BAB 1PENDAHULUAN
Penyakit kusta merupakan penyakit yang menahun, primer menyerang
saraf tepi dan mengakibatkan kecacatan tubuh serta menimbulkan
masalah psikososial akibat stigma di masyarakat, serta masih
menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.1 Di Indonesia sendiri, penyakit kusta merupakan penyakit
yang sifatnya endemis dengan penyebaran yang tidak merata. masih
ada 12 Provinsi yang menjadi tempat penularan (terjangkitnya)
penyakit lepra atau kusta. Ke 12 Provinsi itu adalah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, dan Papua. Hingga
saat ini, Indonesia menempati posisi ke tiga sebagai negara
terbanyak penduduknya mengidap penyakit kusta, setelah India dan
Brazil.2 Melihat dari data yang ada, ternyata di Indonesia masih
banyak di temukan penyakit kusta. Penyakit kusta ini dapat
menyebabkan kecacatan, apabila tidak mendapatkan penanganan yang
cepat dan tepat. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui
gejala-gejala dari penyakit ini sehingga dapat melakukan deteksi
dini yang pada akhirnya akan mengurangi komplikasi yang disebabkan
oleh penyakit kusta, berupa kecacatan. Salah satu bagian yang masih
menjadi masalah, adalah adanya reaksi lepra yang muncul sebagai
episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis. Reaksi lepra
dibedakan menjadi reaksi lepra tipe I (reversal) dan reaksi lepra
tipe II atau Erytematous Nodusum Leprosum. Kedua reaksi ini
merupakan reaksi yang melibatkan respon imunitas seluler dan
kompleks imun. Reaksi ini harus ditegakkan dan dilakukan terapi
sejak dini, sebab keterlibatan saraf lebih besar, sehingga
terjadinya komplikasi pada sistem saraf perifer dapat terjadi
kapanpun.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Morbus HansenMorbus Hansen atau lepra merupakan
penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae
yang bersifat intraselular obligat dan predileksi pada kulit dan
saraf. Karakteristik klinis penyakit ini ditandai dari satu atau
lebih tiga tanda kardinal, seperti hipopigmentasi atau eritema
dengan kehilangan sensasi, penebalan saraf perifer, dan terdeteksi
BTA (basil tahan asam) pada kerokan lesi kulit. Saraf perifer
merupakan afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, dan dapat pula ke organ lain, kecuali
susunan saraf pusat.1,3,4
2.2. EpidemiologiBerdasarkan studi, penyakit kusta ini menyerang
kelompok umur 25-35 tahun, dengan berbagai macam ras dan jenis
kelamin (pria:wanita, 2:1). Hingga kini proses penyebaran penyakit
masih belum pasti, namun teori kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat, serta secara inhalasi sebab M. Leprae mampu hidup
dalam droplet untuk beberapa hari acuan untuk transmisi penyakit
ini.3,4,5 Prevalensi kusta di dunia berkisar 1,4 kasus per 10.000
penduduk, dan yang terdaftar pada tahun 2003 adalah sebesar 612.110
kasus. Kira-kira 70% dari seluruh kasus penyakit kusta di dunia
berasal dari India, Indonesia, dan Myanmar. Di Indonesia,
prevalensi penyakit kusta pada tahun 2003 sebesar 16.837 atau 0.81
pada 10.000 penduduk. Distribusi penyakit MH di Indonesia tidak
merata, namun daerah dengan prevalensi tertinggi diantaranya, Jawa
Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.5,6
2.3PatogenesisFaktor genetik manusia mempengaruhi akuisisi lepra
dan manifestasi klinis penyakit ini. Studi single-nucleotide
polymorphism (SNP) mengemukakan produksi rendah lymphotoxin- (LTA)
adalah faktor resiko genetik utama untuk onset awal lepra. Beberapa
SNP juga memiliki hubungan dengan penyakit atau perkembangan reaksi
lepra, seperti vitamin D receptor (VDR), TNF-, IL-10, IFN-, gen
HLA, dan TLR1.1,2,3,4 Dua gen telah diidentifikasi sebagai faktor
resiko lainnya, seperti PARK2, yang mengode E3-ubiquitin ligase
parkin, dan PACRG, sedangkan gen lainnya yaitu NOD2 meningkatkan
afinitas lepra dan pengembangan reaksi lepra tipe I dan tipe II.Sel
schwann (SC) adalah taget utama infeksi M. Leprae yang menyebabkan
jejas pada saraf, demielinisasi, dan disabilitas. Perlekatan M.
Leprae pada sel schwann menginduksi demielinisasi dan kehilangan
konduksi aksonal.35 M. Leprae dapat menginvasi sel tersebut melalui
protein laminin spesifik pada PGL-1.36,37 PGL-1 merupakan
glikokonjugasi pada M. Leprae. Identifikasi pada reseptor target
sel schwann (dystroglycan), memiliki peran dalam degenerasi awal
saraf.37 Demielinisasi merupakan hasil dari ligasi bakteri secara
langsung terhadap reseptor neuregulin, ErbB2, dan aktivasi Erk1/2,
sehingga terjadi aktivasi signal MAP kinase dan aktivasi sistem
proliferasi.3Makrofag adalah salah satu sel inang yang datang
kontak dengan M. Leprae. Proses fagositosis bakteri ini oleh
monocyte-derived macrophages dapat dimediasi oleh reseptor
komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan
diregulasi oleh protein kinase.4,5,6 Terkadang adanya sitokin Th2
dapat menyebabkan proses fagositosis terganggu.7
2.4Klasifikasi Morbus HansenTerdapat beberapa pedoman
klasifikasi penyakit ini, diantaranya yaitu:1. Ridley dan
Jopling:7,8,9a. Tipe Tuberkuloid Tuberkuloid (TT, stabil)b. Tipe
Borderline Tuberkuloid (BT)c. Tipe Mid Borderline (BB)d. Tipe
Borderline Lepromatosa (BL)e. Tipe Lepromatosa Lepromatosa (LL,
stabil)2. Madrid: a. Indeterminateb. Tuberkuloidc. Borderlined.
Lepromatosa3. WHO (1995):a. Tipe Pausibasiler (PB): Tipe TT, Tipe
BTb. Tipe Multibasilar (MB): Tipe LL, Tipe BL, Tipe BB
2.5Morbus Hansen Tipe Multi Basiler
Tabel 1. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta
MB12Berdasarkan klasifikasi WHO (1995), penyakit morbus hansen tipe
MB, terdiri atas tipe LL, tipe BL, dan tipe BB yang mengandung
banyak M. Leprae.11 Pada klasifikasi Ridley-Jopling MB
didefinisikan dengan indeks bakteri (IB) > 2+, sedangkan PB <
2+. Untuk kepentingan pengobatan, MH tipe MB merupakan semua
penderita kusta tipe LL, BL, dan BB atau klasifikasi klinis dengan
BTA positif, sehingga apabila MH tipe PB ditemukan hasil BTA
positif, dapat dimasukkan dalam tipe MB.11,12 Diagnosis penyakit
ini, didasarkan pada manifestasi klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Adapun manifestasi klinis penyakit
morbus hansen tipe MB, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
SIFATLEPROMATOSA(LL)BORDERLINE LEPROMATOSA(BL)MID
BORDERLINE(BB)
Lesi
BentukMakulaInfiltrat
difusPapulNodusMakulaPlakatPapulPlakatDome-shaped(kubah)Punched-out
JumlahTidak terhitungTidak ada kulit sehatSukar dihitungMasih
ada kulit sehatDapat dihitungKulit sehat jelas ada
DistribusiSimetrisHampir simetrisAsimetris
PrmukaanHalus berkilatHalus berkilatAgak kasar,agak berkilat
BatasTidak jelasAgak jelasAgak jelas
AnestesiBiasanya tidak jelasTak jelasLebih jelas
BTA
Lesi kulitBanyak(ada globus)BanyakAgak banyak
Sekret hidungBanyak(ada globus)Biasanya negatifBiasanya
negatif
Tes LeprominNegatifNegatifBiasanya negatif
Pada pemeriksaan bakterioskopik (kerokan pada lesi kulit) dengan
Ziehl Neelsen ditemukan hasil yang positif pada penderita MH tipe
MB. Adapun indeks bakteri yang ditemukan berupa > 2+ atau >
10 BTA dalam 10 LP (lapang pandang) untuk tipe MB. Sedangkan pada
pemeriksaan serologik, ditemukan antibodi spesifik terhadap M.
Leprae, berupa antibodi anti phenolic glycolipid-1 dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Namun, terdapat pula antibodi non-
spesifik yang dapat dihasilkan oleh bakteri ini, berupa
liphoarabinomanan (LAM). Pemeriksaan serologik penting dan sering
dilakukan pada MH yang meragukan, sebab temuan tanda klinis dan
bakteriologis yang tidak jelas. Menurut WHO (1995), oleh karena
keterbatasan pemeriksaan kerokan pada lesi kulit di lapangan, maka
WHO telah menyederhanakan diagnosis klinis penyakit morbus hansen
tipe MB yang didasarkan pada temuan lesi > 5 dengan distribusi
lesi lebih simetris, disertai kehilangan sensasi yang kurang jelas
dan kerusakan pada banyak cabang saraf (n. ulnaris, n. medianus, n.
radialis, n. poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n.
fasialis, dan n. trigemenus).Terapi pengobatan untuk penyakit
morbus hansen telah menggunakan teknik MDT (multi drug treatment),
hal ini dilaksanakan untuk mencegah resistensin, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan rantai transmisi penyakit
ini. Pengobatan untuk MH tipe MB, yaitu terlihat pada tabel
berikut:
Tabel 2. Dosis dan Cara Pemakaian MDT pada Dewasa dan Anak-anak
RifampicinDapsonLamprene
Dewasa600 mg/bulanDiminum di depan petugas kesehatan100
mg/hariDiminum dirumah300 mg/bulanDiminum di depan petugas
kesehatan, dilanjutkan dengan 50 mg/hari diminum di rumah atau 3
kali 100 mg/minggu
Anak-anak(10-14 tahun)450 mg/bulanDiminum di depan petugas50
mg/hariDiminum di rumah150 mg/bulanDiminum di depan petugas
kesehatan, dilanjutkan dengan 50 mg selang sehari di rumah
Nb: diminum di depan petugas atau dalam pengawasanDosis MDT pada
anak dibawah umur 10 tahun yaitu sebagai berikut:1. Rifampicin:
10-15 mg/kg BB2. Dapson : 1-2 mg/kg BB3. Lamprene :a. Bulanan: 100
mg/bulanb. Harian: 50 mg/2x semingguSebagai standar pengobatan, WHO
Expert Committee membuat keputusan dengan memperpendek masa
pengobatan untuk kasus multibasiler dari 24 dosis yang diselesaikan
dalam waktu 24 36 bulan, menjadi 12 dosis dalam 12 18 bulan.13,14
Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan sebagai RFT
(Release from Treatment) atau berhenti minum obat. Setelah masa
RFT, maka dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun dalam jangka waktu 5 tahun.
Bila dalam jangka waktu tersebut, bakterioskopis tetap negatif dan
tidak ditemukan tanda-tanda relaps atau kusta aktif, maka penderita
dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut dengan Release from
Control (RFC).
2.6Morbus Hansen Tipe Multi Basiler dengan Reaksi Kusta Tipe I
(Reaksi Reversal)
2.6.1Reaksi Kusta Tipe I (Reaksi Reversal)Reaksi kusta merupakan
episode akut pada perjalanan kronis penyakit morbus hansen. Reaksi
ini merupakan suatu konsekuensi respon imun terhadap M. Leprae,
yang dapat timbul sebelum, saat, atau setelah menyelesaikan
pengobatan MDT. Namun, tidak semua MH tipe pausibasiler ataupun
multibasiler terjadi pengembangan reaksi kusta ini.48,49
Berdasarkan penelitian WHO (2000), 25% reaksi kusta terjadi pada MH
tipe PB dan 45% terjadi pada MH tipe MB.14,15 Berdasarkan beberapa
buku, disebutkan bahwa reaksi kusta masuk dalam salah satu
komplikasi MH. Etiologi reaksi ini belum diketahui secara pasti,
namun reaksi hipersensitivitas sampai saat ini masih digunakan
untuk menjelaskan patogenesis penyakit tersebut. Terdapat dua tipe
mayor reaksi kusta, yaitu reaksi kusta tipe I (T1LR) atau reaksi
reversal dan reaksi kusta tipe II (T2LR) atau reaksi erythema
nodusum leprosum (ENL). Pada tulisan ini, penulis fokus pada reaksi
kusta tipe I. Reaksi kusta T1LR merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe IV yang terjadi pada lepra tipe borderline dengan respon imun
seluler terhadap M. Leprae.16,17 T1LR secara umum
dikarakteristikkan dengan inflamasi akut pada lesi lama atau lesi
baru, dan/atau neuritis. 95% reaksi kusta tipe I terdiagnosis
secara simultan bersamaan dengan MH atau selama dua tahun pertama
pengobatan MDT. Data studi menemukan pula proses odem dan ulserasi
pada kulit. Odem pada tangan, kaki, dan wajah merupakan pola reaksi
TILR. Neuritis yang tidak tertangani dengan cepat dan adekuat,
dapat menyebabkan kehilangan fungsi saraf permanen berupa neuropati
saraf sensoris dan motoris perifer. Onset TILR dapat sangat cepat,
bersifat rekuren dan menyebabkan beberapa kerusakan saraf.18
ENLReversalLLBLBBBTTT
Gambar 1. Hubungan Antara Reaksi Reversal dan ENL pada Berbagai
Tipe Kusta18
2.6.2 Patogenesis Reaksi Kusta Tipe I (Reaksi Reversal)Kemampuan
tubuh untuk secara cepat mendeteksi invasi patogen merupakan pola
penting dari sistem imun tubuh (innate) yang dimediasi oleh
pengenalan bagian reseptor berbagai macam ligan. Hal ini merupakan
bagian tipe reaksi sensitivitas tipe IV. Toll-like receptor 2
(TLR2) terlibat pada pengenalan lipoprotein mikobakterium.
Stimulasi pada reseptor TLR, dapat mengaktivasi faktor transkripsi
nuclear Nf-kB yang memodulasi transkripsi gen
respon.18,19,20Aktivasi sistem imun tubuh (innate) menyebabkan
produksi sitokin dan ekpresi molekul co-stimulasi sebagai respon
dari aktivasi sel sistem imun adaptif. T1LR meningkatkan respon sel
terhadap antigen M. Leprae, yang dikarakteristikkan dengan aktivasi
limfosit T helper (Th)-1 yang mengekspresikan IL-12 dan IFN-. IFN-
dan TNF- memproduksi CD4 dan sel sitotoksik T yang secara selektif
meningkat dengan proses klirens basil dan kehancuran saraf.
Komponen dinding sel M. Leprae, seperti LAM, menginduksi aktivasi
nuklear translokasi Nf-kB dan MAP kinase. Kedua hal tersebut
penting dalam pembentukan sitokin dan aktivasi sel imun
adaptif.18,19,21Proses patogenesis belum dapat diketahui secara
pasti, namun studi baru-baru ini menyebutkan, bahwa reaksi kusta
tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed).
Antigen M. Leprae ditemukan pada sel saraf dan kulit yang
terlokalisasi pada sel Schwann dan makrofag. Seperti penjelasan
diatas, TLR2 berperan penting dalam memediasi ekspresi sitokin pro
inflamasi. Sel Schwann merupakan sel yang mengekspresikan reseptor
TLR-2. antigen M. Leprae pada sel terinfeksi menyebabkan ekpresi
MHC-II pada permukaan sel. MHC-II kemudian dipresentasikan oleh APC
ke limfosit Th-1, sehingga mencetuskan produksi limfosit sitolitik
CD4+ untuk menghancurkan sel terifeksi. Hal ini pula dicetuskan
oleh mediator sitokin pro inflamasi, seperti tumor necrosis factor
(TNF), IL-12, IFN-, dan i-NOS. Sel limfosit sitolitik CD4+
merupakan sel yang berperan signifikan dan jumlahnya paling banyak
ditemukan pada lesi granuloma T1LR, meskipun demikian rantai
aktivasi diatas juga melibatkan sel sitotoksi CD8 dan CD4 untuk
menghancurkan sel yang terinfeksi.22
Gambar 2. Patogenesis Reaksi Kusta Tipe I (Reaksi
Reversal)22Meskipun TNF- memediasi berbagai respon sel imun,
diketahui bahwa TNF- memiliki efek toksik pada sel Schwann, namun
apabila terkombinasi dengan TGF- memiliki efek yang lebih
signifikan untuk menyebkan lisis pada sel Schwann tersebu, sehingga
hal ini menyebabkan kehancuran saraf perifer.Berdasarkan penelitian
Jopling, et al (2003), antigen berasal dari basil yang telah mati
(breaking down leprosy bacilli) yang kemudian bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler (SIS) yang
cepat. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut, dapat
terjadi (gambar 1.):a. Up Grading Reaction atau Reversal: apabila
pergerseran imunitas ke arah tuberkuloid (peningkatan SIS)b. Down
Grading Reaction: apabila pergeseran imunitas ke arah lepromatosa
(terjadi penurunan SIS)
2.7Manisfestasi Klinis Reaksi Kusta Tipe ISemua pasien MH dapat
berkembang menjadi reaksi krusta tipe I, namun terdapat beberapa
faktor predisposisi yang meningkatkan kejadian TILR ini, seperti:a.
Lesi: multiple, dekat dengan saraf perifer dan wajahb. Penebalan
saraf dengan atau tanpa gangguan fungsionalc. Reaksi presipitasi
infeksi, vaksinasi, perubahan hormonal (pubertas, kehamilan, dan
kelahiran bayi), serta stres psikologis.Adapun manifestasi klinis
reaksi kusta tipe I (reaksi reversal), yaitu sebagai berikut:a.
Kondisi umum (gejala konstitusi)Kondisi umum pasien baik, dengan
atau tanpa deman dan gejala konstitusi lainnya.b. Inflamasi pada
lesi kulitTanda inflamasi terlihat pada lesi yang sudah ada, lesi
kulit menjadi merah dan mencolok, bengkak, mengkilap dan panas.
Lesi dapat disertai nyeri ataupun tanpa nyeri pada reaksi tipe I
ringan.c. Inflamasi pada saraf Neuritis Akut: saraf yang terlibat
berupa lesi pada saraf lama atau baru. Terjadi penebalan, nyeri
tekan (sangat nyeri), fungsi sensoris, autonomi, dan motor
terganggu. Nyeri pada saraf menyebabkan tekanan intraneural,
sehingga terjadi odem dan proses inflamasi pada saraf. Nyeri dapat
berupa referred pain. Silent neuropathy atau quite nerve paralysis:
Terjadi gangguan fungsi saraf tanpa disertai nyeri ataupun nyeri
tekan pada saraf atau inflamasi pada lesi kulit, sehingga
komplikasi nyeri tidak dapat diprediksi (muncul secara cepat dan
tiba-tiba).d. Odem pada tangan dan kakie. MataTidak terdapat
perubahan pada jaringan ocular pada reaksi kusta tipe I, namun
pasien dapat mengembangkan penyakit anestesia kornea dan
lagophtalmus oleh karena keterlibatan nervus VII dan nervus
V.Keterlibatan saraf menyebabkan kehilangan fungsi permanen
sehingga terjadi disabilitas. Pasien MH tipe MB dengan reaksi kusta
tipe I, harus dibedakan antara tipe ringan dan berat, yang dapat
dilihat pada tabel 3. di bawah ini.Tabel 3. Perbandingan
Manifestasi Klinis Reaksi Kusta Tipe I Reaksi Tipe I RinganReaksi
Tipe II Berat
Reaksi terjadi pada lesi kulit yang sudah ada Eritema dan odem
lesi kulit tanpa ulserasi Tidak terdapat keterlibatan saraf Tidak
terdapat gejala konstitusi Tidak ditemukan odem pada tangan dan
kaki Tidak berespon pada NSAID periode 2 4 minggu Lesi kulit
eritema, nyeri, dan inflamasi yang disertai dengan ulserasi Nyeri
atau nyeri tekan pada satu atau lebih saraf dengan atau tanpa
kehilangan fungsi saraf Makula eritema disertai odem pada wajah
sekitar mata Lesi kulit pada traktus saraf Ditandai dengan odem
pada tangan, kaki atau wajah Kehilangan fungsi motorik Respon
terhadap NSAID
Gejala klinis lainnya yang ditemukan pada reaksi reversal adalah
sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan/atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Lesi
hipopigmentasi dapat menjadi eritema, lesi eritema semakin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat dan meluas. Selain itu,
reaksi reversal sering pula disebut dengan reaksi non-nodular,
karena tidak ditemukannya nodul bila dibandingkan dengan reaksi
kusta tipe II (Erimatous Nodular Leprosy). Hal ini penting, saat
terjadi fenomena lucio yang merupakan reaksi kusta lepromatosa
non-nodular difusa yang sangat berat. Fenomena ini jarang terjadi,
namun gambaran klinis dapat berupa:a. Plak atau infiltrat difusb.
Berwarna merah mudac. Berbentuk konfigurasi dan terasa nyerid. Lesi
terutama diekstremitas dan meluas ke seluruh tubuhe. Lesi yang
berat, berupa eritematosa, purpura, dan bula yang secara cepat
dapat terjadi nekrosis dan ulserasif. Lesi lambat sembuh dan
terbentuk jaringan parut
Adapun tahapan keterlibatan saraf yaitu, sebagai berikut:a.
Tahap ISaraf menjadi bengkak akibat respon inflamasi (reaksi kusta)
dan pembentukan granulomatosa. Secara palpasi saraf teraba menebal.
Perasaan gatal dan nyeri dapat dirasakan pada perjalanan saraf
perifer sehingga menyebabkan iskemia. Apabila sistem imunitas
seluler dalah keadaan baik, tidak ditemukannya bukti keterlibatan
kulit, sehingga hanya terjadi neural leprosy.
Gambar 3. Odem Oval pada Keterlbatan Saraf Tahap II
b. Tahap II (Tahap Kerusakan Saraf Parsial)Kompresi traktus
saraf perifer menyebabkan destruksi pada akson, sehingga terjadi
iskemia yang mempengaruhi fungsi motorik, autonomic, dan sensoris.
Area yang mengalami nekrosis berbentuk odem oval pada kulit yang
mengindikasikan pula terjadi nervus abses. Terjadi paralisis
inkomplit atau komplit.c. Tahap III (Tahap Destruksi Saraf)Saraf
menjadi fibrotic, tebal dan atrofi (long standing paralysis). Pada
tahap ini, kerusakan saraf bersifat permanen.
2.8Diagnosis Banding Reaksi Kusta Tipe IAdapun diagnosis banding
untuk reaksi kusta tipe I, yaitu:a. Cutaneous drug eruptionsPada
penyakit ini ditemukan eksantemata, urtikaria, likenoid, menyerupai
ENL, eritema multiforme, SJS atau TEN. Pada beberapa reaksi, pasien
mengeluh gatal dan rasa terbakar yang tidak ditemukan pada reaksi
leprosy. Lesi erupsi yang baru tidak berhubungan dengan lesi kulit
yang telah ada.b. Infeksi LokalPioderma lokalis yang berkembang
pada pasien lepra hanya terbatas pada salah satu bagian tubuh dan
terdapat riwayat infeksi, seperti jejas atau gigitan serangga.c.
RelapseReaksi ini selalu terjadi pada 3 tahun pertama terapi anti
lepra dan memiliki onset aku dengan nyeri dan nyeri tekan pada lesi
lama. Lesi baru muncul secara tiba-tiba.
2.9Terapi Reaksi Kusta Tipe I pada Morbus Hansen Tipe Multi
BasilerPrinsip penanganan reaksi kusta tipe I pada MH tipe MB
adalah penanganan neuritis akut untuk mencegah kecacatan atau
kontraktur, pencegahan kebutaan, eradikasi kuman, serta mengatasi
rasa nyeri yang timbul. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal
tersebut, dilakukan imobilisasi, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat anti reaksi, dan MDT diteruskan dengan dosis yang
sama sesuai tipe multi basiler.Terapi reaksi kusta tipe I dibedakan
atas derajat penyakit ringan dan berat. Adapun prinsip terapi
reaksi ringan, yaitu:52,54,55a. Obat MDT dilanjutkan sesuai dosis
yang telah ditentukanb. Konseling untuk menurunkan sres
psikologisc. Terapi antibiotikd. Analgesik dan anti inflamasi
(NSAID)e. Anxiolitik (pada tingkat kecemasan tinggi)
1. Manajemen reaksi ringan kusta tipe I, yaitu:a. Terapi reaksi
ringan berdasarkan gejala tanpa steroid. Perawatan secara rawat
jalan.b. MDT (multi drug treatment): berikan MDT bila pasien dating
pertama kali dan reaksi kusta timbul saat renjatan pertama, namun
yang telah mendapatkan MDT, pengobatan dilanjutkan sesuai dengan
prinsip penanganan MH tipe MB yaitu sesuai dengan tabel 1..Apabila,
reaksi kusta tipe I muncul saat pasien menyelesaikan pengobatan,
maka pasien hanya diberikan obat anti reaksi kusta tipe I.c.
Analgesik dan anti-inflamasi: reaksi ringan dengan lesi kulit
inflamasi yang ringan diberikan terapi simtomatik berupa NSAID
(Aspirin) dosis dewasa 600 mg 6 kali/hari atau parasetamol 1 gr 4
kali/hari (dosis dewasa).d. Obat anti reaksi: Chloroquine 150 mg 3
x 1 selama 3 5 hari2. Manajemen reaksi berat kusta tipe I, yaitua.
Pada reaksi berat kusta tipe I membutuhkan pengobatan steroidb.
Imobilisasi: perlu dilakukan rawat inap 2 minggu (sesuai klinis)c.
Balut (splint) saraf yang terlibat: imobilisasi saraf dapat
menggunakan splint static. Hal ini berguna untuk mencegah trauma
pada saraf oleh karena pergerakan sendi berulang. Splint digunakan
selama 24 jam dan dibuka hanya untuk fisioterapi.
Gambar 4. Posisi Fungsional untuk Splinting54
d. Analgesik: NSAID (Aspirin) dosis dewasa 600 mg 6 kali/hari
atau parasetamol 1 gr 4 kali/hari (dosis dewasa).e.
Prednisolone/prednisone: obat utama untuk terapi reaksi berat
adalah kortikosteroid, dengan skema: 40 mg/hari: 2 minggu I 30
mg/hari: 2 minggu II 20 mg/hari: 2 minggu III 15 mg/hari: 2 minggu
IV 10 mg/hari: 2 minggu V 5 mg/hari: 2 minggu VIf. Obat-obat anti
reaksi: Aspirin: 600 1200 mg setiap 4 jam (4 6 kali/hari)
Klorokuin: 3 x 150 mg/hari Antimon: Stibophen (8,5 mg antimon per
ml), diberikan 2 3 ml secara selang-seling. Dosis total tidak
melebihi 30 ml. Obat ini jarang dipakai karena memiliki efek
toksik. Thalidomide: dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai
mencapai 50 mg/hari. Jarang dipakai, terutama pada wanita
(teratogenik).
BAB IIILAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien Nama: Ni Made DiamiUmur: 36 tahunKelamin:
PerempuanAgama: HinduAlamat: Desa DepehasStatus: MenikahPekerjaan:
Ibu rumah tanggaPendidikan terakhir: Sekolah DasarSuku: BaliBangsa:
IndonesiaTanggal Periksa: 2 Juni 2014
3.2. AnamnesaKeluhan utama:Bercak-bercak kemerahan pada seluruh
badanPerjalanan penyakit:Penderita mengeluh adanya bercak bercak
kemerahan yang terdapat di seluruh badannya. Pada awalnya penderita
mengeluhkan timbulnya lesi berupa makula hipopigmentasi di daerah
lengan atas yang disertai dengan mati rasa sejak 7 bulan yang lalu
tanpa disertai adanya keluhan demam dan gejala infeksi saluran
nafas atas. Lesi kemudian mulai menyebar ke seluruh tubuh. Lesi
tersebut lama kelamaan makin membesar, mengalami peninggian dan
berubah warna menjadi kemerahan. Pasien kemudian ke puskesmas dan
mendapatkan regimen pengobatan sesuai dengan diagnosis awalnya di
puskesmas. setelah mendapat pengobatan tersebut pasien mengeluh
bengkak yang terjadi di sekitar mulutnya dan berlanjut ke seluruh
tubuh. karena khawatir akan kondisinya, pasien pergi ke RSUD
Singaraja untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut dan diopname
selama 2 minggu. Saat ini masih terdapat lesi berupa plak kasar di
daerah lengan kanan atas dan bawah serta punggung, disertai dengan
makula eritema berbatas tegas di seluruh tubuh disertai dengan rasa
nyeri dan panas yang menyengat tanpa adanya gatal dan penurunan
sensitivitas. Pasien sudah melakukan tes BTA. Tidak ada hal yang
memperingan maupun memperberat keluhan pasien. Riwayat
PengobatanPenderita mendapatkan regimen terapi berupa MDT-MB selama
12 bulan yang sudah diselesaikan pasien selama 7 bulan.Riwayat
Penyakit TerdahuluPenderita belum pernah mengalami keluhan yang
sama sebelumnya.Riwayat Penyakit Yang Sama Dalam KeluargaTidak ada
riwayat keluhan penyakit yang sama dengan pasien pada keluarga
pasien, tetapi pasien mengaku ada tetangganya yang memiliki keluhan
yang sama dengan pasien.Riwayat AtopiPenderita menyangkal riwayat
alergi.
3.3. Pemeriksaan FisikStatus present: Keadaan Umum:
baikKesadaran: compos mentisTensi: 120/80Nadi: 78 x/mneitRespirasi:
18 x/menitTemperatur: 370CStatus general : Kepala: normocefaliMata:
anemia -/-, ikterik -/-THT: kesan tenangThorax: Cor: S1S2 tunggal
regular, murmur (-) Pul: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing
-/-Abdomen: dintensi (-), bising usus (+) normalExtrimitas: akral
hangat (+), edeme (-)
Status DermatologiLokasi: Seluruh tubuhEffloresensi: Makula
eritema, batas tegas, multiple tersebar, bentuk geografika, ukuran
bervariasi, diatas kulit yang normal di seluruh tubuh. Terdapat
makula hipopigmentasi, batas tegas, multiple tersebar, bentuk
bulat/oval, ukuran bervariasi, diatas kulit yang normal di punggung
dan ekstremitas bawah. Terdapat plak eritema, berbatas tegas,
multiple, bentuk bulat, ukuran bervariasi, diatas kulit normal pada
ektremitas kanan atas.Stigmata atopik : tidak adaMukosa : dalam
batas normalRambut : dalam batas normalKuku : dalam batas
normalPenebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf
Pemeriksaan Fisik Khusus:Tes sensitivitas : Hasil yang diperoleh
pada pasien ini adalah tidak terdapat adanya gangguan sensitivitas
pada makula dan plak penderita.Pemeriksaan penebalan saraf tepi:
pada pasien ini tidak ditemukan penebalan saraf tepi Pemeriksaan
sensorik : Hasil yang diperoleh pada pasien ini adalah sensoriknya
masih normalPemeriksaan motorik : pada pemeriksaan ini kekuatan
otot pasien yang dinilai dan hasilnya kekuatan otot pada pasien ini
maksimal. 3.4. Diagnosis Banding ENL pada pasien Morbus Hansen
Fixed drug eruption Tinea versikolor Psoriasis
3.5. Usulan Pemeriksaan1. Pemeriksaan BTA. Hasil BTA : positif
2. Pemeriksaan Biopsi: belum dikerjakan
3.6. ResumePenderita, perempuan, 36 tahun, Hindu, Bali. Datang
dengan adanya bercak bercak kemerahan yang terdapat di seluruh
badannya. Keluhan pasien dimulai sejak 7 bulan yang lalu. Lesi
pasien menjadi bengkak setelah mendapatkan pengobatan di puskesmas.
Saat ini masih terdapat lesi berupa plak kasar di daerah lengan
kanan atas dan bawah serta punggung, disertai dengan makula eritema
berbatas tegas di seluruh tubuh disertai dengan rasa nyeri dan
panas yang menyengat tanpa adanya gatal dan penurunan sensitivitas.
Penderita mendapatkan regimen terapi berupa MDT-MB selama 12 bulan
yang sudah diselesaikan pasien selama 7 bulan. Tidak terdapat
riwayat penyakit sistemik dan riwayat alergi. Tetangga pasien
memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Pemeriksaan fisik :Status present : dalam batas normalStatus
general : dalam batas normal
Status dermatologi : Lokasi: Seluruh tubuhEffloresensi: Makula
eritema, batas tegas, multiple tersebar, bentuk geografika, ukuran
bervariasi, diatas kulit yang normal di seluruh tubuh. Terdapat
makula hipopigmentasi, batas tegas, multiple tersebar, bentuk
bulat/oval, ukuran bervariasi, diatas kulit yang normal di punggung
dan ekstremitas bawah. Terdapat plak eritema, berbatas tegas,
multiple, bentuk bulat, ukuran bervariasi, diatas kulit normal pada
ektremitas kanan atas.Stigmata atopik : tidak adaMukosa: dalam
batas normalRambut : dalam batas normalKuku: dalam batas
normalPenebalan saraf : tidak terdapat penebalan saraf
3.7. Diagnosis KerjaMorbus Hansen Tipe Multi Basiler dengan
Reaksi Reversal
3.8. PenatalaksanaanPada pasien ini telah mendapatkan terapi
sejak 7 bulan yang lalu dengan regimen terapi berupa : Rifampisin:
600 mg tiap bulan diminum didepan petugasLampren: 300 mg tiap bulan
diminum didepan petugas, dilanjutkan 50 mg tiap hari dirumahDapson:
100 mg tiap hari diminum di rumah Pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.Untuk reaksi reversal, penderita mendapatkan regimen
terapi berupa:1. Prednison 5mg 2 kali sehari selama 15 hari2.
Sohobion sekali sehari selama 10 hari3. Asam mefenamat 3 kali
sehari 500mg selama 7 hari4. Inerson dan fuson topikal sebanyak 2
kali sehari
3.9. PrognosisPrognosis penyakit ini dubius ad bonam
BAB IVPEMBAHASAN
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronis,dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. Pada perjalanan penyakit kusta, dapat
terjadi suatu reaksi yang dinamakan reaksi kusta, yaitu adalah
suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan reaksi kekebalan (respon selular) atau reaksi
antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien
yang dapat terjadi pada pasien saat sebelum mendapat pengobatan,
selama pengobatan atau sesudah pengobatan. Terdapat 3 jenis reaksi
kusta, yaitu reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading,
reaksi borderline), reaksi tipe II (Eritema Nodusum Leprosum) dan
Fenomena Lucio. Diagnosa kusta dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari pasien ini
didapatkan bahwa pasien mengeluh adanya bercak bercak pada seluruh
badan. Pada awalnya pasien mengeluhkan adanya lesi berupa makula
hipopigmentasi di daerah lengan atas yang disertai dengan adanya
mati rasa sejak 7 bulan yang lalu. Lesi tersebut kemudian mulai
membesar dan menyebar ke seluruh tubuh. Pasien kemudian datang ke
puskesmas dan mendapatkan pengobatan. Setelah mendapatkan
pengobatan, pasien mengeluh timbul bengkak yang dimulai pada
lipatan mulut dan tersebar ke seluruh tubuh dan disertai dengan
peningkatan rasa nyeri. Pasien kemudian mengalami penurunan keadaan
umum dan dirawat selama 2 minggu di rumah sakit. Saat ini masih
terdapat lesi berupa plak kasar di daerah lengan kanan atas dan
bawah serta punggung, disertai dengan makula eritema berbatas tegas
di seluruh tubuh disertai dengan rasa nyeri dan panas yang
menyengat tanpa adanya gatal dan penurunan sensitivitas. Pasien
sudah melakukan tes BTA. Tidak ada hal yang memperingan maupun
memperberat keluhan pasien. Melalui pemeriksaan fisik didapatkan
status dermatologi sebagai berikut Lokasi: Seluruh
tubuhEffloresensi: Makula eritema, batas tegas, multiple tersebar,
bentuk geografika, ukuran bervariasi, diatas kulit yang normal di
seluruh tubuh. Terdapat makula hipopigmentasi, batas tegas,
multiple tersebar, bentuk bulat/oval, ukuran bervariasi, diatas
kulit yang normal di punggung dan ekstremitas bawah. Terdapat plak
eritema, berbatas tegas, multiple, bentuk bulat, ukuran bervariasi,
diatas kulit normal pada ektremitas kanan atas.Hasil dari
pemeriksaan fisik 7 bulan yang lalu mengarah ke diagnosis penyakit
kusta dimana ditemukan adanya tes sensitivitas yang terganggu pada
daerah makula hipopigmentasi. Pasien diketahui mengalami reaksi
kusta tipe I (reaksi reversal) yang ditandai dengan adanya lesi
yang bertambah aktif baik sebagian atau seluruhnya dan timbul lesi
baru dalam waktu yang relatif singkat dan ditandai dengan adanya
neuritis berat. Pada kasus ini, reaksi kusta terjadi setelah pasien
menggunakan terapi yang diberikan dari puskesmas dimana terjadi
perubahan dimana makula hipopigmentasi berubah menjadi eritema dan
muncul bengkak di seluruh tubuh dalam waktu yang singkat dan
disertai dengan peningkatan rasa nyeri. Penyakit kusta gejalanya
mirip dengan beberapa penyakit seperti pitiriasis rosea, tinea
versikolor, vitiligo, dan psoriasis. Gambaran klinik pitiriasis
rosea makula eritroskuamosa anular dan soliter, bentuk lonjong
dengan tepi hampir tidak nyata meninggi dan bagian sentral
bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang lesi sesuai dengan garis
lipatan kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon cemara
terbalik. Lesi inisial (herald patch) biasanya soliter, bentuk
oval, anular, berdiameter 2-6 cm.Diagnosis pitiriasis rosea bisa
disingkirkan karena gejala klinik pitiriasis rosea tidak sesuai
dengan keluhan penderita karena makula pada pitiriasis rosea tidak
anastesi dan tidak ditemukan penebalan saraf. Gejala kliniknya
tinea versikolor berupa makula yang dapat hipopigmentasi,
kecoklatan, keabuan, atau kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran,
dengan skuama halus diatasnya dan terasa sangat gatal bila
berkeringat. Diagnosa tinea versikolor ini dapat disingkirkan
karena makula hipopigmentasinya tidak anastesi dan tidak ada
penebalan saraf. Gejala klinik dari psoriasis berupa makula
eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai numular,
dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar, sirsinar,
polisiklis atau georafis. Makula ini berbatas tegas di tutupi oleh
skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan
benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan
diteruskan maka timbul tanda Auspitz dengan bintik-bintik darah.
Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner yaitu timbul lesi-lesi
psoriasis pada bekas trauma/garukan. Diagnosa psoriasis dapat
disingkirkan karena pada penderita tidak ditemukan makula yang
ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih keperakan.Diagnosa pasti
penyakit kusta dapat ditegakkan bila menemukan 2 dari 3 tanda
kardinal atau adanya tanda yang ke 4 saja. Hasil dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik pada pasien ini ditemukan adanya makula
hipopigmentasi anastesi dan gangguan fungsi oleh sebab itu pada
kasus ini diagnosanya adalah kusta.Selain itu, pasien juga
mengalami reaksi kusta tipe I (reaksi reversal) yang ditandai
dengan adanya lesi yang bertambah aktif baik sebagian atau
seluruhnya, seperti perubahan makula hipopigmentasi menjadi
hiperpigmentasi yang kemerahan dan timbul lesi baru dalam waktu
yang relatif singkat. Reaksi lainnya berupa bengkak pada lesi di
bagian oral dan menyebar ketempat lainnya juga terjadi, namun ini
terjadi setelah pasien menggunakan obat yang diberikan di
puskesmas. Jika melihat perjalanan reaksi kusta tipe I yang
disertai odem pada lesi, maka perlu dibedakan suatu reaksi kusta
dengan reaksi tubuh berupa reaksi obat alergik. Dari anamnesis
pasien tidak terdapat riwayat alergi terhadap obat. Berdasarkan
data yang ada, pross odem pada reaksi lepra terjadi pada lesi yang
merupakan hasil dari inflamasi lesi. Dapat juga terjadi odem saraf
atau penebalan, akibat peningkatan tekanan intraneural. Sedangkan
pada reaksi obat alergi, dapat terjadi reaksi hipersensitivitas
tipe cepat ataupun lambat, yang mana pasien telah memiliki riwayat
hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Gambaran dermatologis
pada erupsi obat alergi dan reaksi kusta tipe I hampir mirip
terutama pada reaksi tipe I yang berat. Namun, berdasarkan
penelitian yang ada, odem yang terjadi pada reaksi kusta tipe I
lebih cenderung akibat obstruksi pada aliran limfa menuju node
regional. Obstruksi terjadi akibat proses fibrotik. Sedangkan pada
erupsi obat alergi, odem terjadi berupa urtika atau angioedema,
yang dapat disertai dengan pupura. Pada pasien ini juga harus
dibedakan antara reaksi kusta yang terjadi, apakah yang terjadi
adalah reaksi kusta tipe I atau reaksi kusta tipe II. Perbedaan
yang terjadi antara reaksi kusta tipe I dan tipe II adalah:NoTipe
1Tipe 2
1Spektrum (umumnya)Borderline (BT, BB, BL)Lepromatous (BL,
LL)
2Lesi Kulitlesi yang bertambah aktif baik sebagian atau
seluruhnya dan timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkatNodul baru muncul berkelompok
3Kerusakan SarafSering dan parahTidak terlalu parah
4SistemikTidak umumDemam, lemah, artralgia, dan limfadenitis
5Organ lainIritis, orchitis, dan glomerulonefritis tidak
terjadiSangat umum terjadi
6Pengulangan reaksiPengulangan jarang terjadiPengulangan
biasanya terjadi
7AFBTidak ditemukanBasil yang rusak
8InvestigasiRutin : normalUrin : albuminuria
9PatogenesisReaksi antigen antibodi tipe 4 (Gel dan
Coombs)Reaksi antigen antibodi tipe 3 (peningkatan IgG, IgM,C2 dan
C3)
10HistopatologiEdema dengan pengurangan basil dan peningkatan
limfosit. Granuloma tidak teratur.Edema dengan infiltrat neutrofil
dan vaskulitis
Pada pasien ini diberi terapi bila telah dilakukan pemeriksaan
PA dan hasilnya telah diketahui agar pemilihan terapi lebih tepat.
Pemilihan terapi berdasarkan tipe dari penyakit kusta. Apabila
hasilnya menunjukkan tipe PB, terapi diberikan sesuai WHO begitu
sebaliknya pada tipe MB, terapi diberikan sesuai WHO. Pada pasien
ini, kusta yang terjadi adalah kusta tipe MB yang ditandai dengan
lesi yang lebih dari 5, lesi polimorfik, distribusi di kedua sisi
tubuh (bilateral) dan tidak adanya penurunan sensasi yang jelas.
Untuk reaksi kustanya sendiri dapat diberikan kortikosteroid karena
disertai dengan neuritis akut. Dosis kortikosteroidnya sendiri
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis dan minggu
pemberiannya. Pada pasien ini, kortikosteroid yang diberikan adalah
prednison dengan dosis 5 mg yang dikonsumsi 2 di pagi hari, 1 kali
di siang hari dan tidak di malam hari. Selain itu diberikan
sohobion untuk meredakan gejala neuritis pada pasien, asam
mefenamat untuk analgetik pada pasien serta krim topikal yaitu
inerson dan fuson yang digunakan untuk mencegah infeksi sekunder
pada lesi pasien.
BAB VKESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan pada laporan kasus ini,
yaitu sebagai berikut:1. Reaksi kusta merupakan episode akut pada
perjalanan kronis penyakit morbus hansen. Salah satu bentuk reaksi
kusta adalah reaksi kusta tipe I atau reversal (TILR). T1LR
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang terjadi pada lepra
tipe borderline dengan respon imun seluler terhadap M. Leprae.2.
Proses patogenesis belum dapat diketahui secara pasti, namun studi
baru-baru ini menyebutkan, bahwa reaksi kusta tipe I merupakan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed). Antigen M. Leprae
ditemukan pada sel saraf dan kulit yang terlokalisasi pada sel
Schwann dan makrofag. TLR2 reseptor berperan besar dalam
mengaktifkan sistem imun seluler dan sitokin pro inflamasi.3.
Reaksi kusta tipe I terdiri atas reaksi ringan dan reaksi berat.
Perbedaan mendasar kedua tipe reaksi ini, yaitu keterlibatan saraf
cenderung pada tipe berat. Pada reaksi kusta tipe I ringan hanya
terjadi pembentukan lesi baru, perubahan warna makula disertai odem
pada lesi, ataupun lesi pada daerah kaki dan tangan yang disertai
nyeri ataupun tidak. Reaksi tipe berat terdapat keterlibatan saraf,
berupa gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonomik hingga
terjadi proses disabilitas.4. Prinsip penanganan reaksi kusta tipe
I, di dasarkan pada derajat reaksi. Secara umum manajemen
didasarkan pada gejala yang muncul, proses inflamasi dan nyeri,
yaitu penggunaan analgesic, antiinflamasi, dan antireaksi kusta.
Perbedaan kedua tipe reaksi, adalah penggunaan splint pada reaksi
tipe berat sebagai dekompresi saraf untuk menurunkan tekanan
intraneural sehingga mencegah nekrosis pada saraf yang
terlibat.8