BAB I LAPORAN KASUS I. STATUS PENDERITA Nomor Rekam Medik : 415046 Tanggal dan Pukul Masuk RSAM : 27 Mei 2015 / 14.30 WIB I. ANAMNESIS a. Identitas Pasien Nama : An. Ch Jenis kelamin : Perempuan Umur : 10 bulan Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : Teluk Betung Nama Ayah : Tn. H Umur : 24 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Nama Ibu : Ny.D Umur : 22 tahun Pekerjaan : Ibu rumah tangga b. Riwayat Penyakit Keluhan Utama : Demam 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB ILAPORAN KASUS
I. STATUS PENDERITA
Nomor Rekam Medik : 415046
Tanggal dan Pukul Masuk RSAM : 27 Mei 2015 / 14.30 WIB
I. ANAMNESIS
a. Identitas Pasien
Nama : An. Ch
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 10 bulan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Teluk Betung
Nama Ayah : Tn. H
Umur : 24 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny.D
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama :
Demam
Keluhan Tambahan :
BAB cair
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam dirasakan cukup tinggi dan dirasakan sepanjang hari, demam hanya turun
1
bila pasien diberikan obat penurun panas. Pasien juga mengeluhkan buang air
besar cair berwarna kuning sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, terdapat
ampas, tidak terdapat darah dan lendir. Frekuensi buang air besar ± 3x/hari,
banyaknya ±1/2 gelas belimbing. Keinginan pasien untuk minum masih baik.
12.000/ul, Eritrosit 5,56 jt/ul. Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan
yakni pemeriksaan SGOT/SGPT 138/26, Malaria (-) dan Ig M/Ig G (+)/(-).
Pasien lalu mendapatkan terapi sesuai.
Diagnosis Kerja:
Demam Dengue dengan Diare Akut tanpa dehidrasi
Diagnosis Banding:
Demam Dengue
Demam berdarah dengue
Chikungunya
Infeksi Saluran Kemih
Penatalaksanaan UGD
- IVFD RL XV gtt/menit
- Paracetamol 3x 1/2 cth
7
Pemeriksaan Lab dari UGD
- DL
- Malaria
- IgM/IgG anti dengue
Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Fungtionam : bonam
Quo ad Sanationam : bonam
8
FOLLOW UP ANAK TANGGAL 27 MEI – 30 MEI 2015
Tanggal dan Jam Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter
Ruangan
27 Mei 2014
15.30 WIB
BB : 8,6 kg
S/ Demam (+) BAB cair (+)
O/
T = 36,5 oC,
HR= 148x/menit,
RR= 58x/menit,
Hasil lab :
Hemoglobin : 10,8 gr/dl
Hematokrit : 35,2 %
Leukosit : 4.370/ul
Trombosit : 12.000/ul
Eritrosit : 5,56 jt/ul
SGOT/SGPT : 138/26
Malaria : (-)
Ig M/ Ig G : (+)/(-)
A/Susp Demam Dengue
P/
- IVFD RL XV
gtt/menit
- Paracetamol syr 3 x ½
cth
28 Mei 2014
07.00 WIB
BB : 8,6 kg
S/ Demam (+) BAB cair (+)
O/
T = 37,0 oC,
HR= 148x/menit,
RR= 50x/menit,
st. generalis:
Kepala : Ubun-ubun cekung (-),
mata cekung (-), Conjungtiva
anemis (-), bibir kering (-), lidah
kotor (-).
Leher : simetris, pembesaran KGB
P/
- IVFD RL XIII
gtt/menit
- Paracetamol 3x ¾ cth
- Zinc tab 1 x ½ tab
- Cek DL, Ht,
Trombosit
9
(-)
Thorak: simetris, retraksi (-),
fremitus teraba (+), sonor (+),
vesikuler (+), rhonki (-), wheezing
(-), BJ I/II reguler.
Abdomen: cembung dan lemas,
massa (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar, timpani, bising
usus (+) normal.
Ekstremitas: sianosis (-), edema (-),
akral hangat (+).
A/ Demam Dengue
29 Mei 2014
07.00 WIB
BB : 8,6 kg
S/ Demam (+) BAB cair (+)
O/
T = 37,4 oC,
HR= 140x/menit,
RR= 48x/menit,
Hasil lab :
Hemoglobin : 10,1 gr/dl
Hematokrit : 33 %
Leukosit : 8.770/ul
Trombosit : 28.000/ul
LED : 10 mm/jam
ΔHt : 6,67%
A/ Demam Dengue
P/
- IVFD RL XIII
gtt/menit
- Ampisilin 300 mg/12
jam
- Paracetamol 3x ¾ cth
- Zinc tab 1 x ½ tab
30 Mei 2014
07.00 WIB
S/ Demam (+) BAB cair (-)
O/
T = 37,0 oC,
P/
- IVFD RL XIII
gtt/menit
10
BB : 8,6 kg
HR= 142x/menit,
RR= 48x/menit,
A/ Demam Dengue
- Ampisilin 300 mg/12
jam
- Paracetamol 3x ¾ cth
31 Mei 2014
07.00 WIB
BB : 8,6 kg
S/ Demam (-) BAB cair (-)
O/
T = 36,7 oC,
HR= 140x/menit,
RR= 40x/menit,
A/ Demam Dengue
P/
- IVFD RL XIII
gtt/menit
1 Juni 2014
07.00 WIB
BB : 8,6 kg
S/ Demam (-) BAB cair (-)
O/
T = 36,8 oC,
HR= 140x/menit,
RR= 40x/menit,
Pasien dipulangkan dalam keadaan
baik atas izin dokter
P/
- B-kompleks 3x1
11
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
I. INFEKSI VIRUS DENGUE
A. Definisi
Demam dengue ( DD ) dan Demam berdarah dengue ( DBD ) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh arthropodborne viruses ( virus dengue )
golongan flavivirus dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau
nyeri sendi yang disertai dengan leukopenia, ruam kulit, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik. Dengue hemorrhagic fever adalah
demam dengue dengan kondisi hemoragik seperti trombositopenia,
hemokonsentrasi ( peningkatan hematokrit ) dan dalam beberapa kasus – kasus
yang parah, protein-losing shock syndrome (dengue shock syndrome). Infeksi
virus dengue pada manusia mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang
bervariasi, antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
demam dengue, demam berdarah dengue sampai demam berdarah dengue
disertai syok (dengue shock syndrome = DSS).
Gambar 6. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011. Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011 dimodifikasi.
12
B. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis.
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam
jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun
1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan
luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama
kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang
terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) :
41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia.
Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di
Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD
oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya
angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.
Angka kesakitan DBD thn 2013 tercatat 45,85 per 100.000 penduduk (112.511
kasus) dengan angka kematian sebesar 0,77 % (871 kematian). Sedangkan pada
tahun 2014 ini sampai awal bulan April tercatat angka kesakitan DBD sebesar
5,17 per 100.000 penduduk (13.031 kasus) dengan angka kematian sebesar
0,84% (110 kematian).
13
14
C. Etiologi
Virus dengue termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviruses)
yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis
dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
15
dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang
berat.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya faktor kependudukan
berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan
4. Peningkatan sarana transportasi.
C. Patofisiologi dan Patogenesis
Gigitan nyamuk Aedes menyebabkan infeksi di sel langerhans di epidermis
dan keratinosit. Kemudian menginfeksi sel - sel lainnya seperti monosit, sel
dendritik, makrofrag, sel endotelial dan hepatosit. Monosit dan sel dendritik
yang terinfeksi memproduksi banyak sitokin proinflammatori dan kemokin
yang selanjutnya mengaktivasi sel T yang diperkirakan menyebabkan
disfungsi endotelial. Disfungsi endotelial menyebabkan peningkatkan
permeabilitas pembuluh yang kemudian menyebabkan perembesan cairan di
pleura, rongga peritonium, dan syok. Sel endotelial juga dirangsang untuk
menimbulkan respons imun yang mengakibatkan permeabilitas vaskular
meningkat (Malavige & Ogg, 2012). Menurut IDAI (2012), patogenesis DHF
belum jelas namun terdapat hipotesis yang mendukung seperti heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue
pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (IDAI, 2012).
Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary
heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis
yang menyatakan bahwa, DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
16
terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus
dengue serotip lain dalam waktu 6 bulan sampai 5 tahun.
Pada teori the immunological enhacement hypothesis didapatkan terdapat
pembentukan antibodi yang terbentuk akibat infeksi dengue terdiri dari IgG
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing – antibody dan neutralizing antibody. Ada 2 tipe antibodi yang
dikenal yaitu (1) kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) antibody yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Hal
ini tergantung pada adanya virion determinant specifity. Antibodi non –
neutralisasi dibentuk pada infeksi primer yang nantinya akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks imun terhadap infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Dasar hipotesis ini adalah meningkatnya reaksi
imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung
sebagai berikut :
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
17
b. Non – neutralizing antibody bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Dan
mekanisme ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi
d. Sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus,
hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah
jumlah yang terkena infeksi.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi mengadakan interaksi dengan system
humoral dan system komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator
yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi system
koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Selain hal tersebut, limfosit T juga memegang peranan penting dalam
pathogenesis DBD. Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue
atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon ( IFN α dan
γ ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue ( serotype berbeda dengan infeksi
pertama ), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-α yang
selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi dan mengakibatkan monosit
memproduksi mediator. Oleh karena T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue,
monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan
kebocoran plasma dan perdarahan. Dengan konsep dasar dari hipotesis ini
adalah keempat serotype virus mempunyai potensi pathogen yang sama dan
gejala berat terjadi sebagai akibat serotype virus dengue yang paling virulen.
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977, sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi
anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi
limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di
limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus
dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
18
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan anafilatoksin (C3a
dan C5a) menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan
peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena
infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang
berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue dapat
terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi
menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue
(DD) sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri
dari demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau
isolated organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage
merupakan tanda patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta
manifestasi yang tidak lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue
syndrome atau isolated organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan
perdarahan atau tidak; sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak.
Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan
infeksi dengue, yaitu
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis / perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan
plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites
19
3. Fase recovery / penyembuhan / convalescence : perembesan plasma
mendadak berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.
Macam-macam infeksi virus dengue meliputi:
1. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa
makulopapular, timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar
/ menurut standar umur dan jenis kelamin
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,
24
Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit > 20%.
Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
Dijumpai tanda perembesan plasma
o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia
o Perhatian
Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang
jelas, mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis.
Gambar 6. Skema kriteria diagnosis infeksi dengue menurut WHO 2011. Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011 dimodifikasi.
Derajat penyakit DBD berdasarkan WHO, 2011:
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
demam berdarah dengue antara lain:
1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari
sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
25
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan
penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/
menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada
hari sakit ke-2.
Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.
Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral
decubitus dilakukan atas indikasi,
Distres pernafasan/ sesak
Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah
mencapai 20%-40%
26
Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
E. Penatalaksanaan
Gambar 8. Jalur triase kasus tersangka infeksi dengue (WHO 2011) Sumber:World Health Organization South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
Tanda kegawatan
27
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit
infeksi dengue, seperti berikiut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
Monitor perjalanan penyakit DD/DBD Parameter yang harus dimonitor
mencakup:
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala
lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit Fase
Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan
oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma,
sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan
+ deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
32
Sumber : World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan
minum masih baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak
diperkenankan memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB
setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata diatas 38,5 0C.
Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya
penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat
jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari
pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya. Apabila
penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan
konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap.
2. Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok
33
tersebut, penderita disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan
berdasarkan tatanan 7, 5, 3.
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau
oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit
meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya
kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di
pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin,
nyeri perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan
rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang
tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan
pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti
yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10%
kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan
sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan
selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran
plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6
jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau
mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan
cegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai
berikut :
(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti
yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode
kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang berlebihan akan
menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites),
menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.
34
Jenis Cairan
1. Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali),
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloid
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
< 7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan
cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama.
Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 0 x kg (diatas 20 kg)
35
3. Kasus DBD derajat III & IV
“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus
kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu
memperoleh cairan pengganti secara cepat. Biasanya dijumpai kelaian asam
basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan kemungkinan
dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya
DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang
sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam
isotonik (Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan normal garam faali) dengan
jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV)
dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal
(dekstran dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal
atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur
sesuai dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga
hematokrit dan tanda-tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48
jam. Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting untuk
penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan
koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak
sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal
garam faali (5% dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan
penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh
diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah normal.
Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital
stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam
36
ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi
urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh
darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian cairan
berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema
baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan
diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini
tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda
vital yang baik.
DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah
sudah didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan
koreksi hasil laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya
(setelah review hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena
pusat / jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral
bila pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam
keadaan darurat atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena
perifer atau setelah gagal pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus
harus dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat
37
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi
darah segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun
terlalu rendah. Bila darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila
tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan
dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa
proton dapat digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti
suspense trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan
larutan tersebut ini dapat menyebabkan kelebihan cairan.
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik,
maka penilaian ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
o Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran
menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada
syok
o Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi
oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah
dilewati maka,
o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
Memberikan cairan intravena minimal untuk
mempertahankan volume intravaskular, total cairan
intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila
hematokrit terus meningkat dan volume cairan intravena
dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma yang
hebat.
38
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala
kelebihan cairan
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan
melindungi jalan napas.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan
pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis intravena setiap 6-
8 jam.
o Menurunkan produksi amonia
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan
pemberian
o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa
yang dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
o Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg,
>5 tahun:10mg.
o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai
indikasi.
o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen
darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
o Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna.
o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat
dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.
39
Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta
monitor tiap 12 24 jam.
Indikasi untuk pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut.
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
Nafsu makan telah kembali
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi
teratur
Diuresis baik
Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada
umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5
hari.
Konseling dan Edukasi
a. Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan
tatalaksananya, sehingga pasien dapat mengerti bahwa tidak ada
obat/medikamentosa untuk penanganan DBD tetapi hanya bersifat suportif
dan mencegah perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai dengan
perjalanan alamiah penyakit.
b. Modifikasi gaya hidup
1. Melakukan kegiatan 3M, menguras, mengubur, menutup.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengonsumsi makanan
bergizi dan melakukan olehraga secara rutin.
40
F. Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD/ DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Dan prognosis DBD akan lebih berat apabila disertai
penyakit lain seperti diabetes, asma bronkial, thalasemia, demam tifoid,