25 Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Workload 4.1.1 Bank Mandiri Beban kerja merupakan kemampuan pekerja untuk menerima pekerjaan yang sesuai dan seimbang dengan kemampuan fisik maupun psikologis. Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pekerja mengalami tekanan kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas dan kualitas kerja pegawai. Tingginya tekanan kerja dapat mengakibatkan ketegangan psikologis maupun kelelahan fisik. Pekerjaan di sektor perbankan memiliki potensi tekanan kerja yang muncul dari load dan ekspektasi pekerjaan yang tinggi guna mengejar target perusahan dan menghadapi ekspektasi konsumen. Pressure seperti inilah yang lazimnya menjadi sumber stres bagi para pekerja. Kondisi kerja yang stressful dapat mengganggu kestabilan emosi dan jika melampaui kemampuan untuk mengelola emosi dapat berimplikasi pada gangguan kesehatan (sakit). Akumulasi keadaan ini seringkali terbawa kedalam kehidupan keluarga, menjadi beban mental tambahan bagi pekerja dan membuatnya makin tidak fokus dalam bekerja. Pengalaman ibu YL yang karena situasi kerja
46
Embed
Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6098/4/T2_912012039_BAB IV.pdfHasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Workload 4.1.1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
25
Bab 4
Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Workload
4.1.1 Bank Mandiri
Beban kerja merupakan kemampuan pekerja
untuk menerima pekerjaan yang sesuai dan seimbang
dengan kemampuan fisik maupun psikologis. Beban
kerja yang berlebihan menyebabkan pekerja mengalami
tekanan kerja yang dapat mempengaruhi produktivitas
dan kualitas kerja pegawai. Tingginya tekanan kerja
dapat mengakibatkan ketegangan psikologis maupun
kelelahan fisik. Pekerjaan di sektor perbankan memiliki
potensi tekanan kerja yang muncul dari load dan
ekspektasi pekerjaan yang tinggi guna mengejar target
perusahan dan menghadapi ekspektasi konsumen.
Pressure seperti inilah yang lazimnya menjadi sumber
stres bagi para pekerja. Kondisi kerja yang stressful
dapat mengganggu kestabilan emosi dan jika
melampaui kemampuan untuk mengelola emosi dapat
berimplikasi pada gangguan kesehatan (sakit).
Akumulasi keadaan ini seringkali terbawa kedalam
kehidupan keluarga, menjadi beban mental tambahan
bagi pekerja dan membuatnya makin tidak fokus dalam
bekerja. Pengalaman ibu YL yang karena situasi kerja
26
yang demikian stressful, mengalami gangguan emosi
yang terbawa sampai ke rumah pernah berkata :
“Saya pernah terbawa emosi sampai ke keluarga. Jujur ya
memang pernah drop sampe memang karena gak achieve
target kan ya jadi memang beban mental ya dan terbawa
sampai ke rumah sampe sakit pernah. Saya pernah tidak
fokus karena masalah ini..”
Ibu RA yang karena kelelahan dalam pekerjaan
pernah mengalami kondisi emosi yang tidak stabil
hingga terbawa sampai ke kehidupan keluarga. Selain
itu, ibu RA seringkali merasakan stres kerja ketika
pergantian jabatan atau posisi dari divisi pelayanan ke
divisi mikro dan ketika mutasi dari cabang satu ke
cabang lainnya, sebab ketika berganti jabatan atau
posisi dan mutasi kerja ibu RA menghadapi
tanggungjawab dan lingkungan kerja yang berbeda.
Berikut pernyataan ibu RA :
“Kadang karena capek saya marah-marah mbak. Ya namanya juga manusia ya kadang capek ya mbak..” Terus
kalo pindah ganti ke jabatan yang lain itu loh mbak biasanya
agak stres. Stresnya juga kalo kita di mutasi dari cabang sini nanti di mutasi ke cabang mana, pasti kan penyesuaian dulu kan. Biasanya sih di penyesuaian awal ya mbak [stres
biasanya di penyesuaian awal]..”
Responden-responden penelitian ini bekerja di
salah satu bank terbesar di Indonesia yang memiliki
tuntutan kerja yang lebih tinggi dari bank pada
umumnya. Sekalipun dengan resiko pekerjaan yang
tinggi, mereka harus bisa menghadapi dan
mengelolanya. Para responden menganggap kelelahan
27
yang dialami adalah resiko dari pekerjaan yang harus
dihadapi. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan :
“Kalo lelah pasti lelah ya mbak. Kalo Mandiri itu memang
gede ya kan bank terbesar di Indonesia ya makanya. Mandiri
kan rame mbak, kalo mbak liat rame banget jadi transaksinya kan banyak banget kecuali kalo bank yang kecil
itu kan palingan jam 15.00 itu sudah selesai, selesai, selesai.
Kalo Mandiri zaman aku jadi teller itu, yang lain-lain kayak bank lain itu sudah pada mati lampu, bank Mandiri itu lampunya masih hidup karena memang transaksinya belum
selesai. Nasabah sudah selesai, cuman kitanya yang belum.
Transaksi rata-rata di sini satu orang itu harus 170
transaksi jadi 1 hari itu bisa 1000 orang masuk Mandiri makanya capek banget..(ibu RA)”
“Yang jelas gini mbak, stres sebenarnya kan karena target,
karena situasi kondisi kerja. Pekerjaan di bank itu penuh
resiko, belum di target, belum di complain.. (ibu YL)”
“Setiap orang kan pasti pernah merasakan capek, lelah gitu.
Sakit biasa, flu, kecapekan [saya pernah sakit seperti flu dan
juga kelelahan]. Semua juga sama, yang lain juga kan
kerjanya pun mungkin hampir sama ya semuanya. Sama-
sama berat gitu loh, cuma menurut saya karena resiko..( ibu
DA)”
Meskipun pressure pekerjaan mengintervensi
kehidupan keluarga namun pengertian dan dukungan
dari suami, orang tua dan adanya pihak ketiga seperti
jasa pembantu dan pihak sekolah merupakan
mekanisme untuk mendukung kepentingan keluarga
sehingga tidak memberikan pressure balik terhadap
kepentingan-kepentingan pekerjaan. Hal ini menjadi
faktor-faktor yang menetralisir stres terhadap
pekerjaan sehingga dapat membantu responden
khususnya dalam menetralisir pressure keluarga.
Semua responden mengatakan hal yang sama tentang
28
dukungan suami dan keluarga terhadap pekerjaan
mereka. Berikut pernyataan responden.
“keluargaku sangat mendukung. Dari pihak keluargaku atau
suamiku mendukung karena aku sebelum kenal suamiku pun dia sudah tau aku sudah kerja kan jadinya sudah taulah
jadi dia sangat mendukung. Keluarga juga sangat
mendukung..”
Pengalaman ibu RA, tidak hanya mendapat
dukungan dari keluarga inti tetapi juga dari extended
family-nya. Hal ini diceritakan ibu RA ketika ia bekerja,
extended family-nya ikut membantu dalam
memperhatikan dan mengurus anak. Berikut kutipan
ibu RA.
“Anakku ta tinggal di rumah tuh aku tetap gak khawatir
karena memang ada eyang di rumah kan gak sama
pembantu aja. Ada mbahnya, ada mbak putri, trus kakakku
rumahnya juga dekat di situ, kakak iparku, sepupu jadi ada
ada yang nemenin gitu loh..”
Mekanisme internal juga membantu responden
untuk menetralisir stres kerja yang mereka hadapi.
Semua responden mengatakan bahwa stres kerja dapat
ditekan tergantung cara menikmati dan sikap terhadap
pekerjaan itu sendiri. Berikut kutipan responden.
“Kalo lelah pasti lelah ya mbak. Tapi lama-lama akan enjoy
mbak. Kalo pressure, tiap bank pasti pressure kalo target
pasti iya cuman kalo kita jadikan beban nanti gak kerja-kerja, pusing sendiri. Enjoy aja pokoknya, santai. Memang
kerjanya begitu jadi kalo kita mikir susah trus kita mikir ke
bawah susah..”
Ibu DA mengungkapkan bahwa adanya kondisi
dan lingkungan kerja yang menyenangkan serta adanya
hubungan baik dengan rekan kerja dan juga atasan
29
dapat menekan stres kerja karena bagi ibu DA tidak
harmonisnya hubungan dengan rekan kerja dan atasan
dapat menciptakan stres dalam bekerja. Berikut
pernyataan ibu DA.
“Supaya kita gak stres kita aja buat situasi kerja itu
nyaman, sama teman-teman, sama atasan, sama bawahan
kalo bisa harus punya hubungan yang baik. Soalnya kalo
misalkan kerjaan, kalo kerjaan sih kalo ringan ya ringan tapi
kalo misalnya hubungannya sama atasan sama bawahan
kurang bagus kan bikin stres..”
Organisasi dalam menetralisir stres kerja yang
dihadapi, memfasilitasi kebutuhan pegawai selain
dengan gaji, insentif, tunjangan-tunjangan, jaminan
kesehatan dan cuti pegawai, juga menyediakan
program-program untuk menanggulangi stres kerja dan
menciptakan keakraban diantara pegawai, baik dengan
rekan kerja, atasan maupun bawahan. Kegiatan-
kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang
diberlakukan untuk seluruh cabang Bank Mandiri
seperti Refreshing yaitu belanja, nonton, makan
bersama, olahraga, piknik, kerohanian dan kesenian.
Seperti yang diceritakan para responden berikut ini.
“Untuk menanggulangi stres ya kalo di cabang itu biasanya
tuh ada nonton bareng, jadi ke Solo ke Paragon atau kemana, makan-makan bareng, piknik, kadang karaokean bareng.
Kalo di Mandiri ada club-club olahraga, di sini sabtu
biasanya pada bulutangkis bareng, ada futsal, biasanya ada
Sepak bola, kerohanian juga ada, kemudian kayak nyanyi-nyanyi itu juga ada Mandiri Idol juga, lomba foto di pasar,
macam-macam di sini nanti ada hadiahnya.. ”
30
Program-program organisasi tersebut bersifat
kondisional artinya dilakukan pada kondisi tertentu.
Pekerjaan di sektor perbankan dengan tekanan kerja
yang tinggi menyebabkan terjadinya konflik pekerjaan-
mengajar tidak menimbulkan kelelahan dan stres kerja
sebab telah terjadwal. Tekanan pekerjaan seperti stres
kerja dan kelelahan dirasakan responden ketika
berhadapan dengan load pekerjaan di luar mengajar
seperti terlibat dalam pengurusan re-akreditasi,
menjadi panitia atau koordinator suatu kegiatan dan
tugas keluar kota. Seperti pengalaman ibu BS dan ibu
ER berikut.
“Kalo stres karena memang terkadang saya merasa tidak bisa
membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan
disini re-akreditasi gitu. (ibu BS)”
“Selain ngajar biasanya ada panitia-panitia gitu loh. Suruh
jadi panitia apa panitia apa, itu yang kadang membuat kita
sedikit stres, sedikit terbeban. Kalo pekerjaan rutin seperti
31
ngajar, koreksi itu gak masalah. Yang bikin stres itu administratifnya.. (ibu ER)”
Stres kerja dialami juga ketika masa-masa
penyesuaian dengan lingkungan kerja. Seeperti kasus
ibu ER dan ibu SP yang karena masa-masa
adaptasinya menjadi dosen, ia sempat mengalami
kelelahan dan berimplikasi pada tekanan fisik hingga
sempat terganggu kesehatannya. Berikut kutipan
responden.
“Dulu ya maklum aku masih dalam masa-masa adaptasi ya
[dulu saya mengalami kelelahan ketika penyesuaian awal]. Waktu itu sampe pernah kena maag. Tetapi di sisa itu sih
jarang..”
Walaupun pressure pekerjaan dan pressure
keluarga seringkali dialami oleh para responden,
dukungan dari suami dan adanya pihak ketiga seperti
jasa pembantu merupakan mekanisme untuk
menetralisir stres kerja dan kelelahan. Semua
responden mengatakan hal yang sama tentang suami
yang mendukung pekerjaan mereka. Berikut kutipan
responden.
“Kalo suami saya sudah tau dan mendukung. Sudah tau
pekerjaan saya bahkan dia membantu..”
Stres kerja dalam pekerjaan sebagai dosen dapat
dinetralisir pula dengan kehadiran rekan kerja yang
membantu responden mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi seperti mengalami stres karena tidak
seimbangnya waktu antara pekerjaan dan keluarga
maka responden melakukan diskusi atau sharing
32
dengan rekan kerjanya. Seperti pengalaman ibu ER dan
ibu BS berikut.
“Ya untuk pekerjaan masih bisa di handle sih. Untuk
kesulitan-kesulitan masih bisa di atasi, kan banyak teman
juga untuk diskusi. Kalo misalnya ada kesulitan tentang pekerjaan ya bisa sharing sama teman..(ibu ER)”
“Kalo stres karena benar-benar stres karena memang
terkadang saya merasa tidak bisa membagi waktu ketika anak banyak kegiatan berbarengan di sini re-akreditasi gitu,
yah kalo kondisi seperti itu ya sudah, paling-paling
penyelesaiannya dengan bercerita dengan siapa seperti
itu..(ibu BS)”
Selain itu, lingkungan kerja yang menyenangkan
juga membantu responden untuk menetralisir tekanan
pekerjaan yang dialami. Semua responden mengatakan
bahwa mereka merasa nyaman dengan lingkungan
kerjanya. Berikut pernyataan responden.
“Saya merasa ini lingkungan yang menyenangkan. Dari sisi pekerjaan kadang-kadang memang stressful ya artinya
memang kadang-kadang tuntutannya tinggi, kedepannya juga akan lebih tinggi tetapi sampai dengan hari ini sih saya
masih senang, masih enjoy di sini terlebih saya punya
lingkungan kerja yang juga menyenangkan, banyak
pekerjaan tetapi lingkungan saya menyenangkan..”
Pengalaman ibu SP dan ibu BS sebagai responden
yang bukan alumni institusi pendidikan tempat mereka
bekerja, mereka merasa bahwa lingkungan pekerjaan
mereka adalah lingkungan pekerjaan yang unik
sehingga mereka merasa senang dan nyaman bekerja.
Berikut pengalaman responden.
“Bagi saya, lingkungan di sini sangat unik. Dengan
background saya yang bukan alumni sini, saya kebetulan dari negeri kan dan ya pertama saya masuk sini sih kaget. Ya di negeri itu kan kalo dosen sama mahasiswa kan harus
33
“bapak/ibu”. Tetapi ketika saya masuk pertama kali kesini sangat mengejutkan ketika saya melihat relasi mahasiswa dengan dosen itu akrab gitu loh. Akrab sampe dalam sapaan
pun tidak menggunakan “bapak/ibu” tapi “koh, cik, mbak, mas” saya rasa itu sudah relasi yang menarik. Pengalaman
pribadi saja, ketika saya baru masuk di sini sebagai orang luar ya bukan alumni sini, yang notabenenya saya juga
belum banyak bahkan tidak tau sama sekali suasana disini,
mereka welcome, mereka nyapa, mengajak kenalan, kadang
membantu saya untuk mengenal institusi ini lebih jauh. Itu yang saya rasakan dek, baik dari senior maupun dari rekan-
rekan sekerja baik..”
Pekerjaan diperusahan perbankan dengan load
pekerjaan yang tinggi dan berimplikasi terhadap
tingginya tekanan pekerjaan, para responden dengan
pengalamannya sulit untuk membagi waktu,
keterlibatan dan tanggungjawab secara seimbang
antara pekerjaan dan keluarga. Berbeda dengan kondisi
pekerjaan di sektor perbankan, pekerjaan di institusi
pendidikan seperti perguruan tinggi dengan profesi
sebagai dosen, memiliki kelenturan waktu untuk
menyeimbangkan waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab terhadap pekerjaan dan keluarga.
Kedua kondisi kerja ini berimplikasi pada konflik
pekerjaan-keluarga dan kepuasan terhadap pekerjaan
maupun kepuasan terhadap kehidupan keluarga.
4.2 Konflik pekerjaan-keluarga
4.2.1 Bank Mandiri
Konflik pekerjaan-keluarga terjadi sebagai akibat
individu menanggung peran ganda yaitu peran dalam
34
pekerjaan dan peran dalam keluarga di mana waktu
dan perhatian sebagian besar tercurah pada satu
diantaranya (biasanya peran pada pekerjaan) sehingga
tuntutan peran lain (dalam keluarga) tidak terpenuhi
secara optimal (Susanto, 2009). Kasus konflik
pekerjaan-keluarga dalam penelitian ini menunjukkan
implikasi terhadap pengasuhan anak, kurangnya kasih
sayang terhadap anak dan kurangnya waktu bagi
keluarga. Kondisi kerja yang menyita waktu relatif lebih
banyak dipekerjaan dan kondisi suami yang juga
bekerja, para responden mempercayakan pengasuhan
anaknya selain kepada suami, juga kepada orang tua,
pembantu dan pihak sekolah. Selain itu, karena
tersitanya waktu yang lebih banyak dipekerjaan,
responden tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi
dengan lingkungan sosialnya. Berikut kutipan
responden.
“Kalo anak-anak itu seutuhnya saya kasi ke sekolah, jadi
model sekolahnya itu kan dari pagi sampe sore. Ada
penitipan anak di sana jadi kita tidak perlu khawatir anak
itu nanti makannya gimana, nanti tidur siangnya gimana,
semua sudah di atur dari sekolah.. (ibu YL)”
“Kebetulan sama bapak ibuku tuh rumahnya gandeng jadi
anak ada pengawasan. Ada pembantu juga. Jadi gak perlu
khawatir. Cuma aku juga sering ya kasih sayang tuh gak ada
aku [kurang kasih sayang dari saya], cuman ada kakek
neneknya yang sering tiap hari. Trus suamiku juga dia kalo
libur gini kan juga di rumah full. kalo dia piket malam aku kan sudah di rumah jadi ada yang gantiin.. “Kalo arisan gitu aku gak ikut mbak. Cuman bayar arisannya yo tetap cuman
kalo menyempatkan diri arisan, duduk gitu aku gak pernah. Kalo tetangga nikahan itu mbantu yo gak, ya gak sempat ya
mbak.. (ibu RA)”
35
Ketiga responden penelitian mendapat complain -
dari anak-anak mereka karena terambilnya waktu bagi
keluarga disebabkan lembur kerja dan tersitanya waktu
libur yang merupakan waktu untuk keluarga. Berikut
kutipan responden.
“Anak kadang biasanya [anak biasanya protes]. Biasanya sabtu minggu aku lembur kan ya, dia mesti : “ ya ini kan hari
sabtu kenapa mama harus masuk? Ya aku yang gak masuk.
Kan sabtu libur jadi ya kadang dia pengen di perhatikan,
cuman kalo sabtu minggu aku keluar dia mesti protes..”
Konflik pekerjaan-keluarga ini berpengaruh
terhadap ketidakseimbangan antara kehidupan
pekerjaan-keluarga dan kepuasan responden.
Kepuasan yang dimaksudkan adalah kepuasan yang
sama terhadap pekerjaan dan keluarga, kepuasan yang
sama terhadap keterlibatan yang seimbang antara
pekerjaan dan keluarga serta kepuasan yang sama
terhadap pembagian waktu yang seimbang antara
pekerjaan dan keluarga. Ibu RA dan ibu YL merasa
belum seimbang dalam pembagian waktu dan
keterlibatan antara pekerjaan dan keluarga karena
waktu dan keterlibatan lebih banyak tersita
dipekerjaan. Berikut kutipan responden.
“Kalo seimbang sih lebih berat di pekerjaan ya mbak karena
sering ketemu pekerjaan. Kalo di keluarga kan kadang kita
sudah capek karena kalo di keluarga kita pengennya kan
datang, istirahat gitu ya. Kalo di keluarga emang aku masih
merasa agak kurang..”
Kasus ibu DA yang bekerja terpisah dari
keluarganya memiliki pengalaman sulit dalam hal
36
menyeimbangkan waktu dan keterlibatan antara
pekerjaan dan keluarga. Keluarga ibu DA berdomisili di
Jogjakarta sedangkan ibu DA bekerja di Salatiga.
Waktu dan keterlibatan dengan keluarga hanya dapat
dirasakan pada hari sabtu dan minggu, bahkan
terkadang waktu untuk keluarga tersita karena
tanggungjawab dual control. Ibu DA sedang berupaya
untuk mengurus mutasi kerjanya agar tempat kerjanya
lebih dekat dengan keluarga. Berikut pernyataan ibu
DA.
“Kalo pekerjaan dalam seminggu kalo 5 hari bekerja kan berarti untuk kerja sendiri sekitar 70% ya untuk keluarga
paling 30%. Saya rasa juga gak seimbang. Ya paling saya
pinginnya, doain aja, saya sedang ngurus pindah ke Jogja
jadi selain kerja itu malam juga masih ada waktu dengan keluarga. Saya rasa kan paling gak kan 40:60 lah kalo saya
kerja di Jogja. Kadang kalo sabtu saya di sini karena ada
tanggungjawab untuk monitoring ATM jadi kadang sabtu juga tersita. Tapi biasanya sabtu minggu saya pulang, senin sudah balik lagi kesini..”
Secara tanggungjawab, semua responden merasa
belum seimbang tanggungjawabnya antara pekerjaan
dan keluarga, belum maksimal dan belum puas
tanggungjawabnya terhadap pekerjaan maupun
keluarga disebabkan tersitanya waktu yang lebih
banyak untuk pekerjaan. Berikut pernyataan
responden.
“Kalo saya seimbang tanggungjawab mungkin belum ya. Kalo
jadi istri itu seutuhnya saya harus melayani suami bener-
bener tapi kan saya gak bisa. Kalo tanggungjawab terhadap
anak saya pun hanya setengah-setengah. Dua-duanya belum puas ya di kantor juga belum maksimal, dirumah pun belum
37
maksimal juga jadinya kalo kita mau fokus di rumah otomatis kantor harus di tinggal, kalo kita mau fokus di
kantor, rumah ya di abaikan dulu tapi kita gak bisa seperti
itu..”
Walaupun secara waktu dan intensitas
keterlibatan lebih besar dipekerjaan, responden belum
puas terhadap pekerjaannya karena merasa belum
maksimal dan harus terus menggali kinerjanya. Berikut
pernyataan responden.
“Saya belum puas ya mbak. Kita kan ada target ya.
Targetnya itu setiap bulan semakin menantang, kalo
targetnya belum tercapai ya belum puas. Kalo katakanlah
targetnya sudah tercapai tapi yang lain mencapainya lebih
dulu juga belum puas juga. Kinerja saya harus tetap di galih lagi walaupun saya merasa sudah bisa tapi tetap harus
belajar lagi mbak..”
4.2.2 Dosen
Konflik pekerjaan-keluarga pada kondisi tertentu
kerapkali terjadi pada responden yang bekerja sebagai
ketika menangani kegiatan di luar mengajar seperti
tugas keluar kota, re-akreditas, koordinator kegiatan
dan kepanitian. Meskipun tugas-tugas ini terjadi secara
seasonal namun kegiatan-kegiatan tersebut kerapkali
menyita waktu yang relatif lebih besar dipekerjaan dan
mengakibatkan kurangnya waktu untuk keluarga.
Terganggunya waktu untuk keluarga karena urusan
pekerjaan, para responden kerapkali mendapat
komplain dari anak-anak mereka. Seperti pengalaman
ibu BS ketika waktu tersita lebih banyak dipekerjaan
38
karena menangani kegiatan pembinaan olimpiade, ia
mendapat protes dari anaknya. Ibu BS menuturkan :
“Pernah ketika pekerjaan itu banyak sekali, misalnya di IE
kami pembinaan untuk olimpiade jadi kadang ada beberapa sekolah SMA yang datang ke fakultas Ekonomi sementara saya koordinatornya. Walaupun saya gak ngajar karena saya
koordinator, kan saya harus datang lebih pagi,
mempersiapkan, memastikan nanti pengajarnya, nanti tempatnya benar ini, fasilitasnya ini, gitu kan. Nah itu kalo
sudah seperti itu terus bisa 1 bulan seperti itu. Anak saya walaupun sabtu minggu saya ajak pergi tapi kalo ketika dari senin sampe jumat saya dari pagi sampe jam 6.00 terus, dia
akan berkomentar dan dia akan protes..”
Pengalaman ibu SP yang karena membawa
pekerjaan dirumah, ia mendapat komplain dari
anaknya. Berikut yang diceritakan ibu SP.
“Waktu itu karena mengejar harus uji proposal atau apa gitu,
kebetulan waktunya sudah mepet kan ya jadi saya belum
sempat baca, saya bawa pulang ke rumah. Nah, situasinya
ketika saya membaca sambil melihat anak bermain, ternyata
anak saya protes. Dia masih kecil tetapi dia sudah. Bagi saya, ya udalah..”
Mencegah kemungkinan komplain dari anak-anak,
semua responden menyatakan bahwa mereka memilih
untuk menyelesaikan pekerjaan setelah anak mereka
tidur. Berikut pernyataan responden.
“Jadi kalo memang saya harus selesaikan [kalau memang
saya harus menyelesaikan pekerjaan] ya saya nunggu sampe
anak tidur baru saya kerja..”
Sebagai wanita yang memiliki peran ganda,
responden seringkali menghadapi tekanan tidak hanya
dari pekerjaan tetapi juga dari keluarga. Ibu SP yang
karena mengalami tekanan keluarga, ia pernah merasa
39
sulit membagi perannya dengan baik. Ibu SP
mengungkapkan :
“Waktu itu anak saya masih baby jadi saya butuh orang
ketiga istilah pembantulah untuk membantu saya. Kebetulan
cuman saya, suami, anak dan pembantu. Ketika hari itu saya sudah di jadwalkan mengajar segala macem, nah kejadiannya tuh pada hari H pembantu saya gak datang,
padahal hari itu saya harus tugas keluar kota, segala macem begitu kan, ya udah situasinya kan pembantu gak datang
gak ada yang jaga anak. Mendadak begitu ya otomatis, ya
bagi saya tuh pilihan yang agak sulit juga ya, disatu sisi ini bicara tugas dari pekerjaan, disisi yang lain ini anak gitu ya,
waktu itu ya stres..”
Para responden menuturkan bahwa mereka
seringkali berkeputusan untuk meninggalkan
profesionalitas mereka ketika diperhadapkan dengan
pilihan antara masalah keluarga dan kepentingan
pekerjaan. Kasus ibu SP dan ibu BS ketika mengalami
masalah dalam keluarga, profesionalitas kerja
seringkali ditinggalkan dan lebih mengutamakan
keluarga. Hal itu terjadi ketika kondisi dan keadaan
yang cenderung mendesak misalnya anak sakit.
Berikut kutipan responden.
“Ketika terjadi konflik artinya saya sendiri ingin profesional
dalam arti ketika bekerja saya bertanggungjawab inginnya
profesional tetapi kadang-kadang saya sebagai ibu ada
sesuatu hal yang tidak bisa saya hindari, contoh ketika anak saya sakit ya mau tidak mau profesionalisme saya kadang-
kadang bisa saya tinggalkan. Nah, jadi saya akan mengurus anak saya yang sakit, dengan konteks bahwa sakitnya si anak lagi butuh pengawasan.. ”
Konflik pekerjaan-keluarga dalam pekerjaan
sebagai dosen cenderung terjadi pada kondisi
mendesak. Terlepas hari hal tersebut, pekerjaan
40
sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang dapat
membantu para responden untuk menyeimbangkan
tanggungjawabnya terhadap pekerjaan dan keluarga.
Seperti kasus ibu BS dengan kelenturan waktu yang
memungkinkan, ketika menghadapi konflik pekerjaan-
keluarga ia dapat meluangkan waktunya untuk
menengok anaknya ketika sakit. Berikut pernyataan
ibu BS.
“Pernah dalam kasus saya ketua panitia untuk Economi
competition yang itu untuk seJawa, jadi saya untuk
koordinator acaranya. Baru sekali itu anak saya sakit pas saya harus acara besar, saya tidak mungkin tinggal, saya
tetap. Dia di rumah dengan ayahnya. Saya berangkat pagi,
ketika acara sudah mulai saya naik motor pulang ke rumah
untuk sekedar menengok anak saya, memastikan tidak apa-apa..”
dihindarinya meskipun diakuinya bahwa hal ini adalah
motivasi yang “buruk”. Bagi ibu BS, ketika ia diberi
jabatan maka konsekuensinya adalah waktu akan
cenderung lebih banyak tersita untuk pekerjaan
sehingga waktu untuk keluarga akan berkurang.
Berikut pernyataan ibu BS.
“Saya cenderung tidak punya keinginan untuk punya jabatan
karena saya selalu menghindari jabatan, saya selalu bilang
41
ke kaprogdi saya, puji Tuhan baik sekali, saya bilang “ pak, saya mending di suruh apa saja tetapi jangan beri saya
jabatan, suruh koordinator ini ok tapi saya jangan di beri jabatan”. Karena kalau di beri jabatan berarti konsekuensi
saya harus menambah waktu di kantor itu lebih banyak, itu
saya gak mau..”
Terlepas dari konflik pekerjaan-keluarga yang
dialami, semua responden dengan pengalamannya
masing-masing mengatakan bahwa institusi pendidikan
tempat mereka bekerja tidak menerapkan jam kerja
yang kakuh sehingga mereka terbantu dalam
menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga.
Berikut pernyataan responden.
“Pekerjaan kami sebagai dosen tidak kakuh ya. Dari segi waktu kalo tidak mengajar kan kadang kita bisa melakukan
hal yang lain ya seperti penelitian, atau kalo misalnya kita
punya keperluan di luar kampus ya kita bisa keluar sih. Kalo
di perusahan kan harus kakuh dari jam 8.00 sampe jam
4.00 gak bisa keluar gak bisa izin-izin, susahlah. Kalo di sini masih gampang..”
Dengan kelenturan waktu tersebut, para
responden terbantu untuk menyeimbangkan
kepentingan pekerjaan dan keluarga. Hal ini
berimplikasi terhadap kepuasan mereka yaitu
kepuasan terhadap waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab yang sama antara pekerjaan dan
keluarga. Responden-responden penelitian ini
mengatakan bahwa mereka puas dengan keterlibatan,
waktu dan tanggungjawab mereka terhadap pekerjaan
dan keluarga sebab mereka dapat memenuhi peran
gandanya secara seimbang. Berikut kutipan ibu SP dan
42
ibu ER yang merasa senang dan puas dengan
pekerjaan dan keluarga mereka.
“Saya puas dengan pekerjaan dan tanggungjawab saya
dalam keluarga karena saya merasa semuanya baik-baik saja dan seimbang-seimbang saja. Memang dari sisi tuntutan
profesi memang saya masih jauh dari yang diharapkan. Tetapi kalo secara pribadi, saya sudah merasa puas, saya
merasa senang..”
Kasus ibu BS yang dapat menyeimbangkan waktu,
keterlibatan dan tanggungjawabnya terhadap pekerjaan
dan keluarga merasa senang dan puas karena dengan
keseimbangan yang terpenuhi, ia dapat meluangkan
waktu untuk mengajar anaknya dan ia merasa bangga
anaknya berprestasi. Berikut kutipan ibu BS.
“Saya rasa sejauh ini semuanya seimbang. Saya senang,
karena saya puas anak saya bisa membaca dan menulis
karena saya, anak saya tidak perlu les mata pelajaran karena saya masih bisa ngajari sendiri. Puji Tuhan, campur tangan Tuhan anak saya bisa berprestasi..”
Tingginya tekanan pekerjaan dan konflik
pekerjaan-keluarga yang berpengaruh pada kepuasan
atau ketidakpuasan terhadap waktu, keterlibatan dan
tanggungjawab pekerjaan dan keluarga ini berimplikasi
pada keinginan responden untuk tetap bekerja,
berpindah pekerjaan bahkan meninggalkan pekerjaan
mereka.
43
4.3 To stay or to leave
4.3.1 Bank Mandiri
Pada bagian sebelumnya telah digambarkan
bahwa tekanan pekerjaan di sektor perbankan berada
pada level pressure yang cenderung konstan dan
bahkan meningkat. Hal ini berimplikasi terhadap
keinginan responden untuk berpindah pekerjaan.
Mereka berpikir bahwa jika memiliki pekerjaan yang
tekanan kerjanya rendah, mereka dapat
menyeimbangkan waktu dan keterlibatan dengan
keluarga. Ibu YL yang karena kelelahan dalam
pekerjaannya, sempat berpikir untuk berpindah
pekerjaan yaitu dengan berwirausaha namun hal itu
dianggap hanya emosi sesaat ketika kelelahan. Selain
itu, gaji, insentif, tunjangan-tunjangan dan jaminan
yang diberikan organisasi menjadi alasan ibu YL tetap
bekerja diperbankan. Ibu YL berkata :
“Saya pernah [saya pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan], saya pernah ketika saya lelah saya pengen seperti
wiraswasta. Tapi saya berpikir lagi secapek-capeknya orang pasti suatu saat kalo saya sudah menjalani pekerjaan lain
kan pasti saya capek juga. Akhirnya saya tetap memilih
disini. Itu pun kalo waktu itu saya berencana untuk
wiraswasta itu hanya emosi sesaat ya. Kita kembali
flashback lagi, disini kita kerja toh Mandiri sudah berikan semuanya, ya insentif, ya kesehatan, ya sudah benar-benar
dicover..”
Kasus ibu RA yang karena tingginya tekanan pekerjaan
dan tidak seimbangnya keterlibatan serta tanggungjawab
antara pekerjaan dan keluarga pernah berpikir untuk
berpindah pekerjaan tetapi dukungan suami, gaji atau
44
income yang menjanjikan, insentif, tunjangan-tunjangan dan
jaminan seperti pengalaman ibu RA ketika anaknya
dioperasi, keseluruhan biaya di-cover oleh organisasi serta
faktor ekonomi keluarga menjadi alasan ibu RA memilih
untuk tetap bekerja diperbankan.Ibu RA merasa organisasi
menjamin kesejahteraannya sehingga ia menjadi loyal
terhadap organisasi. Berikut pernyataan ibu RA.
“Saya pernah sih mbak berpikir untuk pindah pekerjaan tapi ta pikir kalo suamiku kan dukung aku di sini ya mbak.
Cuman kalo kita sudah terbiasa dengan gaji, kalo orang mungkin pegawai bank ya gajinya lebih banyak sebenarnya
gak juga sih tapi kalo dibanding pegawai negeri kita income
lebih ya. Wong dari segi materi lebih menjanjikan disini..”
“Kemaren kebetulan abis anakku operasi nih mbak dan 9
harian. Alhamdulillah operasi pun kita dicover semua dari
bank Mandiri biayanya. Aku sendiri dan anakku sendiri jadi
semuanya tercover. Ya makanya mungkin semakin
perusahan memperhatikan kesejahteraan kita ya, ya mungkin semakin loyal ya..”
Berbeda dengan kasus ibu YL dan ibu RA,
meskipun dengan tekanan kerja yang tinggi dan
mengalami ketidakseimbangan antara pekerjaan dan
keluarga ibu DA tidak berpikir untuk berpindah
pekerjaan karena pertimbangan income atau gaji yang
memadai, telah bekerja dalam kurun waktu yang
terpaut lama (12 tahun), faktor usia tidak
memungkinkan bagi ibu DA untuk berpindah
pekerjaan, adanya reward yang diberikan organisasi
dan adanya rasa nyaman dengan jabatan atau
posisinya dalam organisasi. Berikut pernyataan ibu DA.
“Pindah pekerjaan sih gak. Karena umur sudah gak pas dan
posisi di sini sudah lumayan jadi saya gak mungkin cari
45
pekerjaan dengan umur saya, belum tentu dapat sebaik ini. Kemudian di Mandiri itu ada reward ya. Kayak produk-produknya Mandiri itu bisa pergi ke luar negeri, bisa di
promosi, banyak. Yah mungkin itu penghargaan ya buat
semangat..”
Responden penelitian ini akan memilih untuk
berpindah atau berhenti dari pekerjaannya ketika
ekonomi keluarga sudah mapan karena mereka bekerja
untuk membantu suami memenuhi ekonomi keluarga
dan ingin memberikan pendidikan yang berkualitas
kepada anak-anak. Menurut responden, pendidikan
yang berkualitas tidaklah murah sehingga mereka juga
harus bekerja. Seperti pada kasus ibu YL yang memilih
tetap bekerja diperbankan karena ingin anak-anaknya
mendapat pendidikan terbaik. Berikut pernyataan ibu
YL.
“Mereka sadar kalo saya gak kerja toh mereka juga gak akan
dapat pendidikan yang seperti itu kan tentunya [pendidikan
yang berkualitas]. Ya sekolah negeri ya paling gak sih dengan fasilitas seadanya saya gak mau. Ya kita kan kalo memilih
sekolahan, pendidikan yang terbaik untuk anak-anak. Saya
tekankan sama mereka pendidikan memang nomor 1 jadi
kalo saya pengen pendidikan yang bagus untuk kamu saya
harus kerja..”
Selain itu, ibu RA dan ibu YL bangga bekerja di
perusahan perbankan. Mereka mnegatakan bahwa ada
kebanggaan ketika mereka menjadi contoh bagi anak-
anak dan memenuhi harapan orang tua. Bagi ibu RA
dan ibu YL, mereka bekerja di salah satu bank terbesar
di Indonesia dapat menciptakan rasa percaya diri,
prestige, dan mendapatkan penghargaan dari suami
46
dan masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA dan ibu
YL.
“Kalo kita kerja di bank Mandiri setidaknya ada penghargaan
gitu ya entah dari suami atau masyarakat. Bangga ya mbak
kerja di bank Mandiri. Jadi kebanggaan buat keluarga juga sih, kan bapak ibu juga “ini loh anakku ta sekolahin”, jadi
kalo setiap bulan kita bantu orang tua kan bisa. Punya gaji
sendiri kan gak harus minta uang suami mau bantuin orang
tua, mungkin orang tua suami juga, saudara-saudara.
Sedikit-sedikit bisa bantu. Ada kebanggaan.. (Ibu RA)”
“Tulang rusuk kan ya kita membantu menegakkan ekonomi
keluarga. Bisa jadi contoh buat anak-anak juga. Jadi, ini loh wanita juga bisa bekerja. Ada sebuah nilai plus ya, kebanggan seperti sedikit gengsi gitu, jadi kalo katakanlah di tanya “ibumu kerja apa?” : ibuku di rumah gak kerja, beda dengan ibumu kerja di mana? : oh di Mandiri gitu kan ada
kebanggaan tersendiri buat mereka. Saya bekerja juga untuk
prestige.. (Ibu YL)”
Semua responden mengatakan bahwa stres kerja
dan kelelahan yang dirasakan setimpal dengan
kesejahteraan dan income yang diterima. Hal ini
membuat para responden memilih untuk tetap bekerja
pada organisasi perbankan. Namun, jika bekerja
dengan tekanan kerja yang tinggi tetapi tidak menerima
imbalan yang setimpal maka terbuka kemungkinan
bagi responden untuk berpindah dari pekerjaannya.
Berikut pernyataan responden.
“Mungkin kalo ya sudah gajinya sedikit, suruh kerjanya
sampe malem, cuti gak di kasi, uang cuti gak ada ya udah
[Mungkin jika gajinya sedikit dan bekerja hingga malam hari, tidak diberikan cuti dan tidak ada uang cuti maka saya akan
berpindah pekerjaan]..”
Selain itu, dukungan keluarga juga menjadi faktor
penting bagi wanita yang bekerja. Semua responden
47
mengatakan bahwa jika keluarga tidak mendukung
pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih memilih
untuk berpindah pekerjaan. Berikut pernyataan
responden.
“Kalo keluarga tidak mendukung, saya akan keluar ya. Saya
keluar tapi saya mau istilah nego ya, ya bolehlah saya keluar
tapi dengan gaji kamu [gaji suami] apakah sudah mencukupi
semuanya? Tapi apapun yang terjadi, keluarga tetap nomor
1..”
4.3.2 Dosen
Tekanan pekerjaan yang cenderung seasonal dan
belum cukup tinggi berimplikasi terhadap terpenuhinya
keseimbangan antara kepentingan pekerjaan dan
kepentingan keluarga. Oleh sebab itu, para responden
tidak pernah berpikir untuk berpindah ataupun
meninggalkan pekerjaan. Seperti kasus ibu SP dan ibu
ER yang tidak berpikir untuk berpindah pekerjaan
selain karena lingkungan kerja yang menyenangkan
dan pada dasarnya wanita memang harus bekerja, ibu
SP dan ibu ER juga bekerja untuk membantu suami
secara perekonomian, bekerja karena pelayanan dan
menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bagi ibu SP dan
ibu ER, pekerjaan bukan hanya masalah uang tetapi
masalah eksistensi diri. Berikut kutipan responden.
“Sejauh ini belum terpikir ya [belum berpikir berpindah pekerjaan]. Ya saya prioritas pertama memang untuk
membantu suami ya secara perekonomian. Selain itu,
Pekerjaan bagi saya sebenarnya bukan hanya masalah uang, itu juga masalah eksistensi diri ya. Misalkan contoh, saya
sudah sekolah tinggi gitu kan, kalo tidak bekerja saya mau
buat apa? Dan kalo ada orang bilang ini contoh untuk anak-
48
anak ya saya sendiri juga sependapat sebenarnya, paling tidak terlebih kan saya di dunia pendidikan seperti ini kan
anak-anak saya sih harapannya kedepan mudah-mudahan
dia bisa mencontoh ya bahwa belajar juga penting..”
Berbeda dengan kasus ibu SP dan ibu ER, ibu BS
pernah berpikir untuk berpindah pekerjaan. Namun,
keinginan berpindah pekerjaan ini bukan karena
tekanan pekerjaan tetapi karena ibu BS bekerja
terpisah dari suaminya. Pengertian dan dukungan
suamilah yang membuat ibu BS bertahan dalam
pekerjaannya. Berikut kasus ibu BS.
“Dulu waktu saya punya anak baby saya pernah berpikir
mau keluar Karena waktu itu saya pernah mengalami suami
saya kan kerja di Salatiga kan baru 3 tahun ini, Waktu itu
suami saya tidak ada di sini dia di Jogja. saya sempat
bergumul. Saya lebih baik keluar dari sini karena suami saya
di Jogja. Akhirnya suami saya yang memutuskan keluar dan
bekerja di Salatiga. Saya merasa bahwa ini memang yang
Tuhan tempatkan untuk saya..”
Dukungan pasangan hidup (suami) menjadi faktor
terpenting pegawai wanita tetap bertahan dalam
pekerjaannya. Responden mengakui bahwa jika
keluarga (suami) tidak mendukung maka mereka lebih
memilih untuk mengutamakan keluarga dan
meninggalkan pekerjaan, tetapi kondisi seperti ini
membutuhkan banyak syarat. Seperti pernyataan ibu
SP berikut.
“Kalo situasinya misalkan terpaksa misalkan suami saya
tetap tidak mendukung, kemudian juga situasi keluarga saya sudah “ok”, secara ekonomi sudah “ok”, ya sebenarnya sih
bagi saya tidak masalah kalo saya harus melepaskan
pekerjaan tetapi situasi seperti itu pasti membutuhkan banyak syarat..”
49
Seperti yang sudah diungkapkan pada bagian
sebelumnya, pekerjaan di sektor perbankan dengan
tingginya load pekerjaan berimplikasi pada tekanan
kerja yang dialami pegawai, baik tekanan secara
psikologis maupun tekanan. Potensi tingginya tekanan
“Gak cocok kayaknya ya mbak untuk bank. Karena kalo kita
kerja part time misalnya ya, pagi nih kita istirahat nanti sore
kita sampe malam kerja. Jadi gak cocok..(ibu YL)”
“Kayaknya belum cocok ya. Nanti kalo ada yang ganti bingung nanti anak buahnya. Terus saya complain ke teman-teman mungkin akan susah ya. Pimpinannya kan saya jadi kalo demikian ngontrolnya akan susah. Mengkoordinasi
mereka agak susah ya.. (ibu RA)”
Selanjutnya ibu RA menyatakan bahwa sektor
perbankan tidak menerapkan flexible working karena belum
53
adanya peraturan dari kantor pusat untuk serempak
menerapkan rancangan pekerjaan yang fleksibel. Menurut
ibu RA, rancangan pekerjaan yang fleksibel dapat diterapkan
sektor perbankan jika pemberlakuannya dilakukan secara
serempak. Selanjutnya, ibu RA menyatakan bahwa tidak
diterapkannya flexible working di sektor perbankan karena
bank berhubungan dengan instansi yang lain, karena
pelayanan dan tuntutan masyarakat dan berpengaruh
terhadap sektor ekonomi. Berikut pernyataan ibu RA.
“Karena memang dari kantor pusat memang belum ada
kayak flexible time gitu-gitu gak ada ya. Kecuali kalo semua
serempak mungkin bisa ya mbak. Terus karena memang ya
langsung dengan nasabah, keinginan nasabah itu, misalkan
untuk beli bensin beli solar itu kan ada pembayarannya bank
Mandiri. Kalo misalkan itu sampe malem, itu kan langsung nembusnya ke pertamina tuh sistemnya, kan gak mungkin
pertamina kerja malem-malem juga kan makanya karena juga berhubungan dengan instansi yang lain karena orang butuh kita dan mereka butuhnya juga untuk ke tempat lain.
Makanya karena memang tuntutan juga dari masyarakat
kan. Terus juga pengaruhnya ke sektor ekonomi itu pasti
ya..”
Lebih lanjut ibu RA menyatakan sektor perbankan
tidak menerapkan flexible working karena harus
melihat dari sisi kebutuhan masyarakat. Selain itu,
perbankan tidak menerapkan flexible working karena
penyesuaian terhadap mobilitas uang di masyarakat.
Bank Mandiri sebagai salah satu bank terbesar di
Indonesia bahkan membuka layanan Mandiri weekend
di wilayah-wilayah tertentu karena adanya mobilitas
uang di masyarakat. Berikut pernyataan ibu RA.
54
“Kalo di Mandiri kan ada weekend Mandiri juga tapi gak semua cabang. Kalo di Solo biasanya di Slamet Riyadi kalo di
Semarang biasanya di Pahlawan kalo gak salah ya. Jadi
karena di Solo itu ada pasar Klewer, yah di situ kan ada
mobilitas uang itu kan jadi setiap hari pasti ada uang masuk
makanya sabtu itu Mandiri weekend Solo dibuka tapi kalo
disini belum karena gak se-rame di Solo..”
Ibu DA menyatakan bahwa sektor perbankan tidak
menerapkan flexible working karena bank Mandiri
bekerja dengan sistem, berhadapan langsung dengan
nasabah, tergantung bidang pekerjaan dan perbankan
mengikuti jam kerja di Indonesia pada umumnya.
Selain itu, ibu DA menyatakan bahwa untuk
menerapkan flexible working perlu mempertimbangkan
konsekuensi dari fleksibilitas itu sendiri. Berikut
pernyataan ibu DA.
“Tidak bisa ya mbak karena kita berhadapan langsung
dengan nasabah dan bekerja dengan sistem. Terus karena ini sudah bidangnya ya mbak. Ada kantor yang bisa tapi kalo di Mandiri gak mungkin ya karena resikonya juga gak baik bagi
nasabah dan karyawan, resikonya agak banyak..”
“Terus kalo mau fleksibel itu kita liat bidang jasanya apa dulu. Kalo yang di perbankan, di liat jabatannya juga sih, di liat posisinya juga. Kalo saya di frontliner kan gak mungkin.
Trus juga kan juga memang sudah ada patokan kalo di
perbankan kan dari jam 8.00 sampe jam 5.00 sore.
Kemudian karena kebanyakan untuk jam kerja di Indonesia disamakan ya jadi ada hubungannya dengan jam kerja yang
berlaku di Indonesia..”
Selain itu, semua responden mengatakan bahwa
sektor perbankan tidak menerapkan flexible working
karena sektor jam kerja perbankan berkaitan dengan
ketentuan jam kerja Bank Indonesia sebagai bank
perantara. Berikut pernyataan responden.
55
“Kita patokannya kan di jam kerja. Sudah ada aturannya dari jam berapa sampe jam berapa. Kalo kita mau bikin
aturan sendiri kan malah gak lazim karena bank Indonesia
kan juga bukanya sama, jam terbangnya sama. Jam kerjanya
dari jam 8.00, ada yang buka sampe jam 4.00 sore. Karena
kalo kita kirim, kita transfer-transfer kan perantaranya
mereka. Misalnya dari Mandiri transfer ke BCA itu kan lewat dulu BI baru di transfer ke BCA-nya. Nah, kalo misalkan kalo
pihak ketiga ini kita kerjanya malam sementara BI-nya
kerjanya siang kan gak mungkin bisa jalan..”
Ibu YL menyatakan bahwa menerapkan flexible
working di sektor perbankan perlu mempertimbangkan
nasabah karena menerapkan flexible working misalnya
compress week maka akan merugikan nasabah dan
tidak manusiawi bagi karyawan. Selain itu, ibu YL
menyatakan bahwa perbankan tidak fleksibel karena
sudah merupakan konsekuensi. Berikut pernyataan
ibu YL.
“Kalo seperti itu tidak manusiawi [kalau compress week]. Menurutku tidak manusiawi, karena kita akan sangat
kelelahan ya. Dan juga akan merugikan nasabah karena
misalnya yang wiraswata itu kan perputaran uangnya kan
terjadi setiap hari jadi kalo kita tutupnya terlalu lama kasian mereka juga gitu. Jadi harus menyesuaikan dengan mobilitas
dimasyarakat ya. Kalo Mandiri tidak fleksibel karena
memang itu udah konsekuensinya mbak..”
Berbeda dengan sektor perbankan, pekerjaan
sebagai dosen memiliki kelenturan waktu yang
memungkinkan untuk menyeimbangkan antara
kehidupan pekerjaan dan kehidupan keluarga. Semua
responden mengatakan bahwa tugas-tugas di luar
mengajar adalah fleksibel sehingga memungkinkan bagi
mereka untuk menyeimbangkan kepentingan pekerjaan
dan kepentingan keluarga. Tugas-tugas di luar
56
mengajar yang fleksibel menurut responden yaitu
mengoreksi tugas mahasiswa, menyiapkan bahan
mengajar, membaca skripsi ketika menjadi penguji,
melakukan penelitian, dan pengabdian masyarakat
yang bisa diselesaikan atau dilakukan tidak hanya di
kantor tetapi dapat dikerjakan dirumah dengan waktu
yang fleksibel. Berikut pernyataan responden.
“Hal dalam pendidikan yang fleksibel itu yang di luar ngajar kan fleksibel. Contoh, misalkan ketika saya mengoreksi, nah itu kan memang tidak harus, yang pasti kan batas akhir nilai
masuk ya saya tidak terlambat gitu aja. Kemudian yang
kedua yang sedikit fleksibel bagi saya adalah ketika jam
konsultasi atau bimbingan mahasiswa, baik untuk skripsi, proposal dan lain segala macam, pengabdian masyarakat
dan penelitian bisa fleksibel..”
Namun, berbicara masalah pengajaran merupakan
pekerjaan yang tidak fleksibel karena sudah terjadwal
dan harus dijalankan secara bertanggungjawab.
Meskipun dalam kondisi tertentu sebagai pengajar atau
dosen berhalangan untuk memenuhi kewajibannya
dalam mengajar karena kendala tertentu, namun hal
itu terjadi karena situasional seperti harus memenuhi
tugas keluar kota dan ketika anggota keluarga sakit.
Selain karena sudah terjadwal, masalah pengajaran
tidak bisa fleksibel karena dapat merugikan baik pihak
mahasiswa maupun kesulitan mencari waktu dan kelas
pengganti. Berikut pernyataan para responden.
“Kalo untuk pengajaran, bicara tatap muka kita tidak bisa
hindari jadi itu kan hukumnya istilahnya wajib, jamnya,
jadwalnya sudah di tentukan jadi yang itu jelas tidak fleksibel, gak bisa “seenak gue” gitu misalnya gitu pindah
57
hari jam itu gak bisa. Saya pernah kosong mendadak karena
anak saya sakit, saya mengakui itu ataupun saya pribadi
pernah sakit, ataupun ada dapat tugas keluar kota. Tapi itu karena situasi ya dek..”
Meskipun memiliki kelenturan waktu namun
pekerjaan di sektor pendidikan tidak menerapkan
flexible working. Menurut ibu ER organisasi tidak
menerapkan flexible working karena pekerjaan sebagai
dosen merupakan pekerjaan yang sudah fleksibel.
Lebih lanjut ibu ER menyatakan bahwa secara legasi
rancangan jam kerja mengikuti legasi universitas
meskipun pada prakteknya dapat lebih fleksibel dan
untuk menerapkan fleksibilitas perlu
mempertimbangkan konsekuensi sikap individu
terhadap pekerjaannya. Berikut pernyataan ibu ER.
“Selama ini kita juga menurut saya fleksibel ya. Secara
aturan kan kita harus tunduk pada universitas ya.
Universitas kan jam kerjanya jam 8.00 sampai jam 4.00. Jadi
secara legasi kita harus tetap ikut aturan universitas
walaupun nanti secara praktek kita bisa lebih fleksibel. Kan
jam kerja tuh kan harus ikut itu kan, walaupun prakteknya juga fleksibel asalkan pekerjaan kita beres. Tapi sebenarnya
tergantung individunya juga sih kalo individunya memang
kerjaannya beres menurut saya bisa tapi kalo kembali lagi ke
individu kalo dia gak beres nanti kalo di fleksibelkan seperti
itu tambah gak beres..”
Para responden menyatakan bahwa pekerjaan di
institusi pendidikan seperti dosen sudah tergolong
fleksibel dan didukung oleh atasan dan organisasi.
Semua responden menyatakan bahwa pekerjaan
sebagai dosen bukan merupakan pekerjaan yang
fleksibel karena organisasi tidak mengatur secara
58
kakuh pekerjaan dosen yang terpenting adalah
menjalankan tanggungjawab dengan baik. Berikut
kutipan responden.
“Sebenarnya kalo saya merasa lembaga ini menerapkan itu
karena ketika raker ada yang mengusulkan kita harus
presensi pegawai seperti finger nail, pak Rektor sendiri
mengatakan “mau? kalian mau seperti itu? gak kan?”. Jadi sebenarnya kan secara kelembagaan sendiri juga menyadari
bahwa yang penting kan tanggungjawab kita pengajaran
jalan. Pimpinan kami sebenarnya dari dulu sudah mengatakan “kita fleksibel yang jelas asal jangan sampai
mengganggu proses PBM dan tugas di luar ngajar itu juga
selesai sesuai deadline. Bicara koreksi, mau di kantor mau di
rumah, kantor tidak pernah mempermasalahkan yang
penting tanggungjawab selesai..”
Ibu SP menyatakan bahwa untuk fleksibilitas
perlu mempertimbangkan jenis pekerjaan sebab
menurut ibu SP, ada pekerjaan yang bisa diselesaikan
di mana saja dan ada juga pekerjaan yang seharusnya
diselesaikan ditempat kerja misalnya pekerjaan dengan
sistem internal. Berikut pernyataan ibu SP.
“Memang sebagian besar pekerjaan ada yang bisa saya
lakukan di manapun saya bisa melakukannya tetapi ada
juga pekerjaan yang saya tidak bisa lakukan di manapun. Artinya saya harus tetap di situ. Nah itu kalo kita bicara soal
sistem internal dek. Kan kalo kita bicara keuangan di dana
pensiun misalkan, atau keuangan di UKSW, itu kan jaringan
internet tetapi intranet di sini jadi kalo mo mengurus hal-hal
itu ya harus disini, gak bisa di tempat yang lain. Dan ini
bukan bicara fleksibel tidak fleksibel, tapi ini bicara
kerahasiaan data yang memang tidak bisa sembarang orang tau..”
Ibu SP juga menyatakan bahwa pekerjaan sebagai
dosen bukan pekerjaan yang kakuh sebab dosen dalam
proses belajar dan mengajar seringkali berlangsung
59
lebih pagi dan juga pada malam hari. Berikut
pernyataan ibu SP.
“Kami sebagai dosen, kami tidak bisa kakuh, kenapa?
Karena ada jam mengajar dimulai jam 7.00 pagi artinya kami bisa 1 jam lebih cepat bahkan kami bisa mengajar sampe malam. Nah, jadi kadang-kadang realisasinya bisa
lebih dari itu tetapi juga bisa kurang dari itu. Bahkan kalo
bicara jam kerja di UKSW juga setau saya gak kakuh-kakuh amat karena kan bicara jadwal kuliah sangat fleksibel juga..”
Fleksibilitas pada pekerjaan dosen ini pada
dasarnya adalah mengikuti bentuk atau model kerja
standar yaitu pekerjaan dosen mengikuti jadwal dalam
mengajar dan para responden menyatakan bahwa
kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas di luar mengajar
adalah fleksibel. Sifat pekerjaan ini memungkinkan
pekerjaan sebagai dosen bisa dilakukan secara
fleksibel.
4.5 Pembahasan
Realitas yang dihadapi responden yaitu tingginya
load pekerjaan yang berimplikasi terhadap ketegangan
secara psikologis maupun kelelahan fisik. Kondisi kerja
yang stressful ini dapat mengganggu kestabilan emosi
hingga mengganggu kesehatan dan seringkali terbawa
hingga ke kehidupan keluarga. Meskipun pressure
pekerjaan mengintervensi kehidupan keluarga namun
coping keluarga terhadap pressure tersebut dapat
membantu responden untuk mengatasi stres kerjanya.
Jika coping mekanisme tidak sanggup menanggung
60
beban maka mengakibatkan stres kerja. Stres kerja ini
berdampak pada under-performance karyawan terhadap
pekerjaannya dan berpotensi bagi karyawan
berkeputusan untuk stay atau leave terhadap
pekerjaannya. Jika kondisi stres terus menerus
meningkat dan kemudian karyawan berkeputusan
untuk meninggalkan pekerjaannnya, maka hal ini
dapat menjadi persoalan dan kerugian bagi organisasi
seperti biaya yang harus ditanggung dan waktu yang
dihabiskan untuk melakukan rekrutmen, seleksi dan
training untuk mendapatkan karyawan yang
berkualitas.
Tingginya load pekerjaan yang berinteraksi
dengan beban rumah tangga yaitu jika beban pekerjaan
memberi pressure terhadap beban rumah tangga dalam
artian urusan pekerjaan mencampuri urusan keluarga
atau sebaliknya beban rumah tangga memberi pressure