REAKSI REVERSAL I.PENDAHULUAN Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. 1 Kusta atau yang dikenal juga sebagai Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf tepi. 2,3,4 Bakteri ini bersifat intraseluler obligat. 3,4,5 Kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis. 6 Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe 2 (ENL). 1,7,8,9 Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut pada kulit. 2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi seluler. 4,5,8,9 Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa (BL). 9,10,11 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral. 1,7,9,10 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
REAKSI REVERSAL
I. PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,
dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.1 Kusta atau yang dikenal juga sebagai
Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang manifestasi klinisnya terutama pada kulit dan saraf
tepi.2,3,4 Bakteri ini bersifat intraseluler obligat.3,4,5 Kerusakan saraf yang paling
sering muncul dapat berupa hilangnya sensasi dan paralisis.6
Dalam perjalanannya sebagai penyakit kronik, pada kusta sering timbul suatu
reaksi, reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan
reaksi tipe 2 (ENL).1,7,8,9 Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan
atau inflamasi akut pada kulit.2 Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon Cell-
Mediated Immunity (CMI) terhadap M. leprae yang melibatkan sistem imunologi
seluler.4,5,8,9 Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non polar yaitu Borderline
Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline Lepromatosa
(BL).9,10,11 Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral.1,7,9,10
Terdapat dua keadaan yang termasuk reaksi tipe 1, yaitu up-grading reaction
(reaksi reversal) dan down-grading reaction.5,11 Pada referat ini akan dibahas lebih
lanjut tentang reaksi reversal.
II. EPIDEMIOLOGI
Menurut Data Kusta Nasional Tahun 2000, sebanyak 5% penderita kusta
mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1
kali dan penderita MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998),
sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan dan
1,6% terjadi setelah penderita Release from Treatment (RFT). Penelitian R. Bwire
dan H.J.S Kawuma (1993) menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum
1
pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5%, dan setelah pengobatan 4,7%.
Studi dari Scollard D.M, et al, menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I
adalah 32% dan frekuensi reaksi tipe II 37%. Frekuensi terjadinya reaksi kusta
menurut jenis kelamin adalah pada wanita 47% dan laki-laki 26%.12
III. ETIOLOGI
Pada reaksi reversal atau reaksi up-grading terjadi perubahan status imunologi
pasien, yaitu peningkatan respon Cell-Mediated Immunity (CMI).1,7 Tetapi
etiopatogenesis dari peningkatan Cell-Mediated Immunity (CMI) ini tidak diketahui
secara pasti, namun diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat.1
Berbagai faktor yang merupakan faktor predisposisi terjadinya reaksi kusta
misalnya penderita dalam kondisi lemah, kehamilan, sesudah mendapat imunisasi,
dan stres.7
IV. PATOGENESIS
Meskipun reaksi kusta merupakan manifestasi klinik yang berat, penyebabnya
belum dapat diketahui dan patogenesisnya hanya sedikit yang dapat diterangkan.
Pada pendeirta kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti
saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya
merupakan respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang
memunculkan reaksi imunologik pada penderita. Beberapa penderita mengalami
perluasan lesi dan rekuren yang berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun hingga menjadi kronik.12
Pada penderita yang mengalami pengobatan Multidrugs Therapy (MDT),
sebanyak 99,9% kuman kusta akan terbunuh, tetapi sekitar 30% penderita akan
mengalami reaksi tipe I. 13 Sisa kuman kusta yang mati atau pecah akan dibersihkan
sistem imun tubuh yang terkadang memicu terjadinya reaksi kusta. Reaksi kusta tipe I
2
merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hal ini disebabkan rangsangan kuman
patogen secara terus menerus dan berkelanjutan. 12
Antigen yang berasal dari produk akibat basil yang telah mati akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat. Pada
dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antara CMI dan basil.
Sehingga sebagai hasil akhir reaksi dapat terjadi up-grading, apabila menuju ke arah
bentuk tuberkuloid (terjadi peningkatan imunitas seluler) atau down-grading bila
menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan imunitas seluler).5 Pasien BT dapat
mengalami down-grading tanpa pengobatan. Pasien multibasiler, khususnya mereka
yang berada di BL, kebanyakan mengalami up-grading setelah kemoterapi. Pasien
BB merupakan pasien yang paling tidak stabil dan akan bergerak dalam kedua kasus,
tuberkulous maupun lepromatous. Aspek yang paling penting dari reaksi tipe 1 bukan
kulit namun kondisi saraf tepi, dimana proses inflamasi terjadi. Reaksi menyebabkan
peningkatan inflamasi dan edema intraneural yang merusak. 8
V. GEJALA KLINIK
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat.4,12 Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema makin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama
menjadi bertambah luas. Tidak perlu semua gejala harus ada, satu saja sudah cukup.1,3
Kadang-kadang terjadi edema pada wajah, tangan dan kaki; nyeri dan atau kelemahan
saraf; dan penyebaran nyeri yang sangat kuat pada kulit.2,3,9,14,15 Neuritis akut yang
melibatkan banyak saraf (meskipun hal ini tidak selalu terjadi3) penting untuk
diperhatikan karena tanpa penanganan yang cepat hal ini dapat menyebabkan
hilangnya fungsi motoris dan sensoris saraf.2
3
Gambar 1: Reaksi tipe 1 pada seorang pria Etiopia yang menderita kusta tipe
Borderline. Lesi inflamasinya mengalami peninggian, dan ulserasi.2
Gambar 2: Gambar pasien kusta tipe Borderline (BL) yang mengalami reaksi
reversal, tumidity, corak keunguan, dan batas yang meninggi
merupakan tandanya. Lesi ini tidak nyeri. 3
4
Menurut Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, reaksi kusta tipe
1 ini dapat dibedakan yaitu reaksi ringan dan reaksi berat.7
Tabel 1: Perbedaan gejala reaksi reversal ringan dan berat 7
GEJALA REAKSI RINGAN REAKSI BERAT
Lesi Kulit Tambah aktif, menebal,
merah, teraba panas, dan
nyeri tekan. Makula yang
menebal dapat sampai
membentuk plak.
Lesi membengkak sampai
ada yang pecah, merah,
teraba panas dan nyeri,
Ada kelainan kulit baru ,
tangan dan kaki
membengkak, sendi-sendi
sakit.
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan saraf
dan gangguan fungsi
Nyeri tekan, dan atau
gangguan fungi, misalnya
kelemahan otot.
Catatan: Bila ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat.
VI. DIAGNOSIS
Deteksi dini untuk reaksi reversal sangat penting untuk menekan tingkat
kecacatan irreversible yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa. Tingkat keberhasilan
terapi tampak lebih baik jika reaksi reversal ini dideteksi dan ditangani secara dini.9
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Saat melakukan anamnesis, maka semua pasien yang kusta yang mengeluhkan
adanya nyeri di tubuhnya, ada demam, sakit kepala, edema, maupun adanya lesi
baru ditubuhnya, harus dicurigai sebagai pasien reaksi.16
5
2. Gambaran klinik
Gejala klinik tersebut diantara lain:
- Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak
- Nyeri, terdapat pembesaran saraf tepi
- Tanda-tanda kerusakan saraf tepi
- Gangguan sensorik maupun motorik
- Edema pada wajah, kaki dan tangan
- Munculnya lesi-lesi baru pada kulit1,2,3,7,9,14
3. Laboratorium,
- Berupa tes serologis yang didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae (Tes Lepromin)1,3
- Tes bakteriologis1
4. Pemeriksaan histopatologi.1,3
Untuk melihat sel Langhans, eksositosis cepat sel radang ke epidermis serta
sejumlah perubahan histologist lain yang menandai perubahan atau upgrading
tipe kusta yang khas pada reaksi reversal.3
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
adalah sebagai berikut:
1. Laboratorium
a. Tes Imunologis dan Lepromin:
Reaksi reversal memiliki hasil Tes Lepromin yang positif. Selain itu dalam
tes imunologis, ditemukan bahwa rasio CD4:CD8 untuk reaksi reversal pada
umumnya bernilai 2:1, berbeda dengan tipe ENL yang bernilai 1:2.3
b. Bakteriologi:
- Indeks bakteri menurun
- Indeks morfologi menurun1
6
2. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa; infiltrat limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udem dan hiperemi, diferensiasi makrofag ke arah
peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langerhans. Kadang-
kadang terdapat gambaran nekrosis di dalam granulosum. Penyembuhannya ditandai
dengan fibrosis.3
Gambar 3: Reaksi kusta tipe I menunjukkan sedikit jumlah sel mast pada
pinggiran granuloma dan di dalam interstitium 17
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Reaksi reversal harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan
penyakit kusta. Adapun perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut7:
Tabel 2: Perbedaan reaksi reversal dengan relaps7
GEJALA DAN TANDA REAKSI REVERSAL RELAPS
Interval waktu Umumnya muncul selama
pengobatan atau dalam
kurun 6 bulan sesudah
penghentian pengobatan
Biasanya muncul sesudah
pengobatan dihentikan,
umumnya sesudah interval
1 tahun
7
Timbul Gejala Mendadak Perlahan
Gangguan Sistem Dapat disertai dengan
demam dan perasaan
kurang enak
Tidak pernah disertai
dengan demam dan
perasaan kurang enak
Lesi lama Beberapa lesi atau
seluruhnya menjadi eritem
Hanya pinggiran dari
sebagian lesi eritem dan
infiltrat
Lesi baru Pemunculan lesi baru
sangat sedikit
Beberapa lesi baru muncul
Ulserasi Lesi sering pecah dan
terjadi ulserasi
Jarang terjadi ulserasi
Penyembuhan Disertai dengan
deskuamasi
Tidak ada deskuamasi
Keterlibatan saraf Banyak saraf dapat dengan
nyeri tekan dan gangguan
motorik
Dapat terjadi hanya pada
satu saraf dan gangguan
motorik muncul perlahan-
lahan
Respon terhadap
kortikosteroid
(prednisone)
Sangat baik Tidak jelas
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang
imunopatologi reaksi reversal sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV)
terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah
dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat
penekanan respon Cell-Mediated Immunity (CMI). Penatalaksanaan dilakukan
8
dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif
dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama
fase aktif neuritis.. Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka
Multidrugs Therapy (MDT) diteruskan dengan dosis tidak diubah.9 Perlu
diperhatikan, apakah disertai dengan neuritis atau tidak. Sebab tanpa neuritis akut,
tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat
mencegah dan memulihkan gangguan saraf. 1
Penatalaksanaan reaksi reversal terdiri dari 5 aspek yang dilaksanakan secara
bersamaan karena kelima aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek
sinergis: 9,15
1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur
dengan terapi anti inflamasi yang efektif dan lama
2. Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah kebutaan
3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit
4. Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur
5. Analgetik untuk meredakan nyeri.
Prinsip pengobatan pada reaksi reversal:
1. Prinsip pengobatan: 4
a) Istirahat/immobilisasi
b) Pemberian analgesik antipiretik
c) Atasi faktor pencetus
d) Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat
e) Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan
dosis tidak diubah.
2. Pengobatan reaksi ringan: 4
a) Berobat jalan, istirahat di rumah
b) Pemberian analgetik, atau penenang bila perlu
c) Atasi faktor pencetus
9
d) Jika sedang dalam pengobatan Multidrugs Therapy (MDT), maka
Multidrugs Therapy (MDT) diberikan terus dengan dosis tidak diubah
3. Pengobatan reaksi berat:4
a) Atasi faktor pencetus
b) Pemberian prednisone (kortikosteroid)
c) Pemberian analgetik, dan sedative
d) Immobilisasi lokal
e) Bila memungkinkan penderita dirawat inap (di rumah sakit).
Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal :
1. Kortikosteriod (Glukokortikoid)
Dasar pemakaian kortikosteroid disini adalah efek antiinflamasinya dan
kemampuan untuk menekan reaksi imun. Pada keadaan yang perlu
penanganan reaksi radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakan
jaringan yang parah dan menimbulkan kecacatan, penggunaan kortikosteroid
mungkin berbahaya bagi penyebabnya sehingga perlu disertai penanganan
yang tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan
kerja sedang misalnya prednison atau prednisolon dengan dosis serendah
mungkin. 18
Pada reaksi reversal, dikarenakan resiko kerusakan permanen dari nervus,
pengobatan dengan terapi prednison (0,5-1 mg/kg/hari) direkomendasikan
(tetapi tetap dalam pengontrolan) untuk menekan proses inflamasi. Dosis dari
prednison dikurangi seiring dengan perbaikan dari nervus, gejala pasien dan
evaluasi sensorik dari tangan dan kaki. Sekali digunakan, terapi harus
dikurangi perlahan dan dilanjutkan selama minimal 6 bulan. Penggunaan
prednison dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan
diakhiri dengan dosis 10 mg. 2,19
10
WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian
kortikosteroid (prednison) dengan dosis:
a) Pada orang dewasa: 7
2 minggu I : 40 mg/hari (1 x 8 tab) pagi hari sesudah makan.
2 minggu II : 30 mg/hari (1 x 6 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu III : 20 mg/hari (1 x 4 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu IV : 15 mg/hari (1 x 3 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu V : 10 mg/hari (1 x 2 tab) pagi hari sesudah makan
2 minggu VI : 5 mg/hari (1 x 1 tab) pagi hari sesudah makan
b) Pada anak:7
Untuk pengobatan reaksi berat pada anak harus dikonsultasikan ke
dokter atau dirujuk, karena steroid dapat mengganggu proses pertumbuhan.
Dosis maksimum prednison pada anak tidak boleh melewati 1 mg/kg BB.
Minimal pengobatan 12 minggu-3 bulan.
Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe Borderline
Tuberculoid (BT) dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan.
Sedang penderita Kusta tipe Borderline Borderline (BB) dan Borderline
Lepromatous (BL) membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan
pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe
BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari
selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4
minggu dan 5 mg sehari selama 2 minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis
dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednison selama 12
minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid (misal: prednison) 30-60
mg/hari. 9,15
Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara tiba-
tiba atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar. Pemberian
11
kortikosteroid jangka lama yang dihentikan secara tiba-tiba dapat
menimbulkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, mialgia
artralgia dan malaise. 18
Kortikosteroid, selain efek umum lain yang dikenal, juga bisa
menyebabkan eksaserbasi keberadaan beberapa penyakit, sepeti tuberkulosis,
hepatitis B, dan beberapa parasit gastrointestinal. 2
2. Klofazimin (Lamprene)
Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis lepramatosis, tetapi juga
memiliki efek antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema
nodosum. 18. Klofazimin digunakan pada penderita reaksi reversal yang
membutuhkan terapi Kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul
efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah
2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis
ditingkatkan ke dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila
setelah penurunan dosis tidak menunjukkan perbaikan gejala klinis.
Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil dan Kortikosteroid
biasanya dihentikan setelah 6-12 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari
tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan
menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut
mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan klofazimin pada
reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase akut
reaksi. Efek samping dari klofazimin yaitu dapat menyebabkan terjadi
perubahan warna kulit mulai dari warna merah jambu sampai coklat-hitam. 1,9,15
Efek samping paling sering adalah discoloration pada kulit, dari dari
warna merah ke abu-abu hitam, derajat discoloration tergantung dari dosis.
Pigmentasi ini akan hilang setelah 6-12 bulan penghentian klofazimin. Urin,
sputum dan keringat mungkin berubah menjadi warna pink. Efek samping
12
gastrointestinal, yaitu mild cramp sampai diare dan weight loss, mungkin
terjadi akibat deposit kristal klofazimin pada dinding dari usus halus. 2,1
3. Dapson (4-4, diaminodifenilsulfon)
Dapson (DDS) dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar
menimbulkan efek supresif terhadap reaksi reversal. Prevalensi reaksi reversal
selama masa pengobatan penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah
WHO menganjurkan penggunaan Multidrugs Therapy (MDT) yang
menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi reaksi reversal meningkat
setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek
imunosupressif dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi
dapson dan Kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih
membutuhkan Kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan
terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin. Dapson memiliki efek
samping yakni efek sistemik yang berat, atau efek toksik. 9
Sindrom DDS, yang kadang muncul pada pengunaan DDS, muncul
setelah 6 minggu penggunaan DDS dengan manifestasi dermatitis exfoliatif
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, demam dan hepatitis dan bisa
berakibat fatal. Agranulositosi, jaundice hepatitis dan kolestatik jarang terjadi