1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26 juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya, outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik, salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010). Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb). Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey
42
Embed
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64016/potongan/S1-2013... · tertentu seperti tetrasiklin, kelebihan kalium seperti penggunaan diuretik hemat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang
memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia, kurang lebih 26
juta orang dewasa di Amerika dan warga negara lain berisiko terkena gagal ginjal
kronik. Insiden dan prevalensi gagal ginjal meningkat pada setiap tahunnya,
outcome yang rendah, dan biaya pengobatan yang tinggi. Banyak pasien
dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan gagal ginjal kronik,
salah satu dan mayoritas problem tersebut adalah anemia, yang berkembang sejak
awal pasien terkena gagal ginjal kronik dan berkontribusi pada penurunan kualitas
hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kemungkinan efek
samping yang terjadi, termasuk komplikasi dan kematian karena penyakit
kardiovaskuler (Lankhorst dan Wish, 2010).
Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada
sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang
kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal
kronik, insiden ini meningkat karena penurunan Glomerular Filtration Rate
(GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination Survey
2
(NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early
Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya anemia
adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40% pada
gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4, dan
lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium 5 (Lankhorst dan Wish, 2010).
Penyebab terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal kronik yaitu
multifaktor, tetapi ketidakcukupan produksi eritropoietin karena penyakit ginjal
merupakan penyebab yang utama. Anemia pada umumnya menjadi lebih berat
pada penurunan fungsi ginjal. Semakin menurunnya fungsi ginjal (ditandai
dengan stadium yang bertambah dan GFR yang menurun), maka prevalensi
anemia semakin tinggi (Isnenia, 2008). Transfusi sel darah merah merupakan
salah satu pilihan terapi anemia pada gagal ginjal kronik dimana dibutuhkan
ketika terjadi perdarahan akut, resistensi ESAs, maupun ketika kadar hemoglobin
pasien di bawah 7 g/dL. Transfusi sel darah merah dapat mencegah
ketidakcukupan oksigenasi jaringan dan gagal jantung. Anemia pada gagal ginjal
kronik yang tidak diterapi berhubungan dengan peningkatan rawat inap dan biaya
kesehatan pasien. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar konsekuensi
anemia adalah penyakit kardiovaskuler, dimana morbiditasnya menjadi penyebab
pasien dirawat di rumah sakit dan tingginya biaya kesehatan. Biaya dalam
penanganan gagal ginjal kronik di Indonesia cukup tinggi terutama biaya dalam
penanganan penyakit komplikasi dan komorbid, hal ini dapat membebani pasien.
Salah satu komplikasi yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik adalah anemia.
Oleh karena itu, diperlukan perhitungan biaya terapi anemia dalam kaitannya
3
dengan transfusi darah. Dengan berkurangnya lama rawat inap, diharapkan biaya
medis langsung pasien juga akan lebih rendah. Selain itu, untuk meningkatkan
outcome klinik maupun ekonomik, maka penggunaan sumber daya (biaya) harus
dapat dioptimalkan dan pengeluaran harus dikendalikan. Hal tersebut yang
mendorong peneliti untuk melakukan suatu penelitian guna mengetahui besarnya
rata-rata biaya medik langsung terapi penggunaan transfusi darah pasien anemia
pada gagal ginjal kronik. Serta dapat pula diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi besarnya biaya terapi tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai
pertimbangan dalam pengambilan keputusan klinik dengan memperhatikan
kondisi ekonomi pasien.
Banyaknya jumlah pasien gagal ginjal kronik memungkinkan semakin
banyak pula angka kejadian anemia di rumah sakit-rumah sakit, sehingga perlu
untuk mengetahui adanya evaluasi pengobatan anemia pada gagal ginjal kronik.
Pada anemia digunakan parameter hemoglobin untuk mengontrol keparahan
anemia. Kadar hemoglobin ini sebisa mungkin dijaga dalam rentang normal untuk
menghindarkan pasien dari gejala-gejala anemia, yaitu dengan memberikan terapi
antianemia yang sesuai dengan kondisi pasien. Oleh karena itu, mengetahui
outcome terapi suatu pengobatan sangat penting dalam penentuan terapi suatu
penyakit. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat
penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan yang menyediakan sarana
sebagai tempat belajar demi peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit,
sekaligus menjadi rumah sakit rujukan terpercaya terutama masyarakat kota
Surakarta dengan pemberian pelayanan cepat, tepat, nyaman, dan mudah diakses.
4
B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah pada
penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr.
Moewardi periode tahun 2012?
2. Bagaimana outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya total biaya terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah
sakit di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui besarnya rata-rata biaya medik langsung terapi transfusi darah
pada penderita anemia karena gagal ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD
Dr. Moewardi periode tahun 2012.
2. Mengetahui outcome terapi transfusi darah pada penderita anemia karena gagal
ginjal kronik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode tahun 2012
dalam meningkatkan kadar hemoglobin pasien.
3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya biaya total yang
dikeluarkan oleh pasien untuk terapi dengan transfusi darah pada penderita
anemia karena gagal ginjal kronik dilihat dari perspektif rumah sakit di RSUD
Dr. Moewardi.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi tentang analisis biaya pengobatan anemia, terutama
penggunaan transfusi darah pada pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat
inap RSUD Dr. Moewardi.
2. Sebagai bahan pertimbangan pengobatan anemia yang akan dilakukan
berikutnya guna meningkatkan mutu pelayanan pasien di RSUD Dr.
Moewardi.
3. Mendukung kemajuan ilmu kesehatan terutama dalam bidang
farmakoekonomi.
4. Sebagai sumber informasi mengenai outcome terapi penggunaan transfusi
darah pada penatalaksanaan terapi anemia dengan gagal ginjal kronik di
instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)
atau penurunan faal ginjal yang menahun dimana ginjal tidak mampu lagi
mempertahankan lingkungan internalnya dari perkembangan gagal ginjal yang
progresif, irreversibel dan lambat yang berlangsung dalam jangka waktu lama
dan menetap sehingga mengakibatkan penumpukan sisa metabolik (toksik
uremik) dimana hal tersebut berakibat ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan
dan pemulihan fungsi lagi yang menimbulkan respon sakit (Hudson, 2008).
6
Gagal ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau GFR <
60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan. Kerusakan ginjal ditandai dengan
abnormalitas patologi ginjal atau adanya marker kerusakan ginjal, yang
meliputi abnormalitas test darah atau urin atau gambaran struktur kerusakan
ginjal (NKF-K/DOQI, 2002). Penderita gagal ginjal kronik biasanya memiliki
penyebab yang berbeda, onset yang tersembunyi, diikuti perkembangan
penyakit yang progresif dan lambat, dan bersifat irreversibel.
Gagal ginjal kronik dikategorikan dalam tingkat fungsi ginjal,
berdasarkan Glomerular Filtration Rate (GFR), dari stadium 1 sampai 5,
dengan setiap peningkatan stadium menunjukkan tahap yang lebih parah dari
penyakit, sebagaimana digambarkan dengan penurunan GFR. Gagal Ginjal
Kronik stadium 5 atau disebut juga sebagai gagal ginjal stadium akhir atau End
Stage Renal Disease (ESRD), terjadi jika GFR turun di bawah 15
mL/menit/1,73 m2 (Hudson, 2008).
b. Etiologi
Sulit diperkirakan secara pasti penyebab dari gagal ginjal kronik,
karena kebanyakan pasien datang dengan kondisi ginjal yang sudah memburuk.
Pada tabel I memberikan estimasi distribusi penyebab gagal ginjal kronik di
Eropa.
7
Tabel I. Distribusi Penyebab Gagal Ginjal Kronik Di Eropa
Penyebab Rata-rata Frekuensi
terjadinya (%)
Glomerulonefritis 20-25
Diabetes 15-20
Penyakit multisistem, tumor, haemolytic-
uraemic syndrome, gout
10-15
Pyelonefritis 10
Hipertensi / renovascular 10
Kongenital (polycystic) 10
Drug nephrotoxicity 5-10
Interstitial nephritis 5
Tidak diketahui penyebabnya 10-15
(Greene dan Harris, 2000)
Secara umum, penyebab gagal ginjal kronik adalah karena penyakit
ginjal instrinsik, yaitu adanya kerusakan pada glomeruler. Gagal ginjal
iatrogenik meningkat dengan meningkatnya prevalensi diabetes dan gangguan
multisistem yang bervariasi yang membutuhkan terapi jangka panjang.
Hipertensi sekarang diketahui sebagai penyebab awal gagal ginjal kronik.
Diabetes dan hipertensi ini bertanggung jawab sampai dua pertiga kasus
terjadinya gagal ginjal kronik. Beberapa kondisi lain juga dapat mempengaruhi
ginjal, antara lain penyakit ginjal polikistik, penyakit lupus dan penyakit
lainnya yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh, sumbatan yang
disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar
prostat, dan infeksi saluran kencing berulang (NKF-K/DOQI, 2006).
Tidak ada pencegahan khusus yang bisa direkomendasikan, karena
faktor etiologi yang heterogen, seperti glomerulonefritis dan pyelonefritis.
Namun demikian, tidak ada alasan untuk mengurangi kewaspadaan pada
sebagian besar penyakit ginjal iatrogenik yang terjadi khususnya pada geriatri,
8
misalnya pada diabetes. Pada pasien diabetes, diharapkan dapat mengontrol
kadar gula darahnya agar tidak terjadi glikosuria yang dapat memperberat kerja
ginjal, sedangkan pada pasien hipertensi penggunaan ACE-Inhibitor dapat
memperlambat kecepatan perkembangan gagal ginjal kronik. Kabar baiknya,
manajemen terapi gagal ginjal relatif sama, tanpa memperhatikan etiologinya
(Greene dan Harris, 2000).
c. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik
Faktor risiko terjadinya gagal ginjal kronik dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu :
1) Faktor yang tidak langsung menyebabkan gagal ginjal kronik, seperti
umur, pendapatan dan pendidikan yang rendah, ras, penurunan massa
ginjal, berat badan lahir rendah, riwayat keluarga gagal ginjal kronik,
inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
2) Faktor inisiasi gagal ginjal kronik, meliputi diabetes, hipertensi, dan
glomerulonefritis.
3) Faktor progresivitas, meliputi glikemia, hipertensi, proteinuria, merokok,
dan obesitas (Joy dkk., 2009).
d. Patologi
Pada gagal ginjal kronik terdapat peningkatan kerusakan jumlah
nefron yang bersifat permanen. Hal ini berkebalikan dengan gagal ginjal akut
yang mengalami perburukan sebagian pada nefron dan bersifat reversibel.
Konsekuensi pada gagal ginjal kronik, penurunan jumlah nefron yang masih
berfungsi ini akan terus meningkat. Perubahan hemodinamik intrarenal terjadi
9
sebagai kompensasi hipertensi glomeruler dan peningkatan kecepatan filtrasi
(hiperfiltrasi). Hal ini menyebabkan atau meningkatkan kecepatan sklerosis
glomeruler dan atrofi tubuler, serta memperburuk ginjal secara gradual. Satu
pengecualian penting adalah penyakit polisistik dimana terjadi pembesaran,
walaupun jaringan yang masih berfungsi berkurang dengan cara yang sama
(Greene dan Harris, 2000).
Cadangan ginjal terdiri dari lebih banyak nefron yang dibutuhkan
untuk bertahan hidup, tetapi dibutuhkan adaptasi dan kompensasi yang tinggi
ketika jumlahnya berkurang karena mengancam fungsi organ. Adaptasi untuk
menjaga air, asam, natrium dan kalium dalam rentang yang normal, sehingga
hipervolemi, asidosis, dan perubahan kadar elektrolit plasma hanya terjadi
ketika GFR kurang dari 5-10 mL/min, dimana hal itu terjadi onset gagal ginjal
akhir. Bagaimanapun asam urat dan fosfat akan terakumulasi sebelum
terjadinya gagal ginjal akhir. Kadar urea dan kreatinin juga akan meningkat
proporsional dengan penurunan GFR, karena tidak ada mekanisme kompensasi
untuk molekul ini (Greene dan Harris, 2000).
Sebelum gagal ginjal akhir, pengurangan cadangan ginjal pasien
membuat mereka cenderung mudah untuk dekompensasi jika terdapat
penambahan kondisi yang memperburuk ginjal. Infeksi, pembedahan,
kehilangan banyak cairan seperti diare atau muntah berat, trauma, obat-obatan
tertentu seperti tetrasiklin, kelebihan kalium seperti penggunaan diuretik hemat
kalium, konsumsi makanan tinggi kalium, dan lain-lain dapat menyebabkan
10
eksaserbasi atau kondisi akut pada gagal ginjal kronik krisis yang mungkin
indikasi awal pada penyakit ginjal stadium berat (Greene dan Harris, 2000).
e. Patofisiologi dan Manifestasi Klinik
Tabel II memberikan ringkasan masalah klinik pada penyakit gagal
ginjal kronik dengan patogenesis dan pengukuran biokimia yang
memperlambat perkembangan penyakit atau gejalanya. Pada gagal ginjal tahap
akhir terapi lebih ditujukan pada pengurangan gejala / keluhan pasien (Greene
dan Harris, 2000).
Tabel II. Manifestasi Klinik Pada Gagal Ginjal Kronik
Penyebab Manifestasi Klinik Manajemen Terapi
Retensi
Natrium / Air Hipertensi
Udem, sistemik maupun
paru-paru
Gagal jantung
Pembatasan Na / Air,
diuretik, antihipertensi
Kalium Hiperkalemia, aritmia Pembatasan diet
Nitrogen :
1) Urea
2) Asam urat
3) Kreatinin
4) Lain-lain
Mual, muntah, purpura
Hiperurisemia, gout
Uncertain
Letargi, anorexia, dan lain-
lain
Perhatian pada
konsumsi protein
Molekul dengan BM
500-5000 Da
Letargi, anorexia, dan lain-
lain
Fosfat Osteodistrofi ginjal Pembatasan diet
Melanin, dan lain-lain Pigmentasi kulit
Asam Asidosis metabolik, dyspnea Bikarbonat oral
Endokrin
Vitamin D dan
defisiensi kalsium
Osteodistrofi ginjal
Miopati
Neuropati perifer, kram
Pruritis
Analog vitamin D,
kalsium
Defisiensi
eritropoietin
Anemia Biosintesis
eritropoietin
Lain-lain
Toleransi glukosa Hiperglikemia Antidiabetika
Metabolisme insulin Hipoglikemia Glukosa
11
Tabel II. Lanjutan...
Lipoprotein lipase Hiperlipidemia,
aterosklerosis, penyakit
jantung iskemik (IHD)
Diet lemak; agen
antihiperlipidemia (statin)
Imunodefisiensi Infeksi
Perikarditis
Antibiotik
Platelet defect Koagulasi
Stress ulceration Antagonis histamin (H2)
Beberapa masalah
dengan terapi obat
(Greene dan Harris, 2000)
1) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Konsentrasi urin sering berkurang pada stadium awal penyakit,
menyebabkan poliuria dengan urin yang encer dan risiko dehidrasi serta
pengurangan elektrolit, ini terjadi pada fase poliuri gagal ginjal akut. Hal ini
dapat terjadi sebagai hasil dari induksi diuretik osmotik dengan peningkatan
kadar urea pada filtrasi tubulus. Pada stadium selanjutnya, volume urin
berkurang dan terjadi retensi natrium dan air yang dapat menyebabkan
hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik. Komplikasi lain yang dapat terjadi
karena hipervolemia adalah udem, termasuk udem paru dan gagal jantung.
Pada onset gagal ginjal akhir pasien dapat mengalami anuria (Greene dan
Harris, 2000).
2) Uremia
Problem mayor hasil akumulasi biokimia tidak hanya urea saja,
tetapi bermacam-macam elektrolit dan zat lainnya, terutama nitrogen. Urea
dapat menyebabkan masalah pada saluran pencernaan dan bertanggung jawab
pada kerapuhan pembuluh kapiler, serta menyebabkan purpura (lebam) pada
pasien gagal ginjal. Walaupun terjadi peningkatan kadar asam urat, tetapi
gejala klinik gout jarang terjadi. Selain itu, terjadi akumulasi molekul dengan
12
bobot molekul 500-5000 Da dan nitrogen juga berkontribusi pada simptom-
simptom non spesifik. Peritoneal dialysis merupakan metode yang efisien
untuk membersihkan substansi ini, yang akan memicu peningkatan kualitas
hidup pasien gagal ginjal. Gejala uremia seperti cepat lelah, lemah, sesak nafas,
bingung, mual, muntah, perdarahan, dan hilang nafsu makan (Greene dan
Harris, 2000).
3) Asam dan Kalium
Perbaikan kadar kalium dan kondisi asam ini tidak menghambat
progresifitas penyakit hingga gagal ginjal tahap akhir. Sebelum itu, pasien
gagal ginjal akan toleran pada hiperkalemia dan kondisi asidosis ringan, atau
bisa beradaptasi pada kedua kondisi tersebut. Bagaimanapun juga retensi air
dalam waktu yang lama merupakan masalah serius pada gagal ginjal akhir
(Greene dan Harris, 2000).
4) Gejala metabolik
Terdapat perubahan besar pada kadar lipid dan metabolisme
karbohidrat. Ginjal secara normal akan mengkatabolisme beberapa hormon
seperti insulin, tetapi pada pasien dengan gagal ginjal mekanisme ini
mengalami penurunan. Sebaliknya terjadi peningkatan toleransi glukosa yang
berakibat diabetes. Dislipidemia terjadi karena peningkatan fraksi lipid
aterogenik (Greene dan Harris, 2000).
5) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi adalah yang paling umum terjadi dan juga peningkatan
insidensi terjadinya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung. Hipertensi
13
terjadi karena adanya retensi cairan dan gangguan sistem renin-angiotensin.
Dislipidemia dan hipertensi mempercepat terjadinya aterosklerosis, yang
merupakan manifestasi gagal ginjal kronik yang sering terjadi. Sedangkan
gagal jantung dapat terjadi karena hipervolemi, hipertensi, iskemia, dan
anemia; serta kardiomiopati yang dapat disebabkan karena ketidakseimbangan
kadar kalsium dan fosfat (Greene dan Harris, 2000).
6) Anemia
Penyebab utama anemia pada pasien gagal ginjal adalah hipoplasia
sumsum tulang karena pengurangan atau ketiadaan eritropoietin. Gambaran
anemianya merupakan anemia normositik normokromik seperti kebanyakan
pada penyakit kronis; kemudian kadar hemoglobinnya jarang yang lebih dari
80 g/L (normal = 120-180 g/L). Defisiensi besi dan folat pada anemia dapat
terjadi karena pembatasan diet, kecenderungan perdarahan, dan kehilangan
darah saat hemodialisis dan uji laboratorium. Anemia pada penyakit ginjal
secara signifikan mengurangi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik,
membatasi aktivitas pasien, dan risiko terjadi gagal jantung (Greene dan Harris,
2000).
7) Gejala lain-lain
Sebagian besar penderita tidak merasakan gejala-gejala yang berat
sampai gagal ginjal mereka menjadi parah. Tetapi beberapa gejala yang
mungkin akan muncul selain gejala di atas antara lain sulit tidur, kram otot di
malam hari, bengkak (pada kaki, pergelangan kaki, dan di sekitar mata
terutama di pagi hari), gatal, sering buang air kecil pada malam hari, adanya
14
busa pada urin (proteinuria), dan neuropati perifer (NKF-K/DOQI, 2006;
Hudson, 2008).
f. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Outcome merugikan pada gagal ginjal kronik sering dapat dicegah
atau ditunda kemunculannya melalui deteksi dan terapi secara dini. Stadium
awal pada gagal ginjal kronik dapat dideteksi melalui test laboratorium rutin.
Adanya gagal ginjal kronik harus ditetapkan berdasarkan pada tingkat
kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal (Glomerular Filtration Rate /
GFR). Stadium penyakit didasarkan pada tingkat fungsi ginjal, dan sebagai
diagnosis, berdasarkan klasifikasi dari Kidney Disease Outcome Quality
Initiative: Clinical Guideline for Chronic Kidney Disease (NKF/K-DOQI),
sebagai berikut :
Tabel III. Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Deskripsi GFR
(mL/min/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal or GFR 90
2 Kerusakan ginjal dengan GFR ringan (mild) 60-89
3 Penurunan GFR sedang (moderat) 30-59
4 Penurunan GFR berat (severe) 15-29
5 Gagal ginjal (Kidney Failure) < 15 atau dialisis
(NKF-K/DOQI, 2006)
g. Evaluasi dan Terapi
Evaluasi dan terapi pasien gagal ginjal kronik dikategorikan
berdasarkan konsep diagnosis, kondisi komorbid, keparahan penyakit,
komplikasi penyakit, dan risiko kehilangan fungsi ginjal dan penyakit
kardiovaskuler. Terapi gagal ginjal kronik meliputi :
15
1) Terapi spesifik berdasarkan diagnosis
2) Evaluasi dan manajemen kondisi komorbid
3) Penurunan fungsi ginjal
4) Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler
5) Pencegahan dan terapi komplikasi penurunan fungsi ginjal
6) Persiapan jika gagal ginjal terminal dan terapi dengan dialisis
7) Terapi sulih fungsi ginjal dengan dialisis dan transplantasi, jika terdapat
gejala uremia
Aksi klinik harus dikembangkan untuk masing-masing pasien,
berdasarkan stadium penyakitnya oleh NKF/K-DOQI, aksi klinik
diklasifikasikan menjadi :
Tabel IV. Stages of Chronic Kidney Disease: A Clinical Action Plan
Stadium
Penyakit
Ginjal Kronik
GFR
(mL/min/1,73 m2)
Aksi Klinik
1 90 Diagnosis dan terapi,
Terapi kondisi komorbid,
Progresivitas lambat,
Penurunan risiko kardiovaskuler
2 60-89 Estimasi progresivitas
3 30-59 Estimasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan terapi sulih fungsi ginjal
5 < 15 atau dialisis Terapi sulih fungsi ginjal (jika
terdapat uremia)
(NKF-K/DOQI, 2006)
Terapi gagal ginjal kronik meliputi terapi non farmakologi dan
farmakologi. Terapi non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein (0,6-0,75
g/kg BB/hari), sehingga dapat mencegah progesivitas gagal ginjal kronik, baik
pada pasien dengan diabetes maupun tanpa diabetes, meskipun demikian
16
keuntungannya relatif kecil. Sedangkan terapi farmakologi gagal ginjal kronik,
yaitu bila disertai diabetes melitus, dengan terapi insulin intensif 3 kali atau
lebih sehari dengan target glukosa darah prepandrial 70-120 mg/dL dan
postpandrial < 180 mg/dL, jika disertai hipertensi, kontrol hipertensi dengan
optimal, JNC-7 merekomendasikan target tekanan darah < 130/85 mmHg
(Hudson, 2009).
2. Anemia
a. Definisi Anemia
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di
rumah sakit di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama
masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab
debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial
dan ekonomi, serta kesehatan fisik. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin,
hematokrit atau hitung eritrosit. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta
keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan (Bakta, 2006).
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi
merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar (underlying disease). Oleh
karena itu, dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai kepada label
anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan anemia
17
tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi,
sehingga apabila hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah
penyakit berbahaya yang tersembunyi. Penentuan penyakit dasar juga penting
dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang
mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada kasus anemia
tersebut. Pendekatan terhadap pasien anemia memerlukan pemahaman tentang
patogenesis dan patofisiologi anemia, serta ketrampilan dalam memilih,
menganalisis serta merangkum hasil anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya (Bakta, 2006).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi
hemoglobin (Hb) yang kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang
dari 12 g/dL pada wanita dewasa. Anemia merupakan temuan yang hampir
selalu ada pada pasien penyakit ginjal lanjut, dengan hematokrit 18% hingga
20% lazim terjadi. Anemia pada gagal ginjal kronik merupakan anemia jenis
normokromik normositik, yaitu anemia karena terjadi defisiensi eritropoietin.
Penelitian retrospektif observasional pada pasien hemodialisis dan gagal
jantung menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya mortalitas. Selain itu, anemia mempengaruhi morbiditas pada pasien
gagal ginjal tahap akhir (ESRD), gagal ginjal kronik, dan gagal jantung (Mason
dkk., 2008).
18
b. Epidemiologi
Insiden anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik meningkat
dengan berkurangnya kecepatan filtrasi glomerolus. Studi populasi dari
National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari National
Institutes of Health and Prevalence of Anemia in Early Renal Insufficiency
(PAERI) bahwa insidensi anemia kurang dari 10 % pada gagal ginjal kronik
stadium 1 dan 2, 20-40 % pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60 % pada
gagal ginjal kronik stadium 4, dan lebih dari 70 % pada gagal ginjal kronik
stadium 5. Sebelum adanya terapi dengan eritropoietin, konsentrasi
hemoglobin yang normal hanya terjadi pada 3% pasien gagal ginjal kronik
dengan dialisis, sebagian besar pasien memiliki nilai hemoglobin 6-8 g/dL.
Pada tahun 1980-an, 10% pasien dialisis memerlukan terapi transfusi darah
(Macdougall, 2011).
c. Etiologi dan Klasifikasi Anemia
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena : 1)
Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah
keluar tubuh (perdarahan), dan; 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh
sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia
dapat dilihat pada tabel V. Anemia pada gagal ginjal kronik terutama terjadi
karena penurunan produksi eritropoietin. Sel progenitor ginjal memproduksi
90% eritropoietin, yang akan menstimulasi produksi sel darah merah. Adanya
penurunan massa nefron ginjal pada pasien gagal ginjal kronik menyebabkan
19
menurunnya produksi eritropoietin, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya
anemia. Anemia menurunkan suplai oksigen ke jaringan tubuh, menyebabkan
peningkatan cardiac output dan left ventricular hypertrophy (LVH) (Schonder,
2008).
Tabel V. Klasifikasi Anemia Menurut Etipatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal
kronik
B. Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskuler
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
(Greene dan Harris, 2000)
20
Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat
indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Berikut merupakan klasifikasi anemia
berdasarkan morfologi dan etiologi.
Tabel VI. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositik, bila MCV <80 fL dan MCH <27 pg
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositik, bila MCV 80-95 fL dan MCH 27-34 pg
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositik, bila MCV >95 fL
a. Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi vitamin B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik (Greene dan Harris, 2000)
d. Patofisiologi dan Gejala Anemia
Terdapat berbagai faktor penyebab anemia pada gagal ginjal kronik,
namun penyebab utama adalah ketidakcukupan produksi eritropoietin (EPO),
yang sering diikuti dengan defisiensi besi. Kegagalan ginjal yang progresif
berkontribusi pada peningkatan insiden anemia karena defisiensi EPO.
Mekanisme penurunan produksi EPO ini belum diketahui secara pasti. Hal ini
dapat terjadi sebagai bagian dari respon fisiologi untuk mencapai konsentrasi
Hb yang turun secara kronik (Lankhorst dan Wish, 2010).
21
Secara tipikal, produksi EPO di sel endotelial kapiler tubulus ginjal
bergantung pada mekanisme feed-back untuk mengukur kapasitas pembawa