Page 1
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI DAN UJI AKTIVITAS ANTIDENATURASI
PROTEIN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER
DARI FRAKSI ETIL ASETAT RIMPANG TEMU
GIRING (Curcuma heyneana Val)
SKRIPSI
LULUK MUCHOYARATUL HIDAYAH
11141020000063
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
AGUSTUS 2018
Page 2
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ISOLASI DAN UJI AKTIVITAS ANTIDENATURASI
PROTEIN SENYAWA METABOLIT SEKUNDER
DARI FRAKSI ETIL ASETAT RIMPANG TEMU
GIRING (Curcuma heyneana Val)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi
LULUK MUCHOYARATUL HIDAYAH
11141020000063
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
AGUSTUS 2018
Page 3
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Page 6
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Luluk Muchoyaratul Hidayah
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Isolasi dan Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein Senyawa
Metabolit Sekunder dari Fraksi Etil Asetat Rimpang Temu Giring
(Curcuma heyneana Val)
Aktivitas biologis temu giring telah dilaporkan diantaranya sebagai antibakteri,
antioksidan, antelmintik, antihiperglikemik dan antinyeri, namun masih terbatas
pada pengujian aktivitas antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
senyawa metabolit sekunder dari rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val),
menentukan strukturnya, dan menguji aktivitasnya sebagai antidenaturasi protein.
Pemisahan dan pemurnian dari fraksi etil asetat menggunakan berbagai metode
kromatografi dan menghasilkan senyawa F4149 sebanyak 319 mg. Analisa data
spektroskopi menggunakan GCMS dan 1H-NMR mengindikasikan bahwa senyawa
F4149 memiliki berat molekul 234,1 m/z dengan 5 metil, O-CH2, dan sisanya
merupakan CH/CH2 alifatik. Pola sinyal seperti ini sesuai dengan struktur dari
senyawa sesquiterpen yang merupakan senyawa dominan yang ditemukan pada
Curcuma heyneana Val. Berdasarkan hasil uji aktivitas antidenaturasi protein,
senyawa F4149 pada konsentrasi 0,1-100 ppm menunjukkan hasil persentase
inhibisi berbeda bermakna.
Kata kunci : Temu giring (Curcuma heyneana Val), antidenaturasi
protein, antiinflmasi, Bovine Serum Albumin.
Page 7
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Luluk Muchoyaratul Hidayah
Program Study : Pharmacy
Title : Isolation and Antidenaturation of Protein Assays of
Secondary Metabolites Compound from Rhizomes of
Curcuma heyneana Val.
Curcuma heyneana Val has been reported to have antibacterial, antioxidant,
anthelmintic, antihyperglycemic and analgesic activities, however are still limited
to antiinflammatory assays. The objectives of this research were to isolate a
secondary metabolite compound from rhizomes of Curcuma heyneana Val,
elucidated the structure, and determined its antidenaturation of protein activity.
12,73 g ethyl acetate fraction was separated and further purified by using
chromatographic method to give 319 mg of F4149. Analysis of the GCMS and 1H-
NMR spectroscopic data of F4149 indicated that this compound has molecular
formula at 234,1 m/z with 5 methyls, one methylenoxy, and the remains of the
CH/CH2 aliphatic structure. Pattern of this signal is in accordance to the
sesquiterpenes skeleton, which is found as the major compound in the Curcuma
heyneana Val. F4149 at a concentration of 0,1-100 ppm showed that the percentage
inhibition of antidenaturation protein were significantly different.
Keywords: Curcuma heyneana Val, Antidenaturation of Protein,
Antiinflammatory, Bovine Serum Albumin.
Page 8
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmat, karunia, hidayah serta inayah-Nya, saya dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya sepenuhnya menyadari, bahwa tanpa bantuan, arahan dan bimbingan
dari berbagai pihak, dari awal masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi
ini, sangatlah sulit dan penuh rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karna itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph. D., Apt. selaku pembimbing pertama dan Ibu
Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan
waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing dan mengarahkan, memberikan
ilmu, masukan dan saran, sejak proposal skripsi, pelaksanaan penelitian sampai
pada penyusunan skripsi.
2. Dr. Arief Soemantri, SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Kepala Jurusan Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan
hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua Orang tua saya, Samsul Huda dan Muisyaroh Huda, adik saya Saadatul
Mu’awanah serta keluarga yang terus memberi dukungan moril maupun
materil.
6. Sahabat-sahabat saya Puspitasari, Fauziah HB, Syifa Munika, Muhaiminul
Maulidza, Cut Balqis, Revy Aprillia, Corry Priscilliana, Dea Raudya, Divya
Anjani, Ramadhani, Hadi Azmi, Fariz Agus, Indah Meliani, Dena Fijanatin
yang selalu mengingatkan dan memberi dukungan kepada penulis.
Page 9
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Teman-teman seperjuangan cepet s.farm Firman, Rizka, Nehta, Ferani, Putri
serta teman angkatan 2014 yang sama-sama berjuang selama 4 tahun untuk
menyelesaikan pendidikan ini.
8. Ka Walid, Ka Eris, Mba Rani, Ka Zaenab dan Pak Rahmadi yang telah menjadi
sahabat di laboratorium selama penelitian.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya
kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis
berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi kalangan akaemis
dan dunia ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa farmasi, serta masyarakat
pada umumnya.
Jakarta, 8 Agustus 2018
Penulis
Page 10
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
COVER .................................................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
2.1 Temu Giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp) ................................. 4
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (GBIF) ............................................................. 4
2.1.2 Deskripsi Tanaman............................................................................ 4
2.1.3 Kandungan Kimia ............................................................................. 5
2.1.4 Kegunaan........................................................................................... 5
2.2 Inflamasi ................................................................................................... 5
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi ............................................................................... 6
2.3.1 Ekstraksi Cara Dingin ....................................................................... 6
2.3.2 Ekstraksi Cara Panas ......................................................................... 7
2.4 Pelarut ....................................................................................................... 8
2.4.1 Metanol ............................................................................................. 8
2.4.2 Etanol ................................................................................................ 8
Page 11
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.3 Etil Asetat .......................................................................................... 9
2.4.4 n-Heksana .......................................................................................... 9
2.5 Kromatografi ............................................................................................ 9
2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis .................................................................. 9
2.5.2 KLT Preparatif ................................................................................ 10
2.5.3 Kromatografi Kolom ....................................................................... 11
2.5.4 GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectroscopy) ................... 12
2.6 Spektrofotometer UV-Visible ................................................................. 12
2.7 Spektroskopi NMR (Nucleic Magnetic Resonance)............................... 13
2.8 Bovine Serum Albumin (BSA) ................................................................ 13
2.9 Skrining Fitokimia .................................................................................. 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 15
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 15
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 15
3.3 Prosedur Kerja ........................................................................................ 16
3.3.1 Determinasi Tumbuhan ................................................................... 16
3.3.2 Penyiapan Simplisia ........................................................................ 16
3.3.3 Pembuatan Ekstrak .......................................................................... 16
3.3.4 Penapisan Fitokimia ........................................................................ 17
3.3.5 Penentuan Pola Kromatogram......................................................... 18
3.3.6 Isolasi dan Pemurnian Senyawa ...................................................... 19
3.3.7 Uji Kemurnian Senyawa Hasil Isolasi ............................................ 20
3.3.8 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi ....................... 21
3.3.9 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi ............................................... 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 23
4.1 Determinasi ............................................................................................ 23
4.2 Preparasi Sampel .................................................................................... 23
4.3 Ekstraksi ................................................................................................. 23
4.4 Penapisan Fitokimia ............................................................................... 24
4.5 Penentuan Pola Kromatogram Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring
dengan GCMS ................................................................................................... 25
4.6 Isolasi Senyawa Murni ........................................................................... 25
4.7 Uji Kemurnian Senyawa dengan KLT Dua Dimensi ............................. 32
4.8 Penentuan Struktur Senyawa .................................................................. 32
Page 12
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.9 Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein ...................................................... 36
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 38
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 38
5.2 Saran ....................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 39
LAMPIRAN ......................................................................................................... 43
Page 13
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Curcuma heyneana Valeton & Zijp…………………………….. 4
Gambar 4.1. Pola GC Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring………………... 25
Gambar 4.2. Hasil KLT Fraksi Heksan dan Etil Asetat………………………. 26
Gambar 4.3. Pola GC Fraksi Etil Asetat Rimpang Temu Giring……………... 27
Gambar 4.4. Pola MS Fraksi Etil Asetat Rimpang Temu Giring……………... 28
Gambar 4.5. Hasil KLT Vial F Nomor 41-49………………………………… 30
Gambar 4.6. Bagan Isolasi Senyawa F4149…………………………………... 31
Gambar 4.7. Hasil KLT Dua Dimensi………………………………………… 32
Gambar 4.8. Pola GC Senyawa F4149……………………………………….. 33
Gambar 4.9. Pola MS Senyawa F4149……………………………………….. 34
Gambar 4.10. Spektrum Hasil Analisis Senyawa F4149 Menggunakan
1H-NMR………………………………………………………… 35
Page 14
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Rendemen Ekstrak Etanol Temu Giring……………………………. 24
Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Giring…………… 24
Tabel 4.3. Persen Rendemen Fraksi Hasil Partisi……………………………… 26
Tabel 4.4 Bobot Fraksi A-F…………………………………………………… 29
Tabel 4.5. Karakterisitik Senyawa F4149……………………………………… 30
Tabel 4.6. Hasil Analisis Senyawa F4149 Menggunakan 1H-NMR…………… 35
Tabel 4.7. Aktivitas Antidenaturasi Protein Natrium Diklofenak……………... 36
Tabel 4.8. Aktivitas Antidenaturasi Protein Senyawa F4149…………………. 37
Page 15
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rimpang Temu Giring (Curcuma heynenana Val) ........................ 43
Lampiran 2. Bagan Alur Kerja ............................................................................ 44
Lampiran 3. Skema Kerja Isolasi Metabolit Sekunder dari Ekstrak Fraksi Etil
Asetat Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val) ..................................... 45
Lampiran 4. Alur Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein In Vitro ......................... 46
Lampiran 5. Analisis statistik .............................................................................. 47
Lampiran 6. Hasil Determinasi Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val)
............................................................................................................................... 49
Lampiran 7. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma
heyneana Val) ....................................................................................................... 50
Lampiran 8. Dokumentasi Uji Penapisan Fitokimia Rimpang Temu Giring
(Curcuma heyneana Val) ...................................................................................... 51
Lampiran 9. Hasil Kromatografi Lapis Tipis ...................................................... 52
Lampiran 10. Dokumentasi Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein secara In Vitro
............................................................................................................................... 53
Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Senyawa F4149 dan Natrium Diklofenak
............................................................................................................................... 54
Lampiran 12. Perhitungan Persentase Inhibisi Natrium Diklofenak ................... 56
Lampiran 13. Perhitungan Persentase Inhibisi Senyawa F4149 ......................... 57
Lampiran 14. Data Absorbansi Natrium Diklofenak dan Senyawa F4149 ......... 58
Lampiran 15. Hasil H-NMR senyawa F4149 ...................................................... 60
Page 16
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR SINGKATAN
1H-NMR 1H- Nuclear Magnetic Resonance (Resonansi Magnetik Inti
Proton
CDCl3 Deuterium Kloroform
COX Siklooksigenase
F4149 Hasil Kromatografi Kolom Fraksi F, vial No. 41-49
GC-MS Gas Chromatography-Mass Spectroscopy
KLT Kromatografi Lapis Tipis
NMR Nuclear Magnetic Resonance (Resonansi Magnetik Inti)
Rf Retardation Factor
δH Pergeseran Kimia Proton
Page 17
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman obat sudah digunakan sejak dahulu oleh masyarakat Indonesia
untuk mengatasi masalah kesehatan mulai dari mencegah dan mengobati suatu
penyakit. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam menjadi sumber bahan
obat alam dan tradisional yang digunakan secara turun temurun. Hasil penelitian
yang sudah banyak dilakukan menunjukkan bahwa pada tumbuhan obat yang
berperan dalam perannya sebagai obat yaitu berdasarkan kandungan senyawa
metabolit sekunder yang dikandungnya. Senyawa metabolit sekunder merupakan
senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas sehingga
banyak digunakan sebagai obat tradisional. Sebagian besar tanaman obat telah
dilakukan identifikasi senyawa fitokimianya. Senyawa metabolit sekunder dari
kelompok fenolik dan flavonoid diketahui merupakan senyawa yang berkontribusi
pada aktivitas biologis dari suatu tanaman (Tanaya dkk, 2015).
Tanaman obat yang khasiatnya telah diketahui dan digunakan secara turun-
menurun yaitu tanaman rempah. Salah satu rempah yang dikenal di Indonesia
adalah tanaman temu-temuan (Zingiberaceae) yang merupakan tanaman daerah
tropis yang memiliki berbagai manfaat terutama untuk kesehatan.
Temu giring (Curcuma heyneana Val) adalah salah satu keluarga
Zingiberaceae yang biasa digunakan masyarakat Indonesia terutama daerah Jawa,
karena dipercaya memiliki khasiat sebagai obat antelmintik, obat kulit, agen
hepatoprotektor dan sebagai pelancar menstruasi (Diastuti, 2014). Rimpang temu
giring (Curcuma heyneana Val) mengandung senyawa kurkumin yang dapat
memberi warna kuning, minyak atsiri 0,8-3%, amilum, damar, lemak, tanin,
saponin dan flavonoid (Santoso H.B, 2008). Pada penelitian sebelumnya tentang
investigasi fitokimia dari temu giring (Curcuma heyneana Val) didapatkan variasi
tipe sesquiterpen seperti germakron, dihidrokurdion, isokurkuminol, kurkumino,
kurkumanolid A dan B, zerumbon, dan oxykurkuminol, dimana telah dilaporkan
menunjukkan antiinflamasi, antikanker dan memblok kanal Ca2+. Berdasarkan hasil
penelitian Woong Cho dkk (2009) telah mengisolasi senyawa sesquiterpen yaitu
Page 18
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
zedoarondiol dari temu giring yang memiliki efek sebagai antiinflamasi dengan
mekanisme penghambatan iNOS, COX-2 dan sitokin pro-inflamasi. Dalam
penelitian Intanningrum (2011), peneliti telah megisolasi senyawa metabolit
sekunder ekstrak etil asetat temu giring (Curcuma heyneana Val) dan didapatkan
hasil senyawa golongan kurkuminoid yaitu demetoksikurkumin.
Temu giring (Curcuma heyneana Val) telah dilaporkan memiliki berbagai
aktivitas biologis diantaranya sebagai antibakteri, antioksidan, antelmintik,
antihiperglikemik dan antinyeri, namun masih terbatas pada pengujian aktivitas
antiinflamasi terhadap tanaman tersebut. Uji pendahuluan telah dilakukan terhadap
rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val) yaitu dengan melihat aktivitas
antidenaturasi protein dan dengan melihat pola kromatogram dengan GCMS dan
KLT. Ekstrak temu giring memiliki senyawa major bila dilihat dari hasil GCMS
dan KLT serta hasil yang positif dalam menghambat denaturasi protein. Oleh
karena itu, perlu dilakukan isolasi untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder
dan pengujian aktivitas biologis antidenaturasi protein terhadap temu giring
(Curcuma heyneana Val) dimana berdasarkan kandungan kimia dari tanaman dan
beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman temu giring
(Curcuma heyneana Val) memiliki potensi sebagai antiinflamasi.
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktifasi atau merusak
organisme yang menyerang, menghilangkan dan mengatur derajat perbaikan
jaringan (Mycek dkk, 2001). Kerusakan sel akibat dari inflamasi terjadi pada
membran sel, menyebabkan leukosit melepaskan enzim lisosom dan jalur
siklooksigenase (COX) dalam metabolisme arakhidonat menghasilkan
prostaglandin yang memiliki berbagai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan
pada sel yang terlibat dalam peradangan (Katzung, 2010).
Dalam penelitian ini, metode uji antiinflamasi senyawa metabolit sekunder
hasil isolasi ekstrak etil asetat temu giring (Curcuma heyneana Val) menggunakan
metode penghambatan denaturasi protein dengan Bovine Serum Albumin (BSA)
(Williams et al., 2008). Salah satu penyebab penyakit inflamasi dan artritis adalah
terjadinya denaturasi protein pada jaringan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu agen
Page 19
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tertentu yang dapat mencegah denaturasi protein yang akan bermanfaat pada
pengembangan obat antiinflamasi (Chatterjee et al., 2012).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dilakukan penelitian untuk menguji
aktivitas antidenaturasi protein senyawa metabolit sekunder dari fraksi etil asetat
temu giring (Curcuma heyneana Val) secara in vitro.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan terhadap ekstrak etanol
temu giring dengan melihat hasil pola kromatogram GCMS dan KLT serta uji
aktivitas antidenaturasi proteinnya, terdapat ketertarikan untuk melakukan isolasi
terhadap kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam ekstrak temu
giring (Curcuma heyneana Val) yang kemudian senyawa yang didapatkan diuji
aktivitas antidenaturasi proteinnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Isolasi kandungan senyawa metabolit sekunder dari fraksi etil asetat temu
giring (Curcuma heyneana Val)
2. Elusidasi struktur senyawa hasil isolasi dari fraksi etil asetat temu giring
(Curcuma heyneana Val).
3. Menguji aktivitas antidenaturasi protein dari senyawa metabolit sekunder
yang diisolasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi secara ilmiah tentang kandungan
senyawa metabolit sekunder dari ekstrak etil asetat temu giring (Curcuma heyneana
Val) beserta aktivitas antidenaturasi proteinnya serta dapat memberikan nilai
ekonomi jika nantinya terbukti bahwa senyawa metabolit sekunder ekstrak etil
asetat temu giring (Curcuma heyneana Val) memiliki aktivitas antidenaturasi
protein secara in vitro.
Page 20
4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Temu Giring (Curcuma heyneana Valeton & Zijp)
Gambar 2.1. Curcuma heyneana Valeton & Zijp
(Sumber : Koleksi Pribadi, 19 Maret 2018)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman (GBIF)
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma L.
Spesies : Curcuma heyneana Valeton & Zijp
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Terna berbatang semu, tinggi sampai 2 m, rimpang terbentuk dengan
sempurna, bercabang ke segala arah, kuat, bila dipotong bagian dalamnya berwarna
putih dan ditengah berwarna kekuningan. Jumlah helaian daun tiap pohon antara 2
helai sampai 9 helai, bentuk lonjong sampai lanset, pangkal lancip sampai luncip,
berwarna hijau keunguan dibagian tengah, ukuran panjang 31 cm sampai 80 cm,
lebar 10 cm sampai 18 cm, tangkai daun lokos atau berbulu, panjang 43 cm sampai
80 cm, daun pelindung banyak tersusun saling menutupi, bentuk bundar telur
sungsang sampai bundar elip, ujung sempit. Perbungaan lateral, berupa bulir,
Page 21
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tangkai ramping dan berbulu, panjang sampai 37 cm, dibawah bulir tedapat sisik
yang bentuknya seperti pita, ujung tumpul dan berbulu halus, ukuran panjang 8 cm
sampai 12 cm, lebar 2 cm sampai 3 cm, dibagian pangkal perbungaan terdapat daun
yang mirip sisik, jumlahnya 4 helai, bulir berbentuk silindir, biasanya melebar pada
bagian ujung, panjang 9 cm sampai 23 cm, lebar 4 cm sampai 6 cm (DepKes, 1989).
2.1.3 Kandungan Kimia
Rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val) mengandung senyawa
kurkumin yang dapat memberi warna kuning, minyak atsiri 0,8-3%, amilum,
damar, lemak, tanin, saponin, dan flavonoid (Putra, 2015).
2.1.4 Kegunaan
Secara tradisional rimpang temu giring mempunyai khasiat antara lain
sebagai obat luka. Minyak atsiri yang terkandung dalam temu giring berpotensi
sebagai antijamur dan dikembangkan menjadi sediaan krim (Rahmawati dkk,
2010).
2.2 Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau atau zat-zat
mikrobiologik. Inflamasi juga merupakan usaha tubuh untuk menginaktivasi atau
merusak organisme yang meyerang, menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat
perbaikan jaringan (Mycek, 2001).
Tujuan inflamasi yaitu untuk memperbaiki jaringan yang rusak serta
mempertahankan diri terhadap infeksi. Tanda-tanda inflamasi adalah berupa
kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor) (Semiawan
dkk, 2015).
Pengobatan inflamasi mempunyai dua tujuan utama. Pertama meringankan
rasa nyeri yang merupakan gejala awal yang terlihat; dan kedua, memperlambat
atau membatasi proses perusakan jaringan (Semiawan dkk, 2015). Faktor-faktor
yang memicu penyembuhan luka meliputi suplai darah yang baik ke daerah cedera,
usia muda, nutrisi yang baik, pendekatan tepi luka yang baik, dan fungsi leukosit
serta respon peradangan yang normal. Penyembuhan luka dapat terganggu atau
Page 22
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lambat jika ada pemberian kortikosteroid atau adanya benda asing, jaringan
nekrotik atau infeksi pada luka (Price and Wilson, 2002).
2.3 Ekstrak dan Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagain besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas (DepKes, 2000).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan
kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan
diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (DepKes, 2000).
Ada beberapa metode ekstraksi yang dikenal. Beberapa metode ekstraksi
dengan menggunakan pelarut dibagi menjadi dua cara, yaitu cara panas dan cara
dingin (DepKes, 2000).
2.3.1 Ekstraksi Cara Dingin
a) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar.
Proses ekstraksi dilakukan dengan cara 10 bagian simplisia dengan derajat halus
yang cocok dimasukkan dalam bejana, dituangkan 75 bagian cairan penyari, ditutup
dan dibiarkan selama 5 hari terhindar dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk,
lalu dipekatkan dengan penguapan dan tekanan pada suhu rendah 50 oC hingga
konsentrasi yang dikehendaki. Cara ekstraksi ini sederhana dan mudah dilakukan,
tetapi membutuhkan waktu yang lama (DepKes, 2000).
Page 23
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh
ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (DepKes, 2000).
2.3.2 Ekstraksi Cara Panas
a) Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna
(DepKes, 2000).
b) Sokhlet
Sokhlet merupakan salah satu metode esktraksi yang digunakan untuk
menarik senyawa organik dari jaringan tanaman kering (kayu, biji, akar, daun).
Sokhletasi merupakan ekstraksi cara panas dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru mulai dari pelarut non polar (petroleum eter, kloroform) kemudian
dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar (etil asetat, alkohol). Ekstraksi ini
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga ekstraksi berjalan secara
kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik
(DepKes, 2000).
c) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40 – 50 oC (DepKes, 2000).
d) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 – 98 oC)
selama waktu tertentu (15 – 20 menit) (DepKes, 2000).
Page 24
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≤30 oC) dan temperatur
sampai titik didih air (DepKes, 2000).
2.4 Pelarut
Dalam proses ekstraksi suatu bahan tanaman, banyak faktor yang dapat
mempengaruhi kandungan senyawa hasil ekstraksi diantaranya : jenis pelarut,
konsentrasi pelarut, metode ekstraksi dan suhu yang digunakan untuk ekstraksi
(Senja dkk, 2014).
Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda pada pelarut yang
berbeda kepolarannya (Pranoto dkk, 2012).
2.4.1 Metanol
Metanol digunakan sebagai pelarut maserasi karena mampu melarutkan
hampir semua organik, baik polar, semi polar maupun non polar. Selain itu, metanol
mempunyai titik didih yang cukup rendah (64,5 oC), sehingga lebih mudah untuk
memisahkannya (Tanaya dkk, 2015). Menurut Harborne, semua flavonoid baik
dalam bentuk glikosida maupun flavonoid dalam bentuk bebas dapat larut dalam
pelarut metanol.
2.4.2 Etanol
Etanol disebut juga etil alkohol yang di pasaran lebih dikenal sebagai alkohol
merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Dalam kondisi kamar,
etanol berwujud cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna
(Munawaroh dkk, 2010).
Pelarut etanol merupakan pelarut universal yang paling banyak digunakan
dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam, karena etanol dapat
meningkatkan permeabilitas dinding sel simplisia sehingga proses ekstraksi lebih
efisien dalam menarik komponen polar hingga semipolar dan memiliki titik didih
rendah 78,37 oC serta tidak beracun, larut dalam air dan pelarut organik (Wati dkk,
2017).
Page 25
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.3 Etil Asetat
Pelarut semipolar misalnya etil asetat dapat menarik senyawa fenol dan
terpenoid, sedangkan pelarut polar seperti metanol dapat menarik senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, dan tannin (Pranoto dkk, 2012).
2.4.4 n-Heksana
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkane dengan rumus kimia
C6H14. Awalan heks- merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana
dan akhiran –ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang
menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Dalam keadaan standar senyawa ini
merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air (Munawaroh dkk, 2010).
2.5 Kromatografi
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan
menggunakan teknik kromatografi. Kromatografi adalah teknik pemisahan suatu
campuran berdasarkan perbedaan migrasi analit diantara dua fase, yaitu fase diam
dan fase gerak, dimana fase diamnya dapat berupa zat padat atau zat cair dan fase
geraknya dapat berupa gas atau zat cair (Sudjadi, 1985).
2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis adalah salah satu metode pemisahan kromatografi
yang fleksibel dan banyak digunakan. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pemisahan dan analisis sampel dengan metode KLT cukup
sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi pelarut dan lempeng
KLT (Wulandari, 2011).
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil
sampel pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk zona
awal. Kemudian sampel dikeringkan. Ujung fase diam yang terdapat zona awal
dicelupkan ke dalam fase gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai
empat pelarut murni) di dalam chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih
dengan benar, campuran komponen-komponen sampel bermigrasi dengan
kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase gerak melalui fase diam. Hal ini
disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak telah bergerak
sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak dalam
Page 26
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan dideteksi secara langsung (visual)
atau dibawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa penambahan pereaksi
penampak noda yang cocok (Wulandari, 2011).
Perbedaan migrasi merupakan hasil dari perbedaan tingkat afinitas masing-
masing komponen dalam fase diam dan fase gerak. Kecepatan migrasi komponen
sampel tergantung pada sifat fisika kimia dari fase diam, fase gerak dan komponen
sampel. Retensi dan selektivitas kromatografi juga ditentukan oleh interaksi antara
fase diam, fase gerak dan komponen sampel yang berupa ikatan hydrogen,
pasangan elektron donor atau pasangan elektron-akseptor (transfer karge), ikatan
ion-ion, ikatan ion-dipol, dan ikatan van der Waals (Wulandari, 2011).
Pada Kromatografi Lapis Tipis, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan
pada perbandingan nilai Rf dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama
dari laboratorium ke laboratorium bahkan pada waktu analisis yang berbeda dalam
laboratorium yang sama, sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan Rf relatif
yaitu nilai Rf noda seyawa dibandingkan noda senyawa lain dalam lempeng yang
sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf bervariasi meliputi dimensi dan
jenis ruang, sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak, volume dan komposisi
fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode persiapan sampel KLT
sebelumnya. Konfirmasi identifikasi dapat diperoleh dengan mengerok noda dalam
lempeng kemudian analit dalam lempeng dielusi dan dideteksi dengan spektrometri
inframerah (IR), spektrometri Nuclear Magnetic Resonance (NMR), spektrometri
massa, atau metode spektrometri lain jika senyawa hasil elusi cukup tersedia.
Metode identifikasi ini juga dapat menggunakan untuk menandai zona langsung
pada lapisan (Wulandari, 2011).
2.5.2 KLT Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP) adalah salah satu metode yang
memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar.
Ketebalan penjerap (adsorben) yang paling sering dipakai pada KLTP adalah
sekitar 0,5-2 mm. Ukuran pelat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm.
Pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran pelat sudah tentu mengurangi jumlah
bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP. Penjerap yang paling umum digunakan
Page 27
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan campuran senyawa lipofil maupun
campuran senyawa hidrofil (Hostettmann, et al., 1995)
Cuplikan pada KLTP dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan
pada pelat KLTP. Pelarut yang baik adalah pelarut atsiri (heksana, diklorometana,
etil asetat), karena jika pelarut kurang atsiri akan terjadi pelebaran pita. Konsentrasi
cuplikan harus sekitar 5%-10%. Cuplikan ditotolkan berupa pita yang harus
sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita (Hostettmann, et
al., 1995)
Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat
menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang
dengan bantuan kertas saring yang diletakkan berdiri disekeliling permukaan
bagian dalam bejana. Kebanyakan penjerap KLT preparatif mengandung indikator
fluoresensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang
menyerap sinar ultraviolet (Hostettmann, et al., 1995).
2.5.3 Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang digunakan
untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak berdasarkan adsorpsi
dan partisi (Gritter, et al., 1991). Kromatografi kolom membutuhkan zat terlarut
yang terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya fase diam dan yang lainnya
fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, hingga terpisah dari
zat terlarut lain yang terelusi lebih awal atau akhir. Umumnya zat terlarut dibawa
melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang
disebut pelarut (Harborne, 1987).
Pada kromatografi kolom, tabung pemisah diisi penjerap. Penjerap yang biasa
digunakan ialah silika gel. Pengisian ini harus dilakukan secara berhati-hati dan
merata. Penjerap dapat dikemas dalam tabung dengan cara basah maupun kering
(Harborne, 1987).
Fraksi yang diperoleh dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor
dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi yang memiliki pola kromatogram
yang sama digabung kemudian pelarutnya diuapkan sehingga akan diperoleh
beberapa fraksi. Noda pada plat KLT dideteksi dengan lampu ultraviolet pada
Page 28
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
panjang gelombang 254 nm atau 366 nm untuk senyawa-senyawa yang mempunyai
gugus kromofor (Stahl, 1969).
2.5.4 GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectroscopy)
GCMS saat ini menjadi alat yang handal untuk penentuan struktur molekul
senyawa organik, khususnya untuk senyawa organik yang cukup volatil. Bahkan,
beberapa senyawa yang memiliki titik didih cukup tinggi, seperti minyak dengan
asam lemak rantai panjang, masih dapat dianalisis langsung dengan GCMS,
sedangkan jika dianalisis dengan GC saja (tanpa MS) harus diesterifikasi terlebih
dahulu untuk menurunkan titik didih. Hal ini disebabkan pada GCMS, perangkat
MS dilengkapi sistem vakum hingga 10-6 torr yang sangat membantu dalam proses
penguapan cuplikan (Panji, 2012).
GCMS juga tidak memerlukan senyawa standar seperti pada analisis dengan
GC, karena spektrum senyawa standar pembanding sudah ada di dalam memory
bank/basis data computer. Dengan demikian analisis dengan GCMS menjadi lebih
mudah (Panji, 2012).
GC dan MS sangat compatible (cocok), karena senyawa yang keluar dari
kolom GC berupa gas atau uap, dan yang dibutuhkan oleh MS juga senyawa dalam
fasa uap. Banyak senyawa volatil yang dapat dianalisis dengan GCMS tanpa
bantuan spektroskopi lainnya (Panji, 2012).
2.6 Spektrofotometer UV-Visible
Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan
untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan
spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar
putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma,
grating ataupun celah optis (Khopkar, 2003).
Interaksi senyawa organik dengan sinar ultraviolet dan sinar tampak, dapat
digunakan untuk menentukan struktur molekul senyawa organik. Bagian dari
Page 29
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
molekul yang paling cepat bereaksi dengan sinar tersebut adalah elektron-elektron
ikatan dan elektron-elektron nonikatan (elektron bebas). Sinar ultra lembayung dan
sinar tampak merupakan energi, yang bila mengenai elektron-elektron tersebut,
maka elektron akan tereksitasi dari keadaan dasar ke tingkat energi yang lebih
tinggi, eksitasi elektron-elektron ini, direkam dalam bentuk spektrum yang
dinyatakan sebagai panjang gelombang dan absorbansi, sesuai dengan jenis
elektron-elektron yang terdapat dalam molekul yang dianalisis. Makin mudah
elektron-elektron bereksitasi makin besar panjang gelombang yang diabsorbsi,
makin banyak elektron yang bereksitasi makin tinggi absorban (Suhartati, 2017).
2.7 Spektroskopi NMR (Nucleic Magnetic Resonance)
Dasar spektroskopi NMR (Nucleic Magnetic Resonance) adalah resonansi
dari spin inti atom penyusun molekul akibat pengaruh dari medan magnet luar.
Resonansi terjadi antara frekuensi presesi spin inti atom (dalam hal ini adalah atom
H untuk H-NMR) dengan frekuensi radio yang sengaja diberikan (Panji, 2012).
Resonansi Magnet Inti yang dikenal ada dua macam, yaitu Resonansi Magnet
Inti Atom Hidrogen atau Resonansi Magnet Proton/Proton Magnetic Resonance
(H-NMR) dan Resonansi Magnet Inti Atom Karbon (13C-NMR). Penggunaan 13C-
NMR sampai saat ini tidak seluas H-NMR. Identifikasi terbentuknya trans-
poliisoprena dari hasil isomerisasi cis-poliisoprena merupakan salah satu manfaat
13C-NMR (Panji, 2012).
Pada H-NMR, yang dilihat hanya sifat magnet inti atom-atom H dalam suatu
molekul. Sifat magnet atom H berbeda-beda tergantung di mana atom H tersebut
terikat. Resonansi dari proton ini juga akan memberikan informasi tentang
lingkungannya, serta proton tetangganya (Panji, 2012).
2.8 Bovine Serum Albumin (BSA)
Bovine Serum Albumin (BSA) adalah protein globular yang berukuran besar
(66.000 Dalton). BSA merupakan rantai polipeptida tunggal yang teridiri dari
sekitar 583 residu asam amino. Pada pH 5-7 mengandung 17 jembatan disulfida
intrasin dan 1 kelompok sulfihidril. Albumin merupakan kelompok potein yang
larut dalam air. Stabilitas larutan BSA sangat baik. Bahkan, albumin sering
Page 30
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
digunakan sebagai stabilisator untuk protein terlarut lainnya (misalnya, enzim
labil). Namun, albumin mudah menggumpal akibat adanya pemanasan. Ketika
dipanaskan pada suhu 50 0C atau lebih albumin akan membentuk agregat hidrofobik
yang tidak kembali ke monomer pada saat didinginkan. Pada suhu rendah, agregasi
juga mungkin terjadi tetapi relatif lebih lambat (www.sigma-aldrich.com).
2.9 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam
metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa
tersebut dapat diidentifikasi dengan pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan
ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder (Harborne,1987).
Senyawa metabolit sekunder yang biasanya dilakukan penapisan fitokimia
pada tumbuhan biasanya antara lain alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, terpenoid
dan steroid.
Page 31
15 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2018 – Mei 2018 dan bertempat
di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia dan Laboratorium Penelitian I
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : Gas Chromatography-
Mass Spectrometry (Agilent 7890A), Nuclear Magnetic Resonance (Jeol, 500
MHz), seperangkat alat vaccum rotary evaporator (EYELA), water bath (SB-1000
EYELA), spektrofotometri UV-Visible (HITACHI), plat aluminium TLC silica gel
60 F245 (MERCK), chamber KLT, blender, kolom kromatografi, statif, timbangan
analitik (AND), pH meter (HORIBA), labu erlenmeyer (SCHOTT DURAN), labu
ukur 100 ml, 25 ml, 10 ml, 5 ml (IWAKI PYREX), beker gelas (SCHOTT
DURAN), gelas ukur 100 ml (YZ), corong (SCHOTT DURAN), tabung reaksi
(IWAKI PYREX), rak tabung reaksi, spatula, botol gelap, batang pengaduk, pipet
tetes, mikro pipet (Eppendorf), vortex, aluminium foil, kertas berlabel, kertas
saring, kapas.
3.2.2 Bahan
Sampel tumbuhan yang digunakan adalah rimpang temu giring (Curcuma
heyneana Val) yang diperoleh pada bulan Agustus 2017 dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) yang selanjutnya dideterminasi di Herbarium
Bogoriense (LIPI), Cibinong, Bogor.
Media uji yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) yang
diperoleh dari Sigma-Aldrich (PT. ELO KARSA UTAMA Jakarta)
Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : silica gel 60
(MERCK), n-heksan, etil asetat, etanol 70%, metanol, aqua pro injeksi, NaCl, Tris
base dan Tris buffer saline. Reagen kimia antara lain : dragendrof, mayer, asam
Page 32
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sulfat, natrium hidroksida, asam asetat glasial, kloroform, ferri klorida, asam
klorida, asam asetat anhidrat. Standar obat kimia yang digunakan sebagai kontrol
positif adalah Natrium Diklofenak (Sigma).
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Determinasi Tumbuhan
Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam penelitian ini,
maka perlu dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Herbarium Bogoriense, LIPI,
Cibinong, Bogor.
3.3.2 Penyiapan Simplisia
Bahan yang digunakan sebagai simplisia dalam penelitian ini adalah temu
giring (Curmcuma heyneana Val) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balitro) pada bulan Agustus 2017. Simplisia temu giring
(Curcuma heyneana Val) dilakukan sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau
bahan-bahan asing lainnya yang terdapat pada rimpang. Selanjutnya simplisia
dikering anginkan. Simplisia yang telah kering kemudian disortasi kering dan
dihaluskan dengan menggunakan blender. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah
tertutup rapat dan terhindar dari cahaya matahari.
3.3.3 Pembuatan Ekstrak
Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin dengan teknik
maserasi. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70%. Serbuk simplisia sebanyak
1600 gram dari temu giring (Curcuma heyneana Val) dimasukkan kedalam wadah
gelap sehingga terhindar dari cahaya matahari. Kemudian ditambahkan pelarut
etanol kedalam botol maserasi dan dilakukan maserasi selama 3-4 hari, dengan
sesekali pengadukan. Setelah proses ekstraksi selesai, filtrat disaring menggunakan
kapas dan kertas saring untuk memisahkan filtrat dan ampas. Filtrat yang diperoleh
kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator sehingga diperoleh ektrak
kental.
Page 33
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.4 Penapisan Fitokimia
1) Uji Alkaloid
Ekstrak dilarutkan dengan larutan asam klorida encer, kemudian disaring.
Filtrat yang dihasilkan dapat dilakukan pengujian dengan cara Tes Mayer dan Tes
Dragendroff (Tiwari, et al, 2011).
a. Tes Mayer
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan reagen mayer
(potassium mercuri iodide). Terbentuknya endapan warna kuning menunjukkan
adanya senyawa alkaloid.
b. Tes Dragendroff
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan reagen
dragendroff (larutan potassium bismuth iodide). Terbentuknya endapan warna
merah menunjukkan adanya senyawa alkaloid.
2) Uji Saponin
Ekstrak etanol temu giring (Curcuma heyneana Val) dilakukan pengujian
dengan tes Foam dengan melarutkan ekstrak ke dalam 2 ml aquades di dalam
tabung reaksi, kemudian larutan dikocok. Terbentuknya foam tidak kurang dari 10
menit menunjukkan adanya senyawa saponin (Tiwari, et al, 2011).
3) Uji Tanin
Sebanyak 0,5 gram ekstrak etanol dari temu giring (Curcuma heyneana Val)
dididihkan dalam 10 ml air di dalam tabung reaksi dan kemudian disaring.
Ditambahkan beberapa tetes FeCl3 0,1% dan diamati. Jika terjadi perubahan warna
hijau kecokelatan atau biru kehitaman menunjukkan adanya senyawa tanin
(Ayoola, et al, 2008).
4) Uji Fenol
Ekstrak etanol dari temu giring (Curcuma heyneana Val) dilakukan pengujian
dengan tes Ferric Chloride. Ekstrak ditambahkan 3 – 4 tetes larutan FeCl3.
Terbentuknya warna hitam kebiru-biruan menunjukkan adanya senyawa fenol
(Tiwari, et al, 2011).
Page 34
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5) Uji Flavonoid
Ekstrak etanol dari temu giring (Curcuma heyneana Val) diletakkan di dalam
plat tetes lalu ditambahkan beberapa tetes NaOH. Terbentuknya kuning intens yang
jika ditambahkan dengan larutan asam, warna kuning akan memudar, hal ini
menunjukkan adanya senyawa flavonoid (Tiwari et al, 2011).
6) Uji Steroid dan Terpenoid
a. Tes Salkowski
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring. Kemudian filtrat
ditambahkan beberapa tetes asam sulfat dan dikocok. Terbentuknya warna merah
kecokelatan mengindikasikan adanya senyawa terpenoid (Ayoola, et al, 2008).
b. Tes Lieberman Buchard
Sejumlah ekstrak dilarutkan dalam kloroform dan disaring, filtrat
ditambahkan beberapa tetes asam asetat anhidrat, kemudian dipanaskan dan
didinginkan. Selanjutnya larutan ditambahkan beberapa tetes asam sulfat.
Terbentuknya cincin cokelat mengindikasikan adanya senyawa steroid (Tiwari, et
al, 2011).
3.3.5 Penentuan Pola Kromatogram
1) Kromatografi Lapis Tipis
Ekstrak temu giring (Curcuma heyneana Val) yang didapat, dilakukan analisa
menggunakan KLT untuk mengamati pola pemisahannnya. Fase diam pada plat
KLT adalah silika gel 60 GF. Plat silika gel dibuat dengan ukuran lebar 1 cm dan
panjang 5 cm pada ujung atas dan bawah diberi batas 0,5 cm. Selajutnya fase gerak
dibuat dari n-heksana dan etil asetat dengan berbagai perbandingan. Fase gerak
yang telah dibuat, dimasukkan ke dalam bejana KLT dan dijenuhkan terlebih
dahulu dengan kertas saring.
Ekstrak yang akan diuji kemudian dilarutkan dalam etanol hingga larut
sempurna. Setelah itu ditotolkan pada batas bawah plat KLT dengan menggunakan
pipa kapiler dan dibiarkan hingga mengering. Plat KLT yang telah ditotol kemudian
dimasukkan kedalam bejana KLT yang berisi fase gerak. Ketika fase gerak telah
mencapai batas akhir elusi, plat KLT diangkat dan dikeringkan.
Page 35
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bercak yang dihasilkan kemudian diamati dibawah lampu UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm. Dari hasil KLT, dilihat dan ditentukan kombinasi
sistem fase gerak yang memberikan pola pemisahan yang baik.
2) GCMS
Ekstrak yang didapat kemudian dilakukan analisa pola kromatogram dengan
instrumen GCMS. Optimasi alat dilakukan menggunakan kolom HP-5MS (30 m x
– 0,25 mm ID x 0,25 µm) suhu awal 70 oC selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 285
oC dengan kecepatan 20 oC/min selama 20 menit. Suhu MSD 285 oC. Kecepatan
aliran yang digunakan 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter scanning
dilakukan dari massa paling rendah yaitu 35 sampai paling tinggi 550.
3.3.6 Isolasi dan Pemurnian Senyawa
1) Fraksinasi
Pemisahan senyawa yang terkandung dalam ekstrak temu giring dilakukan
dengan menggunakan cara ekstraksi cair-cair. Ekstrak etanol temu giring (Curcuma
heyneana Val) yang akan difraksinasi dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut
etanol hingga larut sempurna kemudian dicampurkan dengan pelarut n-heksan ke
dalam corong pisah. Setelah corong pisah dikocok perlahan beberapa menit
kemudian dibiarkan hingga terbentuk batas yang jelas antara fraksi n-heksan dan
etanol. Proses fraksinasi dikatakan selesai apabila pelarut telah berubah warna
menjadi lebih jernih. Setelah dilakukan fraksinasi pelarut n-heksan kemudian
dilanjutkan dengan pelarut etil asetat dan dilakukan sama seperti fraksinasi n-
heksan.
2) Kromatografi Kolom
Pemisahan dengan kromatografi kolom dilakukan terhadap ekstrak etil asetat
temu giring (Curcuma heyneana Val) dengan menggunakan fase diam silika gel 60.
Kolom dipasang pada statif. Pada ujung bagian bawah dalam kolom diberi kapas
kemudian dialiri dengan pelarut n-heksana. Kolom yang digunakan berdiameter 3
cm dan tinggi 73 cm. Silika gel 60 (fase diam) sebanyak 150 g yang telah ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan pelarut n-heksana
secukupnya lalu diaduk, selanjutnya dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi
sedikit sambil diketuk perlahan hingga silika memadat dan permukaannya rata.
Page 36
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebanyak 12,73 g ekstrak yang telah ditimbang kemudian dilarutkan dengan
etanol 70% secukupnya. Kemudian diletakkan diatas silika gel yang telah siap dan
dielusi dengan fase gerak. Campuran pelarut sebagai fase gerak dengan kepolaran
bertingkat yaitu digunakan n-heksana, etil asetat, dan etanol dengan berbagai
perbandingan. Fase gerak dibuat sebanyak 250 mL dimasukkan ke dalam kolom
sedikit demi sedikit sambil kran dibuka, eluat yang keluar dari kolom ditampung
dalam vial dan diberi nomor.
Uji dengan KLT dilakukan pada setiap vial dengan eluen yang sesuai.
Kemudian setiap fraksi dilakukan penggabungan berdasarkan kesamaan pola
kromatogramnya dan dilakukan pemurnian.
3) Kromatografi Lapis Tipis
Pengujian dengan KLT dilakukan dengan menggunakan plat silika gel 60 GF
sebagai fase diam. Plat silika gel dibuat dengan ukuran lebar 1 cm dan panjang 5
cm pada ujung atas dan bawah diberi batas 0,5 cm. Untuk menentukan pengembang
yang optimum, dicoba berbagai komposisi pengembang.
KLT diujikan terhadap ekstrak etil asetat temu giring (Curcuma heyneana
Val) hasil partisi. KLT juga diujikan terhadap fraksi yang didapatkan seteah
dilakukan pemisahan (kromatografi kolom). Ekstrak atau fraksi yang akan diuji
dilarutkan dalam beberapa mililiter pelarut yang sesuai, lalu ditotolkan pada titik
awal pergerakan dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah totolan kering,
dilakukan pengelusian di dalam bejana KLT yang telah dijenuhkan dan ditutup
rapat. Lempeng dikeluarkan dan dikeringkan setelah eluen mencapai garis atas.
Bercak diamati secara visual, dengan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm
dan 366 nm.
3.3.7 Uji Kemurnian Senyawa Hasil Isolasi
1) Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi
Uji kemurnian senyawa dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis
tipis dua dimensi. KLT dua dimensi dilakukan terhadap senyawa yang didapat dari
hasil kromatografi lapis tipis preparatif. Plat KLT dibuat dengan bentuk bujur
sangkar yang setiap sisinya memiliki ukuran 5 cm. Kemudian senyawa yang ingin
diuji kemurniannya ditotolkan pada salah satu sisi plat dengan pipa kapiler,
selanjutnya plat KLT dielusi dengan fase gerak yang sesuai dan dibiarkan
Page 37
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengering. Kemudian plat KLT diputar 90o dan dielusi kembali dengan
menggunakan fase gerak yang sama, bercak dilihat dibawah lampu UV 254 nm.
3.3.8 Penentuan Struktur Molekul Senyawa Hasil Isolasi
1) Analisa Struktur Senyawa Menggunakan 1H – NMR
Senyawa isolat yang telah didapatkan kemudian diidentifikasi struktur
molekul dengan menggunakan instrumen yaitu 1H – NMR (Proton Nuclear
Magnetic Resonance) dengan sistem konsol D22, yang beroperasi pada frekuensi
500 MHz (1H) dan 125 MHz (13C). Senyawa isolat murni dilarutkan dengan 1 ml
pelarut khusus untuk NMR. Kemudian dianalisa dengan menggunakan 1H – NMR.
Sebelum pengujian, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian pada perlakuan
terhadap sampel, pelarut yang digunakan, dan pengaturan instrumen.
3.3.9 Uji In Vitro Aktivitas Antiinflamasi
a. Pembuatan Tris-Buffer Saline (TBS)
Sebanyak 0,121 gram tris base dan 0,87 gram NaCl ditambahkan aqua pro
injeksi sebanyak 90 mL. Selanjutnya pH diatur dengan asam asetat glasial hingga
pH 6,2 – 6,5 kemudian dicukupkan dengan aqua pro injeksi hingga volume 100 mL.
(Mohan, 2003).
b. Pembuatan Larutan 0,2% BSA dalam TBS
Sebanyak 0,2 gram Bovine Serum Albumin (BSA) dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 mL. Kemudian ditambahkan dengan larutan TBS hingga volume 100 mL
(William, et al, 2008).
c. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif
Sebanyak 50 µL pelarut metanol ditambahkan dengan larutan 0,2% BSATBS
ke dalam labu ukur hingga volume 5 mL.
d. Pembuatan Larutan Kontrol Positif
Sebanyak 250 mg natrium diklofenak dilarutkan dengan metanol kemudian
dicukupkan dengan metanol hingga volume 25 mL di dalam labu ukur, sehingga
didapatkan larutan dengan konsentrasi 10.000 ppm sebagai larutan induk. Larutan
induk dengan konsentrasi 10.000 ppm dibuat seri konsentrasi larutan kontrol positif
menjadi 1000 ppm, 100 ppm dan 10 ppm. Kemudian diambil 50 µL dari tiap seri
konsentrasi dan ditambahkan dengan larutan 0,2% BSATBS hingga volume 5 mL.
Page 38
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
e. Pembuatan Larutan Uji (Ekstrak etanol)
Sebanyak 10 mg ekstrak etanol temu giring (Curcuma heyneana Val)
dilarutkan dengan metanol hingga volume 1 mL dalam tube eppendorf sehingga
didapatkan larutan dengan konsentrasi 10.000 ppm yang dijadikan sebagai larutan
induk. Dari larutan induk kemudian dibuat larutan dengan seri konsentasi 1000
ppm, 100 ppm, 10 ppm dan 1 ppm.
f. Pengukuran Aktivitas Antiinflamasi
Diambil sebanyak 50 µL dari setiap konsentrasi larutan (kontrol negatif,
kontrol positif, dan larutan uji), kemudian ditambahkan larutan 0,2% BSATBS
hingga volume 5 mL. Dari campuran tersebut akan menghasilkan konsentrasi 0,01
sampai 100 ppm. Larutan kemudian dipanaskan dan di shacker pada suhu 72 0C
selama 5 menit. Setelah dipanaskan larutan didiamkan selama 20 menit pada suhu
ruang, selanjutnya larutan divortex dan diukur absorbansinya dengan
spektrofotometer UV-Visible pada λ 660 nm (Komala et al, 2015,2017).
g. Perhitungan Presentase Penghambatan Denaturasi Protein
Presentase penghambatan denaturasi protein diukur dengan menggunakan
rumus sebagai berikut :
% inhibisi = Abs kontrol negatif − Abs larutan uji
Abs kontrol negatif 𝑥 100
Senyawa yang menghambat denaturasi protein lebih besar dari 20% dianggap
memiliki sifat antiinflamasi dan dapat digunakan sebagai nilai acuan untuk
pengembangan obat (Williams, et al, 2008).
h. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji saphiro-wilk untuk melihat
distribusi data dan dianalisa dengan uji levene untuk melihat homogenitas data. Jika
data terdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan dengan uji Analisa
Varians (ANOVA) sehingga diperoleh apakah perbedaan yang diperoleh bermakna
atau tidak. Jika data tidak terdistribusi normal atau tidak homogen, maka
dilanjutkan dengan uji non parametrik kruskal-wallis. Jika hasil uji kruskal-wallis
berbeda bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
(Santoso, 2007).
Page 39
23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Determinasi
Determinasi rimpang temu giring (Curcuma heyneana Val) dilakukan di
Herbarium Bogoriense Bidang Botani, Puslit Biologi, LIPI, Cibinong, Bogor pada
tanggal 22 Desember 2017 dengan hasil determinasi membuktikan bahwa
tumbuhan yang digunakan yaitu tumbuhan Curcuma heyneana Val dengan famili
Zingiberaceae (Lampiran 6).
4.2 Preparasi Sampel
Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang temu giring
(Curcuma heyneana Val) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat (Balitro) yang selanjutnya dideterminasi di Herbarium Bogoriense (LIPI),
Cibinong, Bogor.
Sebanyak 10 Kg rimpang temu giring segar disiapkan. Rimpang temu giring
dibersihkan dari kotoran yang menempel dengan dicuci menggunakan air mengalir
hingga bersih. Rimpang temu giring kemudian dirajang tipis dan dikering anginkan
di dalam ruangan yang terhindar dari cahaya untuk mencegah terjadinya paparan
cahaya matahari langsung yang berpotensi merusak senyawa yang terkandung.
Setelah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk.
Rimpang temu giring dihaluskan dengan tujuan untuk memperbesar luas
permukaan sehingga memperbesar kontak dengan pelarut dan proses ekstraksi
dapat berjalan lebih maksimal. Hasil penyiapan ini mendapatkan berat bersih
serbuk simplisia sebanyak 1,95 Kg.
4.3 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara dingin (maserasi). Proses ekstraksi dengan
teknik maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
suhu ruang. Teknik maserasi dipilih karena memiliki kelebihan yaitu mudah
dilakukan dan tidak perlu pemanasan sehingga memperkecil kemungkinan senyawa
menjadi rusak dan terurai. Serbuk rimpang temu giring sebanyak 1,6 Kg dilakukan
Page 40
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
maserasi dengan pelarut etanol 70%. Proses maserasi dilakukan hingga hasil
maserat mendekati hampir tidak berwarna. Penyaringan hasil maserasi dilakukan
selama tiga hari sekali menggunakan kertas saring. Selama proses maserasi,
dilakukan pengocokan setiap 24 jam sekali dengan tujuan untuk memaksimalkan
proses penyarian metabolit sekunder yang terkandung dalam rimpang temu giring.
Maserat yang telah disaring kemudian dipekatkan dengan menggunakan
vacuum rotary evaporator dengan suhu ± 38 oC. Hasil ekstrak kental temu giring
yang didapatkan sebanyak 129,95 gram. Rendemen kemudian dihitung terhadap
berat awal simplisia.
% 𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 =𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ (𝑔)
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 (𝑔) 𝑥 100 %
Tabel 4.1. Rendemen Ekstrak Etanol Temu Giring
Total Simplisia (Kg) Ekstrak Bobot (g) % Rendemen
1,6 Kg Etanol 129,95 8,121
4.4 Penapisan Fitokimia
Hasil uji penapisan fitokimia ekstrak etanol temu giring (Curcuma heyneana
Val) dapat dilihat pada Tabel 4.2. (Lampiran 8):
Tabel 4.2. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Temu Giring
NO Golongan Kimia Hasil Pengamatan
1 Alkaloid -
2 Saponin +
3 Tanin +
4 Fenol -
5 Flavonoid +
6 Terpenoid +
7 Steroid -
Page 41
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5 Penentuan Pola Kromatogram Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring
dengan GCMS
Pola kromatogram GCMS dari ekstrak etanol rimpang temu giring terlihat
memiliki puncak tinggi pada waktu retensi 10,099 menit, 10,322 menit dan 10,423
menit. Hasil dari pola kromatogram ini dijadikan pedoman untuk proses isolasi
lebih lanjut.
Gambar 4.1. Pola GC Ekstrak Etanol Rimpang Temu Giring
4.6 Isolasi Senyawa Murni
4.5.1 Fraksinasi
Sebanyak 40,85 g ekstrak etanol rimpang temu giring dipisahkan dengan
proses partisi cair-cair. Pemisahan senyawa dengan partisi cair-cair didasarkan pada
perbedaan kepolaran. Senyawa yang bersifat nonpolar akan tertarik pada pelarut
nonpolar begitu pula untuk senyawa yang bersifat semipolar dan polar. Partisi cair-
cair dilakukan dengan menggunakan corong pisah. Ekstrak etanol rimpang temu
giring yang telah ditimbang selanjutnya dilarutkan dengan pelarut etanol, kemudian
dilakukan partisi dengan pelarut yang kepolarannya semakin meningkat yaitu n-
heksana dan etil asetat. Proses partisi dikatakan selesai apabila pelarut telah berubah
warna menjadi lebih jernih. Hasil dari partisi kemudian dipekatkan dengan vacuum
Page 42
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
rotary evaporator dan didapatkan ekstrak kental etil asetat temu giring sebanyak
12,73 g.
Tabel 4.3. Persen Rendemen Fraksi Hasil Partisi
Total Simplisia (g) Fraksi Bobot (g) % Rendemen
40,85 N-heksana 5,1 12,48
Etil Asetat 12,73 31,16
4.5.2 Analisa Awal Fraksi Etil Asetat Menggunakan KLT
Identifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan untuk
mendeteksi keberagaman kandungan senyawa yang terdapat pada suatu ekstrak dan
kemungkinan kemudahan dari kandungan senyawa tersebut untuk diisolasi.
Kromatografi lapis tipis menggunakan dua fase yang terdiri dari fase diam berupa
silika gel 60 F254 dan fase geraknya merupakan pengembang yang terdiri dari
beberapa tingkatan kepolaran.
Analisa awal dengan KLT menggunakan pengembang n-heksana dan etil
asetat perbandingan 4:1. Fase gerak yang telah dibuat kemudian dimasukkan ke
dalam bejana KLT dan dipastikan kejenuhannya menggunakan kertas saring.
Ekstrak yang akan diuji dilarutkan sedikit dalam pelarut etanol kemudian ditotolkan
pada batas bawah KLT menggunakan pipa kapiler dan dibiarkan hingga mengering.
Plat KLT yang telah mengering kemudian dimasukkan ke dalam bejana untuk
dilakukan proses pengelusian. Ketika fase gerak telah mencapai batas atas, plat
KLT kemudian diangkat dan dibiarkan mengering untuk selanjutnya diamati
dibawah sinar UV.
(a) 254 nm (b) 365 nm
Gambar 4.2. Hasil KLT Fraksi Heksan dan Etil Asetat (4:1)
Page 43
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Berdasarkan pola bercak pada plat KLT ini dapat dideteksi keberagaman
senyawa yang terdapat dalam setiap fraksi, baik fraksi n-heksana maupun fraksi etil
asetat. Hasil kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa fraksi etil asetat memiliki
senyawa yang dapat diisolasi dengan mudah bila dibandingkan dengan fraksi n-
heksana. Pada hasil KLT fraksi etil asetat terlihat bercak yang sudah terpisah. Oleh
karena itu fraksi yang dilanjutkan untuk diisolasi adalah fraksi etil asetat.
4.5.3 Analisa Awal Fraksi Etil Asetat Menggunakan GCMS
Hasil analisa GCMS dari fraksi etil asetat rimpang temu giring menunjukkan
puncak tinggi pada waktu retensi 11,216 menit. Pada waktu retensi tersebut
diidentifikasi memiliki berat molekul 340,9 m/z. Pola kromatogram dari fraksi etil
asetat temu giring menunjukkan pola yang sesuai dengan hasil GCMS ekstrak
etanol rimpang temu giring.
Gambar 4.3. Pola GC Fraksi Etil Asetat Rimpang Temu Giring
Page 44
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.4. Pola MS Fraksi Etil Asetat Rimpang Temu Giring
4.5.4 Kromatografi Kolom Fraksi Etil Asetat
Isolasi ekstrak fraksi etil asetat dilakukan dengan menggunakan kromatografi
kolom. Kolom yang digunakan yaitu berdiameter 3 cm dan panjang 73 cm. Jumlah
ekstrak fraksi etil asetat yaitu sebanyak 12,73 gram. Silika gel yang digunakan
sebanyak 150 gram. Fase gerak yang digunakan dengan sistem gradien yaitu
dengan kepolaran yang bertingkat dari perbandingan pelarut nonpolar (n-heksana),
semipolar (etil asetat), dan polar (metanol), sebagai berikut :
a. n-heksana : etil asetat
- perbandingan 5:5
- perbandingan 4:6
- perbandingan 3:7
- perbandingan 2:8
- perbandingan 1:9
b. etil asetat 100%
c. etil asetat : metanol (kenaikan perbandingan 20%)
- perbandingan 8:2
- perbandingan 6:4
- perbandingan 4:6
- perbandingan 2:8
d. metanol 100%
Page 45
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Setiap fase gerak dibuat sebanyak 250 mL. Hasil elusi yang telah ditampung
dalam vial kemudian dianalisa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis untuk
melihat pola bercak dibawah lampu UV 254 nm.
Kromatografi kolom fraksi etil asetat menghasilkan 170 vial dan dilakukan
KLT pada setial vial dengan nomor ganjil. Hasil KLT dengan spot yang sama
kemudian digabungkan dan didapatkan 6 fraksi A-F (Lampiran 10). Fraksi A terdiri
dari vial 1-7. Fraksi B terdiri dari vial 8-26. Fraksi C terdiri dari vial 27-37. Fraksi
D terdiri dari vial 38-49. Fraksi E terdiri dari vial 50-69. Fraksi F terdiri dari vial
73-87.
Berdasarkan hasil analisa menggunakan KLT, fraksi F memiliki bercak yang
tunggal pada panjang gelombang 254 nm. Selain itu fraksi F memiliki bobot yang
lebih banyak dibandingkan dengan fraksi yang lain sehingga fraksi F diputuskan
untuk diisolasi lebih lanjut dengan dimurnikan menggunakan kromatografi kolom
kembali. Jumlah fraksi F yaitu sebanyak 643 mg.
Tabel 4.4 Bobot Fraksi A-F
Fraksi Nomor Vial Bobot (mg)
A 1-7 444
B 8-26 217
C 27-37 418
D 38-49 433
E 50-69 503
F 73-87 643
Kromatografi kolom kedua dilakukan untuk proses pemurnian pada fraksi
gabungan F. Kolom yang digunakan lebih kecil dari kolom pertama yaitu
berdiameter 2 cm dan tinggi kolom 35 cm. Fase diam yang digunakan yaitu silika
gel 60 sebanyak 17 gram. Fase gerak yang digunakan yaitu n-heksana 100%,
campuran n-heksana:etil asetat dengan perbandingan kepolaran meningkat
(kenaikan perbandingan 20%) dan etil asetat 100%. Setiap perbandingan fase gerak
dibuat 150 mL. Jumlah vial yang didapatkan sebanyak 83 vial. Berdasarkan hasil
identifikasi pola kromatogram menggunakan KLT terlihat awal bercak pada vial
nomor 41 dan bercak mulai tidak terlihat pada vial nomor 51 sehingga dilakukan
Page 46
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penggabungan vial 41-49. Setelah dilakukan penggabungan, fraksi F4149
kemudian di KLT dan didapatkan hasil yaitu bercak tunggal yang jelas.
(a) (b)
Gambar 4.5. Hasil KLT Vial F Nomor 41-49
(a) Pada Panjang Gelombang 254 nm, (b) Pada panjang Gelombang 365 nm
Tabel 4.5 Karakteristik Senyawa F4149
Bentuk : Minyak
Warna : Kuning
Kelarutan : Etil Asetat
Bau : Aroma Temu
Bobot : 319 mg
Eluen : N-heksana : Etil (3:2)
Rf : 0,32
Page 47
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak Etanol Temu Giring
Fraksi A
vial 1-7
444 mg
Fraksi B
vial 8-26
217 mg
Fraksi C
vial 27-37
418 mg
Fraksi D
vial 38-49
433 mg
Fraksi E
vial 50-69
503 mg
Fraksi F
vial 73-87
643 mg
Kromatografi Kolom II
Senyawa F4149
319 mg
Fraksi Etil Asetat
Kromatografi
Kolom I
Gambar 4.6. Bagan Isolasi Senyawa F4149
Page 48
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.7 Uji Kemurnian Senyawa dengan KLT Dua Dimensi
KLT dua dimensi digunakan untuk menguji kemurnian suatu senyawa dengan
melihat bercak yang dihasilkan dengan kromatografi secara dua arah. Plat KLT
dibuat dengan bentuk persegi yang setiap sisinya memiliki ukuran yang sama yaitu
5 cm. Senyawa F4149 ditotolkan pada salah satu sisi plat dengan pipa kapiler
kemudian dielusi dengan fase gerak yang sesuai. Eluen yang digunakan untuk
mengelusi senyawa F4149 adalah n-heksana : etil asetat (2 :3). Plat KLT yang telah
mencapai batas atas kemudian dibiarkan hingga mengering dan selanjutnya
dilakukan pengelusian kembali dengan cara plat KLT diputar 90o.
Senyawa dapat dikatakan murni apabila memiliki bercak tunggal setelah
dilakukan pengujian dengan KLT dua dimensi. Hasil KLT dua dimensi senyawa
F4149 menunjukkan bercak tunggal dengan nilai Rf 0,32 dan titik leleh 111-1140C.
(a) (b)
Gambar 4.7 Hasil KLT Dua Dimensi
(a) Pada Panjang Gelombang 254 nm, (b) Pada Panjang Gelombang 365 nm
4.8 Penentuan Struktur Senyawa
4.8.1 GC-MS
Senyawa F4149 yang telah diisolasi kemudian dilakukan analisa pola
kromatogram dengan GCMS. Optimasi alat GCMS yaitu menggunakan kolom HP-
5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 μm) suhu awal 70oC selama 2 menit, dinaikkan
ke suhu 2850C dengan kecepatan 20oC/min selama 20 menit. Suhu MSD 285oC.
Page 49
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kecepatan aliran yang digunakan 1,2 mL/min dengan split 1:100. Parameter
scanning dilakukan dari massa paling rendah yaitu 35 sampai paling tinggi 550.
Senyawa F4149 diidentifikasi dengan melihat waktu retensi dan pola
fragmentasi yang terlihat. Kromatogram isolat F4149 menunjukkan satu puncak
tunggal pada waktu retensi 11,2 menit dan berat molekul 234,1 m/z dengan
fragmentasi massa 216,1 m/z; 191,1 m/z; 173,1 m/z; 149 m/z; 123 m/z; 107 m/z;
81 m/z; 65 m/z; dan base peak 43 m/z. Dari satu puncak kromatogram yang
dihasilkan mengindikasikan bahwa isolat F4149 telah murni sehingga dapat
dilanjutkan untuk diidentifikasi lebih lanjut.
Gambar 4.8 Pola GC Senyawa F4149
Page 50
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.9. Pola MS Senyawa F4149
4.8.2 Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Isolat yang didapatkan dari hasil kromatografi kolom kemudian dilakukan
identifikasi struktur molekul dengan menggunakan Nuclear Magnetic Resonance
proton (1H-NMR). Spektroskopi NMR merupakan salah satu instrumen yang
digunakan untuk menentukan struktur senyawa organik. Analisis struktur kimia
dengan 1H-NMR memungkinkan untuk mengetahui adanya proton dalam suatu
struktur molekul. Data yang dihasilkan dari 1H-NMR berupa pergeseran kimia yang
dapat dianggap sebagai ciri bagian tertentu dari suatu struktur molekul dan dapat
membantu mengidentifikasi tiap gugus suatu senyawa. Analisa 1H-NMR dilakukan
dengan menggunakan pelarut CDCl3, sistem konsol DD2 yang beroperasi pada
frekuensi 500 MHz (1H).
Analisa dengan 1H-NMR dilakukan terhadap senyawa F4149 yang telah
dilarutkan dengan CDCl3, maka diperoleh data spektrum NMR (lampiran 15). Hasil
analisa 1H-NMR mengindikasikan senyawa F4149 memiliki 5 metil pada δH 1,17
(d, 6H, 2CH3); δH 1,80 (s, 3H, CH3); δH 1,90 (s, 3H, CH3); dan δH 2,01 (s, 3H, CH3).
Pada δH 4,10 terdapat O-CH2 (d, 2H, OCH2), dan CH/CH2 pada masing-masing
pergeseran kimia 1,63-1,77 (m, 5H, CH/CH2); δH 1,91-1,98 (m, 4H, CH/CH2); δH
1,37; 2,57; 2,79; 2,93 (d, 1H- CH).
Page 51
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.10. Spektrum Hasil Analisis Senyawa F4149 Menggunakan 1H-NMR
Tabel 4.6. Hasil Analisis Senyawa F4149 Menggunakan 1H-NMR
Pergeseran Kimia
(δH)
Perkiraan
Jumlah H
Perkiraan Gugus
Fungsi
1,17 (d, 6H) 2 CH3
1,24 (t, 4H) 2 CH2
1,37 (t, 1H) CH
1,63-1,77 (m, 5H) CH/CH2
1,80 (s, 3H) CH3
1,90 (s, 3H) CH3
1,91-1,98 (m, 4H) CH/CH2
2,01 (s, 3H) CH3
2,57 (d, 1H) CH
2,79 (d, 1H) CH
2,93 (d, 1H) CH
4,10 (q, 2H) CH2-O
Page 52
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pola struktur senyawa F4149 mirip dengan pola struktur senyawa
sesquiterpen yang juga merupakan senyawa major yang terkandung pada Curcuma
heyneana Val (Diastuti, dkk. 2014). Struktur senyawa F4149 belum dapat dianalisa
karena keterbatasan spektrum yang ada sehingga informasi yang dibutuhkan untuk
menganalisa struktur senyawa tidak cukup.
4.9 Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein
Senyawa F4149 dilakukan uji aktivitas antidenaturasi protein secara In Vitro.
Natrium diklofenak digunakan sebagai kontrol positif yang memiliki aktivitas
antiinflamasi. Uji aktivitas antidenaturasi protein dilakukan dengan menggunakan
Bovine Serum Albumin karena memliki keuntungan yaitu praktis dan sederhana
dalam pengerjaan. Berdasarkan salah satu penyebab dari inflamasi yaitu terjadinya
denaturasi protein, oleh karena itu digunakan prinsip ini untuk melihat suatu
senyawa dalam mencegah denaturasi pada protein.
4.9.1 Hasil uji aktivitas antidenaturasi protein dari natrium diklofenak
Natrium diklofenak dengan variasi konsentrasi 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan
100 ppm kemudian dilakukan uji aktivitas antidenaturasi protein. Hasil uji aktivitas
antidenaturasi protein dari natrium diklofenak dapat dilihatr pada tabel 4.7 :
Tabel 4.7. Aktivitas Antidenaturasi Protein Natrium Diklofenak
Konsentrasi (ppm) Absorbansi ± SD % Inhibisi
Kontrol Negatif 0,577 ± 0,055 0
0,1 1,071± 0,086 - 85,6
1 0,679 ±0,002 - 17,6
10 0,454 ± 0,001 21,3
100 0,001 ± 0,0005 99,8
Aktivitas antidenaturasi protein natrium diklofenak pada konsentrasi 0,1 ppm
(-85,6%), 1 ppm (-17,6%), 10 ppm (21,3%) dan 100 ppm (99,8%). Aktivitas
antidenaturasi protein natrium diklofenak mulai terlihat pada konsentrasi 10 ppm.
Pada konsentrasi 10 ppm dan 100 ppm nilai persentase inhibisi denaturasi protein
lebih besar dari 20%. Persentase inhibisi tertinggi natrium diklofenak pada
konsentrasi 100 ppm sebesar 99,8%.
Page 53
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.9.2 Hasil uji aktivitas antidenaturasi protein dari senyawa F4149
Senyawa F4149 dilakukan uji aktivitas antidenaturasi protein dengan variasi
konsentrasi yaitu 0,01 ppm, 0,1 ppm, 1 ppm, 10 ppm, dan 100 ppm. Hasil uji
aktivitas antidenaturasi protein senyawa F4149 dapat dilihat pada tabel 4.8 :
Tabel 4.8. Aktivitas Antidenaturasi Protein Senyawa F4149
Konsentrasi (ppm) Absorbansi±SD % inhibisi
Kontrol Negatif 0,148±0,037 0
0,1 0,056±0,002 62,33
1 0,068±0,002 54,03
10 0,064±0,004 56,95
100 0,098±0,005 33,63
Berdasarkan data hasil uji antidenaturasi protein di atas, senyawa F4149
memiliki potensi sebagai antiinflamasi karena dapat menghambat denaturasi
protein dengan persentase inhibisi >20%. Denaturasi protein adalah sebuah proses
dimana protein kehilangan struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa
eksternal, seperti asam kuat atau basa kuat, garam organik, pelarut organik dan
pemanasan (Verma et al, 2011). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
denaturasi protein yaitu suhu, pH, tekanan, aliran listrik, adanya campuran bahan
kimia, alkohol, dan agen pereduksi. Metode yang digunakan untuk mendenaturasi
protein pada penelitian ini adalah dengan menggunakan panas atau suhu tinggi.
Suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul
penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan
molekul. Protein yang terdenaturasi akan menyebabkan berkurangnya kelarutan
dalam cairan sehingga mudah mengendap.
Berdasarkan hasil data analisa statistik uji antidenaturasi protein dapat
disimpulkan bahwa perbedaan berbagai konsentrasi senyawa F4149 berbeda
bermakna dalam menghambat denaturasi protein.
Page 54
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Senyawa hasil isolasi F4149 memiliki organoleptis berbentuk minyak dan
berwarna kekuningan dengan hasil KLT menghasilkan nilai Rf 0,32 dengan
pengembang n-heksana : etil asetat (3 : 2).
2. Hasil analisa 1H-NMR mengindikasikan senyawa F4149 memiliki 5 metil
pada δH 1,17 (d, 6H, 2CH3); δH 1,80 (s, 3H, CH3); δH 1,90 (s, 3H, CH3); dan
δH 2,01 (s, 3H, CH3). Pada δH 4,10 terdapat O-CH2 (d, 2H, OCH2), dan
CH/CH2 pada masing-masing pergeseran kimia 1,63-1,77 (m, 5H, CH/CH2);
δH 1,91-1,98 (m, 4H, CH/CH2); δH 1,37; 2,57; 2,79; 2,93 (d, 1H- CH).
3. Hasil uji antidenaturasi protein menunjukkan bahwa senyawa F4149
berpotensi sebagai antiinflamasi dan menunjukkan perbedaan bermakna
antar variasi konsentrasi.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengambilan sampel yang lebih banyak sehingga senyawa
yang diisolasi lebih banyak
2. Diperlukan data lebih lanjut untuk penentuan struktur dari senyawa F4149
yang meliputi 13C-NMR dan NMR dua dimensi (HMBC, HSQC dan
NOESY).
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat proses aktivitas
antiinflamasi dari senyawa F4149 dan perlu dilakukan uji pada konsentrasi
yang lebih kecil.
Page 55
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Ayoola et al. 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of Some
Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern Nigeria.
Nigeria : Tropical Journal of Pharmaceutical Research; 7 (3); 1019-1024.
Cho, Woong, dkk. 2009. Zedoarondiol isolated from the rhizoma of Curcuma
heyneana is involved in the inhibition of iNOS, COX-2 and pro-inflammatory
cytokines via the downregulation of NF-κB pathway in LPS-stimulated
murine macrophages. Seoul, Korea : Elsevier B.V.
Chatterjee. P, Chandra. S, Dey. P, Bhattacharya. S. 2012. Evaluation of
antiinflammatory effects of green tea and black tea: A comparative in vitro
study. J. Adv. Pharm. Tech. Res.
Departemen Kesehatan RI. 1989. Vademenkum Bahan Obat Alam. Jakarta :
Direktoral Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan
Diastuti, Hartiwi, dkk. 2014. Antibacterial Activity of Germacrane Type
Sesquiterpenes from Curcuma heyneana Rhizomes. Bandung : Indo. J. Chem
32-36.
Gritter, R, J., Bobbits, J.M, dan A. E. Schwarting, 1991. Introduction to
Chromatography (Pengantar Kromatografi), Edisi ke-2, diterjemahkan oleh
K. Padmawinata, Bandung: Penerbit ITB.
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjemah : Kosasih P, Soediro Iwang. Bandung : Penerbit ITB
Hal 6-17
Hostettman, K, Hostettman, M, Maerston. 1995. Preparative Chromatography
Technique:Application in Natural Product Isolation. (diterjemahkan Oleh
Kosasih P) Bandung: Penerbit ITB.
Intanningrum, Reisma Ragil. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Metabolit
Sekunder Ekstrak Etil Asetat dalam Rimpang Temu Giring (Curcuma
heyneana Val). Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Page 56
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Katzung, B, G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi X. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC
Khopkar, S.M. 2003. Kimia Analitis. Jakarta : UI Press.
Komala, Ismiarni et al. 2015. Antioxidant and Anti-inflammatory Activity of the
Indonesian Ferns, Nephrolepis falcate and Pyrrosia lanceolata. Ciputat :
International Journal Pharm Sci, Vol 7, Issue 12, 162-165
Komala, Ismiarni et al., 2017. Microwave Assisted Synthesis of p-
Methoxycinnamamides and p-methoxy-β-nitrostyrenes from ethyl p-
methoxycinnamate and Screening their Anti-inflammatory Activity. Fakultas
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mohan. 2003. Buffers: A guide for the preparation and use of buffers in biological
systems. Germany: Calbiochem.
Munawaroh, Safaatul dkk. 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus
hystrix D.C.) dengan Pelarut Etanol dan n-Heksana. Semarang : Jurnal
Kompetensi Teknik.
Mycek, M, J., Harvey, R, A., dan Champe C, C. 2001. Farmakologi Ulasan
Bergambar Edisi II. Jakarta : Widya Medika.
Panji, Tri. 2012. Teknik Spektroskopi untuk Elusidasi Struktur Molekul.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pranoto, Eunika Noviana, dkk. 2012. Kajian Aktivitas Bioaktif Ekstrak Teripang
Pasir (Holothuria scabra) terhadap Jamur Candida albicans. Semarang :
Jurnal Prikanan, Volume 1, Nomor 2.
Price, Sylvia A ; Lorraine M. Wilson. 2002. Patofisiologi : Konsep Klinis, Proses-
proses Penyakit (Diterjemahkan oleh Brahm U. Penit, dkk) Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC.
Putra, Aditya Maulana Perdana. 2015. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Rimpang
Temu Giring (Curcuma heyneana Val) Terhadap Pertumbuhan Escherichia
coli secara In Vitro. Banjarmasin : Jurnal Ilmiah Manuntung, 68-74
Rahmawati, Dewi, dkk. 2010. Formulasi Krim Minyak Atsiri Rimpang Temu
Giring (Curcuma heyneana Val & Zijp) : Uji Sifat Fisik dan Daya Antijamur
terhadap Candida albicans secara In Vitro. Surakarta : Majalah Obat
Tradisional, 56-63.
Page 57
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saifudin, Azis, dkk. 2013. Sesquiterpenes from the Rhizomes of Curcuma
heyneana. Jepang : ACS Publications.
Santoso, H.B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Yogyakarta : Agro Media
Santoso, S. 2007. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 15. Jakarta :
PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Semiawan, Ferry, dkk. 2015. Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Daun Kerehau
(Callicarpa longifolia L.). Samarinda : Jurnal Sains dan Kesehatan Vol 1
No.1
Senja, Rima Yulia, dkk. 2014. Perbandingan Metode Ekstraksi dan Variasi Pelarut
terhadap Rendemen dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kubis Ungu
(Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra). Jogja : Traditional Medicine
Journal.
Stahl, E. 1969. Apparatus and General Techniques in TLC. dalam : Stahl, E. (ed).
Thin Layer Chromatography a Laboratory Handbook. Terj. Dari
Dunnschicht chromatographie, oleh Ashworth, M.R.F. Berlin: Springer-
Verlag, 61-77.
Sudjadi. 1985. Penentuan Struktur Senyawa Organik Cetakan I. Jakarta : Ghalia
Suhartati, Tati. 2017. Dasar-Dasar Spektrofotometri UV-Vis dan Spektrofotometri
Massa untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandar Lampung :
AURA Anugrah Utama Raharja.
Sukari, Mohd. Aspollah, dkk. 2010. Bioactive sesquiterpenes from Curcuma
ochrorhiza and Curcuma heyneana. Malaysia : Taylor & Francis Group.
Tanaya, Vivi, dkk. 2015. Fraksi Semi Polar dari Daun Mangga Kasturi (Mangifera
casturi Kosterm). Malang : Kimia Student Journal, Vol. 1 No.1
Tiwari, et al. 2011. Phytochemical Screening and Extraction; A review.
Internationale Pharmaceutical Sciencia Vol 1 Issue 1.
Verma et al. 2011. Anti Denaturation and Antioxidant Activities of Annona
cherimola In Vitro. India: International Journal of Phrma and Bio Sciences.
Wati, Mila, dkk. 2017. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder dari
Fraksi Etil Asetat pada Daun Berwarna Merah Pucuk Merah (Syzygium
myrtifilium Walp.). Kalimantan Timur : Jurnal Kimia Mulawarman Volume
14 Nomor 2.
Page 58
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Williams, LAD, et al. 2008. The In Vitro Antidenaturation Effects Induced by
Natural Product and Non-steroidal Compounds in Heat Treated
(Immunogenic) Bovine Serum Albumin is Proposed as a Screening Assay for
the Detection of Anti-inflammatory compounds, without the Use of Animals,
in the Early Stages of The Drug Discovery Process. West Indian : Medical
Journal 57 (4):327.
Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. Jember : PT. Taman Kampus
Presindo
Page 59
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1. Rimpang Temu Giring (Curcuma heynenana Val)
(Sumber : Koleksi Pribadi)
Page 60
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Bagan Alur Kerja
Curcuma heyneana
Valeton & Zijp
Simplisia
Curcuma heyneana Val
Dibersihkan, disortasi basah,
dikeringkan dan dihaluskan
Ekstrak kental
Curcuma heyneana Val
Fraksi N-heksana Fraksi Etil Asetat
KLT
Kromatografi kolom I
Fraksi
KLT
Kromatografi kolom II
GCMS NMR
Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein BSA
Dimaserasi dengan etanol 70%,
disaring dan dipekatkan dengan
Rotary Evaporator
Dilakukan partisi cair-cair
Page 61
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Skema Kerja Isolasi Metabolit Sekunder dari Ekstrak Fraksi Etil
Asetat Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val)
Sampel temu giring
Serbuk simplisia
kering
Ekstrak kental etanol
Ekstrak kental n-heksana Ekstrak kental etil asetat
Fr. A
(1-7)
Fr. B
(8-26)
Fr. C
(27-37)
Fr. D
(38-49)
Fr. E
(50-69)
Fr. F
(73-87)
Vial
(41-49)
Uji kemurnian dengan KLT
dua dimensi dan GCMS Senyawa murni
(319 mg)
Penentuan struktur dengan
GCMS dan H-NMR
Uji aktivitas
antidenaturasi protein
Page 62
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Alur Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein In Vitro
Larutan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 1000 ppm dan 10.000 ppm
senyawa F4149 dalam metanol
Diambil sebanyak 50 µL
dengan mikropipet ke dalam
labu ukur 5 mL
Larutan 0,2% BSA dalam TBS
hingga volume mencapai 5 mL
Larutan 5 ml terdiri dari laruttan 0,2% BSA
dan larutan uji dalam tabung reaksi
Dipanaskan di waterbath pada suhu 72 oC
selama 5 menit dan didiamkan pada suhu
ruang selama 20 menit
Setelah larutan 5 mL tersebut didinginkan kemudian di vortex
dan dilakukan pengukuran % inhibisi denaturasi protein
menggunakan alat spektrofotometer UV-Visible pada panjang
gelombang 660 nm
Page 63
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Analisis statistik
1. Uji Normalitas Shapiro-wilk
Tujuan : Untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein
terdistribusi normal atau tidak.
Hipotesis :
Ho : Data persentase inhibisi denaturasi protein terdistribusi normal
Ha : Data persentase inhibisi denaturasi protein tidak terdistribusi
normal
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Hasil uji normalitas data persentase inhibisi denaturasi protein
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Inhibisi
N 15
Normal Parametersa,b Mean 57.4193540
Std. Deviation 9.13687630
Most Extreme Differences Absolute .189
Positive .105
Negative -.189
Test Statistic .189
Asymp. Sig. (2-tailed) .157c
Keputusan : Data persentase inhibisi denaturasi protein terdistribusi normal
2. Uji Homogenitas Levene
Tujuan : Untuk melihat data persentase inhibisi denaturasi protein homogen
atau tidak.
Hipotesis :
Ho : Data persentase inhibisi denaturasi protein bervariasi homogen
Ha : Data persentase inhibisi denaturasi protein tidak bervariasi
homogen
Page 64
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak
Hasil uji homogenitas data persentase inhibisi denaturasi protein
Test of Homogeneity of Variances
Inhibisi
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.984 4 10 .073
Keputusan : Data persentase inhibisi denaturasi protein bervariasi homogen
3. Uji Analisis Varian (ANOVA) Satu Arah
Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data persentase
inhibisi denaturasi protein
Hipotesis :
Ho : Data persentase inhibisi denaturasi protein tidak berbeda secara
bermakna
Ha : Data persentase inhibisi denaturasi protein berbeda secara
bermakna
Pengambilan keputusan :
Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima
Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak
ANOVA
Inhibisi
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1092.618 4 273.154 35.876 .000
Within Groups 76.138 10 7.614
Total 1168.755 14
Keputusan : Data persentase inhibisi denaturasi protein berbeda secara
bermakna
Page 65
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Determinasi Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Val)
Page 66
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Dokumentasi Pembuatan Ekstrak Rimpang Temu Giring (Curcuma
heyneana Val)
Simplisia Temu Giring Botol maserasi Penyaringan maserat
Fraksi Etil Asetat Ekstrak etanol Pemekatan ekstrak
Page 67
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Dokumentasi Uji Penapisan Fitokimia Rimpang Temu Giring
(Curcuma heyneana Val)
No. Uji Metode Hasil
1 Flavonoid
Alkaline reagent test:
Cuplikan ekstrak pada plat tetes + beberapa
tetes NaOH → kuning intens + beberapa
tetes HCl encer
(+) Positif
2 Terpenoid/
steroid
Lieberman-Buchard :
2 ml larutan ekstrak diuapkan dalam cawan
porselen → residu yang terbentuk + 0,5 ml
kloroform + 0,5 ml asam asetat anhidrat + 2
ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung
(+) terpenoid : membentuk cincin
kecoklatan atau violet
(+) steroid : membentuk cincin biru
kehijauan
(+) Terpenoid
(-) Steroid
3 Alkaloid
Meyer Test
Cuplikan ekstrak dilarutkan kedalam 10 ml
campuran aquades : HCl 2 N (9:1) + saring
filtrat + teteskan pereaksi meyer → (+)
terbentuk endapan putih
(-) Negatif
4 Senyawa
Fenol
Ferric Chloride Test :
Kocok cuplikan ekstrak dengan eter pada
tabung reaksi kemudian pindahkan
kedalam plat tetes + 3-4 tetes larutan
FeCl3 → (+) apabila terbentuk warna biru
kehitaman
(-) Negatif
5 Saponin
Foam test :
0,5 mg ekstrak kental + 2 ml aquades +
kocok kuat hingga berbusa + diamkan
selama 10 menit → (+) apabila busa tetap
stabil
(+) Positif
6 Tannin
Ferric Chloride Test
Ekstrak dalam 10 ml aquades dipanaskan
dalam tabung reaksi + saring + filtrat
ditambahkan FeCl3 → (+) apabila
terbentuk warna biru, hijau, atau biru
kehijauan
(+) Positif
SEBELUM SESUDAH
Page 68
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Hasil Kromatografi Lapis Tipis
No KLT Keterangan
1
Fraksi A, B, C, D, E, F
Eluen:
n-heksana : etil asetat
(4 :1)
2
Vial F 29 – 49
Eluen :
n-heksana : etill asetat
(3 :2)
3
Vial F 41 – 59
Eluen :
n-heksana : etill asetat
(2 :3)
Page 69
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Dokumentasi Uji Aktivitas Antidenaturasi Protein secara In Vitro
Sebelum dipanaskan
Suhu waterbath 72 oC Dipanaskan selam 5
menit Divortex
Setelah dipanaskan
Page 70
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Senyawa F4149 dan Natrium Diklofenak
1. Konsentrasi senyawa F4149
Sejumlah 10 mg senyawa F4149 dilarutkan dalam 1 mL metanol sehingga
didapat konsentrasi larutan induk 10.000 ppm
10 𝑚𝑔
1 𝑚𝐿=
10,000 𝜇𝑔
1 𝑚𝐿= 10,000 𝑝𝑝𝑚
Pengenceran Konsentrasi : Konsentrasi Akhir setelah
Pencampuran Ekstrak dengan
Larutan 0,2 % BSA hingga 5 mL
1,000 ppm 10,000 ppm menjadi 100 ppm
V1 x 10,000 ppm = 1 mL x 1,000 ppm
V1 = 100 µL
10,000 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 100 ppm
100 ppm 1000 ppm menjadi 10 ppm
V1 x 10,000 ppm = 1 mL x 100 ppm
V1 = 10 µL
1000 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 10 ppm
10 ppm 100 ppm menjadi 1 ppm
V1 x 10,000 ppm = 5 mL x 10 ppm
V1 = 5 µL
100 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 1 ppm
10 ppm menjadi 0,1 ppm
10 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 0,1 ppm
Page 71
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Konsentrasi larutan natrium diklofenak
Sejumlah 250 mg natrium diklofenak dilarutkan dalam 25 mL metanol
sehingga didapat konsentrasi larutan induk 10.000 ppm
250 𝑚𝑔
25 𝑚𝐿=
250,000 𝜇𝑔
25 𝑚𝐿= 10,000 𝑝𝑝𝑚
Pengenceran Konsentrasi : Konsentrasi Akhir setelah
Pencampuran Ekstrak dengan
Larutan 0,2 % BSA hingga 5 mL
1,000 ppm 10,000 ppm menjadi 100 ppm
V1 x 10,000 ppm = 1 mL x 1,000
ppm V1 = 100 µL
10,000 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 100 ppm
100 ppm 1000 ppm menjadi 10 ppm
V1 x 10,000 ppm = 1 mL x 100 ppm
V1 = 10 µL
1000 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 10 ppm
10 ppm 100 ppm menjadi 1 ppm
V1 x 10,000 ppm = 5 mL x 10 ppm
V1 = 5 µL
100 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 1 ppm
10 ppm menjadi 0,1 ppm
10 ppm x 50 μL = M1 x 5 mL
M1 = 0,1 ppm
Page 72
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Perhitungan Persentase Inhibisi Natrium Diklofenak
1. Konsentrasi 0,1 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,577 − 1,071
0,577 X 100%
= -85,6%
2. Konsentrasi 1 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,577 − 0,679
0,577 X 100%
= -17,6%
3. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,577 − 0,454
0,577 X 100%
= 21,3%
4. Konsentrasi 100 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100%
= 0,577 − 0,001
0,577 X 100%
= 99,8%
Page 73
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Perhitungan Persentase Inhibisi Senyawa F4149
1. Konsentrasi 0,1 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,148 − 0,056
0,148 X 100%
= 62,33%
2. Konsentrasi 1 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,148 − 0,068
0,148 X 100%
= 54,03%
3. Konsentrasi 10 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100 %
= 0,148 − 0,064
0,148 X 100%
= 56,95,%
4. Konsentrasi 100 ppm
% inhibisi = 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 − 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑙𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖
𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑛𝑒𝑔𝑎𝑡𝑖𝑓 X 100%
= 0,148 − 0,098
0,148 X 100%
= 33,63%
Page 74
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Data Absorbansi Natrium Diklofenak dan Senyawa F4149
1. Natrium Diklofenak
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
Rata-Rata
% Inhibisi Simpangan
Deviasi
Negatif
0,513
0,577
0 %
0,055 0,611
0,607
0,1
1,168
1,071
-85,6 %
0,086 0,999
1,048
1
0,681
0,679
-17,6 %
0,002 0,676
0,681
10
0,453
0,454
21,3 %
0,001 0,455
0,456
100
0,001
0,001
99,8 %
0,0005 0,001
0,000
Page 75
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Senyawa F4149
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
Rata-Rata
% Inhibisi Simpangan
Deviasi
Negatif
0,170
0,148
0 %
0,037 0,105
0,171
0,1
0,051
0,056
62,33 %
0,002 0,065
0,052
1
0,069
0,068
54,03 %
0,002 0,066
0,070
10
0,060
0,064
56,95 %
0,004 0,068
0,064
100
0,093
0,098
33,63 %
0,005 0,103
0,100
Page 76
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Hasil H-NMR senyawa F4149
Page 77
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Page 78
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta