Page 1
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kinerja karyawan
Kinerja merupakan keseimbangan antara tuntutan tugas dengan
keterbatasan, kebolehan dan kemampuan seseorang agar terwujud kondisi kerja
yang aman, nyaman sehat dan produktif (Manuaba, 2000a; Grandjean, 1993),
sedangkan menurut Rivai (2005) adalah suatu penilaian berdasarkan sistem yang
terstruktur untuk melihat sifat yang terkait dengan pekerjaan, perilaku dan hasil
kerja. Kinerja juga dapat diartikan sebagai kombinasi dari kemampuan terhadap
usaha yang dijalankan oleh manusia (Sulistiyani, et al., 2003).
Pada penelitian ini kinerja karyawan yang dimaksud berupa : 1) beban
kerja, 2) keluhan muskuloskeletal, 3) kelelahan, 4) debu terhirup, 5) kepuasan
kerja, 6) kebosanan kerja, 7) saturasi oksigen perifer (SpO2). Beberapa parameter
kinerja dapat dijabarkan sebagai berikut :
2.1.1 Beban Kerja
Terdapat dua jenis beban kerja yang diterima oleh pekerja, yakni a)
External load (stressor) merupakan beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan
yang sedang diselesaikan dengan ciri khusus yang berlaku pada semua orang,
sebagai contoh, task, organisasi dan lingkungan sekitar. b) Internal load (strain)
adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja sendiri seperti harapan,
keinginan dan kepuasan (Adiputra, et al., 1998; Manuaba, 2000b; Handari, 2013).
Semakin tinggi aktivitas tubuh menyebabkan metabolisme tubuh semakin
Page 2
21
meningkat berdampak pada kebutuhan O2 yang semakin besar pula dan frekuensi
denyut nadi akan meningkat (Adiputra, 2002). Keluhan fisiologis merupakan
mekanisme adaptasi tubuh untuk tetap berada pada kondisi homeostasis.
Penilaian beban kerja melalui pengukuran denyut jantung selama kerja
merupakan metode untuk menilai cardiovaskular strain, dapat dicatat secara
manual memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Denyut
nadi dapat digunakan untuk memprediksi beban kerja dengan cara
mengkonversikan dengan tabel kategori beban kerja menurut Christensen (1991)
dengan menghitung frekuensi denyut nadi per menit.
Tabel 2.1
Klasifikasi beban kerja menurut Christensen
Work Load Oxygen
Consumption
(l/min)
Lung
Ventilation
(l/min)
Rectal
Temperature
(0C)
Heart
beats per
min
Sangat ringan 0,25-0,30 6,0-7,0 37,5 60-70
Ringan 0,50-1,0 15-20 37,5 75-100
Sedang 1,0-1,5 20-31 37,5-38,0 100-125
Berat 1,5-2,0 31-43 38,0-38,5 125-150
Sangat berat 2,0-2,5 43-56 38,5-39,0 150-175
Extremily 2,5-4,0 60-100 Over 39,0 Over 175
(Sumber: Christensen, 1991)
Peningkatan denyut nadi dari istirahat sampai dengan kerja menurut
Tarwaka (2010) didefinisikan sebagai heart rate reservase (HR reservase) dengan
persamaan :
(2.1)
Page 3
22
(2.2)
Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220-umur) sedangkan
(200-umur) untuk perempuan. Berdasarkan beban cardiovaskuler, beban kerja
fisik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Tabel.2.2
Klasifikasi beban kerja berdasar % CVL
%CVL Klasifikasi Beban Kerja Keterangan
< 30% Ringan tidak terjadi kelelahan
30 s/d <60% Sedang diperlukan perbaikan
60 s/d 80% Berat kerja dalam waktu singkat
80 s/d <100% Sangat Berat diperlukan tindakan segera
> 100 tidak diperbolehkan beraktifitas
(Sumber: Intaranont dan Vanwonterghem, 1993; Tarwaka, 2010)
External load atau beban kerja yang diperoleh dari pekerjaan diukur
dengan metode Brouha (Kilbom,1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993)
yang dilaksanakan dengan cara mengukur denyut nadi istirahat dan denyut nadi
pemulihan, diukur sesaat setelah selesai bekerja sebanyak lima kali (P1, P2, P3,
P4, P5) dan masing-masing diukur dalam 30 detik dan hasilnya dikalikan dua,
dengan cara ini dapat diketahui pengaruh lingkungan terhadap kondisi tubuh
berupa a) Extra cardiac pulse due to metabolism (ECPM) dan b) Extra cardiac
pulse due to heat transfer to periphery (ECPT) mengunakan rumus sebagai
berikut (Adiputra, et al., 1998):
(2.3)
(2.4)
Page 4
23
Dimana: P0 = denyut nadi istirahat; P1 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1
pada pemulihan; P2 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada
pemulihan; P3 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada
pemulihan; P4 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada
pemulihan; P5 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada
pemulihan
Dari hasil perhitungan ECPM dan ECPT (Intaranont dan Vanwonterghem,
1993) dapat ditentukan:
a) ECPT=ECPM, maka beban fisik pekerjaan dan lingkungan memberikan efek
yang sama kepada tubuh, sehingga perbaikan harus dilakukan pada kedua
faktor.
b) ECPT >ECPM, faktor external load dari lingkungan lebih dominan
memberikan beban kerja tambahan kepada subjek, sehingga perbaikan
lingkungan kerja perlu menjadi prioritas.
c) ECPM >ECPT, kerja otot aktif subjek lebih dominan, perbaikan atas beban
kerja utama menjadi prioritas.
2.1.2 Keluhan muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal sering disebut musculoskeletal disorder (MDS)
dilaporkan dari beberapa perusahaan angka prevalensi melebihi 80% (Adiputra,
et al., 1998; 2001). Negara yang banyak ditemukan prevalensi adalah Eropa dan
Amerika. Keluhan muskuloskeletal adalah tingkat keluhan pada sistem otot dan
tulang, termasuk persendian dan jaringan lunak di sekitarnya yang disebabkan
oleh faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja (Grandjean dan Kroemer,
2000). Gangguan sistem muskuloskeletal terjadi karena : a) tempat kerja yang
tidak memadai, b) aktivitas yang bersifat repetitif, c) desain peralatan yang tidak
Page 5
24
sesuai dengan pemakai, organisasi kerja yang tidak efisien, d) jadwal istirahat
yang tidak teratur, e) sikap kerja yang tidak alamiah (Sutjana, et al., 2005).
Keluhan ini dapat diatasi dengan perbaikan alat kerja, sistem kerja dan
pengaturan istirahat (Sutjana, 2014b).
Perkembangan suatu industri yang tidak memperhatikan lingkungan kerja
dan peralatan kerja, berdampak timbulnya gangguan muskuloskeletal pekerja
(Adiputra, et al., 2001; Kirkhorn, et al., 2010; Nonnenmann, et al., 2010; Das, et
al., 2013). Sikap kerja pada proses penuangan baja cair ke dalam Ladle,
pembongkaran cetakan, pembersihan manual produk baja (as cast) dari pengotor
terdapat sikap kerja kurang nyaman yang dilakukan berulang-ulang. Sikap kerja
tidak alamiah dan repetitif dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan
trauma komulatif (Chavalitsakulchai dan Shahnavaz, 1991; Manuaba, 2003b),
serta meningkatkan risiko kecelakaan berbagai gangguan komulatif pada otot
(Grandjean, 1993). Tenaga otot manusia selama bekerja berlangsung terjadi
kontraksi otot statis, pembuluh darah ditekan dari dalam jaringan otot, sehingga
menghambat sirkulasi darah ke jaringan otot (Grandjean, 2000).
Metode untuk menilai keluhan otot skeletal secara subjektif adalah dengan
kuesoner Nordic Body Map dengan rangking (Corlett, 1992). Kuesioner Nordic
body Map (NBM) dibagi menjadi tiga bagian yakni : a) bagian otot trunkus; leher
bagian atas, leher bagian bawah, punggung, pinggang, bokong, pantat, b) otot
ekstremitas bagian atas (upper extrimities): bahu kiri, bahu kanan, lengan atas kiri
dan kanan, siku kiri dan kanan, lengan bawah kiri dan kanan, pergelangan tangan
Page 6
25
kiri dan kanan, tangan kiri dan kanan, c) bagian otot ekstermitas bagian bawah
(lower extrimitas); paha kiri dan kanan, lutut kiri dan kanan, kaki kiri dan kanan.
2.1.3 Kelelahan
Kelelahan adalah suatu kondisi kehilangan efisiensi, penurunan kapasitas
kerja dan ketahanan tubuh (Grandjean dan Kroemer, 2000). Kelelahan berdampak
pada penurunan kinerja (Jungsun, et al., 2006; Kitamura, et al., 2013). Dikatakan
lelah, apabila pekerja tidak dapat menjalankan lagi aktivitas kerja dan menerima
beban kerja (Pulat, 1992). Terdapat dua jenis kelelahan, yakni (1) kelelahan secara
fisik yaitu muncul karena perubahan fisiologis, disebabkan adanya rangsangan
secara kontinyu, dan (2) kelelahan mental atau sering disebut kelalahan
psikologis, adalah kelelahan yang terjadi dan terlihat pada kondisi jiwa yang labil
dikenal dengan istilah kelelahan semu (Adiputra, et al., 1998). Pengukuran
kelelahan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif seperti uji Psiko-motor
(psychomotor test), uji hilangnya kedipan (flicker-fusion test). Pengukuran
kelelahan subjektif (subjective feelings of fatique) yang dikembangkan oleh
Subjective Self Rating Test dari Industrial Fatique Research Committee (IFRC)
Jepang (Tarwaka, 2010), berisi 30 items of rating scale yang terdiri dari 3
kategori; aktivitas pelemahan kerja (item 1-10), penurunan motivasi (item 11-12),
kelelahan fisik (item 21-30) (Yoshitake, 1971).
2.1.4 Kebosanan kerja
Kebosanan merupakan kondisi dimana karakteristik lingkungan diterima
oleh pekerja tampak monoton (Kroemer, 2009), atau kondisi dengan stimulus
yang rendah (Grandjean, 2000). Peningkatan kebosanan subjektif selama proses
Page 7
26
menyelesaikan tugas pokok pekerjaan ditandai dengan beberapa faktor; a)
keinginan menghindar dari aktivitas utama, b) merasa tersiksa, c) gelisah, d)
kelelahan dini, e) rasa tidak puas, f) keinginan berpaling ke aktivitas lain, g)
konsentrasi turun (Pulat, 1992). Alat ukur kebosanan berupa kuesioner kebosanan
(Anoraga, 1998). Kuesioner ini telah di pakai dan dikembangkan untuk mengukur
tingkat kebosanan pekerja (Setiawan, 2013).
2.1.5 Kepuasan kerja
Kepuasan dapat terjadi apabila keinginan atau harapan pekerja telah
terpenuhi, pekerja merasa berada pada kondisi yang diharapkan sesuai dengan
target dan tujuan tertentu. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui tingkat
kepuasan kerja berupa kuesioner kepuasan (Shimomitsu, 2000). Seseorang merasa
puas dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain: optimalisasi kemampuan,
prestasi, aktivitas, kemahiran, otoritas, kebijakan perusahaan, imbalan, hubungan
dengan rekan kerja, kreativitas, kemandirian, nilai-nilai, pengakuan, tanggung
jawab, keamanan, pelayanan sosial, status sosial, hubungan dengan atasan,
kemampuan teknik atasan, variasi dan kondisi kerja (Syamsi, 2004).
2.1.6 Saturasi oksigen perifer (SpO2)
Oksigen merupakan salah satu komponen gas dan unsur yang sangat
penting dalam proses metabolisme tubuh guna mempertahankan kelangsungan
hidup seluruh sel tubuh. Faktor yang mempengaruhi saturasi oksigen adalah
jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan
kapasitas hemoglobin dalam membawa oksigen (Potter dan Perry, 2006). Oksigen
saturasi (SpO2) adalah persentase dari Hemoglobin yang mengikat oksigen
Page 8
27
dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang tersedia. Saturasi oksigen
normal adalah antara 95 – 100% (Andarmoyo, 2012).
Pulse oximetry adalah metode non-invasive untuk memonitor oksigen
saturasi (SpO2). Metode ini menggunakan perbedaan panjang gelombang dari
cahaya merah 660 nm dan cahaya infra merah 940 nm yang berasal dari sensor
transmisi, selanjutnya cahaya merah dan cahaya infra merah diabsorpsi oleh
pembuluh arteri, pembuluh vena, dan pembuluh kapiler pada jari tangan,
kemudian ditangkap oleh sensor deteksi.
2.2 Kualitas Lingkungan
Setiap aktivitas manusia dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja.
Lingkungan tercemar adalah berubahnya komponen atau unsur yang terkandung
dalam lingkungan dan berpotensi menimbulkan bahaya pada manusia. Pemerintah
mengeluarkan peraturan berkaitan dengan lingkungan yaitu UU No. 4 tahun 1982,
KepMen Kingkungan Hidup No. 02 tahun 1988, KepMen Kingkungan Hidup No.
03tahun 1991, PP No. 20 Tahun 1993, KepMen Kingkungan Hidup No.12 tahun
1994, sedangkan Baku Mutu udara di Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara. Sampai
dengan saat ini pelaksanaan dan pengawasan belum optimal, beberapa industri
pengecoran logam ditemukan berada pada nilai kritis ambang batas atas (Yudo,
2000), sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan (Brien,
1999; Zink, 2014), memperhatikan aspek manusia (Zink dan Fischer, 2013).
Salah satu kualitas lingkungan dipengaruhi oleh kondisi udara. Udara
tercemar jika terjadi reaksi masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi
Page 9
28
atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia. Pengelolaan
lingkungan sebagai upaya mempertahankan eksistensi manusia dan pembangunan
yang berkelanjutan (Widayati, 2011). Limbah debu yang berada di lingkungan
turut serta dalam menentukan kandungan udara bersih. Udara bersih adalah
kondisi udara yang mengandung gas yang terdiri dari 78% nitrogen, 20% oksigen,
0,93% argon, 0,03% karbon monoksida dan sisanya terdiri dari neon, helium,
metan dan hidrogen (Prayudi, et al., 2001; Prayitno, 2004).
Komponen yang memberikan kontribusi terhadap kualitas udara antara
lain Nitrogen dioksida (NO2) dan (SO2) yang umumnya ditemui sebagai
kelompok yang utamanya terdiri dari dua komponen yakni gas nitrit oksida (NO)
dan nitrogen dioksida (NO2) dalam atmosfer berbentuk NOx. Penelitian yang
dilakukan oleh Prayitno (2004) menunjukkan bahwa kualitas udara di Indonesia
lebih buruk dibandingkan kota-kota Asia seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang.
Pencemaran udara berdasarkan wujud fisiknya yaitu berupa gas dan
partikel. Partikel adalah benda padat atau cair yang dimensinya sangat kecil
sehingga memungkinkan melayang di udara bebas. Menurut Kristanto (2013)
bentuk partikel berupa: a) Kabut (Mist), b) Kabut yang padat atau tebal (fog), c)
Asap (Smoke), d) Debu (dust), e) Fume. Secara umum pencemaran udara yang
terjadi di industri pengecoran logam berbentuk dust (Moosberg dan Bustnes,
2006).
Penentuan titik tempat pengukuran debu dihitung berdasarkan NIOSH
Occupational Exposure Sampling Strategy Manual (Moeljosoedarmo, 2008).
Total debu tersuspensi di ukur dengan menggunakan Low Volume Sampler (LVS)
Page 10
29
dengan metode Grafimetri (Kardono, 2008) atau High Volume Sampler (HVS)
untuk mengetahui besar kadar debu tersuspensi lingkungan (Nurjazuli, et al.,
2010; Prayudi, et al., 2001).
2.2.1 Debu Terhirup
Pekerja yang berada di lingkungan berdebu akan mengalami kelainan
fungsi paru, beberapa saran atau rekomendasi pencegahan sudah dilakukan seperti
penggunaan masker, namun kurang efektif, karena bekerja dengan masker pekerja
merasa kurang nyaman. Beberapa tempat kerja seperti perusahaan genteng dan
pematung batu padas telah ditemukan metode menggunakan sistem basah untuk
mengurangi debu (Sutjana, 2014b), namun solusi ini tidak dapat dilakukan pada
industri pengecoran logam karena berkaitan dengan mutu produk hasil pengecoran
baja dengan sifat material propertis permukaan produk logam lebih keras, getas
dan sulit dilakukan pada pengerjaan finishing.
Debu adalah partikel yang berasal dari proses mekanis yang mempunyai
beberapa sifat antara lain; a) pengendapan, b) permukaan basah, c) penggumpalan,
d) Listrik Statis, e) Opsis. Karena sifat debu inilah sehingga dapat menyebabkan
penyakit paru-paru yang dikenal dengan pneumoconiosis. Kondisi ini
mempengaruhi efek fisiologis adalah, a) Rate of inhalation, volume penghirupan
udara yang mengandung debu, b) Retention of the dust, daya tangkap paru-paru
terhadap debu. Ukuran debu menentukan seberapa jauh penetrasi ke dalam sistem
pernafasan. Sistem pernafasan mempunyai pertahanan untuk mencegah masuknya
debu, seperti bulu hidung untuk partikel debu dalam dimensi besar, sedangkan
partikel debu dengan dimensi kecil dicegah oleh membran mukosa yang berada di
Page 11
30
sepanjang sistem pernafasan (Wahyu, 2002). Partikel debu ini berbahaya jika a)
beracun karena sifat kimia dan fisikanya, b) bersifat inert atau tidak dapat bereaksi
dengan senyawa lain. Rumus perhitungan kadar debu terhirup pada pekerja
adalah sebagai berikut :
{ }
(2.5)
Pengambilan sampel debu berada pada daerah atau zona pernafasan
pekerja (breathing zone) (Ravichandran, et al., 2005), diukur dengan
menggunakan Portable Personal Air Sampler Pump atau disebut juga Personal
Dust Sampler (PDS) dengan metode Gravimetri.
2.2.2 Suhu Udara
Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-
molekul yang ada di udara bebas. Suhu suatu benda ialah keadaan yang
menentukan kemampuan benda untuk memindahkan atau transfer panas ke suatu
benda lain. Suhu lingkungan ditempat kerja yang terlalu panas (heat stress)
menyebabkan terjadinya heat stroke menyebabkan kecacatan dan kematian. Suhu
lingkungan pada dapur induksi tidak dapat di turunkan, karena berkaitan dengan
proses yang harus di lalui untuk mencapai titik lebur baja cair. Oleh karena itu
perbaikan lingkungan dilakukan dengan upaya penurunan paparan suhu pada
permukaan kulit pekerja.
Individu pekerja yang sehat dapat memelihara suhu jaringan dalam tubuh
atau suhu inti tubuh dengan rentan 36-370C, apabila terjadi fluktuasi suhu inti
tubuh walaupun 1-20C dari nilai normal akan menimbulkan masalah berupa
Page 12
31
penurunan kenyamanan, gangguan penampilan fisik dan mental. Panas radiasi
yang disebabkan oleh proses pengecoran baja cair menyebarkan gelombang
elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang lebih pendek dan akan diserap
oleh benda disekelilingnya termasuk permukaan kulit manusia. Suhu permukaan
kulit dapat diukur dengan menggunakan Thermometer.
2.2.3 Kelembaban
Kelembaban udara relatif adalah perbandingan jumlah uap air dalam
udara. Kelembaban relative (Relative Humidity) didefinisikan sebagai prosentase
perbandingan antara tekanan uap air parsial dengan tekanan uap air jenuh.
Pengukuran kelembaban udara relatif dilakukan dengan mengkonversi hasil
pengukuran suhu basah dan kering pada Psychometric Chart (Manuaba, 1998a).
Kondisi udara yang panas dan lembab berpengaruh terhadap kenyamanan
pekerja dalam ruang kerja. Kondisi lembab menyebabkan keringat tidak dapat
berevaporasi, kulit tubuh tetap basah, dan panas tubuh meningkat. Menurut
Grandjean (1993) menyatakan bahwa batas suhu tinggi antara 35-400C
kelembaban 40- 50%; perbedaan suhu permukaan < 40C.
2.2.4 Kecepatan Angin
Kecepatan angin adalah kecepatan udara yang bergerak secara horizontal
pada ketinggian dua meter diatas tanah. Kecepatan angin dalam ruang kerja
adalah gerakan udara yang dirasakan oleh pekerja. Gerakan udara berpengaruh
terhadap suhu dalam ruangan, sehingga agar gerakan udara tidak menimbulkan
dampak buruk terhadap pekerja, dianjurkan gerakan udara di dalam ruangan tidak
lebih dari 0,2 m
/s (Grandjean, 1993).
Page 13
32
2.2.5 Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya diatur sesuai dengan jenis pekerjaan, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja. Intensitas cahaya yang kurang baik
menyebabkan gangguan visibilitas dan eyestrain. Menurut Tarwaka (2010)
beberapa pengaruh intensitas cahaya ditempat kerja antara lain : a) penurunan
penglihatan mata terhadap sumber bahaya, b) kelelahan kerja, c) gangguan postur
tubuh pekerja akibat sikap paksa, d) pengaruh penglihatan mata bila terjadi cahaya
berkedip atau cahaya fliker. Pengukuran intensitas cahaya mempergunakan alat-
alat seperti photoelectrical cel, foot candel lightmeter, atau lux meter yang
dilengkapi dengan brightness meter. Mekanisme pengukuran intensitas cahaya
dapat dilakukan berupa: a) pengukuran penerangan rata-rata dari seluruh ruangan
(general ilumination), b) pengukuran intensitas penerangan ditempat kerja (local
ilumination).
2.2.6 Kebisingan
Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan dari gelombang suara
dengan frekuensi yang tidak menentu dan berpengaruh terhadap kenyamanan
kerja. Frekuensi bunyi dinyatakan dalam satuan getaran/detik atau siklus/detik
dalam satuan Hertz (Hz). Bising yang berasal dari aktivitas industri masuk dalam
kategori bising nada lebar (wide band noise) yaitu campuran dari berbagai
spektrum yang dihasilkan dari berbagai suara seperti bising pada industri karena
efek pukulan antar dua benda, bising dari berbagai mesin frais, mesin gerinda dan
lain-lain. Bising dibedakan menjadi: a) bising kontinyu, b) bising terputus-putus
Page 14
33
c) bising impulsif, bising dengan satu atau beberapa puncak intensitas yang sangat
tinggi.
Pengukuran kebisingan dapat dilakukan dengan: a) sound pressure level
meter, menentukan besar pajanan individu bekerja, b) octave band analyzer,
memperkirakan frekuensi yang dominan dan membahayakan dalam suatu
spektrum bising, c) noise desimeter, mengukur kebisingan pada pekerja yang
berpindah-pindah dan memiliki multi aktivitas, alat ini ditempatkan kepada
pekerja, atau dibawa oleh pekerja ditempelkan pada badan pekerja.
2.3 Nilai Tambah Limbah Industri Pengecoran Logam
Industri pengecoran logam merupakan industri yang memiliki resiko
pencemaran lingkungan tinggi (Korol, 2013; Strezov, et al., 2013, dibutuhkan
optimalisasi penggunaan produk (Yellishetty, et al., 2011). Label Ekologi (eko-
labeling) menjadi syarat pada perdagangan bebas, bahwa proses produksi dari
produk yang dihasilkan harus ramah lingkungan. Alasan perlunya memperhatikan
hubungan timbal balik industri terhadap lingkungan sekitar antara lain: a)
beberapa negara seperti Amerika dan Eropa telah meratifikasi undang-undang
lingkungan hidup domestik, menolak produk dagang yang tidak ramah
lingkungan, b) Isu lingkungan dalam forum perdagangan internasional penerapan
trade measure yang berhubungan dengan lingkungan oleh negara maju (Kristanto,
2013).
Teknologi penangkapan partikel debu antara lain: (1) ruang pengendap
gravitas, (2) kolektor siklon, (3) penggosok atau sikat basah (wet scrubber), (4)
prespirator elektrostatik. Pengembangan teknologi harus memperhatikan produk
Page 15
34
ramah lingkungan (Luttropp dan Lagerstedt, 2006). Debu sebagai waste produk
berpotensi menjadi produk yang mempunyai niai tambah (beneficial waste
product). Aktivitas mengolah limbah ini sejalan dengan upaya untuk
meningkatkan kesehatan manusia. Tingkat kesehatan adalah status sehat yang
ditandai dari kondisi fisiologis berupa; a) proses fisiologis dalam tubuh berjalan
normal, b) alat-alat tubuh berfungsi normal, c) fungsi tubuh secara fisik diagnostik
normal (Giriwijoyo, 2004).
2.3.1 Perhitungan Benefit Cost Analysis
Analisis manfaat biaya (benefit cost analysis) adalah analisis untuk
menaksir kemanfaatan suatu investasi dust collector mempunyai pengaruh positif
(benefit) atau pengaruh negatif (disbenefit). Suatu investasi alat atau mesin
dikatakan layak apabila rasio antara manfaat terhadap biaya yang dibutuhkan
lebih besar dari pada satu (Pujawan, 1995). Proses perhitungan biaya dan manfaat
diperlukan pemahaman terhadap penentun nilai atau harga di setiap barang dan
jasa yang muncul maupun hilang karena suatu kegiatan tertentu (Suparmoko,
2000).
2.3.2 Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah metode untuk menentukan nilai uang
sekarang dari berbagai aliran kas ke luar maupun aliran uang kas masuk pada
waktu tertentu di masa yang akan datang (Brigham dan Daves, 2003; Ristono dan
Puryani, 2011). Sebelum menghitung nilai NPV, perlu ditentukan terlebih dahulu
B/C Rasio dengan rumus :
(2.6)
Page 16
35
Bila B/C lebih besar dari satu, maka investasi alat dapat diterima, tetapi
bila nilai B/C kurang dari satu maka projek tidak dapat diterima, sedangkan bila
rasio B/C sama dengan satu maka kondisi projek tidak berbeda (indifferent).
Keuntungan merupakan keluaran yang diinginkan untuk diterima, sedangkan
kerugian adalah hasil negatif yang sedapat mungkin dihindari (Ristono dan
Puryani, 2011). Keuntungan investasi dapat dilihat dari hasil nilai B/C rasio
dimana B/C > 1 dilakukan pemilihan investasi, B/C = 1 tidak terdapat perbedaan
antara investasi dengan tidak melakukan investasi, B/C <1 lebih baik tidak
melakukan investasi karena akan merugi. Rumus dasar dalam analisi biaya dan
manfaat adalah sebagai berikut :
∑
∑
(2.7)
Dimana : NPV = Net Present Value ; r = tingkat diskontro;
B = Manfaat; t = Waktu; C = Biaya; ∑ = jumlah
Apabila NPV>0, maka projek atau kegiatan itu dianggap layak dan
sebaliknya bila NPV<0, projek dinyatakan tidak layak. Guna mempermudah
analisa, ada beberapa asumsi sebagai berikut : a) adanya penambahan aktivitas
akan berdampak pada pengurangan terhadap debu yang dihasilkan, b) pekerja di
lingkungan sekitar akan menilai terhadap suatu usaha yang dimulai dari
pengurangan suatu polusi debu lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
penilaian pada suatu usaha berikutnya (Reksohadiprodjo dan Brodjongoro, 2000).
2.3.3 Payback Period
Payback Period adalah perhitungan yang digunakan untuk mengetahui
berapa lama (tahun) suatu investasi dust collector diperkirakan akan kembali.
Page 17
36
Perhitungan dengan menggunakan proceed atau net cash flow. Rumus untuk
menghitung payback adalah sebagai berikut (Ristono dan Puryani, 2011).
(2.8)
2.3.4 Break Even Point (BEP)
BEP adalah kondisi dimana perusahaan tidak mendapatkan keuntungan
ataupun kerugian, dengan kata lain impas. Keuntungan yang dimaksud adalah
penjualan debu kepada industri lainnya yang akan digunakan sebagai bahan baku
pembuatan Beton. Perhitungan BEP menurut Giatman (2007) secara matematis
sebagai berikut :
(2.9)
Di mana FC = Fixed Cost, VC = Variable Cost.
Menurut Kalangi (2002) bahwa jumlah unit pokok (Q) diperoleh dengan
membagi biaya tetap total (FC) dengan selisih antara harga jual per unit ((p)
dengan biaya variabel (V), sebaai berikut:
(2.10)
2.4 Ekologi Industri
Ekologi adalah ilmu yang mengkaji timbal balik makhluk hidup atau
kelompok makhluk hidup dengan lingkungan sekitar (Odum, 1971). Sistem
industri sebaiknya bertindak seperti suatu ekosistem, limbah dapat dimanfaatkan
kembali sebagai sumber daya untuk industri lainnya (Simboli, et al., 2014; Tena,
et al., 2014; Acharya, et al., 2014). Konsep EI telah diterapkan di Kalundborg-
Denmark, Brownville Amerika Serikat, Calgary Kanada, sedangkan di negara
Page 18
37
Indonesia, EI adalah instrumen untuk merancang pembangunan ekonomi yang
bekelanjutan dan berwawasan lingkungan (Heldiansyah dan Sarbini, 2012).
Sistem industri terbagi menjadi tiga sistem, di antaranya adalah :
a. Sistem Industri Type I, sistem industri dengan proses linier. Limbah tidak
dilakukan daur ulang namun dilakukan pengolahan, pencemaran menjadi
tinggi (find of pipe) dan perlu investasi alat pengolahan limbah. Sistem
Industri Type I disebut siklus terbuka.
Gambar 2.1. Sistem Industri Type I
Sumber: Kristanto, 2013
b. Sistem Industri Type II, sebagian limbah didaur ulang untuk dimanfaatkan
kembali. Sistem ini disebut sebagai siklus semi tertutup.
Gambar 2.2 Sistem Industri Type II
Sumber: Kristanto, 2013
c. Sistem Industri Type III, sistem dengan kesetimbangan dinamik yakni energi
dan limbah didaur ulang dan menjadi bahan baku industri lainnya. Sistem
industri tertutup. Sistem Industri Type III ini menjadi tujuan akhir dari konsep
ekologi industri.
Sumber daya
tak terbatas
System
Industri Produk sampingan
dan Limbah
Komponen System Industri
Limbah Terbatas Energi dan sumber
daya terbatas
Komponen System
Industri
Komponen System
Industri
Page 19
38
Gambar. 2.3 Sistem Industri Type III
Sumber: Kristanto, 2013
Hubungan manusia dan lingkungan mempunyai kaitan erat, pekerja yang
berada pada lingkungan terbatas akan mengurangi konsentrasi oksigen yang
tersedia untuk menghasilkan kalor, karbondioksida meningkat sehingga suhu
dalam ruangan meningkat. Kenaikan suhu ini merangsang pembentukan keringat
pekerja sehingga udara dalam ruangan meningkat yang akan mengakibatkan
konsentrasi dan kinerja karyawan menurun.
Pendekatan yang digunakan untuk memenuhi hubungan manusia dan
lingkungan menurut Kristanto (2013) adalah: a) antroposentrisme, memandang
manusia sebagai pusat segalanya dan di atas dari segala sesuatu yang terdapat di
alam semesta, b) biosentrisme, manusia sebagai bagian dari organisme hidup yang
ada di alam semesta. Unsur-unsur yang menyebabkan pencemaran udara
lingkungan berdampak pada kesehatan manusia umumnya berasal dari
karbonmonoksida (CO), Hidrokarbon (HC), Oksida Nitrogen (NOx), Oksida
Belerang (Sox) dan partikulat. Sumber partikel abu terbang (fly ash) adalah dari
proses peleburan baja dan proses pembakaran yang tidak sempurna. Pengaruh
Komponen System Industri
Energi
Komponen System
Industri
Komponen System
Industri
Page 20
39
adanya partikel terhadap kondisi kesehatan manusia adalah gangguan pernafasan.
Bulu hidung berfungsi mencegah partikel dengan ukuran besar, sedangkan
membran mukosa akan menahan partikel yang lebih kecil.
2.4.1 Teknologi Produksi Bersih (The Clean Production Technology)
Teknologi Produksi bersih adalah upaya pengendalian dan pengolahan
pencemaran yang difokuskan pada pengurangan polutan, eliminasi polutan pada
sumbernya dan mencegah dan meminimalisasi terbentuknya limbah pada seluruh
tahapan proses produksi (Kristanto, 2013).
Penerapan teknologi produksi bersih dapat dilakukan antara lain: a)
bussiness driven technology, adopsi teknologi yang sudah ada dan canggih
sehingga keuntungan dari sisi ekonomi dan perbaikan lingkungan dapat tercapai,
b) clean technology, mengadopsi teknologi canggih dengan tujuan utama berupa
perbaikan lingkungan, c) appropriate technologies, adopsi teknologi sederhana
untuk meningkatkan kinerja lingkungan dengan tujuan utama meningkatkan
keuntungan, d) low hanging fruit technology adalah adopsi teknologi sederhana
dengan tujuan berupa peningkatan kualitas lingkungan (Berkel, 2001).
Adopsi teknologi menurut Manuaba (1998d), appropriate technologies
adalah pemilihan atau penggunaan teknologi tepat guna dengan menerapkan 6
(enam) kriteria meliputi: a) secara teknis lebih efisien, b) secara ekonomis lebih
menguntungkan, c) secara kesehatan dan ergonomi tidak menimbulkan penyakit
baru, d) secara sosial budaya tidak menimbulkan gejolak baru, d) tidak merusak
lingkungan, e) hemat energi dengan rancangan mengunakan antropometri
pemakai.
Page 21
40
Strategi penerapan teknologi produksi bersih 1E4R yaitu Elimination,
Reduce, reuse, Recycle, Recovery menurut United Nations Environment Program
(UNEP), sedangkan menurut Kebijakan Nasional teknologi Produksi bersih 5R
yaitu Rethink, Reuse, Reduction, Recovery, Recycle (Purwanto, 2009; Kristanto,
2013).
Skala penerapan teknologi produksi bersih dibagi menjadi tiga (Berkel,
2000): yakni a) Skala Mikro, penerapann berfokus pada kimia ramah lingkungan,
dilakukan analisis efisiensi bahan dan langkah sintesis proses, ekonomi anatomik,
pengembangannya berupa proses berwawasan lingkungan atau penggunaan kimia
ramah lingkungan, b) Skala Meso, penerapan berfokus pada efisiensi bahan dan
energi pada produk, proses produksi dan jasa, menggunakan kajian daur hidup,
pengembangan proses dan produk yang eco-efficiency, c) Skala makro, penerapan
berfokus pada efisiensi aliran bahan pada jejaring industri, analisis ekonomi
akutansi atau lingkungan, pengembangan pada inovasi sistem.
2.4.2 Strategi Penerapan Teknologi Produksi Bersih
Fokus penerapan teknologi produksi bersih adalah minimalisasi resiko
yang terjadi pada manusia dan lingkungan sekitar. Prinsip dalam penerapan
teknologi produksi bersih dikenal dengan istilah 5R (Purwanto, 2005; 2009) atau
dengan pendekatan 4R yang diawali aktivitasnya berupa Re-think (Kristanto,
2013). Strategi tersebut dijabarkan menjadi: a) berfikir ulang (Rethink) adalah
pola pikir tentang perubahan yang akan dilakukan menuju kondisi lingkungan
yang lebih baik dan keuntungan yang meningkat berorientasi perubahan produk
atau proses, b) penggunaan kembali atau pakai ulang (Reuse) memungkinan
Page 22
41
limbah dapat digunakan kembali tanpa mengalami perlakuan fisika, kimia atau
biologi, c) pengurangan limbah pada sumbernya (Reduction), d) pungut ulang atau
ambil ulang (Recovery) memisahkan bahan dari limbah untuk kemudian
dikembalikan pada proses produksi dengan atau tanpa perlakuan fisika, kimia,
biologi, e) daur ulang (Recycle) memanfaatkan limbah dengan memprosesnya
kembali ke bentuk semula melalui perlakuan fisika, kimia atau biologi. Pada
penerapan prinsip teknologi produksi bersih proses perlakuan pencetakan baja
tidak melakukan aktivitas Reuse, karena limbah debu yang dihasilkan dapat
digunakan kembali memeerlukan perlakuan kimia.
2.5 Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total
Penerapan Teknologi Produksi Bersih berorientasi Ergonomi Total adalah
manajemen strategi 5R (Rethink, Reuse, Reduction, Recovery, Recycle) yang
menitikberatkan pada penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) melalui
pendekatan SHIP (Systemic, Holistic, Interdisiplinary, Participatory) sehingga
dapat meningkatkan kinerja karyawan, kualitas lingkungan perusahaan, nilai
tambah limbah perusahaan.
2.5.1 Konsep Ergonomi Total
Pendekatan Ergonomi Total yang dilakukan secara Sistemik, Holistik dan
melalui lintas disiplin ilmu (interdisipliner) serta pendekatan Partisipatori yang
dikenal dengan kajian SHIP, sehingga keinginan dan kebutuhan dari industri akan
memberikan alternatif solusi atas masalah yang sedang dihadapi (Sutjana, 1996;
Adiputra 1997). Ergonomic balanching secara umum dapat memberikan manfaat
Page 23
42
terhadap peningkatan kinerja maupun produktivitas secara aman, nyaman, sehat,
efektif, efisien dan produktif (Manuaba, 1999).
Ergonomi Total mempertimbangkan penyelesaian masalah ergonomi
menggunakan 8 unsur, meliputi: energi atau status nutrisi (nutrition), pemanfaatan
tenaga otot (musculoskeletal), sikap kerja (posture), kondisi waktu (time), kondisi
sosial (social), kondisi lingkungan (environmental), kondisi informasi
(information), interaksi manusia dan mesin (man-machine Interface) (Manuaba,
1992b).
Perbaikan atau intervensi yang diterapkan di industri pengecoran logam,
didasarkan pada hasil identifikasi masalah dan data penelitian pendahuluan yang
telah dilaksanakan sebelumnya. Pendekatan Ergonomi Total merupakan
penerapan Teknologi Tepat Guna melalui pendekataan SHIP; Sistemik, Holistik,
Interdisipliner dan Partisipatori (Manuaba, 2004, 2005b).
2.5.1.1 Delapan Aspek Ergonomi
a. Energi atau Status Nutrisi (Energy atau Nutrion)
Pekerjaan fisik pada kategori sedang sampai dengan berat ditambah tempat
kerja dengan lingkungan panas, kebutuhan karbohidrat dan mineral lebih dominan
(Grandjean, 1993). Pemberian tambahan nutrisi pada saat istirahat sangat
dianjurkan untuk mengembalikan kalori dan memulihkan tenaga yang terpakai.
Pekerjaan pada industri pengecoran logam masuk pada kategori sedang sampai
dengan berat, perusahaan sudah menyediakan minuman berupa air mineral.
Pemberian air minum dapat memulihkan stamina tubuh (Atmaja, 2009; Arsa,
2011).
Page 24
43
b. Tenaga otot (Use of Muscle)
Penggunaan tenaga otot untuk menyelesaikan penuangan baja cair ke
dalam cetakan, pembongkaran cetakan dan pembersihan manual pada proses
mencetak baja berakibat oklusi intramuskular, sehingga mengurangi produksi
ATP menjadi dua mol dan terbentuk asam laktat akibat metabolisme dan
anaerobik (Grandjean dan Kroemer, 2000). Penurunan energi dan akumulasi asam
laktat akan mempercepat timbulnya kelelahan dan keluhan otot yang apabila
terakumulasi akan menimbulkan nyeri otot (Guyton dan Hall, 2000). Penelitian
pendahuluan yang dilakukan Susihono (2014a) pekerja mengusulkan perlunya
perancangan Ladle yang ergonomis, perancangan dimensi handle yang
antropometris.
c. Sikap Tubuh (Body Posture)
Sikap tubuh sangat berhubungan dengan aspek pembebanan dan kesehatan
kerja. Sikap tubuh yang terjadi pada proses mencetak baja antara lain
membungkuk, penggunaan otot berlebih saat penggunaan tools berupa Ladle,
bekerja dengan menghirup partikel debu pasir cetak. Pekerja pada saat
mengoperasikan Ladle terkena radiasi panas baja cair, kondisi kerja yang tidak
alamiah menyebabkan nyeri pada tubuh tertentu (Kee dan Karwowski, 2007;
Inzumi, 2008), penurunan produktivitas dan efisiensi kerja (Manuaba, 1998b).
Pengaturan mekanisme kerja baru dengan mempertimbangkan sikap kerja yang
lebih ergonomis perlu dilakukan sehingga perlu penyesuaian SOP yang
berorientasi sikap kerja alamiah dan minimalisasi efek panas yang ditimbulkan
dari baja cair dalam Ladle. Kondisi serupa juga harus dilakukan pada aktivitas
Page 25
44
pembongkaran cetakan dan pembersihan manual as cast di mana sikap kerja yang
terjadi berupa membungkuk terlalu ekstrim, kemudian menekan tools dengan
tenaga otot yang diikuti dengan menahan nafas dan mengirup nafas dengan cepat.
Aktivitas ini sangat berbahaya, karena efek samping dari proses pembongkaran
cetakan dan pembersihan manual pasir cetak dan pengotor (as cast) menimbulkan
debu berupa fly ash, yang berpotensi dihirup secara langsung oleh pekerja.
d. Lingkungan Kerja (Work Environment)
Aktivitas penuangan baja kedalam cetakan menggunakan Ladle,
berdampak pada pekerja terpapar panas baja cair, sehingga jarak dan dimensi
handle Ladle perlu disesuaikan antara jarak pegangan, beban dan radiasi panas,
sehingga organisasi kerja dapat maksimal. Pekerja dalam aktivitas mencetak baja
juga mempunyai potensi berupa menghirup partikel debu secara langsung yang
berasal dari efek hasil samping proses pembongkaran hasil cetakan baja.
Penelitian pendahuluan (Susihono, 2014a) pekerja mengusulkan perlunya alat
yang dapat menangkap debu.
e. Kondisi Waktu (Time Condition)
Waktu Kerja sering didefinisikan sebagai waktu kerja maksimal di mana
seseorang dapat bekerja dengan baik dengan kondisi lingkungan kerja yang
normal, pada umumnya dihitung 8 jam/hari termasuk jam istirahat (Suma’mur,
1982; Grandjean, 1993). Waktu kerja yang ada di industri pengecoran logam
diberlakukan 6 hari kerja efektif, bekerja mulai pukul 07.30 sd 15.00, waktu
istirahat 1 jam pada siang hari mulai pukul 11.30 sampai dengan 12.30.
Page 26
45
Dibutuhkan waktu istirahat aktif untuk melepaskan lelah sesaat dan mengurangi
beban kerja (Susihono, 2014a).
f. Kondisi Sosial (Socio-Cultural)
Kondisi sosial budaya kerja dapat berupa interaksi; antar pekerja,
masyarakat keluarga, perusahaan. Ergonomi harus di aplikasikan dengan
mempertimbangkan budaya (Chapanis, 1974). Nilai atau value bersifat turun
temurun (heritage), atau merupakan nilai baru yang berkembang dan melekat
pada suatu kelompok seiring dengan berjalannya waktu, (Kaplan, 2004;
Widyanti, 2011). Industri pengecoran logam yang ada di Ceper rata-rata
merupakan perusahaan keluarga, sehingga manajemen perusahaan dikelola oleh
orang yang mempunyai jalinan persaudaraan. Budaya penggunaan APD pada saat
bekerja masih minim, kondisi ini juga terjadi pada industri sejenis lainnya.
Keilmuan yang dikembangkan di negara maju seperti Eropa maupun USA,
produk-produk yang dihasilkan dari suatu industri maju berdasarkan standar yang
sudah ada, padahal dimensi tubuh dan aktivitas fisik dari berbagai negara tidak
sama. Penerapan ergonomi memerlukan pertimbangan pada aspek antropomtri
pekerja lokal (Widyanti, 2011). Antropometri berkaitan dengan pengukuran dan
karakteristik dari tubuh manusia. Pengukuran tubuh manusia dilakukan dalam
keadaan statis dan dinamis (Bridger, 1995).
Rata-rata industri pengecoran logam di wilayah Ceper adalah warisan yang
sudah lama dijalankan, sehingga mulai Top Management industri pengecoran
logam di Ceper rata-rata dipegang oleh keluarga dan saudara dekat. Kondisi
culture menjadi acuan dalam perbaikan kerja (Manuaba, 1998a).
Page 27
46
g. Kondisi Informasi (Information)
Komunikasi antara pekerja dengan pimpinan menggunakan lisan dan
tulisan. Penyampaian jadwal dan target harian yang sudah dilakukan berupa
informasi tertulis dan lisan yang disampaikan kepada pekerja. SOP kerja sudah
ada, namun belum dijalankan secara optimal, sehigga berpengaruh pada waktu
penyelesaian proses pengerjaan produk yang tidak sama antara satu pekerja
dengan pekerja yang lainnya. Belum adanya informasi pembagian tugas dan rotasi
pekerjaan di stasiun pencetakan pada aktivitas mencetak baja mulai dari
penuangan baja cair kedalam cetakan menggunakan Ladle, pembongkaran
cetakan, pembersihan manual dari pasir cetak dan pengotor (as cast). Perusahaan
juga belum membuat petunjuk arah jalan yang boleh dan tidak boleh dilalui oleh
pekerja, garis lantai aman atau tidak aman untuk dilewati pekerja maupun tamu
atau orang asing, slogan kerja ergonomis dan keselamatan kerja (susihono,
2014a). Jika dilihat dari proses kerja, kondisi yang belum ada berupa
display/papan kendali cor yang ergonomis untuk membantu penyampaian
informasi pekerjaan dan target kerja di Stasiun kerja pencetakan. Memudahkan
pekerja dalam informasi target atau tugas pekerjaan yang harus diselesaikan pada
tiap periodenya, sehingga kelancaran informasi mengurangi kesalahan kerja dan
frekuensi bertanya kepada manager produksi. Informasi kerja perlu dipasang di
papan pengumuman yang dekat dengan pekerja dan slogan kerja yang dipasang di
tempat-tempat strategis, dapat dilihat oleh karyawan setiap saat. (Grandjean dan
Kroemer 2000; Manuaba, 1999).
Page 28
47
h. Interaksi Manusia-Mesin (Human-Machine Interface)
Tools yang selalu digunakan pekerja dalam proses penuangan baja
kedalam cetakan, adalah mengunakan Ladle. Alat bantu kerja atau mesin
sebaiknya dirancang menyesuaikan antara system kerja dengan kemampuan,
kebolehan, dan keterbatasan manusia (Fitting the job to the man) (Grandjean dan
Kroemer, 2000; Manuaba, 2005a). Pegangan dan wadah (Ladle) merupakan satu
kesatuan dalam pengoperasian kerja. Terdapat kondisi dimensi handle dengan
ukuran yang bervariasi ini berdampak pada sikap kerja yang tidak sama antara satu
pekerja dengan pekerja lainnya. Dust Collector yang digunakan sebagai alat bantu
menangkap debu pada saat aktivitas pembongkaran cetakan dirancang agar
mempermudah dan memberikan kenyamanan kerja, tidak menimbulkan
permasalahan baru terhadap kesehatan manusia.
2.5.1.2 Penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG)
Perancangan alat yang ergonomis pada Ladle dan dust collector di industri
pengecoran logam memberikan dampak pada perbaikan sikap kerja. Rancangan
Teknologi Tepat Guna dapat memberikan manfaat antara lain berupa: a)
pemakaian otot atau energi lebih efisien, b) waktu lebih efisien, c) kelelahan
berkurang, d) kecelakaan kerja berkurang, e) penyakit akibat kerja berkurang, f)
kenyamanan dan kepuasan kerja meningkat, g) efisiensi kerja meningkat, h) mutu
produk dan produktivitas kerja meningkat, i) kesalahan kerja berkurang dan
kerusakan dapat diminimalkan, j) pengeluaran atau biaya untuk mengatasi akibat
kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dikurangi dan konsekuensinya biaya
operasional dapat ditekan (Manuaba, 2000c).
Page 29
48
Menurut Manuaba (2004) kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) yang
diaplikasikan di negara Indonesia sebagai negara berkembang harus memiliki
kriteria a) teknis, b) ekonomis, c) ergonomis, d) sosio-kultural, e) hemat energi, f)
ramah lingkungan, dan ditambahkan trendi (Sutjana, et al., 2005). Secara lebih
rinci penerapan TTG diuraikan sebagai berikut:
a. Secara Teknis
Bahan baku pembuatan Ladle menggunakan bahan berupa besi yang
tersedia di perusahaan, pengerjaan dilakukan oleh pekerja, sedangkan bahan baku
cashing dust collector menggunakan seng dan beberapa komponen yang sudah
ada di pasaran. Pengerjaan desain ini tidak memerlukan alat atau mesin yang
canggih, sehingga dapat dikerjakan pada bengkel manufaktur secara umum.
Secara teknis, bila bahan sudah tersedia, dapat dikerjakan oleh setiap bengkel
permesinan secara umum. Adanya rancangan Ladle sebagai alat menampung baja
cair untuk didistribusi ke dalam cetakan, diharapkan hasil kerja lebih baik dilihat
dari mekanisme kerja sesuai dengan SOP, beban kerja berkurang.
Perbaikan yang dilakukan pada Ladle adalah perancangan handle yang
mempertimbangkan antropometri tangan manusia dengan bahan baku dari besi,
pengerjaan menggunakan mesin Bubut, sedangkan pembuatan Dust Collector,
cashing menggunakan bahan utama besi, dan perakitan dengan cara manual.
Penggunaan Ladle baru diharapkan mekanisme kerja proses penuangan
baja cair kedalam cetakan lebih baik, sikap kerja lebih nyaman, tidak banyak
cairan baja yang tumpah atau berceceran, pengorganisasian kerja lebih jelas
sehingga kesesuaian ukuran dan perhitungan penuangan lebih baik sehingga
Page 30
49
dihasilkan produk yang lebih bagus dengan mutu yang terstandarisasi. Kedua alat
bantu ini mudah digunakan (user friendly), mudah dirawat karena tidak
memerlukan penanganan khusus (maintenance friendly), dan karena
pembuatannya tidak menggunakan bahan yang berbahaya terhadap manusia,
Ladle dirancang dengan memperhatikan antropometri manusia, serta penempatan
dust colector berada pada posisi samping pekerja, sehingga paparan terhadap debu
lingkungan berkurang (environmental friendly).
b. Ekonomis
Karena bahan untuk pembuatan produk Ladle sudah tersedia di
perusahaan, secara hitungan biaya, tidak memerlukan investasi yang lebih mahal,
sehingga biaya pembuatan alat terjangkau, sedangkan pada pembuatan mesin dust
collector beberapa komponen menggunakan bahan yang sudah ada di perusahaan
seperti pembuatan rumah blower, baling-baling, cashing baling-baling, Syclone,
Troly, penyangga. Komponen yang dibeli antara lain Motor EM 1 Hp 1 Phasa 220
Volt; 2 Pole 2800 Rpm, Roda troli sebanyak 4 buah, Karung atau kantong debu,
Selang yang secara hitungan ekonomis masih menguntungkan. Kedua produk ini
tidak memerlukan ongkos pengerjaan yang mahal, karena dikerjakan oleh pekerja
sendiri.
Kisaran biaya atas pembuatan Ladle adalah antara Rp900.000,00 sampai
dengan Rp1.300.000,00 sedangkan pembuatan Dust Collector antara
Rp3.500.000,00 sampai dengan Rp4.000.000,00 apabila dengan penambahan
Cyclone penambahan biaya ± Rp1.350.000,00 Biaya ini lebih murah bila
dibandingkan dengan pembelian peralatan siap pakai.
Page 31
50
Adanya rancangan Dust Collector memberikan keuntungan tambahan
kepada perusahaan melalui penjualan dan pemanfaatan fly ash oleh industri lain.
Keuntungan lain dengan adanya rancangan kedua alat bantu ini, yakni Ladle
adalah pekerja dapat menyelesaikan penuangan baja cair dengan memperhatikan
kemampuan, kebolehan dan keterbatasan yang dimiliki, sehingga tidak terjadi
overworking, pekerja tidak cepat mengalami kelelahan dan keluan
muskuloskeletal, sedangkan penggunaan Dust Collector, pekerja akan
memperoleh keuntungan berupa peningkatan kesehatan dilihat dari penurunan
debu yang dihirup. Biaya atas pemeriksaan atau pengobatan akibat adanya debu
yang dihirup dapat di saving.
c. Ergonomis
Redesain Ladle dan Dust Collector dapat dipertanggung jawabkan
penggunaanya, karena mengunakan ukuran antropometri manusia. Penggunaan
alat bantu ini dapat meningkatkan kenyamanan dan keamanan dalam
mengoperasikannya. Redesain Ladle dipertimbangkan jarak handle dengan pusat
beban, diameter atau dimensi handle, bentuk handle disesuaikan dengan dimensi
genggaman tangan, mengurangi paparan panas baja cair pada pekerja.
Desain dust collector mempertimbangkan kemudahan pengoperasian,
kekuatan hisap debu, kemudahan dan keamanan dalam pengambilan hasil debu.
Penempatan dust collector berada diposisi berlawanan dengan pekerja, sehingga
tidak menganggu pekerja menyelesaikan pembongkaran cetakan. Pengoperasian
alat dengan sikap yang alamiah, berdampak potensi timbulnya cidera kerja dapat
diminimalisasi (Nurmianto, 1996)
Page 32
51
d. Diterima oleh sosial budaya (Sosio-Kultural)
Redesain Ladle dan dust colector berdasarkan keinginan pekerja sebagai
pengguna alat pada tiap harinya. Pernyataan terhadap desain dari kedua alat bantu
ini dihimpun dengan menggunakan metode Focus Group Discussion. Desain
mempertimbangkan tata nilai (value) atau norma, kebiasaan kerja yang selama ini
dan telah bertahun-tahun dijalankan di perusahaan. Pengoperasian Ladle baru
dengan dua operator, tidak merubah jumlah pekerja dan kebiasaan yang telah
dijalankan oleh pekerja pada tiap harinya. Pemasangan dust collector tidak
menimbulkan sikap kerja baru dan tidak merubah posisi dan mekanisme
pembongkaran cetakan dan pembersihan as cast. Area aktifitas kerja pada saat
pembongkaran cetakan tidak berubah. Pertimbangan ini dilakukan dengan tujuan
redesain dapat diterima, diaplikasikan, dirawat secara terus-menerus dan tidak
menimbulkan masalah yang berdampak sosial lainnya. Karena masyarakat sudah
terbiasa dengan pengunaan power listrik, maka Dust Collector dirancang dengan
menggunakan power dari listrik dengan pertimbangan adanya kemudahan
pengoperasian kerja.
e. Hemat Sumber daya Alam atau Energi
Penghematan energi yang diperoleh setelah menggunakan Ladle hasil
rancangan adalah diharapkan energi yang dikeluarkan oleh pekerja berupa beban
otot dapat menurun, sedangkan mesin dust collector dapat mengurangi debu
terhirup oleh pekerja sehingga keluhan fisiologis pekerja dapat menurun, energi
yang berasal dari luar pekerja berupa pengurangan tenaga fan untuk menyedot
debu berkurang, juga pengurangan air yang digunakan untuk membasahi lantai
Page 33
52
produksi. Bahan bakar listrik untuk mengoperasikan Dust Colector selain mudah
diperoleh juga lebih hemat bila dibandingkan dengan menggunakan power
lainnya.
f. Ramah Lingkungan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan Ladle dan dust collector tidak
ada yang berdampak pada timbulnya reaksi kimia baru pada saat maupun setelah
digunakan sehingga aman terhadap lingkungan sekitar (environmental
conservation). Kebisingan yang ditimbulkan oleh kuparan sudu dan mesin Power
Dust Collector dirancang seminimal mungkin sehingga tidak menimbulkan bising
pada saat pengoperasian. Mekanisme operasi Dust Collector yang terjadi adalah
proses mekanik dan tanpa adanya senyawa kimia yang dicampurkan, sehingga ada
jaminan ramah lingkungan.
g. Trendi
Pemilihan rancangan alat memperhatikan fungsi dan kemudahan operasi,
serta keinginan pengguna, Ladle dirancang dengan fungsi tetap, namun
memberikankan keamanan dan rasa nyaman kepada karyawan yang lebih baik
bila dibandingkan dengan rancangan Ladle pada umumnya. Bentuk handle yang
mengikuti antropometri tangan pekerja, adanya sekat penopang dan penghambat
radiasi panas baja cair ke tubuh pekerja, memberikan tambahan kenyamaan
terhadap pengoperasian Ladle. Alat yang dirancang memperhatikan antropometri
dan disesuaikan dengan keinginan pengguna tergolong mengikuti trend atau
perkembangan zaman saat ini.
Page 34
53
Sedangkan pada alat Dust Collector dirancang secara portable.
Perancangan dust collector pada umunya ditempatkan secara terpisah dan
menempel secara tetap pada dinding perusahaan, padahal aktivitas pembongkaran
cetakan dan pembersihan manual dikerjakan pada tempat yang berpindah-pindah
mengikuti alur cetakan, sehingga perlu alat yang portable untuk membantu dalam
menyelesaikan proses kerja. Pertimbangan kemudahan pengoperasian dan
kenyamanan pengguna menjadi pilihan produk yang ada di pasaran saat ini,
sehingga rancangan dust collector telah mengikuti perkembangan zaman.
2.5.1.3 Pendekatan SHIP (SHIP Approach)
Semua kriteria Teknologi Tepat Guna (TTG), harus melalui pendekatan
SHIP (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori) sebagai upaya
perbaikan atau intervensi yang akan diterapkan di industri pengecoran logam.
Proses identifikasi masalah dilakukan oleh semua pihak secara bersama-sama,
sehingga keberhasilan terhadap solusi yang dipilih dapat dirasakan oleh semua
pihak, dan apabila terjadi kendala, merupakan bagian yang dapat dipecahkan
bersama-sama pula (Manuaba, 2004) untuk perbaikan terus-menerus (continuous
improvement).
a. Sistemik
Sistemik, artinya semua faktor yang mempengaruhi dari permasalahan
harus teridentifikasi tanpa ada yang tertinggal. Sistem interaksi manusia terhadap
mesin atau alat dimana proses mencetak baja dimulai dari penuangan baja cair ke
dalam cetakan dengan menggunakan Ladle, proses pembongkaran cetakan,
pembersihan manual bahan setengah jadi dari pasir cetak dan pengotor. Sistem
Page 35
54
interaksi manusia terhadap penggunaan alat yang ergonomis akan memperlancar
dan mempercepat proses penyelesaian pekerjaan, sedangkan alat bantu Ladle yang
tidak ergonomis akan berdampak pada tidak teraturnya organisasi kerja, kualitas
cetakan yang tidak bagus atau produk reject. Pemakaian Dust Collector
mengurangi sebagai interaksi manusia terhadap mesin atau alat dapat mengurangi
debu yang terhirup pada pekerja sehingga kinerja dan kesehatan kerja dapat
meningkat. Target produksi perusahaan berdampak pada target produksi dalam
satuan waktu yang harus dikerjakan sebagai target individu pekerja. Suatu sistem
kerja akan berjalan dengan baik bila pekerja memperhatikan kemampuan dan
keterbatasan kondisi fisiologis tubuh yang dimiliki (Adiputra, 1992).
Redesain Ladle mempertimbangkan ukuran antropometris manusia, sikap
kerja yang nyaman dan aman, begitu juga desain Dust Collector
mempertimbangkan kemudahan pengoperasian, tidak menimbulkan kondisi kerja
baru yang menganggu mekanisme dan sikap kerja yang sudah dirancang secara
ergonomis.
Interaksi manusia dengan manusia dapat terwujud dengan perbaikan
organisasi kerja proses mencetak baja, manusia menjadi perhatian yang utama.
Adanya perbaikan interaksi manusia dengan lingkungan kerja, debu fly ash
ditangkap dan diolah menjadi bahan baku produk turunan.
b. Holistik
Holistik artinya masalah dilihat secara menyeluruh dan komprehensif
antara satu sistem dan kaitannya dengan sistem yang lainnya. Sistem kerja pada
aktivitas mencetak baja yang lebih baik, akan berpengaruh secara langsung pada
Page 36
55
proses finishing yang lebih baik. Proses kerja juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan berupa iklim, kelembaban, kecepatan angin, intensitas cahaya dan
kebisingan. Faktor internal berupa usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan,
pengalaman kerja dan status kerja. Faktor eksternal hubungan kerja, pola
kepemimpinan. Pendekatan secara holistik akan berdampak pada perbaikan sistem
dimasa yang akan datang (Kunz, et al., 2013).
Sistem yang merupakan satu keatuan pengaruh dari beberapa sub-sistem
tidak langsung dengan adanya penerapan prinsip Holistik ini adalah: a) Sistem
pengupahan kerja, karena adanya waste yang dapat dinilai secara ekonomis,
keuntungan perusahaan akan naik dan adanya pengurangan biaya untuk perawatan
gedung, b) Sistem kesehatan lingkungan, yang selama ini perusahaan harus
menginvestasikan biaya untuk menganti limbah yang dibuang di udara bebas, c)
Sistem asuransi pekerja, yang dapat diminimalkan dengan asumsi paparan debu
pada pekerja dapat berkurang, biaya atas kesehatan kerja dapat dialihkan untuk
peningkatan atau perbaikan gizi/nutrisi.
c. Interdisipliner
Interdisipliner artinya semua bidang keilmuan harus turut serta
memberikan sumbang saran terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi
oleh industri pengecoran logam. Beberapa bidang ilmu yang berhubungan untuk
penyelesaian permasalahan adalah: a) Ahli Ergonomi yang akan menganalisis
hubungan atau keterkaitan antara manusia dengan pekerjaannya, b) Teknik
Industri untuk menyeleksi berbagai alternatif desain dan merancang desain Ladle
dan Dust Colletor secara teknis, c) Ahli Ekonomi untuk menghitung keuntungan
Page 37
56
perusahaan berupa benefit cost analysis, payback period dan BEP sehingga
produk layak jual, d) Teknik Lingkungan untuk menganalisis kondisi lingkungan
berupa debu tersuspensi yang ada di perusahaan dan penerapan teknologi produksi
bersih (The clean production Technology), e) Teknik sipil untuk menguji dan
menganalisis waste produk berupa flay ash yang tertangkap oleh dust collector
untuk dijadikan tambahan bahan baku agregat halus pembuatan beton.
Para ahli membentuk satu tim dan merumuskan permasalahan secara-
bersama-sama mulai dari awal pelaksanaan sampai dengan tahapan evaluasi,
sehingga dapat meyakinkan intervensi Ekologi Industri berorientasi Ergonomi
Total dapat realistis dan dilaksanakan.
Masalah yang akan dirumuskan mulai dari aspek Task, Organisasi dan
lingkungan kerja pada proses mencetak baja yakni: a) penuangan baja cair
kedalam cetakan menggunakan Ladle, b) proses pembongkaran cetakan, c) proses
pembersihan manual as cast dari pasir cetak.
d. Partisipatori
Partisipatori artinya semua orang harus terlibat sejak awal sampai dengan
berakhirnya program. Beberapa yang terlibat antara lain pekerja di stasiun
pencetakan baja, Manager Produksi, General Manager untuk menentukan
permasalahan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dan pertimbangan
penerapan TTG yang akan didesain. Pendekatan partisipatori dalam intervensi
ergonomi mampu meningkatkan kualitas hasil pengembangan suatu produk baru,
pendekatan partisipatori ini dimulai dari menanyakan langsung kepada pengguna
dari beberapa alternatif produk yang digunakan (Sutjana, et al., 1999).
Page 38
57
Pekerja diberikan waktu dan kesempatan untuk memberikan masukan
desain Ladle dan Dust Colelctor, melakukan evaluasi desain Ladle dan Dust
Colelctor, bersama-sama memantau proses pembuatan kedua alat ini, sehingga
apa yang menjadi keinginan pekerja dapat diakomodir atau diterapkan pada
rancangan baru. Kepada semua disiplin ilmu harus terlibat secara bersama-sama
pula, dan memberikan sumbang saran pikiran atau masukan yang berkaitan
dengan rancangan produk mulai dari desain gambar, desain prototype, uji coba
alat baru, pembuatan SOP untuk panduan pengoperasioan mesin dengan sikap
kerja yang alamiah, evaluasi dampak setelah penggunaan alat atau pada saat alat
dioperasikan, evaluasi beban kerja maupun kekuatan material bahan.
Permasalahan digali dan ditemukan oleh semua pihak yang terlibat, kemudian
diberikan ruang untuk menyumbangkan alternatif penyelesaian masalah.
Beberapa yang dapat dilakukan oleh Pekerja, Manager Produksi dan
General Manajer untuk memperoleh gambaran permasalahan yang ada di lantai
produksi industri Pengecoran logam adalah dengan menerapkan 4 langkah proses,
meliputi a) penjelasan dan diskusi awal mengungkap masalah, b) Focus Group
Discussion (FGD), c) Role Play, d) Observasi lapangan. Pada akhir aktivitas perlu
dilakukan evaluasi secara bersama-sama untuk melanjutkan penyelesiaan
permasalahan pada prioritas yang lainnya. Implementasi pendekatan holistik
dilakukan pada saat pendefinisian, analisis dan penyelesaian masalah dengan
memasukkan Teknologi Tepat Guna (TTG) yang melibatkan secara aktif para
pekerja dan stake holder yang lainnya dalam satu tim (Manuaba, 2006).
Page 39
58
Pada masa adaptasi, Dust collector dan Ladle dioperasikan secara terus-
menerus dalam rangka uji coba alat baru, setiap pekerja harus mencoba dan
memberikan masukan guna memperoleh perbaikan terhadap rancangan karena
pada akhirnya pada pekerjalah alat ini akan dipakai secara terus-menerus. Pekerja
dilibatkan sejak awal sampai dengan evaluasi rancangan alat bantu, sehingga
secara fisik pekerja hadir untuk memberikan alternatif usulan rancangan (the
body), bersama-sama memberikan masukan dengan melakukan proses dan
pengawasan pembuatan alat bantu (the mean) serta bersama-sama turut serta
mencoba dan memberikan masukan perbaikan alat bantu guna menyempurnakan
Dust collector dan Ladle hasil rancangan baru.
2.5.2 Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi Bersih
2.5.2.1 Kelemahan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi
Bersih
Pemilihan penerapan suatu konsep tidak selalu memberikan dampak yang
sempurna, terdapat beberapa kelemahan dalam proses aplikasi di industri.
Beberapa kelemahan atau kekurangan yang terjadi, bila suatu perusahaan
melakukan adopsi konsep Ekologi Industri (EI) melalui penerapan Teknologi
Produksi Bersih yang terdapat pada manajemen lingkungan antara lain berupa:
a. Faktor kesehatan manusia dianggap telah diperbaiki sejalan dengan adanya
pengolahan limbah perusahaan (waste to product) yang akan menjadi bahan
baku pada industri turunan lainnya.
Page 40
59
b. Tuntutan pengetahuan terhadap perkembangan adopsi teknologi terbaru,
pimpinan puncak harus memilih dan menentukan fokus strategi pengolahan
limbah.
c. Terkadang perusahaan memerlukan modal yang cukup mahal untuk membeli
investasi alat baru yang mampu melakukan operasi dengan efek perlakuan
lebih ramah terhadap lingkungan, belum ada kajian Teknologi Tepat Guna
(TTG) yang mendalam.
2.5.2.2 Kelebihan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi
Bersih
Perusahaan berkembang mempertimbangkan perlunya penerapan konsep
Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih, karena pada aktivitas ini
lingkungan menjadi faktor dominan untuk diperbaiki menuju keberlanjutan
perusahaan yang ramah lingkungan, sehingga apabila perusahaan menerapkan
konsep Ekologi Industri melalui penerapan Teknologi Produksi bersih, akan
mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan berupa :
a. Tercapainya tujuan utama bisnis perusahaan berupa peningkatan keuntungan
dan kualitas lingkungan perusahaan.
b. Perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku yang mengarah pada
pengaturan diri sendiri (self regulation) dari pada secara command and
control dalam pemeliharaan lingkungan.
c. Sistem industri dipandang sebagai suatu sistem kesatuan, organisasi dalam
ekosistem saling interaksi, saling mempengaruhi antar sistem
Page 41
60
d. Perbaikan yang dilakukan memaksimalkan perlakuan "produk" dan "proses"
yang terjadi pada lantai produksi.
e. Pengelolaan limbah merupakan keuntungan tambahan diperusahaan dan
perusahaan sadar terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan
f. Limbah suatu industri menjadi input industri lain menjadi produk baru (waste
to product), merupakan aktivitas tertutup (closed loop) membentuk Sistem
Industri type II dan Sistem Industri Type III.
g. Meningkatkan citra perusahaan melalui upaya perusahaan menuju produk
yang ramah lingkungan (eco-labeling) sebagai syarat awal produk masuk
pada pasar internasional.
2.5.2.3 Kelemahan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi
Bersih berorintasi Ergonomi.
Penyempurnaan dari penerapan Teknologi Produksi Bersih dari konsep
Ekologi Industri adalah perlunya mempertimbangkan manusia sebagai subjek atau
faktor utama setiap langkah perbaikan lingkungan. Alasan yang paling mendasar
adalah bahwa terjadinya suatu bisnis di industri disebabkan oleh keinginan atau
harapan manusia, sehingga manusialah yang seharusnya menjadi perhatian
dominan, sedangkan lingkungan perusahaan diharapkan dapat mendukung
kenyamanan dan keamanan pada semua pekerja atau karyawannya. Pendekatan
Ergonomi Total adalah jawaban yang paling tepat guna menyempurnakan
kelemahan ini, namun demikian setiap aplikasi atau perpaduan konsep baru
Page 42
61
tidaklah selalu sempurna, masih terdapat kekurangan atau kelemahan dalam
penerapannya, antara lain berupa :
a. Pada awalnya, tugas Tim akan lebih berat karena harus melibatkan berbagai
bidang disiplin ilmu yang berbeda-beda yang akan menggali dan memberikan
berbagai masukan dan solusi atas berbagai aspek yang berpengaruh antara
satu sistem dengan sistem lain, mulai identifikasi masalah sampai dengan
perbaikan dijalankan.
b. Memerlukan waktu persiapan yang relatif lebih lama dibanding dengan
metode Top Down karena dibutuhkan prinsip partisipatori dari berbagai
pihak mulai dari Pekerja, Manajer bagian produksi maupun General Manager
atau pemilik perusahaan.
2.5.2.4 Kelebihan Ekologi Industri melalui Penerapan Teknologi Produksi
Bersih berorintasi Ergonomi
Kondisi lingkungan yang baik akan meningkatkan kinerja karyawan
sehingga berdampak pada keberlangsungan perusahaan dimasa yang akan datang.
Penerapan Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih berorintasi
Ergonomi menyempurnakan pentingnya perbaikan a) kualitas lingkungan, b)
perolehan keuntungan perusahaan sejalan dengan c) peningkatan kinerja
karyawan. Ketiga variabel terebut harus berjalan beriringan guna mengoptimalkan
proses bisnis perusahaan. Manusia atau kinerja karyawan yang meningkat
merupakan kunci keberhasilan bisnis perusahaan yang berkelanjutan.
Penerapan Ekologi Industri melalui Teknologi Produksi Bersih berorintasi
Ergonomi mempunyai keunggulan di antaranya berupa :
Page 43
62
a. Menempatkan faktor manusia pada urutan pertama dilihat dari kemampuan,
kebolehan dan keterbatasan sehingga keberlangsungan industri dimasa yang
akan datang dapat terjamin.
b. Mempertimbangkan faktor kinerja karyawan dilihat dari; beban kerja,
keluhan muskuloskeletal, kelelahan, debu terhirup, kebosanan kerja dan
kepuasan kerja; sejalan dengan peningkatan kualitas lingkungan dan
keuntungan perusahaan.
c. Investasi mesin atau alat dapat dilakukan dengan kajian penerapan Teknologi
Tepat Guna (TTG) menggunakan 7 kriteria; Teknik, Ekonomi, Ergonomi,
Sosial Budaya, Hemat Energi, Ramah Lingkungan, Trendi.
d. Prinsip Sistemik dan Holistik memberikan gambaran bahwa semua sistem
dan permasalahan perlu diidentifikasi, sehingga tidak ada lagi permasalahan
baru yang muncul setelah perbaikan dijalankan.
e. Adanya prinsip Interdisipliner dan Partisipatori dalam ergonomi memberikan
hasil yang lebih baik bila dibandingkan perbaikan berbasis kebijakan yang
dilakukan tanpa adanya keterlibatan semua pihak sebagai pengguna.
f. Jaminan keberlanjutan bisnis perusahaan, karena perbaikan kualitas
lingkungan, peningkatan keuntungan perusahaan sejalan dengan peningkatan
kinerja karyawan. Karyawan merupakan kunci penggerak bisnis perusahaan.
2.5.3 Pendekatan Strategi 5R pada penerapan Teknologi Produksi Bersih
dan Ergonomi
Langkah penerapan teknologi produksi bersih dijabarkan dalam aktivitas
prinsip 5R. Karena debu yang terbentuk memerlukan perlakuan pada proses
Page 44
63
pemanfaatan kembali atau pemakaian ulang dan tidak dapat langsung digunakan,
maka R pada Reuse tidak diisi. Perbandingan langkah-langkah 5R dari teknologi
produksi bersih dan ergonomi dapat dijabarkan pada Tabel 2.3.
Tabel. 2.3
Penerapan 5R teknologi produksi bersih dan ergonomi
pada industri pengecoran logam
Aktivitas Teknologi Produksi Bersih Ergonomi
Re think 1. Perubahan dilakukan pada
proses atau produk
2. Limbah debu ((fly Ash) pada
aktivitas pembongkaran
cetakan berpotensi untuk
diolah menjadi input industri
lainnya: Industri Beton,
Industri Batako, Industri
Semen
3. Kualitas lingkungan
meningkat
4. Keuntungan meningkat
1. Manusia menjadi faktor utama dari semua
aktivitas perbaikan sikap kerja dan
pengolahan limbah, mulai dari awal
sampai dengan akhir proses produksi.
2. Redesain alat atau mesin dalam
pengelolaan limbah maupun perbaikan
sikap kerja dengan penerapan TTG melalui
pendekatan SHIP.
3. Peningkatan kualitas lingkungan dan
keuntungan perusahaan sejalan dengan
peningkatan kinerja karyawan.
Reduction 1. Pengurangan debu pada
sumbernya dilakukan dengan
dibongkarnya cetakan
setelah 12 jam baja cair
dituang dalam cetakan.
2. Perbaikan proses.
1. Pengurangan debu dengan aktivitas
pembongkaran dilakukan setelah 12 jam
dengan memperhatikan sikap kerja yang
aman dan nyaman, menghindari debu
terhirup.
2. Minimalisasi debu terhirup oleh pekerja
dengan menjalankan alat bantu dust
collector bersamaan dengan aktivitas
pembongkaran cetakan dan pembersihan as
cast
Recovery 1. Pemungutan kembali debu
dilakukan dengan pembelian
mesin dust collector.
1. Pemungutan kembali debu dengan
menggunakan rancangan alat Dust
Collector yang dikaji dengan pendekatan 7
kriteria TTG; teknis, ekonomis, ergonomis,
sosio-kultural, hemat energi, ramah
lingkungan, trendi.
2. ukuran Dust Collector menggunakan data
antropometri pekerja .
Recycle
1. Daur ulang debu (fly ash)
hasil tangkapan adalah
dengan dijual kepada
industri turunan untuk diolah
kembali sebagai campuran
agregat pembuatan Beton
1. Proses daur ulang debu (fly ash) hasil
tangkapan memperhatikan sikap kerja
aman, tidak menimbulkan masalah baru
bagi kesehatan.
2. Proses packaging debu (fly ash)
meperhitungkan kapasitas dan berat karung
agar tidak melebihi kapasitas angkat
maksimal.
Page 45
64
2.5.4 Perbaikan Kondisi kerja pada aspek Tugas (Task)
Hal yang sangat mendasar yang harus dihadapi manusia adalah
kompleksitas tugas pekerjaan, memenangkan kompetisi, sikap kerja manusia
menerima perubahan, informasi, dan substitusi sebagai alternatif jawaban
keinginan untuk memperbaiki diri (Manuaba, 2004). Observasi ergonomi dimulai
dari task (Guan, et al., 2013). Pekerjaan (task) berupa aktivitas mencetak baja
meliputi 3 langkah; a) Penuangan baja cair kedalam cetakan menggunakan Ladle,
b) Pembongkaran cetakan, c) Pembersihan manual (as cast).
Pada aktivitas penuangan baja kedalam cetakan menggunakan Ladle,
perbaikan dilakukan pada ukuran atau dimensi genggaman handle agar pekerja
lebih ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat dan Efisien). Kerja yang tidak
ergonomis jika tidak ditangani secepatnya, akan menimbulkan masalah terhadap
kenyamanan, dan keselamatan kerja (Manuaba, 1998a). Pada aktivitas
pembongkaran cetakan dan pembersihan manual dilakukan perbaikan berupa
penambahan dust collector untuk menangkap debu sebagai efek yang ditimbulkan
oleh pasir kuarsa proses pembongkaran cetakan dan pembersihan manual as cast
oleh pekerja dapat diminimalisasi.
2.5.4.1 Redesain Ladle
Banyak ditemukan peralatan atau mesin yang sudah didesain sangat bagus,
namun belum mempertimbangkan kepuasan pemakainya, sehingga masih
berpotensi mempercepat terjadinya kelelahan dan alat tidak nyaman untuk
dipakai. Desain harus dapat menutupi kelemahan dan keterbatasan manusia
sebagai operator agar dapat tercapai hasil yang maksimal, manusia menjadi urutan
Page 46
65
pertama dalam desain, tempat kerja dan lingkungan sekitar harus disesuaikan
dengan manusia (Sutjana, 2014a). Banyak desain yang menghasilkan
produkitivitas tinggi, mutu produk bagus tetapi kurang manusiawi (Platcheck, et
al., 2008), menimbulkan beban bagi pemakai berupa beban fisik dan mental
sehingga cepat menimbulkan rasa lelah dan dapat menyebabkan kecelakaan atau
penyakit akibat kerja (Manuaba, 1998c)
Redesain Ladle ergonomis dipilih berdasarkan beberapa alternatif. Data
antropometri berupa tinggi siku berdiri, genggaman tangan, diukur dengan
menggunakan antropometer dalam satuan mili meter. Ukuran-ukuran
antropometri dalam mendesain alat-alat kerja dan tempat kerja akan berpengaruh
terhadap respon fisiologis pada tubuh saat mengangkat dan mengangkut beban
(Sutjana, et al., 2005). Ladle dirancang sesuai dengan kriteria yang harus
dipenuhi dalam konsep TTG (Manuaba, 2004; 2006).
Hasil penelusuran paten Ladle sampai dengan saat ini, ditemukan bahwa
terdapat 4 paten dengan hanya wadah dari Ladle yakni a) Stuart Z. Uram-
USD280627; b) Phlllp N- Bear-5011120; c) Mark Vincent-US 7204955B2; d)
Lou Carolla-US7074361, sedangkan paten Ladle dengan handle untuk satu
operator ditemukan dua, yakni a) Daniel F. Davis-US6488886B1; b) Willis
Mitchell-US494585. Belum ditemukan patent Ladle yang dioperasikan oleh dua
orang pekerja.
2.5.4.2 Desain Dust Collector
Desain dust collector menggunakan sistem pengumpul debu mekanis
dengan fan sudu-sudu silinder dengan memanfaatkan gaya sentrifugal (Kristanto,
Page 47
66
2013), desain ini lebih efektif untuk menangkap debu dengan partikel pada
pengecoran logam. Agar kinerja mesin optimal maka spesifikasi dust collector
dapat digunakan Air flow sebesar 4200 m3/h, Pressure :1471 PA. Syclone
dirancang harus memperhatikan kemudahan dan kecepaan penampung dan
pemisahan butiran. Duxt Collector dirancang sesuai dengan kriteria yang harus
dipenuhi dalam konsep TTG (Manuaba, 2004; 2006).
Desain suatu produk menurut Sutjana (2014a) dapat: a) memiliki petunjuk
operasional yang sederhana dan jelas, b) memiliki sistem pengamanan yang baik,
c) terdapat peringatan atau tanda bahaya mesin bila tidak berjalan dengan baik
atau menimbulkan bahaya, d) memiliki standar yang sama untuk tanda yang sama,
e) display/papan kendali cor yang sederhana, mudah dimengerti, jelas dilihat dan
dibaca, f) kontrol jelas, sederhana, mudah dimengerti dan dioperasikan, g)
perawatan mudah dan murah, h) bidang kerja dapat disesuaikan, i) memperhatikan
keterbatasan yang dimiliki pemakai.
Hasil penelusuran paten dust collector sampai dengan saat ini, ditemukan
terdapat 17 paten. Paten dengan menyertakan perancangan Syclone oleh a) Robert
M. Witter, US7824457; b) Robert M.Witter, US7550021; sedangkan paten yang
lainnya: a) Mao Nan Cheng-USD629575; b) Mao Nan Cheng-USD630391; c)
Yuan Tai Cheng-USD629576; d) Tony Lin-USD630392; e) Angela Denise
Shelton-US6875248; f) Bryan W Woburn-US7074261; g) Chich Peng Lin-
US20110219734; h) Chieh Yuan Cheng-USD501964; i) James K Reid-
US8460417; j) Kimura-US5159737; k) McDaniel, David-MEP1794330; l)
Michael A Bodmer-US5536206; m) Paul J Eckhoff-US6783563; n) Robert
Page 48
67
M.Witter-US2010-0218467; o) Steve Bures-US6827640B2. Paten rancangan dust
collector portable yang difungsikan untuk menghisap debu (fly ash) pada industri
pengecoran logam belum ditemukan.
2.5.5 Perbaikan kondisi kerja pada aspek Organisasi Kerja
2.5.5.1 Pengaturan waktu istirahat aktif
Pengaturan waktu istirahat aktif dapat menurunkan beban kerja, dihitung
berdasarkan nilai denyut nadi yang sudah dikonversi dengan data kategori beban
kerja (Adiputra, 1992). Penelitian ini akan dilakukan istirahat selama 15 menit
setelah bekerja selama 2 jam.
2.5.5.2 Penyediaan display atau papan kendali cor
Kemampuan penglihatan (visual ability) menurut Tarwaka (2010) dapat
ditentukan dari beberapa faktor, antara lain ketajaman penglihatan (visual acuity),
pemusatan pandangan mata (convergence), diskriminasi warna (color
discrimination) dan adaptasi gelap (dark adaptation). Sudut pandang (Visual
angle-VA) dalam menit arc dengan menggunakan rumus :
(2.11)
Dimana H= Tinggi Stimulus pandang (Height);
D= Jarak dari mata (distance).
Rasio tebal huruf dengan tinggi huruf atau angka untuk hitam pada putih
rasio 1:6 s/d 1:8, putih pada hitam rasio 1:8 s/d 1:10, sedangkan rasio Lebar dan
tingi karakter (width-Height Rasio of Characters) digunakan rasio 3:5 (3 elemen
lebar dan 5 elemen tinggi). Tinggi huruf atau angka terhadap jarak baca
menggunakan rumus :
(2.12)
Page 49
68
Menyediakan display/papan kendali cor pada stasiun pengecoran logam
dapat difungsikan sebagai informasi tentang tugas dan target pekerjaan tiap
periode. Papan kendali cor dapat memberikan kemudahan informasi, sehingga
kesalahan dalam bekerja dapat dihindari.
2.5.5.3 Gizi atau Nutrisi
Gizi atau nutrisi adalah gizi yang diperlukan oleh tenaga kerja untuk
melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan jenis pekerjaan dan beban kerjanya
dengan tujuan untuk pemulihan tenaga. Gizi yang baik dan seimbang berpengaruh
terhadap peningkatan taraf kesehatan tenaga kerja guna mencapai produktivitas
dan efisiensi kerja yang tinggi (Rival, 2009). Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kebutuhan gizi seseorang menurut Ichsan (2002) adalah; a) ukuran
tubuh atau tinggi dan berat badan, b) usia, c) jenis kelamin, d) kegiatan atau jenis
aktivitas kerja, e) kondisi tubuh tertentu, f) lingkungan kerja. Pemberian asupan
tambahan pada setiap 2 jam, efisiensi kerja akan tetap tinggi (Ichsan, 2002) karena
setelah bekerja dalam waktu ini, kadar gula darah akan mencapai kondisi yang
terendah sehingga perasaan lelah akan muncul.
Berdasarkan fungsinya gizi dikelompokkan menjadi: a) zat tenaga atau
energi berupa karbohidrat dan lemak, b) protein mengandung energi tapi bukan
sumber energi, namun berfungsi sebagai penganti jaringan atau sel tubuh yang
rusak sehingga disebut zat pembangun, c) zat pengatur berupa vitamin, mineral
air. Kecukupan gizi berdasarkan prinsip gizi seimbang untuk orang indonesia
antara lain: a) Karbohidrat; 60-70% dari total energi sehari, b) Protein; 1 gram tiap
kg berat badan untuk protein dari hewani dan 1,2 gram untuk protein dari
Page 50
69
tumbuhan dan dibutuhkan 10-15% dari total energi sehari, c) Lemak; 20-25% dari
total energi sehari, d) air; 2,8 liter air mineral per hari untuk pekerja berat dan 1,9
liter air per hari untuk pekerja ringan.
Makanan tanpa energi masuk pada golongan VIII antara lain berupa agar-
agar, air kaldu, air mineral, cuka, gelatin, gula alternatif (aspartam, sakarin), kopi,
teh (Rival, 2009) karena mengandung kurang dari 20 kalori tiap penukarnya.
Energi untuk kebutuhan fisiologis minimal tubuh dalam keadaan basal disebut
Metabolisme Basal (BM) adalah energi yang dibutuhkan minimal untuk
melaksanakan hajat hidup biologis selama 24 jam. Kondisi basal adalah tubuh
tidak dalam keadaan tidur, namun rileks terlentang, tidak melakukan pekerjaan
jasmaniah dan rokhaniah dalam kondisi lingkungan yang nyaman, pada akhirnya
energi basal dibuang di permukaan kulit (energi thermis). Perhitungan kebutuhan
energi untuk melaksanakan pekerjaan menurut (Ichsan, 2002; Rival, 2009) dapat
dilakukan dengan:
a. Menaksir nilai Basal Metabolisme Rate (BMR) yang sebelumnya telah
diketahui umur, jenis kelamin dan berat badan pekerja.
Tabel 2.4
Taksiran nilai BMR menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Umur (th) Laki-laki Perempuan
18 s/d 30 15,3 Bb + 679 14,7 Bb + 496
30 s/d 60 11,6 Bb + 897 08,7 Bb + 829
> 60 13,5 Bb + 487 10,5 Bb + 596
Sumber : Ichsan (2002)
Page 51
70
b. Kebutuhan energi atau kecukupan energi berdasarkan tingkat aktivitas fisik.
Tabel 2.5
Angka kecukupan energi dari tiga tingkat aktivitas fisik
Kelompok
Aktivitas Jenis Kegiatan
Faktor
Aktivitas
Ringan
- Laki-laki
- Perempuan
75% dari waktu yang digunakan adalah
untuk duduk atau berdiri dan 25% untuk
kegiatan berdiri atau berpindah (moving)
1,58
1,45
Sedang
- Laki-laki
- Perempuan
25% waktu yang digunakan adalah untuk
duduk atau berdiri dan 75% adalah untuk
kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaanya
1,67
1,55
Berat
- Laki-laki
- Perempuan
40% dari waktu yang digunakan adalah
untuk duduk atau berdiri dan 60% untuk
kegiatan kerja khusus dalam bidang
pekerjaanya
1,88
1,75
Sumber : Proceeding WNPG VII (2004) dalam Rival (2009)
c. Specific Dynamic Action atau intake dengan penambahan 10%.
d. Pembagian kecukupan energi selama 24 jam.
Pada 8 jam kerja minimal disediakan makan dan minum 2/5 dari kecukupan
energi selama 24 jam dapat dibagi berupa: asupan makan pagi 20%, asupan
snack siang dan sore masing-masing 10%, asupan makan siang 35%, asupan
makan malam 25%.
2.5.5.4 Induksi kerja
Induksi kerja dapat diartikan lain berupa apel pagi. Tujuan dari aktivitas
ini selain sebagai presensi, juga media informasi dan komunikasi lisan yang
efektif terkait pekerjaan yang harus diselesaikan. Kegiatan ini juga dapat melatih
Page 52
71
kedisiplinan dan tanggung jawab dalam bekerja. Permasalahan dan kendala pada
pekerjaan sebelumnya dapat cepat disampaikan dan dicarikan solusinya. Induksi
kerja digunakan sebagai sarana komunikasi dan penyampaian gagasan atau ide
perbaikan aktivitas kerja yang akhirnya ide dapat dikonversi menjadi nilai rupiah
oleh perusahaan. Induksi kerja paling lama 15 menit pada tiap harinya.
2.5.5.5 Penyuluhan Kerja
Penyuluhan kerja disini adalah penyampaian materi yang berkaitan
dengan pentingnya penerapan ergonomi yang menempatkan manusia sebagai
faktor utama dalam seluruh aktivitas di lantai produksi dan role play 5R
Teknologi Produksi Bersih. Dilakukan selama sekali yakni pada awal penelitian
atau pada saat WOP atau saat sebelum melakukan intervensi. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk memberi informasi tentang konsep ergonomi, merubah pola pikir
kerja dengan bekerja menerapkan prinsip ergonomis dan berfikir ulang (re-think)
terhadap kondisi limbah yang terbentuk di perusahaan. Tujuan akhir dari
intervensi ini adalah permasalahan penelitian dapat ditemukan oleh pekerja,
didiskusikan dan dicarikan alternatif solusi yang kemudian dapat dipecahkan
secara bersama-sama antara pekerja, manager produksi dan pihak manajemen
perusahaan.
2.5.6 Perbaikan Kondisi Kerja pada aspek Lingkungan kerja
2.5.6.1 Penangkapan debu dan pengolahan waste produk
Debu yang dimaksud adalah fly ash yang terbentuk sebagai dampak
aktivitas pembongkaran cetakan. Sub Stasiun pencetakan terdiri dari tiga (3) jenis
proses, yakni a) semen proses yaitu proses pembuatan cetakan menggunakan pola
Page 53
72
khusus, b) pasir hitam yakni benda kerja yang dibuat berukuran sedang sampai
dengan kecil, c) Tapel yakni benda kerja dibuat dengan tidak menggunakan pola
khusus. Campuran bahan dari ketiga (3) jenis proses pembuatan cetakan logam ini
juga berbeda-beda, sehingga walaupun mekanisme atau cara kerja pembongkaran
cetakan hampir sama, namun kadar debu yang dihasilkan akan berbeda.
Limbah (waste) ditangkap mengggunakan dust collector. Fly ash yang
terkumpul, diuji coba skala laboratorium untuk diolah dan dijadikan sebagai
tambahan agregat Beton. Beton yang dihasilkan kemudian dilakuan pengujian
berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)-03-2847. Bila sudah memenuhi
syarat sesuai dengan standar minimal, debu yang terbentuk dari aktivitas
pembongkaran cetakan pada industri pengecoran logam, layak untuk dijual pada
industri lainnya.
2.5.6.2 Perancangan Campuran Beton
Perancangan campuran Beton ini mempunyai maksud untuk mengetahui
komposisi atau material propertis telah memenuhi SNI 03-2834 sehingga dapat
memenuhi syarat teknis dan ekonomis. Langkah-langkah perancangan campuran
Beton adalah sebagai berikut : a) menentukan tekan beton (f 'c) pada umur 28 hari
dan menghitung standar deviasi, b) menentukan faktor air semen (FAS), c)
menetapkan slump, ukuran agregat maksimum dan kadar air bebas, d)
menentukan susunan butir agregat halus dan kasar dan persentase pasir, e)
menghitung berat jenis relatif agregat dan berat isi beton, f) menghitung kadar
agregat gabungan yang besarnya adalah berat jenis beton dikurangi jumlah kadar
Page 54
73
semen dan akadar air bebas, g) menghitung kadar agregat halus dan kasar, h)
membuat campuran uji.
2.5.6.3 Pengujian Slump Beton
Metode Pengujian Slump Beton bertujuan untuk menentukan concrete
slump dengan langkah-langkah pengujian diawali dengan a) membasahi cetakan,
b) mengisi cetakan dengan beton dalam 3 lapis, c) meratakan permukaan benda
uji, kemudian cetakan dibuat tegak lurus vertikal; pengujian maksimal 2,5 menit,
kemudian dibaca perbedaan tinggi cetakkan slump Beton
2.5.6.4 Pengujian Kuat Tekan Beton
Pengujian ini untuk menentukan kuat tekan (compressive strength) Beton
dengan perlakuan benda uji sebelumnya dibuat berbentuk silinder dan
dimatangkan (curing). Pengujian ini dimulai dengan membuat benda uji dengan
langkah-langkah sebagai berupa a) mengisi cetakkan dengan adukan beton,
dipadatkan dan direndam dalam air pada temberatur 250C untuk proses
pematangan (Curing), b) menentukan berat dan ukuran benda uji dengan cara
melapisi (capping) permukaan benda uji dengan mortar berlereng, c) melakukan
pengujian dengan mesi tekan (Concrete compression machine), kekuatan tekan
beton ditentukan dengan rumus :
(2.13)
Keterangan : P = beban maksimum (kg) ;
A = luas penampang benda uji (cm2)
Page 55
74
2.6 Anthropometri untuk perancangan Ladle dan Dust Collector
Antropmetri diperlukan sebagai dasar perancangan Ladle dan Dust
Colelctor. Ukuran atau dimensi anthropometri akan memberikan kemudahan
dalam perancangan produk dan pada akhirnya kenyamanan dalam bekerja dapat
terwujud. Antropometri berasal dari "antro" yang artinya manusia dan
"metri"yang mempunyai arti ukuran (Wignjosoebroto, 1995). Anthropometri yang
akan digunakan dan sesuai untuk dasar perancangan handle pada Ladle dan dust
collector adalah anthropometri tangan manusia.
Gambar 2.4 Dimensi Antropometri Tangan
Sumber : (Nurmianto, 1996; Tarwaka, 2010)
Anthropometri tangan manusia dan cara pengukurannya dapat dijelaskan
sebagai berikut : 1) Panjang Tangan (Pt) adalah jarak vertikal atau tinggi tangan
dari ujung jari tengah sampai pergelangan tangan, ketika tangan dibentangkan, 2)
Panjang Telapak Tangan (Ptt) adalah jarak vertikal telapak tangan dari bagian
pangkal jari hinggga pergelangan tangan, ketika tangan dibentangkan, 3) Panjang
Ibu Jari (Pij) adalah jarak vertikal dari ujung ibu jari hingga pangkal ibu jari,
ketika tangan dibentangkan, 4) Panjang Jari Telunjuk (Pjl) adalah jarak vertikal
dari ujung jari telunjuk hingga pangkal jari telunjuk, ketika tangan dibentangkan,
Page 56
75
5) Panjang Jari Tengah (Pjt) adalah jarak vertikal dari ujung jari tengah hingga
pangkal jari tengah, ketika tangan dibentangkan, 6) Panjang Jari Manis (Pjm)
adalah jarak vertikal dari ujung jari manis hingga pangkal jari manis, ketika
tangan dibentangkan, 7) Panjang Jari Kelingking (Pjk) adalah jarak vertikal dari
ujung jari kelingking hingga pangkal jari kelingking, ketika tangan dibentangkan,
8) Lebar Ibu Jari (Lij) adalah jarak horisontal pada bagian sambungan antar ruas
tulang ibu jari, 9) Tebal Ibu Jari (Tij) tebal ibu jari pada sambungan antar ruas
tulang ibu jari, 10) Lebar Jari Telunjuk (Ljl) adalah jarak horisontal pada bagian
sambungan antar ruas tulang jari telunjuk kearah mendekati tubuh, 11) Tebal Jari
Telunjuk (Tjl) adalah tebal jari telunjuk pada sambungan antar ruas tulang jari
telunjuk kearah mendekati tubuh, 12) Lebar Telapak Tangan Metacarpal (Ltm)
adalah jarak horisontal dari tepi dalam telapak tangan hingga bagian tepi luar
telapak tangan (Metacarpal), 13) Lebar Telapak Tangan Sampai Ibu Jari (Ltb)
adalah jarak horisontal dari tepi dalam telapak tangan hingga bagian tepi luar ibu
jari, 14) Tebal Telapak Tangan Metacarpal (Ttm) adalah jarak vertikal dari
punggung tangan sampai dengan telapak tangan pada metacarpal, ketika tangan
direntangkan, 15) Tebal Telapak Tangan Sampai Ibu Jari (Ttb) adalah jarak
vertikal dari punggung tangan sampai bagian bawah ibu jari pada saat tangan
direntangkan, 16) Lebar Maksimum (Lbmax) adalah jarak horisontal terjauh dari
ibu jari ke jari kelingking.
Page 57
76
2.7 Konsep Quality of Work Life (QWL)
Kesehatan tidak hanya bebas dari penyakit atau sakit, tetapi juga sehat
secara fisik, mental dan sosial. Kualitas hidup adalah suatu bangunan
multidimensional yang bersifat subjektif, diantaranya berupa kemampuan
fungsional dan kesehatan secara fisik dan psikologis manusia (Sutikno, 2011).
Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan suatu
kondisi kerja hasil dari interaksi antara individu dan pekerjaannya, sehingga
membuat pekerja lebih produktif, pekerja merasa ada peran dalam pengembangan
organisasi perusahaan, terdapat tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of
belonging) terhadap pekerjaan (William dan Keith, 1996).
Menurut WHO (2004) dalam Sutikno (2011) menyebutkan bahwa tahun
1991 bagian kesehatan jiwa WHO melakukan proyek organisasi kualitas
kehidupan dunia atau The World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)
dan merumuskan 4 domain kualitas hidup yakni : 1) kesehatan fisik meliputi :
penyakit, kegelisahan tidur dan beristirahat, energi dan kelelahan, mobilitas,
aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat dan bantuan medis, kapasitas
pekerjaan, 2) psikologis meliputi: perasaan positif, berfikir, belajar, mengingat
dan konsentrasi, self esteem, penampilan dan gambaran jasmani, perasaan negatif,
kepercayaan individu, 3) hubungan sosial meliputi : hubungan pribadi, dukungan
sosial, aktivitas seksual, 4) kondisi lingkungan meliputi : kebebasan, keselamatan
fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan
kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh ketrampilan dan informasi baru,
keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas dilingkungan, transportasi.