Page 1
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH
Setelah di bagian sebelumnya dijelaskan mengenai jenis-jenis dan definisi serta mekanisme Dana
Perimbangan, maka pada bagian ini kami mencoba untuk memberikan gambaran mengenai
perkembangan pelaksanaan penyaluran transfer ke daerah dan pengaruhnya terhadap APBN.
Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena
masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana
Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan
daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah
karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum
(DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu
daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK)
untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses
terhadap layanan publik. Tabel di bawah ini menggambarkan perkembangan Dana Perimbangan dan
dana Otonomi Khusus yang ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam 6 tahun
terakhir.
Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui
peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan
secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan
pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan
daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.
TABEL 3.1PERKEMBANGAN TRANSFER DAERAH
TAHUN 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010LKPP LKPP LKPP LKPP RAPBN-P RAPBN
I. DANA PERIMBANGAN
143,221.3 222,130.6
243,967.5
278,913.0
285,317.1
292,979.6
Page 2
A. DANA BAGI HASIL
50,479.2 64,900.3
62,942.3
78,618.6
74,083.4
76,586.1
1. Pajak
23,709.6 28,227.1
34,990.4
37,879.0
38,563.3
46,859.3
a. Pajak Penghasilan 5,439.6
6,052.6
7,965.3
9,988.3
8,207.4
13,173.8
b. Pajak Bumi Bangunan 14,935.7
18,994.9
22,584.6
2,251.8
22,811.0
25,217.2
c. BPHtB 3,334.3
3,179.6
4,440.6
5,638.9
6,480.0
7,354.8
d. Cukai 1,065.1
1,113.4
e. Pengembalian DBH Pajak 0.1
2. Sumber Daya Alam
26,769.6 36,673.2
27,951.9
40,739.6
35,520.1
29,726.8
a. Migas 22,633.3
31,635.8
21,978.8
33,094.5
26,390.1
22,214.2
i. Minyak Bumi 12,551.7
18,818.0
12,237.5
18,916.3
13,640.1
11,985.2
ii. Gas Bumi 10,081.6
12,819.9
9,741.3
14,178.2
10,750.0
8,229.0
iii. Kurang salur 2,000.0
2,000.0
b. Pertambangan Umum 2,584.2
3,624.9
4,227.6
6,191.7
7,200.3
5,692.4
c. Kehutanan 1,334.0
1,212.7
1,724.2
1,389.4
800.6
1,543.0
d. Perikanan 218.1
199.7
166.0
64.0
120.0
81.6
e. Pertambangan Panas Bumi
1,009.1
195.5
f. Pengembalian DBH Sumber Daya Alam
B. DANA ALOKASI UMUM
88,765.4 145,664.2
164,787.4
179,507.1
186,414.1
195,805.6
1. DAU Murni 88,765.4
145,664.2
164,787.4
179,507.1
186,414.1
186,950.7
2. DAU tambahan tunjangan profesi guru
8,854.9
C. DANA ALOKASI KHUSUS
3,976.7 11,566.1
16,237.8
20,787.3
24,819.6
20,587.9
II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN
7,242.6
4,049.4
9,296.0
13,718.8
24,255.2
16,818.0
Page 3
A. DANA OTONOMI KHUSUS 1,775.3
3,488.3
4,045.7
7,510.3
9,526.6
8,878.0
B. DANA PENYESUAIAN 5,467.3
561.1
5,250.3
6,208.5
14,728.6
7,940.0
J U M L A H 150,463.9
226,180.0
253,263.5
292,631.8
309,572.3
309,797.6
Belanja lainnya 359,168.5
440,948.7
504,386.4
693,098.9
696,101.3
699,688.1
TOTAL BELANJA NEGARA 509,632.4
667,128.7
757,649.9
985,730.7
1,005,673.6
1,009,485.7
Selama beberapa tahun terakhir, besarnya dana perimbangan yang ditrsanfer ke daerah cenderung
stabil dibandingkan dengan pertumbuhan Anggaran belanja dalam APBN, yaitu di kisaran rata-rata
30%.
GRAFIK 3.1PROPORSI DANA TRANSFER DALAM APBN
TAHUN 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 20100%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Belanja Pemerintah PusatDana transfer
Saat ini Dana Alokasi Umum merupakan komponen yang paling dominan disbanding kompionen-
komponen lainnya dalam dana perimbangan, kemudian diikuti oleh dana bagi hasil, Dana Alokasi
Khusus dan dana penyesuaian & Otonomi khusus.
Page 4
GRAFIK 3.2KOMPOSISI DANA TRANSFER
TAHUN 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 2010 -
50,000.0
100,000.0
150,000.0
200,000.0
250,000.0
300,000.0
350,000.0
PENYESUAIANOTSUSDAKDAUDBH
B. DANA BAGI HASIL
Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada
daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2010 mengacu kepada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat da Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas UU Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005
tentang Dana Perimbangan.
Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah dan daerah
dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil serta
memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan jenis
Page 5
penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Adapun mekanisme
penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yang berhak menerima diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Dalam tahun 2010, arah kebijakan di bidang DBH dititikberatkan untuk
mendukung upaya penyempurnaan mekanisme perhitungan alokasi dan penyaluran ke daerah. Hal
tersebut dilakukan melalui peningkatan koordinasi, baik antarkementerian/lembaga terkait maupun
antara Pemerintah dan daerah, sehingga tuntutan akurasi dan validasi data dapat terpenuhi.
1. DANA BAGI HASIL PAJAK
DBH Pajak meliputi bagi hasil atas penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, PBB,
BPHTB, serta Cukai Hasil Tembakau. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004,
serta Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang
merupakan bagian daerah adalah sebesar 20 persen. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21
dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut dibagi dengan imbangan,
sebesar 60 persen untuk kabupaten/kota dan 40 persen untuk provinsi.
Adapun alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN untuk masing-masing daerah terdiri
atas:
a) alokasi sementara, yang didasarkan atas rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal
25/29 WPOPDN dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan dilaksanakan; serta
b) alokasi definitif, yang didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 25/29 WPOPDN dan ditetapkan paling lambat pada bulan pertama triwulan keempat
tahun anggaran berjalan.
Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN dilaksanakan berdasarkan prognosa
realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN tahun anggaran berjalan secara
triwulanan, dengan rincian sebagai berikut:
a) penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 20
persen dari alokasi sementara; dan
b) penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antara pembagian definitive dengan
jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga.
Selanjutnya, apabila penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga yang
Page 6
didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada pembagian definitifnya, maka
kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta
Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar 90 persen
dari penerimaan PBB (termasuk Biaya Pemungutan (BP) sebesar 9 persen), sedangkan sisanya
sebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah, yang seluruhnya juga dikembalikan lagi kepada
daerah. Adapun proses penetapan DBH PBB untuk masing-masing daerah dilakukan melalui
Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB tahun anggaran yang
bersangkutan. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun
anggaran berjalan.
Secara umum, penyaluran DBH PBB dilakukan dalam tiga mekanisme, yaitu mekanisme untuk (1)
bagian daerah termasuk BPnya; (2) bagian Pemerintah yang dibagikan merata kepada
kabupaten/kota; dan (3) bagian Pemerintah yang dibagikan kepada kabupaten/kota sebagai insentif.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) dan (5) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta Pasal 7
PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas BPHTB ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaan
PHTB, sedangkan sisanya sebesar 20 persen merupakan bagian Pemerintah yang dikembalikan lagi
kepada pemerintah daerah. Adapun proses penetapan DBH BPHTB untuk masing-masing daerah
dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan BPHTB tahun
anggaran yang bersangkutan, sedangkan penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi
penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan. Selanjutnya, penyaluran DBH BPHTB dilakukan melalui
dua mekanisme,yaitu mekanisme untuk: (1) bagian daerah, dan (2) bagian Pemerintah yang
dibagikan merata kepada kabupaten/kota.
Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau
dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 persen (dua persen) yang
digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan industri; (3)
pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau (5) pemberantasan
barang kena cukai ilegal. Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH Cukai Hasil
Tembakau lebih bersifat specific grant, karena penggunaan dananya telah ditentukan.
Selanjutnya, penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian:
Page 7
(a) triwulan pertama sebesar 20 persen dari alokasi sementara;
(b) triwulan kedua sebesar 30 persen dari alokasi sementara;
(c) triwulan ketiga sebesar 30 persen dari alokasi sementara; dan
(d) triwulan keempat sebesar selisih antara alokasi definitive.
Dengan jumlah dana yang telah disalurkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga
yang disalurkan setelah pemerintah daerah penerima DBH Cukai Hasil Tembakau menyampaikan
laporan realisasi pelaksanaan DBH Cukai Hasil Tembakau semester I kepada Menteri Keuangan.
Pada Grafik 3.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH Pajak
tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap
keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50 persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah
yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi
penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing
sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.
GRAFIK 3.3PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH
PER PROVINSI DI INDONESIA *)
TAHUN 2009-2010
Page 8
2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM
Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak
maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan
pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal
25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas
bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga
mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana
Reboisasi (DAK DR).
Sebanyak 20 kabupaten dan kota di Indonesia mendapatkan transfer dana bagi hasil sumber daya
alam dari pemerintah pusat dalam jumlah sangat besar. Bahkan, sangat jauh berbeda dibandingkan
dengan puluhan kabupaten lainnya.
Beberapa kabupatan malah mendapatkan dana bagi hasil triliunan rupiah dari tahun ke tahun. Sebut
saja misalnya Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang mendapatkan bagian dana
Bagi Hasil Rp2,5 triliun pada 2009 atau Kabupaten Bengkalis di Riau yang mendapatkan jatah Rp1,5
triliun.
Ini tak sebanding dengan rata-rata kabupaten paling miskin sumber daya alam, kebanyakan di Jawa
yang cuma memperoleh ratusan juta rupiah per tahun. Contohnya, seperti Kabupatan Gunung Kidul,
Sleman dan Kulon Progo di propinsi Jogjakarta yang masing-masing cuma mendapatkan jatah dana
bagi hasil sumber alam, Rp 144-146 jutaan per tahun.
Kabupaten kaya raya tersebut sebagian besar berlokasi di Kalimantan Timur, sebagian lagi tersebar
di Riau, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dan Papua. Kalimantan Timur menjadi pusat lokasi
pertambangan batu bara, sedangkan Riau dan Kepulauan Riau menjadi tempat pertambangan
minyak dan gas.
Dari Papua ada kabupaten Mimika yang mendapatkan jatah Dana Bagi Hasil Rp440 miliar pada
2009. Wilayah di pegunungan Papua ini mendapatkan dana bagi hasil tertinggi dibandingkan
Page 9
kabupaten lain di Papua lantaran menjadi tempat pertambangan emas dan tembaga oleh PT
Freeport Indonesia.
TABEL 3.2DAFTAR PENERIMA DBH SDA TERBESAR
TAHUN 2009
DAFTAR PENERIMA DBH SDA TERBESAR2009
No. Kabupten Propinsi Bagi Hasil
(Milyar)1 kutai Kertanegara kaltim 25662 Bengkalis Riau 15193 Kutai Timur kaltim 10594 Siak Riau 9935 Rokan Lilir Riau 9116 Musi Banyuasin Sumsel 8587 Kampar kaltim 6798 Kutai Barat kaltim 6709 Pasir kaltim 593
10 Berau kaltim 55311 Bulungan kaltim 48212 Samarinda kaltim 48013 Nunukan kaltim 47814 Panajam Pasir Utara kaltim 47715 Bontang kaltim 47616 Malinau kaltim 46217 Tarakan kaltim 45418 Balikpapan kaltim 44119 Natuna Kep. Riau 44020 Mimika Papua 424
Selanjutnya, pada Grafik 3. 4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang
menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan proporsi
penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar 35,24 persen dan
34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut memang penyumbang
utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang
menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun
2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap
keseluruhan DBH SDA yang sama besarnya yaitu 0,004 persen.
Page 10
GRAFIK 3.4PETA DANA BAGI HASIL SDA DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA *)
TAHUN 2009-2010
C. DANA ALOKASI UMUM
Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk seluruh Provinsi dan Kabupaten/kota. Kecuali Daerah
kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi
provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam
Negeri Netto. Yang dimaksud dengan Pendapatan Dalam Negeri Netto adalah pendapatan dalam
negeri setelah dikurangi dengan penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Proporsi
DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan
proporsi belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.
Sebagai salah satu komponen dalam dana perimbangan yang ditransfer ke Daerah, Dana Alokasi
Umum mengambil porsi yang sangat dominan, seperti yang dapat kita lihat pada tabel. Selain itu
DAU yang dianggarkan dan direalisasikan juga menunjukkan peningkatan yang pesat di setiap
Page 11
tahunnya. Hal ini didorong oleh pemekaran daerah yang terus terjadi selama beberapa tahun
terakhir. Pemekaran ini biasanya menjadikan daerah baru yang belum siap secara finanSial untuk
menghidupi APBDnya menjadi sangat tergantung terhadap Dana perimbangan dari pemerintah
Pusat untuk membiayai administrasinya.
TABEL 3.3PETA KAPASITAS FISKAL PROVINSI
TAHUN 2010 Provinsi 2010
1 NAD Tinggi
2 Sumatera Utara Rendah
3 Sumatera Barat Sedang
4 Riau Tinggi
5 Jambi Sedang
6 Sumatera Selatan Rendah
7 Bengkulu Rendah
8 Lampung Rendah
9DKI Jakarta
Sangat
Tinggi
10 Jawa Barat Rendah
11 Jawa Tengah Rendah
12 DI Yogjakarta Rendah
13 Jawa Timur Rendah
14 Kalimantan Barat Sedang
15Kalimantan
TengahTinggi
16Kalimantan
Selatan
Sangat
Tinggi
17Kalimantan Timur
Sangat
Tinggi
18 Sulawesi Utara Sedang
19 Sulawesi Tengah Rendah
20 Sulawesi Selatan Rendah
21 Sulawesi Tenggara Rendah
22 Bali Sangat
Page 12
Tinggi
23 NTB Rendah
24 NTT Rendah
25 Maluku Rendah
26 Papua Tinggi
27 Maluku Utara Sedang
28 Banten Sedang
29 Bangka Belitung Tinggi
30 Gorontalo Sedang
31Kepulauan Riau
Sangat
Tinggi
32Papua Barat
Sangat
Tinggi
33 Sulawesi Barat Sedang
Sangat Tinggi 6
Tinggi 5
Sedang 8
Rendah 14
Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun terjadi pada DAU, yang terjadi karena peningkatan
rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5 persen pada tahun
2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun 2006-2010. Sejalan dengan
peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam rentang waktu 2005–2010,
realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun
2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar
18,65 persen per tahun.
Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data
dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama,
yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung
berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU
Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut
disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiscal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF
Page 13
tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan
mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Pada Grafik 3.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU tertinggi adalah
daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari total DAU. Dalam kurun
waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant
dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU
Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.
Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah 100
persen.
2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi
bahwapemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan
pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk
wilayah.
3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk
mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya
Williamson Index.
GRAFIK 3.5PETA DANA ALOKASI UMUM *)
TAHUN 2009-2010
Page 14
D. DANA ALOKASI KHUSUS
Peningkatan alokasi belanja untuk Dana Alokasi Khusus juga menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun. Peningkatan Dana Alokasi Khusus antara lain disebabkan oleh
bertambahnya bidang yang dapat dibiayai. Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu
pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih,
serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang
lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana
(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang
perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya,
pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan DAK
Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.
TABEL 3.4BIDANG DANA ALOKASI KHUSUS
TAHUN 2008-2010
11 Bidang DAK pada 2008 13 Bidang DAK pada 2009 14 Bidang pada 2010
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Prasarana Jalan
4. Prasarana Irigasi
5. Prasarana Air minum dan
Lingkungan Kesehatan
6. Kelautan dan Perikanan
7. Prasarana Pertanian
8. Prasarana Pemerintahan
9. Lingkungan Hidup
10. Kependudukan
11. Kehutanan
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Prasarana Jalan
4. Prasarana Irigasi
5. Prasarana Air minum dan
Lingkungan Kesehatan
6. Kelautan dan Perikanan
7. Prasarana Pertanian
8. Prasarana Pemerintahan
9. Lingkungan Hidup
10. Kependudukan
11. Kehutanan
12. Sarana Prasarana
Perdesaan
13. Perdagangan
1. Pendidikan 2. Kesehatan
3. Prasarana Jalan
4. Prasarana Irigasi
5. Prasarana Air minum
6. Lingkungan Kesehatan
7. Kelautan dan Perikanan
8. Prasarana Pertanian
9. Prasarana Pemerintahan
10. Lingkungan Hidup
11. Kependudukan
12. Kehutanan
13. Sarana Prasarana
Perdesaan
14. Perdagangan
Page 15
Selain itu perencaan alokasi DAK juga semakin baik dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan melalui
sasaran alokasi penerima DAK yang sudah jelas yang ditunjukan untuk daerah tertinggal, daerah
ketahanan pangan dan daerah pariwisata.
Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan
menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran alokasi
DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga
terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp20,8
triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun (0,4
persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan
menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu,
dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah
daerah yang menerima DAK. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu
dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32
provinsi pada tahun 2010.
Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada Grafik 3.6 di
bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang
menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi
masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh
daerah.
Page 16
GRAFIK 3.6PETA DANA ALOKASI KHUSUS*)
TAHUN 2009-2010
E. DANA OTONOMI KHUSUS
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikan Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari
DAU nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, yang penggunaannya diutamakan untuk
pendanaan pendidikan dan kesehatan. Kebijakan pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen
dari DAU nasional tersebut juga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk
mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,
pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di samping itu, dalam
rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga
dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakati antara Pemerintah
dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur.
Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun,
Page 17
dengan rincian sebagai berikut:
1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35
Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat.
2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun.
3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4 triliun.
Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat
tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Dana otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi Nangroe Aceh Darrusalam, Papua, dan Papua
Barat, sebelum tahun 2008, hanya Pemerintah Kabupaten/kota yang berhak menerima dana
Otonomi khusus, namun sejak 2008, pemerintah provinsi juga menerimanya. Untuk mengetahui
perkembangan dana yang dialokasikan pada dana otonomi khusus ini dapat kita lihat pada grafik di
bawah ini.
GRAFIK 3.7DANA OTONOMI KHUSUS
TAHUN 2005-2010
2005 2006 2007 2008 2009 20100
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
KabupatenProvinsi
F. DANA PENYESUAIAN
Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa Dana Penyeimbang
kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sehingga
DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian
Page 18
Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya
daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal
dengan prinsip non-hold harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold
harmless telah dihapuskan.
Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu untuk
jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga tahun 2009 dengan
sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD).
Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang
belum mendapatkan tunjangan profesi, besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12
bulan setahun. Dari alokasi anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009
sebesar Rp7,49 triliun hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.
Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan
untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan
Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut merupakan
pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional. Secara umum, Dana
Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi anggaran untuk mendanai kebijakan
tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan untuk mendorong atau menguatkan
desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah.
Dalam grafik 3.8, dapat dilihat bahwa realisasi Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode 2005–
2010 mengalami peningkatan yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3
triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBNP 2010. Peningkatan
ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era
otonomi daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenis Dana Penyesuaian dari tahun ke
tahun.
Page 19
GRAFIK 3.8DANA OTONOMI KHUSUS DAN DANA PENYESUAIAN
TAHUN 2005-2010
BUAT DAFTAR PUSTAKA NYA :
1. Nota keuangan dan RAPBN 2010
2. Nota keuangan dan RAPBN 2011
3. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
4. Bappenas
5. Badan Kebijakan Fiskal