Top Banner
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang pada saat ini paling sering terjadi. Frekuensi kejadian penyakit diabetes melitus sesungguhnya sulit diperoleh karena perbedaan standar diagnosis, tetapi mungkin antara 1 sampai 2 persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosisnya. Penyakit ini ditandai oleh kelainan metabolik dan komplikasi jangka panjang yang melibatkan mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Harisson, 2000). Neofrati diabetikum (ND) merupakan sebuah sindroma klinis yang ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg / d atau > 200 mcg / min) yang dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturut-turut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG), dan peningkatan tekanan daerah arterial (Soman S. dkk 2005). Pada tahun 1998, diperkirakan terdapat + 45.000 penderita diabetes mellitus (DM) di Surabaya (KMS) yang berpenduduk + 3,5 juta, minimal 3 juta penderita di Indonesia, dan + 140 juta penderita di dunia (Askandar Tjokroprawiro, 1998). Menurut laporan Askandar Tjokroprawiro (1993) dari 2300 penderita DM rawat jalan
40

dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Dec 12, 2015

Download

Documents

hani akbar

kedokteran
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan penyakit endokrin yang pada saat ini paling

sering terjadi. Frekuensi kejadian penyakit diabetes melitus sesungguhnya sulit

diperoleh karena perbedaan standar diagnosis, tetapi mungkin antara 1 sampai 2

persen jika hiperglikemi puasa merupakan kriteria diagnosisnya. Penyakit ini

ditandai oleh kelainan metabolik dan komplikasi jangka panjang yang melibatkan

mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Harisson, 2000).

Neofrati diabetikum (ND) merupakan sebuah sindroma klinis yang

ditandai dengan albuminuria persisten (> 300 mg / d atau > 200 mcg / min) yang

dikonfirmasi sedikitnya 2 kali berturut-turut dalam 3-6 bulan terpisah, adanya

penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG), dan peningkatan tekanan daerah arterial

(Soman S. dkk 2005).

Pada tahun 1998, diperkirakan terdapat + 45.000 penderita diabetes

mellitus (DM) di Surabaya (KMS) yang berpenduduk + 3,5 juta, minimal 3 juta

penderita di Indonesia, dan + 140 juta penderita di dunia (Askandar

Tjokroprawiro, 1998). Menurut laporan Askandar Tjokroprawiro (1993) dari 2300

penderita DM rawat jalan (menurut kriteria Surabaya 1986), terdapat prevalensi

nefropati diabetik (ND) sebesar 5,7% hipertensi 12,1 %, dan penyakit jantung

koroner 10,0%.

Prevalensi nefropati diabetik di luar negeri (Deckert 1991) berkisar antara

3-16%. Pandangan baru patogenesis nefropati diabetik melibatkan 8 faktor yang

penting, yaitu hiperglikemia, hipertensi, lolosnya muatan negatif GBM, radikal

bebas, TxB2, sitokin (ET, VPFI, A-II, TGF-B, PDGF), glycated albumin, dan

plasminogen.

Di benua Asia saat ini tengah dilanda epidemik diabetes melitus tipe-2

atau Diabetes Melitus Tak Tergantrung Insulin (DM tipe 2). Hal ini disebabkan

meningkatnya populasi berusia lanjut, prevalensi obesitas, dan perubahan gaya

hidup. IDF mengestimasi sekitar 177 juta orang di seluruh dunia dijangkiti

Page 2: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

penyakit ini, dan yang terbanyak adalah tipe 2. Sedangkan, WHO menduga data

tersebut masih meningkat menjadi 300 juta orang dalam 25 tahun ke depan.

Menurut Studi Prevalensi Mikroalbuminuria (MAPS) di Asia, hampir 60

persen penderita hipertensi diabetik tipe-2 menderita nefropati diabetik (dengan

18,8 persen makroalbuminuria dan 39,8 persen mikroalbuminuria). Data tersebut

dipresentasikan pada kongres ke 18 Federasi Diabetes Internasional (IDF – 26

Agustus 2003) di Paris, Perancis.

Hiperglikemia dan hipertensi merupakan 2 faktor penyebab utama

nefropati diabetik. Oleh karena itu, regulasi diabetes dan obat hipotensif akan

memegang peranan yang sangat penting dalam terapi nefropati diabetik.

Page 3: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan

peningkatan kadar gula darah akibat kekurangan sekresi insulin, atau fungsi

insulin, ataupun keduanya. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas,

yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah agar tetap

normal. Insulin berfungsi untuk memasukkan gula dari dalam otot ke dalam

jaringan sehingga tubuh dapat menghasilkan energi.

Menurut WHO (World Health Organization), diabetes merupakan penyakit

kronis, yang terjadi apabila pankreas tidak menghasilkan insulin yang adekuat,

atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang

diproduksinya. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi glukosa

dalam darah yang dikenal dengan istilah hiperglikemia.

Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) pada tahun 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki

kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada waktu 2 jam selepas makan

(postprandial) >200 mg/dL. Kadar gula darah bervariasi pada setiap individu

setiap hari dimana kandungan gula darah akan meningkat jumlahnya setelah

individu tersebut makan dan akan kembali normal dalam waktu 2 jam setelah

makan. Pada keadaan normal, lebih kurang 50% glukosa dari makanan yang

dimakan akan mengalami metabolisme sempurna menjadi karbon dioksida (CO2)

dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak.

Semua proses metabolik terganggu pada penderita diabetes melitus akibat

defisiensi insulin. Penyerapan glukosa ke dalam sel menurun dan metabolismenya

terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam

sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia.

Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula

darah adalah 180 mg% di dalam tubuh sehingga, bila terjadi hiperglikemi maka

ginjal tidak dapat menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah.

Page 4: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar apabila

konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, akibatnya glukosa tersebut

diekskresikan melalui urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai dengan

pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut dengan

diuresis osmotik. Akibat hal ini, penderita akan mengalami peningkatan dalam

berkemih (poliuria) dan sering merasa haus (polidipsi).

2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) dan yang

sesuai anjuran Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:

A. Diabetes melitus tipe 1: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)

Diabetes melitus tipe 1 adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan

insulin karena sel-sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.

Kondisi ini menyebabkan tubuh kekurangan insulin. Glukosa yang berasal

dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam

darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).

Diabetes tipe 1 lebih cenderung terjadi pada usia muda, biasanya sebelum

usia 30 tahun. Pasien dengan diabetes tipe 1 harus bergantung pada insulin

dan pengambilan obat diet kontrol.

B. Diabetes melitus tipe 2: Diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non

Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM])

DM tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin

(resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin.

Resistensi insulin adalah berkurangnya kemampuan insulin untuk

merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati. Dalam hal ini, sel tidak mampu

mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, sehingga terjadi defisiensi

relatif insulin. Kondisi ini menyebabkan sel mengalami desensitisasi

terhadap glukosa.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya

glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.

Page 5: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat

sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada

tingkat yang normal. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi

peningkatan kebutuhan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan

terjadi diabetes tipe 2.

C. Diabetes Melitus Gestasional (GDM)

Diabetes Melitus Gestasional adalah intoleransi glukosa yang terjadi

pada saat kehamilan. Diabetes ini terjadi pada perempuan yang tidak

menderita diabetes sebelum kehamilannya. Hiperglikemi terjadi selama

kehamilan akibat sekresi hormon-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi,

kadar glukosa darah pada perempuan yang menderita diabetes gestasional

akan kembali normal. Anak-anak dari ibu dengan GDM memiliki risiko lebih

besar mengalami obesitas dan diabetes pada usia dewasa muda.

2.3 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi (menyebabkan

terjadinya penyakit lain) paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah

yang tinggi secara terus menerus, sehingga mengakibatkan kerusakan pembuluh

darah, saraf dan struktur internal lainnya di dalam tubuh. Zat kompleks yang

terdiri dari glukosa di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh

darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah

akan berkurang, terutama yang menuju kulit dan saraf.

2.4 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi sistemik diabetes berhubungan dengan deposisi advanced

glycation endproducts (AGE) pada berbagai jaringan terutama sistem

vaskularisasi dan sistem saraf perifer. Perubahan sistem vaskularisasi meliputi

angiopati dan pembentukan atheroma. Perubahan mikroskopis antara lain deposisi

lipida, proliferasi endotel dan pembesaran tunika intima kapiler di seluruh tubuh.

Perubahan makropatologis dapat diamati pada sistem sirkulasi secara esensial

dan berkaitan dengan pembentukan atheroma (atherosklerosis). Atheroma

Page 6: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

dihasilkan dari deposisi AGE dan LDL yang berkonsekuensi menimbulkan

kalsifikasi berbagai arteri di dalam tubuh. Atheroma mengakibatkan sirkulasi yang

buruk dan bertanggungjawab atas ulserasi dan gangren pada ekstremitas bawah.

Komplikasi paling parah atheroma adalah adanya miokard infark, hipertensi,

stroke, insufisiensi koroner dan gagal ginjal.

Komplikasi mikrovaskuler yang terjadi melalui akibat DM adalah retinopati

(yang mungkin menyebabkan kebutaan), nefropati (mungkin menyebabkan gagal

ginjal) dan neuropati. Neuropati diabetik berkaitan dengan hiperglikemia dan hal

tersebut terjadi karena meningkatnya absorpsi glukosa oleh sel-sel Schwann.

Beberapa manifestasi klinis yang berhubungan dengan neuropati antara lain nyeri

terbakar, dan rasa baal terutama pada ekstremitas tubuh, kelemahan otot, dan

timbulnya parestesi pada rongga mulut Retina dan mikrosirkulasi glomerulus

ginjal adalah organ yang paling terpengaruh. Retinopati diabetik merupakan

penemuan umum pada pasien diabetes tipe 1 dan kurang terlihat pada pasien

diabetes tipe 2.

Nefropati diabetes adalah penyebab utama pasien diabetes tipe 1 akibat gagal

ginjal. Pasien diabetes tipe 2 juga dapat mengalami penyakit ginjal akan tetapi

prevalensinya lebih rendah.

2.5 Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput

penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring

(glomerolus). Setiap unit penyaring memiliki membran / selaput penyaring. Kadar

gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini.

2.6 Gambaran Histologi Nefropati Diabetik

Perubahan utama pada golmerulopati diabetes adalah peningkatan material

ekstraseluler. Abnormalitas nefrologik paling awal pada ND adalah adanya

penebalan dari membran basalis glomerolus (MBG) dan perluasan dari

mesangium akibat penumpukan dari matriks ekstraseluler. Pada gambaran

mikroskop cahaya menunjukkan adanya peningkatan ruang solid dari lempeng,

Page 7: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

sering diketahui sebagai percabangan kasar dari material padat (reaksi positif dari

periodic – acid Schiff) yang juga disebut dengan glomerolupati diabetes difus.

Penumpukan aseluler yang banyak diketahui juga pada daerah tersebut. pada

daerah tersebut juga terdapat bagian sirkular yang diketahui sebagai lesi atau

nodul Kimmelstiel – Wilson.

Ukuran glomerolus dan ginjal pada awalnya normal atau meningkat, hal

tersebut inilah yang membedakan antara ND dengan kebanyakan bentuk defisiensi

renal lainnya. Dimana ukuran ginjal berkurang (kecuali amilodisis ginjal dan

penyakit ginjal polikistik). Mikroskop imunoflueresen mungkin bisa menemukan

deposisi dari imunoglobin G disekitar MBG dalam pola yang linear, tetapi hal ini

tidak mempunyai nilai diagnostik maupun imunopatogenik. Deposit imun tidak

dapat diketahui. Secara khas ditemukannya adanya bukti adanya atherosklerosis

pembuluh darah ginjal, dan biasanya disertai hiperlipidemia dan arteriosklerosis

hipertensi.

Mikroskop elektron dapat menyediakan definisi secara lebih detail dari

struktur-struktur yang terlibat. Daerah mesangial menempati proporsi yang lebih

besar dari lempeng jika penyakit berkembang lebih lanjut, dimana isinya adalah

matriks yang prominen. Lebih lanjut, membran basalis pada dinding kapiler

(misalnya pada membran basalis perifer) menjadi lebih tebal dari normal. Derajat

keparahan dari ND dapat diprediksi dari ketebalan membran basalis perifer dan

mesangium serta matriks yang digambarkan sebagai fraksi dari ruang yang sesuai

(misalnya fraksi volume dari mesangium / glomerolus, matriks / mesangium atau

matriks / glomerulus).

Tiga perubahan histologik utama terjadi dalam golmerulus seseorang

dengan ND. Pertama, perluasan mesangial secara langsung dipicu oleh adanya

hiperglikemia, mungkin melalui peningkatan produksi matriks atau glikosilasi dari

protein matriks. Kedua, adanya penebalan MBG. Ketiga, sklerosis glomerular

yang disebabkan oleh hipertensi intraglomerulus (dipicu oleh vasodilatasi renal

atau dari injuri iskemik yang dipicu oleh penyempitan hialin dari pembuluh darah

yang mensuplai darah ke glomerulus). Perbedaan pola histologis tersebut secara

signifikan tampak mempunyai nilai prognosis yang sama.

Page 8: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Bukti ilmiah dari penyebab ND belum diketahui, tetapi dari beberapa

postulasi diduga mekanismenya berasal dari hiperglikemia (menyebabkan

hiperfiltrasi dan injuri renal), terus dihasilkannya produk glikosilasi, dan aktivasi

sitokin. Hipergilkemia meningkatkan transformasi growth factor – beta (TGF

beta) dalam glomerulus dan protein matriks yang secara khusus dipicu oleh sitkon

ini. TGF-beta mungkin juga berperan terhadap adanya hipertrofi seluler maupun

berlanjutnya sintesis kolagen yang diketahui pada seseorang dengan ND.

Hiperglikemia mungkin juga dapat mengaktivasi protein kinase C, yang

dapat berperan terhadap penyakit ginjal dan komplikasi vaskular lainnya.

Selanjutnya adanya penurunan hemodinamik ginjal, pasien-pasien dengan ND

(proteinuria dan penurunan LFG) secara umum berlanjut menjadi hipertensi

sistemik. Hipertensi merupakan efek samping yang merugikan pada hampir semua

penyakit ginjal progesif dan terutama pada ND. Efek merusak dari hipertensi

secara langsung adalah pada vaskular dan mikrovaskular. Keturunan atau

mungkin faktor genetik dapat juga berperan. Pada kelompok etnik tertentu,

terutama Afro-Amerika, keturunan spanyol (hispanic), dan suku India,

mempunyai predisposisi untuk menderita penyakit ginjal akibat komplikasi dari

diabetes (Soman, S.dkk. 2005).

2.7 Patogenesis Nefropati Diabetik

Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat

diterangkan dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik dan

hemodinamik berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada

jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya nefropati adalah terjadinya proses

hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomeruli. Gambaran histologi jaringan

pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal glomerulus, ekspansi

mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis

arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial. Tampaknya berbagai

faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang

menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik

merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan

nefropati. Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur:

Page 9: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

a. Alur metabolik (metabolic pathway): Faktor metabolik diawali dengan

hiperglikemia, glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan

asam amino bebas menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-

products). Peningkatan AGE’s akan menimbulkan kerusakan pada

glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi jalur poliol, dan aktivasi protein

kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway) terjadi peningkatan sorbitol

dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim

aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan berkurangnya

kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran basal.

Gambar 1. Mekanisme poliol pathway

Penjelasan: Aldose reduktase adalah enzim utama pada jalur polyol, yang

merupakan sitosolik monomerik oxidoreduktase yang mengkatalisa

NADPH-dependent reduction dari senyawa karbon, termasuk glukosa.

Aldose reduktase mereduksi aldehid yang dihasilkan oleh ROS (Reactive

Oxygen Species) menjadi inaktif alkohol serta mengubah glukosa menjadi

sorbitol dengan menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Pada sel,

aktivitas aldose reduktase cukup untuk mengurangi glutathione (GSH)

Page 10: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

yang merupakan tambahan stres oksidatif. Sorbitol dehydrogenase

berfungsi untuk mengoksidasi sorbitol menjadi fruktosa menggunakan

NAD – sebagai kofaktor

Gambar 2. Mekanisme AGE – pathway

Penjelasan: mekanisme melalui produksi intracelular prekursor AGE

(Advanced Glycation End-Product) menyebabkan kerusakan pembuluh

darah. Perubahan ikatan kovalen protein intraseluler oleh prekursor

dicarbonyl AGE akan menyebabkan perubahan pada fungsi selular.

Sedangkan adanya perubahan pada matriks protein ekstraseluler

mengakibatkan interaksi abnormal dengan matriks protein yang lain dan

dengan integrin. Perubahan plasma protein oleh prekursor AGE

membentuk rantai yang akan berikatan dengan reseptor AGE, kemudian

menginduksi perubahan pada ekspresi gen pada sel endotel, sel mesangial,

dan makrofag.

Page 11: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Gambar 3. Mekanisme protein kinase C

Penjelasan: keadaan hiperglikemi menyebabkan peningkatan DAG

(Diacylglicerol), yang selanjutnya mengaktivasi protein kinase C,

utamanya pada isoform β dan δ. Aktifasi PKC menyebabkan beberapa

akibat patogenik melalui pengaruhnya terhadap endothelial nitric oxide

synthetase (eNOS), endotelin-1 (ET-1), vascular endothelial growth factor

(VEGF), transforming growth factor- β (TGEF- β) dan plasminogen

activator inhibitor-1 (PAI-1), dan aktifasi NF-kB dan NAD(P) H oxidase.

Page 12: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Gambar 4. Mekanisme hexosamin pathway

Penjelasan: glycolytic intermediate fructose-6-phosphate (Fruc-6-P)

dirubah menjadi glucosamine-6-phosphate oleh enzim glutamin: fructose-

6-phosphate amidotransferase (GFAT). Glikosilasi intraseluler oleh N-

acethylglucosamine (GIcNAC) menjadi serin dan theorenin yang dikalisasi

oleh enzim O-GicNAc transferase (OGT). Peningkatan donasi GicNAC

pada residu serin dan threonine dari faktor transkripsi seperti Sp1, yang

biasanya terjadi pada tempat fosforilasi akan menyebabkan peningkatan

produksi fakor seperti PAI-1 dan TGF-β1, AZA,azaserine; AS-GFAT,

antisense GFAT.

b. Alur Hemodinamik : Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada

penderita DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan

pada sel endotel pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan

peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga

berperan dalam perjalanan ND. Angiotensin II berperan baik secara

hemodinamik maupun non-hemodinamik. Peranan tersebut antara lain

merangsang vasokontriksi sistemik, meningkatkan tahanan kapiler arteriol

glomerulus, pengurangan luas permukaan filtrasi, stimulasi protein matriks

ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang bersifat fibrogenik.

Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin, aktivitas

faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya

gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada

Page 13: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih

banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT.

Peran hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih

kontroversial, terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini

hipertensi dapat dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes

ditegakkan. Hipotesis mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan

langsung dengan terjadinya nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah

GGT pada penderita yang sudah mengalami diabetik kidney disease.

Dari kedua faktor diatas maka akan terjadi peningkatan TGF beta yang

akan menyebabkan proteinuria melalui peningkatan permeabilitas vaskuler.

TGF beta juga akan meningkatkan akumulasi ektraceluler matrik yang

berperan dalam terjadinya ND.

Peran angiotensin II dalam nefropati diabetik:

1. Vasokonstriksi sistemik

2. Peningkatan tahanan arteriol glomerulus

3. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus

4. Peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus

5. Penurunan luas permukaan filtrasi

6. Stimulasi protein matriks ekstraseluler

7. Stimulasi faktor fibrogenik

2.8 Manifestasi Klinis Nefropati Diabetik

Pada DM tipe 1, stadium awal dan stadium nefropatik insipien pasien

dalam keadaan asimtomatik. Bila fungsi ginjal memburuk pasien akan mengalami

bermacam-macam gejala yang disebabkan oleh beberapa organ. Hampir semua

organ tubuh akan menderita akibat akumulasi sisa-sisa metabolik di dalam darah.

Kondisi toksik ini biasanya disebut uremia.

Gejala-gejala gastrointestinal yang disebabkan oleh uremia adalah

anoreksia, nausea, hiccup dan muntah. Retensi cairan pada mulanya akan

menyebabkan berat badan bertambah dan bilamana tidak diobati akan

menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema paru.

Page 14: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Gangguan neurovaskular sering didapat, seperti gangguan konsentrasi,

gangguan kesadaran dan perilaku dan yang lebih berat dapat mengalami kejang

dan koma. Ketidak mampuan ginjal untuk mensitesa eritropoetin dapat

menyebabkan anemia dan kelelahan. Nefropati diabetik yang sebenarnya, sering

juga terjadi pada DM tipe 2 tetapi sebelum stadium ini terjadi, pasien lebih sering

sudah meninggal karena gangguan kardiovaskuler, sebelum mencapai gagal ginjal

terminal (Soegondo, Sidartawan, dkk. 1995).

2.9 Prediktor Nefropati Diabetik

Selama dekade ini banyak usaha dilakukan untuk melakukan identifikasi

kelompok pasien yang dikemudian hari akan mengalami nefropati diabetik dan

akan mendapat manfaat bila dilakukan terapi dini.

Prediktor yang sampai saat ini telah diteliti adalah : Mikroalbuminuria,

hiperfiltrasi, hipertensi dan kontrol glukosa darah yang buruk. Prediktor ini masih

belum baku dan masih memerlukan banyak penelitian lanjutan. Penelitian yang

dilakukan terhadap prediktor ini sebagian besar dilakukan pada diabetes tipe I,

dan sedikit sekali pada diabetes tipe II. Kombinasi dari beberapa faktor prediksi

terjadinya nefropati akan lebih prediktif daripada satu faktor prediksi tunggal

(Askandar Tjokroprawiro, 1999).

1. Mikroalbuminuria

Mikroalbuminuria adalah prediktor yang paling banyak diteliti dan

merupakan kelainan klinis yang terjadi paling dini (kecepatan eskresi albumin

antara 30 – 300 mg / 24 jam atau 20 – 200 mikrogram / menit)

Pada DM tipe 1, mikroalbuminuria merupakan prediktor yang sangat

penting bagi progresifitas nefropati diabetik. Terdapat beberapa bukti bahwa

mikroalbuminuria memprediksi proteinuria klinis dan peningkatan angka

kematian pada DM tipe 2, walaupun korelasi belum terbukti benar sehingga masih

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memantapkan reabilitas mikroalbuminuria

sebagai petanda tunggal untuk nefropati diabetik klinis bagi DM tipe 2.

Mikroalbuminuria telah dilaporkan sebagai prediktor terjadinya proteinuria klinis

pada 22% pasien DM tipe 2, dibandingkan dengan 87,5% pada DM tipe 1. Pada

Page 15: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

DM tipe 2, proteinuria walaupun pada stadium mikroalbuminuria pun sudah

merupakan prediktor mortalitas yang kuat. “Survival rate” 10 tahun untuk pasien

dengan mikroalbuminuria pada saat penelitian dilaksanakan adalah 22,4%,

sedangkan 57,3% dari pasien yang tidak terdapat mikroalbuminuria masih hidup

pada saat itu. Sebagian besar kematian disebabkan oleh kelainan kardiovaskuler

dan hanya 5% yang meninggal karena uremia. Mikroalbuminuria pada DM tipe 2

sudah dapat ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan, sedangkan pada DM tipe 1

baru sesudah 10 – 15 tahun kemudian.

Mogensen, memakai kombinasi mikroalbuminuria dengan peningkatan

GFR (lebih dari 150 ml / menit) dan hipertensi (tekanan diastolik lebih dari 90

mmHg) sebagai indeks prediktif bagi pasien DM tipe 2.

2. Hiperfiltrasi

Hiperfiltrasi biasanya banyak didapat pada waktu diagnosis ditegakkan

dan mempunyai pengaruh yang penting pada patogenesis nefropati diabetik.

Tetapi, tidak semua pasien dengan hiperfiltrasi berkembang menjadi nefropati

diabetik sehingga prediktor ini jangan digunakan sendiri. Selby, menyatakan

bahwa nilai prediktif pada pasien DM tipe 2 tidak meyakinkan karena terutama

pada orang tua dengan DM tipe 2 ekskresi albumin abnormal melalui urin dapat

terjadi tanpa diabetes sehingga skrining pada pasien seperti ini tidak dianjurkan.

3. Hipertensi

Pada DM tipe 2 tekanan darah sering sudah meningkat pada waktu

diagnosis ditegakkan. Hipertensi yang sudah terjadi pada saat ini tidak merupakan

suatu prediktor untuk terjadinya nefropati seperti yang didapat pada penelitian

cohort pada DM tipe 2 di Rochester, tetapi sebaliknya penelitian pada suku Indian

Pima hipertensi dilaporkan, dapat merupakan faktor prediksi terjadinya nefropati.

Setelah terjadi mikro-albuminuria tingginya tekanan darah dan kecepatan ekskresi

albumin untuk DM tipe 1 dan DM tipe 2 hampir sama. Tingginya tekanan darah

merupakan prediktor progresivitas terjadinya nefropati klinis pada pasien DM tipe

1 dengan menurunkan tekanan darah mikroalbuminuria juga akan mengalami

penurunan secara nyata. Pada seseorang dengan diabetes yang sebelumnya

normotensif dan kemudian menderita hipertensi, dapat merupakan tanda

Page 16: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

permulaan kelainan ginjal padanya. Penurunan tekanan darah sesudah keadaan ini

merupakan usaha yang terpenting untuk mencegah terjadinya kemunduran fungsi

ginjal. Pada pasien dengan tekanan diastolik 90 mmHg didapat proteinuria yang

persisten 2,5 kali lebih sering daripada mereka dengan tekanan diastolik 70

mmHg.

4. Hiperglikemi

Hipergilkemia juga merupakan faktor risiko terjadinya nefropati diabetik

pada DM tipe 1 yang terbukti dengan penelitian-penelitian, sedang pad DM tipe 2

bukti-bukti penelitian sangat sedikit. Dalam penelitian epidemiologi secara

longitudinal kontrol kadar glukosa darah yang buruk merupakan prediktor

terjadinya nefropati diabetik secara klinis baik pada DM tipe 2 maupun DM tipe

1. Bila sudah terjadi nefropati diabetik secara klinis kontrol glukosa darah tidak

akan efektif memperbaiki albuminuria atau mencegah penurunan GFR menjadi

gagal ginjal terminal.

Pada Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang dilakukan di

Amerika utara selama 10 tahun sejak 1982 pada 1441 pasien DM tipe 1, berumur

antara 13 dan 39 tahun, dengan lama penelitian antara 3-9 tahun, baru selesai

dilaporkan pada bulan Juni 1993, telah dibuktikan bahwa kontrol glukosa darah

yang baik akan mencegah dan mengurangi komplikasi diabetes, termasuk

nefropati (35 – 50%). Penelitian ini dilakukan khusus pada pasien dengan DM

tipe 1 sehingga perlu penyesuaian khusus untuk pasien DM tipe 2 karena rasio

benefit-risiko tidak sebaik bila dibandingkan DM tipe 1.

2.10 Diagnosis Nefropati Diabetik

Setiap pasien diabetes dengan proteinuria dan peningkatan kreatinin serum

harus dilakukan evaluasi yang teliti untuk mengeliminasi sebab lain terjadinya

gagal ginjal. Nefropati diabetes tidak akan terjadi tanpa retinopati. Jadi bila pada

pemeriksaan oleh dokter spesialis mata tidak ditemui adanya kelainan ini, maka

perlu dicari sebab lain dari gagal ginjal. Demikian pula dengan proteinuria, tanpa

keberadaannya, diagnosis tidak dapat dibuat.

Page 17: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Terdapat beberapa cara untuk melakukan penyaringan mikro-albuminuria.

Cara yang mudah dan dapat dipertanggung jawabkan adalah dengan memeriksa

albumin dalam urin pertama pada pagi hari. Kadar albumin pada keadaan ini

cukup menggambarkan kecepatan eksresi seperti pada ekskresi semalam

(overnight). Tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa rasio albumin dan

kreatinin lebih baik daripada pemeriksaan urin pagi hari. Memang pemeriksaan

rasio akan mengurangi faktor jumlah urin, tetapi biasanya jumlah urin malam hari

tidak banyak dan biasanya konstan.

Seseorang dikatakan sebagai proteinuria positif bila kadar protein dalam

urin adalah lebih dari 300 mg/hari dan dikatakan sebagai mikroalbuminuria positif

bila kadar protein / albumin 30-300 mg/24 jam atau 20-200 ug/menit

Diagnosis PGK mengacu pada kriteria K/DOQI didasarkan atas 2 kriteria,

yaitu:

1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau

tanpa penurunan penurunan laju filtrasi glomerolus berdasarkan kelainan patologik

atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada komposisi darah atau urin atau

kelainan pada pemeriksaan pencitraan.

2. Laju filtrasi glomerolus < 60 ml/min/1,73 m3 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal. PGK diklasifikasikan berdasarkan oleh laju filtrasi glomerolus,

yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerolus yang

lebih rendah, berdasarkan ada atau tidaknya penyakit ginjal.

2.11 Klasifikasi Nefropati Diabetik

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada diabetes mellitus oleh

Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Soman, S. dkk. 2005).

Tahap 1

Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi

glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Pada tahap ini LFG

meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran

ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih

Page 18: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

reversible dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan.

Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun

struktur ginjal akan normal kembali.

Tahap 2

Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, terjadi setelah 5 -10 tahun

diagnosis DM tegak, laju filtrasi glomerulus (LFG) tetap meningkat, eksresi

albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Albuminuria hanya akan meningkat

setelah latihan jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.

Keadaan ini dapat berlangsung lama. Terdapat perubahan histologis awal berupa

penebalan membran basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan

volume mesangium fraksional (dengan peningkatan matriks mesangium). Hanya

sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan

memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (silent

stage).

Tahap 3

Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipen. Laju filtrasi

glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi

albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah

mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membran

basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.

Tahap 4

Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas,

juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering

ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10

ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya

tekanan darah.

Tahap 5

Page 19: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Timbulnya gagal ginjal terminal.

Page 20: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Natural History of Diabetic Nephropathy

Designation CharateristicsGPR

(ml/min)Albumin Excretion

Blood Pressure

Stage 1Hyperfunctio

n and Hypertrophy

Glomenular Hyperfiltration

Icreased in Type 1 and

Type 2

May be increased

Type 1 normal Type 2 normal hypertension

Stage 2

“Silent” stage Thickened BM Expanded

Mesangium

Normal Type 2 normal Type 3 may

be < 30 – 300 mh/24 hr

Type 1 normal Type 2 normal hypertension

Stage 3

Incipient Diabetes

Microalbuminuria

GPR begins to fall

30 – 300 mg/24 hr

Type 1 increased

Type 2 normal hypertension

Stage 4Overt

Diabetic Nephropathy

Macroalbuminuria

GPR below NI

> 300 mg/24 hr

Hypertension

Stage 5 Uremia ESRD 0 – 10 Decreasing Hypertension

3 Pemeriksaan Laboratorium :

Uniralisis

Pemeriksaan urinalis rutin dianjurkan untuk skrining mikroalbuminuria.

Secara khas, proteinuria hasil pemeriksaan urinalisis dari seorang

pasien dengan ND berkisar dari 150 mg/dL sampai lebih besar dari 300

mg/dL, glukosuria, dan kadang-kadang benda hialin.

Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai eksresi albumin lebih dari 20

mcg/min. Fase ini menunjukkan ND insiepien dan perlu

penatalaksanaan agresif, di mana pada stage ini penyakit ini masih

reversibel.

Pemeriksaan urin tampung 24 jam untuk ureum, kreatinin, dan protein

secara signifikan sangat berguna untuk mengukur jumlah kehilangan

protein dan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).

Pemeriksaan urin secara mikrokopis dapat membantu menyingkirkan

gambaran nefritis, yang dapat digunakan juga untuk mengingkirkan

golmerulopathi primer yang lain, terutama pada penurunan fungsi ginjal yang

Page 21: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

cepat (misalnya pada rapidly progressive glomerulonephritis).

4 Pemeriksaan Radiologis :

USG ginjal

Untuk mengetahui ukuran ginjal, yang biasanya normal sampai

meningkat pada stage awal dan lanjut, menurun atau menyusut pada

penyakit ginjal kronis.

Untuk menyingkirkan adanya sumbatan.

Memungkinkan dilakukannya pemeriksaan ekhogenisitas untuk

penyakit ginjal kronis.

5 Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan nefropati diabetik adalah yang pertama, regulasi gula

darah dapat menggunakan obat oral diabetik atau obat hipoglikemi oral dan juga

pilihan menggunakan insulin (Soegondo, Sidartawan, dkk. 1995).

Pengendalian glukosa darah

Baik pada penderita diabetes tipe 1 maupun tipe 2, hiperglikemia telah

diketahui sebagai faktor utama dari progresivitas ND.

Telah diketahui bahwa terapi intensif secara parsial dapat mencegah

hipertrofi dan hiperfiltrasi glomerulus, menunda berlanjutnya

mikroalbuminuria, dan menstabilkan bahkan menurunkan kadar

protein pada pasien-pasien dengan mikroalbuminuria.

Hasil dari resipien transplantasi pankreas di mana euglikemia

sesungguhnya tercapai menunjukkan bahwa kontrol metabolik dan

kontrol gula darah secara ketat dapat memperlambat tingkat

progresivitas injuri ginjal meskipun pada hasil pemeriksaan proteinuria

secara dipstik masih positif.

Pada penderita diabetes tipe 2, berkurangnya komplikasi

mikrovaskular pada pasien-pasien yang menerima terapi insulin secara

intensif adalah lebih kecil bila dibandingkan dengan pasien-pasien

dengan diabetes tipe 1 dalam penelitian Kontrol dan Komplikasi

Diabetes. Pada sebuah analisis outcome dan cost-effective dari United

Page 22: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Kingdom Prospective Diabetes Study, peneliti menyimpulkan bahwa

pengendalian kadar glukosa darah secara intensif pada pasien-pasien

diabetes tipe 2 secara signifikan berakibat pada peningkatan biaya

tetapi secara substansial menurunkan biaya akibat komplikasi dan

bertambahnya waktu terbebas dari komplikasi yang ditimbulkan.

Pengobatan dengan obat antihipertensi

Dilaporkan oleh Mogensen bahwa pengobatan dengan obat

antihipertensi dapat mengurangi tingkat penurunan fungsi ginjal pada

pasien-pasien dengan diabetes tipe 1, hipertensi, dan proteinuria.

Secara signifikan terutama bila penurunan tekanan darah sistemik

diikuti dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus.

Pada umumnya, terapi dengan obat antihipertensi, merupakan obat

yang diharapkan dapat memperlambat berkembangnya glomerulopathi

diabetic, meskipun demikian, ACE inhibitor diketahui lebih superior

dalam memberi proteksi jangka lama meski dibandingkan dengan

tripel terapi dengan reserpin, hidralazin, dan HCT atau CCB

(nifedipine). Selanjutnya keuntungan efek kardiovaskuler, ACE

inhibitor juga diketahui mempunyai efek menguntungkan yang

signifikan terhadap retinopathi diabetic dan perkembangan dari

retinopathi proliferatif.

ACE inhibitor diketahui dapat menunda perkembangan nefropati

diabetic. Pada panelitian terhadap ACE inhibitor, hanya 7% pasien

dengan mikroalbuminuria yang berlanjut menjadi nefropati. Efek

menguntungkan dari ACE inhibitor diabetic terhadap pencegahan

progresivitas mikroalbuminuria pada nefropati diabetic adalah

berlangsung selama 8 tahun dan berhubungan dengan preservasi LFG

yang normal.

Dampak ACE inhibitor pada pasien dengan mikroalbuminuria pada

diabetes tipe 2 juga diteliti. Pengobatan dengan ACE inhibitor selama

12 bulan secara signifikan dapat menurunkan MAP dan jumlah eksresi

albumin lewat urin pada pasien diabetes tipe 2 dengan

Page 23: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

mikroalbuminuria.

Pasien diabetes tipe 2 normotensi dengan mikroalbuminuria yang

mendapat enalapril atau placebo selama 5 tahun. Dari pasien, 12%

pasien yang sedang dalam pengobatan aktif diketahui mengalami

nefropathi diabetes, dengan tingkat poenurunan fungsi ginjal 13% dan

pasien yang menerima placebo diketahui 42% menderita nefropathi.

Obat – obat Angiotensin receptor blocking (ARB) juga dipercaya

mempunyai efek menguntungkan yang sama dengan ACE inhibitor.

Pengobatan jangka lama dengan ACE inhibitor, biasanya dikombinasi

dengan diuretic, emnurunkan tekanan darah dan albuminura dan

menjaga fungsi ginjal pada pasien – pasien dengan hipertensi, IIDM,

dan nefropathi. Efek menguntungkan pada fungsi ginjal juga

dilaporkan pada pasien dengan normotensi, IDDM, dan nefropathi.

Sebuah penelitian meta analisi melaporkan bahwa ACE inhibitor lebih

superior dibandingkan dengan beta blocker, diuretic, dan CCB dalam

menurunkan askresi albumin urin pada pasien normotensi dan

hipertensi baik pada pasien diabetes tipe 1 maupun tipe 2.

Intake diit protein : sebuah penelitian meta analisi meneliti efek

pembatasan proein (0,5 – 0,85 gram/KgBB/hari) pada pasien diabetes

diduga mempunyai egek menguntungkan terhadap LFG, kliren kreatinin,

dan albuminura. Walaupun, masih perlu dilakukan pnelitian prospekif

lebih lanjut dalam jangka waktu lama untuk mengetahui keamanan

(safety), efikasi, dan pengaruhnya dengan pembatasan protein pada pasien

dengan netropati.

Terapi spesifik : termasuk modifikasi atau pengobatan factor risiko seperti

hiperlipidmia, rokok dan hiprertensi.

Terapi pengganti ginjal (rena replacement therapies) seperti hemodialisa,

diaokisa, peritoneal, transplantasi ginjal, atau kombinasi transplantasi

ginjal – pankreas. Secara prisnsip, pasien – pasien dibtes memrlukan terapi

pengganti mempunyai 4 pilihan terapi sebagai berikut, yaitu :

Page 24: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

1. Pengehentian pengobatan uremia lebih lanjut, akiba tpenurunan

kesehatan umum secara progresif dan bahkan berakibat pada

kematian.

2. Dialysis peritoneal

3. Hemodialisa

4. Transplantasi ginjal

Pengobatan Bedah

Terapi bedah pada pasien ND biasanya terbatas pada penanganan yang

berhubungan dengan komplikasi seperti ulkus diabetes atau penyakit

vaskuler perifer.

Sebuah kreasi dini tekhnik pembedahan fitsula arteriovenosa atau graft

juga menjadi bagian penting pengobatan untuk penyakit ginjal terminal

yang berhubungan dengan ND, seperti halnya pada kebanyakan

penyakit ginjal.

Diet :

American Diabetic Association (ADA) menyarankan makanan dengan

intake kalori yang beragam (nilai kalori), tergantung pada pasien.

Dengan berlanjutnya penyakit ginjal, pembatasan protein sebanyak 0,8

– 1 gram/KgBB/hari dapat memperlambat progresivitas netropahti.

Ketika nefropathi berlanjut, diit harus menggambarkan kebutuhan

fosfor dan pembatasan natrium, dengan menggunakan pengikat fosfat.

Aktifitas : Tidak diperlukan pembatasan aktivitas bagi pasien dengan ND,

kecuali jika terdapat komplikasi diabetes sperti dihubungkan dengan

penyakit koroner atau penyakit vaskuler perifer.

Page 25: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

DAFTAR PUSTAKA

Askandar Tjokroprawiro (1993). Gigulochips (Sindrome – 110: Faktor – faktor Penentu Kualitas Pembuluh Darah (Aspek Klinik Resistensi Insulin). Pada : Simposium Cardiology Update III. Jakarta, 14 – 15 Mei 1993

Aslkandar Tjokroprawiro (1993). Diabetes Mellitus : Perkembangan Mutakhir (DM – Tipe X – LADA - “DM Tipe 11/2 – Regulasi Cepat – TKOI, GIGULOCHIPS,dll)”. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VIII Surabaya, 11 Spetember 1993, hlm 1.

Askandar Tjokroprawiro (1993). Dislipidemia – Lipid Triad (Pengelolaan Masa Kini). Simposium Dislipidemia. Surabaya, 4 Desember 1993.

Askandar Tjokroprawiro (1994), Diabetic Nephropathy. A rowing Health Care Problem. Symposium on Diabetic Nephropathy : Could we Improve the Clinical Outcomes, Surabaya, 9 May, 1994.

Askandar Tjokroprawiro (1995). penyakit Kardiovaskur – Metabolik (Peran Sindroma – 23 : Nefropati Diabetik). KOPAPDI – X Padang 23 – 27 Juni 1995.

Askandar Tjokroprawiro, Soewanto (1994). Update in Diabetic Nephropathy (Clinical Experimences in Surabaya). Symposium : The Paradigsm of Diabetic Nephropathy and Nephrocardiology in NIDDM. Bandung, 9 – 10 November 1996

Askandar Tjokroprawiro (19960. Diabetes Upadate 1996 A & B. Kapita Slekta dan Topik Khusus : Nefropati Diabrtik. SDU – I (Surabaya Diabetes Update – I). surabaya 16-17 November 1996

Askandar Tjokroprawiro (1997). GULOCH-CISAR : SYNDROME – 10. (Ten Guidindes for Healthy Life). Symposium : Challenge in the Management of Hypercholesterolemia. Surabaya, 9 March 1997.

Askandar Tjokroprawiro (1998). Obat Anti Agregasi Trombosit : Apek Klinik (Peran Cilostozal). Simposium Komlpikasi Vaskuler Diabetik Medan, 22 Maret 1998.

Askandar Tjokroprawiro (1999). Diabetes Update – 1999. Presented at : Surabaya Diabetes Update – VI. Surabaya, 13-14 November 1999.

Page 26: dm nefropati diabetikum bab 1 dan 3.doc

Anonim, Nefropathi Diabetik, www.menicastore.com/info_penyakit/detil_peny.htm,Diakses pada 1 November 2006

Bates Barbara, A Guide to Physical Examination and History Taking, Six Edition. J. B. Lippincott Company. Philadelphia. 1995.

Foster, Daniel W. Daniel W. Diabetes Mellitus dalam Harisson prinsip – prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13. Vol 5. EGC. Jakarta. 2000.

Guntur, Pedoman Diagnosis dan Terapi Protap IPD FK UNS RSUD dr. Moerwadi, SMF Ilmu Pnyakit Dalam. 2004.

Mubin Halim, Panduan Praktis Ilmu penyakit Dalam Diagnosis dan Terpai. Penerbit EGC. Jakarta. 2001.

Mansjoer Arif Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Edisi Ketiga, Penerbit Media Aesculapsius FK UI, Jakarta, 2001.

Noer Sjaifoellah, Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 1996.

Soman S, Soman A, Brosius F, et al : Diabetic nephropathy. Http // www.eMedicine.Com. 2005.

Soegondo, Sidartawan Et all. Diabetes Mellitus Penatalaksaan Terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSCM FK UI. Penerbit FK UI. Jakarta. 1995.