Top Banner
BAB II ISI A. Tinjauan Pustaka 1. Sejarah Penyakit Tetanus dikenal orang-orang kuno, yang berhubungan antara luka-luka dan kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi strychnine-seperti toksin tetanus dari alam bebas, bakteri anaerobik tanah. Etiologi penyakit ini dijelaskan lebih lanjut pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang menunjukkan transmissibility tetanus untuk pertama kalinya. Mereka memproduksi tetanus dari kelinci dengan menyuntikkan ke saraf skiatik mereka, dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal pada tahun yang sama. Pada tahun 1889, C.tetani ini terisolasi dari korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudian menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntikkan ke binatang, dan toksin bisa dinetralkan oleh antibodi spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa antitoksin tetanus disebabkan kekebalan pasif pada manusia, dan dapat digunakan untuk profilaksis dan 4
50

BAB II

Jun 23, 2015

Download

Documents

antibiotik22
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II

BAB II ISI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sejarah

Penyakit Tetanus dikenal orang-orang kuno, yang berhubungan

antara luka-luka dan kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur

Nicolaier mengisolasi strychnine-seperti toksin tetanus dari alam bebas,

bakteri anaerobik tanah. Etiologi penyakit ini dijelaskan lebih lanjut

pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang

menunjukkan transmissibility tetanus untuk pertama kalinya. Mereka

memproduksi tetanus dari kelinci dengan menyuntikkan ke saraf skiatik

mereka, dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal pada

tahun yang sama. Pada tahun 1889, C.tetani ini terisolasi dari korban

manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudian menunjukkan

bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntikkan ke

binatang, dan toksin bisa dinetralkan oleh antibodi spesifik. Pada tahun

1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa antitoksin tetanus

disebabkan kekebalan pasif pada manusia, dan dapat digunakan untuk

profilaksis dan pengobatan. Toksoid tetanus vaksin ini dikembangkan

oleh P. Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk

mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama

Perang Dunia II (6).

2. Definisi

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan

spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan

menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin.

Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh

Clostridium tetani (2).

4

Page 2: BAB II

5

Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Pada tahun

1890, ditemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan

tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung

bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan

pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani biasanya masuk

kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk

ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum )

(2).

3. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Clostridium

tetani. Bakteri ini bersifat anaerob murni serta mudah dikenal karena

pembentukan spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel

menyerupai tongkat pemukul genderang atau raket squash. Spora

bakteri ini dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, anjing da n

kucing juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi

dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan

bahkan beberapa tahun bila tidak kena sinar matahari. Spira ini terdapat

di tanah atau debu, tahan terhadap antiseptic, pemanasan 1000C,

danbahkan pada otoklaf 1200C selama 15-20 menit. Jika ia menginfeksi

luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain,

ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin

yang bernama tetanospasmin. Pada negara belum berkembang, tetanus

sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat

sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama

tetanus neonatorum (3,7) .

.

Page 3: BAB II

6

Gambar 2.1 Bakteri Clostridium tetani

4. Patogenesis

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,

bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara (7):

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara

menghambat pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Kharekteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena

toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.

c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin

oleh cerebral ganglioside.

d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous

System (ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi,

periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine

dalam urine.

Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia

mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan

neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak (7).

Page 4: BAB II

7

Gambar 2.2 Penyakit Tetanus

5. Gejala Klinis

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau

lebih lama 3 atau beberapa minggu ). Ada tiga bentuk tetanus yang

dikenal secara klinis, yakni (2) :

a. Localited tetanus ( Tetanus Lokal )

Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang

persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis,

dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal.

Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam

beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara

bertahap (2).

Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus,

tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.

Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik

tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai

sesudah pemberian profilaksis antitoksin (2).

b. Cephalic Tetanus

Page 5: BAB II

8

Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.

Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media

kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan

kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung (2).

c. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan

komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena

gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama

yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-

otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang

menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala

lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot

muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut.

Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan

sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan

retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot.

Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa

mencapai 400C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan

darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya

meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis (2).

Selain itu ada lagi pembagian berupa neonatal tetanus

Kharekteristik dari tetanus (2,7):

a. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama

5 -7 hari.

b. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya

c. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.

d. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang

dari leher.

e. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw)

karena spasme Otot masetter.

f. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity)

Page 6: BAB II

9

g. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis

tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir

tertekan kuat .

h. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,

tungkai dengan

i. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap

baik.

j. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan

sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna

vertebralis (pada anak) (2,7).

6. Diagnosis

Diduga suatu tetanus jika terjadi kekakuan otot atau kejang pada

seseorang yang memiliki luka. Untuk memperkuat diagnosis bisa

dilakukan pembiakan bakteri dari apusan luka (8).

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien

sewaktu istirahat, berupa :

1.Gejala klinik : kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus

(sardonic smile).

2.Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.

3. Kultur: C. tetani (+).

4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria (7).

7. Komplikasi

Komplikasi pada tetanus yang sering dijumpai: laringospasm,

kekakuan otot-otot pematasan atau terjadinya akumulasi sekresi berupa

pneumonia dan atelektase serta kompressi fraktur vertebra dan laserasi

lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan renal

failure (7).

Page 7: BAB II

10

8. Penatalaksanaan

Penderita tetanus harus segera dirujuk ke rumah sakit karena ia

harus selalu dalam pengawasan dan perawatan. Sebelum dirujuk

lakukanlah hal-hal tersebut di bawah ini. Selanjutnya bila anak yang

menderita tetanus selesai dirawat, berikan tetanus toksoid 3 kali dengan

jarak waktu 1 bulan (8).

Pertahankan jalan napas dan jaga keseimbangan cairan. Segera

berikan human tetanus immunoglobulin 5000 IU I.M untuk

menawarkan racun yang belum bersenyawa dengan otot. Bila yang ada

hanya ATS suntikkan I.M atau I.V 20.000 – 40.000 IU/hari selama 3

hari atau 20.000 IU/hari untuk anak-anak selama 2 hari. Berikan

penisilin prokain 2 juta IU I.M pada orang dewasa atau 50.000

IU/kgBB/hari selama 10 hari pada anak untuk eradikasi kuman. Berikan

diazepam untuk mengendalikan kejang dengan titrasi dosis:5 – 10 mg

I.V untuk anak dan 40 – 120 mg/hari untuk dewasa (8).

Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka dan

membersihkannya dengan H202 3%. Port d’entre lain seperti OMSK

atau gangren gigi juga harus dibersihkan dahulu. Untuk menetralisir

racun diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik tetrasiklin dan

penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih lanjut.

Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita,

mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot. Penderita biasanya

dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang (8).

9. Pencegahan

Seorang penderita yang terkena tetanus tidak imun terhadap

serangan ulangan artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk

mendapat tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak

pernah di imunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita

setelah ia sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak

sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin (karena

Page 8: BAB II

11

tetanospamin sangat poten dan toksisitasnya bisa sangat cepat,

walaupun dalam konsentrasi yang minimal, yang mana hal ini tidak

dalam konsentrasi yang adekuat untuk merangsang pembentukan

kekebalan) (2).

Ada beberapa kejadian dimana dijumpai natural imunitas. Hal

ini diketahui sejak C. tetani dapat diisolasi dari tinja manusia. Mungkin

organisme yang berada didalam lumen usus melepaskan imunogenic

quantity dari toksin. Ini diketahui dari toksin dijumpai anti toksin pada

serum seseorang dalam riwayatnya belum pernah di imunisasi, dan

dijumpai atau adanya peninggian titer antibodi dalam serum yang

karakteristik merupakan reaksi secondary imune response pada

beberapa orang yang diberikan imunisasi dengan tetanus toksoid untuk

pertama kali (2).

Dengan dijumpai natural imunitas ini, hal ini mungkin dapat

menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi, seperti yang

semestinya terjadi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi

tidak lengkap atau tidak terlaksana dengan baik (2).

Sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus

toksoid merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya

tetanus. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah dapat dimulai

sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi aktif

(DPT atau DT ) (2).

Mengingat banyaknya masalah dalam penanggulangan tetanus

serta masih tingginya angka kematian (30-60%), tindakan pencegahan

merupakan usaha yang sangat penting dalam upaya menurunkan

morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah

tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan

pasif (3).

Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus

dengan tujuan merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat

imunisasi aktif ini sudah sangat banyak dibuktikan. Imunisasi pasif

Page 9: BAB II

12

diperoleh dengan memberikanserum yang sudah mengandung

antitoksin heterolog (ATS) atau antitosin homolog (immunoglobulin

antitetanus). Berdasarkan riwayatimunitas dan jenis luka, baru

ditentukan pemberian antitetanus serum atau toksoid. Ada keraguan

untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena

ditakutkan terjadinya netralisasi toksoid oleh ATS. Ini dapat dicegah

dengan memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikkan yang

berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri (3).

B. Langkah Perencanaan dan Evaluasi Program Penidikan Kesehatan

Masyarakat

1. Mengenal dan Menetapkan Masalah

a. Data umum :

1) Geografi

Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai luas wilayah

sekitar 38.822,62 km2. Terletak diantara 1140

sampai 1160 Bujur

Timur dan 10 sampai 40

Lintang Selatan. Bagian barat merupakan

rawa pasang surut (200.000 Ha), rawa monoton (500.000 Ha) dan

rawa banjir (100.000 Ha). Di wilayah barat ini banyak tumbuh

hutan rawa. Sedangkan di bagian timur merupakan daerah

berbukit dan bergunung yang didominasi oleh hutan primer, hutan

skunder dan padang ilalang. Jika dilihat dari persentasenya maka

Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh daratan yang

melingkupi 33,89% wilayah serta pengunungan seluas 33,56%

(9).

Provinsi Kalimantan Selatan berbatasan dengan Provinsi

Kalimantan Timur di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan,

sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan sebelah

timur dengan Selat Makasar (9).

Secara administratif pemerintahan terbagi menjadi tiga

belas Kabupaten/Kota yang terdiri dari 2 (dua) Kota dan 11

Page 10: BAB II

13

(sebelas) Kabupaten. Pembangunan yang dilaksanakan di

Provinsi Kalimantan Selatan dibagi menjadi 3 (tiga) sub wilayah

pembangunan, yaitu (9):

1. Sub wilayah pembangunan I (sub wilayah

pembangunan Kayu Tangi), berpusat di Banjarmasin yang

meliputi Kota Banjarmasin, Kabupaten Banjar dan Tanah Laut.

2. Sub wilayah pembangunan II (sub wilayah

pembangunan Banua Lima), berpusat di Kandangan yang

meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu

Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan dan

Tabalong.

3. Sub wilayah pembangunan III (Sub wilayah

pembangunan Tanah Bumbu), berpusat di Kotabaru yang meliputi

Kotabaru dan Tanah Bumbu.

Berdasarkan 6 kelas ketinggian menunjukan wilayah

Kalimantan Selatan sebagian besar berada pada kelas ketinggian

25-100 meter di atas permukaan laut yakni 31,29 % (9).

Tanah di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan sebagian

besar berupa hutan dengan rincian : hutan lebat 780.319 ha, hutan

belukar 377.774 ha, hutan rawa 90.060 ha, tanah berupa semak

alang-alang seluas 870.314 ha, untuk sawah 413.107 ha,

perkebunan 437.073 ha dan untuk perkampungan 57.903 ha (9).

Wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dialiri sungai

antara lain Sungai Barito, Sungai Riam Kanan, Sungai Riam

Kiwa, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit,

Sungai Tapin, Sungai Kintap, Sungai Batulicin, Sungai

Sampanahan dan lainnya yang umumnya berpangkal pada

pegunungan Meratus dan bermuara di Laut Jawa dan Selat

Makasar (9).

Page 11: BAB II

14

2) Penduduk

Sesuai dengan data BPS Provinsi Kalimantan Selatan

(2006), jumlah peduduk Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun

2006 tercatat sebesar 3.307.565 jiwa dengan tingkat kepadatan 86

per km2 (Indonesia 115 km2) dan rata-rata jiwa per Rumah

Tangga sebanyak 4 jiwa. Kabupaten/ Kota yang memiliki

kepadatan penduduk tertinggi adalah Kota Banjarmasin, yakni

dengan kepadatan sebesar 8.371 km2. Kabupaten/Kota lain

dengan kepadatan penduduk relatif tinggi adalah Kota Banjarbaru

(423 km2), diikuti oleh Kabupaten Hulu Sungai Utara (225 km2),

Kabupaten Hulu Sungai Tengah (161 km2), Kabupaten Hulu

Sungai Selatan sebesar (114 km2), Kabupaten Banjar (99 km2)

dan Kabupaten Barito Kuala (88 km2). Dibanding dengan rata-

rata, terdapat 7 Kabupaten yang memiliki kepadatan di bawah

rata-rata. Kepadatan penduduk tertendah ada di Kabupaten

Kotabaru (28 km2) (9).

Tingkat kepadatan penduduk merupakan suatu indikasi

terhadap kemampuan suatu wilayah untuk menampung penduduk

serta sangat berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan. Rata-

rata jiwa dalam satu Rumah Tangga di Propinsi Kalimantan

Selatan tahun 2006 sebesar 4 jiwa/ RT (9).

Komposisi penduduk Kalimantan Selatan menurut

kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk yang berusia

muda (0 – 14 tahun) sebesar 40,04 %, yang berusia produktif (15-

64 tahun) sebesar 66,10 %, dan yang berusia tua (>65 tahun)

sebesar 4,86%. Dengan demikian, maka Angka Beban

Tanggungan (Dependency Ratio) penduduk di Kalimanantan

Selatan pada tahun 2006 sebesar 51,30, dengan kisaran antara

43,90 (Kota Banjarbaru) dan 54,70 di Kabupten Banjar. Dilihat

dari jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang

dibandingkan penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar

Page 12: BAB II

15

1.662.969 (50,28 %) dan 1.644.596 (49,72 %) dengan ratio

sebesar 101,1. Ratio tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu sebesar

108,50, diikuti Kabupaten Kotabaru (107,8), Kabupaten Banjar

(105,4), Kota Banjarbaru (105,0), Kabupaten Tanah Laut (103,7),

Kabupaten Barito Kuala (102,4), dan Kabupaten Tabalong

sebesar 100,2. Kabupaten/ Kota lainya berada dibawah 100,00

yang berarti bahwa panduduk perempuan lebih banyak (9).

Komposisi penduduk Kalimantan Selatan tahun 2006

menurut kelompok umur dan jenis kelamin menunjukkan proporsi

penduduk terbesar berada pada kelompok umur 10-14 tahun,

diikuti penduduk kelompok umur 15–19 tahun dan kelompok

umur 20–24 tahun (9).

3) Pendidikan

Kemampuan membaca dan menulis merupakan

keterampilan minimum yang diperlukan oleh penduduk agar

dapat hidup sehat dan sejahtera yang tergambar dari angka melek

huruf penduduk umur 10 tahun ke atas yang dapat membaca dan

menulis huruf latin dan huruf lainnya. Gambaran angka melek

huruf sebagai ukuran kemampuan menyerap informasi

masyarakat Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2006 adalah

sebesar 94,40 % dengan rincian laki-laki sebesar 96,70 % dan

perempuan 92,00 %. Dilihat dari sebaran menurut

Kabupaten/Kota, terlihat bahwa persentase angka melek huruf

tertinggi di Kota Banjarmasin (98,00 %), diikuti Kota Banjarbaru

(96,90 %) dan persentase terendah di Kabupaten Tanah Laut

(85,50 %) diikuti Kabupaten Balangan (90,30 %). Hal ini perlu

diperhatikan pada pembangunan kesehatan di Kabupaten Tanah

Laut dan Kabupaten Balangan, terutama dalam penyampaian

pesan-pesan tentang kesehatan. Peningkatan kualitas sumberdaya

manusia salah satunya bertitik tolak pada upaya pembangunan

bidang pendidikan (9).

Page 13: BAB II

16

Gambaran tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan

dapat menjadi indikator pembangunan bidang pendidikan.

Persentase tertinggi tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh

penduduk laki-laki adalah 16,20 % (Tidak/Belum Tamat SD/MI)

diikuti Tamat SD sebesar 14,83 %, sedangkan penduduk yang

menamatkan pendidikan sampai dengan DI/ DIII dan Perguruan

Tinggi (PT) berkisar antara 1,32 % - 2,52 %. Persentase

penduduk laki-laki yang Tidak/ Belum Pernah Sekolah sebesar

2,65 %. Gambaran tingkat pendidikan tertinggi penduduk

perempuan adalah sebagai berikut : Tidak/ Belum Pernah Sekolah

sebesar 1,88 %, Tidak/Belum Tamat SD sebesar 16,11 %,

SLTP/MTs sebesar 9,22 %, SLTA/ MA sebesar 10,19 %, dan

DI/DIII sampai PT berkisar antara 1,35 % - 1,82 % (9).

4) Ekonomi

Indikator yang digunakan untuk mengukur kondisi

perekonomian Kalimantan Selatan adalah Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB). Bardasarkan data BPS Kalimantan

Selatan, PDRB Kalimantan Selatan menurut usaha atas dasar

harga berlaku (AHDB) dengan migas selama kurun waktu 5 tahun

terakhir adalah sebesar Rp.19.229,- miliar rupiah (2001),

Rp.21.155 miliar rupiah (2002), Rp.23.374 miliar rupiah (2003),

Rp.25.792 miliar rupiah (2004), dan Rp.29.067 miliar rupiah pada

tahun 2005. Sedangkan PDRB per kapita Kalimantan Selatan

selama kurun waktu 5 tahun terakhir adalah sebesar

Rp.5.170.169,- (2001), Rp.5.753.756 (2002), Rp.6.324.113

(2003), Rp.6.785.128 (2004), dan Rp.7.324.451 pada tahun 2005

dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 2003 dengan

migas sebesar 4,40 % dan 4,91 % pada tahun 2004 (9).

Page 14: BAB II

17

b. Data kesehatan :

1) Angka kesakitan

Berdasarkan hasil pengumpulan data dari Dinas Kesehatan

Kabupaten/ Kota serta dari sarana pelayanan kesehatan (fasility

based data) yang diperoleh melalui sistem pencatatan dan

pelaporan diperoleh gambaran atau pola 10 penyakit terbanyak

pada pasien rawat jalan di puskesmas tahun 2005 seperti disajikan

pada tabel berikut (9):

Tabel 2.1 10 Penyakit Terbanyak pada Pasien Rawat Jalan di

Puskesmas Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006

Sumber : profil kesehatan Kalsel tahun 2006

a) Penyakit Malaria

Penyakit malaria masih menjadi permasalahan

kesehatan masyarakat di Kalimantan Selatan, namun sejak

tahun 2002 mengalami kecenderungan penurunan. Kasus

tertinggi di Kabupaten tabalong (2.873), diikuti Kabupaten

Page 15: BAB II

18

Tanah Laut (1.180), Kabupaten Tanah Bumbu (1.158) dan

Kabupaten Kotabaru (1.052). Dari angka klinis malaria ini

dijumpai fenomena yang perlu dikaji lebih lanjut, yakni

ditemukannya kasus malaria klinis di Kota Banjarbaru

dengan jumlah yang cukup banyak sebanyak 560 kasus

dengan positif 87 slide. Jumlah ini melebihi angka malaria

klinis di Kabupaten Banjar (529 kasus dengan positif 89

slide).Dibanding dengan AMI nasional, angka kesakitan

malaria di Propinsi Kalimantan Selatan relatif lebih kecil.

AMI Kalimantan Selatan pada tahun 2004 lebih kecil

dibanding Propinsi Kalimantan Barat (26,3 per 1.000

penduduk) dan Propinsi Kalimantan Tengah sebesar 7,78 per

1.000 penduduk (9).

b) Penyakit DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

merupakan penyakit yang selalu diwaspadai di Propinsi

Kalimantan Selatan. Dari tahun ke tahun wilayah

penyebarannya semakin meluas. Pola musiman seiring

dengan turunnya hujan berhubungan erat dengan

perkembangan DBD di Kalimantan Selatan (9).

Persentase cakupan imunisasi dasar anak umur 12-59

bulan yang tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan adalah BCG

(85,8%), Campak (80,3%), dan Polio 3 (71,2%). Persentase

cakupan imunisasi BCG untuk anak umur 12-59 bulan lebih

rendah dari angka provinsi adalah Kabupaten Banjar, Kota Baru,

Tanah Bumbu, dan Balangan. Untuk imunisasi Campak

kabupaten/kota dengan persentase cakupan lebih rendah dari

angka provinsi adalah Banjar, Balangan, Banjarmasin, Kota Baru,

dan Tanah Bumbu. Untuk imunisasi polio terendah adalah

Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tapin, dan Balangan.

Page 16: BAB II

19

Persentase cakupan imunisasi dasar pada hampir semua jenis

imunisasi pada anak umur 12-59 bulan cenderung meningkat

seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala keluarga,

lebih tinggi di perkotaan lebih tinggi, dan cenderung meningkat

sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran per kapita (10).

Persentase cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-59

bulan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah 52,9%, tidak lengkap

adalah 36,4% dan tidak mendapat imunisasi sama sekali sebesar

10,6%. Untuk imunisasi yang tidak lengkap, persentase tertinggi

di Balangan, Tapin, dan Hulu Sungai Selatan. Untuk yang tidak

mendapat imunisasi sama sekali tertinggi di Banjar, Tanah

Bumbu, dan Kota Baru. Persentase imunisasi lengkap anak l2-59

bulan di Provinsi Kalimantan Selatan meningkat sesuai dengan

meningkatnya jenjang pendidikan kepala keluarga, lebih tinggi di

perkotaan, dan meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat

pengeluaran per kapita. Untuk persentase imunisasi tidak lengkap

dan tidak mendapat imunisasi sama sekali makin meningkat pada

pendidikan yang lebih rendah, lebih tinggi di perdesaan, dan

meningkat pada tingkat pengeluaran per kapita yang lebih rendah

(10).

Page 17: BAB II

20

Tabel 2.2

Sumber : hasil Riskesdas Provinsi Kalsel tahun 2007

2) Angka kematian

a. AKBData angka kematian yang terdapat pada komunitas

diperoleh melalui survei, hal ini karena sebagian besar

kematian terjadi di rumah. AKB pada tahun 2006 sebesar

40,80 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini menurun dibanding

periode tahun sebelumnya (9).

b. AKABA

AKABA di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hasil

survei BPS Kalimantan Selatan cendurung mengalami

penurunan dari 66,97 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun

1995 menurun menjadi 52,60 per 1.000 kelahiran hidup pada

tahun 2000 dan pada tahun 2006, AKABA di Provinsi

Kalimantan Selatan menurun menjadi 1,1 per 1.000 kelahiran

hidup (9).

Page 18: BAB II

21

c. AKI

Angka Kematian Ibu (AKI) menurut perkiraan BPS

Propinsi Kalimantan Selatan adalah sebesar 307 per 100.000

kelahiran hidup pada tahun 1998. AKI di Indonesia dari hasil

SDKI 1997 sebesar 334 per 100.000 kelahiran hidup dan

menurun menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI

2002-2003) (9).

d. AKK

AKK (Angka Kematian Kasar) menurut perkiraan BPS

Provinsi Kalimantan Selatan mengalami penurunan dari 21,0

per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 19,5 per 1.000

penduduk pada tahun 2006 (9)

c. Data perilaku (10):

1) Perilaku Konsumsi Buah Dan Sayur

Secara keseluruhan penduduk di Provinsi Kalimantan

Selatan (92,3%) kurang mengkonsumsi sayur dan buah.

Prevalensi responden yang kurang kecukupan sayur dan buah

cenderung lebih tinggi pada responden dengan usia tua (di atas

65 tahun), tidak banyak berbeda di antara laki-laki dan

perempuan, cenderung meningkat pada tingkat pendidikan yang

lebih rendah, dan hampir sama pada berbagai tingkat

pengeluaran per kapita (10).

2) Alkohol

Prevalensi penduduk usia 10 tahun ke atas yang

mengkonsumsi alkohol 12 bulan terakhir di Provinsi Kalsel

1,2% (rentang: 0,1-3,2%), kabupaten/ kota dengan prevalensi

lebih tinggi dari angka prevalensi provinsi adalah Banjarmasin,

Balangan, dan Banjar. Penduduk usia 10 tahun ke atas yang

mengkonsumsi alkohol dalam 1 bulan terakhir di Provinsi

Page 19: BAB II

22

Kalimantan Selatan 0,5% (rentang: 0,1-1,6%), tertinggi di kota

Banjarmasin (10).

3) Aktifitas Fisik

Penduduk Provinsi Kalimantan Selatan kurang aktifitas

fisik sebanyak 49,1% (rentang: 35,7-68,1%), tertinggi di

kabupaten Kota Baru, Banjarbaru, dan Tapin. Prevalensi

penduduk yang kurang aktifitas fisik tertinggi pada umur 65

tahun ke atas (usia 75 tahun ke atas mencapai 86,1%), lebih

tinggi pada perempuan, tinggi pada tingkat pendidikan tamat

perguruan tinggi, tinggi pada penduduk yang tidak bekerja, lebih

tinggi pada penduduk di perkotaan dibandingkan di perdesaan,

dan cenderung meningkat dengan makin tingginya tingkat

pengeluaran per kapita (10).

4) HIV/AIDS

Persentase penduduk yang pernah mendengar tentang

HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan hanya mencapai 44,3%

(rentang: 27,7-64%), yang berpengetahuan benar tentang

HIV/AIDS hanya mencapai 44,1% (rentang: 27,6-63,9%), dan

bersikap benar tentang pencegahannya hanya 20,5% (rentang:

7,4-45%), terendah di kabupaten Hulu Sungai Tengah, Tanah

Bumbu dan Hulu Sungai Selatan. Persentase penduduk yang

berumur antara 15 – 44 tahun lebih tinggi dalam hal pernah

mendengar tentang HIV, berpengetahuan yang benar tentang

penularannya dan berpengetahuan benar tentang pencegahannya

di bandingkan usia lainnya. Persentase penduduk yang pernah

mendengar, berpengetahuan yang benar tentang penularan dan

tentang pencegahan HIV/AIDS; lebih tinggi pada laki-laki

dibandingkan perempuan, meningkat dengan bertambah

tingginya pendidikan, lebih tinggi pada penduduk di perkotaan,

dan meningkat sesuai dengan meningkatnya tingkat pengeluaran

per kapita. Sikap yang paling dipilih oleh penduduk di Provinsi

Page 20: BAB II

23

Kalsel andaikata ada anggota keluarga menderita HIV/AIDS

tertinggi adalah melakukan konseling dan pengobatan 89,9%

(rentang: 77,8-95,3%), diikuti dengan membicarakan dengan

anggota keluarga lain (63%), namun sikap mencari alternatif

juga cukup tinggi (60,5%). Hanya sebagian kecil yang bersikap

mengucilkan penderita HIV/AIDS dan merahasiakannya (6,2%)

(10).

5) Perilaku Higienis

Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang

berperilaku benar dalam hal BAB yaitu BAB di jamban di

Provinsi Kalsel mencapai 69,9% (rentang: 33,5-88,1%),

sedangkan berperilaku benar dengan cuci tangan dengan sabun

17,9% (rentang: 4,3-40,8%). Kabupaten/kota dengan penduduk

berperilaku benar dalam hal BAB terendah di Barito Kuala,

HSU, dan Hulu Sungai Selatan. Kabupaten/kota dengan

penduduk berperilaku benar cuci tangan dengan sabun terendah

di Tapin, HSU dan Hulu Sungai Tengah. Penduduk di Provinsi

Kalsel yang memiliki perilaku benar dalam BAB dan perilaku

benar cuci tangan dengan sabun lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan laki-laki, cenderung meningkat sesuai dengan

meningkatnya jenjang pendidikan, tertinggi pada pekerjaan

utama sebagai pegawai, lebih tinggi di perkotaan dibandingkan

di perdesaan, cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya

tingkat pengeluaran per kapita (10).

6) Pola Konsumsi Makanan Berisiko

Prevalensi penduduk dengan umur 10 tahun ke atas di

Provinsi Kalimantan Selatan dengan konsumsi makanan

berisiko, tertinggi dalam mengkonsumsi makanan yang manis

83,5% (rentang: 70,8-95,9%) dan penyedap (84,7%). Kabupaten

dengan prevalensi penduduk mengkonsumsi makanan manis

melebihi angka prevalensi provinsi yaitu Hulu Sungai Tengah,

Page 21: BAB II

24

Balangan, Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, Tabalong, Tapin,

dan Tanah Laut. Prevalensi penduduk umur 10 tahun ke atas

dengan kebiasaan mengkonsumsi penyedap tertinggi di

Balangan, Hulu Sungai Tengah, Tanah Laut, Banjarmasin, dan

Barito Kuala (10).

7) Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat

Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan proporsi rumah

tangga dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan

klasifikasi baik di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan

sebesar 51,1%, terbaik pada Kabupaten Tabalong (66,8%) dan

rendah pada Barito Kuala, Kota Baru, Tanah Bumbu, Banjar,

Hulu Sungai Utara, dan Tapin (10).

Rumah tangga di Provinsi Kalimantan Selatan telah

memanfaatkan posyandu/ poskesdes sebanyak 25,2%, terendah

di Kabupaten Barito Kuala (19,2%). Di Provinsi Kalimantan

Selatan 7,2% rumah tangga tidak memanfaatkan pelayanan

tersebut, tertinggi (lebih 10%) di Barito Kuala, Kota Baru,

Tapin, Banjar Baru, Tabalong. Alasan RT tidak memanfaatkan

pelayanan posyandu/ poskesdes terbanyak adalah pelayanan

tidak lengkap (43,1%). Kabupaten dengan lebih separuh RT

beralasan letak posyandu/poskesdes jauh adalah Balangan,

Tabalong, dan Tanah Laut. Kabupaten dengan lebih separuh RT

yang tidak memanfaatkan posyandu/poskesdes dengan alasan

tidak ada posyandu adalah Hulu Sungai Utara dan Kota Baru

Sebanyak 19,3% rumah tangga di Provinsi Kalimantan Selatan

telah memanfaatkan keberadaan polindes/bidan, 17,3% tidak

memanfaatkan dan 63,3% merasa tidak membutuhkannya.

Kabupaten yang relatif banyak rumah tangganya tidak

memanfaatkan keberadaan polindes/bidan desa adalah Hulu

Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara. Sedangkan RT yang

merasa tidak membutuhkan keberadaan Polindes/Bidan desa

Page 22: BAB II

25

terbanyak di Banjarbaru, Banjar, dan Tanah Bumbu. Di Provinsi

Kalimantan Selatan proporsi RT yang pernah memperoleh

pelayanan pengobatan jauh lebih tinggi (80,4%) dibanding

dengan RT yang pernah memperoleh jenis pelayanan bidang

KIA lainnya. Jenis pelayanan KIA yang diterima RT yang

memanfaatkan polindes/bidan desa tertinggi berturut turut

adalah pemeriksaan kehamilan (21,3%), pemeriksaan bayi/balita

(20,6%), persalinan (8,2%), pemeriksaan ibu nifas (6,7%), dan

pemeriksaan neonatus (5,7%) (10).

d. Tabel 2.3 Multiple Criteria Utility Assesment (MCUA)

Masalah

Kriteria (bobot)

Tingginya kasus TB

Paru

Tingginya kasus ISPA

Penyakit Tetanus

Penyakit Darah Tinggi

S B x S S B x S S B x S S

B x S

1 Prevalensi Masalah (4)

3 12 5 20 1 4 4 16

2 Kegawatan (5) 3 15 4 20 4 20 3 15

3 Kelanjutan Program (5)

2 10 2 10 5 25 2 10

4 Perhatian Masyarakat (4)

3 12 3 12 4 16 3 12

5 Kemungkinan (4)

3 12 3 12 5 20 4 16

6 Kebijakan politik (4)

2 8 2 8 5 20 2 8

Jumlah 69 82 105 77

Berdasarkan penentuan prioritas masalah dengan menggunakan

tabel Multiple Criteria Utility Assessment (MCUA) diatas maka yang

menjadi prioritas masalah adalah penyakit tetanus. Terkait dengan

penyakit tetanus adalah upaya pemberian imunisasi yang masih kurang

Page 23: BAB II

26

terutama di kabupaten/kota Balangan. Intervensi yang akan dilakukan

dikhususkan untuk kabupaten/kota Balangan karena cakupan imunisasi

terutama imunisasi DPT masih kurang atau merupakan yang terendah

diantara 13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Selain itu

juga tingkat pendidikan masyarakat di kabupaten/kota Balangan masih

rendah yang artinya tingkat pengetahuan dan perilaku hidup sehat juga

akan rendah sehingga dapat memungkinkan terjadinya penyakit tetanus.

2. Analisa Masalah Secara Edukatif

Hal pokok dalam menganalisa masalah secara edukatif adalah :

a. Mempelajari Penyebab Langsung

Penyakit tetanus disebabkan oleh bakteri anaerob

Clostridium tetani. Spora dari Clostridium tetani dapat hidup selama

bertahun-tahun di dalam tanah dan kotoran hewan. Jika bakteri

tetanus masuk ke dalam tubuh manusia, bisa terjadi infeksi baik pada

luka yang dalam maupun luka yang dangkal. Setelah proses

persalinan, bisa terjadi infeksi pada rahim ibu dan pusar bayi yang

baru lahir (tetanus neonatorum). Yang menyebabkan timbulnya

gejala-gejala infeksi adalah racun yang dihasilkan oleh bakteri,

bukan bakterinya (8).

Racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri Cl.tetani

merupakan eksotoksin yang terbagi menjadi dua macam yaitu

tetanolisin dan tetanospamin. Tetanospamin terdiri atas protein yang

bersifat toksik terhadap sel saraf. Masa inkubasi berkisar antara tiga

hari sampai empat minggu, kadang lebih lama; rata-rata delapan hari.

Umumya, pada pasien dengan masa inkubasi kurang dari satu

minggu, angka kematiannya tinggi (2,3).

b. Perilaku Sebagai Penyebab Tidak Langsung dan Latar Belakang

Perilaku yang Membantu timbulnya Masalah

Page 24: BAB II

27

Perilaku perorangan atau masyarakat yang membantu

timbulnya penyakit tetanus adalah perawatan yang salah terhadap

luka, baik luka tusuk ataupun luka bakar. Sehingga spora dari bakteri

Clostridium tetani yang masuk melalui luka dapat hidup dan

menghasilkan toksin. Sikap masyarakat yang masih keliru mengenai

imunisasi sehingga ada bayi atau balita yang tidak mendapat

imunisasi dasar lengkap. Hal ini dapat dipengaruhi oleh karena

kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya imunisasi.

Kurangnya pengetahuan masyarakat diakibatkan dari tingkat

pendidikan yang rendah dan lingkungan tempat tinggal yang kurang

menerima informasi khususnya informasi kesehatan.

c. Perilaku Perorangan atau Masyarakat yang Diharapkan

Masyarakat atau ibu-ibu membawa bayi atau balitanya untuk

diimunisasi ke Puskesmas atau Posyandu. Melakukan tindakan

perawatan yang benar dan aman jika mengalami luka.

d. Kelompok yang Diharapkan Berperilaku

Semua laipsan masyarakat diharapkan dapat berperilaku seperti yang

dianjurkan untuk mencegah penyakit tetanus.

e. Hambatan yang Dihadapi dalam Merubah Perilaku

Tingkat pendidikan masyarakat kabupaten/kota Balangan

relatif rendah. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh

terhadap tingkat pengetahuan masyarakat serta tingkat ekonomi yang

relative rendah sehingga kemungkinan masih sedikit sulit untuk

dapat merubah perilaku seperti yang diharapkan.

f. Hal Pendorong Terjadinya Perubahan Perilaku

Tenaga Puskesmas dan fasilitas yang memadai.

g. Mempelajari Keadaan Sarana

Page 25: BAB II

28

Sarana kesehatan yang dapat digunakan untuk merubah

perilaku masyarakat Kalimantan selatan terdiri dari Puskesmas,

rumah sakit dan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM).

Jumlah Puskesmas yang ada dari total 13 kabupaten/kota yaitu 201

Puskesmas, total Puskesmas pembantu (Pustu) adalah 629 sedangkan

total Puskesmas keliling adalah 211 Puskesmas keliling. Untuk

UKBM jumlahnya yaitu, Posyandu 3431, Polindes 1312 dan pos

obat desa yaitu 339 (9).

h. Mempelajari Keadaan Ketenagaan

Tabel 2.4 Rasio Tenaga Kesehatan

di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2006

Sumber : profil kesehatan Kalsel tahun 2006

Dari gambaran seperti tabel di atas, nampak bahwa rasio

tenaga kesehatan terhadap penduduk di Provinsi Kalimantan Selatan

masih berada di bawah standar yang diharapkan (9).

i. Mempelajari Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat

Mayoritas penduduk Kalimantan Selatan adalah suku Banjar

dan beragama Islam, selain itu ada juga suku Jawa, Sunda, Madura,

Daya, Bugis, Minang, dan Batak. Suku Banjar berikut adat

istiadatnya merupakan hasil dari suatu proses akulturasi dari

Page 26: BAB II

29

kebudayaan Melayu, Dayak, Jawa dan Bugis yang dipengaruhi

agama Hindu dan Islam. Pengaruh Hindu dimulai sejak berdirinya

kerajaan Kutai sekitar abad ke 5 dan sisa-sisa kebudayaan Hindu

dapat dilihat dengan ditemukannya situs candi di Amuntai. Dalam

kehidupan sehari-hari dapat ditemukan adanya kesenian wayang,

topeng, dan lamut, pengobatan tradisional, dan relief ukiran interior

rumah adat Banjar. Pengaruh agama Islam sangat dirasakan dalam

kehidupan masyarakat suku Banjar. Sebagai penganut Islam yang

taat dan fanatik, kehidupan sehari-hari suku Banjar tidak terlepas

dari berbagai aturan kehidupan yang bersumber dari Al Qur‘an dan

Hadist. Adat istiadat perkawinan selalu merujuk ke Al Quran dan

Hadist. Dalam masyarakat Banjar terdapat sistem pelapisan sosial

yang berdasarkan faktor keturunan yaitu golongan keturunan raja

dan bangsawan, dan golongan masyarakat kebanyakan. Tetapi di

pihak lain, para ulama terutama bagi yang telah menunaikan ibadah

haji, merupakan salah satu strata sosial yang dipandang dan disegani

masyarakat. Strata sosial lainnya yang menunjukkan lapisan teratas

adalah pegawai pemerintah dan pedagang. Hal ini dikarenakan dari

aspek kesejahteraan kedua golongan tersebut cukup berada dan

umumnya dari golongan ini punya kemampuan untuk dapat

menunaikan ibadah haji (10).

3. Menetapkan Sasaran Penyuluhan

Sasaran dalam perencanaan pendidikan kesehatan penyakit tetanus ini

dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut :

a. Sasaran primer

Sasaran primer adalah kelompok yang berisiko terkena atau sudah

pernah terkena penyakit tetanus. Sasaran primer yang akan

mendapatkan penyuluhan adalah seluruh masyarakat kabupaten/kota

Balangan khususnya kepada ibu-ibu yang mempunyai bayi atau

balita. Tujuan pendidikan atau promosi kesehatan untuk sasaran ini

Page 27: BAB II

30

antara lain meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan

meningkatkan keterampilan untuk mencegah penyakit tetanus dari

segi cara perawatan luka yang benar dan aman.

b. Sasaran sekunder adalah para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh

adat kabupaten Balangan dengan harapan kelompok ini akan

memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat di sekitarnya.

Di samping itu, para tokoh masyarakat diharapkan akan memberikan

contoh atau acuan perilaku sehat bagi masyarakat sekitarnya

(dukungan sosial).

c. Sasaran tertier adalah para pembuat keputusan atau penentu

kebijakan dalam menentukan dukungan pelaksanaan suatu program

kesehatan, sehingga metode yang digunakan adalah menggunakan

strategi advokasi.

4. Menetapkan Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan yang ingin dicapai disini adalah :

1)Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah selesai penyuluhan masyarakat mengetahui tentang penyakit

tetanus, mengerti akan manfaat imunisasi DPT dan TT, serta cara

pencegahan penyakit tetanus.

2) Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

a. Masyarakat atau sasaran penyuluhan dapat menjelaskan penyebab

penyakit tetanus serta cara pencegahannya.

b. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya imunisasi

DPT dan TT.

c. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya cara

perawatan luka yang baik, benar, dan aman.

5. Menentukan Strategi Penyuluhan

Page 28: BAB II

31

Pendekatan yang dilakukan adalah pada ibu-ibu yang

mempunyai anak bayi atau balita. Setelah dilakukan pendekatan

kemudian diberikan pengarahan atau penyuluhan agar ibu dari bayi atau

balita tersebut dapat membawa anak mereka ke puskesmas atau pada

waktu kegiatan posyandu untuk diberikan imunisasi. Selain itu juga

terhadap masyarakat dengan melakukan pendekatan saat diadakan

kegiatan misalnya karang taruna atau pengajian baik ibu-ibu maupun

bapak-bapak.

Strategi yang diambil terlebih dahulu harus dikembangkan kepada

pemuka agama, dan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar pada

daerah yang bersangkutan, agar stategi ini berhasil karena pemuka

agama atau orang yang mempunyai pengaruh besar di daerah tersebut

lebih dihormati masyarakat. Kemudian setelah mengembangkan

pemuka agama dan masyarakat diharapkan para ibu bayi atau balita

dapat membawa bayi dan balita pada puskesmas atau posyandu untuk

diberikan imunisasi agar mempunyai kekebalan tubuh yang baik dan

terhindar dari penyakit tetanus. Serta msyarakat lebih berhati-hati dalam

melakukan perawatan terhadap luka atau melakukan tindakan

penanganan yang benar terhadap luka.

6. Menentukan Isi Penyuluhan

a. Masyarakat atau sasaran penyuluhan dapat menjelaskan penyebab

penyakit tetanus serta cara pencegahannya.

b. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya imunisasi

DPT dan TT.

c. Masyarakat dapat menjelaskan manfaat dan pentingnya cara

perawatan luka yang baik, benar, dan aman.

7. Menentukan Metode dan Tempat Penyuluhan

Metode yang dipakai dalam upaya untuk meningkatkan

pengetahuan, merubah sikap dan keterampilan untuk mencegah

penyakit tetanus adalah dengan ceramah yang diisi pula dengan

Page 29: BAB II

32

demonstrasi. Tempat yang akan dipakai dalam kegiatan penyuluhan

adalah balai desa yang ada di kabupaten Balangan.

8. Menentukan Media Penyuluhan

Media yang dipilih dalam penyuluhan ini adalah poster, leaflet

dan stiker. Poster yang digunakan adalah sehelai kertas atau papan yang

berisikan gambar-gambar dengan sedikit kata-kata. Poster tersebut akan

ditempelkan pada tempat yang mudah dilihat dan banyak dilalui orang

misalnya di dinding balai desa, pinggir jalan, papan pengumuman, dan

lain-lain. Gambar dalam poster dapat berupa ilustrasi atau photo.

Sedangkan Leaflet atau sering juga disebut pamflet adalah selembaran

kertas yang berisi tulisan dengan kalimat-kalimat yang singkat, padat,

mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Leaflet dan

stiker dapat diberikan atau disebarkan pada saat penyuluhan dan pada

saat pendekatan pada ibu-ibu, kegiatan karang taruna serta kegiatan

pengajian. Poster merupakan media yang cocok dengan sasaran ini

karena disini diperlukan media yang menarik, mencolok, dan dapat

mempengaruhi orang banyak. Pada penyuluhan ini diharapkan media

dapat menarik perhatian masyarakat.

9. Menyusun Rencana Jadwal Pelaksanaan

Page 30: BAB II

33

Waktu KegiatanSasaran

Tujuan Isi Metode MediaJenis Jmlh

7

Januari

2011

pukul 9

pagi

Penyuluhan

kesehatan

Umum:

semua

masyarakat

kabupaten/

kota

Balangan.

Khusus:

ibu-ibu

yang punya

anak bayi

dan balita

200

org

Peningkatan

pengetahuan

penyakit

tetanus,

pencegahan,

manfaat

imunisasi &

perawatan

luka yang

benar &

aman.

Tentang

penyebab, cara

pencegahan

penyakit

tetanus,

manfaat

imunisasi DPT

& TT, cara

perawatan luka

yang baik,

benar & aman.

Ceramah

demonstr

asi

Poster,

stiker,

pamflet

10. Membuat Rencana Penilaian

Dalam membuat rencana penilaian, hal-hal yang harus

diperhatikan adalah:

1. Apa yang akan dinilai berdasarkan indikator

2. Kapan penilaian dilakukan

3. Siapa yang menilai

Berdasarkan indikator penilaian, ada 4 evaluasi yang perlu

dinilai yaitu:

a. Evaluasi input

Evaluasi input merujuk pada sumber-sumber yang

diperlukan untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan yaitu

personel, alat atau fasilitas, informasi, dan dana.

Personel yang melaksanakan kegiatan penyuluhan adalah

9 mahasiswa PSKM FK UNLAM angkatan 2008 yang

bekerjasama dengan petugas puskesmas dan aparat desa.

Struktur kepanitiaan dapat dilihat di bawah ini:

Ketua panitia : Apriana Rahmadiani

Page 31: BAB II

34

Sekretaris : Diah Novita Sari Ratna

Bendahara : Ersa Istiana

Presenter : Septiana Eka Saputri Fadli

Seksi Dana dan Humas : 1. Meitha Theresia Osanti

2. Nina Yuniar

Seksi Perlengkapan dan Dokumentasi:

1. Ahkmad Haris

2. Rian Saputra

3. Resty Purinawati

Fasilitas yang digunakan mahasiswa sebagai sarana

penyuluhan adalah balai desa yang ada di kabupaten/kota

Balangan dan media penyuluhan yang digunakan adalah poster,

stiker dan pamflet. Informasi atau isi penyuluhan yang

disampaikan kepada masyarakat adalah penyebab dan cara

pencegahan penyakit tetanus, manfaat dan pentingnya imunisasi

DPT dan TT serta cara perawatan luka yang benar dan aman.

Rincian dana rencana penyuluhan tercantum pada tabel di

bawah ini.

Tabel 2.5 Rincian dana promosi kesehatan penyakit tetanus

Rincian biaya Jumlah biaya (Rp)

Page 32: BAB II

35

Biaya pembuatan poster 3 buah 150.000

Biaya konsumsi untuk 200 orang @ Rp

10.000

2.000.000

Biaya transportasi 300.000

Biaya pembuatan spanduk 150.000

Biaya sewa sound system 200.000

Biaya fotocopy soal pre-test dan post-test 60.000

Biaya lain-lain 55.000

Total 2.915.000

b. Evaluasi proses

Evaluasi proses adalah meliputi monitor tugas atau

kegiatan selama awal kegiatan sampai berakhirnya kegiatan.

c. Evaluasi output

Evaluasi output mengukur hasil meliputi cakupan,

termasuk pengetahuan, sikap, dan perubahan perilaku yang

dihasilkan oleh tindakan yang dilakukan.

d. Evaluasi outcome

Evaluasi outcome dipergunakan untuk menilai perubahan

atau dampak (impact) suatu program, perkembangan jangka

panjang termasuk perubahan status kesehatan masyarakat atau

penduduk.

Penilaian akan dilakukan setelah penyuluhan selesai

dilaksanakan untuk menilai pengaruh penyuluhan terhadap

cakupan imunisasi dan angka kunjungan untuk perawatan atau

pengobatan yang berisiko terjadi tetanus. Penilaian akan

dilakukan oleh kepala puskesmas.