1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini industri tekstil telah berkembang pesat. Selain menimbulkan dampak positif, perkembangan industri tekstil juga menimbulkan dampak negatif. Satu diantara dampak negatif itu disebabkan oleh limbah sisa pewarnaan yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu zat warna tekstil yang digunakan pada proses pencelupan adalah congo red. Zat warna ini sering digunakan karena dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat warna congo red merupakan zat warna senyawa organik diazo yang non- biodegradable. Nama IUPAC dari congo red adalah Natrium benzidindiazo- bis-1-naftilamin-4-sulfonat. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan konsentrasi pada permukaan. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat yang menyerap disebut adsorben. Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Walls dan adsorpsi kimia atau adsorpsi teraktifasi (Oscik, 1982 dalam dewi). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendegradasi senyawa organik dalam limbah cair industri tekstil. Manurung dkk, (2004) menyatakan bahwa limbah cair organik dapat diolah melalui teknologi biologi menggunakan mikroba. Akan tetapi, sulitnya memilih mikroorganisme yang selektif serta sifat zat warna yang mempunyai ketahanan terhadap degradasi biologi menyebabkan metode ini kurang efektif. Selain dengan teknologi biologi, pengolahan limbah juga dilakukan melalui koagulasi. Koagulasi ini memiliki kekurangan karena menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah relatif besar. Teknologi fisika telah digunakan untuk pengolahan limbah organik yaitu dengan proses adsorpsi karbon aktif. Proses ini tidak dapat menguraikan limbah organik sehingga limbah masih tetap tertinggal pada bentuk awalnya (Manurung dkk, 2004).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini industri tekstil telah berkembang pesat. Selain
menimbulkan dampak positif, perkembangan industri tekstil juga
menimbulkan dampak negatif. Satu diantara dampak negatif itu disebabkan
oleh limbah sisa pewarnaan yang dibuang begitu saja tanpa pengolahan yang
menyebabkan pencemaran lingkungan. Salah satu zat warna tekstil yang
digunakan pada proses pencelupan adalah congo red. Zat warna ini sering
digunakan karena dapat terikat kuat pada kain dan tidak mudah luntur. Zat
warna congo red merupakan zat warna senyawa organik diazo yang non-
biodegradable. Nama IUPAC dari congo red adalah Natrium benzidindiazo-
bis-1-naftilamin-4-sulfonat.
Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari
suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan
konsentrasi pada permukaan. Zat yang diserap disebut adsorbat sedangkan zat
yang menyerap disebut adsorben. Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi,
yaitu adsorpsi fisik atau adsorpsi Van der Walls dan adsorpsi kimia atau
adsorpsi teraktifasi (Oscik, 1982 dalam dewi).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendegradasi senyawa
organik dalam limbah cair industri tekstil. Manurung dkk, (2004) menyatakan
bahwa limbah cair organik dapat diolah melalui teknologi biologi
menggunakan mikroba. Akan tetapi, sulitnya memilih mikroorganisme yang
selektif serta sifat zat warna yang mempunyai ketahanan terhadap degradasi
biologi menyebabkan metode ini kurang efektif. Selain dengan teknologi
biologi, pengolahan limbah juga dilakukan melalui koagulasi. Koagulasi ini
memiliki kekurangan karena menghasilkan lumpur (sludge) dalam jumlah
relatif besar. Teknologi fisika telah digunakan untuk pengolahan limbah
organik yaitu dengan proses adsorpsi karbon aktif. Proses ini tidak dapat
menguraikan limbah organik sehingga limbah masih tetap tertinggal pada
bentuk awalnya (Manurung dkk, 2004).
2
Selulose seperti jerami, dan serbuk kayu dapat digunakan untuk
menyerap zat warna (Sutarso, 1998 dalam Diah Rahmawati ). Dari penelitian
diketahui bahwa enceng gondok terdiri dari sel-sel tanaman berupa serat yang
mengandung selulose. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi.
Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air
lainnya, sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma karena dapat merusak
lingkungan perairan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memanfaatkan
enceng gondok untuk menyerap zat warna tekstil yaitu natrium benzidindiazo-
bis-1-naftilamin-4-sulfonat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok)
terhadap natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada limbah
zat warna tekstil yang teradsorpsi?
2. Bagaimana rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok dengan
serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh rasio massa adsorbent (arang enceng gondok)
terhadap adsorpsi natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat pada
limbah tekstil
2. Untuk mengetahui rasio efektifitas adsorpsi antara arang enceng gondok
dengan serbuk enceng gondok pada limbah zat warna tekstil
1.4 Manfaat Penelitian
1. Mengurangi dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh
limbah zat warna tekstil congo red (natrium benzidindiazo-bis-1-
naftilamin-4-sulfonat)
2. Meningkatkan kualitas lingkungan di sekitar pabrik tekstil
3
1.5 Definisi Operasional, Asumsi, dan Batasan Masalah
a. Definisi Operasional
Untuk menghindari adanya salah pengertian maka beberapa istilah
dalam penelitian ini perlu didefinisikan sebagai berikut:
1. Adsorpsi adalah suatu proses dimana suatu komponen bergerak dari
suatu fasa menuju permukaan yang lain sehingga terjadi perubahan
konsentrasi pada permukaan.
2. Natrium benzidindiazo-bis-1-naftilamin-4-sulfonat (Congo red) adalah
suatu turunan asam azonaftalen dengan rumus molekul
C32H22N6Na2O6S2 yang terdapat pada limbah zat warna tekstil
3. Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang
mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas
merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi
tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam
air pada konsentrasi 3,5 – 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan
enceng gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990).
4. Arang eceng gondok merupakan partikel serbuk eceng gondok yang
telah melalui proses karbonisasi dan terbentuk pori-pori baru.
b. Asumsi
Untuk menghindari adanya kemungkinan hasil penelitian yang bias
maka perlu diasumsikan hal-hal sebagai berikut:
1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang
diteliti mempunyai umur dan kondisi lingkungan yang sama.
2. Selama proses pengumpulan, pengeringan, dan penyimpanan
sampel dianggap tidak terkontaminasi oleh tumbuhnya jamur yang
dapat mengakibatkan proses biotransformasi pada senyawa
metabolit sekunder yang dikandungnya.
3. Limbah zat warna tekstil yang diambil pada kondisi lingkungan
dan waktu yang sama.
4
c. Batasan Masalah
Peneliti membatasi masalah yang ada dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Sampel berupa tanaman enceng gondok (Eichornia crossipe) yang
diperoleh dari daerah Dinoyo, Lamongan.
2. Limbah zat warna tekstil yang diambil berasal dari Maduran,
Lamongan.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Enceng Gondok (Eichornia crossipe)
Enceng gondok di Indonesia pada mulanya diperkenalkan oleh Kebun
Raya Bogor pada tahun 1894, yang akhirnya berkembang di Sungai
Ciliwung sebagai tanaman pengganggu (Brij dan Sarma, 1981 dalam
Krystiyanti). Klasifikasi enceng gondok secara umum adalah (Moenandir,
1990 dalam Krystiyanti):
Enceng gondok (Eichornia crossipe) merupakan herba yang
mengapung, kadang-kadang berarak dalam tanah, menghasilkan tunas
merayap yang keluar dari ketiak daun yang dapat tumbuh lagi menjadi
tumbuhan baru dengan tinggi 0,4-0,8 m. Kadar O2 yang terlarut dalam air
pada konsentrasi 3,5 – 4,8 ppm menyebabkan perkembangbiakan enceng
gondok dapat berjalan dengan cepat (Moenandir,1990 dalam Krystiyanti).
6
Gambar 1.1 Tumbuhan Enceng Gondok
Muramoto dan Oki dalam (Soedibyo, 1989 dalam Krystiyanti)
menjelaskan bahwa, enceng gondok dapat digunakan untuk
menghilangkan polutan karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis,
menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti
cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, cadmium dan nikel.
Winarno menyebutkan bahwa hasil analisis kimia dari enceng gondok
dalam keadaan segar diperoleh bahan organik 36,59%, C organik 21,23%
N total 0,28%, P total 0,0011% dan K total 0,016% (Supriyanto dan
Muladi, 1999).
2.2 Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses bergeraknya suatu komponen dari suatu
fasa menuju permukaan fasa yang lain sehingga terjadi perubahan
konsentrasi pada permukaan. Pada proses adsorpsi, adsorben merupakan
zat yang mempunyai sifat mengikat molekul pada permukaannya. Sifat ini
menonjol pada permukaan berpori (Dewi, 2006). Adsorpsi terjadi pada
permukaan zat padat dan disebabkan oleh gaya valensi (valence force) atau
gaya tarik menarik (attractive forces) dari atom atau molekul pada lapisan
paling luar dari zat padat tersebut (Respati, 1992 dalam Dewi ).
Adsorpsi senyawa terlarut oleh adsorben berlangsung terus menerus
dan berhenti pada saat sistem mencapai kesetimbangan, yaitu
kesetimbangan antara konsentrasi yang tinggal dalam larutan dengan
konsentrasi yang diadsorpsi oleh adsorben. Adsorben yang baik umumnya
mempunyai luas permukaan yang besar tiap unit partikelnya, berpori, aktif
dan murni, tidak bereaksi dengan adsorbat (Kirk and Othmer, 1981, dalam
7
Dewi).
Proses adsorpsi terjadi pada konsentrasi selektif dari satu atau lebih
komponen (adsorbat) dari fasa gas atau cairan pada permukaan pori-pori
zat padat (adsorben). Adsorbat dapat diserap kembali dengan menaikkan
temperature adsorben atau mereduksi tekanan parsial adsorbat (Rousseau,
1987, dalam Dewi).
2.2.1 Adsorpsi Fisika dan Kimia
Pada umumnya dikenal dua jenis adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan
adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika adalah adsorpsi yang disebabkan oleh
interaksi antara adsorben dengan adsorbat pada permukaan karena
adanya gaya Van der Waals (Oscik and Cooper, 1991, dalam Dewi).
Adsorpsi ini berlangsung sangat cepat karena adsorbat tidak terikat
dengan kuat pada permukaan adsorben sehingga dapat bergerak dari
satu bagian adsorben ke bagian yang lain. Sifat adsorpsinya adalah
reversible, yaitu dapat balik atau dilepaskan kembali ke dalam larutan
dengan adanya penurunan konsentrasi larutan dengan panas reaksi 5 –
19 kkal/mol (Parker, 1984, dalam Dewi).
Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang melibatkan ikatan kovalen
sebagai hasil pemakaian bersama elektron oleh adsorben dan adsorbat
yang membutuhkan panas adsorpsi 20 – 100 kkal/mol. Adsorpsi kimia
berkaitan dengan pembentukan ikatan kimia yang melibatkan adsorben
dan permukaan zat yang diserap (Oscik and Cooper, 1991, dalam
Dewi). Adsorpsi ini biasanya tidak reversible dan adsorben harus
dipanaskan pada temperatur tinggi untuk memisahkan adsorbat (Dewi,
2006).
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Adsorpsi
Proses adsorpsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
(Sawyer andMc Carty, 1987) dalam Dewi):
1. Sifat dan jenis adsorben
Sifat adsorben, seperti kemurnian adsorben dan luas
permukaannya. Kemurnian adsorben dapat ditingkatkan melalui
8
proses aktifasi. Makin besar luas permukaan, makin besar pula
adsorpsi yang terjadi. Kemampuan adsorben untuk terikat pada
adsorbat sangat bergantung pada jenis adsorben dan adsorbat yang
bereaksi. Jenis adsorben menyangkut cirri khas dari suatu adsorben
untuk menyerap adsorbat, apabila adsorbennya berupa tanah,
mineral yang terkandung dalam tanah tersebut yang menentukan
proses adsorpsi (Kusuma, 2002, dalam Dewi).
2. Temperatur
Reaksi yang terjadi pada adsorpsi biasanya eksotermis, oleh
karena itu adsorpsi akan besar jika terjadi pada suhu rendah.
3. Sifat adsorbat
Jumlah yang teradsorpsi tergantung pada kelarutannya dalam
pelarut. Kenaikan kelarutan menunjukkan ikatan yang kuat antara
zat terlarut dengan pelarut dan aksi yang sebaliknya terhadap
adsorpsi oleh adsorben. Besarnya kelarutan, maka ikatan antara zat
terlarut dengan pelarut makin kuat sehingga adsorpsi akan makin
kecil karena sebelum adsorpsi terjadi diperlukan energi yang besar
untuk memecah ikatan zat terlarut dengan pelarut.
4. pH larutan
Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana
suatu senyawa bermuatan netral, karena senyawa yang tidak
terionisasi akan lebih mudah diserap dari pada senyawa yang
terionisasi.
5. Waktu kontak
Waktu kontak yang cukup diperlukan untuk mencapai
kesetimbangan adsorpsi, jika fase cair yang berisi adsorben diam
maka difusi adsorbat melalui permukaan adsorben akan lambat,
oleh karena itu diperlukan pengocokan untuk mempercepat proses
9
adsorpsi.
6. Konsentrasi adsorbat
Pada umumnya akan meningkat seiring dengan kenaikan
konsentrasi adsorbat tetapi tidak berbanding langsung. Adsorpsi
akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi
adsorbat yang diserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam
larutan. Kapasitas adsorpsi ditentukan dengan adanya pengaruh
dari konsentrasi adsorbat. Penentuan kapasitas adsorpsi dapat
dihitung berdasarkan mol per gram adsorben dengan menggunakan