Top Banner
Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 35 SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang Abstract or a long time, the government of Indonesia had maintain gov- ernment-based development policy, characterized with central- ist and economic growth orientation, which later on took implication that the tropical forest zone had been degraded in all aspects. It seem that the government should leave the former policy – the government- based forest management and change to community-based forest man- agement. Related to this purpose, it is useful to reevaluate and re- structure the legal instrument which had been constructed and imple- mented for supporting on the management of forest resources, from repressive type of law to responsive as the ideal type of law instru- ment. Kata kunci: hutan tropis, konsesi, reforestasi, hukum represif, hukum responsif Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di dunia setelah Brazilia (Barber, 1989; Gillis & Repetto, 1988; Poffenberger, 1990). Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasan hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlah penduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan terus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karena pemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yang paling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi F F F
21

Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Dec 20, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 35

SEJARAH HUKUM PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA

Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum.Fakultas Hukum dan Program Studi Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang

Abstract

or a long time, the government of Indonesia had maintain gov-ernment-based development policy, characterized with central-

ist and economic growth orientation, which later on took implicationthat the tropical forest zone had been degraded in all aspects. It seemthat the government should leave the former policy – the government-based forest management and change to community-based forest man-agement. Related to this purpose, it is useful to reevaluate and re-structure the legal instrument which had been constructed and imple-mented for supporting on the management of forest resources, fromrepressive type of law to responsive as the ideal type of law instru-ment.

Kata kunci: hutan tropis, konsesi, reforestasi, hukum represif,hukum responsif

PendahuluanIndonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kawasan

hutan tropis basah (tropical rain forest) terluas kedua di duniasetelah Brazilia (Barber, 1989; Gillis & Repetto, 1988; Poffenberger,1990). Namun demikian, sejak tiga dekade terakhir ini kawasanhutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat serius darisegi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini selain karena jumlahpenduduk yang mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupanterus meningkat dari tahun ke tahun, juga terutama karenapemerintah secara sadar telah me-ngeksploitasi sumber daya hutansebagai sumber pendapatan dan devisa negara (state revenue) yangpaling diandalkan setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi

FFFFF

Page 2: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

36 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

(Reppeto, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990; Peluso, 1992).Dari sisi pembangunan ekonomi, eksploitasi sumber daya

hutan yang dilakukan pemerintah telah memberi kontribusi bagipertumbuhan ekonomi di Indonesia. Melalui kebijakan pemberiankonsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan HasilHutan (HPHH), atau konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI)pemerintah mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional,meningkatkan pendapatan dan devisa negara, menyerap tenagakerja, menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pen-dapatan asli daerah.Tetapi, dari sisi yang lain, pemberian konsesiHPH dan HPHH serta HTI kepada pihak Badan Usaha Milik Suasta(BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jugamenimbulkan bencana nasional, karena kerusakan sumber dayahutan akibat eksploitasi yang tak terkendali dan tak terawasi secarakonsisten selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological cost)yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan sosialdan budaya (social and cultural cost), termasuk pembatasan aksesdan penggusuran hak-hak masyarakat serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di daerah.

Studi-studi terdahulu mengenai kebijakan pengusahaansumber daya hutan yang dilakukan pemerintah membuktikanbahwa degradasi kualitas maupun kuantitas sumber daya hutandi Indonesia terjadi bukan semata-mata karena faktor kepadatanpenduduk, rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat,yang cenderung dikaitkan dengan kehidupan masyarakat di dansekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan gilir balik (shift-ing cultivation). Tetapi, kerusakan sumber daya hutan justru terjadikarena pilihan paradigma pembangunan yang berbasis negara(state-based resouce development), penggunaan manajemen pem-bangunan yang bercorak sentralistik dan semata-mata berorientasipada pertumbuhan ekonomi, yang didukung dengan instrumenhukum dan kebijakan yang bercorak represif (Bodley, 1982; Repetto& Gillis, 1988; Barber, 1989; Zerner, 1990; Poffenberger, 1990; Peluso,1992).

Makalah ini mencoba untuk memaparkan kronologi sejarahhukum pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber dayahutan di Indonesia, yang dimulai dengan paparan mengenai

Page 3: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 37

produk hukum pada masa pemerintahan kolonial Belanda, peme-rintahan bala tentara Dai Nippon Jepang, sampai instrumen hukumyang digunakan pemerintah pada masa pasca kemerdekaan Indo-nesia, termasuk pada masa pemerintahan orde lama, orde baru,dan masa pemerintahan orde reformasi.

Kinerja untuk menelusuri sejarah perkembangan produkhukum pengelolaan sumber daya hutan dari masa ke masa palingtidak dapat memberi pema-haman tentang ideologi, politik hukum,bentuk dan subtansi hukum yang di-implementasikan pada masing-masing era pemerintahan, serta implikasi ekonomi, ekologi, sosial,dan budaya yang ditimbulkan dari implementasi instrumen hukumtersebut.

Hukum Pengelolaan Hutan pada Masa Kolonial BelandaUpaya untuk mengelola sumber daya hutan pada masa pe-

merintahan kolonial Belanda dimulai dari pengelolaan hutan jati(Tectona grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke-19, setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati di-eksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belandauntuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milikpengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantaiUtara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban.,Gresik, sampai Pasuruan (Peluso, 1990, 1992; Simon, 1993, 1999).

Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalamidegradasi yang sangat serius, sehingga mulai mengancam kelang-sungan hidup perusahaan-perusahaan kapal kayu yang me-ngandalkan pasokan kayu jati dari kawasan hutan. Karena itu,ketika pemerintah kolonial Belanda kemudian mengangkatHerman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di HindiaBelanda pada awal abad ke-19, tepatnya pada tanggal 14 Januari1808, salah satu tugas yang dibebankan kepada Daendels adalahmerehabilitasi kawasaan hutan melalui kegiatan reforestasi padalahan-lahan hutan yang mengalami degradasi serius.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas rehabilitasi danreforestasi yang menjadi bagian dari tugasnya, maka Daendelsmembentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan),

Page 4: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

38 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

membuat perencanaan reforestasi untuk kawasan hutan yangmengalami degradasi, dan juga mengeluarkan peraturan mengenaikehutanan, yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati,dan memberi sanksi pidana bagi penebang kayu-kayu jati tanpaseijin Jawatan Kehutanan. Pada tanggal 26 Mei 1808 Daendelsmengeluarkan Peraturan Pemangkuan Hutan di Jawa yang me-muat prinsip-prinsip seperti berikut: (1) Pemangkuan hutan sebagaidomein Negara dan semata-mata dilakukan untuk kepentinganNegara; (2) Penarikan pemangkuan hutan dari kekuasaan Residendan dari jurisdiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang ada; (3)Penyerahan pemangkuan hutan kepada dinas khusus di bawahGubernur Jenderal, yang dilengkapi dengan wewenang admi-nistratif dan keuangan serta wewenang menghukum pidana; (4)Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar, dan perusahaandengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengankewajiban melakukan reforestasi dan pembudidayaan lapangantebangan; (5) Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat desa, danmereka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuanyang berlaku; (6) Kayu-kayu yang ditebang pertama-tama harusdigunakan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baruuntuk memenuhi kepentingan perusahaan suasta; (7) Rakyat desadiberikan ijin penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku.

Kebijakan yang dilakukan Daendels pada masa pemerintahan-nya di Hindia Belanda dengan melakukan reforestasi dan me-netapkan peraturan hukum yang membatasi eksploitasi sumberdaya hutan jati di Jawa, dipandang sebagai awal dari dari kegiatanpengelolaan hutan yang menggunakan teknik ilmu kehutanan daninstitusi modern di Indonesia, terutama setelah Daendels mem-bentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) yangdiberikan wewenang mengelola hutan di Jawa (Supardi, 1974).

Peraturan hukum mengenai pengelolaan hutan di Jawa danMadura untuk pertama kali dikeluarkan pada tahun 1865, yangdinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan kemudiandisusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat di-buktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah

Page 5: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 39

(Peluso, 1990).Namun demikian, upaya Daendels untuk melakukan reforestasi

dan membatasi penebangan kayu jati di Jawa dan Madura tidakdapat berlanjut dan mencapai hasil yang optimal, selain karenaketerbatasan tenaga kehutanan, pengetahuan dan teknologikehutanan yang dimiliki petugas-petugas Jawatan Kehutanan, jugakarena pada tahun 1830-1870 van den Bosch memberlakukan sistemtanam paksa (Cultuurstelsel) yang menimbulkan perubahan drastisterhadap kondisi hutan di Jawa, di mana banyak kawasan hutandibuka dan dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan kopiuntuk meningkatkan komoditi eksport. Sementara itu, kebutuhankayu jati untuk memasok perusahaan-perusahaan kapal kayu,membangun gudang-gudang pengeringan tembakau, pabrik gula,dan membangun barak-barak pekerja dan perumahan pegawaiperkebunan, terus meningkat pada periode cultuurstelsel(Schuitemaker, 1950. seperti dikutip Simon, 993:31).

Untuk mendukung pelaksanaan reforestasi dan pengelolaanhutan dengan menggunakan pengetahuan dan teknologi ke-hutanaan modern, maka pada tahun 1873 Jawatan Kehutananmembentuk organisasi teritorial kehutanan. BerdasarkanStaatsblad No. 215 maka kawasan hutan di Jawa dibagi menjadi 13Daerah Hutan yang masing-masing mempunyai luas 70.000 sampai80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan jati, dan lebihluas dari 80.000 hektar untuk daerah hutan di kawasan hutan nonjati. Tiga belas daerah hutan tersebut adalah : Karesidenan Bantendan Kabupaten Cianjur; Karesidenan Priangan, Kerawang, danCirebon; Karesidenan Tegal dan Pekalongan; KaresidenanSemarang; Karesidenan Kedu, Bagelen, dan Banyumas;Karesidenan Jepara; Kabupaten Rembang dan Blora; KaresidenanSurabaya, Madura, dan Pasuruan; Karesidenan Probolinggo,Besuki, dan Banyuwangi; Karesidenan Kediri; KaresidenanMadiun; Kabupaten Ngawi dan Karesidenan Surakarta(Departemen Kehutanan, 1986).

Untuk melancarkan pekerjaan operasional di lapangan makadi masing-masing daerah hutan dibentuk unit-unit pengelolaanhutan. Pada setiap unit pengelolaan hutan dilakukan penataankawasan hutan (Boschinrichting), dengan membuat petak-petak

Page 6: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

40 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

hutan dan pemancangan pal-pal batas kawasan hutan. Kemudian,untuk kepentingan pekerjaan bagian perencanaan hutan, makadibentuk unit-unit perencanaan yang disebut Bagian Hutan(Boschafdeling) dengan luas masing-masing antara 4000 sampai 5000hektar, atau maksimal seluas 10.000 hektar seperti di Bagian HutanSedayu Lawas, Caruban, dan Gunung Kidul.

Berdasarkan Staatsblad No. 2 Tahun 1855 ditegaskan bahwaGubernur Jenderal harus memberi perhatian dan memfokuskantugasnya pada pengelolaan hutan jati, dan kawasan hutan jatiyang belum diserahkan pengelolaannya kepada pihak lain dijagadan dipelihara dengan baik. Karena itu, pengelolaan hutan padatahun-tahun selanjutnya cenderung lebih difokuskan pada kegiatanreforestasi dalam kawasan hutan jati; pertama karena kayu jatimempunyai nilai ekonomis tinggi dibandingkan dengan kayu nonjati; dan kedua karena industri-industri kapal kayu hanya meng-gunakan kayu jati sebagai bahan baku utamanya. Selanjutnya,pada tahun 1890 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Perusaha-an Hutan Jati (Djatibedrijf) untuk mengintensifkan pengelolaanhutan jati di Jawa dan Madura, sedangkan pengelolaan kawasanhutan rimba non jati diserahkan wewenangnya kepada DinasHutan Rimba (Dienst de Wildhoutbossen).

Untuk mendukung peningkatan kegiatan pemerintah dalameksploitasi hutan maka berdasarkan Surat Keputusan GubernurJenderal No. 6 Tahun 1865 tanggal 10 September 1865 diundangkansuatu instrumen hukum yang dikenal dengan nama ReglemenKehutanan 1865. Prinsip pokok yang diatur dalam ReglemenKehutanan 1865 bahwa eksploitasi hutan jati dilakukan semata-matauntuk kepentingan pihak partikelir, yang dapat dilaksanakan 2(dua) cara. Pertama, pihak suasta yang diberikan konsesi pene-bangan hutan jati diwajibkan membayar pachtschat (uang sewa)setiap tahun kepada pemerintah Hindia Belanda, yang dihitungdengan taksiran nilai harga kayu dalam setiap persil menurutlamanya konsesi yang diberikan. Kedua, kayu-kayu yang ditebangpihak penerima konsesi diserahkan kepada pemerintah, dan pihaksuasta penerima konsesi menerima uang pembayaran upah tebang,sarad, angkut dalam hitungan per elo kubik (1 elo = 68,8 cm), melaluitender terbuka dan penawaran yang diajukan dalam sampul

Page 7: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 41

tertutup.Dalam perkembangan selanjutnya, Reglemen Hutan 1865

dipandang banyak mengandung kelemahan dalam mengantisipasiperkembangan pengelolaan hutan, sehingga dipandang perluuntuk segera diganti. Pada tanggal 14 April 1874 diundangkanReglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura1874. Terdapat beberapa hal penting yang diatur dalam ReglemenHutan 1874 ini: (1) Pengaturan mengenai pemisahan pengelolaanhutan jati dengan hutan rimba non jati; (2) Hutan jati dikelolasecara teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan, danpemancangan pal-pal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik-distrik hutan; (3) Eksploitasi hutan jati diserahkan pengusahaan-nya kepada pihak suasta; (4) Pemangkuan hutan rimba yang tidakdikelola secara teratur diserahkan kepada Residen di bawahperintah direktur Binnelands Bestuur, dan dibantu seorangHoutvester.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan menggunakanOrdonansi 6 Mei 1882 dan Ordonansi 21 Nopember 1894, dan ke-mudian dengan Ordonansi Kolonial 9 Pebroari 1897, maka ReglemenPemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874diperbarui dengan Boschreglement 1897 (Reglemen PengelolaanHutan Negara di Jawa dan Madura 1897), dilengkapi denganDienstreglement 1897 (Reglemen Dinas) melalui KeputusanPemerintah tanggal 9 Pebroari 1897 No. 21 yang secara khusus me-muat peraturan pelaksanaan Boschreglement 1897 dan pengaturanorganisasi Jawatan Kehutanan.

Setelah berlaku selama lebih dari 16 tahun lamanya, dansetelah dilakukan perubahan berulang kali dengan beberapa ordo-nansi, maka berdasarkan Ordonansi Kolonial tanggal 30 Juli 1913Reglemen Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897(Boschreglement 1897) diganti dengan Reglemen untuk PemangkuanHutan Negara di Jawa dan Madura 1913, tetapi baru diberlakukanmulai tanggal 1 Januari 1914.

Untuk mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan danteknologi kehutanan, serta perkembangan kependudukan di Jawa,maka pada tahun 1927 Boschreglement van Java en Madoera 1913diganti dengan Reglement voor het Beheer der bossen van den Lande

Page 8: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

42 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

op Java en Madoera 1927 (Peraturan Pengelolaan Hutan Negara diJawa dan Madura 1927), atau disingkat Boschordonantie voor Javaen Madoera 1927 (Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura 1927).Boschordonantie 1927 diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1927No. 221, kemudian diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 No. 168,dan terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 No. 63.Sementara itu, peraturan pelaksanaan dari Boschordonantie 1927dituangkan dalam Boschdienstregelement voor Java en Madoera1927, kemudian diganti dengan Boschverordening voor Java enMadoera 1932, dan menyusul diperbarui dengan Boschvererdeningtahun 1935, tahun 1937, dan tahun 1937.

Dalam kaitan ini, timbul pertanyaan perihal bagaimana pe-ngaturan hukum pengelolaan hutan pada masa kolonial Belandadi daerah-daerah luar Jawa dan Madura. Pengelolaan hutan didaerah-daerah luar Jawa dan Madura, khususnya yang berkaitandengan pengaturan mengenai penunjukkan hutan tetap,perlindungan hutan, pemungutan retribusi untuk penebangankayu dan pemungutan hasil hutan nonkayu, diatur dan ditetapkandengan peraturan hukum seperti berikut, (1) Agrarische Reglementyang diberlakukan di Sumatera Barat, Menado, Riau dan pulau-pulau di sekitarnya, Bangka dan Belitung, Palembang, Jambi danBengkulu; (2) Ordonansi Perlindungan Hutan yang diberlakukandi Belitung, Palembang, Singkep, Lampung, dan Riau; (3) PeraturanPerladangan dan Reglemen Penebangan Kayu diberlakukan diKalimantan. Keempat, Peraturan Panglong diberlakukan diBengkalis, Indragiri, Lingga, Karimun, dan Tanjungpinang.

Peraturan-peraturan hukum tersebut di atas pada dasarnyaselain mengandung banyak kelemahan dan tumpang tindih, jugatidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya masyarakat adatsetempat, sehingga tidak berlaku secara efektif sebagai landasanhukum untuk mengoperasikan pemangkuan dan pengusahaanhutan seperti yang diharapkan pemerintah Hindia Belanda(Departemen Kehutanan, 1986).

Hukum Pengelolaan Hutan pada Masa Pendudukan JepangPada tanggal 8 Maret 1942 pemerintah kolonial Belanda takluk

Page 9: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 43

dengan tanpa syarat kepada Bala Tentara Dai Nippon Jepang.Taktik perang bumi hangus yang dilakukan pemerintah Belandasebelum menyerah kepada Dai Nippon telah menimbulkan ke-rusakan sarana dan prasaran produksi, perhubungan, tele-komunikasi, sarana pertanian, termasuk perusakan kawasan hutanjati terutama di Karesidenan Semarang, Jepara, Rembang, Telawa,dan Bojonegoro. Boschwezen (Dinas Kehutanan) juga tidak luputdari sasaran taktik penghancuran bumi hangus, agar tidak dapatdigunakan dan dinikmati oleh bala tentara Jepang. Karena itu,kilang-kilang penggergajian kayu di Saradan dan di Cepu sertalos-los tempat penimbunan kayu di Madiun dengan sengaja dirusakdan dibakar. Selain itu, jembatan rel gantung di Payak Sonde dalamkawasan hutan Ngawi juga dengan sengaja dirusak dandihancurkan sebagai bagian dari taktik bumi hangus (Supardi,1974).

Pada masa pendudukan tentara Dai Nippon Jepang (1942-1945)Jawatan Kehutanan Belanda (Dient van het Boschwezen) digantinamanya menjadi Ringyo Tyuoo Zimusyo. Semua pegawai JawatanKehutanan diminta untuk terus melaksanakan tugasnya di posnyamasing-masing, dan Ordonansi Hutan Jawa dan Madura 1927(Staatsblad 1927 No. 221 serta Verordening Kehutanan tahun 1932(Staatsblad 1932 No. 446) dinyatakan tetap berlaku oleh pemerintahDai Nippon untuk mengelola hutan di Jawa dan Madura.Sementara itu, urusan pengelolaan hutan di luar Jawa dan Maduraditangani oleh Pemerintah Pusat, tetapi sebagian juga ditanganioleh Pemerintah Swapraja (Zelf besturende Landschappen danInheemse Rechtsgemeenschappen).

Selama masa pendudukan tentara Jepang pengelolaan hutanjati di Jawa mengalami masa surut, dalam arti tidak berjalanseperti pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini selainkarena hanya sebagian kecil dari bekas pegawai JawatanKehutanan Belanda yang mau bekerja untuk kepentinganpemerintah Dai Nippon, juga karena keadaan chaos akibat peranggerilya rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan, sehinggatidak memungkinkan dapat dilakukan kegiatan pengelolaan hutanseperti yang diharapkan pemerintah Dai Nippon.

Di sisi lain, pemeritah Dai Nippon melakukan eksploitasi hutan

Page 10: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

44 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

secara besar-besaran terutama di kawasan hutan jati Jawa danMadura, untuk membangun industri kapal kayu di bawah ke-wenangan Sangyobu (Departemen Ekonomi) dan Zoosen Kyo Ku(Departemen Perkapalan). Kawasan hutan juga banyak dibukauntuk ladang-ladang palawija, tanaman jarak, kebun kopi, dan gua-gua perlindungan maupun untuk membangun gudang-gudangpenyimpanan logistik dan amunisi mesin perang Jepang. Karenaitu, sampai menjelang jatuhnya kekuasaan Jepang, urusan ke-hutanan yang menjadi salah satu sumber keuangan untukmembiayai perang tentara Jepang di Asia dimasukkan ke dalamurusan Gonzyuseizanbu (Departemen Produksi Kebutuhan Perang).

Hukum Pengelolaan Hutan Pasca Kemerdekaan: dari Orde Lama,Orde Baru, sampai Masa Pemerintahan Orde Reformasi

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya padatanggal 17 Agustus 1945, maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pe-ngelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagaisuatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Namun demi-kian, peralihan kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari peme-rintah Jepang kepada pemerintah Republik Indonesia baru dise-lenggarakan pada tanggal 1 September 1945 berdasarkan SuratKetetapan Gunseikanbu Keizaibutyo Nomor 1686/G.K.T. tanggal 1September 1945.

Upaya pertama yag dilakukan pemerintah adalah pada bulanDesember 1946 Jawatan Kehutanan membentuk satu tim pe-nerjemah yang ditugaskan menerjemahkan peraturan-peraturanhukum kehutanan yang diproduk pada masa pemerintahankolonial Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memberi pemahamandan sebagai bahan pembentukan peraturan hukum kehutananyang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimanadimaksud pada Pembukaan UUD 1945. Sebelum itu, rapat dinasJawatan Kehutanan pada tanggal 20-22 Maret 1946 yang di-selenggarakan di Madiun telah berhasil membentuk Pedoman KerjaJawatan Kehutanan tahun 1946, sebagai penjabaran dari kebijakanpolitik pemerintah di bidang pengelolaan hutan. Kemudian,berdasarkan Surat Ketetapan Kepala Jawatan Kehutanan tanggal

Page 11: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 45

4 Juli 1947 Nomor 2758/KBK/Yg. dibentuk satu Panitia PeraturanKehutanan, yang diberikan tugas untuk meyusun rancanganperaturan-peraturan di bidang kehutanan.

Pada tanggal 12 Agustus 1947 pemerintah Indonesia memben-tuk Jawatan Kehutanan Sumatera berdasarkan Surat KeputusanWakil Presiden R.I. Nomor I/WKP/SUM/47 yang berkedudukan diBukititnggi. Wilayah kerja Jawatan Kehutanan Sumatera meliputi,(1) Daerah Pengawasan (Inspeksi) Kehutanan Sumatera Utara, yangberkedudukan di Tarutung, meliputi Karesidenan Aceh, SumateraTimur, dan Tapanuli; (2) Daerah Pengawasan (Inspeksi) KehutananSumatera Tengah, yang berkedudukan di Buktitinggi, meliputiKaresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; (3) DaerahPengawasan (Inspeksi) Sumatera Selatan, yang berkedudukan diLubuklinggau, meliputi Karesidenan Palembang, Bengkulu, danLampung.

Setelah peristiwa pengakuan kedaulatan Negara Republik In-donesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949,maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1952Jawatan Kehutanan diberikan wewenang untuk menguasai danmengelola tanah-tanah Negara yang ditetapkan sebagai kawasanhutan. Kemudian, wewenang penguasaan tanah-tanah hutan olehJawatan Kehutanan semakin dipertegas dan diperkuat denganPeraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang PenguasaanTanah-tanah Negara (Lembaran Negara No. 14 Tahun 1953), yangpada masa pemerintahan kolonial Belanda diatur dengan SuratKeputusan Gubernur Jenderal tanggal 25 Januari 1919 No. 33(Staatsblad 1911 No. 110).

Sementara itu, hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalamwilayah Negara Republik Indonesia masih berupa peraturanperundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonialBelanda. Di Jawa dan Madura, misalnya, masih diberlakukanBoschordonantie voor Java en Madoera 1927 (Staatsblad 1927 No. 221),Boschverordening voor Java en Madoera 1932, dan ProvincialeBoschbesehermings-verordening (Peraturan Perlindungan HutanDaerah). Sementara itu, untuk daerah-daerah di luar Jawa danMadura masih diberlakukan beberapa peraturan berikut, (1)

Page 12: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

46 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

Agrarische Reglement Sumatera Barat, Menado, Riau, dan pulau-pulau dalam lingkunga masing-masing, Bangka dan Belitung,,Palembang, Jambi dan Bengkulu. Di daerah-daerah tersebut setiappemungutan hasil hutan pada umumnya memerlukan ijin dariPamong Praja; (2) Undang-undang Perlindungan Hutan Belitung,Palembang, Singkep, Lampung, dan Riau; (3) Peraturan Panglongyang diberlakukan di Bengkalis, Indragiri, Lingga, Karimun, danTanjungpinang; (4) Peraturan Panglong yang diberlakukan untukpenebangan kayu di Kalimantan.

Usaha untuk merumuskan dan membentuk peraturan hukumpengelolaan hutan yang berlaku secara seragam di luar Jawa danMadura dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan KepalaJawatan Kehutanan tanggal 25 Oktober 1951 No. 1767/KD/I/4tentang Pembentukan Panitia Penyusunan Rancangan Undang-undang dan Peraturan Hutan Luar Jawa dan Madura, yangdiketuai oleh E.J. Wind dan dibantu oleh anggota-anggota Panitiaseperti Ronggur Patuan Malaon, R. Soepardi, R.O. Noerhadi, SongTjoe Gie, Ir. C. Gartner, dan Mr. H. Leau. Kemudian, dengan SuratKeputusan Kepala Jawatan Kehutanan tanggal 21 Nopember 1951No. 4274 Kepala Jawatan Kehutanan membentuk Panitia PeraturanKehutanan, yang ditugaskan untuk, (1) dalam jangka pendek me-rencanakan peraturan-peraturan darurat/sementara untukmemenuhi kebutuhan peraturan hukum kehutanan; dan (2) dalamjangka panjang meninjau kembali semua peraturan dan pedomanyang telah ada dan berlaku di wilayah kerja Jawatan Kehutanan.

Untuk merealisasikan asas desentralisasi dalam sistem pe-merintahan negara, dan mengakomodasi kepentingan pemerintahdaerah dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk sumberdaya hutan, maka pada tahun 1957 pemerintah mengeluarkanPeraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun1957 No. 169) tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan PemerintahPusat di Lapangan Perikanan, Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyatkepada Daerah-daerah Swatantra Tingkat I. Di sisi lain, untukmemperkuat kelembagaan di bidang pengelolaan hutan, makadikeluarkan Peraturan Menteri Pertanian tanggal 17 Maret 1951No. 1/1951 tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, dan TugasKementerian Pertanian, yang menegaskan tugas dan kewajiban

Page 13: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 47

Jawatan Kehutanan yang berada di dalam lingkunganKementerian Pertanian. Menurut PP No. 1/1951 di atas ditegaskanbahwa tugas dan kewajiban Jawatan Kehutanan adalah: (1)Memelihara tanah dengan jalan mempertahankan nilai hidrologidan orologi hutan, mengadakan persediaan air, mengendalikanerosi dan kerusakan tanah; (2) Menghasilkan kayu untuk men-cukupi kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar, kulit penyamak,dan hasil hutan lainnya bagi kepentingan masyarakat; (3) Menye-lenggarakan pendidikan kehutanan untuk memenuhi kebutuhantenaga Jawatan Kehutanan; (4) Memberi penerangan kepada ma-syarakat tentang arti, fungsi, dan manfaat hutan bagi perlindunganalam dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rakyat.

Pada tahun 1957 dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 64Tahun 1957 (LN. No. 169 Tahun 1957) mengenai PenyerahanSebagian Urusan Pemerintah Pusat di bidang Perikanan Laut,Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Pemerintah SwatantraTingkat I. Sedangkan, urusan pengaturan pengelolaan hutan diwilayah Indonesia bagian Timur, yang menjadi bekas wilayahNegara Indonesia Timur (NIT), berdasarkan Surat Kepala JawatanKehutanan tanggal 31 Desember 1958 No. 1765/KD/I/5 dan surattanggal 12 Maret 1959 No. 1954/KD/I/I diusulkan kepada MenteriPertanian agar pemangkuan hutan di Indonesia bagian Timurdialihkan kepada daerah Tingkat I.

Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 19 Tahun 1960tentang Perusahaan Negara. Untuk mewujudkan status JawatanKehutanan menjadi Perusahaan Negara, pemerintah me-ngeluarkan Peraturan Pemerintah No. 17 sampai No. 30 Tahun 1961tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara(PERHUTANI), yang meliputi Badan Pimpinan Umum (BPU)Perhutani dan Perhutani-Perhutani Jawa Timur, Jawa Barat, JawaTenggah, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Aceh,Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan/Tenggara, dan Maluku.Kemudian, untuk menegaskan kawasan hutan yang menjadiwilayah kerja Perhutani maka dikeluarkan Peraturan PemerintahNo. 35 Tahun 1963 (LN. Tahun 1963 No. 57) tentang Penunjukan

Page 14: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

48 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

Hutan-hutan yang Pengusahaannya diserahkan kepada Perhutani.Usaha untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi pelaksa-

naan tugas dan kewajiban pengelolaan hutan di seluruh wilayahIndonesia, maka pada bulan Nopember 1963 di Bogor dise-lenggarakan Konferensi Dinas Instansi-instansi Kehutanan. Inimenjadi konferensi dinas yang pertama setelah diberlakukandesentralisasi urusan kehutanan dan perusahaan-perusahaan ke-hutanan negara. Setelah Kabinet Dwikora dibentuk oleh PresidenSoekarno pada tahun 1964, maka dari sisi kelembagaan pengelolaanhutan di Indonesia, untuk pertama kalinya pemerintah membentukDepartemen Kehutanan sebagai institusi negara yang diberiwewenang mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayahIndonesia. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehutanan No. 1Tahun 1964 ditegaskan bahwa salah satu tugas DepartemenKehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, danmelaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan,terutama produksi dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untukmeninggikan derajat kehidupan dan kesejahteraan rakyat danNegara secara kekal.

Empat belas bulan setelah Departemen Kehutanan menjadibagian dari Kabinet Dwikora yang dibentuk Presiden Soekarno,maka terjadi prahara nasional yang dinamakan pemerintah OrdeBaru sebagai peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September PKI(G-30-S PKI). Singgasana kekuasaan pemerintah negara R.I.kemudian beralih dari Presiden Soekarno ke Presiden Soehartodengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yangdikukuhkan Sidang Umum IV MPRS menjadi Ketetapan No. IX/MPRS/1966, sebagai landasan hukum pengangkatan Soehartomenjadi Presiden R.I. menggantikan Soekarno.

Masa pemerintahan Presiden Soeharto dicanangkan sebagaiera pemerintahan Orde Baru (OrBa) menggantikan masa peme-rintahan Orde Lama (OrLa) sebagai masa pemerintahan mantanPresiden Soekarno. Kemudian, dengan berlandaskan padaKetetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 Presiden Soeharto mem-bentuk kabinet pemerintahan yang dinamakan Kabinet Ampera(Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet Ampera membubarkanDepartemen Kehutanan yang dibangun pada masa pemerintahan

Page 15: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 49

Orde Lama. Urusan kehutanan selanjutnya dilaksanakan olehDirektorat Jenderal Kehutanan yang secara kelembagaan beradadalam struktur Departemen Pertanian.

Era Amanat Penderitaan Rakyat kemudian dilaksanakan olehpemerintahan Orde Baru melalui pembangunan ekonomi nasionalyang diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (Eco-nomic Growth Development). Untuk mewujudkan tingkat per-tumbuhan ekonomi secara cepat, maka pemerintah Orde Barumengeluarkan kebijakan untuk: (1) membuka peluang ekonomi dankesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkinpemilik modal di dalam maupun di luar negeri untuk menanamkanmodalnya di Indonesia; dan (2) dengan secara sadar pemerintahmengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya,terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dandevisa negara (state revenue) untuk membiayai pembangunannasional.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yangbercorak kapital (capita oriented) dan berorientasi untuk mengejarpertumbuhan ekonomi semata dengan mengutamakan pencapaiantarget-target pertumbuhan tertentu, maka pemerintah membuatinstrumen hukum (legal instrument) yang dimulai denganpengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing(PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentangPenanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Segera setelah UU PMAdiundangkan pemerintah, pemilik modal asing berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena3 (tiga) daya tarik utama, yaitu: (1) dari segi bisnis kesempatanuntuk berusaha di Indonesia pasti sangat menguntungkan,lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mem-punyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional;(2) pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitasserta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modalasing di dalam negeri; dan (3) sumber daya tenaga kerja selainmudah didapatkan juga dikenal sangat murah untuk mengembang-kan bisnis maupun industri di Indonesia.

Setelah sumber daya alam minyak dan gas bumi yang menjadiandalan utama pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan

Page 16: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

50 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

ekonomi, maka menyusul giliran sumber daya hutan Indonesia yangdieksploitasi, melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaanhutan. Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asingmaupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber dayahutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum yang di-mulai dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentangKetentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN. Tahun 1967 No. 8 danTambahan LN. No. 2823). Kemudian, untuk melaksanakanketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakanpemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluar-kan PP No. 21 Tahun 1970 yunto PP No. 18 Tahun 1975 tentang HakPengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH danHPHH). Segera setelah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan,mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan pemerintah, terutama di Sumatera, Kalimantan,Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya (Papua), melalui pemberiankonsesi HPH dan HPHH kepada pemilik modal asing maupunmodal dalam negeri dalam bentuk Badan Usaha Milik Suasta(BUMS) maupun kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepadaBUMS maupun BUMN memang secara nyata memberi kontribusiyang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.Tetapi, dari segi yang lain kebijakan pemberian konsesi pe-ngusahaan hutan yang tidak terbuka dan tidak selektif, karena me-ngandung unsur KKN sehingga konsesi dikuasai oleh orang-orangatau yayasan-yayasan tertentu yang memiliki akses kuat pada elitpenguasa, ditambah lagi dengan lemahnya aspek pengawasan (con-trol) dan penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia, makaterjadilah eksploitasi sumber daya hutan yang tak terkendali dantak tersentuh oleh hukum oleh para pemegang konsesi HPH danHPHH. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah: (1) Dari segiekologi terjadi degradasi kuantitas maupun kualitas hutan tropisdi berbagai kawasan di Indonesia; (2) Dari segi ekonomi terjadiketerbatasan dan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupanmasyarakat setempat; (3) Dari segi sosial dan budaya munculkelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secaraturun-temurun hidup dan tinggal di dan sekitar hutan, sebagai

Page 17: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 51

korban-korban pembangunan (victims of development), yangtergusur dan terabaikan serta terbekukannya akses dan hak-hakmereka atas sumber daya hutan. Selain itu, terjadi konflik-konflikyang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan antara masyarakat local dengan pemerintah maupunpemegang konsesi-konsesi kehutanan.

Satu hal penting yang perlu memperoleh perhatian dalamkonteks instrumen hukum untuk melaksanakan kebijakanpengusahaan hutan di Indonesia adalah kejanggalan yuridis dansistematis berdasarkan waktu dari produk hukum yang dikeluarkanpemerintah Orde Baru, yaitu: (1) Instrumen hukum yang mengaturperencanaan hutan dalam hal ini PP No. 31 Tahun 1971 tentangPerencanaan Hutan baru dikeluarkan setahun setelah kegiataneksploitasi sumber daya hutan berlangsung melalui pemberiankonsesi HPH dan HPHH. Jadi, secara jelas dapat diketahui bahwakebijakan pengusahaan hutan seperti dimaksud UU Kehutanan1967 tidak dilandasi dengan kebijakan perencanaan pengelolaansumber daya hutan; (2) Instrumen hukum yang mengatur perlin-dungan hutan in casu PP No. 28 Tahun 1985 tentang PerlindunganHutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasi pemegangHPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya.Jadi, pelaksanaan kebijakan pengusahaan hutan seperti yangdimaksud UU Kehutanan 1967 selama lebih dari 15 tahun tanpadidukung dengan instrumen hukum yang mengatur perlindunganhutan. Karena itu, secara mudah dapat diprediksi dan dipahamijika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara takterkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH, dankonsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berke-sinambungan mengalami degradasi kuantitas maupun kualitas daritahun ke tahun.

Selain kejanggalan dari fenomena yuridis dalam konteksproduk hukum yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru untukmendukung kebijakan pengusahaan hutan di Indonesia, makasecara ideologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yagberbentuk undang-undang mencerminkan ideologi pengelolaanhutan yang berbasis Negara (State-based Forest Management), yangkemudian diinterpretasikan secara tunggal dan sempit atau

Page 18: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

52 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

dianalogikan pemerintah sebagai pengelolaan hutan yang berbasisPemerintah (Government-based Forest Management). Karena itu,peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan hukumnegara (State Law) di bidang pengelolaan sumber daya hutan yangdiproduk selama pemerintahan Orde Baru, termasuk yang menyusulkemudian PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan TanamanIndustri (HP-HTI), sarat dengan penonjolan peran dan kekuasaanpemerintah dalam menentukan kebijakan dan implementasikebijakan pengelolaan sumber daya hutan. Instrumen hukumpengelolaan hutan yang diproduk pemerintah juga lebih merupa-kan hukum pemerintah (Government Law), atau lebih konkrit lebihmerupakan hukum birokrasi (Bureaucratic Law), bukan hukumnegara (State Law) seperti yang diamanatkan menurut UUD 1945.

Dalam hubungan in, hukum pemerintah atau hukum birokratikcenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian,penggusuran, dan bahkan pembekuan akses serta hak-hak masya-rakat lokal atas sumber daya hutan. Model produk hukum sepertidigambarkan di atas dikenal sebagai produk hukum yang bercorakrepresif (Represive Law) seperti dimaksud Nonnet & Selznick (1978).

Kendatipun era pemerintahan Orde Baru telah berakhirkarena tergilas arus gerakan reformasi yang mencapai klimaks padabulan Mei 1998, yang ditandai dengan lengsernya Soeharto darisinggasana kepresidenan setelah lebih dari 30 tahun lamanyamenguasai dan mengendalikan pemerintahan negara, ternyatadapat dicermati bahwa fenomena hukum pengelolaan sumber dayahutan yang diproduk pada era Orde Reformasi di bawah pe-merintahan Bacharuddin Jusuf Habibie secara ideologis tidakmengalami perubahan. Produk hukum dalam bentuk PP No. 6Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan HasilHutan Produksi mengandung muatan jiwa, semangat, dansubstansi yang secara prinsip tidak berbeda dengan PP No. 21Tahun 1970 tentang HPH dan HPHH, alias tidak mencerminkanjiwa dan semangat serta cita-cita gerakan reformasi.

Lebih ironis lagi, produk hukum hasil karya lembaga legislatifdan eksekutif pada era reformasi dalam bentuk UU No. 41 Tahun1999 tentang Kehutanan secara ideologis dan substansial tidakberbeda alias sama dan sebangun dengan UU No. 5 Tahun 1967

Page 19: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 53

sebagai produk hukum kehutanan pada era pemerintahan OrdeBaru. Instrumen hukum seperti ini dapat diibaratkan sebagaisebuah karya musik yang dikemas dalam kaset atau CD baru, tetapidi dalamnya berisi serangkaian lagu-lagu lama (the old songs) yangdisajikan dan dikemas dengan aransemen musik yang telah di-modifikasi sesuai dengan selera produsernya.

PenutupDari paparan di atas muncul pertanyaan, apakah pemerintah

akan terus mempertahankan manajemen pembangunan yangberbasis negara, bercorak sentralistik, dan semata-mataberorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sampai kawasan hutantropis Indonesia yang masih tersisa menjadi terdegradasi secarakeseluruhan? Kalau jawabannya tidak, maka tidak ada pilihan lainbagi pemerintah kecuali segera mengkaji ulang (review) danmengganti ideologi pembangunan yang berbasis pemerintah (gov-ernment-based forest management) ke pembangunan sumber dayahutan yang berbasis masyarakat (community-based forest manage-ment). Selain itu, pemerintah juga harus melakukan kajian ulangdan restrukturisasi atas pilihan instrumen hukum yang dibangundan diimplementasikan untuk mendukung pelaksanaan kebijakanpengelolaan sumber daya hutan, dari bangunan hukum penge-lolaan sumber daya hutan yang lebih bercorak represif (represivelaw) ke instrumen hukum yang lebih bersifat responsif (responsivelaw).

Kronologi sejarah hukum pengelolaan sumber daya hutan yangdiberlakukan pada masa Hindia Belanda sampai paska ke-merdekaan Indonesia menjadi relevan dan krusial untuk dikaji dandipahami secara kritis, sehingga dapat diperoleh pemahaman yangkomprehensif mengenai pengalaman pemerintah dalam mem-bangun instrumen hukum pengelolaan hutan dari masa ke masa,serta implikasi ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya dariimplementasi instrumen hukum tersebut (Peluso, 1990, 1992; Fox,1990, Poffenberger, 1990).

Secara substansial, dengan mengkaji instrument-instrumenhukum kehutanan yang diproduk dan diimplementasikan

Page 20: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

54 Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 - 55

pemerintah dari masa kolonial dampai ke masa pasca kemerdekaandapat diperoleh bahan-bahan (substansi) hukum yang relevan danbermakna, sebagai masukan yang konstruktif untuk merumuskandan membentuk instrumen hukum pengelolaan sumber daya hutanyang lebih akomodatif dan rensponsif dengan dinamika pe-ngelolaan sumber daya hutan pada masa kini.

DAFTAR PUSTAKA

Barber, Charles V., 1989, “The state, The Environment, andDevelopment : The Genesis and Transformation of SocialForestry Policy in New Order Indonesia”, unpublishedDoctoral Dissertation, University of California, USA.

Bodley, Jhon H., 1982, Victims of Progress, Mayfield PublishingCompany, California.

Departemen Kehutanan, 1986, Sejarah Kehutanan Indonesia I(Periode Prasejarah Tahun 1942), Departemen Kehutanan,Jakarta.

Departemen Kehutanan, 1986, Sejarah Kehutanan Indonesia II-III(Periode Tahun 1942 - 1983), Departemen Kehutanan, Jakarta.

Fox, Jefferson, 1990, “DiagnosticTools for Social Forestry”, dalamMark Poffenberger (Ed), Keepers of The Forest, LandManagement Alternatives in Southeast Asia, Ateneo de ManilaUniversity Press, pp. 119-133.

Gillis, Malcolm, 1988, “Indonesia : Public Policies, ResourceManagement, and The Tropical Forest”, dalam RobertReppeto & Malcolm Gillis (Eds), Public Policies and TheMisuse of Forest Resources, Cambridge University Press, NewYork, pp. 43-105.

Nonnet, Philippe & Philip Selznick,1978, Law and Society inTransition, Toward Responsive Law, Harper & Row Publisher,London.

Peluso, Nancy Lee, 1990, “A History of State Forest Management inJava”, dalam Mark Poffenberger (Ed), Keepers of The Forest,

Page 21: Dr. I Nyoman Nurjaya, SH., MHum. Fakultas Hukum dan ...

Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indoensia (I Nyoman Nurjaya) 55

Land Management Alternatives in Southeast Asia, Ateneo deManila University Press, pp. 27-55.

Peluso, Nancy Lee, 1992, Rich Forest, Poor People : Resource Controland Resistance in Java, University of California Press atBarkeley, USA.

Poffenberger, Mark, 1990, “Introduction”, dalam Mark Poffenberger(Ed), Keepers of The Forest, Land Management Alternatives inSoutheast Asia, Ateneo de Manila University Press, pp. 3-5.

Repetto, Robert, 1988, “Overview”, dalam Robert Repppetto &Malcolm Gillis (Eds), Public Policies and The Misuse of ForestResources, Cambridge University Press, New York, pp. 1-42.

Simon, Hasanu, 1993, Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematikadan Strategi Pemecahannya, Aditya Media, Yogyakarta.

Simon, Hasanu, 1999, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat(Cooperative Forest Management), Teori dan Aplikasi padaHutan Jati di Jawa, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Soepardi, R., 1974, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, Vol. 1-Perum Perhutani, Jakarta.

Zerner, Charles, 1990, “Legal Optionsfor The Indonesian ForestrySector”, Field Document No. VI-4 FAO The United Nation