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial
Bangunharjo Rt 07/II No A2. Pulisen Boyolali Jateng
Phone: 0276 324501 Fax: 0276 324501
2
3
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Pengembangan ekonomi adalah kata yang paling tepat untuk digulirkan dan
dimunculkan ke permukaan, ditengah-tengah terpuruknya kondisi Bangsa dan Negara.
Karena dengan ekonomi, kondisi dan keadaan Bangsa dan Negara dapat terangkat dan
masyarakat sebagai warga Negara memang patut menerimanya untuk mencapai
kemakmuran (welfare).
Ekonomi adalah hal yang urgent bagi setiap manusia. Kehidupan tidak bisa lepas dari
aktivitas ekonomi. Ada persepsi masyarakat bahwa kalau hidup ini dikatakan damai
dan tentram kalau ekonominya baik (good) dengan kata lain ekonomi sehat maka
jiwanya ikut sehat begitu juga sebaliknya.
Program pengembangan ekonomi mikro memang sudah mulai digalakkan sejak dari
dulu, namun input, output dan outcomenya belum sesuai yang diharapkan. Begitu juga
di Kabupaten Boyolali juga sudah dimulai, untuk meningkatkan Usaha Kecil Menengah
(Empowerment Economi Small and Medium Enterprise), peran swasta pun belum
menunjukaan hasil yang menggembirakan.
Dalam satu artikel yang sudah menjadi klasik Nancy Birdsall dari World Bank,
meyakinkan bahwa investasi dalam bidang kesehatan dan bidang pendidikan yang
masuk kategori pembangunan sosial, dalam relatif singkat mempunyai dampak positif
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional1. Artinya pengeluaran sosial
atau pembangunan sosial sebenarnya tidak berbeda dengan pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain mengadakan investasi dalam pengembangan sosial merupakan ”ilmu
ekonomi” yang baik.
_
4
Ilmu Ekonomi adalah suatu moral science2. Ilmu ekonomi sebagaimana Adam Smith
bertitik – tolak, tidak terlepas dari sentiment moral (Wealth Of Nations, 1776). Oleh
karena itu tidak benar bahwa ilmu ekonomi mengakui manusia semata-mata hanya
sebagai homo economicus, karena manusia sebagai pelaku-pelaku transaksi ekonomi
pada esensinya adalah juga homo socius, homo politicus (zoon politicon), bahkan juga
sebagai homo religius (homo imago-Dei).
Sedangkan menurut Dr. Wilson3 Ilmu ekonomi berasal dari adanya kesenjangan (gap)
antara sumber daya (resources) yang tersedia dengan keinginan (need) manusia.
Sumberdaya tersebut bersifat terbatas sedangkan keinginan manusia tidak terbatas,
berdasarkan kesenjangan tersebut maka kemudian timbul masalah, bagaimana cara
menggunakan sumberdaya yang sifatnya terbatas itu.
Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik suatu pengertian bahwa ilmu ekonomi
mengakui manusia sebagai pelaku transaksi ekonomi yang mempunyai keinginan
(need) yang tidak terbatas baik sebagai homo socius dan homo politicus karena
sumberdaya (resources) yang terbatas maka dibutuhkan sentiment moral (homo
religius) untuk mengatasi suatu kesenjangan (gap).
Aktifitas ekonomi harus ada sinergis antara ekonomi mikro dan ekonomi makro dan
tidak bisa berjalan secara parsial melainkan menyeluruh dan harus berjalan kondusif.
Apabila Ekonomi makro berjalan baik sedangkan ekonomi mikro tidak berjalan dengan
baik maka kondisi ini tidak akan membaik dan begitu juga sebaliknya.
Kebijakan ekonomi yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali (policy
maker) ini harus memperhatikan kepentingan rakyat Boyolali (social preference),
apabila kebijakan itu diambil tanpa memperhatikan kondisi makro maupun mikro itu
akan berdampak buruk pada kemajuan ekonomi secara menyeluruh. Semua lapisan
akan terkena dampak dari kebijakan yang dibuat oleh policy maker. Sedangkan yang
_
5
banyak bersinggungan adalah pelaku usaha kecil menengah (UKM) atau ekonomi
mikro (Wong cilik).
Dikatakan oleh Prof. Sajogyo” Jika Anda hendak memahami ekonomi Indonesia,
pahami dulu politiknya.” (Prof. DR. Didik J. Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik
Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, Hal. 63, Cet. 1 tahun 2001).
Dari ungkapan tersebut bila ditarik secara eksplisit oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Boyolali adalah kebijakan yang diambil di Kabupaten Boyolali harus
memahami politiknya, kulturnya dan sosialnya. Kalau hal tersebut tidak dipahami
secara komprehensive maka akan berdampak pada perkembangan ekonomi di
Kabupaten Boyolali khususnya pelaku ekonomi mikro.
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan
didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis4. Dengan kata lain
kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali tak luput dari
campur tangan partai politik yang duduk sebagai dewan dan bersifat politis.
Melihat kekayaan alam di Kabupaten Boyolali yang boleh dikatakan melimpah seperti
kawasan hutan di daerah bagian utara yaitu Juwangi, Kemusu, Wonosegoro, Waduk
Kedung Ombo, kawasan Bandar Udara Adi Sumarno yang secara geografis berada di
Kabupaten Boyolali, Waduk Cengklik, Waduk Bade, Umbul Air di Tlatar dan Pengging,
makam para Auliya’ (wali) dan petilasan, pesanggrahan di Paras, Sumur Pitu di Cabean
Kunti, Sumur Songo di Candigatak, dan di wilayah bagian barat yang mempunyai
panorama alam yang indah dan sejuk yakni kawasan gunung merapi dan gunung
merbabu serta kekayaan alam yang lain.
Dengan modal kekayaan alam yang melimpah di Kabupaten Boyolali idealnya lebih
maju dan berkembang bila dibanding dengan kabupaten lain karena potensi yang
begitu besar. Selain itu Kabupaten Boyolali sangat terkenal dengan susunya,
_
6
pengarajin tembaga dan kuningan yang cukup punya nama juga, Usaha Konveksi di
Kecamatan Teras serta budaya dan seni yang jumlahnya sangat banyak.
Namun demikian potensi yang begitu besar belum dimanfaatkan secara maksimal,
karena masih tingginya pengangguran terbuka tahun 2002 sebesar 17.236, tahun 2003
sebesar 19.753 dan tahun 2004 sebesar 21.011 atau dengan tingkat pengengguran
tahun 2002 sebesar 2,5 %, tahun 2003 sebesar 3,98 % serta tahun 2004 sebesar 3,89
%, penduduk miskin makin bertambah tahun 2005 sebesar 87.154 KK (36, 04 % dari
seluruh KK), sumber daya yang minim dan masih rentannya invesatasi dan daya saing
daerah5.
Adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, bahwa
Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengembangkan daerahnya dengan tidak
mengesampingkan kepentingan daerah lain. Perlakuan otonomi tersebut harus bisa
dimanfaatkan secara maksimal demi kemajuan daerah yang dilakukan secara
transparan, informative, komunikatif dan partisipatif.
Kabupaten Boyolali berada di Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis tersebar menjadi
empat bagian masing-masing yang memiliki karakteristik infrastruktur yang berbeda.
Bagian barat terdiri dari Kecamatan Selo, Cepogo, Musuk yang terletak dibawah kaki
gunung merapi dan merbabu dan bagian tengah mencakup Boyolali, Mojosongo, dan
Teras. Bagian timur terdiri dari Banyudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Nogosari dan
Simo. Bagian utara terdiri dari Andong, Klego, Karanggede, Wonosegoro, Juwangi dan
Kemusu yang sebagian besar adalah kawasan hutan. Bagian tengah cukup strategis
karena berada pada perlintasan antara Surakarta-Semarang, Surakarta-Jogjakarta
ibarat Semarang-Jogjakarta-Solo sebagai segi tiga emas, Boyolali berada ditengahnya.
Idealnya Kabupaten Boyolali bisa maju dan berkembang serta menjadi pusat dalam
bidang ekonominya karena melihat posisi yang sangat strategis berada di sentral jalur
aktifitas ekonomi kawasan segi tiga emas. Apabila posisi ini tidak dimanfaatkan secara
_
7
serius oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali, maka akan terjadi ketinggalan, hal
itu mungkin bisa dikatakan demikian pasalnya melihat Kabupaten yang berada di
wilayah eks karesidenan Surakarta, Kabupaten Boyolali tertinggal bila dibanding
dengan Solo, Wonogiri, Karang Anyar, Sragen, Sukoharjo dan Klaten. Yang menjadi
kajian peneliti kenapa bisa terjadi seperti ini, bagaimana proses pengambilan
kebijakan, strategi dan implementasi program, serta control dan efektifitas terhadap
program pemerintah Kabupaten Boyolali. Berawal dari latar belakang tersebut
penelitian ini mengambil judul “Study Kebijakan Pengembangan Ekonomi Mikro di
Kabupaten Boyolali Tahun 2006”.
II. Pertanyaan Penelitian
Dengan adanya pertanyaan sebagai asumsi untuk mengkaji sebuah persoalan
kebijakan ekonomi mikro maka dapat dirumuskan beberapa masalah berikut:
1) Bagaimana kebijakan pengembangan ekonomi mikro di kabupaten Boyolali tahun
2006?
2) Bagaimana implementasi kebijakan ekonomi mikro dan starteginya di kabuapaten
Boyolali tahun 2006?
3) Apakah sudah tepat sasaran atau belum dari program pengembangan ekonomi
mikro?
III. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui kebijakan pengembangan ekonomi mikro di kabupaten Boyolali tahun
2006.
2) Mengetahui implementasi dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi mikro
di Kabupaten Boyolali tahun 2006.
3) Mengetahui efektivitas program pengembangan ekonomi mikro di kabupaten
Boyolali tahun 2006.
IV. Manfaat
Penelitian ini mempunyai manfaat untuk:
1) Menghasilkan sebuah diskripsi tentang kebijakan pengembangan ekonomi mikro
di Kabupaten Boyolali tahun 2006.
8
2) Sebagai kajian awal untuk melakukan program advokasi, terhadap pelaku ekonomi
mikro dan program Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali.
V. Kerangka Konseptual
Dalam melakukan penelitian perlu ada penegasan istilah atau kerangka konseptualnya
guna menghindari interpretasi yang berbeda bagi para pembaca:
Studi Kebijakan (Policy Analysis) adalah suatu aktifitas intelektual dan praktis yang
ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan
pengetahun tentang dan di dalam proses kebijakan6. Dalam studi kebijakan ini
dimaksudkan untuk melakukan kajian mengenai kebijakan pengembangan ekonomi
mikro di Kabupaten Boyolali. Dalam pernyataan kebijakan tersebut adalah memuat
cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam
usaha mencapai sasaran dan garis besar atau haluannya dan bersifat politis.
Pengembangan adalah Proses, cara, perbuatan mengembangkan 7. Arti secara
etimologis tersebut dimaksudkan peneliti untuk mengetahui seberapa jauh
pengembangan ekonomi mikro di Kabupaten Boyolali tahun 2006. Ekonomi mikro
adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang
serta kekayaan. 8 Mikro secara etimologis berarti kecil, tipis sempit: ditinjau secara
usaha tempat itu hanya pantas untuk pasar yang berkaitan dengan jumlah atau ukuran
yang kecil 9. Menurut Peraturan Menteri Negara Koperasi Usaha kecil dan Usaha
Menengah Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2006 tentang P3KUM, Usaha Mikro
adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia ( WNI
), yang memiliki hasil penjualan secara individu paling banyak Rp. 100. 000. 000,-
(seratus juta rupiah) per tahun10
.
VI. Metode Penelitian
A. Alasan Pemilihan Penelitian Kuantitaif.
_
9
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena pendekataan ini
berangkat dari data. Ibarat bahan baku dalam suatu pabrik, data ini diproses dan
dimanipulasi menjadi informasi yang berharga bagi pengambilan keputusan.
Pemprosesan dan manipulasi data-data mentah menjadi informasi yang
bermanfaat inilah yang merupakan jantung analisis kuantitatif11
.
Pendekatan analisis kuantitatif terdiri atas perumusan, menyusun model,
mendapatkan data, mencari solusi, menguji solusi, menganalisis hasil dan
mengimplementasikan hasil.
Pada hakekatnya, pengaplikasian data kuantitatif berkisar pada masalah
pengukuran. Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk memperoleh metode
dan alat-alat pengukuran yang setepat-tepatnya agar dapat tercapai pengetahuan
yang memungkinkan dibuat rumusan berupa asumsi-asumsi atau ramalan-ramalan
tentang apa yang dapat terjadi dalam keadaan tertentu12
.
Berdasarkan pertanyaan penelitian dan karakteristik data yang dimiliki, penelitian
ini menggunakan tekhnik deskriptif karena dengan tekhnik ini akan menjelaskan
atau memprediksikan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-
pilihan kebijakan13
.
Analisis Kebijakan Deskriptif (Descriptif Policy Analysis) adalah aspek analisis
kebijakan yang ditujukan kearah penciptaan, kritik, dan komunikasi klaim
pengetahuan tentang nilai kebijakan untuk generasi masa lalu, sekarang, dan masa
mendatang14
. Model deskriptif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-
aksi kebijakan pengembangan ekonomi mikro di Kabupaten Boyolali tahun 2006,
apakah sudah sesuai dengan proses dan sesuai dengan sasaran serta aspirasi
masyarakat khususnya pelaku ekonomi mikro.
_
10
B. Wilayah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah.
C. Pengumpulan Data
Untuk melengkapi kajian-kajian dalam penelitian ini, beberapa tahap dilakukan
antara lain:
1. Pengumpulan Data Sekunder Dilakukan dengan telaah pustaka, yaitu
mengumpulkan beberapa kajian dan literature yang membahas tentang
pengembangan ekonomi mikro. Beberapa data diperoleh melalui kajian APBD
Boyolali tahun 2006, data monografi dan demografi Kabupaten Boyolali, data
BPS Boyolali, kebijakan pengembangan ekonomi di Dinas Perindagkop dan
dinas lain yang terkait.
2. Pengumpulan Data Primer
Untuk kegiatan pengumpulan data primer, kajian ini dilakukan dengan
beberapa tahap antara lain:
a. Studi Dokumen
Studi Dokumentasi digunakan oleh peneliti karena metode ini tidak begitu
sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum
berubah.
Metode Dokumentsi adalah metode yang digunakan untuk mencari data
mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, trasnkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, lengger, agenda dan sebagainya_.
Peneliti akan melakukan kajian-kajian melalui data-data yang diperoleh dari
buku, arsip dinas terkait dan APBD Boyolali tahun 2006.
b. Kuesioner atau Angket
Kuesioner atau angket adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data_. Menurut Arikunto, metode pengumpulan data melalui kuesioner atau
angket dalam penelitian ini menggunakan sample sebanyak 10-15 % atau 15-
_
11
20% dari penerima program pengembangan ekonomi mikro dan pembuat
kebijakan serta pelaksana program tersebut.
c. Interview (wawancara)
Dalam pengumpalan data melalui interview atau wawancara, dan memang
membutuhkan waktu yang lama. Secara garis besar wawancara terbagi
menjadi dua macam pedoman yaitu15
:
1) Wawancara tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya
memuat garis besar yang akan ditanyakan. Tentu saja kreativitas
interviewer sangat dibutuhkan, bahkan hasil wawancara dengan jenis ini
lebih banyak tergantung dari pewawacara. Interviewer sebagai pengemudi
jawaban responden.
2) Wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang disusun secara terperinci
sehingga menyerupai chek-list. Interviewer tinggal membubuhkan tanda v
(chek) pada nomor yang sesuai.
Dalam peneletian ini akan menggunakan kedua model tersebut atau bisa
dikatakan bentuk “semi structured”. Interviewer mula-mula menanyakan
serentetan pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam
dengan mengorek keterangan yang lebih lanjut. Dengan model ini jawaban
yang diperoleh bisa meliputi semua variable, dengan keterangan yang
lengkap dan mendalam.
d. FGD (Focused Group Discusion)
Sebagai tahap untuk mendapatkan masukan, gagasan serta arahan yang lebih
komprehensif menyangkut kebijakan pengembangan ekonomi mikro di
Kabupaten Boyolali tahun 2006, kegiatan ini penting untuk dilakukan.
_
12
Focused Group Discusion ini dilakukan sebanyak empat kali dengan sasaran dan
target yang berbeda, yaitu: (a) warga masyarakat, KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat) dan pelaku ekonomi mikro, (b) LSM/NGO, akademisi, dan profesi
yang kompeten terhadap pengembangan ekonomi mikro, (c) Pemerintah
Kabupaten Boyolali dan Instansi Pemerintah, (d) Ormas (Organisasi
Kemasyarakatan), Orsospol (Organisasi Sosial dan Partai Politik).
VII. Analisa Data
Untuk melakukan kajian-kajian dari data sekunder kemudian diolah menjadi data
primer, peneliti menggunakan studi diskriptif dengan diskripsi data secara grafis.
Secara umum studi statistic deskriptif dapat menghasilkan beberapa penyajian,
yang pertama, menyajikan data dalam bentuk tabel dan grafik, kedua, meringkas
dan menjelaskan distribusi data dalam bentuk tendensi sentral, variasi, dan bentuk
(Santoso, 2000).
Perangkat yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini menggunakan
beberapa piranti lunak seperti Microsoft Excel, SPSS for Windows, SAS, Micro TSP,
Eviews yangdapat memberikan pilihan grafis16
.
VIII. Kerangka Penelitian
BAB I. Pendahuluan berisi tentang: Latar Belakang Masalah, Pertanyaan Penelitian,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual dan Metode
Penelitian.
BAB II. Gambaran Umum Wilayah Penelitian di Kabupaten Boyolali berisi tentang:
Kondisi Geografis, Keadaan Penduduk dan Sarana Umum.
BAB III. Studi Kebijakan Pengembangan Ekonomi Mikro di Kabupaten Boyolali Tahun
2006 berisi tentang: Proses Pengambilan Kebijakan, Jenis dan Bentuk Program
Pengembangan Ekonomi Mikro, Target atau Hasil yang Diharapkan Dari Program
_
13
Pengembangan Ekonomi Mikro, Strategi Pengembangan Ekonomi Mikro,
Manfaat Program Pengembangan Ekonomi Mikro, Waktu Pelaksanaan Program
Pengembangan Ekonomi Mikro, Anggaran Pengembangan Ekonomi Mikro,
Pelaksana Program Pengembangan Ekonomi Mikro, Sasaran Program
Pengembangan Ekonomi Mikro, Monitoring dan Evaluasi Program
Pengembangan Ekonomi Mikro, Keterlibatan Perempuan Pada Program
Pengembangan Ekonomi Mikro, Keterlibatan Orang Miskin Pada Program
Pengembangan Ekonomi Mikro dan Pengaruh Lingkungan Dalam Program
Pengembangan Ekonomi Mikro.
BAB IV. Analisa Data, berisi tentang: Analisa Data Pendahuluan : kebijakan
pengembangan ekonomi mikro di kabupaten Boyolali tahun 2006, Analisa Data
Lanjutan : implementasi kebijakan ekonomi mikro dan starteginya di Kabupaten
Boyolali tahun 2006, Analisa Akhir : sasaran dari program pengembangan
ekonomi mikro.
BAB V. Penutup, berisi tentang; Kesimpulan, Rekomendasi dan Saran-saran.
14
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Gambaran umum wilayah penelitian merupakan uraian tentang diskripsi kondisi geografis
serta demografis wilayah penelitian. Dalam penelitian ini meliputi 19 kecamatan di
kabupaten di Boyolali.
Setiap wilayah mempunyai kondisi geografis yang berbeda dan karakteristik yang berbeda
pula baik kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kondisi fisiknya. Dalam gambaran umum ini
antara laian berkaitan dengan luas wilayah, keadaan penduduk dan sarana umum. Dengan
adanya gambaran umum ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kebijakan
pengembangan ekonomi mikro di Kabupaten Boyolali tahun 2006.
2.1. Letak dan Luas Wilayah
Secara geografis, wilayah Kabupaten Boyolali berbatasan dengan Kabupaten
Grobogan dan Kabupaten Semarang, di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan
Kabupaten Karang Anyar dan Kabupaten Sragen serta Kabupaten Sukoharjo, sebelah
selatan berbatasan Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebelah
barat berbatasan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang terletak antara
110’ 22’ – 110’ 50‘ Bujur Timur dan 7’ 36’ – 7’ 71’ Lintang Selatan yang mempunyai
jarak bentang Barat-Timur 48 Km dan bentang Utara-Selatan 54 Km dengan
ketinggian antara 75 – 1500 meter diatas permukaan air laut (mdpl).
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Jawa
Tengah yang terletak pada jalur segi tiga emas yaitu jalur perdagangan Propinsi D.I.
Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah yaitu Solo dan Semarang, sehingga berpotensi
mengembangkan kawasan wisata karena disebelah barat terdapat gunung merapi
dan merbabu yang masuk pada kecamatan Selo, Cepogo dan Ampel.
Melihat kondisi alam, Kabupaten Boyolali merupakan daerah resapan atau
tangkapan air bagi Kabupaten Klaten, Sukoharjo dan Solo serta sebagian Kabupaten
15
Semarang. Dengan kondisi ilkim dan hidrologi Kabupaten Boyolali termasuk ilkim
tropis dengan curah hujan rata-rata 2000 mm/tahun artinya kondisi tersebut
berpotensi untuk sector pertanian karena disebelah timur dan utara terdapat
bentangan sawah dan hutan yang cukup luas.
Daerah yang berpotensi untuk pertanian adalah Kecamatan Kemusu, Klego, Andong,
Karanggede, Wonosegoro, Juwangi, Mojosongo, Banyudono, Sawit dan Teras. Selain
itu Kabupaten Boyolali juga berpotensi untuk mengembangkan ekonomi mikro
karena berada pada jalur segi tiga emas.
Selain sebagai daerah pertanian, Kabupaten Boyolali juga mempunyai obyek wisata
yang dapat menarik wisatawan local maupun regional. Tempat wisata tersebut
antara lain: Wisata perairan di Tlatar Kecamatan Boyolali, Nepen Kecamatan Teras,
Pengging Kecamatan Banyudono dan Pantaran Kecamatan Ampel, sedangkan wisata
waduk di Kedungombo di Kecamatan Kemusu, Kedungdowo di Kecamatan Andong,
Cengklik di Kecamatan Ngemplak, Bade di Kecamatan Klego dan beberapa petilasan
dan makam para Auliya’ (wali).
Sementara itu dilihat luas wilayah pada masing-masing kecamatan di Kabupaten
Boyolali adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Luas Wilayah (Ha)
No Kecamatan Luas Wilayah
1 Selo 5607,8
2 Ampel 9039,1
3 Cepogo 5299,8
4 Musuk 6504,1
5 Boyolali 2625,1
6 Mojosongo 4341,1
7 Teras 2993,6
8 Sawit 1723,3
9 Banyudono 2537,9
10 Sambi 4649,5
11 Ngemplak 3852,7
12 Nogosari 5508,4
13 Simo 4804,0
16
14 Karanggede 4175,6
15 Klego 5187,7
16 Andong 5452,8
17 Kemusu 9908,4
18 Wonosegoro 9299,8
19 Juwangi 7999,4
Jumlah 101510,1
Sumber: Boyolali dalam Angka tahun, 2004
2.2. Keadaan Penduduk
2.2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Penduduk adalah modal utama untuk melaksanakan pembangunan. Jumlah
penduduk yang besar dapat menjadi modal dalam melaksanakan pembangunan
namun pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol akan menimbulkan
masalah yang kompleks dalam aspek kehidupan.
Kepadatan penduduk mempengaruhi tingkat konsumsinya seperti kebutuhan
sandang, pangan dan papan. Hal itu di ikuti dengan kebutuhan bahan makanan,
tempat untuk penduduk dan meningkat pula tentang pembuangan limbahnya.
Dimana pembuangan limbah yang tidak terkontrol dengan baik akan berdampak
pada kerusakan lingkungan dan tanah menjadi merosot produktifitasnya.
Setiap tahun penduduk bertambah banyak, pada tahun 2004 jumlah penduduk di
Kabupaten Boyolali sebanyak 939.087 jiwa terdiri dari komposisi laki-laki 459.106
jiwa dan komposisi perempuan 479.981 jiwa.
17
Tabel 2.2.
Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan
Luas Wilayah Kecamatan (Ha)
No Kecamatan Jumlah Kepadatan Penduduk
(Km)
1 Selo 26.580 474
2 Ampel 68.783 761
3 Cepogo 51.553 973
4 Musuk 59.759 919
5 Boyolali 57.684 2.197
6 Mojosongo 50.968 1.174
7 Teras 44.265 1.479
8 Sawit 32.606 1.892
9 Banyudono 45.155 1.779
10 Sambi 48.251 1.038
11 Ngemplak 68.925 1.789
12 Nogosari 61.270 1.112
13 Simo 43.102 897
14 Karanggede 41.021 982
15 Klego 45.507 877
16 Andong 60.764 1.114
17 Kemusu 45.685 461
18 Wonosegoro 53.208 572
19 Juwangi 34.001 425
Jumlah 939.087 925
Sumber : Boyolali dalam Angka, Tahun 2004
2.2.2. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Komposisi jumlah penduduk menurut jenis kelamin untuk mendiskripsikan struktur
jumlah penduduk di suatu daerah. Seperti pada tabel dibawah ini:
18
Tabel 2.3.
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No Kecamatan Laki – laki Perempuan
1 Selo 12.896 13.684
2 Ampel 33.542 35.241
3 Cepogo 25.356 26.197
4 Musuk 28.912 30.847
5 Boyolali 28.334 29.350
6 Mojosongo 24.950 26.018
7 Teras 21.086 22.459
8 Sawit 16.037 16.569
9 Banyudono 21.601 23.554
10 Sambi 23.848 24.403
11 Ngemplak 33.849 35.076
12 Nogosari 29.713 31.557
13 Simo 20.882 22.220
14 Karanggede 19.749 21.272
15 Klego 22.300 23.207
16 Andong 29.762 31.002
17 Kemusu 22.495 23.190
18 Wonosegoro 26.252 26.956
19 Juwangi 16.822 17.179
Jumlah 459.106 479.981
Sumber : Boyolali dalam Angka, Tahun 2004
Data diatas menunjukkan bahwa penduduk berjenis kelamin perempuan adalah
paling banyak. Sehingga menuntut keterlibatan dalam mengambil kebijakan harus
ada dan terlibat sehingga keputusan tersebut dapat mengakomodir kepentingan
kaum perempuan, tak hanya itu saja aktifitas usaha ekonomi mikro didominasi oleh
pelaku perempuan, dengan keterlibatan tersebut diharapkan dalam pengambilan
keputusan dapat dapat memberikan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) untuk
mendukung pelaksanaan program pembangunan daerah yang berdampak pada
seluruh aspek kehidupan.
2.2.3 Komposisi Penduduk menurut lapangan pekerjaan
Melihat penduduk berdasarkan lapangan pekrjaan tentunya sangat beragam, dalam
mengkomposisikan peneliti mengambil mulai dari umur 15 tahun keatas. Beragam
19
lapangan pekerjaan yang paling mayoritas adalah sebagai petani dan buruh, seperti
terlihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.4
Komposisi Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha
No Lapangan
Usaha
Pertanian Industri Perdagangan Jasa Lainnya
1 Selo 5.742 231 2.754 3.586
2 Ampel 15.039 234 820 4.018 33.877
3 Cepogo 19.112 1.289 2.144 538 8.501
4 Musuk 4.236 469 2.129 2.016 17.884
5 Boyolali 3.506 2.848 3.456 6.487 30.485
6 Mojosongo 5.317 2.950 7.132 9.717 12.750
7 Teras 9.986 6.161 4.481 4.945 7.348
8 Sawit 6.491 218 4.334 839 10.877
9 Banyudono 3.878 3.965 3.949 6.268 12.937
10 Sambi 13.171 2.869 2.746 202 20.276
11 Ngemplak 7.475 10.205 7.315 12.391 16.270
12 Nogosari 15.352 5.698 3.932 4.526 20.215
13 Simo 22.749 561 1.203 884 9.618
14 Karanggede 8.221 668 742 681 6.280
15 Klego 20.538 259 2.128 2.416 10.529
16 Andong 12.930 883 912 567 12.092
17 Kemusu 20.259 1.718 973 110 13.578
18 Wonosegoro 17.168 987 4.722 1.795 12.592
19 Juwangi 11.232 152 1.015 1.250 14.037
Jumlah 222.402 42.134 54.365 62.405 273.730
Sumber : Boyolali dalam Angka, Tahun 2004
Dari tabel diatas tampak bahwa, kecamatan simo paling mendominasi lapangan
pekerjaan sektor pertanian yang beragam dari pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan peternakan lainnya, disusul kecamatan Klego dan Wonosegoro.
Sedangkan untuk jenis pekerjaan pada sektor ekonomi kecil menengah baik industri
pengolahan atau perdagangan adalah kecamatan Ngemplak dan disusul kecamatan
Nogosari dan Banyudono.
20
2.2.4 Dinamika Penduduk
Perpindahan penduduk dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya (mutasi
penduduk, datang dan pergi) bisa dikatakan cukup tinggi, banyaknya mutasi
penduduk pergi ke daerah lain disebabkan karena lapangan pekerjaan, melihat
banyaknya penduduk yang pergi menandakan di wilayah penelitian tidak tersedia
lapangan pekarjaan yang cukup. Sedangkan untuk angka kematian dan kelahiran di
wilayah penelitian dinilai masih cukup tinggi, kondisi tersebut menunjukkan tingkat
kesadaran masyarakat tentang kesehatan masih rendah.
2.3. Sarana Umum
2.3.1 Sarana Pendidikan
Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pemerintah wajib
membiyainya. Untuk melaksanakan pendidikan tidak hanya membutuhkan murid
saja, namun sarana pendidikan sangat menunjang kesuksesan kegiatan belajar
mengajar. Kesuksesan pendidikan tidak hanya didukung dengan bangunan yang
megah namun fasilitas pendukung seperti laboratorium, alat praktek dan lain
sebagainya sangat mendukung kebrhasilan pendidikan.
Sarana pendidikan yang akan dipaparkan pada tabel 2.6 adalah untuk pendidikan
dasar (SD dan SMP) mengingat wilayah penelitian masih menekankan pada
keberhasilan pendidikan dasar. Kecamatan Boyolali adalah paling banyak untuk
terselenggaranya sarana pendidikan dasar untuk SD terdapat 37 sekolah dan SMP
terdapat 10 sekolah. Tetapi untuk sarana pendidikan dasar yang paling sedikit
adalah kecamatan Selo untuk SD terdapat 23 sekolah dan SMP terdapat 2 sekolah.
Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan dalam
pembangunan dan penyediaan sarana pendidikan.
21
Tabel 2.6
Jumlah Sarana Gedung Sekolah Menurut Kecamatan
No Kecamatan SD SMP SMA
1 Selo 24 2 1
2 Ampel 45 7 6
3 Cepogo 35 2 1
4 Musuk 48 3 -
5 Boyolali 36 10 12
6 Mojosongo 37 4 3
7 Teras 31 3 3
8 Sawit 23 4 1
9 Banyudono 34 5 3
10 Sambi 33 4 2
11 Ngemplak 34 5 1
12 Nogosari 34 4 3
13 Simo 35 7 6
14 Karanggede 26 5 3
15 Klego 28 5 1
16 Andong 40 6 6
17 Kemusu 31 3 1
18 Wonosegoro 35 5 3
19 Juwangi 30 3 1
Jumlah 639 87 57
2.3.4 Sarana Perekonomian
Tabel 2.7.
Jumlah sarana perekonomian menurut kecamatan
No Kecamatan Pasar
1 Selo 2
2 Ampel 2
3 Cepogo 1
4 Musuk 2
5 Boyolali 4
6 Mojosongo 2
7 Teras 1
8 Sawit 2
9 Banyudono 2
10 Sambi 1
11 Ngemplak 2
12 Nogosari 2
13 Simo 1
14 Karanggede 2
15 Klego 2
22
16 Andong 2
17 Kemusu 2
18 Wonosegoro 2
19 Juwangi 2
Jumlah 36
Adanya sarana perekonomian seperti pasar baik pasar desa maupun pasar
kecamatan adalah untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Sarana yang
layak dapat menunjang untuk perekonomian yang baik pula. Kurang lebih 36 pasar
yang ada di Kabupaten Boyolali kalau digali potensinya baik potensi sumberdaya
(resources), pelaku usaha ekonomi (man), uang (money) serta parkir yang digunakan
untuk bertransaksi setiap hari tentunya dapat meningkatkan PAD Kabupaten
Boyolali. Namun sampai saat ini potensi pasar yang begitu besar belum digali secara
maksimal sehingga PAD yang besar masih berasal dari rumah sakit.
23
BAB III
STUDY KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI MIKRO
DI KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2006
A. Studi Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali
Untuk menganalisa terhadap kebijakan pengembangan ekonomi mikro, di dukung
dengan dokumen-dokumen terkait seperti RPJMD, APBD 2006, RKPD, KUA-RKA,
laporan dari masing-masing satker. Kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
ekonomi mikro bukanlah isu yang baru namun isu yang sudah lama. Melihat
konsideran anggaran yang bisa dikatakan jomplang artinya belanja aparatur negara,
belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas dan belanja lainnya dinilai masih
belum sesuai harapan pelaku usaha kecil menengah dan bisa dikatakan tidak pro poor
serta pro gender.
Pengembangan ekonomi adalah urusan pilihan bagi pemerintah, sedang urusan wajib
seperti pendidikan dan kesehatan pun masih jauh dari harapan. Padahal kontribusi
yang besar pendapatan asli daerah berasal dari retribusi. Retribusi didapat dari rumah
sakit, angkutan yang masuk terminal, parkir, kios dan lain sebagainya. Artinya
retribusi tersebut berasal dari orang miskin karena orang yang sering sakit adalah
orang miskin, orang sering naik angkot adalah orang miskin.
Secara filosofis, negara yang terbetuk dengan nama NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) yang mempunyai segenap perangkat institusinya dan mempunyai modal
penduduk untuk melaksanakan pembangunan. Idealnya anggaran dan kebijakan yang
dibuat Policy Maker harus mementingkan rakyat dikarenakan negara berprinsip dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerimtah Daerah bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Upaya yang ditempuh dapat melalui perencanaan
24
pembangunan yang efisien, efektif, responsif dan konsisten. Sehingga permasalahan
yang ada di masyarakat dapat terselesaikan dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Secara administratif, anggaran daerah (APBD) mempunyai fungsi antara lain: (1).
Sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola sumberdaya daerah,
terutama keuangan daerah untuk suatu periode tertentu, (2). Sebagai instrumen
pengawasan pemerintahan dan pembangunan daerah, (3). Sebagai instrumen utuk
menilai kinerja pemerintah. Sedang secara ekonomi, fungsi anggaran adalah pertama,
fungsi alokasi, kedua, fungsi distribusi, ketiga, fungsi stabilisasi.
1. Proses Pengambilan Kebijakan
Terjadinya pengambilan keputusan pada Pemerintah Daerah, secara politis diawali
proses PILKADAL artinya penyusunan rencana program-program pembangunan yang
ditawarkan masing-masing Calon Kepala Daerah (CKD) kepada voters, kesalahan
rakyat dalam memilih CKD akan dirasakan akibatnya dalam jangka lima tahun. Dari
visi dan misi kepala daerah terpilh kemudian dijabarkan kedalam dokumen RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), hal itu sesuai Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menjadi
kewajiban Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk menyusun perencanaan
daerah berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pembangunan
Daerah (RKPD).
Secara teoritis proses pengambilan kebijakan sudah cukup baik, seperti Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sudah dimulai dari bawah artinya
penggalian usulan dimulai dari RT, RW pada MusrebangDes yang menghasilkan
kebutuhan perencanaan pembangunan desa selama kurun waktu tertentu.
Kebanyakan usulan dari Desa masih berbentuk fisik seperti pembangunan jalan,
pembangunan jembatan, masjid dan lain sebagainya. Sedangkan usulan yang
berbentuk nonfisik seperti pelatihan dalam memperkuat institusi (Capacity Building)
jarang menjadi kebutuhan yang urgent. Pelaksanaan musrenbangDes selambat-
25
lambatnya akhir bulan januari. Waktu yang relatif pendek harus menghasilkan
keputusan yang menjadi kebutuhan desanya.
Proses yang selanjutnya adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan
(MusrenCam) yang dilaksanakan antara tanggal 1-14 Pebruari dihadiri tokoh-tokoh
Desa yang akan bertarung dengan tokoh Desa lainnya dalam mengegolkan usulannya.
Pada forum ini, Desa yang tidak gigih dan tidak dapat memberikan argumen yang
menarik dan kuat maka hasil dari musrenbangDes akan sia-sia. MusrenbangCam
menghasilkan kebutuhan masing-masing desanya. Hasil musrenbangCam harus
dilaksanakan dan disusun dalam waktu yang singkat, sehingga menuntut kerja keras
birokrasi pemerintah kecamatan.
Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah wadah bersama antar pelaku
pembangunan untuk membahas prioritas kegiatan pembangunan hasil
musrenbangCam dengan SKPD atau gabungan SKPD sebagai upaya mengisi Rencana
Kerja SKPD. Hasil yang diharapkan pada forum SKPD adalah Renja SKPD yang memuat
kerangka regulasi dan kerangka anggaran yang dirinci menurut Kecamatan dan sudah
dibagi menurut alokasi APBD. Forum SKPD Kabupaten mempunyai tujuan untuk
mengsinkronkan hasil musrenbangCam dengan Rencana Kerja Satuan Perangkat
Daerah (Renja-SKPD), menetapkan prioritas kegiatan, menyesuaikan prioritas Renja-
SKPD dengan plafon/pagu anggaran SKPD dan mengidentifikasi keefektifan berbagai
regulasi yang berkaitan dengan fungsi SKPD. Pelaksanaan forum Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) antara tanggal 15-21 Pebruari.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten (MusrenbangKab) dilaksanakan
pada bulan maret. MusrenbangKab adalah musyawarah steakholder Kabupaten
berdasarkan Renja-SKPD hasil forum dengan cara meninjau keserasian antara
rancangan Renja-SKPD untuk pemutakhiran Rancangan APBD. Pergulatan
argumentasi dari masing-masing utusan kecamatan akan bertarung pada forum ini
untuk memberikan masukan kepada SKPD terkait. Pelaksanaan musrenbangKab juga
harus memperhatikan dokumen RPJMD atau Renstra Daerah. Tujuan pelaksanaan
musrenbangKab adalah untuk penyempurnaan rancangan awal RKPD yang memjuat
26
prioritas pembangunan daerah, pagu indikatif pendanaan dan rancangan alokasi Dana
Desa. Hasil yang diharapkan adalah prioritas kegiatan yang dipilih menurut
pendanaan dari APBD Kabupaten.
Sesuai dengan Surat Edaran Bersama (SEB) dalam proses pengambilan kebijakan yang
dimulai dari musrenbang Dusun, musrenbang Desa, musrenbang Kecamatan dan
musrenbang Kabupaten sudah melibatkan berbagai steakholder seperti tokoh
masyarakat, tetua adat, tokoh agama, partai politik, LSM/NGO, perempuan dan lain
sebagainya. Namun pada forum yang selanjutnya yakni Penyusunan RKPD,
Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran, strategi dan Plafon APBD, Penyusunan RKA-
SKPD, Pembahasan dan penetapan APBD keterlibatan steakholder tidak ada.
Pasca musrenbang Kabupaten adalah forum abu-abu dalam arti celah keterlibatan
steakholder tidak ada, sehingga penting untuk dikawal karena rawan terjadi distorsi
hasil musrenbang. Bisa dikatakan pembahasan yang melelahkan dan menghabiskan
anggaran menjadi sia-sia karena permainan partai politik sehingga keputusan yang
dihasilkan pun bersifat politis.
Gambar 3.1
Proses Pengambilan Kebijakan
RPJMD
RancanganAwal RKPD•Prioritas pemb,
•Pagu indiakatif
berdasar fungsi
SKPD, sumber
dana & Wilayah
kerja
Rancangan
RKPD
RancanganAhir RKPD
RKA-
SKPD
RAPBD
Renstra
SKPD
RenjaSKPD
Rancangan
Renja SKPD
ForumSKPD
RancanganRKPD Prov
MUSRENBANG
Kecamatan
MUSRENBANG
Desa/Kel.
Musrenbang RKPD/
MUSRENBANGDAPenetapan
RKPD
KUA
MUSRENBANGPROV
MUSRENBANGNAS
Jan
Feb.
Feb/Mar
Mar
Apr
Mei
AgtFeb.
Apr
Apr
RancanganRKP Mei
Mei
Jun
Okt
27
2. Jenis dan Bentuk Program Pengembangan Ekonomi Mikro
Jenis dan bentuk program yang digulirkan oleh pemerintah daerah, bisa dikatakan
cukup banyak seperti pemberian kredit lunak, pelatihan hasil pengolahan pangan,
bimbingan teknis dan lainnya sebagainya.
Agar lebih hemat dan mempermudahkan pemilahan jenis dan bentuk program,
penelitian ini menggunakan empat kategori. Pertama, bantuan langsung artinya
bantuan yang diberikan secara langsung kepada pelaku usaha kecil dan menengah
seperti pemberian gerobak bagi pedagang kaki lima (PKL), bantun bahan dan
peralatan industri lainnya. Kedua, infrstruktur adalah jenis bantuan yang diberikan
kepada pelaku usaha kecil dan menengah untuk pengembangan kawasan seperti
wilayah agro dan lain jenisnya. Ketiga, penguatan lembaga (Capacity Building) adalah
bantuan yang diwujudkan dalam bentuk dukungan pengeloloaan (manajemen) usaha
agar lebih baik dan terbukukan dengan rapi, contohnya pelatihan manajemen usaha,
cara mengakses kredit dari pemerintah, bimbingan teknis, seminar dan pelatihan
lainnya yang dapat mendukung kelacaran usaha. Keempat, Pemasaran (marketting)
adalah kegiatan yang dilakukan pemerintah dalam mendukung pemasaran produk
pelaku usaha kecil dan menengah seperti pameran (expo), pemasaran melalui leaflet
dan brosur tentang keunggulan dan potensi daerah.
Tabel 3.2
Data per Dinas Dalam Mendukung Program Pengembangan Ekonomi Mikro
I. Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
No Kegiatan Kategori
1 Pengadaan Barang Peralatan Latihan 2
2
Pemberdayaan Lmbg Lat Krj Swasta (P. Hardwar dan
Software Komp) 3
3 Pengiriman TKI ke LN dengan pola Dana Revolving 1
4 Pelatihan Ketrampilan Pencari Tenaga Kerja MTU 3
5 Pembedayaan Lat Krj Swasta 3
6 Pembinaan Hubungan Industrial 3
28
II. Dinas Kesehatan Dan Sosial
No Kegiatan Kategori
1
Peningkatan Peran Aktif masy dan dunia usaha dlm
mendukung upy2 penylg plyn ksjh bg PMKS
3
2
Pembentukan jejaring krjsm pelakuush ksjh sos, masy dan
dunia ush termasuk org tingkat lokal
4
III. Dinas Pekerjaan Umum Perhubungan dan Kebersihan