BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi Kota Pengertian tentang kota telah banyak didefinisikan oleh para ahli dan masing-masing memiliki alasan tertentu dalam mengemukakan pendapatnya, beberapa pendapat mengenai pengertian kota diantaranya; Christaller dalam Rini (2014) dengan „Central Place Theori’ menunjukan bahwa kota adalah sebagai pusat pelayanan bukan sebagai tempat permukiman yang dilihat dari sejauh manakah kota menjadi pusat pelayanan yang tergantung pada sejauh mana pedesaan sekitarnya memanfaatkan jasa-jasa kota. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,pelayanan social, dan kegiatan ekonomi. Kota merupakan permukiman yang mempunyai penduduk yang relatif besar, luas area terbatas, pada umumnya bersifat non agraris, kepadatan penduduk relative tinggi (Kamus Tata Ruang, 1997). Menurut Wirth dalam Bagus (2011) kota adalah pemukiman yang relative besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Bintaro dalam Rini (2014) memberikan pengertian kota sebagai suatu system jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.
48
Embed
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi Kota - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/874/3/bab2.pdf · Menurut Wirth dalam Bagus (2011) kota adalah pemukiman yang relative besar, padat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Kota
Pengertian tentang kota telah banyak didefinisikan oleh para ahli dan
masing-masing memiliki alasan tertentu dalam mengemukakan pendapatnya,
beberapa pendapat mengenai pengertian kota diantaranya; Christaller dalam Rini
(2014) dengan „Central Place Theori’ menunjukan bahwa kota adalah sebagai
pusat pelayanan bukan sebagai tempat permukiman yang dilihat dari sejauh
manakah kota menjadi pusat pelayanan yang tergantung pada sejauh mana
pedesaan sekitarnya memanfaatkan jasa-jasa kota.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang,
kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,pelayanan social, dan
kegiatan ekonomi. Kota merupakan permukiman yang mempunyai penduduk
yang relatif besar, luas area terbatas, pada umumnya bersifat non agraris,
kepadatan penduduk relative tinggi (Kamus Tata Ruang, 1997).
Menurut Wirth dalam Bagus (2011) kota adalah pemukiman yang relative
besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang orang yang heterogen kedudukan
sosialnya. Bintaro dalam Rini (2014) memberikan pengertian kota sebagai suatu
system jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk
yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan
materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.
14
Dalam memberikan defenisi dari kota, para ahli mengajukan beberapa
aspek yang akan mendasari menurut pendapat mereka masing-masing. Sehubung
dengan hal tersebut (Hoekveld dalam Rini, 2014) memberikan pembahasan
mengenai pengertian kota diantaranya:
a) Morfologi kota diukur berdasarkan bentuk fisik kota dengan pedesaan.
b) Jumlah penduduk, kota diukur berdasarkan jumlah penduduknya.
c) Hukum, pengertian kota dikaitkan dengan adanya hak-hak hukum
tersendiri bagi penghuni kota.
d) Ekonomi, kota dilihat dari segi kehidupan yang non-agraris, adanya pasar
dengan keramaian perniagaan mencirikan kota.
e) Sosial, hubungan antar kehidupan penduduk terkotak-kotak oleh
kepentingan yang berbeda-beda dan bebas memilih bergaul dengan siapa
saja yang diinginkannya
2.2 Pinggiran Kota
Daerah pinggiran kota (urban fringe) didefinisikan sebagai daerah
pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan
menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, daerah ini berada dalam tekanan
kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang berdampak pada perubahan
fisikal termasuk konversi lahan pertanian dan non pertanian dengan berbagai
dampaknya.
Kurtz dan Eicher dalam Muhlisin (2003) mengemukakan
definisi daerah pinggiran kota antara lain sebagai berikut :
a) Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban bertemu
15
dan mendesak, di periferi kota modern
b) Suatu kawasan yang letaknya terletak diluar perbatasan kota
yang resmi, tetapi masih dalam jarak melaju (commuting
distance)
c) Kawasan di luar kota yang pendduknya berkiblat ko kota
(urban oriented residents)
d) Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh
orang- orang yang bekerja di dalam kota.
e) Suatu daerah tempat pertemuan orang-orang yang
memerlukan kehidupan di kota dan di desa.
Russwurm 1987 dalam Koestoer (2001) menyatakan bahwa daerah
pinggiran kota mempunyai konotasi yang luas. Secara keruangan dalam
batasan fisik, wilayah ini mencakup radius sekitas sekitas 50 km pada suatu
kota. Namun, wilayah ini pun dibedakan dalam beberapa tahapan. Pertama,
wilayah bagian „dalam‟ atau „inner fringe‟ yang mencakup daerah beradius
sekitar 10-15 kilometer dimana masih tampak batas-batas perluasan fisik
suatu kota. Kedua, wilayah bagian „luar‟ atau „outer fringe’, yang mencakup
daerah perluasan antara 25-50 kilometer dan berakhir pada suatu wilayah
bayangan kota dimana pengaruh kota sudah relatif berkurang. Dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan bahwa daerah urban fringe „murni‟ terletak sekitar
radius 15-25 kilometer pada suatu kota.
Menurut Howard, pada akhir abad ke 19 diantara daerah perkotaan,
daerah pedesaan, dan daerah pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota
memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha produktif maupun
16
peluang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal (Daldjoeni dalam
Koestoer,2001)
Whynne Hammond dalam Muhlisin, (2003) mengemukakan
lima alasan tumbuhnya pinggiran kota sebagai berikut :
a) Peningkatan pelayanan transportasi kota, baik itu berupa
pelayanan angkutan umum ataupun jaraingan jalan yang
memadai.
b) Pertumbuhan penduduk, dimana pertumbuhan disebabkan
oleh berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat
kota ke bagian pinggiran dan masuknya penduduk dari
pedesaan.
c) Meningkatnya taraf hidup masyarakat.
d) Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah
membantu mereka yang ingin memiliki rumah sendiri
melalui pemberian kredit lewat jasa suatu bank yang
ditunjuk.
e) Dorongan dari hakikat manusia sendiri, dimana merupakan
sifat dasar manusia untuk mendapatkan yang terbaik.
Pada wilayah Kecamatan Siak Hulu alasan diatas juga menjadi faktor
yang mempengaruhi pesatnya perkembangan permukiman yang terjadi di
wilayah; tersebut baik pada permukiman teratur maupun permukiman tidak
teratur. Hal ini mengingat kedua kecamatan tersebut berada pada daerah yang
berbatasan langsung dengan Kota Pekanbaru sehingga merupakan lokasi yang
ideal bagi solusi kebutuhan akan ruang didaerah perkotaan. Selain itu
17
pesatnya perkembangan permukiman-permukiman pada kedua wilayah
tersebut juga akibat dari bergesernya fungsi-fungsi kekotaan yang berasal dari
kota induk (Pekanbaru) menuju daerah pinggiran kota disekelilingnya seperti
fasilitas pelayanan pendidikan, aksesibilitas, transportasi, perumahan, serta
kegiatan-kegiatan sosial dan perekonomian lainnya. Sementara itu harga tanah
yang juga jauh relatif lebih murah dibandingkan pada daerah perkotaan
menjadi alasan para developer perumahan membangun permukiman-
permukiman teratur pada wilayah tersebut dengan tujuan apabila tanah
tersebut telah diolah menjadi kawasan perumahan yang lengkap dengan
sarana dan prasarana penghuninya, harga tanah yang dijual akan dapat
meningkat.
2.3 Perkembangan Fisik Ruang Kota
2.3.1 Ulasan Fisik
Komunitas secara fisik adalah daerah binaan di perkotaan yang terletak
saling berdekatan, meluas dari pusatnya hingga ke daerah pinggiran kota.
Kota secara fisik terdiri atas tiga tingkatan, yaitu bangunan-bangunan dan
kegiatannya yang berada di atas atau dekat permukaan tanah; instalasi-
instalasi ibawah tanah, termasuk beberapa utilitas dibawah permukaan tanah;
dan kegiatan-kegiatan dalam ruang (Koestoer, 2001).
Perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zone-zone yang berada dalam
wilayah perkotaan. Dalam konsep ini Bintarto dalam Koestoer (2001)
menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan yang
membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaan sedangkan menurut
Branch dalam Koestoer (2001) bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan
18
posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga
mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam
bentuk ilustratif seperti:
a) Topografi
b) Bangunan
c) Jalur Transportasi
d) Ruang Terbuka
e) Kepadatan Bangunan
f) Iklim Lokal
g) Vegetasi Tutupan
h) Kualitas Estetika
Branch dalam Koestoer (2001) mengemukakan bahwa pada skala yang
lebih luas, bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara
geografis dan karakteristik tempatnya. Berdasarkan teori ini, dapat diartikan
bahwa perkembangan suatu kota dapat ditentukan oleh posisi geografis serta
karakteristik tempat dimana suatu proses kegiatan berlangsung sehingga dapat
membentuk pola pola yang mengikuti kondisi wilayah tersebut. Pola-pola
perkembangan fisik kota di atas tanah datar digambarkan secara skematik oleh
Branch sebagai berikut :
19
Sistem jaringan jalan
Area terbangun
Gambar 2.1 Pola-Pola Umum Perkembangan Kota
Branch dalam Koestoer,(2001)
Sebuah kota adalah suatu permmukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport
dalam Koestoer, 2001). Amas Rapoport menuntun kearah suatu pemahan yang
lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi baru yang
dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah
permukiman dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya,
melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan
menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah
pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu.
Perkembangan kota secara fisik ditandai dengan semakin bertambahnya
luas daerah yang pada umumnya tidak hanya berupa penebalan pada kawasan
terbangun yang sudah ada, akan tetapi juga berkembang ke arah luar pusat kota
20
sebagai akibat dari perkembangan kegiatan manusian (masyarakat kota) untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan ruang hidupnya.
Sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari desa yang berasal
menjadi pusat-pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan,
pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi seperti
menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal busa dan
sebagainya.
Salah satu pemicu perkembangan kota yang begitu pesat adalah adanya
pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, pusat pelayanan, pusat kegiatan
ekonomi. Akibanya semakin tinggi pula konversi lahanpertanian menjadi lahan
permukiman.
Perkembangan kota sebagai konsekuensi dari peran fungsional
menyebabkan munculnya perubahan-perubahan, baik perubahan sosial ekonomi,
sosial budaya maupun fisik. Perubahan ini ditandai dengan perubahan fungsi kota
yang selanjutnya diikuti dengan perubahan fisik sebagai dampak dari
perkembangan aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
2.3.2 Proses Pemekaran Kota
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan
ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik.
Khususnya mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan
perkotaan maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik,
khususnya perubahan arealnya yg disebut pendekatan morfologi kota atau “Urban
Morphological Approach” (Yunus, 2001).
21
Menurut Herbert dalam Yunus (2001) morfologi pemukiman menyoroti
eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati dar kenampakan kota
secara fiskal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-
blok bangunan baik dari daerah hunian ataupun bukan (perdagangan dan industri)
dan juga banguna individual.
Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk
perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar.
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka
meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi
selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Proses perembetan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut”urban sprawl”.Adapun
macam “urban sprawl” sebagai berikut: (Yunus, 2001).
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan
ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Aspek
fisik berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan khususnya
perubahan areal suatu kawasan atau kota yang sering diukur dengan melihat
perubahan bentuk kota. Dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan
maupun kegiatan penduduk perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
ruang perkotaan yang besar. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke
arah luar ini disebut ”urban sprawl”. Ada beberapa tipe urban sprawl atau
perembetan kota, seperti diperlihatkan dalam Tabel 2.1 berikut.
22
Tabel 2.1 Tipe-Tipe Perembetan Kota
Tipe Gambar Uraian
Tipe 1: Perembetan
konsentris
(Concentric
Development/ Low
Density continous
development)
Tipe perembetan paling
lambat, berjalan perlahan-
lahan terbatas pada semua
bagianbagian luar
kenampakkan fisik kota yang
sudah ada sehingga akan
membentuk suatu kenampakan
morfologi kota yang kompak.
Peran transportasi terhadap
perembetannya tidak begitu
besar.
Tipe 2: Perembetan
memanjang (ribbon
development/lineair
development/axial
development)
Tipe ini menunjukkan
perembetan paling cepat
terlihat di sepanjang jalur
transportasi yang ada,
khususnya yang bersifat
menjari (radial) dari pusat
kota. Daerah disepanjang rute
transportasi merupakan
tekanan paling berat dari
perkembangan.
Tipe 3: Perembetan
yang meloncat (leap
frog
development/checkker
board development)
Perembetan yang terjadi pada
tipe ini dianggap paling
merugikan dan tidak efisien.
Perkembangan lahan
perkotaan terjadi berpencaran
secara sporadis dan tumbuh di
tengah-tengah lahan pertanian
sehingga penurunan
produktifitas pertanian akan
lebih cepat terjadi.
Sumber: Yunus, 2001
2.4 Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan {Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan
23
permukiman, Bab I, Pasal 1 (5)}. Permukiman yang dimaksudkan dalam
undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu yaitu kawasan yang
didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat
tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat
kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga
fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) permukiman berarti
daerah tempat bermukim. Bintarto dalam Rini (2014) mengemukakan bahwa
permukiman dapat digambarkan sebagai suatu tempat atau daerah dimana
mereka membangun rumah-rumah, jalan-jalan, dan sebagainya guna
kepentingan mereka. Permukiman sebagai bagian permukaan bumi yang
dihuni manusia meliputi pula segala sarana dan prasarana yang menunjang
kehidupan penduduk yang menjadi satu kesatuan dengan tempat tinggal yang
bersangkutan.
Permukiman yang menempati areal paling luas dalam pemanfaatan tata
ruang mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan
penduduk dan mempunyai pola tertentu yang menciptakan bentuk dan struktur
tata ruang yang berbeda satu dengan lainnya. Perkembangan permukiman
pada bagian- bagian kota tidaklah sama, tergantung pada karakteristik
kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya (kesempatan kerja) yang tersedia,
kondisi fisik alami serta fasilitas kota terutama berkaitan dengan transportasi
dan komunikasi (Bintarto dalam Rini, 2014).
Pola penyebaran permukiman di daerah pinggiran kota yang
mempunyai sifat desa-kota ini pembentukkannya berakar dari pola campuran
24
antara ciri perkotaan dan ciri pedesaan. Ada perbedaan mendasar antara pola
permukiman di perkotaan dan di pedesaan. Wilayah permukiman di daerah
perkotaan memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar
permukiman menghadap secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan
sebagian besar terdiri dari bangunan permanen.
2.4.1 Karakteristik Kawasan Permukiman
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU
No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud
dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar
fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan
bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, serta nyaman, dan sarana adalah
fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen:
perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di
perkotaan maupun di perdesaan.
25
Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan
pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang
Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011,
yang dimaksud dengan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan
permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman
perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman
perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Karakteristik permukiman di daerah pedesaan ditandai terutama oleh
ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung
berkelompok membentuk suatu perkampungan. Sandy 1977 dalam Koestoer
(2001) mengatakan bahwa pola permukiman yang masih sangat tradisioanal
banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena di daerah itu sungai dianggap
sebagai sumber penghidupan dan jalur transportasi utama antar wilayah.
26
Sedangkan karakteristik permukiman di Kecamatan Siak hulu dapat
diketahui secara sekilas mempunyai sifat-sifat perkotaan dan juga perdesaan.
Dari segi fisik banyak bentuk-bentuk bangunan permukiman di kedua wilayah
tersebut yang terencana dan menghadap teratur kearah kerangka jalan yang
ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen yang merupakan ciri-
ciri dari perkotaan. Selain itu pada kedua wilayah tersebut permukimannya
juga memiliki karakteristik perdesaan, dilihat dari masih banyaknya bentuk-
bentuk bangunan permukiman yang polanya tidak teratur dan cenderung
berkelompok membentuk suatu perkampungan.
2.3.1 Pola Permukiman Penduduk
Penduduk adalah sekelompok masyarakat yang tinggal menetap diwilayah
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Ada penduduk tentu juga ada
pemukiman penduduk sebagai empat singgah dan menetap, pemukiman penduduk
pun bermacam-macam bentuk sesuai dengan karakter yang ada pada tiap wilayah.
Apakah wilayah (Region) pada daerah tersebut mempengaruhi pola pemukiman
atau sebaliknya pemukiman penduduk yang mempengaruhi lingkungan sekitar.
Pola permukiman penduduk adalah bentuk umum sebuah permukiman
penduduk terlihat mengikuti pola tertentu. Pola permukiman penduduk berbeda-
beda di setiap daerah. Adapun faktor yang mempengaruhi pola pemukiman
pendud uk adalah sebagai berikut:
a. Bentuk permukaan bumi
Betuk permukaan bumi yang berbeda-beda seperti gunung, pantai,
dataran rendah, dataran tinggi, dan sebagainya. Akan membuat pola
kehidupan yang berbeda pula, misal penduduk pantai bekerja sebagai
27
nelayan. Pola kehidupan yang berbeda akan menyebabkan penduduk
membuat permukiman yang sesuai dengan lingkungan tempat penduduk
itu berada.
b. Keadaan tanah
Keadaan tanah menyangkut kesuburan/kelayakan tanah ditanami
ataupun digunakan untuk kepentingan fasilitas tertentu baik fasilitas publik
atau swasta. Lahan yang subur tentu menjadi sumber penghidupan
penduduk. Lahan tersebut bisa dijadikan lahan pertanian atau
semacamnya. Karena itu, penduduk biasanya hidup mengelompok di dekat
sumber penghidupan tersebut (ini jelas terlihat di desa).
c. Keadaan iklim
Iklim memiliki unsur-unsur di antaranya curah hujan, intensitas
cahaya matahari, suhu udara, dan sebagainya yang berbeda- beda disetiap
daerah. Perbedaan iklim membuat kesuburan tanah dan keadaan alam di
setiap daerah berbeda-beda mengakibatkan pola permukiman penduduk
berbeda pula. Sebagai contoh penduduk di pegunungan cenderung
bertempat tinggal berdekatan, sementara penduduk di daerah panas
memiliki permukiman yang lebih terbuka ( agak terpencar).
d. Keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi membuat suatu kelas dalam masyarakat, dikenal
dengan stratifikasi penduduk dalam sosioloi menjadikan tiga kelas dalam
masyarakat yaitu kelas bawah (low class), kelas menengah (middle class),
dan kelas atas (top class,), menjadikan sistem pola perputaran dan keadaan
ekonomi berbeda. Jika kita memilih rumah, tentu kita akan memilih tempat
28
yang tepat sebagai salah satu faktor utama. Kondisi ini jelas berpengaruh
terhadap pola permukiman penduduk ( ini jelas terlihat di kota).
e. Kultur penduduk
Pola permukiman penduduk sangat bergantung pada kemajuan dan
kebutuhan penduduk itu sendiri. Jika penduduk itu masih tradisional, pola
permukimannya akan cenderung terisolir dari permukiman lain.
Permukiman di daerah tersebut hanya diperuntukan bagi mereka yang
masih anggota suku atau yang masih berhubungan darah.
Faktor-faktor seperti bentuk permukaan bumi, keadaan tanah, keadaan
ikim, keadaan ekonomi, dan keadaan penduduk yang telah dijelaskan sebelumnya
merupakan acuan yang pada akhirnya menghasilkan bentuk khas dari setiap
pemukiman di satu wilayah tertentu. Adapun macam bentuk tersebut seperti
terpusat, tersebar, dan pola pemukiman memanjang. Ida Bagus (2014).
Perumahan dan permukiman merupakan unsur penyusun morfologi kota
yang cukup dominan, pola – pola yang terbentuk merupakan respon terhadap
kondisi geografis yang ada maupun struktur kawasan yang telah direncanakan.
ada empat tipe perumahan di Kecamatan Siak Hulu dengan karakteristik spasial
tertentu yaitu perumahan di tepi sungai dan lanting; Perumahan campuran (ruko
dan rukan); perumahan terencana; dan perumahan biasa. Perumahan tepi sungai
umumnya berupa bangunan kayu, non-permanen, tidak terlalu luas, sejajar dan
memakan badan sungai, pola tidak teratur, sedangkan perumahan terencana
bangunannya variatif, permanen, terletak di pinggiran kota, masyarakat variatif,
pola teratur dengan lahan yg sangat luas.
29
Perumahan tipe ruko dan rukan didominasi oleh bangunan beton,
permanen, dengan luas lantai terbatas bertingkat, terletak di pinggir jalan utama,
berbentuk pola klusterkluster kecil, dihuni umumnya oleh para pendatang.
Menurut Doxiadis dalam Soetomo (2009) ada tiga pola permukiman yaitu pola
sentripetal atau konsentrik; pola permukiman linear dan pola permukiman yang
mengikuti bentukan alam atau lanskap. Ketiga pola ini banyak dipengaruhi oleh
pola jalan yang terbentuk, jika kerangka jalan bersifat linear maka terbentuk pola
permukiman linear. Selain itu dia menambahkan bahwa pusat pertumbuhan
sebuah kawasan atau kota juga menjadi kekuatan yang mempengaruhi
perkembangan permukiman ke arah luar sebagai bentuk memusat.
Tabel 2.2 Pola Permukiman Penduduk
No Bentuk Keterangan
1
Memiliki ciri permukiman desa saling
menggerombol/mengelompok.
Biasanya memusat pada sumber
kehidupan seperti pasar, waduk dan
sebagainya
2
Memiliki ciri permukiman berupa
deretan memanjang, kanan-kiri
permukiman berupa jalan, sungai, atau
pantai.
30
No Bentuk Keterangan
3
Memiliki ciri permukiman penduduk
menyebar di daerah pertanian antara
perumahan yang satu dengan yang lain
dihubungkan oleh jalur-jalur lintas
untuk keperluan bidang perdagangan
Sumber: Ida Bagus, Pola Pemukiman Penduduk, http://arisudev.wordpress.
2.5 Morfologi dan Pertumbuhan Kota
Morfologi Kota adalah studi tentang permukiman penduduk dan proses
pembentukan serta perubahannya, dengan melihat struktur ruang perkotaan yang
terbentuk. Analisis morfologi perkotaan meliputi beberapa skala dan pola yang
menyangkut pola pergerakan (movement), tata guna lahan (land use), dan
kepemilikan lahan. Studi ini menitik beratkan pada pola jaringan jalan yang
terbentuk, susunan (layout) tata guna lahan dan plot perumahan. (Gilliland &
Gauthier, 2006).
Morfologi Kota juga menyangkut pola hubungan bentukan tata ruang kota
terhadap perilaku penduduknya (social forms) dalam beraktivitas sehari-hari. Pola
menyebar, linier atau terkonsentrasi pada satu pusat kota akan mempengaruhi pola
pergerakan penduduk (travel demand) suatu kota yang berpengaruh pada jauh
dekatnya jarak dan mudah tidaknya pencapaian terhadap pusat-pusat aktivitas