14 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Customer Relationship Management Definisi dari CRM (Customer Relationship Management) adalah proses dari beberapa tahapan yang terdiri dari Indentifikasi, akuisisi, retensi dan pengembangan customer yang memberikan kontribusi yang besar kepada perusahaan dengan cara memfokuskan strateginya yaitu dengan cara menjaga hubungan dengan customer secara efektif dan efisien sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan seumur hidup “lifetime value” yang menguntungkan. CRM sendiri bukanlah sebuah konsep, melainkan sebuah perubahan paradigma bagi perusahaan-perusahaan dimana CRM itu sebagai pola hidup yang bertujuan untuk mengajak customernya menjadi partner dalam perusahaan tersebut dan berkembang untuk mendapatkan keuntungan bersama. Integrated Marketing Communication menurut The American Association of Advertising Agencies (dalam O’Malley dan Patterson, 2005) mendefinisikan sebagai konsep perencanaan komunikasi pemasaran yang memberikan nilai tambah pada strategi komunikasi yang melibatkan kegiatan sales promotion, periklanan, public relations, direct response yang dipadukan untuk menghasilkan dampak komunikasi yang berarti.
34
Embed
BAB II Jadi - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab 2_09-179.pdf · menyediakan nomor telepon bebas pulsa untuk menyampaikan keluhan dan saran. ... dan kelemahan produk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
14
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Customer Relationship Management
Definisi dari CRM (Customer Relationship Management) adalah proses dari
beberapa tahapan yang terdiri dari Indentifikasi, akuisisi, retensi dan pengembangan
customer yang memberikan kontribusi yang besar kepada perusahaan dengan cara
memfokuskan strateginya yaitu dengan cara menjaga hubungan dengan customer
secara efektif dan efisien sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan seumur
hidup “lifetime value” yang menguntungkan. CRM sendiri bukanlah sebuah konsep,
melainkan sebuah perubahan paradigma bagi perusahaan-perusahaan dimana CRM
itu sebagai pola hidup yang bertujuan untuk mengajak customernya menjadi partner
dalam perusahaan tersebut dan berkembang untuk mendapatkan keuntungan bersama.
Integrated Marketing Communication menurut The American Association of
Advertising Agencies (dalam O’Malley dan Patterson, 2005) mendefinisikan sebagai
konsep perencanaan komunikasi pemasaran yang memberikan nilai tambah pada
strategi komunikasi yang melibatkan kegiatan sales promotion, periklanan, public
relations, direct response yang dipadukan untuk menghasilkan dampak komunikasi
yang berarti.
14
Menurut Skolnik tentang Integrated Marketing (dalam O’Malley dan
Patterson, 2005), terdapat empat isu kritikal dalam menerapkan IMC, yakni:
1). Pelanggan makin banyak pilihan dan tuntutannya semakin tinggi. Mereka
mempunyai banyak akses ke berbagai produk, memiliki banyak sumber
informasi, dan channel untuk membeli,
2). Pasar berubah dari pendekatan "inside-out" marketing menjadi "outside-in"
planning sebagai basis CRM dalam mengetahui kebutuhan pelanggan.
3). Para praktis pemasaran harus mengubah mind-set dari "inilah produk/jasa yang
akan saya jual, bagaimana memasarkannya" menjadi `inilah yang diinginkan
konsumen, bagaimana saya menunjukannya",
4). Perusahaan harus menyadari bahwa pesan yang terpadu harus dihasilkan oleh
perusahaan yang terpadu. Jadi persoalannya adalah bagaimana
mengkomunikasikan suatu produk kepada pelanggan dan konsumen potensial.
Menurut Kotler (1997), cara terbaik untuk mempertahankan pelanggan adalah
dengan memberikan tingkat kepuasan yang tinggi kepada pelanggan. Kepuasan
pelanggan akan membangun loyalitas yang pada akhirnya akan memberikan
keuntungan jangka panjang bagi perusahaan. Perusahaan-perusahaan sekarang
berusaha untuk lebih memperhatikan hubungan yang timbul dari proses pemasaran
yang berkelanjutan dalam rangka mempertahankan pelanggan (Customer
Relationship Marketing).
14
Tujuan utama dari kepuasan pelanggan adalah untuk membangun dan
memperbaiki loyalitas pelanggan serta mempertahankan pelanggan yang ada. Kotler
(1997) menjelaskan bahwa pandangan ini timbul dengan alasan-alasan berikut:
1. Aset perusahaan tidak ada nilainya tanpa adanya pelanggan.
2. Tugas utama perusahaan adalah untuk menarik dan mempertahankan pelanggan.
3. Pelanggan tertarik dengan penawaran yang lebih baik dari pesaing dan akan tetap
menggunakan produknya bila merasa puas akan pelayanan yang diberikan.
4. Tugas pemasaran adalah mengembangkan penawaran yang lebih baik, serta
memuaskan pelanggan.
5. Kepuasan pelanggan tergantung dari dukungan bagian-bagian lain.
6. Pemasaran perlu mengajak seluruh bagian tersebut untuk bekerjasama untuk
memuaskan pelanggan.
Kepuasan pelanggan ini sangat dipengaruhi oleh perilaku pengambilan
keputusan untuk membeli dan pembelian kembali produk atau jasa yang ditawarkan
perusahaan. Oleh sebab itu kepuasan pelanggan harus dilihat dalam proses
pengambilan keputusan oleh pelanggan secara keseluruhan. Customer Relationship
Management (CRM) adalah kolaborasi dengan setiap konsumen, sehingga mampu
untuk menciptakan situasi win-win solution dengan meningkatkan nilai dari
kehidupan konsumen setiap harinya dan sebagai gantinya menciptakan loyalitas.
Perangkat CRM yang memungkinkan terjadinya dialog untuk membangun
pengetahuan tentang kebutuhan konsumen dan menciptakan peluang menuju
14
customization yang menguntungkan dengan adanya call center. Call center harus
dikelola sebagai perangkat:
1. Untuk meningkatkan pendapatan.
2. Menghemat biaya pemasaran.
3. Mengakumulasi pengetahuan tentang konsumen.
Selanjutnya, agar dapat membantu bisnis menuju hubungan one to one, call
center harus dinilai berdasarkan:
1. Identifikasi konsumen melalui bantuan teknologi, maka perusahaan harus dapat
mengenali konsumen sedini mungkin, sehingga telepon representative dapat:
a. Menyapa konsumen secara lebih pribadi dan tdak perlu bertanya lagi
mengenai siapa si penelepon, berapa nomor rekeningnya.
b. Memberikan informasi berdasarkan pembelajaran sebelumnya (data historis
mengenai apa yang biasa ditanyakan dan masalh terakhir dari konsumen yang
belum terselesaikan)
2. Differensiasi konsumen: dapat membedakan tingkat pelayanan yang diberikan
berdasarkan identitasnya (profit grouping, alasan menelepon terakhir kali dan
kebutuhannya). Most Valuable Customer dilayani oleh TSR yang lebih senior dan
telah dilatih sesuai spesifikasi yang dilayani, sehingga lebih terbiasa menghadapi
maslaah yang sering terjadi pada segmen tersebut. Call center memungkinkan
TSR untuk menawarkan solusi servis yang berbeda-beda.
14
3. Interaksi konsumen: membuat kluster dari konsumen sejenis, menentukan
informasi tambahan apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan formulasi dari
penawran yang lebih spesifik untuk kluster tersebut.
4. Customization konsumen: menggunakan prinsip mass customzation, dimana
deskripsi konsumen disimpan serta perilaku konsumen dibuat profilnya dan
komponen servis modular dikonfigurasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen
yang berada di portfolio yang sama. Dalam hal ini, staff pemasaran yang bertugas
mengidentifikasikan dan memenuhi kebutuhan konsumen secara rutin
mendengarkan pembicaraan antara konsumen dengan TSR, karena seringkali TSR
lebih memiliki pengetahuan tentang konsumen dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dari penelitian kuantitatif.
Memperoleh informasi langsung dari pelanggan merupakan hal yang
terpenting pada saat melakukan pengukuran mengenai sejauhmana perusahaan telah
berhasil memberikan kepuasan pelanggan. Dalam hal ini, untuk memperoleh
gambaran yang lengkap mengenai posisi perushaan dalam persaingan memberikan
kepuasan pelanggan, perushaaan perlu mengumpulkan informsi dengan melakukan
perbandingan terhadap pesaingnya.
14
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk
mengetahui sejauh mana telah berhasil memuaskan pelanggannya:
1. Sistem penangan keluhan.
Perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan akan membaut sistem yang
memudahkan pelanggan untuk menyampaikan keluhan dan sarannya terhadap
perusahaan tersebut. Cara yang dilakukan antara lain dengan menggunakan kotak
saran dan keluhan, menyediakan angket mengenai saran dan keluhan pelanggan,
serta menyediakan angket mengenai saran dan keluhan pelanggan, serta
menyediakan nomor telepon bebas pulsa untuk menyampaikan keluhan dan saran.
Dalam hal ini, perusahaan membentuk arus informasi untuk mengelola keluhan
dan saran dari pelanggan, sehingga menjadi ide menarik untuk mengatasi
permasalahan dan menciptakan produk baru untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan.
2. Input dari pelanggan melalui staff perusahaan.
Metode ini dilakukan dengan mengadakan wawancara secara tatap muka ataupun
melalui telepon, yang dilakukan oleh staff perusahaan, misalnya staff bagian
penjualan. Wawancara seperti ini seringkali dilakukan secara informal tanpa
menggunakan kuesioner terstruktur.
3. Dewan penasehat pelanggan dan kelompok diskusi kualitatif pelanggan
Metode ini dilakukan dengan cara mengundang para pelanggan untuk
berpartisipasi dalam dewan penasehat pelanggan atau dalam kelompok diskusi
untuk mengumpulkan informasi mengenai kepuasan pelanggan.
14
4. Benchmarking
Kelipatan ini melakukan perbandingan dengan perusahaan yang dianggap sebagai
yang terbaik dibidangnya.
5. Ghost Shopping
Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost
shopper) unutk berperan atau bersikap sebagai pelanggan atau pembeli potensial.
Ghost shopper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan
dan kelemahan produk dari pengamatannya terhadap cara perusahaan maupun
pesaing menjawab pertanyaan dan menangani setiap keluhan.
6. Lost customer analysis.
Perusahaan berusaha menghubungi pelanggan yang telah berhenti membeli dan
beralih ke pesaing, guna memperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut.
Kegiatan ini bermanfaat bagi perusahaan untuk mengembangkan strategi
memenangkan pelanggan itu kembali dan meningkatkan kepuasan dan loyalitas
lainnya.
7. Penelitian kuantitatif kepuasan pelanggan.
Metode ini memberikan hasil dengan tingkat representatif yang lebih tinggi dan
lebih dapat dipercaya. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan
dan umpan balik secara langsung dari pelanggan dan sekaligus memberikan citra
positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap pelanggannya.
14
Melakukan pengukuran kepuasan pelanggan, maka hasil yang diperoleh akan
memberikan peluang kepada perusahaan untuk:
1. Pengembangan produk baru.
2. Melakukan peningkatan produk yang sudah ada.
3. Melakukan peningkatan dalam proses produksi.
4. Melakukan peningkatan dalam pemberian layanan jasa produksi.
Terdapat empat kritikan terhadap penelitian kepuasan pelanggan yang
menjelaskan mengapa perusahaan yang memiliki tingkat kepuasan yang tinggi tetap
berpotensi unutk kehilangan pelanggannya:
1. Penelitian kepuasan pelanggan hanya berfokus pada apakah kebutuhan saat ini
terpenuhi, tetapi gagal untuk mengetahui kebutuhan pelanggan di masa
mendatang.
2. Penelitian kepuasaan pelanggan cenderung berfokus pada keluhan yang terdaftar,
atribut umum dan melupakan elemen-elemen operasional yang lebih penting.
3. Penelitian kepuasan pelanggan seringkali tidak mengikutsertakan karyawan
perusahaan dalam proses surveinya. Padahal pegawai merupakan pelanggan
internal yang seringkali memberikan sumbangan saran berharga untuk
meningkatkan operasi perusahaan , sehingga persepsi pegawai mengenai sistem
penyampain nilai juga perlu dibandingkan dengan persepsi pelanggan yang akan
memberikan umpan balik kepada pegawai mengenai kinerja perusahaan.
14
4. Perusahaan seringkali menganggap bahwa pelangggan tidak mengetahui apa yang
mereka inginkan, sehingga pelanggan seringkali ditinggalkan, terutama bila
berhubungan dengan pengembangan produk baru.
2.2 Relationship Benefits
Relationship benefits didefinisikan sebagai suatu penyatuan atau pertukaran
kepercayaan dalam suatu mitra dengan mitra yang lain. Hal ini adalah indikasi yang
sangat penting untuk memaksimalkan dan menjaga hubungan yang berkelanjutan
pada usaha tersebut. Peneliti lain juga mengungkapkan bahwa relationship benefits
adalah keuntungan yang mungkin dirasakan oleh pelanggan karena telah menjadi
pelanggan lama. Arantola (2003: 72) mengidentifikasi 3 keuntungan dari menjadi
pelanggan lama yaitu:
1). Keuntungan moneter (misalnya diskon, dan pemberian cuma-cuma),
2). Soft reward (service lebih cepat, undangan seminar dan perlakuan khusus),
3). Pengakuan (rasa nyaman, aman, dan keuntungan sosial).
Literatur dari relationship benefits pada saat ini semakin berkembang dan
semakin disadari oleh banyak pihak bahwa pengertian akan benefits dari relationship
dari perspektif konsumen adalah sama pentingnya dengan pengertian dari perspektif
perusahaan. Pada tahun 1990 para peneliti terkemuka membuat penelitian lanjutan
untuk memulai membangun gambaran secara komprehensif mengapa konsumen
termotivasi untuk tetap dalam elationship. Keuntungan-keuntungan yang diberikan
kepada perusahaan-perusahaan dari remaining in relationship menimbulkan
14
pertanyaan akan apa, jika ada, apakah keuntungan yang dirasakan konsumen, mereka
dapatkan ketika mereka terikat dengan satu service provider? (Hennig- Hrau et al,
2002; Gwinner et al, 1998; Patterson and Smith, 2001 Reynolds and Beatty, 1999).
Gwinner et al’s (1998) yang melanjutkan penelitian Barnes (1997)
sebelumnya, yang mana oleh Gwinner et al’s dikembangkan tipologi dari relational
benefits yang didukung dengan penelitian secara empiris. Dimana berdasarkan
penelitian ini relational benefits meliputi:
1). Confidence benefits, yang merujuk pada persepsi dari berkurangnya
keinginan dan kenyamanan dalam mengetahui apa yang diharapkan
dalam sebuah service encounter,
2). Social benefits, yang berkenaan dengan emotional part dari relationship
dan dapat dikarakteristikkan melalui pengenalan pribadi konsumen oleh
karyawan,
3). Konsumen memiliki keakraban dengan para karyawan, dan menciptakan
persahabatan antara konsumen dan karyawan; dan keuntungan
mendapatkan pelayanan yang khusus, dalam hal ini bentuk relational
yang didapatkan adalah potongan harga, pelayanan yang lebih cepat atau
pelayanan tambahan secara individual.
Maka relational benefits itu adalah keuntungan diatas dan atau melebihi dari
pelayanan yang seharusnya diberikan. Patterson dan Smith (2001), emudian
memperluas lagi penelitian ke dalam konteks Asia Tenggara dan menemukan
persamaan dalam tiga relational benefits. Maka Patterson dan Smith (2001)
14
berpendapat bahwa “konsumen dari service, terlepas dari kebudayaannya,
menempatkan nilai yang tinggi atas relational benefits yang mana dapat melebihi dan
diatas standar kepuasaan dari pelayanan yang semestinya.”
Kemudian (Hennig- hurau et al, 2002) menguji relational benefits kedalam
penggabungan model yang meliputi service quality dan loyalty constructs (word of
mouth dan strength of relationship), meskipun secara khusus benefits ini hanya
memiliki pengaruh yang tidak langsung.
Jelaslah disini bahwa benefits yang didapatkan oleh konsumen dari
relationship adalah penting baik dalam masa dimana dampaknya berlawanan dengan
kebudayaan maupun dampak dari hasil yang didapatkan dari relationship yang kuat.
Pada penelitian ini, pengujian relational benefits dalam konteks internet akan terlihat
lebih penting. Pertumbuhan yang luar biasa dari penggunaan internet, contohnya
Canada, South Korea, Sweden, New Zealand, UK, dan kesempatan yang diberikan
melalui internet untuk berkomunikasi dengan konsumen adalah dua contoh mengapa
masalah ini menjadi penting untuk diteliti.
Relationship benefits lebih merujuk pada persepsi konsumen dari kewajiban
moral bank untuk memberikan dukungan untuk membantu mengatasi sementara
kesulitan keuangan. Yang semuanya itu dapat diselesaikan melalui beberapa cara,
contohnya: mengurangi biaya transaksi, mengurangi ketidakpastian dengan
komunikasi yang efektif dan melalui pemberian masukan dari ahli secara gratis.
Internet adalah kunci untuk membangun relationship dan selanjutnya dapat
dikatakan “Web based technologies memberikan tingkat hubungan yang konsisten
14
dengan dynamic relationship yang natural dan pertukaran yang terus menerus pada
relationship marketing yang sebenarnya” Pada dasarnya, internet memberikan sebuah
sinergi antara fungsi dari internet itu sendiri dan implementasi dari relationship
marketing. Sinergi yang ada, atau potensi untuk mengembangkan relationship
melalui internet, telah menjadi subjek pekerjaan para peneliti, “kemampuan untuk
menggunakan internet dalam relationship marketing telah dikembangkan dari awal
karena kemajuan dalam teknologi adalah fasilitas dari proses penggunaan dan
pelaksanaan relationship dengan masing –masing konsumen”.
Berdasarkan pertumbuhan internet dan kesinergian fungsinya dengan
relationship marketing, adalah jelas bahwa internet penggunaannya akan meluas
dalam pembentukan dan pemeliharaan relationship marketing,. Kemampuan
teknologi dan internet sekarang ini, yang digunakan untuk memfasilitasi hubungan
dan komunikasi telah diperkenalkan sebagai penghubung untuk managing
relationship. Dua pendapat kunci dari relationship, yaitu” Kelanjutan jangka panjang
dari relationship melalui hubungan yang berulang dan fasilitas untuk percakapan
dan pertukaran informasi dua arah yang berarti antara masing-masing individu
konsumen dan perusahaan”. Internet memberikan atau menyediakan hubungan dan
percakapan timbal balik, atau komunikasi secara langsung dan oleh karena itu,
terdapat kaitan yang kuat antara fungsi dari internet dan implementasi CRM.
Konteks yang digunakan pada penelitian ini adalah perbankan, hal tersebut
dikarenakan berbagai alasan, pertama, perbankan dikenal sebagai industry dimana
internet dan IT memiliki potensi untuk merubah industri secara keseluruhan, terutama
14
dalam bentuk perbankan yang melalui internet dapat memantau cabang-cabangnya,
kedua, perbankan dipilih dikarenakan besar kemungkinan dapat membantu
mengembangkan hubungan dengan konsumen. Ketiga, dalam hal memiliki
perbandingan yang valid antara internet dan traditional relationship, perbedaan
dimasing-masing variable harus diminimalkan. Perbankan adalah industri dimana
terdapat tingkatan yang tinggi untuk menyeragamkan fungsi bahwa kantor cabang
dan internet dapat melengkapi pelayanannya kepada konsumen, sehingga perbedaan
antara internet dan contoh tradisionalnya (dalam bentuk fungsi pelayanan) lebih
minim.
2.3 Switching Costs
Para praktisi dan mahasiswa switching costs membuahkan hasil relationship
yang menguntungkan bagi kedua pihak. Dalam literature dikemukakan bahwa dengan
melakukan relationship didalam area marketing telah melakukan penelitian mengenai
switching behaviour dalam buyer-seller relationship. Mereka bependapat bahwa
customer switching costs menuntun customer retention yang lebih baik dan juga
dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan supplier. Sehingga perlu dicatat
bahwa customer switching costs mungkin dapat menjadi kekuatan pasar,
memberikan perusahaan dengan keuntungan yang signifikan ketika berhadapan
dengan kompetitor baru,. Perusahaan dapat mengontrol tingkat switching costs.
Switching costs sebagai biaya yang telah dikeluarkan konsumen ketika mereka
melakukan pergantian vendors. Dari hasil penelitian dijelaskan bahwa dalam
14
mempertimbangkan kemungkinan melakukan pertukaran dari satu perusahaan ke
perusahaan lainnya, konsumen relatif akan mempertimbangkan switching costs
sebagai pilihan yang tersedia. Selanjutnya Porter (2006), mendefinisikan switching
costs sebagai biaya menghadapi pembeli yang berpindah dari supplier produk yang
satu ke yang lainnya. Atau switching costs dapat juga merujuk kepada waktu dan
usaha psikologis yang dikaitkan dalam menghadapi ketidak pastian hubungan dengan
service provider yang baru.
Sedangkan menurut (Burnham et al, 2003), pada beberapa kasus, meskipun
jika konsumen sangat tidak puas dengan relationship, mereka tidak menggantinya
dengan supplier lain. Biasanya ini terjadi ketika switching costs terlalu tinggi bagi
konsumen. Oleh sebeab itu, jika perusahaan mampu mengendalikan switching costs,
masih tetap dapat mempertahankan konsumennya meskipun kepuasan yang diberikan
menjadi lebih rendah.
Klemperer (2006), menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga tipe switching
cost:
1). Transaction cost
Transaction cost adalah biaya dari konsumen yang kecewa dengan service
provider yang ada dan menemukan service provider yang baru. Sebagai contoh,
dua bank mungkin akan menawarkan rekening yang sama, tetapi biaya transaksi
terlalu tinggi dalam penutupan rekening dengan satu bank dan membuka rekening
lainnya dengan bank competitor.
14
2). Learning cost
Learning cost seperti biaya dari switching kepada brand baru dari computer atau
makanan setelah mempelajari menggunakan merek lain.
3). Artificial or contractual cost.
Artificial or contractual cost, seperti kupon untuk pembelian kembali dan
program frequent flyer yaitu menghadiahi konsumen untuk kembali melakukan
perjalanan dengan menggunakan airline yang sama.
Kemudian (Burnham et al, 2003), mengembangkan tipologi dari switching
cost yaitu:
1). Procedural dari switching cost.
2). Financial switching cost
3). Relational cost.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Dwyer (2003), bahwa ketika setiap kali
mengembangkan sebuah relationship, kedua kelompok belajar menumbuhkan
pengalaman dan rasa saling percaya satu sama lainnya. Akibatnya, mereka mungkin
dapat secara bertahap meningkatkan komitmen mereka melalui investasi produk,
proses, atau konsumen diberikan relationship yang istimewa. Konsumen dapat
meningkatkan investasi pendapatannya kedalam relationship dan otomatis akan
meningkatkan switching costs dan kepercayaannya terhadap supplier. Maka dari itu
disarankan, untuk mengantisipasi switching costs konsumen yang tinggi maka
diberikan tambahan atas keinginan konsumen dalam mempertahankan kualitas dari
relationship. Switching costs yang tinggi diantisipasi dengan membawa relationship
14
terus menerus untuk dijadikan gambaran yang penting, untuk menghasilkan
komitmen kepada sebuah relationship.
Banyak literature yang mengasumsikan bahwa suatu pihak yang berusaha
untuk mengakhiri suatu hubungan akan berusaha mencari alternative lain, sebagai
akibat ketidakpuasan dari suatu produk yang dikonsumsi. Switching costs
dideskripsikan sebagai suatu cara untuk memberikan hambatan kepada konsumen
untuk melakukan intention to switch atau dapat juga dikatakan sebagai investasi yang
sukar untuk ditarik kembali. Untuk mengantisipasi switching costs yang tinggi,
biasanya konsumen sangat tertarik dengan adanya kaitan erat antara konsumen dan
produsen (Dwyer et al.,1999).
Switching costs adalah ragam hasil dari model multi dimensional dari
karakteristik switching behaviour yang telah di uraikan. Menurut Epling (2002),
model switching behaviour memiliki pengertian yang mendalam mengenai cakupan
diferensial harga yang dapat mendukung perusahan untuk bertahan. Banyak
penelitian yang mengungkapkan bahwa switching barriers merupakan faktor yang
dipertimbangkan konsumen untuk melakukan switching produk. Berbagai tipe dari
switching barriers akan memberikan dampak pada kepuasan konsumen, repurchase
intention, attitudinal loyalty.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk memahami mekanisme yang
mengasosiasikan intention to switch yang mengambil sample konsumen yang
mengkonsumsi produk atau jasa, dijelaskan oleh (Crosby and Stephens; Jones; Rust
et al.; Singh, dalam O’Malley dan Patterson, 2005).
14
Selain satisfaction sebagai elemen yang dapat menentukan konsumen
intention to switch, dapat juga dipengaruhi oleh hambatan psychological dan non-
psychological yang konsumen hadapi, yaitu kemampuan suatu produk mempengaruhi
tanggapan konsumen.
Didalam penelitian lain mengungkapkan bahwa dengan menggunakan incentive
tertentu yang diberikan kepada konsumen dapat mengurangi keinginan konsumen
untuk melakukan switching terhadap suatu. Adanya beberapa variasi perubahan
dalam suatu produk serta perubahan karakter dari produk tersebut, memainkan
peranan penting didalam decision switch konsumen. Switching cost dapat juga
memberikan andil dalam decision switch konsumen, menurut Kim (2006).
Sebagai perluasan dari penelitian sebelumnya mengenai switching costs pada
model oligopoly, diasumsikan bahwa penekanan biaya sangat berbeda dengan
switching costs, didalam decision to switch produk atau jasa dapat dilihat dari
pengaruh yang tidak competitive yang dihasilkan dari produk atau jasa yang
dikonsumsi.
Dalam penelitian lain yang mengkaji switching decisions konsumen gas di
Inggris mengungkapkan bahwa biaya sebagai salah satu faktor pertimbangan
konsumen yang paling mempengaruhi decision to switch konsumen. Pada penelitian
yang menggunakan metodologi yang sama pada sembilan produk yang berbeda di
Belanda, mengungkapkan bahwa biaya merupakan salah satu faktor yang tidak
memiliki efek signifikan didalam switching. Pada penelitan yang menggunakan
14
sample konsumen elektronik di Swedia dengan menggunakan model switching
decision yang dikembangkan oleh.
Diferensiasi didalam switching behaviour adalah merupakan fasilitator
diskriminasi harga. Model switching behaviour dikembangkan dalam upaya untuk
memahami heterogenitas dari switching cost diantara konsumen, serta untuk
memahami faktor – faktor yang mempengaruhi decisions to switch konsumen,
dikembangkan oleh Epling (2002).
Decision switch adalah tanggapan konsumen terhadap ketidakinginan untuk
tidak melanjutkan hubungan atau transaksi dengan produsen dimasa yang akan
datang , akibat kekecewaan yang dirasakan konsumen. Jadi dapat ditarik suatu
kesimpulan adanya pengaruh antara behavioural responses dengan decision switch.
2.4 Customer Skill
Perhatian terfokus pada area kunci dalam pergantian usaha skala besar,
dimana input akan memiliki dampak yang paling cepat dan hasil terbesar, dan selalu
menjadi sebuah tantangan.
Dari hasil sebuah survey, faktor-faktor dalam organisasi yang memiliki
pengaruh yang signifikan pada tingkat customer skills dalam sebuah perbankan
adalah:
1). Management practices,
2). Systems,
3). Job/skills match.
14
Terdapat hubungan yang positif yang cukup kuat antara perubahan dalan
setiap faktornya dan tingkat customer skill. Sebagai bahan penilaian management
practices, systems dan job/skills match dirubah, begitupun dengan penilaian customer
skills. Dengan kata lain, banyak manager terinspirasi, ikut berpartisipasi dan terbuka,
menjadi personil cabang dengan customer skills yang lebih baik.
Selanjutnya, personil cabang dapat melayani konsumennya dengan lebih baik
ketika dibantu dengan komunikasi dan teknologi, dibandingkan jika melalui proses
yang panjang. Lebih tepatnya, banyak karyawan yang merasa jelas dengan apa yang
mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaannya, memiliki tantangan dalam
melakukan pekerjaannya, dan memiliki pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan,
sehingga customer skills mereka lebih ditingkatkan. Maka untuk mencapai hasil dan
mengembangkan customer skills dan customer service yang lebih baik, maka tiga
area diatas harus dikedepankan bersama-sama oleh manager dan karyawan sebagai
pengendali.
Maka dari uraian diatas terdapat faktor-faktor yang memiliki pengaruh
signifikan atas financial performance dalam perbankan, yaitu: leadership, the
business environment, management practices dan motivation. Kemudian, hasil
penelitian menunjukkan hubungan yang positip antara perubahan dari keempat
faktor-faktor diatas dan financial performance. Hal ini berarti bahwa:
1). Management senior terlihat memberikan dukungan yang kuat, menjalankannya
sebagai suatu team dan mengembangkan etika dan integrity, menjadikan
financial yang lebih baik dalam perbankan
14
2). Kantor cabang yang mengembangkan financial performance dipercayai akan
menjadikan perbankan terdepan dalam persaingan dalam business environment.
3). Dengan financial performance yang lebih baik, banyak manager terilhami, ikut
berpartisipasi dan menjadi lebih terbuka.
4). Motivasi berperan besar dalam financial performance.
Maka dianjurkan untuk mencapai dan memelihara peningkatan keuntungan,
maka keempat faktor tersebut harus diutamakan.
Semenjak praktek yang dilakukan oleh management memiliki pengaruh yang
kuat terhadap customer skills dan financial performance, dan karena praktek tersebut
dapat dirubah, maka management harus lebih mempertimbangkan beberapa inisiatif
perubahan. Pada prakteknya hubungan terjadi paling kuat pada customer skills dan
financial performance, maka yang harus dilakukan oleh manager adalah:
1. Mengenali pekerjaan dengan baik dan memberikan pujian untuk itu
2. Mendelegasikan otoritas yang disediakan untuk memungkinkan karyawan
membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam cara yang tepat.
3. Mendorong orang untuk mengembangkan pendekatan baru dimana pendekatan
standar tidak lama berlakunya
4. Mendengar secara terbuka segala kritikan dan pendapat tanpa menjadi terlalu
mempertahankan diri
Dalam hal untuk memperbaiki customer skills, service provider harus
memiliki otoritas yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan mengenai
pekerjaan mereka dan memiliki kesempatan untuk mencoba langkah baru untuk
14
mengetahui kebutuhan konsumen. Sebagai tambahan, untuk mendapatkan laporan
secara langsung, manager membutuhkan komunikasi dua arah. Selain itu untuk
mengembangkan customer skills yang baik dalam laporan langsungnya, manager
harus menciptakan lingkungan kerja yang dapat mendorong karyawan untuk
berkreasi dan merasa nyaman dalam membuat komunikasi yang lebih terbuka dan
jujur dengan managernya.
Untuk memelihara relationship jangka panjang dengan tujuan utamanya
adalah konsumen membutuhkan skills yang baik diluar personal selling dan
negotiating skills. Dengan orientasi terfokus pada konsumen menciptakan
kedwiartian yang lebih besar, dengan menitikberatkan pada teamwork skill,
pengalaman yang lebih luas, empati yang lebih besar untuk sebuah tujuan dan
memaksa seseorang dalam area fungsi yang lain, dan lebih flexible dalam
kemampuannya untuk menjawab perubahan kondisi bisnis.
2.5 Communication
Communication dapat diartikan memberikan informasi formal sebaik
informasi informal yang berarti dan tepat sasaran. Communication terutama timely
communication, lebih cepat dipercaya untuk membantu memecahkan pertikaian dan
kedwiartian dan meluruskan persepsi dan keinginan.
Dalam penelitian ini, communication dipertimbangkan sebagai pembangunan
multidimensi, variabel-variabel yang membentuk komunikasi terbuka, cepat
mendapat respon dan informasinya berkualitas. Kepercayaan disepakati melalui
14
komunikasi yang terbuka dan lebih dikhususkan kepada keterkaitan individu
konsumen dan hubungan mereka dengan bank.
Hal lain mengenai communication yang menyajikan rekomendasi kepada para
marketing jasa pelayanan, dimana tujuan masalah dikaitkan pada intangibility,
heterogeneity dan perishability pelayanan. Rekomendasi yang dimaksud meliputi:
membuat pengertian akan sebuah service, kapitalis komunikasi word of mouth
(WOM). Memberikan contoh tangible: memberikan janji apa yang bisa disampaikan;
bertujuan beriklan lewat karyawan; memelihara kelangsungan iklan. Jelaslah,
rekomendasi yang diberikan mencakup beberapa masalah yang berhubungan dengan
kedua controlled communications, seperti kegiatan periklanan dan promosi, dan
uncontrolled communications, seperti WOM dan publikasi gratis.
Dalam hal controlled communications, periklanan telah lama dinyatakan
sebagai cara penting yang mana para marketing dapat membuat penawaran mereka
kepada customer tangible. Dalam kenyataannya, asosiasi perceived risk dengan
menitikberatkan pada berbagai service purchases, merupakan kontrol dan
pengantaran pesan yang membantu mengurangi sikap konsumtif.
Bagaimanapun, dalam beberapa kasus, mengatakan bahwa service consumer
sangat bergantung pada informasi dari sumber pribadi (komunikasi WOM) dalam
rangka untuk membuat pilihan atas brandnya. Kenyataannya, dikatakan bahwa
komunikasi WOM dapat menghasilkan bentuk prilaku yang disukai tentang brand,
yang berarti uncontrolled communications dapat menggunakan pertimbangan yang
dapat mempengaruhi keputusan konsumen mengenai sebuah brand.
14
Selain itu, komunikasi sering disebut-sebut sebagai faktor yang paling penting
untuk kesuksesan peluncuran service baru. Yang merupakan kunci untuk
mewujudkan konsep service, khususnya untuk sesuatu yang baru didunia.
2.6 Controlled Communications
Dalam kaitannya dengan bidang jasa, controlled communications seperti
periklanan, dianggap menjadi suatu alat penting yang digunakan untuk
mengkomunikasikan suatu jasa. Misalnya, periklanan – periklanan jasa yang
mengadopsi melalui pendekatan rasional atau informasional, sudah terbukti
mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan kemungkinan akan future purchase
intentions; Menurut Grass dan O’Cass (2005) dimana penelitian yang berkonsentrasi
mengenai periklanan tentang experience goods memperlihatkan bahwa periklanan
dapat meningkatkan perceived quality.
Tujuan dari berbagai controlled communications, antara lain seperti
periklanan, adalah mengkomunikasikan informasi kepada para konsumen, dan ini
merupakan tahap dimana informasi itu dianggap dapat bermakna bagi para
konsumen, serta menjadi sesuatu hal yang penting. Jadi, semakin sesuai sikap dan
perilaku konsumen terhadap komunikasi, maka semakin efektif komunikasi tersebut
dalam mentransfer makna yang relevan tentang brand. Hal yang menjadi kasus,
adalah sikap atau perilaku konsumen terhadap controlled communications yang pada
pokoknya mempengaruhi respon mereka terhadap brand, yang diwujudkan melalui
14
kepuasan mereka terhadap sikap re-use intentions dari brand tersebut, Grass &
O’Cass (2005).
Promosi adalah salah satu faktor yang diperlukan bagi keberhasilan dan
strategi pemasaran yang diterapkan suatu perusahaan terutama pada saat ini ketika era
informasi berkembang pesat, maka promosi merupakan salah satu senjata ampuh bagi
perusahaan dalam mengembangkan dan mempertahankan usaha. Suatu produk tidak
akan dibeli bahkan dikenal apabila konsumen tidak mengetahui kegunaannya,
keunggulannya, dan dimana produk tersebut dapat diperoleh, serta berapa harganya.
Untuk itulah konsumen yang menjadi sasaran produk atau jasa perusahaan perlu
diberikan informasi yang jelas. Maka peranan promosi berguna untuk:
a) Memperkenalkan produk atau jasa serta mutunya kepada masyarakat.
b) Memberitahukan kegunaan dari barang atau jasa tersebut kepada masyarakat serta
cara penggunaannya.
c) Memperkenalkan barang atau jasa baru.
Promosi berkaitan dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh suatu
perusahaan untuk memberikan informasi pada pasar tentang produk/jasa yang dijual,
tempat dan saatnya.
Ada beberapa cara menyebarkan informasi ini, antara lain periklanan