Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan arsitektur di dunia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya akan selalu mengalami perubahan berdasarkan dimensi waktu yang mempengaruhinya, baik dari segi langgam bangunan, pola penataan bangunan, ataupun dari aspek fungsional bangunan. Namun, esensi dari karya-karya arsitektur tersebut masih mengambil contoh atau menduplikasi dari penerapan arsitektur pada karya bangunan kuno atau masa terdahulu. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa lampau, arsitektur bangunan tampil sebagai sebuah masterpiece yang didesain dengan penuh dedikasi tinggi dan mampu mempengaruhi kondisi arsitektur di kawasan sekitarnya. Selain itu, terdapat ciri khas khusus pada kondisi bangunan kuno ini untuk lebih dihargai eksistensinya, yaitu dari aspek historis bangunan tersebut, dimana semakin lama usia bangunan tersebut berdiri maka akan semakin tinggi pula nilai sejarah yang terkandung dari bangunan tersebut. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, dimana perkembangan arsitektur kolonial Belanda telah berlangsung selama 350 tahun dan telah terintegrasi dengan sejarah berdirinya bangsa ini. Bangunan peninggalan kolonial Belanda ini menjadi saksi bisu tentang bagaimana kehidupan pada masa lampau dijalankan serta pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan masyarakat pada masa itu. Salah satu nilai penting dari keberadaan bangunan Kolonial Belanda ini adalah posisinya sebagai landmark kawasan dan dengan sengaja diposisikan sebagai simbol dominasi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang mengikat secara erat kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu. Karakteristik yang muncul pada bangunan peninggalan kolonial Belanda ini apabila ditinjau secara arsitektural memiliki ciri khas yang membedakannya dari karakteristik bangunan asli masyarakat Indonesia pada era tersebut dan secara fungsional memiliki maksud serta tujuan khusus yang mempengaruhi proses didirikannya bangunan tersebut. 1.1.1 Gedung Balai Kota Madiun sebagai bangunan berarsitektur kolonial Belanda di Madiun Sejarah berdirinya suatu kota dapat diidentifikasi dari berbagai narasumber yang relevan, diantaranya adalah referensi yang bersumber dari riset sejarah, ataupun dari pengamatan terhadap kondisi berbagai bangunan bersejarah yang melingkupi kawasan kota
51

Bab i,II,III Total Revisi 2

Feb 02, 2016

Download

Documents

Vicky Rizaldi

Proposal Skripsi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Bab i,II,III Total Revisi 2

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan arsitektur di dunia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya

akan selalu mengalami perubahan berdasarkan dimensi waktu yang mempengaruhinya, baik

dari segi langgam bangunan, pola penataan bangunan, ataupun dari aspek fungsional

bangunan. Namun, esensi dari karya-karya arsitektur tersebut masih mengambil contoh atau

menduplikasi dari penerapan arsitektur pada karya bangunan kuno atau masa terdahulu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa lampau, arsitektur bangunan tampil sebagai sebuah

masterpiece yang didesain dengan penuh dedikasi tinggi dan mampu mempengaruhi kondisi

arsitektur di kawasan sekitarnya. Selain itu, terdapat ciri khas khusus pada kondisi bangunan

kuno ini untuk lebih dihargai eksistensinya, yaitu dari aspek historis bangunan tersebut,

dimana semakin lama usia bangunan tersebut berdiri maka akan semakin tinggi pula nilai

sejarah yang terkandung dari bangunan tersebut. Demikian pula yang terjadi di Indonesia,

dimana perkembangan arsitektur kolonial Belanda telah berlangsung selama 350 tahun dan

telah terintegrasi dengan sejarah berdirinya bangsa ini.

Bangunan peninggalan kolonial Belanda ini menjadi saksi bisu tentang bagaimana

kehidupan pada masa lampau dijalankan serta pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan

masyarakat pada masa itu. Salah satu nilai penting dari keberadaan bangunan Kolonial

Belanda ini adalah posisinya sebagai landmark kawasan dan dengan sengaja diposisikan

sebagai simbol dominasi kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang mengikat secara erat

kehidupan masyarakat Indonesia pada masa itu. Karakteristik yang muncul pada bangunan

peninggalan kolonial Belanda ini apabila ditinjau secara arsitektural memiliki ciri khas yang

membedakannya dari karakteristik bangunan asli masyarakat Indonesia pada era tersebut dan

secara fungsional memiliki maksud serta tujuan khusus yang mempengaruhi proses

didirikannya bangunan tersebut.

1.1.1 Gedung Balai Kota Madiun sebagai bangunan berarsitektur kolonial Belanda di

Madiun

Sejarah berdirinya suatu kota dapat diidentifikasi dari berbagai narasumber yang

relevan, diantaranya adalah referensi yang bersumber dari riset sejarah, ataupun dari

pengamatan terhadap kondisi berbagai bangunan bersejarah yang melingkupi kawasan kota

Page 2: Bab i,II,III Total Revisi 2

2

tersebut. Sangat disayangkan sekali bahwasanya keberadaan bangunan bersejarah dengan

arsitektur kolonial Belanda dikesampingkan keberadaannya oleh Pemerintah Daerah pada

saat ini sehingga berdampak pada rusak dan tidak terawatnya kondisi bangunan bersejarah

ataupun dalam suatu kondisi tertentu telah mengalami renovasi yang berakibat pada

perubahan total fasad bangunannya akibat modernisasi bangunan tua tersebut.

Menurut Handinoto (2010), identitas kota-kota kolonial di Jawa antara tahun 1800

sampai tahun 1900 memiliki ciri khas khusus, yaitu alun-alun kota sebagai pusatnya dengan

bentuk kota yang disesuaikan dengan kepentingan ekonomi pihak Kolonial Belanda dimana

produksi pertanian dengan sistem distribusi produksinya memegang peranan penting, semua

bangunan pemerintahan seperti kantor Asisten Residen, kantor Bupati, penjara, serta

bangunan keagamaan, seperti masjid dan gereja diletakkan menyesuaikan dengan posisi alun-

alun kota. Penataan ini difungsikan untuk mempermudah kontrol pemerintahan dari

pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi.

Pada tahun 1920-an, Indonesia mengalami proses transformasi menjadi wilayah

perkembangan pembangunan yang pesat dari berbagai versi bangunan arsitektural Belanda

kontemporer dan berbagai tema perencanaan kota yang diantaranya ada perpaduan dengan

elemen tradisi regional wilayah tersebut (Groll, 1988).

Dalam periode perkembangan ini, dipengaruhi juga oleh perubahan terhadap sistem

administratif pemerintahan kota, yaitu dengan adanya undang-undang desentralisasi

(desentralisasiewet) yang awal mulanya dilaksanakan pada tahun 1905. Undang-undang ini

pada prinsipnya ingin memberikan hak kuasa pada kota-kota yang telah ditentukan untuk

memerintah kotanya sendiri di bawah pimpinan seorang Walikota (Handinoto, 2010). Banyak

kotamadya (Gemeente) yang mendirikan pusat pemerintahan baru, dengan mendirikan

gedung-gedung dengan gaya arsitektur kolonial modern sebagai pusat kotanya. Pemerintah

kolonial Belanda ingin menunjukkan suatu citra modern yang terlepas dari pengaruh

tradisional Jawa, yang identik dengan posisi alun-alun sebagai pusat kota dan bangunan

pemerintahan aparatur daerah di sekelilingnya (kantor kabupaten, masjid, dan sebagainya).

Pengaruh perubahan ini juga terjadi di wilayah kota Madiun, dimana pembangunan

aset pemerintahan seperti kantor Asisten Residen, Balai Kota, penjara Kolonial, ataupun

stasiun KA mulai dikembangkan sesuai dengan apa yang disebut sebagai sistem penataan

pada kota Indisch, setelah undang-undang desentralisasi ini ditetapkan.

Gill (1995), membagi morfologi kota Indisch tersebut menjadi 2 bagian, yang pertama

adalah “Oud Indische Stad”, yaitu sebuah kota di mana pada pusat kotanya (daerah alun-

alun), terdapat pemisahan antara pemerintahan kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen

Page 3: Bab i,II,III Total Revisi 2

3

atau Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan Pribumi (yang diwakili oleh Bupati). Jadi

pada hakekatnya gedung pemerintahan yang mengatur kota dalam satu kota terpisah satu

sama lain. Pola penempatan pada morfologi ini biasanya ditandai dengan penempatan gedung

pemerintahan Pribumi di sisi selatan alun-alun, sedangkan kantor Asisten Residen ada di

bagian lain dari kota tersebut. Sedangkan tipe morfologi “Nieuwe Indische Stad” adalah

sebuah tatanan kota Indisch dimana pusat pemerintahan Pribumi (Kabupaten) dengan pusat

pemerintahan kolonial Belanda (kantor Asisten Residen) ataupun fasilitas pendukung lainnya

seperti halnya penjara, tempat ibadah, gedung Societiet (hiburan), serta pemukiman etnis

tertentu ada di sekitar kawasan alun-alun kota.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pola peletakan dari bangunan pemerintahan pada tata

perkotaan di Kota Madiun ataupun kota-kota lainnya di Jawa sangat dipengaruhi oleh

kebijakan pemerintah kolonial Belanda tersebut. Posisi penempatan dari kantor Asisten

Residen ataupun kantor Balai Kota dan penempatan kantor Kabupaten terhadap alun-alun di

Kota Madiun lebih mencerminkan pola “Nieuwe Indische Stad”, adapun kediaman Asisten

Residen Madiun (Asistent Resident Huis) dan Balai Kota Madiun (RaadHuis te Madioen)

merupakan dua contoh tipe bangunan pusat pemerintahan yang memegang peranan penting

bagi pemerintah kolonial Belanda untuk memusatkan kontrol pemerintahan terhadap

masyarakat Madiun terlepas dari peranan Bupati.

Bangunan Balai Kota Madiun sendiri merupakan tipe bangunan pemerintahan baru

pada tahun 1920-an yang dibangun setelah ditetapkannya undang-undang desentralisasi yang

menetapkan status berdirinya Pemerintah Kotapraja Madiun (Staadsgementee Madioen) pada

tanggal 20 Juni 1918. Undang-undang Inlandsche Gementee Ordonantie ini ditetapkan oleh

Departemen Binnenlandsch yang berimbas pada segregasi sosial antara masyarakat pribumi

dan masyarakat Eropa yang tinggal di kota Madiun pada masa itu. Gementee Madioen yang

didirikan ini bertujuan supaya masyarakat Belanda ataupun Eropa yang bekerja di Madiun

tidak lagi diperintah oleh Bupati (yang notabene adalah orang Jawa) melainkan oleh orang

Belanda yang menjabat secara langsung di pusat pemerintahan. Dengan demikian, dengan

adanya aplikasi undang-undang tersebut, pemerintahan Kotapraja secara resmi terpisah

dengan pemerintahan Kabupaten serta status jabatan Walikota pada pemerintahan Kotapraja

Madiun tidak lagi dirangkap oleh Asisten Residen melainkan dijabat secara langsung oleh

Walikota. Lokasi bangunan ini berada pada jalan Residentlaan yang sekarang berubah nama

menjadi Jalan Pahlawan dan bangunan ini merupakan karya rancangan dari biro konsultan

arsitektur Hulswit, Fermont, dan Eduard Cuypers yang pembangunannya dimulai pada tahun

1928 dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1930. Bangunan Balai Kota Madiun ini

Page 4: Bab i,II,III Total Revisi 2

4

dibangun dan diresmikan pada masa pemerintahan Burgemeester/Walikota Mr. K.A.

Schotman, serta merupakan salah satu bagian dari mega proyek BOW/Burgelijke Openbare

Werken (Dinas PU) pada masa itu. Adapun karakteristik secara umum dari bangunan ini

adalah pengaplikasian langgam arsitektur kolonial Belanda era 1920-1940-an pada detail

bangunannya, penempatan tower pada area bangunan yang berdekatan dengan pintu masuk

dan difungsikan sebagai area pengawasan atau pertahanan, mirip dengan ciri arsitektur tipe

peralihan pada masa kolonial Belanda di Indonesia, denah yang menerapkan posisi koridor

jalan/Galerij di sekeliling bangunan, menara pengawas dengan hiasan khas pada bagian

puncak tower tersebut, dan peletakan susunan massa bangunan yang masif secara simetris.

Dengan adanya ciri-ciri tersebut maka perlu ada suatu pengkajian yang komprehensif

terhadap bangunan ini dikarenakan bangunan ini tampil sebagai salah satu landmark dan

memiliki karakter visual yang unik, berbeda, apabila dibandingkan dengan bangunan lainnya

yang berada pada kawasan tersebut. Selain itu, selama ini belum pernah dilakukan sebuah

kajian penelitian mengenai analisis strategi pelestarian maupun kajian detail karakteristik

arsitektur bangunan dari Balai Kota Madiun ini sehingga diharapkan nantinya dengan

penelitian mengenai Balai Kota Madiun ini mampu menambah khasanah pengembangan ilmu

pengetahuan bagi masyarakat Kota Madiun pada umumnya dan bagi civitas academica pada

khususnya, mengenai kondisi bangunan bersejarah di Kota Madiun, dan dengan

diterapkannya sebuah strategi pelestarian bangunan bersejarah yang dapat menjaga kondisi

asli arsitektur bangunannya dengan baik.

1.1.2 Pelestarian Gedung Balai Kota Madiun

Ketika Kota Madiun telah mengalami perkembangan dari segi infrastruktur bangunan

dan kawasan yang semakin menyesuaikan diri sebagai kota dengan identitas kota modern,

lambat laun kondisi bangunan kuno dan bersejarah di Kota Madiun semakin diabaikan dan

kurang mendapat perhatian serta perawatan oleh Pemerintah Daerah Kota Madiun. Bangunan

bersejarah tersebut banyak mengalami kerusakan dan penurunan kualitas visual bangunan.

Tidak menutup kemungkinan hal tersebut terjadi pada bangunan Balai Kota Madiun,

mengingat berdasarkan data dinas Pendidikan, kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga

(Dikbudpora) Kota Madiun, di kota ini objek bernilai sejarah yang diakui sebagai cagar

budaya dan dilindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan hanya

empat saja, yaitu makam dan Masjid Kuno Kuncen serta makam dan Masjid Kuno Taman.

Hal tersebut cukup ironis mengingat banyak sekali bangunan kuno dan bersejarah

yang terdapat di Kota Madiun yang tidak dikategorikan ke dalam cagar budaya yang

Page 5: Bab i,II,III Total Revisi 2

5

dilindungi. Balai Kota Madiun sebagai pusat pemerintahan di Kota Madiun pun tidak masuk

ke dalam kategori bangunan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala

(BP3) Trowulan, sehingga cukup membahayakan kondisi bangunan apabila mengalami

kerusakan mengingat tidak ada upaya untuk menjaga dan mempertahankan kualitas visual

bangunan seperti kondisi aslinya pada masa kekuasaan kolonial Belanda di Kota Madiun.

Pada saat ini, bangunan Balai Kota Madiun difungsikan sebagai kantor Walikota Madiun

sesuai dengan fungsi awal ketika dipergunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Mengingat

kepemilikan berada di tangan pemerintah, kondisi bangunan ini cukup terawat dengan

beberapa perbaikan pada arsitektur bangunan dan penambahan kompleks perkantoran

menjadi 2 lantai pada sisi timur dari bangunan asli. Walaupun perubahan yang dialami masih

berada dalam batas yang wajar tetapi cukup mempengaruhi dan merusak kualitas visual dan

spasial yang sangat berpengaruh terhadap citra bangunan pada kawasan tersebut. Perubahan

itu diantaranya tidak seimbangnya fasade dan tidak adanya kesatuan (unity) fasade bangunan

antara bangunan utama dengan bangunan yang telah mengalami renovasi tersebut.

Secara garis besar terdapat beberapa alasan penting mengapa bangunan Balai Kota Madiun

perlu diberlakukan tindakan pelestarian pada kompleks bangunan ini, alasan tersebut antara

lain sebagai berikut:

1. Bangunan pemerintahan Balai Kota Madiun merupakan bangunan beresejarah

peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang dibangun oleh biro konsultan

arsitektur Hulswit, Fermont, dan Eduard Cuypers yang proses pembangunannya

dimulai pada tahun 1928 dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1930. Sehingga

diperlukan upaya pelestarian untuk menjaga kelestarian dan keaslian bangunan.

2. Fungsi bangunan yang masih sama sebagai kantor pusat pemerintahan Kotamadya

Madiun, sesuai dengan peruntukan awalnya pada masa pemerintahan kolonial

Belanda.

3. Sebagai upaya pendongkrak wisata dengan tujuan objek bangunan bersejarah di

Kota Madiun sehingga mampu meningkatkan kualitas visual kawasan dan

meningkatkan devisa daerah Kota Madiun.

4. Bangunan bersejarah terutama bangunan kolonial ini dapat menjadi landmark

Kota Madiun mengingat berada di kawasan Jalan Pahlawan yang strategis di pusat

kota dan terdapat banyak sekali bangunan bersejarah peninggalan kolonial

Belanda dengan skala besar dan bisa dimaksimalkan untuk menciptakan image

tersendiri bagi kawasan Kota Madiun.

Page 6: Bab i,II,III Total Revisi 2

6

Banyak sekali ditemui bangunan bersejarah peninggalan pemerintahan kolonial

Belanda di koridor Jalan Pahlawan ini, hal tersebut dikarenakan Jalan Pahlawan/Residentlaan

merupakan salah satu koridor jalan utama yang berkembang pada masa kolonial dan koridor

jalan ini juga merupakan landmark bersejarah yang memerlukan tindakan penyelamatan

terutama bagi aset-aset bersejarah yang ada di kawasan ini. Menurut RTRW Kota Madiun

tahun 2010-2030 terdapat beberapa bangunan bersejarah era kolonial Belanda yang masih

bertahan dan terdapat di koridor jalan Pahlawan ini selain Balai Kota Madiun, diantaranya

adalah:

1. Kompleks Gereja Katolik Santo Cornelius;

2. Kantor Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah Jawa Timur;

3. Kantor Kodim 0803 Kota Madiun;

Kegiatan pelestarian ini sebenarnya telah menjadi pembahasan penting terutama

dalam kongres Internasional Arsitektur Modern yang memfokuskan pembahasan pada

kondisi arsitektur di seluruh dunia, termasuk juga wilayah Hindia Belanda untuk

mengidentifikasi ragam bangunan bersejarah yang masuk dalam potensi pelestarian, pada

akhirnya kongres ini menghasilkan statement berupa Piagam Athena 1933 (the functional

city) yang menghasilkan pernyataan mengenai konservasi lingkungan beserta kondisi

bangunan bersejarah di dalamnya. Pernyataan tersebut berisi tentang:

1. Nilai arsitektur dari suatu objek arsitektur (fabric) ataupun kawasan kota

(ensemble) yang memiliki nilai signifikan khusus wajib dilindungi.

2. Warisan bersejarah akan mendapat perlindungan apabila dinilai objek/benda

tersebut merupakan pencerminan budaya pada masa lampau dan selama masih

memenuhi kepentingan umum.

Selain itu, kegiatan pelestarian juga menjadi perhatian pemerintah terutama dalam

lingkup nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Cagar Benda Cagar Budaya

no. 11 tahun 2010 pasal 5 yang berisikan tentang “yang termasuk dalam kategori klasifikasi

benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa

kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-

kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi perkembangan sejarah,

ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.”

Berbagai macam upaya pelestarian ataupun konservasi cukup sering mendapatkan

perhatian terutama dalam lingkup nasional dan internasional, tetapi tetap ada beberapa faktor

yang menghambat progress pelestarian tersebut. Hal tersebut menjadi pertimbangan yang

Page 7: Bab i,II,III Total Revisi 2

7

harus diselesaikan mengingat hal tersebut sangat menghambat kinerja pemerintah dalam

mengupayakan pelestarian bangunan dan kawasan. Hambatan-hambatan tersebut adalah:

1. Faktor biaya

Biaya terkadang menjadi major point yang menghambat proses pelestarian

bangunan bersejarah, hal tersebut dikarenakan pemerintah tidak memiliki

anggaran yang khusus untuk dibebankan pada upaya perawatan dan pemeliharaan

operasional bangunan, faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya

perhatian pemerintah dalam upaya pelestarian dan konservasi bangunan serta

menganggap mengeluarkan biaya mahal untuk perawatan hal tersebut tidak

memberikan keuntungan yang signifikan bagi pemerintah, sehingga terkadang

biaya dibebankan kepada wisatawan yang datang. Hal tersebut tentunya bisa

berdampak pada berkurangnya minat wisatawan untuk berkunjung dikarenakan

harus dibebani dengan pembiayaan.

2. Faktor politik

Faktor politik selalu menjadi penghambat dalam upaya pelestarian di Indonesia,

kebijakan pemerintah yang terlalu berpegang terhadap proses pengembangan

perkotaan berdampak pada rendahnya upaya untuk pelestarian kawasan.

Sebaiknya, antar pemerintah dan masyarakat mengerti tentang pentingnya upaya

pengembangan yang selaras dengan strategi pelestarian.

3. Faktor sosial

Strategi pelestarian seringkali terhambat oleh masyarakat yang mendiami

bangunan ataupun kawasan yang menjadi objek pelestarian tersebut, hal tersebut

dikarenakan kurangnya sosialisasi pemerintah sehingga masyarakat seringkali

mengira jika upaya pelestarian ini mencabut hak tinggal ataupun hak kepemilikan

mereka pada bangunan atau suatu kawasan tersebut. Sehingga pemerintah perlu

mempertimbangkan strategi pelestarian bangunan bersejarah yang tidak

berdampak negatif bagi sosial kemasyarakatan dan mendapat dukungan penuh

dari masyarakat.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, terdapat beberapa

identifikasi permasalahan pada penelitian bangunan kolonial Balai Kota Madiun yang

menjadi sorotan utama dalam pembahasan, yaitu:

Page 8: Bab i,II,III Total Revisi 2

8

1. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perkembangan arsitektur kolonial

Belanda sangat pesat di pusat Kota Madiun, terutama pada area sekitar alun-alun

kota, atau tepatnya di jalan Residentlaan sebagai pusat pemerintahan

desentralisasi Kotapraja Madiun pada masa itu. Banyak sekali peninggalan

bersejarah dengan berbagai fungsi bangunan yang beragam, tetapi kurang

mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.

2. Pemerintah Kota Madiun telah mencanangkan obyek bangunan Balai Kota

Madiun sebagai cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan berdasarkan

ketetapan RTRW Kota Madiun untuk periode waktu 2010-2030, tetapi hanya

sebatas wacana dan hingga saat ini belum ada realisasi tentang penanganan

bangunan bersejarah ini.

3. Telah terjadi penurunan kualitas arsitektural ataupun renovasi yang

mengakibatkan perubahan fisik bangunan secara menyeluruh di sisi timur

bangunan Balai Kota Madiun dengan penambahan lantai 2 untuk menyesuaikan

fungsi bangunan tersebut, menandakan belum adanya upaya serius untuk

mempertahankan kondisi asli arsitektur kolonial Belanda bangunan Balai Kota

Madiun dikarenakan kurangnya kepedulian atau ketidaktahuan pemerintah

terhadap cara penanganan bangunan tersebut.

4. Bangunan utama dari Balai Kota Madiun memiliki potensi untuk dilakukan upaya

konservasi sehingga diperlukan strategi pelestarian bangunan untuk menjaga

keaslian kondisi bangunan tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah, maka fokus rumusan

permasalahan yang diteliti adalah:

1. Bagaimana karakter visual dan karakter spasial bangunan Balai Kota Madiun?

2. Bagaimana strategi pelestarian yang sesuai dalam mempertahankan karakteristik

arsitektur bangunan kolonial Balai Kota Madiun?

1.4 Batasan Masalah

Upaya pelestarian bangunan kolonial Belanda Balai Kota Madiun mempunyai

beberapa batasan permasalahan yang harus dikaji, yaitu:

1. Penelitian ini melingkupi aspek identifikasi dan analisis karakteristik bangunan

pada kompleks Kantor Walikota Madiun (Eks Raadhuis te Madioen) yang ditinjau

Page 9: Bab i,II,III Total Revisi 2

9

dari aspek karakter spasial dan karakter visual bangunan pada tiga massa

bangunan ini. Karakter spasial secara garis besar memfokuskan pembahasan pada

detail denah dari tiap massa bangunan, sedangkan karakter visual lebih

memfokuskan pada pembahasan elemen pembentuk fasade bangunan secara

keseluruhan.

a) Karakter spasial bangunan dibagi menjadi enam aspek yang dibahas, yaitu:

Fungsi ruang.

Hubungan ruang.

Organisasi ruang.

Sirkulasi.

Orientasi ruang.

Orientasi bangunan.

b) Karakter visual bangunan yang terbagi menjadi berbagai aspek, yaitu:

Elemen pembentuk fasade yang terdiri atas atap, dinding eksterior, pintu,

jendela, pintu-jendela, ventilasi, dan kolom bangunan.

Elemen ruang dalam bangunan yang terdiri atas dinding interior, pintu,

lantai, kolom, dan plafond.

Elemen bentuk dan keseimbangan pada denah di tiap massa bangunan.

2. Menentukan arah pendekatan pelestarian arsitektur bangunan kolonial Belanda

Balai Kota Madiun dengan mendahulukan proses analisis karakteristik bangunan

untuk memperoleh hasil yang maksimal demi mempertahankan kondisi arsitektur

bangunan yang baik dari segi orisinalitas.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelestarian bangunan kolonial Balai Kota Madiun adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakter spasial dan karakter visual bangunan pada Balai Kota

Madiun.

2. Menganalisis dan menentukan strategi dalam upaya pelestarian arsitektur

bangunan kolonial Balai Kota Madiun dengan acuan berdasarkan data yang

diperoleh dari proses identifikasi dan proses analisis karakteristik bangunan.

Page 10: Bab i,II,III Total Revisi 2

10

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian mengenai pelestarian bangunan kolonial Balai Kota Madiun

adalah sebagai berikut:

1.6.1 Terhadap Akademisi

Menambah referensi dalam melakukan proses identifikasi dan analisis karakteristik

bangunan bersejarah ditinjau dari karakter spasial dan karakter visual bangunan beserta

strategi pelestarian yang tepat.

1.6.2 Terhadap Masyarakat

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan dan pemberi informasi bagi

masyarakat Kota Madiun mengenai pelestarian nilai sejarah dari bangunan kolonial Belanda

dan mampu menambah citra kawasan serta membangun kesadaran masyarakat akan

berharganya nilai historis dari sebuah bangunan peninggalan kolonial Belanda, sehingga

memunculkan keinginan dan motivasi bagi masyarakat untuk berinisiatif menjaga dan

melestarikan.

1.6.3 Terhadap Pemerintah

Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai arsip, dokumentasi, ataupun catatan tertulis

yang memberi sedikit informasi terhadap kondisi dan karakter arsitektural bangunan kolonial

Belanda untuk dipublikasikan secara luas kepada masyarakat umum ataupun mampu

memberikan kontribusi terhadap Pemerintah Daerah untuk menjadikan bangunan kolonial

Belanda sebagai salah satu bangunan yang berpotensi menjadi aset wisata bersejarah yang

bermanfaat bagi Pemerintah Daerah.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi dengan judul “Pelestarian Bangunan Kolonial Belanda

Balai Kota Madiun” adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan memaparkan latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi bidang keilmuan, masyarakat, pemerintah,

serta bagi peneliti lainnya.

Page 11: Bab i,II,III Total Revisi 2

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisikan panduan/referensi yang menjadi dasar teori dalam proses analisis dan

evaluasi penulisan skripsi. Teori berupa identifikasi karakteristik arsitektur secara umum,

karakteristik arsitektur kolonial Belanda beserta perkembangannya pada era 1920-1940-an,

pembahasan mengenai studi terdahulu tentang pelestarian arsitektur dan kajian penelitian

mengenai arsitektur pada Balai Kota yang dibangun pada era yang identik dengan

pembangunan Balai Kota Madiun.

BAB III METODE KAJIAN PERANCANGAN

Bab ini berisi tentang tahapan-tahapan yang diaplikasikan sebagai langkah untuk

menyelesaikan prosedur penelitian beserta dengan bagan alir tahapan penyelesaian penelitian.

Pada tahap ini, urutan proses yang dilakukan adalah mengumpulkan data, menganalisis dan

mensintesis data, metode perancangan, pembahasan, serta kesimpulan. Yang kemudian

diakhiri dengan bagan alir penyelesaian penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi tentang berbagai referensi teori yang digunakan dalam penyusunan skripsi.

Page 12: Bab i,II,III Total Revisi 2

12

Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran

1.8 Kerangka Pemikiran

Identifikasi karakteristik bangunan Balai Kota Madiun (Eks Stadhuis te Madioen).

1. Kehadiran pemerintah kolonial Belanda mengokohkan diri sebagai pusat pemerintahanbagi masyarakat Madiun yang mempengaruhi kemunculan bangunan-bangunan dengangaya arsitektur kolonial Belanda.

2. Posisi kota Madiun sebagai kota transit penghubung kota-kota besar di Jawa Tengah danJawa Timur strategis bagi perkembangan industri masyarakat Eropa.

3. Terjadinya penurunan kualitas arsitektural bangunan kolonial Belanda dan penurunankuantitas bangunan bersejarah akibat ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat.

1. Menurunnya kualitas arsitektural dan belum adanya upaya untuk mempertahankan sesuaikondisi asli arsitektur kolonial Belanda pada bangunan Balai Kota Madiun.

2. Menjaga dan mempertahankan kondisi arsitektur bangunan secara optimal sesuai fungsiaslinya dan meningkatkan potensi bangunan sebagai aset wisata sejarah.

1. Bangunan pemerintahan Balai Kota Madiun merupakan produk bangunan dengan arsitekturkolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1928 oleh biro konsultan arsitektur Hulswit,Fermont and Ed Cuypers.

2. Bangunan memenuhi kriteria klasifikasi cagar budaya.3. Belum adanya penelitian yang komprehensif tentang kondisi bangunan Balai Kota Madiun.

1. Bagaimana karakter arsitektural bangunan Balai Kota Madiun ditinjau dari aspek spasialdan visual bangunan?

2. Bagaimana strategi pelestarian arsitektur yang tepat dalam mempertahankan originalitaskarakteristik bangunan pada bangunan Balai Kota Madiun?

Strategi pelestarian bangunan Balai Kota Madiun.

Page 13: Bab i,II,III Total Revisi 2

13

BAB IITINJAUAN TEORI

2.1 Karakteristik Arsitektur

2.1.1 Karakteristik Spasial Bangunan

Salah satu elemen karakteristik arsitektur yang identik dengan karakteristik spasial

bangunan menurut Krier (2001) adalah ruang yang membentuk karakter suatu bangunan.

Sistem spasial sangat dipengaruhi oleh adanya organisasi ruang yang terbentuk didalamnya.

Sistem spasial selalu berkaitan dengan unsur organisasi ruang lainnya, yang terdiri atas pola

ruang, alur sirkulasi, dan orientasi bangunan. Pola ruang merupakan sifat yang dibentuk

melalui bentuk ruang serta elemen-elemen pembatasnya. Alur sirkulasi dalam ruang

merupakan rute atau arah perjalanan untuk mencapai ruang dalam bangunan. Alur sirkulasi

dalam ruang erat kaitannya dengan pola ruang yang terbentuk, orientasi ruang erat kaitannya

dengan pola hubungan yang terbentuk antara ruang-ruang di dalamnya.

Keterkaitan antara karakter spasial arsitektur dengan bangunan peninggalan kolonial

teridentifikasi dengan unsur orientasi bangunan sebagai penghubung antara ruang dengan

lingkungannya. Salah satu bentuk adaptasi tampilan orientasi bangunan kolonial terhadap

iklim tropis Indonesia adalah penetapan perancangan dengan mengutamakan arah sisi utara

dan selatan sebagai wajah bangunan utama. Orientasi bangunan pada bangunan kolonial juga

bisa ditentukan melalui peletakan tower pada fasad bangunan tersebut. Penentuan karakter

spasial pada bangunan kolonial dapat terlihat melalui komposisi ruang yang terbentuk dan

terdiri atas unsur simetris, irama, dan sumbu.

a. Fungsi ruang

Dalam hubungannya dengan pembangunan sebuah bangunan, fungsi merupakan dasar

dari dibangunnya suatu objek arsitektur dan menegaskan ekspresi bangunan yang

dinnaungi oleh fungsi tersebut (Krier, 2001).

b. Hubungan ruang

Hubungan ruang didefinisikan oleh Ching (2008) sebagai ruang-ruang dalam

bangunan yang dihubungkan satu sama lain dan diatur menjadi pola-pola bentuk

tertentu.

Ruang-ruang yang dihubungkan oleh sebuah jalur ruang bersama

Ruang perantara atau ruang transisi bisa diaplikasikan sebagai penghubung

antara dua ruang.

Ruang-ruang yang saling berdekatan

13

Page 14: Bab i,II,III Total Revisi 2

14

Dua buah ruang bisa saling bersentuhan dan saling berdekatan satu sama lain

serta membagi garis batas secara bersamaan.

Ruang-ruang saling mengunci satu sama lain

Area sebuah ruang bisa menumpuk pada volume ruang lainnya.

Ruang dalam ruang

Ruang yang bisa ditampung dalam volume ruang-ruang lainnya yang lebih

besar.

c. Organisasi bentuk dan ruang

Berkumpulnya ruang-ruang dalam suatu bangunan akan menciptakan suatu organisasi

ruang yang sistematis (Ching, 2008).

Organisasi grid

Ruang-ruang yang terorganisir di dalam area sebuah grid struktur.

Organisasi terklaster

Ruang-ruang yang dikelompokkan melalui kedekatan atau pembagian suatu

tanda pengenal atau hubungan visual bersama.

Organisasi linier

Sekuen linier ruang-ruang yang berulang secara sistematis.

Organisasi radial

Sebuah ruang terpuast ynang menjadi sentral organisasi organisasi linier ruang

yang memanjang dengan cara radial.

Organisasi terpusat

Suatu ruang sentral yang dominan dikelilingi oleh sejumlah ruang sekunder

yang dikelompokkan dengan komposisi yang stabil.

d. Sirkulasi ruang/bangunan

Jalur yang digunakan dari satu tempat untuk mencapai tempat lainnya, secara

signifikan diklasifikasikan menjadi konfigurasi jalur dan hubungan jalur-ruang.

e. Orientasi ruang/bangunan

Orientasi adalah posisi ruang/bangunan berkaitan dengan kawasan sekitarnya yang

banyak dipengaruhi oleh faktor iklim atau faktor kepercayaan pada wilayah tertentu.

2.1.2 Karakteristik Visual Bangunan

Karakter visual bangunan diidentifikasi melalui massa bangunan secara utuh maupun

melalui perpaduan komposisi elemen arsitekturalnya. Massa bangunan secara arsitektural

Page 15: Bab i,II,III Total Revisi 2

15

adalah keseluruhan bentuk volumetrik bangunan. Hubungan pemasaan suatu bangunan terdiri

atas denah dasar dan bentuk bangunan (Krier, 2001). Denah dasar bangunan terdiri atas

denah berbentuk T, L, dan U yang disertai dengan fragmentasi dan superimposisi dari

bentukan tersebut. Bentuk bangunan dibagi atas bentuk bujur sangkar dan bentuk persegi

panjang serta superimposisi maupun fragmentasi dengan bentuk lainnya.

Massa bangunan secara utuh lebih menonjolkan karakter visualnya melalui bentuk

dasar serta sifat-sifat yang dibawa dari bentuk bangunan. Elemen arsitektural pada bangunan

terbagi atas elemen pada ruang dalam dan elemen pada fasad bangunan. Unsur yang

mempertegas karakter visual arsitektur pada ruang dalam ditunjukkan oleh sifat dasar

pembaginya yang diklasifikasikan ke dalam elemen pembagi vertikal dan elemen pembagi

horisontal, tekstur lantai, ornamentasi, dan ukiran elemen dekoratif pada langit dan dinding,

sayap bangunan, pintu, warna, bahan material, dan lain sebagainya. Elemen fasad bangunan

merupakan elemen komposisi arsitektur yang mampu mengekspresikan fungsi dan makna

dari wajah bangunan. Sebagai suatu gabungan dari keseluruhan yang membentuk kesatuan

tunggal, fasad tersusun dari berbagai elemen tunggal, suatu kesatuan tersendiri dengan

kemampuan mengekspresikan diri sendiri. Menurut Krier (2001), elemen fungsional yang

mendukung terhadap proporsi horisontal dan vertikal arsitektur pada bangunan adalah

sebagai berikut:

1. Atap

Peran utama dari elemen bangunan ini adalah sebagai mahkota dan pelindung fasad

bangunan. Secara visual, atap adalah akhiran dari fasad / titik akhir dari sebuah

bangunan.

2. Pelindung Matahari

Elemen ini bertindak sebagai pelindung fasad bangunan dari pengaruh iklim dan

meminimalisir radiasi panas matahari.

3. Dinding

Selubung bangunan yang berperan penting dalam mengekspresikan identitas

bangunan dan sebagai salah satu elemen pembentuk fasad bangunan yang bisa

meningkatkan nilai estetika wajah bangunan.

4. Pintu

Pintu berperan sebagai penentu arah sirkulasi bangunan dan berfungsi sebagai elemen

transisi yang menghubungkan area bagian luar bangunan dengan bagian dalam

bangunan.

5. Jendela

Page 16: Bab i,II,III Total Revisi 2

16

Difungsikan sebagai area transisi untuk jalan masuknya cahaya, posisi jendela sangat

berpengaruh terhadap pola visual pemandangan yang dihasilkan dari view luar ke

dalam bangunan, mampu meningkatkan persepsi estetika terhadap ruangan melalui

area gelap terang yang dihasilkan oleh permainan pencahayaan dari posisi jendela

terhadap orientasi matahari.

6. Denah

Proses perencanaan denah pada awal proses pembangunan hingga penentuan tipe

ruang-ruang dalam suatu bangunan bersifat relatif dan tidak tergantung pada fungsi

awal yang dikehendaki sebelumnya, begitu pula penentuan bentuk bangunan

mengikuti tipe ruang yang difungsikan oleh bangunan.

7. Ventilasi

Merupakan kisi-kisi berupa bukaan pada fasade bangunan yang berfungsi untuk

mengontrol kualitas sirkulasi udara di dalam ruangan. Ventilasi mampu berperan

sebagai alternatif material pengganti untuk jendela dengan bentuknya yang kecil dan

efisien.

Komposisi suatu fasad bangunan dengan mempertimbangkan segala persyaratan

fungsional (jendela, bukaan pintu, pelindung matahari, atap, denah dasar) pada dasarnya

berkaitan dengan penciptaan kesatuan yang harmonis antara proporsi arsitektural yang baik,

pola penyusunan struktur vertikal dan horisontal yang baik, bahan, warna, dan elemen

dekoratif fasad bangunan. Selain itu pada bangunan dengan arsitektur kolonial Belanda,

karakter fisik yang secara jelas tergambar dalam mengekspresikan wajah bangunan tersebut

adalah selubung bangunan atau fasad, komposisi dari berbagai elemen baik struktural

maupun elemen dekoratif yang membentuk karakteristik suatu fasad bangunan dapat

menunjukkan kepada publik mengenai tingkat kreativitas estetika dalam ornamentasi ataupun

dekorasi pada fasad bangunan itu sendiri.

2.2 Karakter Arsitektur Kolonial Belanda

Menurut Handinoto (1996: 165-179) karakter arsitektur kolonial Belanda mengadopsi

aplikasi elemen vernakular arsitektur Belanda yang diimplementasikan pada karakter

arsitektur di wilayah jajahannya, termasuk Indonesia. Elemen vernakular yang digunakan

pada arsitektur kolonial Belanda lebih banyak diaplikasikan pada periode waktu antara tahun

1900 sampai 1920-an setelah banyaknya arsitek Belanda yang datang ke Indonesia dan

Page 17: Bab i,II,III Total Revisi 2

17

Gambar 2.1 Gevel (Gable)

(Sumber: Handinoto, 1996)

Gambar 2.2 Geveltoppen

(Sumber: Soekiman, 2000)

mendirikan biro konsultan arsitektur. Elemen-elemen tersebut memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Penggunaan Gevel pada Tampak Depan Bangunan

Aplikasi gevel menurut Handinoto (1996) pada bangunan kolonial Belanda di Hindia

Belanda diletakkan pada bagian depan atau tampak bangunan. Bisa diartikan juga sebagai

hiasan berbentuk segitiga yang terletak di samping dan di bawah cerobong atap.

Topgevel merupakan hiasan pada gevel yang berbentuk mahkota. Geveltoppen atau

hiasan kemuncak tampak depan terletak di atas gevel. Biasanya mengandung makna tertentu

bagi bangunan kolonial Belanda yang dinaungi.

2. Peletakan Tower pada Bangunan

Aplikasi tower pada bangunan kolonial Belanda mengadopsi bentuk bangunan gereja

Calvinist abad pertengahan di Eropa dan Belanda. Model tower pada bangunan biasanya

digunakan sebagai penanda orientasi lingkungan kolonial Belanda antara tahun 1900-an

hingga tahun 1920-an. Tower pada bangunan kolonial Belanda banyak diaplikasikan pada

bangunan kantor pemerintahan, dan tower pada tipe bangunan tersebut seringkali

diaplikasikan dengan fungsi sebagai klokkentoren (menara jam) ataupun sebagai menara

pengawas untuk menjaga keamanan bangunan.

3. Nok Acroteire (Hiasan pada Puncak Atap)

Page 18: Bab i,II,III Total Revisi 2

18

Gambar 2.3 Nok Acroterie

(Sumber: Soekiman, 2000)

Gambar 2.4 Dormer

(Sumber: Handinoto, 1996)

Gambar 2.5 Windwijzer

(Sumber: Soekiman, 2000)

Hiasan puncak pada atap rumah sering diaplikasikan pada atap rumah-rumah petani

yang ada di Belanda, biasanya menggunakan atap ilalang tetapi setelah mengikuti

perkembangan zaman maka penggunaan material perkerasan permanen seperti semen dan

beton cor digunakan.

4. Penggunaan Dormer pada Bangunan

Dormer adalah jendela atau hanya sekedar bukaan yang diposisikan menembus

melalui kemiringan atap bangunan dan memiliki atap penutup tersendiri, berfungsi untuk

memaksimalkan pencahayaan dan penghawaan secara maksimal ke dalam bangunan. Di

Eropa biasa difungsikan sebagai ruang atau sebagai sirkulasi bagi cerobong asap perapian.

5. Peletakan Windwijzer (Penunjuk Arah Angin)

Posisi peletakan ada di atas nok dan dapat berputar mengikuti arah angin yang

berhembus melalui alat ini.

Page 19: Bab i,II,III Total Revisi 2

19

Gambar 2.6 Kolom Doric, Iconic, Corinthians

(Sumber: Soekiman, 2000)

6. Balustrade pada Bangunan

Berfungsi sebagai pagar pembatas balkon atau pagar pembatas pada dek bangunan

dengan material berupa hasil dari cor beton ataupun tiang logam.

7. Pilar Kolom pada Bangunan

Bentukan kolom yang sering digunakan pada bangunan kolonial Belanda adalah

kolom dengan gaya Doric, Iconic, dan Corinthians. Gaya Doric banyak digunakan pada

bangunan pemerintahan yang menghendaki peletakan kolom yang kuat dengan bentuk

sederhana dengan detail ornamentasi yang minim, sedangkan pada gaya Iconic dan

Corinthians lebih mengutamakan detail ornamentasi untuk menunjukkan kesan glamor dan

mewah pada bentukan kolomnya.

2.2.1 Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda

Periode perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia yang mempengaruhi

langgam bangunan Balai Kota Madiun sesuai klasifikasi oleh Hellen Jessup dalam Handinoto

(1996:129-130) dalam “Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya

(1870-1940)” adalah:

1. Pengaruh Arsitektur Tahun 1902 sampai Tahun 1920-an

Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak agar disetujuinya

penerapan kebijakan politik Etis yang diterapkan di tanah jajahan dari kolonial

Belanda. Sejak saat itu permukiman orang Belanda di Indonesia tumbuh dengan

cepat. Dengan adanya suasana tersebut maka Indische Architectuur menjadi terdesak

dan hilang digantikan oleh gaya arsitektur baru yang lebih mencirikan karakteristik

Eropa. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern pertama yang

berorientasi kepada negeri Belanda.

Karakteristik secara umum fasad bangunan pada periode ini menurut Handinoto

(1996: 165-180) adalah:

a. Penggunaan Dormer pada bangunan.

Page 20: Bab i,II,III Total Revisi 2

20

b. Menggunakan Gevel (gable) pada tampak depan bangunan.

Bentukan gevel sangat bervariasi yaitu berupa curvilinear gable, stepped gable,

gambrel gable, ataupun pediment (dengan entablature).

c. Penerapan Tower pada bangunan.

Apilkasi penggunaan tower pada awalnya digunakan pada bangunan gereja

Calvinist di Belanda yang kemudian ditiru oleh bangunan umum dan menjadi

model umum dari arsitektur kolonial Belanda pada abad ke-20 terutama di Hindia

Belanda. Variasi bentukan bermacam-macam, ada yang berbentuk bulat, segi

empat ramping, ada pula yang dikombinasikan dengan gevel depan pada serambi

bangunan.

d. Penyesuaian kondisi bangunan terhadap iklim tropis basah, dengan menerapkan

ciri khas sebagai berikut:

1) Ventilasi dengan bukaan lebar dan tinggi, untuk memaksimalkan aliran udara

desain bangunan berbentuk ramping.

2) Membuat Galerij yang berupa serambi sepanjang bangunan sebagai antisipasi

hujan dan perlindungan terhadap sinar matahari ke dalam bangunan.

3) Layout bangunan diusahakan untuk menghadap ke arah utara atau selatan

untuk menghindari paparan sinar matahari secara langsung.

2. Pengaruh Arsitektur Tahun 1920-1940-an

Pada periode ini muncul sebuah langgam baru yang memberikan dampak

signifikan terhadap perkembangan arsitektur bangunan kolonial di Hindia Belanda.

Pencampuran gaya atau “eklektisisme” yang menggabungkan unsur-unsur arsitektur

lokal/tradisional dengan langgam arsitektur modern Eropa yang banyak berkembang

di level internasional pada akhirnya menghasilkan ciri khas yang unik pada bangunan

kolonial yang berkembang di Hindia Belanda pada masa itu (Jessup,1984:2 dalam

Handinoto,1996:129-130). Langgam arsitektur ini juga disebut sebagai arsitektur

Indis (Indische Architectuur) atau arsitektur Indo-Eropa (Handinoto,1998:1).

Beberapa karakteristik arsitektur modern Eropa yang turut mempengaruhi dan turut

dikombinasikan dalam Indische Architectuur antara lain:

a. Gaya Art and Craft, berkembang pada periode 1860-1915 di Inggris, dengan

karakteristik secara umum adalah:

1) Mengutamakan penggunaan kerajinan tangan dan penolakan olahan kerajinan

dari mesin/industri.

Page 21: Bab i,II,III Total Revisi 2

21

2) Penerapan bata merah, ukiran kayu berbentuk flora pada fasade dinding

bangunan dan bentukan kombinasi antara pintu dan jendela yang disatukan.

b. Gaya Art Nouveau, berkembang pada periode 1880-1910 di Perancis, dengan

karakteristik secara umum adalah:

1) Penerapan stained glass/kaca patri dengan hiasan warna-warni pada berbagai

variasi bentukan jendela dan pintu.

2) Bentukan hiasan berupa motif flora, motif sulur-suluran, motif daun berbentuk

hati, dan motif bulu burung merak yang diterapkan pada berbagai variasi

dinding, pintu, dan jendela.

3) Menampilkan bentuk lekukan garis-garis melingkar dan garis-garis vertikal

pada langit-langit bangunan.

c. Gaya De Stijl, berkembang pada periode 1917-1920 di Belanda, dengan

karakteristik secara umum adalah:

1) Massa bangunan berbentuk kubistik dan penggunaan atap datar.

2) Penyatuan antara dinding luar bangunan dengan dinding bagian dalam

bangunan.

3) Lebih mengutamakan prinsip simplisitas dalam mendesain bangunan.

d. Gaya Art Deco, berkembang pada periode 1930-an di Eropa, dengan karakteristik

secara umum adalah:

1) Bentuk massa bangunan yang geometris

2) Penekanan pada elemen-elemen dekoratif interior bangunan secara vertikal

dan horisontal maupun bentukan zigzag dan kerucut yang bertingkat-tingkat.

e. Gaya Amsterdam School, berkembang pada periode 1910-1930 di Belanda,

dengan karakteristik secara umum adalah:

1) Pengaplikasian plesteran atau pahatan dekoratif yang menggunakan bahan

material alami, misal batu bata.

2) Aplikasi ornamentasi pada bangunan berupa pahatan pada elemen fasade

bangunan atau patung yang diolah melalui proses handycraft/kerajinan tangan.

Hal yang serupa diutarakan oleh Handinoto (1996:148-168) dalam “Perkembangan

Kota Malang pada Zaman Kolonial (1914-1940)”, perkembangan arsitektur kolonial Belanda

digolongkan menurut periodisasi waktu yang signifikan, yaitu pada abad 19 (tahun 1850-

1900), awal abad ke-20 (tahun 1900-1915), dan pada periode tahun 1916-1940. Berikut ini

Page 22: Bab i,II,III Total Revisi 2

22

adalah arsitektur kolonial Belanda yang identik dengan masa pembangunan Balai Kota

Madiun:

1. Arsitektur Kolonial periode tahun 1900-1915

Arsitektur ini disebut juga periode arsitektur Awal Modern dengan karakteristik

sebagai berikut:

a. Denah berbentuk simetri;

b. Penyelesaian detail dengan teliti dan rinci;

c. Terdapat tower yang posisinya dekat pintu masuk utama bangunan.

2. Arsitektur Kolonial periode tahun 1916-1940

Arsitektur yang berkembang pada periode waktu ini lebih mengutamakan aspek

fungsional bangunan dengan langgam International Style dan terdapat penyesuaian

dengan kondisi iklim di Hindia Belanda, karakter utama sebagai berikut:

a. Volume bangunan kubistik dan dominasi warna putih pada fasad bangunan;

b. Penggunaan atap datar;

c. Desain dan detail bangunan lebih mengutamakan fungsi bangunan.

2.3 Pelestarian Lingkungan Binaan

2.3.1 Pelestarian dan Konservasi Bangunan Lama Bersejarah

Pada mulanya gagasan pelestarian hanya muncul sebagai upaya untuk melestarikan

dan melindungi sumber daya alam yang bersifat tidak dapat diperbarui. Konsep pelestarian

lingkungan binaan, baru muncul ketika diperlukannya suatu keputusan mengenai

pertimbangan kepentingan untuk suatu nilai yang tidak tergantikan bagi kepentingan generasi

mendatang.

Pelestarian pada awalnya hanya merupakan suatu kegiatan pemeliharaan saja, tetapi

sekarang telah berkembang metode pelestarian yang melingkupi kegiatan guna mengaktifkan

fungsi-fungsi baru yang tidak merusak nilai ataupun kondisi fisik objek.

Menurut Budihardjo (1997) pelestarian atau konservasi arsitektur bukan berarti

mengawetkan objek bangunan seperti kondisi aslinya, melainkan juga mewadahi kegiatan

dan membangun baru pada kompleks tersebut, asalkan tidak bertentangan secara frontal

terhadap kondisi bangunan lama. Begitu pula, dengan yang dikemukakan oleh Danisworo

(1997) bahwa pelestarian arsitektur sebagai konservasi dengan definisi bahwa konservasi

adalah upaya untuk melestarikan, melindungi, serta memanfaatkan sumber daya suatu

tempat. Konservasi bisa dimanfaatkan sebagai wadah preservasi namun tetap memberikan

Page 23: Bab i,II,III Total Revisi 2

23

kesempatan suatu tempat untuk menunjang kegiatan yang sama sekali baru sehingga mampu

membiayai keberadaannya maupun bagi tindakan pelestarian tersebut.

Kegiatan pelestarian arsitektur secara garis besar juga dijelaskan pada Piagam Athena

yang dideklarasikan pada tahun 1993 (the functional city), sebagai berikut:

1) Nilai arsitektur dari sebuah objek arsitektur (fabric) atau kawasan kota

(ensemble) yang memiliki nilai signifikan khusus harus dilindungi; dan

2) Warisan bersejarah akan dilindungi apabila dinilai objek/benda tersebut

merupakan pencerminan budaya masa lalu selama masih memenuhi

kepentingan umum.

Pelestarian atau konservasi arsitektur juga harus memiliki strategi yang pintar dalam

pemilihan objek bangunan yang akan dilestarikan seperti yang diungkapkan oleh Budihardjo

(1997) yang menyebutkan bahwa motivasi tunggal dalam konservasi arsitektur adalah

patriotisme untuk mengenang kejayaan pahlawan, baru setelah itu muncul motivasi baru yang

melatarbelakangi hal tersebut, seperti pendidikan, lingkungan, estetika, dan profit. Hal

tersebut perlu diperhatikan mengingat bahwa memori buruk pada masa penjajahan Belanda

tidak lagi terulang apabila objek bangunan kolonial Belanda menjadi kajian pelestarian.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelestarian bangunan atau

konservasi tidak hanya sebatas perawatan yang intensif terhadap kondisi bangunan

bersejarah, melainkan juga sebagai upaya untuk menghidupkan kembali fungsi objek tersebut

atau menciptakan fungsi bangunan baru yang selaras dan tidak merusak keberadaan objek

bangunan tersebut.

2.3.2 Konsep Pelestarian

Pelestarian dalam lingkup bangunan dan lingkungan sekitar memiliki arti sebagai

sebuah proses untuk memelihara bangunan ataupun lingkungan sedemikian rupa sehingga

makna kulturalnya yang meliputi nilai estetika, sejarah, keilmuan, nilai sosial untuk generasi

masa lampau, kini, dan generasi mendatang. Pelestarian merupakan kegiatan untuk

melestarikan atau melindungi dan menjaga bangunan, monumen, lingkungan, dari kerusakan

dan mencegah proses kerusakan (demolition).

2.3.3 Strategi Pelestarian

Berdasarkan undang-undang no. 11 tahun 2010 yang berisikan tentang Benda Cagar

Budaya menjelaskan bahwa “yang termasuk dalam kategori benda cagar budaya adalah

benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok,

atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, serta

dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.” Hal

Page 24: Bab i,II,III Total Revisi 2

24

tersebut menjelaskan bahwa strategi pelestarian yang tepat harus diaplikasikan pada

bangunan yang memiliki kapasitas sebagai benda cagar budaya.

Menurut Budihardjo (1997) kegiatan konservasi arsitektur saat ini bukanlah sekedar

sebagai pemeliharaan bangunan yang tanpa arti, tetapi konservasi dan revitalisasi sekarang ini

memiliki tiga keuntungan bagi penataan kota, yaitu keuntungan budaya, keuntungan

ekonomi, dan keuntungan sosial.

Budihardjo (1997) juga menjelaskan bahwa konsep pelestarian yang digunakan bisa

berupa konsep konservasi “latar depan” dan konsep “latar belakang” dimana strategi

melestarikan bangunan kuno bersejarah dilakukan pada latar depan, sedangkan bangunan

infrastruktur baru dengan penerapan teknologi terkini yang mendukung eksistensi bangunan

lama berada di posisi belakang (background).

Budihardjo (1997) mengutarakan bahwa ada beberapa strategi pelestarian dan

konservasi yang lebih ditekankan pada aspek preservasi, pelestarian, atau pengawetan

bangunan monumen kuno. Setelah semakin mendapatkan perhatian khusus maka muncullah

Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance (Burra Charter) yang secara

eksplisit menerangkan batasan pengertian konservasi mulai dari preservasi, restorasi,

rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, hingga revitalisasi.

1. Preservasi: Tindakan pelestarian yang bersifat statis, pasif/museal. Preservasi

merupakan upaya melindungi bangunan, monumen, dan lingkungan dari

kerusakan serta mencegah proses kerusakan yang terjadi.

2. Konservasi: Tindakan pelestarian yang berupa pemugaran dan mempunyai sifat aktif.

Konservasi juga memiliki arti sebagai upaya untuk melestarikan suatu lingkungan

binaan yang sedemikian rupa, sehingga makna lingkungan mampu dipertahankan,

pemanfaatan fungsi yang efisien, serta pengaturan arah pengembangan objek

pelestarian bangunan ke masa depan.

3. Restorasi: Tindakan memulihkan/mengembalikan kondisi suatu objek pelestarian

kepada kondisi asli, sejauh yang diketahui, dengan jalan menghilangkan

penambahan fungsi baru kepada objek bangunan lama, atau dengan cara merakit

elemen eksisting tanpa adanya penggunaan bahan/material baru. Selain itu, juga

memliki pengertian sebagai sebuah tindakan untuk mengembalikan keadaannya

seperti kondisi awal dengan membuang elemen baru dan memasang kembali

bagian aslinya yang hilang.

4. Rehabilitasi: Tindakan untuk mengembalikan kondisi bangunan/artefak yang telah

mengalami penurunan/kerusakan untuk dikembalikan kepada kondisi semula agar

Page 25: Bab i,II,III Total Revisi 2

25

dapat berfungsi dengan baik. Rehabilitasi juga merupakan upaya mengembalikan

kondisi bangunan yang telah rusak, sehingga dapat berfungsi kembali seperti

semula.

5. Renovasi: Tindakan untuk merubah interior bangunan, baik sebagian ataupun secara

keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut terhadap bangunan

baru. Renovasi juga mengandung arti sebagai upaya untuk mengubah sebagian

atau beberapa interior bangunan tua supaya dapat diadaptasikan untuk

menyesuaikan fungsi baru tanpa menimbulkan perubahan yang berarti.

6. Adisi: Tindakan untuk menempatkan suatu bangunan baru pada kawasan yang

dilestarikan untuk menunjang karakter kawasan tersebut tanpa merusak tatanan

dan fungsi kawasan.

7. Rekonstruksi: Tindakan untuk mengembalikan keadaan sebuah objek yang telah

hilang atau hancur sebagian, sehingga dapat kembali ke kondisi awal dengan

penggunaan bahan material lama ataupun penggunaan material baru.

8. Adaptasi/Revitalisasi: Tindakan untuk menghidupkan kembali kawasan yang telah

mengalami degradasi dengan dilakukannya intervensi fisik atau non fisik. Dapat

pula disebut sebagai upaya untuk mengubah suatu lingkungan binaan agar bisa

dimanfaatkan untuk ditempatkan fungsi bangunan baru dengan memberikan

dampak perubahan minimal bagi kondisi bangunan lama.

9. Demolisi: Tindakan berupa penghancuran secara permanen untuk perombakan suatu

lingkungan binaan yang telah mengalami kerusakan parah dan berisiko

membahayakan manusia.

2.3.4 Penilaian Bangunan Berdasarkan Kriteria Makna Kultural

Pada dasarnya seperangkat konsep dan langkah-langkah untuk melakukan pekerjaan

konservasi yang telah dirangkum dalam rencana pelestarian berdasarkan konsep makna

kultural (Kerr, 1982) dalam Burra Charter yang memiliki makna penggabungan kepentingan

pelestarian sejarah dengan menggabungkan kepentingan pelestarian sejarah dengan penilaian-

penilaian arsitektural dari suatu bangunan lama tersusun atas dua pokok pembahasan, yaitu:

1. Stating Cultural Significance, merupakan kebijakan untuk memahami dan menilai

makna kultural bangunan beserta nilai tempatnya dengan kriteria tertentu, sebagai

berikut:

a. Keindahan/estetika;

b. Keaslian bangunan;

c. Sejarah;

Page 26: Bab i,II,III Total Revisi 2

26

d. Keterawatan;

e. Keilmuan;

f. Kelangkaan;

g. Keluarbiasaan;

h. Kualitas formal.

2. Conservation Policy, merupakan langkah terbaik dalam mempertahankan nilai-nilai

konservasi untuk dikembangkan di masa depan.

2.4 Pemilihan Objek Preservasi dan Konservasi

Kriteria dalam menentukan objek preservasi dan konservasi menurut Catanese (1979),

dibagi menjadi kriteria berikut:

1. Kriteria keindahan (aesthetic), yaitu berkaitan dengan keindahan arsitektural dari

berbagai masa;

2. Kriteria kekhasan (typical), yaitu bangunan yang memiliki karakteristik yang

mewakili kelas atau tipe bangunan tertentu;

3. Kriteria kelangkaan (scarcity), yaitu bangunan tersebut merupakan bangunan terakhir

yang tunggal atau merupakan objek peninggalan terakhir dari gaya arsitektur yang

mewakili masanya;

4. Kriteria keluarbiasaan (superlative), yaitu bangunan yang memiliki tampilan yang

paling menonjol, besar, tinggi, dan sebagainya;

5. Kriteria peranan sejarahnya (historical role), yaitu bangunan-bangunan ataupun

lingkungan yang memiliki peranan dalam peristiwa bersejarah, sebagai kaitan

simbolis antara peristiwa masa lalu dengan peristiwa masa kini;

6. Kriteria pemaknaan (meaning) bangunan.

Apabila bangunan preservasi dan konservasi dilihat dalam skala yang luas (kota/wilayah),

maka dapat dibagi menjadi lima kriteria (Pamungkas, 1990), sebagai berikut:

1. Kriteria arsitektural;

2. Kriteria historis;

3. Kriteria simbolis;

Objek-objek preservasi dan konservasi dapat dipilih melalui berbagai macam kriteria

yang ditawarkan. Dari berbagai objek preservasi dan konservasi Attoe (1986:409)

memberikan kriteria tersendiri, yaitu:

1. Kota dan pedesaan (town and village);

2. Garis langit dan koridor panjang (skylines and view corridors);

Page 27: Bab i,II,III Total Revisi 2

27

3. Kawasan (district);

4. Wajah jalan (streetscapes);

5. Fasade bangunan (building facades);

6. Benda dan penggalan (objects and fragments).

Faktor lain yang ikut berpengaruh dalam pemilihan objek preservasi dan konservasi

bangunan selain kriteria yang telah disebutkan tersebut adalah faktor usia bangunan dan

fungsi bangunan.

1. Usia bangunan

Objek pelestarian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Budiharjo,1996):

Undang-undang Benda Cagar Budaya no. 11 tahun 2010, pasal 5, menerangkan

bahwa:

a. Benda cagar budaya adalah:

1) Benda buatan manusia, bergerak, atau tidak bergerak yang berupa kesatuan

atau kelompok, atau berupa bagian-bagian, atau sisa-sisa peninggalan, yang

berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap memiliki

nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, beserta

kebudayaan.

2) Benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi ilmu sejarah,

pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan.

b. Situs bersejarah adalah lokasi yang memiliki atau diduga memiliki benda cagar

budaya beserta lingkungan sekitarnya sebagai sarana yang diperlukan untuk

pengamanan objek bersejarah tersebut.

c. Benda-benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya merupakan benda

kekayaan alam yang memiliki nilai ekonomis/intrinsik tinggi yang tersembunyi

atau terpendam di bawah permukaan tanah serta di wilayah perairan Republik

Indonesia (PP no.10/1993 tentang pelaksanaan UU no.11/2010).

2. Fungsi bangunan

Berdasarkan fungsi yang dikemukakan oleh para ahli tata perencanaan kota, arsitek,

maupun pengamat bangunan bersejarah, bangunan yang dikatakan memiliki peran

penting dalam mengupayakan proses pelestarian bangunan antara lain:

1) Fungsi bangunan kuno berdasarkan isi dari Undang-Undang Benda Cagar Budaya

no.11 tahun 2010, untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,

agama, dan/atau kebudayaan melalui prosedur penetapan.

Page 28: Bab i,II,III Total Revisi 2

28

2) Fungsi yang diutamakan pada bangunan kuno harus fleksibel, tidak harus

memiliki keterkaitan dengan fungsi bangunan asli. Dalam proses

pengembangannya fungsi bisnis bisa diaplikasikan untuk mendukung proses

pelestarian ataupun sebagai upaya pengembangan dan dimanfaatkan sebagai biaya

administrasi perawatan bangunan kuno tersebut. Fungsi bangunan tersebut

sebaiknya mengikuti fungsi bangunan saat ini, namun tetap mengikuti kaidah

pelestarian bangunan bersejarah.

3) Fungsi dapat menjamin bangunan kuno tersebut sebagai identitas kawasan,

sehingga bangunan tidak memiliki fungsi yang identik dengan fungsi bangunan

terdahulu pada awal peruntukan bangunan. Supaya fungsi bangunan dapat lebih

optimal, maka fungsi bangunan yang diaplikasikan pada bangunan kuno tersebut

harus memiliki nilai produktif/memiliki andil dalam kegiatan sosial

kemasyarakatan ataupun kegiatan perekonomian yang dapat menjadikan

bangunan tersebut sebagai pusat perhatian.

2.5 Tinjauan Riset Terdahulu

Tinjauan riset terdahulu merupakan kajian mengenai riset-riset yang telah pernah

dilakukan sebelumnya yang berkaitan dengan objek kajian dan memiliki kontribusi terhadap

penelitian yang akan dilakukan mengenai penentuan karakteristik bangunan kolonial

Belanda.

Page 29: Bab i,II,III Total Revisi 2

29

Tabel 2.2. Studi-studi terdahulu yang pernah dilakukan

No. Peneliti dan ObyekPenelitian

Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Faktor Pembeda

1.

2.

3.

Widyanti, (2011) denganjudulPelestarian StasiunKereta Api Kota BaruMalang.

Fajarwati, (2011) denganjudul PelestarianBangunan Utama EksRumah Dinas ResidenKediri

Risdyaningsih, (2014)dengan judulPelestarian GedungPertemuan KompleksAsrama Inggrisan.

Menurut Widyanti, (2011) tujuan daristudi ini adalah untuk menganalisa danmenemukan karakter arsitektur bangunanStasiun Kereta Api Kota Baru Malangdan untuk selanjutnya menentukanstrategi pelestarian yang tepat untukditerapkan pada objek bangunan kolonialBelanda tersebut.

Menurut Fajarwati, (2011) tujuan daristudi ini adalah untuk menganalisa danmenemukan karakter arsitektur spasialdan visual bangunan utama eks rumahdinas Residen Kediri dan untukselanjutnya menentukan strategipelestarian yang tepat untuk diterapkanpada objek bangunan kolonial Belandatersebut.

Menurut Risdyaningsih, (2014) tujuanpenelitian ini adalah menganalisa danmengidntifikasi karakter arsitektur spasialdan visual bangunan Asrama Inggrisanuntuk selnajutnya dilakukan proses

Metode dalam kajianpenelitian ini adalahmetode kualitatifdengan pendekatanmengaplikasikanmetode deskriptifanalisis, metodeevauatif, dan metodedevelopment.

Metode yangdiaplikasikan padapenelitian ini adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluatif, dan metodedevelopment.

Metode kualitatifyang menggunakanpendekatan melaluikajian deskriptifanalisis, metode

Mengidentifikasikarakteristikbangunan danmenentukan arahanpelestarian yang tepatbagi objek bangunan

Kompleks bangunanlebih banyakmencerminkanIndische Empire Styledan arahanpelestariandifokuskan pada tigaelemen yaitupotensial rendah,potensial sedang, danpotensial tinggi

Karakter spasialdiklasifikasikan(kajian fungsi,organisasiruang,orientasi ruang,

Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Indische Empire Style yangmenjadi ciri khas bangunanpelestarian ini merupakanpeninggalan dari awal abad19. Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Page 30: Bab i,II,III Total Revisi 2

30

4.

5.

Sukarno, (2013) denganjudul PelestarianBangunan KolonialBelanda Rumah DinasBakorwil Kota Madiun

Permata, (2013) denganjudul PelestarianGedung PT PerkebunanNusantara XI Surabaya

pelestarian.

Menurut Sukarno, (2013) tujuanpenelitian ini adalah memnentukanarahan tindakan pelestarian bagi aspekfisik bangunan

Kajian penelitian Permata (2013),bertujuan untuk mengkaji danmenganalisa karakter arsitektur bangunanPT Perkebunan Nusantara XI Surabayadan untuk selanjutnya menentukanstrategi pelestarian yang tepat untukditerapkan pada objek bangunan kolonialBelanda tersebut

evaluatif dan metodedevelopment.

Metode kualitatifdengan pendekatanmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.

Metode yangdiaplikasikan dalamkajian penelitian inidiantaranya adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.

dan sirkulasibangunan), karaktervisual (denah,jendela, ventilasi,pintu, lantai, dinding,atap, kolom, danfasade). Selanjutnyaadalah prosespenilaian maknakultural sebagaiarahan pelestarianbangunan.

Pendalamandeskriptif bagikarakteristik visualbangunan danmenentukan arahanpelsetarian yang tepatbagi bangunan.

Karakter spasial yangdikaji meliputi tatamassa, karakteristikvisual bangunan yangdiamati meliputidinding, jendela,pintu, pintu-jendela,bouvenlicht, atap,fasade, kolom, danlantai untukselanjutnya diarahkanpada pelestarianbangunan.

Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Page 31: Bab i,II,III Total Revisi 2

31

6. Adysti, (2011) denganjudul PelestarianGedung merah PutihBalai Pemuda Surabaya

Mengidentifikasi dan menganalisiskarakteristik bangunan serta menentukanarah pelestarian bangunan

Metode yangdigunakan adalahmetode deskriptifanalisis, metodeevaluative, danmetode development.

Karakter visualbangunan meliputidenah dan fasadebangunan, prinsipkomposisi meliputidominasi,perulangan, dankesinambungan,karakter spasialmeliputi organisasiruang dan orientasibangunan, arahanpelestarian diarahkanpada potensi tinggi,sedang, dan rendah

Kesamaan dalam temapenelitian yang diambil, aspekyang membedakan adalahobjek penelitian dan lokasipenelitian

Page 32: Bab i,II,III Total Revisi 2

32

2.7 Kerangka Teori

Pelestarian Bangunan Balai Kota Madiun (eks Raadhuis te Madioen)

Karakter Arsitektural Pelestarian Arsitektur

Karakteristik Visual

(Krier, 2001) (Handinoto,1996)

- Denah

- Jendela

- Ventilasi

- Pintu

- Dinding Eksterior

- Atap

- Kolom

- Fasade

Karakteristik Spasial

(Ching, 2008)

- Organisasi Ruang

- OrientasiRuang/Bangunan

- Sirkulasi

Konsep Pelestarian Makna KulturalBangunan

Konsep MaknaKultural

Kriteria PenilaianMakna Bangunan

Strategi PelestarianKlasifikasi Pelestarian Kriteria Pemilhan ObjekPreservasi Konservasi

(UU no, 11 tahun 2010)

Page 33: Bab i,II,III Total Revisi 2

34

Page 34: Bab i,II,III Total Revisi 2

33

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian

3.1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memberikan penggambaran

terhadap objek dan permasalahan yang diteliti yang bersifat komparatif serta korelatif, yaitu

karakter arsitektur kolonial Belanda dari Balai Kota Madiun. Dalam proses menganalisis

karakter bangunan Balai Kota Madiun diawali dengan langkah mengidentifikasi tiap elemen

bangunan Balai Kota dan mencocokkannya dengan ciri atau karakter pada pembahasan

tinjauan pusataka. Hasil analisis tersebut dijadikan acuan pertimbangan dalam pelaksanaan

pelestarian bangunan Balai Kota Madiun. Variabel penelitian yang diamati adalah

pengamatan terhadap kondisi bangunan untuk disesuaikan dengan teori yang digunakan

untuk mengidentifikasi presentase bangunan asli yang masih bertahan dibandingkan dengan

kondisi bangunan yang masih baru.

3.1.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat analisa dan deskripsi mengenai fakta-fakta yang terjadi di

lapangan dengan cara mencatat, mengumpulkan informasi terkait dengan masalah yang

diteliti. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap karakteristik arsitektur yang selama

ini sangat jarang sekali ditemukan informasinya. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode analisis kualitatif, dengan metode pendekatan dengan deskriptif

analisis, yaitu dengan memaparkan kondisi yang terjadi di lapangan. Metode ini dilakukan

melalui observasi lapangan dan wawancara.

Metode deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan keadaan di lapangan dan

melakukan analisa melalui studi kasus terhadap objek yang diteliti. Dalam hal ini studi kasus

yang dilakukan adalah pada objek bangunan kolonial Balai Kota Madiun untuk dijadikan

sampel dalam mengidentifikasi tipe-tipe elemen arsitektural. Metode pendekatan yang

diaplikasikan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analisis (pemaparan kondisi),

metode evaluatif (pembobotan) dan metode development. Metode evaluatif dan development

digunakan untuk mengkaji kondisi objek bangunan saat ini dan menentukan arahan dalam

upaya konservasi.

Pada tahap ini ditentukan oleh berbagai langkah dalam mengkaji objek penelitian,

diantaranya:

33

Page 35: Bab i,II,III Total Revisi 2

34

Gambar 3.1 Peta Lokasi Balai Kota Madiun

1. Mengkaji kondisi fisik bangunan dengan melakukan pengamatan kondisi bangunan

pada saat ini.

2. Mengumpulkan informasi dan memahami kondisi historis ataupun non fisik yang

menjadi latar belakang pembangunan Balai Kota Madiun.

3. Setelah diperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi bangunan beserta aspek

historis yang melingkupinya, dibuat suatu kesimpulan tentang karakter yang terdapat

pada bangunan serta menetapkan atau menentukan upaya pelestarian yang sesuai.

3.2 Objek dan Lokasi Penelitian

3.2.1 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah bangunan kolonial Balai Kota Madiun (RaadHuis te

Madioen) yang masih dipergunakan dan dipertahankan fungsinya oleh Pemerintah Daerah

sebagai kantor Walikota dan pusat pemerintahan Kotapraja Madiun, dengan meneliti elemen

arsitekturnya untuk mengetahui tipe serta karakteristik arsitektur kolonial Belanda yang

mempengaruhi desain bangunan ini sekaligus menentukan arahan pelestarian bangunan.

U

U

Page 36: Bab i,II,III Total Revisi 2

35

3.3 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen merupakan media yang digunakan untuk mempermudah pengumpulan data

selama melakukan observasi di lapangan. Adapun instrumen pengumpulan data adalah

sebagai berikut:

1. Kamera

Mengambil gambar dan video pada eksisting dan detail elemen pada bangunan.

2. Perekam suara

Merekam proses wawancara oleh sumber terkait.

3. Lembar catatan dan sketsa

Untuk mencatat hasil wawancara dan keterangan serta menggambarkan objek

penelitian.

4. Lembar observasi

Berupa form penilaian terkait terhadap elemen-elemen bangunan yang diteliti dengan

agar lebih terstruktur dengan parameter yang sama.

5. Layout Plan

Untuk mengetahui tata peletakan massa bangunan sebagai langkah identifikasi

kondisi bangunan saat ini.

6. Denah

Untuk mengetahui letak elemen dalam peninjauan karakter arsitektur bangunan

kolonial Belanda ini.

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Metode Deskriptif Analisis

Variabel merupakan acuan dalam meneliti dan menemukan karakteristik arsitektur

kolonial Belanda pada Balai Kota Madiun. Adapun variabel tersebut antara lain:

Page 37: Bab i,II,III Total Revisi 2

36

Tabel 3.1 Variabel PenelitianNo. Kriteria Pengamatan Variabel Indikator

1.

2.

Karakter Visual

Karakter Spasial

Fasade bangunan

- Atap

- Dinding

- Pintu

- Jendela

- Ventilasi

- Kolom

Ruang dalam bangunan

- Dinding Interior

- Plafond

- Lantai

Massa bangunan

Organisasi ruang

- Pola ruang

- Alur sirkulasi

- Orientasi ruang

- Orientasi bangunan

Komposisi

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk, material, ornamen, warna,

perubahan

Bentuk bangunan, perubahan

Komposisi

Pola perubahan

Pola sirkulasi, perubahan

Pola ruang, perubahan

Pola bangunan, fungsi, peletakan,

perubahan

Dominasi, perulangan,

kesinambungan, proporsi, simetri,

pusat perhatian

Page 38: Bab i,II,III Total Revisi 2

37

Tabel 3.2 Kriteria Estetika Bangunan

Masing-masing kriteria tersebut dibagi kedalam tiga tingkatan yang berbeda, yaitu

klasifikasi tinggi, sedang, dan rendah yang disesuaikan dengan kondisi bangunan dari aspek

makna kultural elemen bangunan. Setiap klasifikasi memiliki bobot nilai tersendiri,

penentuan bobot tiap-tiap kriteria mengacu pada perhitungan scoring Oppenheim (1973)

yaitu “the ratings may run from 1-5, or from 1-10, or any other intervals”. Kriteria penetapan

tingkatan klasifikasi dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu rendah, sedang, dan tingkatan tinggi

dengan nilai 1, 2, dan 3.

Berikut ini adalah penjelasan yang signifikan mengenai bobot dan penilaian makna

kultural bangunan beserta batasan yang digunakan pada tipe tingkatan sebagai berikut:

1. Estetika

Estetika bangunan memliki keterkaitan dengan variabel konsep dan struktural

bangunan. Penilaian estetika didasarkan atas keterpeliharaan elemen-elemen

bangunan dari suatu perubahan, sehingga bentuk dan gaya serta elemen-elemen

bangunan masih sama dan relevan dengan bentuk bangunan aslinya.

2. Kejamakan

Prosedur penilaian terhadap aspek ini mengacu pada variabel konsep yang mewakili

gaya dan karakter bangunan asli, yaitu bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur

kolonial Belanda pada periode 1920-1940-an.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiunmengalami perubahan sehingga bangunan Balai Kota Madiunkehilangan karakter bangunan asli dari era kolonial Belanda.

2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan pada bangunan Balai Kota Madiun tanpamenghilangkan karakter asli bangunan tersebut.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan tidak mengalamiperubahan yang berarti atau karakter asli peningglan kolonialBelanda masih bisa diidentifikasi dari Balai Kota Madiun.

Page 39: Bab i,II,III Total Revisi 2

38

Tabel 3.3 Kriteria Kejamakan Bangunan

Tabel 3.4 Kriteria Kelangkaan Bangunan

3. Kelangkaan

Prosedur penilaian kelangkaan bangunan serta elemen-elemen bangunan erat

kaitannya dengan aspek bentuk, gaya, dan struktur yang tidak dimiliki oleh bangunan

lain pada kawasan yang sama sehingga menjadikan bangunan ini memiliki

karakteristik yang berciri khas tersendiri.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak mewakili karakter bangunan asli atau sudah banyak tejadiperubahan.

2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan yang merupakan perpaduan antara bangunankolonial asli dengan bangunan yang lebih baru.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili karakterbangunan asli dari karakter arsitektur kolonial Belanda.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiunumum dan banyak ditemukan pada kawasan Jalan Pahlawan danKota Madiun.

2 Sedang 2 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili salahsatu gaya bangunan yang pernah ada pada kawasan Kota Madiunpada masa pemerintahan kolonial Belanda dan mendukungkarakter asli bangunan.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili karakterbangunan asli dari karakter arsitektur kolonial Belanda. Dan tidak

Page 40: Bab i,II,III Total Revisi 2

39

Tabel 3.5 Kriteria Peranan Sejarah Bangunan

Tabel 3.6 Kriteria Keluarbiasaan Bangunan

4. Peranan Sejarah

Peranan Sejarah berkaitan dengan peristiwa sejarah atau perkembangan Kota Madiun

yang bisa ditinjau dari gaya dan karakter bangunan beserta elemen arsitektural yang

mewakili masa tersebut.

5. Keluarbiasaan

Kriteria ini memiliki keterkaitan dengan bentuk dan struktur bangunan serta elemen-

elemen yang berhubungan dengan ukuran sehingga menjadikan bangunan ini faktor

pembentuk karakter bangunan.

terdapat pada daerah lainnya.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak mempunyai fungsi yang terkait dengan peristiwa bersejarah.

2 Sedang 2 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mempunyai fungsiyang terkait dengan peristiwa bersejarah yang berhubungandengan kawasan Jalan Pahlawan dan Kota Madiun.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan memilikiketerkaitan dengan sejarah pengembangan kawasan dan memilikibukti fisik perkembangan kawasan Jalan Pahlawan dan KotaMadiun.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak memperkuat karakter bangunan asli atau sudah banyak tejadiperubahan.

Page 41: Bab i,II,III Total Revisi 2

40

Tabel 3.7 Kriteria Memperkuat Citra Bangunan

6. Memperkuat Karakter Bangunan

Penilaian terhadap kriteria memperkuat karakter bangunan dengan elemen-elemen

bangunan yang mempengaruhi bangunan dan difungsikan sebagai pembentuk dan

pendukung karakter bangunan asli.

Nilai pada masing-masing elemen bangunan untuk tiap kriteria selanjutnya akan

dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total yang dimiliki elemen bangunan. Nilai dalam

penentuan itulah yang menjadi patokan dalam klasifikasi elemen yang menjadi dasar

penentuan arahan pelestariannya. Langkah-langkah dalam penilaian maknakultural bangunan

sebagai berikut:

- Menjumlahkan hasil dari masing-masing kriteria

- Menentukan total nilai tertinggi dan terendah

2 Sedang 2 Apabila terjadi perubahan pada variabel konsep dan strukturelemen bangunan yang sudah berubah atau mengalami kerusakan.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan mewakili ataumemperkuat karakter bangunan asli dari karakter arsitekturkolonial Belanda Balai Kota Madiun.

No Klasifikasi Nilai Keterangan

1 Rendah 1 Jika variabel konsep dan struktur bangunan Balai Kota Madiuntidak memiliki satupun nilai tinggi pada kelima aspek sebelumnyadan bukan merupakan pembentuk karakter bangunan yang utama.

2 Sedang 2 Apabila pada variabel konsep dan struktur memiliki minimal 1nilai tinggi pada kelima aspek terdahulu dan merupakan elemenpembentuk karakter bangunan asli.

3 Tinggi 3 Apabila variabel konsep dan struktur bangunan memilki minimal 2nilai tinggi pada kelima aspek terdahulu dan sebagai bagian utamapembentuk karakter bangunan asli.

Page 42: Bab i,II,III Total Revisi 2

41

Tabel 3.8 Interval Arahan Pelestarian

- Mengelompokkan elemen bangunan ke dua kelompok besar, yaitu elemen potensial dan

elemen kurang potensial yang dilakukan dengan rumusan Sturgess:

k = 1 + 3,322 log k = £ kelas

n = £ angka yang ada dalam data

Menentukan pembagian jarak interval dengan mencari selisih antara total nilai tertinggi dan

nilai terendah untuk kemudian dibagi dengan jumlah kelas, seperti:

i = jarak i = interval kelas

k jarak = rentang nilai tertinggi dan terendah

k = 1 + 3,322 log n

Rentang Nilai Kategori

Rentang nilai dari 6-10 Rendah

Rentang nilai dari 11-15 Sedang

Rentang nilai dari 16-18 Tinggi

3.4.2 Metode Development

Metode ini dilaksanakan sebagai cara untuk menentukan arahan fisik pelestarian yang

sesuai terhadap kondisi bangunan. Dalam metode ini data dibandingkan dengan standar yang

telah ditetapkan. Standar tersebut ditetapkan dengan cara menyesuaikan hasil analisis

terhadap bangunan dengan mengaplikasikan teori-teori pelestarian dan kasus-kasus

pelestarian yang memiliki kondisi yang sama dengan objek studi. Metode ini menerapkan

suatu tahapan berupa tindakan fisik yang didasarkan pada hasil metode evaluatif yang

sebelumnya telah dilaksanakan.

Tahapan ini berfungsi untuk menentukan batasan fisik yang diperbolehkan bagi setiap

elemen bangunan untuk diterapkan perubahan-perubahan. Pada metode evaluatif diperoleh

elemen-elemen bangunan yang membentuk karakteristik bangunan yang diklasifikasikan ke

dalam potensial tinggi, sedang, dan rendah, sedangkan pada aplikasi metode ini hasil tersebut

kemudian diklasifikasikan kembali secara lebih spesifik ke dalam tiga kelas arahan

pelestarian, yaitu preservasi, konservasi, dan restorasi/rehabilitasi.

Page 43: Bab i,II,III Total Revisi 2

42

Tabel 3.9 Teknik Pelestarian Fisik

Potensi Arahan Pelestarian Tingkat Perubahan Fisik yangDiperbolehkan

1.

2.

3.

Potensi Tinggi

Potensi Sedang

Potensi Rendah

PreservasiKonservasiKonservasiRehabilitasiRehabilitasiRekonstruksi

Sangat KecilKecilKecilSedang-BesarSedang-BesarBesar

Arahan pelestarian fisik ini berfungsi untuk menentukan batasan perubahan fisik yang

diperbolehkan untuk setiap elemen bangunan. Setelah batasan perubahan fisik ditentukan dan

disusul dengan tindakan teknis pelestarian berdasarkan tingkat perubahan yang diperbolehkan

bagi tiap elemen pembentuk karakter pada bangunan tersebut. Perbedaan penentuan kategori

tinggi, sedang, dan rendah berpengaruh terhadap arahan pelestariannya. Bangunan yang

memiliki potensi tinggi disarankan dilakukan preservasi dan restorasi dengan cara

mengaplikasikan bahan dan material yang sama dalam menjaga keaslian bangunannya.

Bangunan dengan tingkat potensi sedang dilakukan usaha konservasi untuk melestarikan

kondisi bangunannya, dan elemen bangunan dengan potensi rendah dilakukan upaya

rehabilitasi berupa penggantian bagian yang rusak agar dapat berfungsi kembali.

3.5 Tahapan Penelitian

Tahap penelitian merupakan rangkaian proses penelitian yang mencakup sistematika

langkah-langkah yang akan ditempuh dan cara-cara yang dilakukan yang dilakukan pada

setiap tahapan tersebut. Berikut merupakan tahapan yang dilakukan dalam metode ini:

3.5.1 Persiapan dan Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah bertujuan untuk memunculkan dugaan sementara atau hipotesis.

Tahap ini bertujuan untuk mengemukakan fakta sehingga didapatkan latar belakang sebagai

dasar penentuan pokok permasalahan. Permasalahan yang ada adalah minimnya informasi

mengenai tinjauan karakter arsitektur kolonial Belanda pada Balai Kota Madiun. Hipotesis

pada penelitian ini adalah adanya ciri khas karakteristik arsitektur kolonial Belanda Art Deco

pada bangunan pemerintahan ini.

3.5.2 Pengumpulan Data

Page 44: Bab i,II,III Total Revisi 2

43

Pengumpulan data merupakan tahapan untuk menemukan data yang dituju dan

dibutuhkan dalam meneliti. Adapun dalam pengumpulan data dilakukan metode deskriptif

evaluatif dengan adanya pengumpulan data primer langsung di lapangan dan data sekunder

berupa peninjauan objek literatur.

1. Data Primer

Data primer sebagai data yang didapatkan langsung di lapangan, dalam hal ini

penelitian dilakukan di Balai Kota Madiun, sehingga data yang didapatkan berhubungan

dengan lokasi serta objek dan pendekatan yang akan ditinjau. Adapun data primer yang

dibutuhkan adalah:

No Jenis Data Kegunaan Data Sumber Bentuk Data

1 Data tentang sejarahberdirinyapemerintahan HindiaBelanda pada kotaMadiun dan sejarahpembentukanKotapraja Madiun

Untuk menelusurisejarah dan kondisieksisting yangmempengaruhiberdirinya pemerintahanHindia Belanda di kotaMadiun.

Wawancara denganNarasumber

Rekaman suara,catatan pribadihasil wawancara.

2 Data tentang kondisieksisting lokasipenelitian

Untuk mengetahuikondisi geografis lokasipenelitian.

Observasi lapangan Foto, video,catatan pribadiobservasi.

3 Data tentang karakterarsitektural bangunankolonial Balai KotaMadiun

Untuk mengetahui polaaktivitas yangmempengaruhi tipeelemen arsitektur padaBalai Kota Madiun.

Wawancara denganNarasumber

Oservasi lapangan

Rekaman suara,catatan hasilobservasi lokasipenelitian.

Tabel 3.10 Data Primer

Page 45: Bab i,II,III Total Revisi 2

44

2. Data Sekunder

Data sekunder meliputi data yang menunjang data primer untuk memperkuat survey

serta wawancara yang telah dilakukan.

Tabel 3.11 Data Sekunder

No Jenis Data Kegunaan Data Sumber Bentuk Data

1. Arahan konservasibangunan

Untuk mengetahui datakonservasi dari dinasterkait setempat terhadapkondisi bangunanbersejarah.

Data Instansiterkait

Buku bacaan

Logbook

2. Perubahan fisikbangunan

Untuk mengetahui datamengenai perubahan fisikbangunan bersejarah.

Arsip Instansiterkait

Buku bacaan

Logbook

3. Data sejarah bangunan Untuk mengetahui sejarahdidirikannya bangunan danaspek yang mendasarinya.

InstansiPerpustakaanDaerah terkait

Buku bacaanterkait

Logbook

4. Literatur elemen fisikdan karakteristikbangunan

Mengetahui berbagaiklasifikasi darikarakteristik bangunan.

Jurnal terkait Buku bacaan

Logbook

Tinjauan literatur berupa penelusuran terhadap teori-teori yang berhubungan

dengan objek penelitian, dalam hal ini dilakukan peninjauan terhadap objek literatur

yang berhubungan dengan karakter arsitektur, sejarah pemerintahan Hindia Belanda

di Kota Madiun, arsitektur kolonial Belanda, sejarah Balai Kota Madiun, dan elemen

arsitektur pada Balai Kota Madiun. Tinjauan literatur ini dibutuhkan sebelum

melakukan peninjauan langsung di lapangan, sehingga tinjauan literatur dijadikan

sebagai suatu penggambaran sebelum terjun langsung ke lapangan, dan menemukan

kebenaran mengenai sejarah objek terkait.

Adapun tinjauan literatur yang digunakan adalah:

a. Jurnal mengenai karakter arsitektur kolonial Belanda, beserta detail periode

perkembangannya.

b. Buku bacaan mengenai arsitektur kolonial Belanda, beserta elemen

arsitekturnya.

Page 46: Bab i,II,III Total Revisi 2

45

c. Serta beberapa jurnal lainnya yang mendukung penelitian.

3.5.3 Tahapan Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dilakukan setelah melakukan survei di lapangan dengan

menemukan data primer, dan peninjauan terhadap literatur terkait yang menunjang penelitian

melalui data sekunder. Adapun tahapan pengolahan data dikelompokkan ke dalam analisis

data dan sintesa data.

1. Analisis Data

Setelah didapatkan data primer berupa peninjauan langsung di lapangan serta

data sekunder berupa studi literatur dan penelitian sebelumnya, selanjutnya dilakukan

pengolahan data penelitian yang akan menjadi materi analisa dan pembahasan sebagai

hasil dari penelitian.

Analisis kondisi eksisting bangunan dilakukan dengan meninjau elemen

pembentuk bangunan yang erat kaitannya dengan karakter arsitektural Balai Kota

Madiun, serta potensi yang terdapat pada lokasi penelitian.

2. Identifikasi karakter arsitektur Balai Kota Madiun melalui peninjauan terhadap

elemen-elemen arsitektural colonial Belanda pada bangunan ikonik ini.

Analisis elemen pada bangunan ini dilakukan setelah meninjau secara

langsung terhadap elemen-elemen yang terdapat pada Balai Kota Madiun, serta

melakukan studi literatur yang sesuai topik pembahasan. Selanjutnya data diolah

dengan cara menganalisa tipe-tipe elemen pada Balai Kota tersebut yang dikaitkan

dengan karakter arsitektur kolonial Belanda, dan dijelaskan mengenai hal-hal yang

mempengaruhi karakter tersebut beserta perubahan pada desain bangunan

berdasarkan pengamatan peneliti.

3.5.4 Sintesa Data

Sintesa merupakan tahapan dalam menyimpulkan hasil dari penelitian yang telah

dilakukan, baik dengan melakukan tinjauan studi literatur maupun tinjauan langsung di

lapangan. Adapun sintesa data dilakukan setelah melakukan analisis terhadap hasil penelitian

yang telah dilakukan. Sintesa berupa pemaparan mengenai simpulan dari karakter arsitektur

pada Balai Kota Madiun berdasarkan elemen-elemen arsitektural bangunan, yang

mempengaruhi terbentuknya karakter bangunan Balai Kota Madiun.

Page 47: Bab i,II,III Total Revisi 2

46

Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian

Studi Referensi Studi Pendahuluan Observasi Awal

Penyusunan Proposal

Latar BelakangPenelitian

Teori Penelitian

Metodologi Penelitian

Pengumpulan DataSecara Riil

Data Sekunder

Peta Persil, TranskripSejarah Bangunan

(Arsip danWawancara)

Data Primer

Data Fisik Bangunan(Survei Lapangan)

KarakteristikBangunan

Analisis Pelestarian

Aplikasi metode developmentmenentukan strategi

pelestarian dari potensipelestarian yang telah

diperoleh setelah melaluiidentifikasi dan analisis

Kesimpulan dan Saran

KarakteristikArsitektural

Karakter Visual

- Atap

- Dinding Eksterior

- Dinding Interior

- Pintu

- Jendela

- Plafond

- Gaya

- Massa Bangunan

Karakter Spasial

- Organisasi Ruang

- Pola Raang

- Orientasi Ruang/Bangunan

Penilaian MaknaKultural

Estetika

Keterawatan

Kelangkaan

Keaslian

Peranan Sejarah

Keluarbiasaan

Page 48: Bab i,II,III Total Revisi 2

47Tabel 3.12 Desain Survey

No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data

Cara

memperoleh

data

Output

1. Analisa karakter

Balai Kota Madiun

Karakter spasial

bangunan

Organisasi ruang dalam,

sirkulasi

Orientasi ruang dan

bangunan

Analisis

Kualitatif

Analisis

Kualitatif

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

karakter

bangunan

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

karakter

bangunan

Studi literatur

Observasi

Lapangan

Wawancara

Studi Data

Primer

Studi Data

Sekunder

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

setiap elemen

karakteristik

bangunan

Page 49: Bab i,II,III Total Revisi 2

48

No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data

Cara

memperoleh

data

Output

Analisa karakter

Balai Kota Madiun

Karakter visual

bangunan

Massa bangunan

Elemen fasade bangunan

- Pintu

- Jendela

- Kolom

- Dinding

- Atap

Elemen dalam bangunan

- Dinding interior

- Pintu

- Jendela

- Plafond

- Lantai

Analisis

Kualitatif

Analisis

Kualitatif

Analisis

Kualitatif

Perkembangan

arsitektur

kolonial

Belanda di

Indonesia

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

karakter

bangunan

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

karakter

bangunan

Studi literatur

Studi literatur

Observasi

Lapangan

Wawancara

Studi literatur

Observasi

Lapangan

Wawancara

Studi Data

Sekunder

Studi Data

Primer

Studi Data

Sekunder

Studi Data

Primer

Studi Data

Sekunder

Karakter

bangunan Balai

Kota Madiun

meliputi karakter

fisik yang berupa

visual dan spasial

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

setiap elemen

karakteristik

bangunan

Perkembangan

dan perubahan

yang ada pada

setiap elemen

karakteristik

bangunan

Page 50: Bab i,II,III Total Revisi 2

49

No. Tujuan Variabel Sub variabel Analisis Jenis data Sumber data

Cara

memperoleh

data

Output

2. Menganalisis dan

menentukan

strategi arah

pelestarian Balai

Kota Madiun

Analisis fisik

bangunan

Pendekatan

pelestarian

berdasarkan arahan

fisik

Perkembangan dan

perubahan pada

Balai Kota Madiun

Pendekatan arahan

pelestarian pada

objek penelitian

Metode deskriptif

analisis (pemaparan

kondisi objek), metode

evaluative (metode

pembobotan), dan

metode development

Preservasi,

konservasi,rehabilitasi,

rekonstruksi

Karakter

bangunan untuk

mendapatkan

nilai makna

kultural

berdasarkan

kriteria-kriteria

makna kultural

Perkembangan

dan perubahan

pada bangunan

serta kendala

dalam upaya

pelestarian

Observasi

lingkungan

Pengelolaan

bangunan,

studi literature,

UU no. 11

tahun 2010

tentang cagar

budaya

Studi Data

Primer

Survey Data

Sekunder dan

Analisis Data

Faktor kendala

yang ada dalam

proses

pelestarian

ditinjau dari

faktor fisik

Pendekatan dan

arahan

pelestarian yang

tepat, kendala

saat pelestarian

Page 51: Bab i,II,III Total Revisi 2

50

DAFTAR PUSTAKA

Ching, DK (2008), Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Gill, Ronald (1988), The Morphology of Indonesian Cities, An Introduction to the

Morphology of Colonial Settlements and Town of Java, makalah pada seminar

Change and Heritage in Indonesia City di Jakarta, September, 28-29, 1988.

Groll, Tenminck CL., Historical Overview of Dutch Overseas Architecture and Town

Planning (up to 1990), makalah pada seminar Change and Heritage in Indonesian

City di Jakarta, 28-29 September 1988.

Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Penerbit

Andi Offset, Yogyakarta.

Handinoto (1996), Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya,

Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Jessup, Helen (1985), Dutch Architectural Visions of the Indonesian Tradition, dalam

majalah MUQARNAS vol. 3, Leiden 1985, Hal 138-161.

Krier, Rob (2001), Komposisi Arsitektur, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sumalyo, Yulianto (1995), Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Penerbit Gajahmada

Press, Yogyakarta.