1 Kemampuan uji daya hambat masing – masing sabun antiseptik terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
1
Kemampuan uji daya hambat masing – masing sabun antiseptik terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Sabun merupakan suatu bahan yang digunakan untuk
membersihkan kulit baik dari kotoran maupun bakteri. Sabun yang dapat
membunuh bakteri dikenal dengan sabun antiseptik (Anonimus, 2008).
Sabun antiseptik atau disebut juga dengan sabun obat mengandung
asam lemak yang bersenyawa dengan alkali dan ditambah dengan zat
kimia atau bahan obat. Sabun ini berguna untuk mencegah,
mengurangiataupun menghilangkan penyakit atau gejala penyakit pada
kulit (Lubis, 2003).
Tidak seperti sabun biasa, sabun antiseptik mengandung komposisi
khusus yang berfungsi sebagai antibakteri. Di dalam sabun, Triclosan dan
triclocarban merupakan zat antibakteri yang paling sering ditambahkan.
Bahan inilah yang berfungsi mengurangi jumlah bakteri berbahaya pada
kulit. Ada juga sabun antiseptik yang menggunakan choroxylenol untuk
membunuh bakteri. Sabun antiseptik yang baik harus memiliki standar
khusus. Pertama, sabun harus efektif menyingkirkan kotoran. Kedua,
sabun tidak merusak kesehatan kulit, karena kulit yang sehat adalah bagian
dari system kekebalan tubuh (Rachmawati dan Triyana,2008).,
Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi pada kulit
adalah Staphylococcus aureus (gram positif) Infeksi kulit yang disebabkan
3
oleh Staphylococcus aureus dapat berupa jerawat dan impetigo (Jawetz
etal.,2001),
Sedangkan Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang
sering menyebabkan infeksi diare pada manusia yang dapat ditularkan
melalui air maupun tangan yang kotor. Sabun antiseptik memiliki
kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, baik bakteri gram
positif. Untuk mengetahui kemampuan masing - masing daya hambat
sabun antiseptik, perlu dilakukan penelitian tentang kemampuan sabun
antiseptik dalam meng hambat pertumbuhan Staphylococcus aureus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat beberapa
macam sabun antiseptik terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus.
1.2 PerumusanMasalah
Bagaimana daya hambat masing – masing sabun antiseptik terhadap
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
1.3 TujuanPenelitian
1.3.1 TujuanUmum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat masing –
masing sabun antiseptik terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus
1.3.2 TujuanKhusus
Untuk mengetahui daya hambat masing – masing sabun antiseptik
terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
4
1.4 ManfaatPenelitian
1.4.1 Bagipenulis
Untuk menjadi landasan bagi peneliti selanjutnya untuk
mengembangkan keilmuan yang berkait dengan hal ini
1.4.2 BagiMasyarakat
Memberi informasi mengenai daya hambat masing – masing sabun
antiseptik terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
1.4.3 BagiInstitusi
Untuk menambah pengetahuan dan sebagai sumberi informasi
yang baru bagi institusi serta menambah perbendaharaan Karya Tulis
Ilmiah di perpustakaan Akademi Analis Kesehatan Fajar Pekanbaru.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Juaro
Ikan Juaro adalah ikan yang sangat umum atau paling sering kena mata
pancing dengan teknik dasar. Sekilas ikan ini mirip dengan ikan patin yang
mempunyai bentuk mulut yang sama dan juga memiliki patil di tiga tempat
yaitu pada sirip dada kiri, sirip dada kanan, dan pada sirip punggung. Ikan
Juaro memiliki ciri-ciri berbadan panjang berwarna putih perak dengan
punggung berwarna kebiru-biruan.Ikan Juaro merupakan ikan omnivora
dengan makanan utamanya adalah hewan benthik seperti moluska dan
crustacea.Namun ikan juaro merupakan ikan yang sangat rakus dan biasa
dikatakancleaning fish, dimana ikan ini sering kali terlihatmengejar sampah
atau kotoran manusia yang terapung di sepanjang sungai (Purnomo, 2006).
Penyebaran ikan Juaro tidak hanya terbatas di Indonesia saja, namun
ikan ini juga banyak ditemukan di negara-negara beriklim tropis seperti
Malaysia, Thailand, dan Vietnam.Ikan Juaro banyak ditemukan di sungai-
sungai besar seperti Sungai Musi, Kapuas, Mekong, Batang rajang,
Kinabatangan, Sabah dan Sarawak.Penyebaran ikan Juaro meliputi perairan
Asia dan kepulauan Indonesia.Habitat ikan Juaro di Indonesia sendiri adalah
daerah estuari, pinggiran sungai maupun rawa banjiran di Sumatera,
Kalimantan dan Jawa (Dewita, 2011).
5
Menurut informasi masyarakat sekitar DAS bahwa ikan Juaro memijah
di bagian tengah sampai hilir DAS, ikan ini berbeda dengan jenis Pangasius
lain yang apabila memijah bermigrasi ke bagian hulu, karena ikan Juaro ini
bukan tipe ikan bermigrasi. Setelah memijah ikan Juaro memilih perairan
yang agak tenang untuk nursery ground dan feeding ground, setelah cukup
dewasa ikan Juaro mencari makan sampai ke perairan yang memiliki arus
yang lambat sampai sedang (Yunizar, 2009).
Gambar 2.1 Ikan Juaro
Sumber :Author, 5MP
2.2 Klasifikasi Ikan Juaro
Klasifikasi menurut kotellat(1993)
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
6
Kelas : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius polyuranodon
2.3 Morfologi Ikan Juaro
Berdasarkan ciri morfometrik dan meristrik, ikan ini mempunyai
bentuk tubuh yang memanjang. Bentuk kepala yang pipih dan pendek, bentuk
tubuh tampak depan bundar, punggung berwarna biru gelap sampai biru
kehitam-hitaman. Bentuk mata normal, bentuk mulut subterminal, mampu
mencapai panjang baku tubuh hingga 80 cm serta tidak memiliki lineal lateral.
Sirip punggung dengan jari-jari bertulang keras berjumlah 2-2, sirip punggung
jari-jari lemah 6-8, sirip anal berjari-jari tulang keras 0-0, sirip anal dengan
jari-jari lemah 33-43, sirip ekor panjang dan bercagak. Sedangkan untuk sirip
yang sepasang, sirip pectoral berjari-jari tulang keras 1, dan berjari-jari lemah
9-15 dengan bentuk normal, untuk sirip perut (pelvics) dengan 1 jari-jari keras
dan 6-6 jari-jari lemah dengan bentuk abdominal.Jumlah tulang saring insang
pada lengkung insang pertama adalah 28, 25 dan 22, rata-rata 25
(Haslawati2014).
7
2.4 Komposisi Dan Kandungan Gizi Ikan Juaro
Pangasius polyuranodon memiliki manfaat sebagai sumber
penyediaan protein hewani dan sebagaiikan hias.Pangasius
polyuranodonmerupakan bahan pangan dengan kandungan proteintinggi.
Kandungan protein pada 159 gr fillet adalah sebesar 24,7 gr. Nilai protein
daging Pangasius polyuranodon juga tergolong tinggi, mencapai
14,53%,kandungan gizi lainnya adalah lemak 1,03%, abu 0,74%, dan air
82,22%. Berat ikan setelah disiangi sebesar 79,7% dari berat awalnya,
sedangkan fillet yang diperoleh dari bobot ikan seberat 1-2 kg mencapai
61,7%. Dari data tersebut maka ikan Pangasius polyuranodon dapat
disubtitusikan sebagai sumber protein dalam berbagai makanan atau
jajanan.Bagian ikan yang paling banyak dimanfaatkan adalah daging sebagai
bahan makanan. Namun bukan berarti bagian tubuh ikan yang lain seperti
kepala, tulang, kulit, dan organ dalam tidak memiliki nilai gizi dan nilai
ekonomis (Ronny 2006).
2.5 Tinjauan Soil Transmited Helminthes
Cacingparasit yang banyakmenyerangmasyarakatadalahNematoda
Ususyang penularannyamelaluitanah yang biasadisebutdenganSoil
Transmitted Helminths(STH).STH dapatmencemari ikan melalui air yang
8
berasaldarisungai.Kontaminasi ikan disebabkan oleh kebiasaan masyarakat
disekitar aliran sungai membuang sampah di sungai, kebiasaan buang air kecil
atau besar di sungai, dan kebiasaan membuang limbah rumah tangga dan
industri kesungai (Rizki 2014).
Infestasi cacing yang tergolong dalam kelompok Soil
TransmittedHelminthes (STH) terjadi di seluruh belahan dunia, Diperkirakan
lebih dari 1 milyar orang di dunia terinfestasi oleh satu atau lebih spesies
cacing usus.Cacing yang tergolong STH dapat menginfestasi manusia
padasemua umur.Jumlah infeksi STH sangat banyak di Asia Tenggara
termasuk Indonesia.Letak geografis Indonesia yang beriklim tropis sesuai
untuk perkembangan parasit.Geographical Information System (GIS)
menyatakan distribusi STH di Indonesia mencakup seluruh pulau yang ada di
Indonesia, dimana prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan Sumatera Utara
dengan prevalensi antara 50% hingga 80%. Prevalensi infeksi ini disebabkan
oleh Nematoda Usus, di Indonesia lebih sering disebut cacing perut, sebagian
besar penularannya melalui tanah STH.Prevalensi kecacingan STH berkisar
40-60%.Tingginya prevalensi ini sangat didukung oleh keadaan alam yang
cocok, higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang rendah (Ruslan,
2013).
Di Indonesia golongan cacing ini yang amat penting dan menyebabkan
masalah kesehatan pada masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides) penyakitnya disebut Ascariasis, cacing cambuk (Trichuris
trichiura) penyakitnya disebut Trichuriasis, dan cacing tambang
9
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) penyakitnya disebut
Ankilostomiasis dan Nekatoriasis. Infeksi STH ditemukan tersering di daerah
iklim hangat dan lembab yang memiliki sanitasi dan hygiene buruk. STH
hidup di usus dan telurnya akan keluar melalui tinja hospes. Jika hospes
defekasi di luar (taman, lapangan) atau jika tinja mengandung telur dibuahi
maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur menjadi infeksius jika
telur matang (Makmur 2013).
A. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris
lumbricoides.Penyakitnya disebut askariasis.Cacing dewasa bebentuk
silinder dengan ujung yang meruncing.Stadium dewasa hidup di rongga
usus halus. Betina berukuran panjang 20-35 cm dan tebal 3-6 mm.
Jantan lebih kecil, panjang 12-31 cm dan tebal 2-4 mm dengan ujung
melengkung. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-
200.000 butir sehari terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak
dibuahi. Ukuran telur cacing dengan panjang 60-70 μm dan lebar 40-50
μm.Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva
diusus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh
darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran
darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui
dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea
melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke faring,
10
sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke
dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing
dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak
tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Dold, 2010).
Gambar 2.1 Cacing dewasa Ascaris lumbricoides ♀♂
Sumber : Winarni, Tahun 2011
Gambar 2.2 Telur Ascarislumbricoides yang dibuahi
Sumber : Megumi, Tahun 2013
11
Gambar 2.3 Telur Ascaris lumbricoides dg larva
Sumber :Hendro, Tahun2012
Gambar 2.4 Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi
Sumber :Nugraha, Tahun 2012
B. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)
Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes cacing ini dan penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini disebut trikiuriasis. Cacing betina panjangnya
sekitar 5cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Bagian anterior langsing
seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 daripanjang seluruh tubuh.
Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya
12
membulat tumpul.Pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu
spikulum.Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian
anteriornyamasuk ke dalam mukosa usus.Satu ekor cacing betina dapat
menghasilkan telur sehari 3.000-5.000 butir.Telur berukuran 50-54
mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub.Kulit telur bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih.Telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang
(berisi larva dan infektif) dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang
lembab dan teduh.Telur matang ialah telur yang berisi larva dan
merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang
matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari
dinding telur dan masuk kedalam usus halus sesudah menjadi dewasa
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan
sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa
betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.(Jeffrey Bethony,2006)
Gambar 2.5 Cacing dewasa Trichuris trichiura ♀♂
13
Sumber : Pabayo, Tahun 2011
Gambar 2.6 Telur Trichuris trichiura
Sumber :Al-Rasyid, Tahun 2012
C. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing Tambang)
Morfologi dan Daur Hidup
Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di
rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus.Cacing
betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina
mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing
14
dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada
sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur
cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah telur
tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari
larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan
dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.Setelah menembus kulit, larva
ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru.Di paru-paru menembus
pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan
laring.Darilaring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan
menjadi cacing dewasa.Infeksi terjadi bila larva filariform menembus
kulit atau ikut tertelan bersama makanan. (Simon Brooker,2006)
Gambar 2.7 Cacing dewasa Necator americanus♀♂
Sumber : Wulandari, tahun
Gambar 2.8 Cacing dewasa Ancylostoma duodenale ♀♂
15
Sumber : .,.,., tahun
Gambar 2.9 Telur CacingAncylostoma duodenale &Necator americanus
Sumber : Zulan, Tahun 2011
4
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Berdasarkan judul yang akan diteliti, Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Kelompok Sub
Sampling, dengan 6 perlakuan Yaitu sabun A, B, C, dan D dengan
konsentrasi 50%, kontrol negatif (akuades) dan kontrol positif (fenol 2
%). Masing - masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali
3.2 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Sebagai populasi yang diteliti adalah semua ikan juaro yang
didapat dari sungai siak Pekanbaru.
3.3.2 Sampel
Sampel yang akan diteliti adalah ikan juaro yang ada di sungai
siak berjumlah 30 sampel. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan
beberapa titik yang telah dibuat.
5
3.4 Prosedur Kerja Penelitian
3.4.1 Alat dan Bahan
1. Alat
a. Oven
b. Timbangan
c. Pengaduk
d. cawan petri steril
e. tabung reaksi
f. pipet ukur
g. batang penyebar
h. pinset
i. autoklaf
j. incubator
k. jarum ose
l. kompor listrik
m. labu Erlenmeyer
n. gelas ukur
o. lampu spiritus
p. spidol
2. Bahan
Bahan - bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
4 sampel sabun yang akan diperiksa (sabun A, sabun B, sabun C
dan sabun D), media Mueller Hinton Agar (MHA), biakan bakteri
6
Staphylococcus aureus yang berumur 24 jam, fenol 2%, aquades
steril, kertas cakram kosong, dan alkohol 70%, kapas, kertas label
dan alumunium foil.
3.4.2 Pembuatan media Mueller Hinton Agar (MHA)
Media MHA ditimbang sebanyak 6 gram dimasukkan ke
dalam erlenmeyer 1000 ml, kemudian dilarutkan dengan 200 ml
aquades steril, dipanaskan sampai mendidih. Kemudian media
MHA yang dibuat dalam erlenmeyer ditutup dengan kertas
alumunium foil dan disterilkan dalam autoklaf selama 15 menit
dengan suhu 121 oC. Kemudian media dituangkan ke dalam cawan
petri yang akan digunakan, selanjutnya setelah media menjadi
padat, maka cawan petri yang berisi media dibungkus kemudian
disimpan dalam lemari es. Media dapat digunakan langsung pada
saat akan inokulasi.
3.4.3 Pemeriksaan Sampel
A. Prinsip Kerja
Staphylococcus aureus dibiakkan pada media MHA terlebih
dahulu selama 24 jam. Dengan metode Kirby-bauer
B. Prosedur Kerja
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan media Mueller
Hinton Agar (MHA):
7
Pembuatan suspensi sabun antiseptik Masing - masing sabun
ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan dalam tabung
reaksi dan ditambah aquades 3 ml kemudian dilarutkan sampai larut.
Setelah itu disterilkan menggunakan autoklaf. Pembuatan suspensi
bakteri. Staphylococcus aureus dibiakkan pada media MHA terlebih
dahulu selama 24 jam. Kemudian koloni S.aureus hasil biakan tersebut
diambil satu ose dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi
aquades steril, dengan cara koloni bakteri dikocok sampai koloni halus
dan tercampur dengan suspense media sampai terbentuk kekeruhan.
Uji antimikrobial dilakukan dengan metode Kirby–bauer ,
menggunakan cakram. Tiap cawan petri yang berisi media MHA yang
telah disterilkan dimasukkan masing - masing 0,1 ml suspensi bakteri
menggunakan pipet volume steril. Kemudian disebarkan atau diratakan
dengan batang penyebar steril hingga suspensi bakteri merata diseluruh
permukaan media. Selanjutnya setelah kering diletakkan kertas cakram
yang telah berisi sabun antiseptic yang diinginkan di atas media yang
telah dibagi menjadi 4 bagian dengan konsentrasi masing - masing
sampel 50% dengan volume 20 μ l. Kemudian pada MHA lain
diletakkan cakram yang berisi kontrol negatif (aquades) dan kontrol
positif (fenol sebagai antiseptik) pada daerah yang berbeda.
Selanjutnya media diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dan
diamati pertumbuhan bakteri dengan zona hambat pada setiap daerah.
Apabila zona hambat belum tampak, maka media diinkubasi lagi
8
selama 24 jam. Zona hambat yang terbentuk diukur diameternya
dengan menggunakan penggaris dalam milimeter.
3.4.4 Pengumpulan Data
A. Pengumpulan Data
Pengumpulan data harus sesuai dengan hasil yang diperoleh
dalam pemeriksaan telur cacing Soil Transmited Helminth, kemudian
dibentuk dan dikumpulkan dengan membuat tabel data.
B. Analisa Data
Teknik analisa data digunakan adalah Analisa Data Statistik.
Analisa statistik dilakukan untuk memperoleh gambaran pada tiap
variabel dari hasil penelitian kemudian data disajikan dalam bentuk
tabel statistik.
3.4.5 Interpretasi hasil
a. Hasil dinyatakan positif (+) bila ditemukan telur STH di dalam
feses.
b. Hasil dinyatakan negatif (-) bila tidak ditemukan telur STH di
dalam feses.
9
http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=110727&val=3929