BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang MasalahBawang sabrang (Eleutherine bulbosa
(Mill.) Urb) merupakan tumbuhan yang termasuk suku Iridaceae.
Tumbuhan ini berasal dari wilayah Amerika yang beriklim tropis,
namun saat ini telah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia
seperti di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Tumbuhan yang termasuk
suku Iridaceae ini secara empiris diyakini dapat menyembuhkan
penyakit antara lain kanker usus, kanker payudara, diabetes
melitus, hipertensi, dan menurunkan kolesterol. Ciri spesifik
tumbuhan ini adalah umbi berwarna merah menyala. Letak daun
berpasangan dengan komposisi daun bersirip ganda dengan tipe
pertulangan daun sejajar dan bentuk daun berbentuk pita. Bunga
kecil berkelopak lima dan warnanya putih. Tumbuhan ini memiliki
adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam berbagai tipe iklim dan
jenis tanah. Selain itu, tumbuhan ini juga dapat diperbanyak dan di
panen dalam waktu yang singkat, sehingga dapat dengan mudah
dikembangkan untuk skala industri ( Ronny, 2013). Studi fitokimia
menunjukkan adanya kandungan alkaloid, glikosida, flavanoid,
fenolik, steroid dan tannin pada umbi bawang sabrang (Saleh,
2010).Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat antikanker telah
diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di Kalimantan,
termasuk di Kalimantan Tengah. Kanker adalah suatu penyakit yang
dicirikan dengan adanya kegagalan pengendalian pembelahan sel,
sehingga pertumbuhan sel-sel tersebut menekan jaringan normal.
Perubahan sel normal menjadi sel kanker merupakan akibat perubahan
gen yang mengendalikan pembelahan sel. Sampai saat ini belum
ditemukan obat antikanker yang dapat mengatasi penyakit tersebut
hingga tuntas dan aman. Hal ini mendorong eksplorasi terhadap
tumbuhan yang berpotensi mengandung senyawa antikanker. Salah satu
syarat senyawa yang memiliki khasiat antikanker adalah bersifat
sitotoksik (Ramdhini, 2010), yaitu senyawa yang mampu menghambat
dan menghentikan pertumbuhan sel kanker (Yusni, 2008). Salah satu
cara untuk mendeteksi bioaktivitas suatu senyawa berkhasiat
antikanker adalah dengan uji Brine Shrimp Lethality Test (Mutia,
2010; Muaja dkk, 2013). Metode ini digunakan untuk indikator umum
untuk mendeteksi toksisitas dan panduan untuk mendeteksi senyawa
yang berkhasiat antitumor. Keuntungan penggunaan uji Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) adalah mudah, murah sederhana, cepat dan
telur Artemia salina L. mudah diperoleh. Dalam uji tersebut yang
digunakan adalah larva Artemia salina L. Hewan ini digunakan untuk
uji karena memiliki kesamaan respon dengan mamalia.Ekstrak bawang
sabrang mampu menekan pertumbuhan sel lini kanker kolon (Yusni,
2008) dan menghambat siklus sel pada sel lini kanker payudara
(Fitri, dkk, 2014). Walaupun khasiat umbi bawang telah diteliti
manfaatnya, namun perlu dilakukan uji Konsentrasi Letal 50%,
sehingga dapat diketahui batas aman penggunaan esktrak bawang
sabrang. Berdasarkan alasan tersebut, akan dilakukan penelitian Uji
Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang (Eleutherine
americana L. Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT).1.2 Identifikasi MasalahSalah satu tanaman yang digunakan
sebagai obat tradisional adalah umbi bawang sabrang (Eleutherine
bulbosa (Mill.) Urb). Potensi umbi bawang sabrang sebagai obat
antikanker telah diyakini secara turun temurun oleh masyarakat di
Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah. Namun demikian batas
aman penggunaan umbi bawang sabrang sebagai antikanker belum
terbukti secara klinis. Oleh karena kandungan tanin, flavonoid dan
polifenol yang ada pada umbi bawang sabrang memiliki sifat
toksisitas tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan uji Konsentrasi
Letal 50%, sehingga dapat diketahui batas aman penggunaan esktrak
umbi bawang sabrang. Berdasarkan masalah tersebut, akan dilakukan
penelitian Uji Sitotoksitas Ekstrak Etanol Umbi Bawang Sabrang
(Eleutherine americana L. Merr.) menggunakan Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT).1.3 Batasan MasalahPenelitian ini hanya terbatas pada
:1) Umbi bawang sabrang (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb) yang
diekstrak menggunakan pelarut etanol, di Laboratorium Farmasi
Institut Teknologi Bandung.2) Hewan uji yang digunakan adalah
Artemia salina Leach berumur 48 jam, dan secara anatomi tidak
tampak cacat.3) Hasil penelitian adalah untuk mengetahui nilai LC50
ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan Artemia salina Leach.
1.4 Rumusan MasalahRumusan masalah dalam penelitian ini adalah
:1) Apakah ekstrak etanol umbi bawang sabrang meningkatkan angka
kematian Artemia salina Leach?2) Berapakah Nilai LC50 ekstrak
etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine Shrimp
Lethality Test (BSLT) ?
1.5 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk :1)
Mengetahui pengaruh ekstrak etanol umbi bawang sabrang terhadap
peningkatan kematian Artemia salina Leach.2) Mengetahui Nilai LC50
ekstrak etanol umbi bawang sabrang berdasarkan hasil uji Brine
Shrimp Lethality Test (BSLT).
1.6 Manfaat PenelitianManfaat yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian ini adalah :1) Mengetahui konsentrasi ekstrak bawang
sabrang yang aman untuk digunakan sebagai obat.2) Mengetahui
potensi ekstrak etanol bawang sabrang sebagai tanaman berkhasiat
antikanker. 3) Hasil penelitian dapat menjadi acuan bagi akademis
dibidang kesehatan serta masyarakat yang memanfaatkan bawang
sabrang sebagai obat tradisional.
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis2.1.1 Deskripsi Bawang Sabrang Bawang sabrang
dikenal dengan nama ilmiah Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb, dengan
sinonim Eleutherine Palmifolia L.Merr. (Gambar 1), termasuk suku
Iridaceae. Tumbuhan ini berasal dari Amerika pada kawasan yang
beriklim tropik, dengan ciri-ciri herba menahun, dengan akar
rimpang, umbi atau umbi lapis. Daun-daun semua atau sebagian
berdesak-desakan pada pangkal batang, kerapkali dengan salah satu
tepi menghadap batang (berbentuk pedang) dan satu sama lain memeluk
dengan pangkalnya yang serupa pelepah. Bunga berkelamin 2,
beraturan, terdapat dalam seludang bunga, tiap bunga memiliki daun
pelindung bunga. Tenda bunga berwarna, melekat, taju 6 dalam dua
lingkaran, mekar pada waktu sore hari dalam beberapa jam.
Benangsari 3, kebanyakan bebas. Bakal buah tenggelam, beruang 3;
bakal biji per ruang banyak. Tangkai putik bercabang 3. Buah kotak
berbiji banyak (van Steenis, 2013). Bawang sabrang tumbuh di daerah
pegunungan antara 600 - 1500 m dpl. Tanaman ini menyukai
tempat-tempat terbuka yang tanahnya kaya dengan humus dan cukup
lembab.
Gambar 1. Eleutherina bulbosa (Mill.) Urb.(diunduh dari situs
http://ff.unair.ac.id/sito/)2.1.2 Tinjauan tentang KankerKanker
adalah suatu penyakit dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme
pengaturan multiplikasi pada organisme multiseluler sehingga
terjadi perubahan yang tidak terkontrol. Perubahan sel
(transformasi) ini disebabkan oleh perubahan gen di dalam sel.
Sel-sel yang telah mengalami transformasi terus menerus
berproliferasi dan menekan pertumbuhan sel normal. Pertumbuhan
kanker yang tidak terkendali tersebut diikuti dengan invasi ke
jaringan sekitar dan metastase ke bagian tubuh lain.Perubahan sel
normal menjadi sel kanker melalui 3 tahap yaitu tahap inisiasi,
promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi, terdapat faktor
inisiator yang memulai pertumbuhan sel yang abnormal seperti
radiasi, bahan kimia mutagenic, virus, mutasi spontan. Pada tahap
promosi dipicu oleh promotor seperti tumor promotor, gowth faktor,
virus sehingga terbentuk sel- sel yang polimorfis dan anaplastik.
Pada tahap progresi ditandai dengan adanya invasi sel ganas ke
membrana basalis atau kapsul. Perubahan keganasan melibatkan
beberapa gen yaitu onkogen, gen penekan tumor, gen yang berperan
dalam perbaikan DNA (DNA repair gen), dan gen pengatur
apoptosis.Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya
transformasi neoplastik. Onkogen ini berasal dari protoonkogen yang
mengalami mutasi. Protoonkogen adalah gen yang mengatur proliferasi
normal. Perubahan yang dialami protoonkogen seluler pada aktivasi
menjadi onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya mereka
menstimuli suatu fungsi sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan
diferensiasi sel. Walau ada sel yang mengalami pembelahan diri
secara tak terkendali, masih belum mengarah ke bentuk kanker,
karena sel-sel sekitar akan bereaksi dengan mengeluarkan growth
inhibitor (zat penghambat pertumbuhan). Zat penghambat pertumbuhan
ini akan mengikat ke reseptor sel yang malfungsi, mengirimkan
signal ke inti sel, mengaktifkan gen penekan tumor. Proses
timbulnya keganasan pada tingkat molekuler dapat diamati dari
produksi protein yang berlebihan yang dihasilkan oleh onkogen.
Aktivasi onkogen merangsang produksi reseptor faktor pertumbuhan
yang tidak sempurna, yang memberi isyarat pertumbuhan terus-menerus
meskipun tidak ada rangsang dari luar. Proses proliferasi yang
tidak terkendali tanpa diiringi maturasi sel dapat mengakibatkan
gangguan diferensiasi sel. Pada tahap selanjutnya, gangguan
diferensiasi sel akan mencerminkan progesifitas sel menjadi
ganas.Gen penekan tumor berfungsi sebagi penghambat pertumbuhan
sel, apabila diaktifkan maka akan menghentikan siklus pembelahan
sel, sehingga dapat mencegah pembelahan sel selanjutnya. Tetapi
apabila gen penekan tumor malfungsi disebabkan mutasi, maka sel
abnormal yang terus membelah diri tidak menanggapi pesan growth
inhibitor yang dikeluarkan oleh sel sekitarnya untuk menghentikan
pembelahan sehingga terjadi proses malignansi.2.1.3 Mekanisme Kerja
Senyawa AntikankerMekanisme flavonoid sebagai antikanker ada
beberapa teori, yaitu :1) Flavonoid sebagai oksidan yakni melalui
mekanisme pengaktifan jalur apoptosis sel kanker. merupakan akibat
fragmentasi DNA. Mekanisme apoptosis sel pada teori ini diawali
dengan dilepasnya rantai proksimal DNA oleh senyawa oksigen reaktif
seperti radikal hidroksil. Senyawa ini terbentuk dari reaksi redoks
Cu(II). Senyawa tembaga ini dimobilisasi oleh flavonoid baik dari
ekstrasel maupun intrasel terutama dari kromatin. 2) Flavonoid
sebagai antioksidan. antioksidan flavonoid terutama berupa proteksi
terhadap Reactive Oxygen Species (ROS). 3) Flavonoid sebagai
penghambat proliferasi tumor/kanker yang salah satunya dengan
menginhibisi aktivitas protein kinase sehingga menghambat jalur
tranduksi sinyal dari membran sel ke inti sel. 4) Dengan menghambat
aktivitas reseptor tirosin kinase. Karena aktivitas reseptor
tirosin kinase yang meningkat berperan dalam pertumbuhan
keganasan.
2.1.4 Tinjauan tentang Uji ToksisitasToksisitas didefinisikan
sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat kimia atau
obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis,
yaitu toksisitas umum (akut, subakut/subkronis, kronis) dan
toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Pada
awal mulanya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun.
pada saat itu pengertian racun masih dipisahkan dengan makanan.
Bahan pangan atau zat kimia yang dengan jelas berbahaya bagi tubuh
disebut racun, sedangkan yang bermanfaat bagi tubuh disebut
makanan. Untuk meneliti berbagai macam efek yang berhubungan dengan
masa pemejanan, uji toksikologi dibagi menjadi tiga kategori yaitu
:1) Uji Toksisitas AkutUji ini dirancang untuk menentukan efek
toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam masa pemejanan dengan
waktu yang singkat atau pemberiannya dengan takaran tertentu. Uji
ini dilakukan dengan cara pemberian konsentrasi tunggal senyawa uji
pada hewan uji. Takaran konsentrasi yang dianjurkan paling tidak
empat peringkat konsentrasi, berkisar dari konsentrasi terndah yang
tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai dengan
konsentrasi tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir
seluruh hewan uji. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24 jam,
kecuali pada kasus tertentu selama 7-14 hari.
2) Uji Toksisitas Subkronis atau SubakutUji ini dilakukan dengan
memberikan zat kimia yang sedang diuji tersebut secara
berulang-ulang terhadap hewan uji selama kurang dari 3 bulan. Uji
ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji,
serta untuk melihatkan apakah spectrum toksik itu berkaitan dengan
takaran konsentrasi. 3) Uji Toksisitas KronisUji ini dilakukan
dengan memberikan zat kimia secara berulang-ulang pada hewan uji
selama lebih dari 3 bulan atau sebagian besar dari hidupnya.
Meskipun pada penelitian digunakan waktu lebih pendek, tetapi tetap
lebih lambat dibandingkan Uji Toksisitas Akut maupun Uji Toksisitas
Sub Akut.
2.1.5 Deskripsi Artemia salina Leach sebagai Hewan UjiArtemia
salina masuk golongan udang-udangan yang kecil ukurannya. Bentuk
dewasanya mencapai ukuran 1 cm. Hidup di perairan yang kadar
garamnya tinggi sekali, dimana hanya beberapa jenis bakteri serta
algae yang dapat bertahan hidup. Hewan ini makan plankton, detritus
serta butiran halus dalam air yang dapat masuk ke dalam mulutnya,
jadi termasuk "filter feeder". Dalam kondisi kadar garam tinggi
Artemia akan menghasilkan kista yaitu telur yang diselimuti oleh
selubung kuat untuk melindungi embryo dari perubahan lingkungan
yang merugikan. Pada kadar garam yang tinggi, kista akan mengapung
dan mudah dikumpulkan, dibersihkan, dikeringkan selanjutnya
dikalengkan dan dijual. Bila akan digunakan sebagai makanan hidup,
kista direndam dalam air laut dan akan menetas menjadi nauplius.
Nauplius inilah yang digunakan untuk makanan larva udang atau ikan.
Artemia yang baru menetas disebut nauplius, ini merupakan makanan
hidup bagi larva udang dan benih ikan. Dengan makanan hidup ini,
mutu air dalam bak pemeliharaan larva udang atau ikan akan tetap
baik karena tidak ada sisa makanan yang membusuk. Lagi pula makanan
ini mempunyai nilai gizi yang tinggi serta mudah dicerna. Nilai
nutrisi nauplius yang baru menetas sebagai berikut : protein 40% -
50%, karbohidrat 15%-20%, lemak 15%-20%, abu 3%-4% sedangkan nilai
kalori adalah 5000 5500 kalori per gram berat kering. Larva dapat
makan (menangkap) nauplius kapan saja dia mau selama persediaan
nauplius masih ada dalam tempat pemeliharaan larva itu.
Dibandingkan dengan zooplankton yang lain penyediaan nauplius A.
salina lebih mudah dan efisien. Kista-kista A. salina dapat
disimpan beberapa tahun. Setiap saat diperlukan, kista-kista dapat
diambil secukupnya untuk ditetaskan dan nauplius yang dihasilkan
dapat segera dimanfaatkan sebagai makanan larva ikan (Maria,
1984).Artemia betina membentuk telur pada dua kantong telur
kemudian kedua kantong telur tersebut akan bergabung yang mempunyai
satu saluran telur. Dari satu ekor induk betina dihasilkan sekitar
20 - 50 butir telur. Sementara telur masih dalam kantong telur,
induk telah mulai memproduksi calon telur dan begitu seterusnya.
Telur dapat dikeluarkan dalam bentuk kista atau langsung menetas
menjadi nauplius tergantung dari kondisi lingkungannya. Pada
kondisi lingkungan yang baik perkembangan embryonal di dalam
kantong telur akan berlanjut sehingga akhirnya terjadi penetasan.
Hasil penetasan merupakan nauplius yang berenang bebas. Pada
kondisi lingkungan yang buruk perkembangan embryonal akan terhenti
pada stadium gastrula dan terbentuklah cangkang telur dari kitin.
Dengan demikian terjadilah kista atau sering disebut "resting
eggs". Sifat "diam" dari telur-telur Artemia salina ini amat
bermanfaat bagi budidaya bahari yaitu sebagai makanan hidup. Setiap
saat diperlukan, kista-kista dapat ditetaskan dan nauplius dapat
dipanen untuk makanan larva udang atau ikan.Telur Artemia yang baru
dibuka dari kaleng berbentuk bola kempes, jadi bukan seperti bola
bundar, Hal ini disebabkan karena waktu pemrosesan telur tersebut
didehidrasi sehingga kadar air tinggal sekitar 10 %. Telur yang
dimasukkan dalam air dalam waktu satu sampai dua jam telah menyerap
air dan bentuknya menjadi bulat. Sekitar 15 jam kemudian telur
mulai menetas, dari dalam telur keluar bentuk bulat telur yang
masih terbungkus dalam selaput tipis, bentuk ini disebut "umbrella
stage". Setelah beberapa jam, maka lapisan tipis ini pecah dan
keluarlah nauplius (Gambar 2).
Gambar 2. Nauplius Artemia salina Leach(Diunduh dari :
https://www.flickr.com/photos/chenhowen/2209391548/ )Menurut Maria
(1984) untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor :1. Hidrasi dari kista-kista.
Kista-kista yang dimasukkan ke dalam media air laut akan segera
mengalami hidrasi dan terjadilah perkembangan embryonal di dalam
kista. Hidrasi ini dapat terjadi pada kisaran salinitas antara 5
70.2. Erasi. Oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan embryonal
A. salina. Oleh karena itu erasi harus diberikan terus sampai
terjadi penetasan, Selain untuk mencukupi kebutuhan akan oksigen,
erasi dapat mencegah terjadinya pengendapan kista-kista di dasar
tangki. Pengendapan kista-kista dapat menimbul- kan kondisi
"anaerob" pada kista-kista tersebut sehingga perkembangan embryo
akan terhambat. Kandungan oksigen yang minimal untuk penetasan A.
salina adalah 3 ppm.3. Penyinaran pada kista yang sudah mengalami
hidrasi. Cahaya dapat merangsang pengaktifan kembali perkembangan
embryo A. salina. Rangsangan cahaya ini hanya efektif pada hidrasi
aerob. Dengan demikian kista-kista yang sudah mengalami hidrasi
dapat dirangsang dengan penyinaran bersama-sama dengan erasi. 4.
Suhu. Suhu yang optimum untuk memperoleh hasil penetasan yang baik
adalah berbeda-beda menurut strain yang dipergunakan. Suhu optimum
untuk strain California-USA adalah 28C, untuk strain Utah-USA
adalah 30C dan untuk strain RRC adalah 35C. 5. pH (derajat
keasaman). Proses pecahnya. lapisan tipis pada saat "umbrella
stage" sangat dipengaruhi oleh enzym penetas, dimana enzym ini pada
pH 8,0 9,0 mempunyai aktivitas yang optimum. Penetasan tidak
terjadi bila pH kurang dari 7,0 terutama bila kepadatan telur yang
tinggi. Untuk menaikkan pH air laut dapat ditambah dengan 1 2 g
kapur per liter atau dengan NaOH 0,5 N sebanyak 1,5 per liter
air.6. Kepadatan. Untuk penetasan yang efisien kepadatan 10 g/L
memberi hasil yang memuaskan. Pada saat proses penetasan, telur
menghasilkan enzym trehalose dan ini akan mempercepat penetasan
telur di sekitarnya. Dengan kepadatan yang cukup maka trehalose ini
cepat mempengaruhi telur di sekitarnya dan proses penetasan dapat
berlangsung lebih serentak.
2.1.6 Uji Brine Shrimp Lethality TestBrine Shrimp Lethality test
(BSLT) merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang
bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva Artemia salina
Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas dengan metode BSLT ini
merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa
ditentukan dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji.
Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen
aktif tanaman terhadap larva Artemia salina Leach. Suatu ekstrak
dikatakan aktif sebagai antikanker berdasarkan metode BSLT jika
harga LC < 1000 g/ml. Penelitian Carballo dkk menunjukkan adanya
hubungan yang konsisten antara sitotoksisitas dan letalitas Brine
shrimp pada ekstrak tanaman. Metode BST dapat dipercaya untuk
menguji aktivitas toksikologi dari bahan-bahan alami.2.2 Penelitian
yang RelevanPenelitian yang relevan yang dijadikan acuan dalan
pengajuan penelitan adalah :1) Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol
Buah Anggur (Vitis vinifera) Terhadap Larva Artemia salina Leach
dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) oleh Dita Mutia dan
Suhardjono pada tahun 2010. Peneltian ini menggunakan hewan uji 250
ekor larva yang dibagi dalam 5 kelompok. Tiap kelompok terdiri dari
10 ekor, dengan replikasi 5 kali tiap kelompok. Kemudian ekstrak
anggur diberikan ke dalam media dengan konsentrasi akhir,
berturut-turut kelompok 1,2,3,4 dan 5 adalah 2000 g/ml, 1000 g/ml,
500 g/ml, 200 g/ml dan 0 g/ml sebagai kontrol negatif. Hasil
pengamatan adalah terhadap larva yang mati 24 jam setelah pemberian
bahan uji. Berdasarkan data, LC50 ekstrak etanol buah anggur
ditentukan dengan analisis probit menggunakan SPSS 16.0 for
windows. Hasil dari analisis probit menunjukkan harga LC50 dari
ekstrak buah anggur adalah 648.004 g/ml. Sedangkan dari analisis
regresi, akan didapatkan persamaan LC50 = 0.239log konsentrasi -
0.125. Pemberian ekstrak buah anggur pada penelitian ini,
menunjukkan potensi toksisitas akut terhadap larva Artemia salina
Leach menurut metode BST. Hal ini ditunjukkan dengan harga LC
50