Top Banner
BAB 3 Pemahaman Tentang Kesetaraan dan Keadilan dari Penerapan Kuota 30% Perempuan A. Persepsi Keterwakilan Perempuan Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia politik karena sejumlah rambu-rambu yang didesain untuk menjegal atau menghalangi perempuan tampil sebagai pemimpin publik. Ironisnya sebagian masyarakat menganggap hal ini sebagai bukti ketidakmampuan perempuan bertempur diranah publik. Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia politik merupakan hal yang natural (takdir ketidakmampuan) saja. Tidak ada kesadaran bahwa rendahnya keterwakilan itu karena sejarah keberadaan perempuan sebagai mahkluk yang memiliki hak yang selalu dinafikan (tidak dihitung) oleh kultur atau tradisi maupun oleh struktur sosial-politik. Jika pandangan ini masih betah menetap dalam mindset (pola pikir) bangsa Indonesia maka hak perempuan yang bebas berpartisipasi akan sangat sulit diwujudkan. Karena kondisi tercabutnya hak-hak perempuan Indonesia bukan
72

BAB 3

Nov 07, 2015

Download

Documents

Tommy Andryan

q4tq4t
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB 3

Pemahaman Tentang Kesetaraan dan Keadilan dari Penerapan Kuota 30%

Perempuan

A. Persepsi Keterwakilan Perempuan

Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia politik karena sejumlah

rambu-rambu yang didesain untuk menjegal atau menghalangi perempuan tampil

sebagai pemimpin publik. Ironisnya sebagian masyarakat menganggap hal ini

sebagai bukti ketidakmampuan perempuan bertempur diranah publik. Rendahnya

keterwakilan perempuan di dunia politik merupakan hal yang natural (takdir

ketidakmampuan) saja. Tidak ada kesadaran bahwa rendahnya keterwakilan itu

karena sejarah keberadaan perempuan sebagai mahkluk yang memiliki hak yang

selalu dinafikan (tidak dihitung) oleh kultur atau tradisi maupun oleh struktur

sosial-politik.

Jika pandangan ini masih betah menetap dalam mindset (pola pikir) bangsa

Indonesia maka hak perempuan yang bebas berpartisipasi akan sangat sulit

diwujudkan. Karena kondisi tercabutnya hak-hak perempuan Indonesia bukan

karena tidak ada deretan undang-undang yang memayungi. Problem terbesar

bukan pada undang-undang (beyond konstitusi) tetapi karena hak itu tidak

diberikan atau bahkan dirampas.

Universitas Sumatera Utara

Penting keterwakilan politik bagi perempuan disebabkan masalah

partisipasi politik sangat berkaitan langsung dengan masalah-masalah lainya

dalam kehidupan politik perempuan. Ketika hak politik perempuan terenggut

maka hak-hak lainnya akan mengikuti karena politik adalah ranah yang sangat

fundamental bagi pemenuhan hak-hak yang lainnya. Hal ini pula yang

mengingatka kita bahwa kekejaman politik adalah kekejaman yang paling

menyengsarakan perempuan karena implikasi yang disebabkan sangat besar yaitu

dapat mengilas hak-hak perempuan di bidang lain seperti pendidikan, kesehatan

dan aktivitas sosial lainnya. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu

Dra.Susy Damanik,MM

Ibu Susy Damanik menyatakan bahwa, perempuan memang harus memiliki wakil perempuan dalam parlemen, karena dengan adanya wakil-wakil perempuan di parlemen diharapkan mampu membawa perkembangan baik bagi aspirasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan perempuan terutama aspek politik. Selama ini yang menyebabkan perempuan lambat untuk mengalami kemajuan adalah karena hak-hak politik politik perempua telah terenggut. Hak-hak politik sangat sensitif hubungannya dengan kemajuan aspek kehidupan lainnya bagi perempuan.

Dalam partai politik seringkali perempuan dan kepentingan yang berkaitan

dengan perempuan diabaikan. Anggapan ini berangkat dari persoalan terkait

perempuan bukanlah persoalan penting untuk dipecahkan bahkan tidak dianggap

sebagai persoalan. Pandangan ini berangkat dari pemahaman atau budaya yang

tidak peka terhadap kesetaraan dan keadilan sebagai akibat dari partai politik

merupakan produk kepentingan mayoritas laki-laki. Meskipun dalam struktur

partai ada divisi pemberdayaan perempuan, namun devisi tersebut tidak berjalan

Universitas Sumatera Utara

secara maksimal. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu Ennika Diana,

SE.

Ibu Ennika Diana menyakan bahwa, sekalipun ada divisi pemberdayaan perempuan dalam partai politik, tidak digunakan secara maksimal untuk mengangkat perempuan ke panggung politik. Perempuan pada akhirnya hanya sebagai gincu oleh partai politik untuk mendulang dukungan politik. Ketika pengarustamaan kesetaraan dan keadilan relasi perempuan demikian deras, maka partai politik buru-buru merekrut perempuan sebagai kader semata-mata hanya sebagai tameng atau gincu agar menarik simpati masyarakat.31

A.1 Budaya Masyaratkat

Bukan berangkat dari kepercayaan dan kesadaran bahwa memberdayakan

perempuan berkaitan langsung dengan masa depan bangsa dan berkaitan langsung

dengan masalah-masalah negeri yang terbelakang karena mengabaikan hak warga

negaranya. Perberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan serta keadilan

realasi antara laki-laki dan perempuan merupakan masalah hak asasi manusia dan

ketidakadilan sosial dan karena itu salah apabila dipersepsikan hanya sebagai isu

perempuan saja

Akan tetapi keterwakilan perampuan dilegislatif saja tidak cukup. Fakta

menunjukkan bahwa di Indonesia sering adanya inkensistensi (sifat tidak

konsisten) antara legislatif dan eksekutif. Apa yang diamanatkan oleh legislatif

sebagai wujud keterwakilan rakyat kerap diabaikan oleh eksekutif (pemerintah).

Kondisi ini mengakibatkan pokok-pokok tujuan pembangunan dan perlindungan

hak terabaikan. Dengan demikian keterwakilan perempuan juga jangan

mengabaikan panggung eksekutif.

31 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

1. Adanya Klaim atau Pendapat Yang Mengatakan bahwa Perempuan sebagai Kaum Nomor Dua dan Laki-Laki Sebagai Kaum Nomor Satu

Klaim bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua adalah hal yang tidak

asing untuk didengar oleh semua kalangan, hal ini terjadi karna masih kuatnya

budaya patriarki dan nilai-nilai agama yang cenderung terlihat menyatakan bahwa

perempuan adalah kaum nomor dua dan laki-laki adalah kaum nomor satu

sehingga segala kebijakan yang ada merupakan keputusan dari kaum laki-laki.

Klaim atau anggapan bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua dan

laki-laki sebagai kaum nomor satu bukanlah hambatan bagi Partai Nasional

Indonesia Marhaenisme dalam pemenuhan kuota 30% perempuan pada pemilu

legislatif 2009 yang lalu. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme tidak setuju

adanya klaim bahwa perempuan adalah kaum nomor dua. Pada hakikatnya

manusia itu memiliki hak yang sama serta tidak ada pengkategorisasian nomor

antara kaum laki-laki dan perempuan. Dasar klaim yang mengatakan bahwa

perempuan adalah kaum nomor dua merupakan hal yang sangat tidak masuk

diakal karena dasar untuk menomor duakan kaum perempuan tidak ada. Dan

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme tidak pernah setuju dengan adanya klaim

tersebut. Hal ini sebagai mana yang telah disampaikan oleh Bapak Hitller

Siahaan.

Bapak Hitler menyatakan bahwa, kedudukan antara laki-laki dan perempuan didalam Undang-Undang yang memberi perlindungan secara yuridis di Indonesia adalah sama. Klaim atau anggapan bahwa perempuan adalah kaum nomor dua dan laki-laki sebagai kaum nomor satu adalah budaya yang tertanam dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pemahaman yang salah nilai-nilai ajaran agama dan adapt istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, di mata Negara keberdaan laki-laki dan perempuan adalah sama serta tidak ada

Universitas Sumatera Utara

penggolongan seperti laki-laki sebagai golongan nomer satu sementara perempuan berada pada golongan dua dibawah laki-laki. 32

Bapak Abdul Aziz menyatakan; anggapan tersebut dalam dunia publik sangat salah, karena dalam ruang lingkup publik tidak ada penomorisasian antara kaum perempuan dan laki-laki. Demikian juganya dalam agama dan keluarga perempuan bukan dikatakan sebagai kaum nomor dua namun perempuan adalah pendamping, pelengkap serta penolong bagi laki-laki.

Selain itu klaim yang mengatakan perempuan adalah kaum nomor dua dan

laki-laki adalah kaum nomor satu juga ditentang oleh Ketua Partai Sarikat

Indonesia, anggapan ini juga bukan hambatan bagi Partai untuk memenuhi kuota

30% perempuan dalam pemilu Legislatif 2009 yang lalu. Anggapan tersebut

dalam dunia publik sangat salah, karena dalam ruang lingkup publik tidak ada

penomorisasian antara kaum perempuan dan laki-laki. Demikian juganya dalam

agama dan keluarga perempuan bukan dikatakan sebagai kaum nomor dua namun

perempuan adalah pendamping, pelengkap serta penolong bagi laki-laki.

Anggapan perempuan sebagai kaum nomor dua itu merupakan kultur yang

terbangun dalam masyarakat akibat pandangan masyarakat tentang perempuan

sebagai makhluk yang lemah yang harus di lindungi oleh laki-laki. Hal ini

sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bapak Abdul Azis Nasution.

33

Begitu juga dalam tanggapan klaim perempuan sebagai kaum nomor dua di

dunia politik adalah salah karena hak politik merupakan salah satu hak asasi

manusia jadi tidak ada penomoran akan hak-hak politik antara laki-laki dan

perempuan. Dengan adanya klaim bahwa perempuan merupakan kaum nomor dua

32 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009 33 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis Nasution, di Sekretariat Partai Sarikat Indonesia, pada tanggal: 27 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

dan laki-laki adalah kaum nomor satu maka itu sudah melanggar hak asasi yang

dimiliki kaum perempuan. Namun hal itulah yang terjadi pada perempuan selama

ini dalam segala aspek kehidupan apalagi dibidang politik. Keberadaan

perempuan selalu di nomor duakan dalam pembuatan keputusan dan sering kali

perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting sehingga harapan akan

adanya perempuan dalam suatu tempat dalam pembuatan keputusan akan

membawa perubahan dan kemajuan bagi perempuan tetap tidak tercapai karena

posisi perempuan yang kurang strategis. Hal ini merupakan hambatan bagi partai

politik untuk memenuhi kuota 30% perempuan pada pemilu legislatif 2009 yang

lalu. Hal ini yang sebagaimana telah disampaikan oleh Ibu Ennika Diana.

Ibu Ennika Diana menyatakan secara prinsip klaim perempuan sebagai kaum nomor dua adalah salah karena hak politik merupakan salah satu hak asasi manusia jadi tidak ada penomoran akan hak-hak politik antara laki-laki dan perempuan. Dengan adanya klaim bahwa perempuan merupakan kaum nomor dua dan laki-laki adalah kaum nomor satu maka itu sudah melanggar hak asasi manusia yang dimiliki kaum perempuan. Namun hal itulah yang terjadi pada perempuan selama ini dalam segala aspek kehidupan apalagi dibidang politik. 34

Perempuan sering sekali dijadikan hiasan partai politik dalam mencari

dukungan masyarakat, demikian juga dalam kuota 30% perempuan oleh partai

politik pemilu legislatif 2009 yang lalu. Penempatan perempuan selalu pada

urutan yang kedua atau yang ketiga itu dikarenakan klaim bahwa perempuan

sebagai kaum nomor dua masih sangat melekat dalam masyarakat tidak terkecuali

pada partai politik. Keberadaan perempuan sebagai calon legislatif dalam partai

politik juga tidak jarang hanya sebagai hiasan partai politik serta sebagai

pemenuhan syarat partai untuk mengikuti pemilu 2009 tanpa melihat atau sadar

34 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

bahwa perempuan juga memilki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpolitik.

Hal ini yang sebagaimana telah disampaikan oleh Ibu Ennika Diana.

Ibu Ennika menyatakan, penempatan perempuan selalu pada urutan yang kedua atau yang ketiga itu dikarenakan klaim bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua masih sangat melekat dalam masyarakat tidak terkecuali pada partai politik. Keberadaan perempuan sebagai calon legislatif dalam partai politik juga tidak jarang hanya sebagai hiasan partai politik serta sebagai pemenuhan syarat partai untuk mengikuti pemilu 2009 tanpa melihat atau sadar bahwa perempuan juga memilki hak yang sama dengan laki-laki untuk berpolitik.35

2. Adanya Anggapan yang Mengatakan bahwa Perempuan sebagai Kaum yang Irrasional

Kaum perempuan sudah sangat terkenal akan sifatnya yang irrasional atau

cenderung pada pemikiran yang tidak rasional. Hal ini bisa dikarenakan sifat

perempuan dan tindakan perempuan yang pada umumnya didasarkan pada

perasaan saja. Dengan kata lain dalam pengambilan keputusan perempuan

cenderung berdasarkan pada perasaan dibandingkan dengan logika sehingga

keputusan kaum perempuan sering dianggap tidak rasional.

Tidak selamanya perempuan bersifat irrasional sehingga ini dijadikan

alasan perempuan dianggap tidak tepat menjadi pemimpin sehingga menyudutkan

kaum perempuan pada posisi yang tidak penting. Dan tidak selamnya kaum laki-

laki bersifat rasional untuk dapat memimpin dan membuat serta memberikan

keputusan. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya pemimpin wanita yang sukses

memimpin serta memberikan keputusan yang rasional bagi banyak orang. Sudah

mulainya meningkatnya pendidikan kaum perempuan merupakan faktor yang

35 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

mendukung bahwa kaum perempuan itu tidak selamanya bersifat rasional.

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibu Ennika Diana,SE.

Ibu Ennika menyatakan bahwa, perempuan memang selalu dikatakan iirasional dalam menanggapi suatu hal karena sering sekali perempuan menggunakan perasaan dalam menilai suatui hal. Namuntidak selamanya perempuan bersifat irrasional sehingga ini dijadikan alasan perempuan dianggap tidak tepat menjadi pemimpin sehingga menyudutkan kaum perempuan pada posisi yang tidak penting. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman disertai perkembangan teknologi sudah banyak melahirkan atau menciptakan pola pemikiran yang rasional pada diri perempuan untuk menanggapi suatu hal. Jadi sekarang pendapat perempuan sebagai kaum yang iirasional tidak benar karena sudah banyak perempuan yang mampu memimpin dan membuat keputusan secara rasional dibandingkan laki-laki.36

Ibu Susy Damanik menyatakan bahwa, pada masa sekarang ini dasar apa yang bisa menguatkan kalau perempuan itu bersifat iirasional dari pada laki-laki.. Tingkat pendidikan pengetahuan perempuan sekarang ini sudah seimbang dengan laki-laki, selama ini yang menyebabkan perempuan bersifat irrasional karena masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan perempuan akibat tidak adanya kesetaraan dan keadilan yang diterima oleh kaum perempuan dalam mengembang kemampuannya di bidang pendidikan, ekonomi,budaya dan politik.

Sementara itu Ibu Susy Damanik,MM sangat tidak setuju kaum

perempuan dianggap irrasional dibandingkan dengan laki-laki. Jika hal demikian

terbangun maka pasti tercipta ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi kaum

perempuan. Benar perempuan lebih dominan menggunakan perasaan dalam

memikirkan sesuatu tapi bukan berarti kaum perempuan tidak bisa bertindak dan

berfikir serta membuat keputusan secara rasional. Sekarang ini justru lebih

banyaknya laki-laki yang bersifat iirasional dibandingkan dengan kaum

perempuan dalam membuat keputusan.

37

36 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009 37 Wawancara dengan Ibu Dra.Susy Damanik,MM, Aktivis perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, di kantor Sekretariat PNI Marhaenisme Medan, pada tanggal : 20 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih

posisi strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif, namun iklim yang ada

kurang kondusif untuk saat ini. Masih terdapat waktu yang cukup untuk

mempersiapkan diri bagi perempuan agar lebih matang memasuki dunia politik.

Biasanya para aktivis perempuan segera mundur dari kancah politi, ketika hati

nurani mereka tidak bisa memahami intrik internal partai politik yang cenderung

tajam, sehingga pada dasarnya menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat

mereka, dan cenderung menjauh dari kegiatan politik praktis. Perempuan bukan

berarti tidak memahami kegiatan politik, namun kematangan yang dimaksud

disini adalah baru dalam kapasitas keterwakilan formal saja, belum merupakan

representasi wajah perempuan sesunguhnya. Dengan demikian dimulai dari isu-

isu strategis sampai dengan program-program yang mengikat dalam sebuah

sinergi memperjuangkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan dan akses

mereka pada pengambilan keputusan di semua tingkat. Dan hal ini juga berarti

karena sifat perempuan yang irrasional maka perempuan dianggap tidak tepat untuk memimpin dan perempuan disudutkan dalam posisi tidak penting dalam politik. Hal ini

sebagaimana disampaikan Bapak Hitler Siahaan.

Bapak Hitler Siahaan menyatakan pada dasarnya perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi strategis di parlemen maupun sebagai eksekutif, namun iklim yang ada kurang kondusif untuk saat ini. Masih terdapat waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri bagi perempuan agar lebih matang memasuki dunia politik. Biasanya para aktivis perempuan segera mundur dari kancah politik, ketika hati nurani mereka tidak bisa memahami intrik internal partai politik yang cenderung tajam, sehingga pada dasarnya menyadari bahwa berpolitik itu bukan habitat mereka, dan cenderung menjauh dari kegiatan politik praktis. Perempuan bukan berarti tidak memahami kegiatan politik, namun kematangan yang dimaksud disini adalah baru dalam kapasitas keterwakilan formal saja, belum merupakan representasi wajah perempuan sesunguhnya..38

38 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Laki-laki tidak selamanya bersifat rasional, dan perempuan tidak

selamanya juga bersifat irrasional. Perempuan lebih cenderung menggunakan

perasaan akan tetapi bukan berarti itu menjadi anggapan perempuan tidak mampu

untuk memimpin atau bahkan masuk kedalam dunia politik. Justru sekarang

perempuan dapat kita katakan lebih rasional dibandingakan laki-laki, dimana

banyaknya perempuan yang sudah mampu jadi pemimpin di beberapa negara

besar dan maju tidak terkecuali di Indonesia (pada pemerintahan Megawati). Dari

nilai-nilai agama perempuan tidak boleh jadi pemimpin (hal-hal tertentu) bukan

karena sifatnya yang irrasional. Akan tetapi kodrat wanita yang telah ditetapkan

oleh Tuhan sebagai penolong dan pendamping bagi kaum laki-laki. Hal ini

sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bapa Abdul Azis Nasution.

Bapak Abdul menyatakan bahwa, laki-laki tidak selamanya bersifat rasional, dan perempuan tidak selamanya juga bersifat irrasional. Perempuan lebih cenderung menggunakan perasaan akan tetapi bukan berarti itu menjadi anggapan perempuan tidak mampu untuk memimpin atau bahkan masuk kedalam dunia politik. Dari nilai-nilai agama perempuan tidak boleh jadi pemimpin (hal-hal tertentu) bukan karena sifatnya yang irrasional. Akan tetapi kodrat wanita yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai penolong dan pendamping bagi kaum laki- laki.39

3. Adanya Streotip bahwa Dunia Politik Milik Kaum Laki-Laki

Kerap kali masih kita dengar bahwa dunia politik merupakan dunia kaum

laki-laki sehinggga laki-laki yang dianggap patut mendominasi dan

memformulasikan aturan main dunia politik. Perempuan dianggap tidak mampu

untuk masuk kedalam dunia politik sehingga politik bukanlah dunianya kaum

perempuan.

39 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis Nasution, di Sekretariat Partai Sarikat Indonesia, pada tanggal: 27 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Menanggapi hal ini Partai Nasional Indonesia Marhaenisme tidak sepakat,

karena politik adalah milik semua kalangan dunia politik tidak mengenal

pembedaan yang berdasarkan usia,jenis kelamin, pekerjaan, serta pendidikan. Jadi

perempuan sebagai manusia yang memiliki hak politik dapat terjun kedalam dunia

politik serta dapat memformulasikan aturan main dalam dunia politik tersebut.

Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bapak Hitler Siahaan.

Bapak Hitler Siahaan menyatakan bahwa, Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori femenisme sesungguhnya tidak lagi ada pembedaan antaralaki-laki dan perempuan . Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisir dan di mobilisasi atas nama demokrasi. politik adalah milik semua kalangan dunia politik tidak mengenal pembedaan yang berdasarkan usia,jenis kelamin, pekerjaan, serta pendidikan.40

Ibu Susy Damanik menyatakan bahwa, perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki sehingga streotip bahwa politik merupakan milik kaum laki-laki adalah salah. Karena perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bepolitik yang telah diatur oleh undang-undang.

Perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki sehingga

streotip bahwa politik merupakan milik kaum laki-laki adalah salah. Karena

perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bepolitik yang

telah diatur oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana yang telah disampaikan

oleh Ibu Dra.Susy Damanik,MM

41

Partai Sarikat Indonesia berpendapat tidak dasar yang kuat yang menyatakan

politik itu adalah dunia kaum laki-laki sehingga ada larangan bagi kaum

40 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009 41 Wawancara dengan Ibu Dra.Susy Damanik,MM, Aktivis perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, di kantor Sekretariat PNI Marhaenisme Medan, pada tanggal : 20 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

perempuan untuk masuk kedalam dunia politik. Akan tetapi image atau gambaran

perempuan yang identik dengan lemah lembut yang kadang melahirkan

pandangan bahwa politik bukanlah dunianya kaum perempuan karena dunia

politik yang sarat dengan kekerasan dan tidak kenal waktu. Sementara kaum

perempuan sendiri sangatlah terbatas memiliki waktu untuk terjun secara total

kedalam dunia politik. Hal ini disebabkan perempuan tetap harus berikan

waktunya untuk mengurus keluarga.

Hal yang sama diungkapakan oleh Ibu Ennika Diana bahwa perempuan

tidak bisa terjun secara total kedalam dunia politik karena perempuan harus tetap

memberikan atau menyediakan waktunya untuk mengurus akan keperluan

keluarganya. Serta gambaran yang buruk apabila seorang perempuan memberikan

waktunya penuh untuk berpolitik tampan memperdulikan keluarga. Jadi politik di

identikkan dengan kaum laki-laki karena laki-laki memiliki banyak waktu untuk

bisa terjun secara total kedalam dunia politik sehingga timbul streotip bahwa

politik merupakan dunia laki-laki. Walaupun sesungguhnya politik juga dunia

bagi kaum perempuan.

Ibu Ennika Diana menyatakan bahwa politik bukanlah dunia milik kaum laki- laki karena perempuan dan laki-laki memiliki hak dan peranan yang sama dalam politik. Akan tetapi yang sering menjadi persoalan bagi perempuan adalah ketika perempuan tidak bisa terjun secara total kedalam dunia politik karena perempuan harus tetap memberikan atau menyediakan waktunya untuk mengurus akan keperluan keluarganya. Pencitraan ibu rumah tangga yang baik dan tidak baik membawa persoalan tersendiri bagi para perempuan untuk masuk kedalam dunia politik. 42 A.2 Analisis Hambatan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia dalam Memenuhi Kuota 30% Perempuan

42 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Pada pemilu legislatif 2009 yang lalu Partai Nasional Indonesia

Marhaenisme sebagai salah satu partai peserta pemilu tidak memenuhi kuota 30%

perempuan yang merupakan syarat untuk mengikuti pemilu seperti pada dapem 1

dan pada dapem lainya jumlah perempuan tidak sepenuhnya 30%. Dalam

pemenuhan kuota tersebut Partai Nasional Indonesia Marhaenisme mengalami

hambatan-hambatan seperti yang disampaikan oleh Bapak Hitler Siahaan sebagai

berikut:

1. Besarnya biaya administrasi dalam pengurusan syarat pencalonan sebagai

peserta calon legislatif. Seperti pengurusan surat keterangan dari

kepolisian, rumah sakit, pengadilan dan lain sebagainya. Sementara Partai

PNI Marhaenisme sendiri tidak mempunyai alokasi dana untuk itu

2. Selain dari biaya administrasi yang besar, keluarga juga merupakan

hambatan bagi PNI dalam memenuhi kuota 30% perempuan dalam pemilu

legislatif yang lalu. Hal ini ketika kader perempuan dianggap mampu

untuk maju sebagai calon legislatif, izin dan dukungan keluarga sangat

sulit di dapat oleh perempuan apa lagi bila perempuan tersebut sudah

menikah maka izin dan dukungan suami merupakan penentu bagi

perempuan untuk dapat ikut sebagai calon legislatif.

3. Hambatan yang paling sering dialami semua partai politik termasuk PNI

Marhaenisme yaitu belum siapnya perempuan bersaing kemampuan baik

secara pengetahuan dan finansial/materi.

Bapak Hitler menyatakan, hambatan yang dihadapai PNI dalam pemenuhan kuota 30% perempuan pada pemilu 2009 yang lalu yaitu besarnya biaya administrasi dalam pengurusan syarat pencalonan sebagai peserta calon legislatif. Seperti pengurusan surat keterangan dari kepolisian, rumah sakit, pengadilan dan

Universitas Sumatera Utara

lain sebagainya. Sementara Partai PNI Marhaenisme sendiri tidak mempunyai alokasi dana untuk itu Selain dari biaya administrasi yang besar, keluarga juga merupakan hambatan bagi PNI dalam memenuhi kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif yang lalu. Hal ini ketika kader perempuan dianggap mampu untuk maju sebagai calon legislatif, izin dan dukungan keluarga sangat sulit di dapat oleh perempuan apa lagi bila perempuan tersebut sudah menikah maka izin dan dukungan suami merupakan penentu bagi perempuan untuk dapat ikut sebagai calon legislatif. Hambatan yang paling sering dialami semua partai politik termasuk PNI Marhaenisme yaitu belum siapnya perempuan bersaing kemampuan baik secara pengetahuan dan finansial/materi.43

1. Kurangnya dukungan secara penuh dari partai politik yang bersangkutan

Oleh sebab itu parpol harus mengubah perspektifnya menjadi kesetaraan

dan keadilan gender, mempersiapkan kader-kader yang berkualitas, antara

lain dengan pendidikan politik yang berperspektif gender.

Sementara itu hambatan-hambatan yang datang dari dalam diri perempuan

juga menjadi hambatan bagi PNI Marhaenisme dalam memenuhi kuota 30%

perempuan pada pemilu legislatif yang lalu. Adapun yang menjadi hambatan dari

dalam perempuan itu sendiri seperti yang dikatakan oleh Ibu Susy Damanik yaitu:

2. Tuntutan kualitas pada calon legislatif perempuan lebih ditonjolkan.

3. Selama ini masyarakat selalu menyaksikan prilaku politik yang cenderung

brutal, kurang beradab, serta kotor.

4. Sebagaimana dikatakan, hambatan besar lain akan dihadapi perempuan

calon legislatif adalah dana kampanye. Sebagian besar perempuan

mengahadapi masalah dana disebabkan bila status perempuan sudah

berkeluarga maka dalam pengelolaan/penggunaan keuangan perempuan

harus mendapatkan izin suami atau harus sepengetahuan suami.

43 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Ibu Susy Damanik menyatakan adanya hambatan yang muncul dalam diri perempuan disebabkan karena kurangnya dukungan secara penuh dari partai politik yang bersangkutan Oleh sebab itu parpol harus mengubah perspektifnya menjadi kesetaraan dan keadilan gender, mempersiapkan kader-kader yang berkualitas, antara lain dengan pendidikan politik yang berperspektif gender. Tuntutan kualitas pada calon legislatif perempuan lebih ditonjolkan. Selama ini masyarakat selalu menyaksikan prilaku politik yang cenderung brutal, kurang beradab, serta kotor. Sebagaimana dikatakan, hambatan besar lain akan dihadapi perempuan calon legislatif adalah dana kampanye. Sebagian besar perempuan mengahadapi masalah dana disebabkan bila status perempuan sudah berkeluarga maka dalam pengelolaan/penggunaan keuangan perempuan harus mendapatkan izin suami atau harus sepengetahuan suami44

1. Calon legislatif harus setia kepada Pancasila dan mengerti akan nilai-

nilai yang terkandung dalam Pancasila

Dalam melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu 2009 yang

lalu ada beberepa kriteria yang harus dipenuhi calon legislatif perempuan yang

nantinya akan diusung oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Kriteria

tersebut adalah :

2. Setia dan mengerti akan makna Ideologi Marhaenisme

3. Setia dan loyal kepada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

4. Bersedia mengikuti dan displin akan peraturan yang telah ditetapkan

partai sesuai AD/RT

5. Dikenal oleh masyarakat luas

6. Aktif berpartisipasi dalam kegiatan yang ada dalam masyarakat

Dan dalam melakukan perekrutan yang diutamakan adalah kader-kader

perempuan yang merupakan anggota dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

sendiri karena sudah mengerti dan mengetahui ideologi visi-misi, peraturan yang

44 Wawancara dengan Ibu Dra.Susy Damanik,MM, Aktivis perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, di kantor Sekretariat PNI Marhaenisme Medan, pada tanggal : 20 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

anut partai. Dan partai sendiri sudah mengetahui akan batas kemampuan kader-

kadernya.

Namun Partai Nasional Indonesia juga melakukan perekrut calon anggota

legislatif diluar dari anggota atau kader partai. Hal ini dilakukan karena kader-

kader yang ada dalam Partai Nasional Indonesia sendiri tidak mencukupi 30%

kuota perempuan dalam mengikuti pemilu 2009 yang lalu. Perekrutan tersebut

dilakukan melalui seleksi dari setiap anak ranting berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan. Kemudian setelah seleksi yang dilakukan oleh anak ranting maka akan

diseleksi lagi ditingkatan anak cabang. Setelah penyeleksian di tingkat anak

cabang kemudia dilanjutkan penyeleksian di tingkat DPD atau DPW. Hal ini

sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Hitler Siahaan.

Bapak Hitler menyatakan bahwa, Partai Nasional Indonesia juga melakukan perekrut calon anggota legislatif diluar dari anggota atau kader partai. Hal ini dilakukan karena kader-kader yang ada dalam Partai Nasional Indonesia sendiri tidak mencukupi 30% kuota perempuan dalam mengikuti pemilu 2009 yang lalu45

Menurut Bapak Abdul Azis, hambatan yang dihadapi Partai Sarikat

Indonesia dalam pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif 2009

lalu yaitu minimnya sumber daya perempuan yang memiliki kemampuan dari

kualifikasi yang ada, Kemudian didalam Partai Sarikat Indonesia sendiri masih

sangat minim figur atau sosok perempuan yang terkenal sehingga bisa menarik

Yang berhak menentukan layak tidaknya calon legislatif untuk maju

bersaing sebagai calon legislatif di tingkat provinsi dan ditingkat kanupaten/kota

adalah panitia perekrutan di tingkat DPD atau DPW.

45 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

kader-kader perempuan yang berkompeten dalam politik. Dan hambatan yang

ditemui Partai Serikat Indonesia dari dalam perempuan sendiri yaitu: masih

adanya pandangan kaum perempuan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia

kaum laki-laki sehingga perempuan tidak layak untuk memasuki dunia politik,

dan hambatan yang paling sering dihadapi dan membudaya dalam diri perempuan

adalah keluarga. Dimana bila perempuan sudah berkeluarga secara agama

perempuan akan dipimpin oleh laki-laki dan segala kegiatan perempuan harus

mendapat persetujuan oleh suami.

Bapak Abdul Azis menyatakan hambatan yang dihadapi Partai Sarikat Indonesia dalam pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif 2009 lalu yaitu minimnya sumber daya perempuan yang memiliki kemampuan dari kualifikasi yang ada, Kemudian didalam Partai Sarikat Indonesia sendiri masih sangat minim figur atau sosok perempuan yang terkenal sehingga bisa menarik kader-kader perempuan yang berkompeten dalam politik. Dan hambatan yang ditemui Partai Serikat Indonesia dari dalam perempuan sendiri yaitu: masih adanya pandangan kaum perempuan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia kaum laki-laki sehingga perempuan tidak layak untuk memasuki dunia politik, dan hambatan yang paling sering dihadapi dan membudaya dalam diri perempuan adalah keluarga. Dimana bila perempuan sudah berkeluarga secara agama perempuan akan dipimpin oleh laki-laki dan segala kegiatan perempuan harus mendapat persetujuan oleh suami.46

1. Rendahnya jumlah perempuan dalam kepengurusan partai di berbagai

tingkatan. Hal ini menyebabkan rendahnya posisi tawar perempuan dalam

proses pengambilan keputusan internal partai. (Keterlibatan kaum

Adapun yang menjadi hambatan bagi Partai Sarikat Indonesia dalam

pemenuhan kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif 2009 yang lalu

menurut Ibu Ennika Diana adalah:

46 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis Nasution, di Sekretariat Partai Sarikat Indonesia, pada tanggal: 27 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

perempuan dalam struktur kepengurusan DPC Medan tahun 2005-2010

masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah pengurus yang

ada.)

2. Belum adanya tindakan afirmatif internal partai politik untuk

perempuan.(Partai Politik belum banyak mengakomodasikan kepentingan

kaum perempuan.)

3. Ketrampilan politik politisi perempuan yang masih rendah sehingga kurang

sensitif terhadap perkembangan situasi politik, termasuk dinamika di

internal partai, kurang mampu melakukan lobi dan cenderung tidak asertif

dalam membela kepentingannya.

4. Kerap terjadi soliditas sesama perempuan di internal partai yang rendah,

menyebabkan kelompok perempuan mudah dikendalikan dan tidak saling

menjaga. Hal ini terlihat misalnya dalam masa pencalegan.

5. Kurang bekerjanya dengan efektif bidang pemberdayaan perempuan di

partai disebabkan berbagai hal. Misalnya tidak memahami tugas, tidak

memahami kepentingan perempuan seperti apa yang harus diperjuangkan,

tidak mampu melakukan negosiasi dengan pengurus lain yang laki-laki,

bahkan ada kasus tidak didukung oleh sesama perempuan di partainya.

6. Persaingan antara bidang perempuan dalam struktur kepengurusan partai

dengan sayap perempuan partai, terutama dalam hal akses ke pimpinan

tertinggi partai.

7. Basis sosial politik yang belum kuat dan tidak terbangun dengan baik. Hal

ini terkait dengan latar belakang rekrutmen perempuan terlibat dalam partai.

Universitas Sumatera Utara

Situasi ini berpengaruh pada kemampuan mengelola jaringan dan konstituen

yang dibutuhkan pada saat pencalegan dan pemilu.

Ibu Enika Diana menyatakan bahwa hambatan yang dihadapai Partai Sarikat dalam memenuhi kuota 30% perempuan adalah: 1.Rendahnya jumlah perempuan dalam kepengurusan partai di berbagai tingkatan. Hal ini menyebabkan rendahnya posisi tawar perempuan dalam proses pengambilan keputusan internal partai. (Keterlibatan kaum perempuan dalam struktur kepengurusan DPC Medan tahun 2005-2010 masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan total jumlah pengurus yang ada), 2.belum adanya tindakan afirmatif internal partai politik untuk perempuan.( Partai Politik belum banyak mengakomodasikan kepentingan kaum perempuan), 3.ketrampilan politik politisi perempuan yang masih rendah sehingga kurang sensitif terhadap perkembangan situasi politik, termasuk dinamika di internal partai, kurang mampu melakukan lobi dan cenderung tidak asertif dalam membela kepentingannya, 4.kerap terjadi soliditas sesama perempuan di internal partai yang rendah, menyebabkan kelompok perempuan mudah dikendalikan dan tidak saling menjaga. Hal ini terlihat misalnya dalam masa pencalegan, 5.kurang bekerjanya dengan efektif bidang pemberdayaan perempuan di partai disebabkan berbagai hal. Misalnya tidak memahami tugas, tidak memahami kepentingan perempuan seperti apa yang harus diperjuangkan, tidak mampu melakukan negosiasi dengan pengurus lain yang laki-laki, bahkan ada kasus tidak didukung oleh sesama perempuan di partainya, 6.persaingan antara bidang perempuan dalam struktur kepengurusan partai dengan sayap perempuan partai, terutama dalam hal akses ke pimpinan tertinggi partai, 7.basis sosial politik yang belum kuat dan tidak terbangun dengan baik. Hal ini terkait dengan latar belakang rekrutmen perempuan terlibat dalam partai. Situasi ini berpengaruh pada kemampuan mengelola jaringan dan konstituen yang dibutuhkan pada saat pencalegan dan pemilu.47

47 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Sementara itu menurut Ibu Enika Diana hambatan yang muncul dalam diri

perempuan untuk terjun kedalan dunia politik adalah perempuan belum memiliki

kompetensi untuk bersaing dengan laki-laki. Adapun yang harus dimiliki oleh

wanita yang memilih untuk terjun di dunia politik, harus memiliki kompentensi

sebagai berikut:

a. Kompetensi Umum

Universitas Sumatera Utara

1. Memiliki kekuatan ruhiyah dan kesiapan untuk meningkatkan

ruhiyah secara kontinyu

2. Memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial

3. Memiliki kemampuan untuk belajar cepat

4. Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan publik

5. memiliki kesehatan dan sistem pendukung yang memadai

b. Kompetensi Khusus

1. Memiliki ketrampilan reading speed (kemampuan membaca akan

keadaaan yang ada di sekitarnya)

2. Kemampuan lobby

3. Memiliki kemampuan gender budgeting (dana)

Ibu Enika nenyatakan bahwa kompetisi umum yang harus dimiliki perempuan untuk terjun sebagai calon legislatif yaitu: kompetensi umum; memiliki kekuatan ruhiyah dan kesiapan untuk meningkatkan ruhiyah secara kontinyu, memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, memiliki kemampuan untuk belajar cepat, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan publik,memiliki kesehatan dan sistem pendukung yang memadai. Kemudian kompetensi khusus; memiliki ketrampilan reading speed (kemampuan membaca akan keadaaan yang ada di sekitarnya), kemampuan lobby, memiliki kemampuan gender budgeting (dana).48

B. Persepsi Tentang Kesetaraan dan Keadilan Oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Serikat Indonesia

Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme, dalam mengusung keterwakilan

perempuan di parlemen dalam platformnya menyatakan bahwa persamaan hak

perempuan mesti diwujudkan secara hukum, sosial, ekonomi dan politik.

48 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

Kesempatan yang sama mesti diberikan kepada perempuan untuk berkecimpung

di segala lapangan kehidupan, dan meyakini perlunya keadilan gender, serta

memperjuangkan peningkatan keterwakilan perempuan di segala lapangan

kehidupan.

Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda

terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki

akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh

manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi

berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan

memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan

hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh

untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga

memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan. Sekarang di bidang politik

setiap partai politik agar menjadi perserta pemilu harus memenuhi kuota 30%

perempuan untuk mencapai kesetaran dan keadilan. Hal ini yang sebagaimana

telah disampaikan oleh Bapak Hitler Siahaan.

Bapak Hitler menyatakan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki- laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.49

Kesetaraan dan keadilan bagi keterwakilan perempuan menurut Ibu Susy

Damanik adalah perempuan mendapatkan kesamaan kondisi bagi laki-laki dan

49 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,

agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,

sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas),

serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan juga

meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap

laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan berarti tidak ada pembakuan peran,

beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan

maupun laki-laki.

Ibu Susy Damanik menyatakan bahwa, kesetaraan dan keadilan perempuan adalah tidak adanya pembedaan dalam pembagian kewajiban dan hak antara laki- laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan. Kesetaraan dan keadilan yang belum dirasakan sepenuhnya oleh kaum perempuan dalam pembangunan bangsa karena kesetaraan dan keadilan selama ini hanya sebatas isu. Belum ada usaha tindakan yang benar-benar mewujudkan kesetaraan dan keadilan perempuan dari undang-undang yang menyatakan bahwa peempuan dan laki-laki sama dalam segala aspek kehidupan.50

Ibu Susy menyatakan, publik harus mendorong para kader perempuan untuk masuk mengambil kesempatan berpolitik. Arus utama jender (gender

Selanjutnya menurut Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme, publik harus

mendorong para kader perempuan untuk masuk mengambil kesempatan

berpolitik. Arus utama jender (gender mainstream) hampir tidak memiliki strategi

dalam mengusung agenda mereka secara jelas, siapa yang maju dan apa yang akan

diusung atau dititipkan kepada partai politik. Hal ini terjadi karena tidak adanya

komunikasi politik yang bagus baik dari para aktivis perempuan itu sendiri. Untuk

itu, perempuan bisa menitipkan agenda-agenda mereka kepada partai politik,

dengan stategi meningkatkan posisi tawar yang cukup. Hal ini yang sebagaimana

telah disampaikan oleh Ibu Dra.Susy Damanik,MM

50 Wawancara dengan Ibu Dra.Susy Damanik,MM, Aktivis perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, di kantor Sekretariat PNI Marhaenisme Medan, pada tanggal : 20 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

mainstream) hampir tidak memiliki strategi dalam mengusung agenda mereka secara jelas, siapa yang maju dan apa yang akan diusung atau dititipkan kepada partai politik. Hal ini terjadi karena tidak adanya komunikasi politik yang bagus baik dari para aktivis perempuan itu sendiri.51

Sedangkan pandangan diskriminatif berawal dari penolakan pandangan

bahwa perempuan hanya dinilai dari sekedar jumlah (kuantitatif) dan maka dari

itu berhak memperoleh kuota. Mereka juga menegaskan agar perempuan dinilai

dari sudut pandang kualitas, bukan kuantitas. Partai Sarikat Indonesia dalam hal

ini meyakini bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara, dengan

Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme menyediakan dirinya untuk

menggabungkan dengan pada elemen-elemen perjuangan isu-isu perempuan dan

representasi perempuan di parlemen, dan membuka diri untuk memperoleh

masukan-masukan dair masyarakat khususnya berupa agenda politik perempuan

untuk diperjuangkan bersama di parlemen.

Dengan disahkannya UU pemilu yang menyertakan aspirasi kaum

perempuan pada pasal 8 ayat d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,

tercantum setiap partai politik menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-

kurangnya 30%. Banyak kalangan yang optimis dan bersemangat. Sebagaimana

juga banyak yang pesimis dan bahkan justru merasa ini adalah sebuah perlakuan

diskriminatif. Mereka yang optimis memandang bahwa ini adalah salah satu

bentuk affirmative policy untuk mendukung peningkatan partisipasi politik

perempuan sebagai bentuk upaya pencapaian kesetaraan dan keadilan bagi

perempuan.

51 Wawancara dengan Ibu Dra.Susy Damanik,MM, Aktivis perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, di kantor Sekretariat PNI Marhaenisme Medan, pada tanggal : 20 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

tentu saja memperhatikan fitrahnya masing-masing. Keduanya mengemban

amanah ibadah dan juga amanah khilafah. Maka diharapkan keduanya

bekerjasama dengan solid untuk saling melengkapi, karena keduanya memiliki

kelebihan dan dan kekurangan masing-masing. Hal ini sebagaimana disampaikan

oleh Bapak Abdul Azis Nasution.

Bapak Abdul Azis Nasution menyatakan Partai Sarikat Indonesia dalam hal ini meyakini bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara, dengan tentu saja memperhatikan fitrahnya masing-masing. Kesetaraan perempuan dalam kehidupan public sangat penting dan harus dihargai sebagai kemampuan perempuan untuk memimpin. Akan tetapi dalam keluarga perempuan harus kembali memposisikan dirinya sesuai dengan ajaran agama yang merupakan wahyu Tuhan.Keduanya baik laki-laki dan perempuan harus mampu mengemban amanah ibadah dan juga amanah khilafah..52

Ibu Enika Diana menyatakan, tuntutan kesetaraan dan keadilan gender dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya gencar memperjuangkan terciptanya kesetaraan dalam status sosial ekonomi, tapi juga menuntut kesetaraan dan keadilan dalam bidang politik. Pergeseran tersebut sangat strategis melihat

Tuntutan kesetaraan dan keadilan gender dalam beberapa tahun

belakangan ini tidak hanya gencar memperjuangkan terciptanya kesetaraan dan

keadilan dalam status sosial ekonomi, tapi juga menuntut keadilan dalam bidang

politik. Pergeseran tersebut sangat strategis melihat secara teoritis aspek politik

berperan besar untuk mempengaruhi aspek-aspek yang lain. Kaum perempuan

ingin 'bermain' dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa

melalui bidang politiklah segala kebijakan yang bersentuhan dengan masalah

publik dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan

harus merubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi

dalam pembuatan kebijakan. Hal ini sebagaimana yang disampai oleh Ibu Ennika

Diana.SE.

52 Wawancara dengan Bapak Abdul Azis Nasution, di Sekretariat Partai Sarikat Indonesia, pada tanggal: 27 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

secara teoritis aspek politik berperan besar untuk mempengaruhi aspek-aspek yang lain.53

Ibu Ennika berpendapat bahwa kuota tersebut mengukuhkan kesubordinasian kaum perempuan. Dari kaum perempuan sendiri, walaupun menyambut dengan gembira kuota ini, tetapi tetap merasakan bahwa perjuangan masih panjang. Partai politik sendiri tidak terlalu merespon adanya kuota.

Partai Sarikat Indonesia tidak hanya terpaku pada gerakan kuota bagi calon

legislative perempuan, tapi telah mewujudkannya secara demokratis dalam

pemilihan umum internal partai untuk menentukan para calon legislatif dalam

pencapaian kesetaraan dan keadilan perempuan di dunia politik. Lebih lanjut lagi

Ibu Ennika Diana berpendapat bahwa kuota tersebut mengukuhkan

kesubordinasian kaum perempuan. Dari kaum perempuan sendiri, walaupun

menyambut dengan gembira kuota ini, tetapi tetap merasakan bahwa perjuangan

masih panjang. Partai politik sendiri tidak terlalu merespon adanya kuota yang

merupakan upaya .

54

Kuota 30% yang diberikan sebagai akses bagi perempuan untuk dapat

duduk di parlemen tidak disetujui oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

karena persentasi harus dilaksanakan sesuai dengan jumlah pemilihnya. Dengan

kata lain apabila kaum perempuan mampu untuk duduk diparlemen lebih dari

30% maka perempuan tetap berhak untuk duduk diparlemen. Undang-undang

yang menyatakan kuota 30% bagi perempuan secara yuridis itu merupakan

53 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009 54 Wawancara dengan Ibu Ennika Diana,SE, Bendahara Partai Serikat Indonesia Medan, di kantor Sekretariat PSI Medan, pada tanggal : 24 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

demokrasi yang menyimpang dari hak asasi manusia. Hal ini yang sebagaimana

telah disampaikan oleh Bapak Hitler Siahaan.

Bapak Hitler menyatakan bahwa, kuota 30% yang diberikan sebagai akses bagi perempuan untuk dapat duduk di parlemen tidak disetujui oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme karena persentasi harus dilaksanakan sesuai dengan jumlah pemilihnya. Dengan kata lain apabila kaum perempuan mampu untuk duduk diparlemen lebih dari 30% maka perempuan tetap berhak untuk duduk diparlemen. Undang-undang yang menyatakan kuota 30% bagi perempuan secara yuridis itu merupakan demokrasi yang menyimpang dari hak asasi manusia.55

C. Analisis Kesetaraan dan Keadilan Pemenuhan Kuota 30% Perempuan oleh Partai Politik dalam aliran Femenisme

Dalam pemenuhan kuota 30% perempuan dalam mencapai kesetaraan dan

keadilan oleh partai politik banyak tanggapan yang terjadi antara partai politik.

Dari tanggapan partai-partai politik tersebut akan diklasifikasikan menjadi dua

aliran yaitu aliran femenisme liberal dan feminisme radikal.

Dalam memenuhi kuota perempuan 30% perempuan dalam pencapaian

kesetaraan dan keadilan hambatan-hambatan yang dhadapi partai politik seperti

adanya klaim bahwa perempuan sebagai kaum nomor dua dan laki-laki sebagai

kaum nomor satu, adanya anggapan bahwa perempuan sebagai kaum yang

iirasional serta adanya streotip bahwa politik adalah dunia bagi kaum laki-laki,

ditentang dan tidak disetujui oleh Partai Nasional Indonesia Marhaenisme.

Mengenai pandangan tersebut, menurut Bapak Hitler Siahaan sebenarnya

bukan menjadi hambatan bagi partai politik untuk memenuhi kuota 30%

55 Wawancara dengan Bapak Hittler Siahaan, di Sekretariat Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Medan, pada tanggal: 31 Agustus 2009

Universitas Sumatera Utara

perempuan pada pemilu legislatif 2009 yang lalu. Dalam mencapai kesetaraan dan

keadilan perempuan dalam berpolitik Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

sejak dulu sudah memberikan peluang dan akses bagi perempuan untuk masuk

kedalam dunia politik, bahkan kuota yang dianggap memberikan akses bagi

perempuan untuk dapat duduk diparlemen disambut baik oleh partai meskipun

menurut Partai Nasional Indonesia Marhaenisme secara yuridis demokrasi kuota

30% bagi perempuan menyimpang dari hak asasi manusia.

Yang menjadi hambatan terbesar bagi Partai Nasional Indonesia

Marhaenisme dalam mencapai kuota 30% perempuan dalam pemilu legislatif

2009 yang lalu adalah ketidaksiapan dari dalam perempuan itu sendiri untuk

terjun dan bersaing dengan laki-laki kedalam dunia politik baik secara intelaktual

dan secara finansial.

Menurut Partai Nasionalis Indonesia Marhaenisme, partai politik saat ini

belum memainkan komunikasi politik mereka secara jelas kepada publik

mengenai program-program mereka, terutama mengenai keterwakilan perempuan

di parlemen. Lemahnya komunikasi politik menjadi barometer eksistensi partai

politik di tengah masyarakat pemilihnya, demikian pula para aktivis perempuan

belum mampu mendorong wacana-wacana mereka ke dalam tahap implementasi

dan advokasi secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah sinergi

antara partai politik dan para aktivis perempuan, untuk secara bersama

mengusung agenda-agenda perempuan di masa depan, terutama akses mereka di

parlemen.

Partai politik tidak boleh berdiri sendiri, dia harus merupakan muara dari

berbagai usaha-usaha publik yang mendorong transparansi dan akuntabilitas

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan. Dengan demikian, partai politik wajib mempromosikan kader-

kader perempuan dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader

perempuan baik dari dalam internal partai politik itu sendiri, maupun kader

perempuan yang tumbuh di masyarakat untuk menempati posisi strategis baik di

legislatif maupun eksekutif.

Hal ini juga dibenarkan oleh Ibu Dra.Susy Damanik,MM selaku aktivis

perempuan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Kurangnya dukungan partai

yang dirasakan perempuan seharusnya tidak menjadikan alasan untuk perempuan

tidak terjun kedalam dunia politik. Dukungan partai bagai perempuan memang

diperlukan bagi perempuan untuk terjun kedunia politik akan tetapi kesiapan yang

matang dari perempuan itu sendiri yang sangat menentukan untuk masuk kedalam

dunia politik. Dari tanggapan-tanggapan yang di kemukakan oleh Partai Nasional

Indonesia Marhaenisme apabila dikaitkan dengan aliran feminisme liberal, maka

hampir sama dengan pemahaman aliran feminisme liberal

Dalam memandang pemahaman makna dari politik yang berpresfektif

perempuan menurut Hitler Siahaan harus di pahami terlebih dahulu oleh

perempuan yang menjadi platform bagi dirinya sendiri dalam memperjuangkan

perbaikan dan perubahan nasib perempuan. Sehingga bisa mengkritisi pandangan

umum/maskulin bahwa politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan,

ketimbang sebagai prasarana untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Sedangkan

partai politik adalah salah satu kendaraan arus utama (namun kendaraanya bukan

milik pribadi, tetapi milik bersama anggota partainya/partai) yang berlaku di

sistem pemilu ini, yang mau tak mau harus diikuti oleh para perempuan indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Begitu juga dengan Partai Sarikat Indonesia dalam memenuhi kuota 30%

perempuan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan menolak klaim perempuan

sebagai kaum nomor dua, anggapan bahwa perempuan sebagai kaum yang

irrasional serta streotip yang yang menyatakan bahwa politik adalah milik kaum

laki-laki. Kuota 30% yang merupakan akses bagi kaum perempuan untuk duduk

di parlemen sangat didukung oleh Partai Sarikat Indonesia, namun tidak

mencukupinya kuota perempuan di Partai sarikat Indonesia pada pemilu 2009

yang lalu disebabkan karena tidak siapnya perempuan untuk masuk kedalam

dunia politik.

Namun, Partai Sarikat Indonesia menyadari, bahwa amanah menjadi

anggota legislatif itu tidaklah ringan, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Diharapkan siapapun yang menjadi caleg legislatif dan kedepannya menjadi

anggota legislatif, benar-benar memperjuangkan aspirasi kaum perempuan dan

berkontribusi nyata dalam mengawal proses reformasi di Indonesia bukan justru

terjebak dalam kepentingan pribadi/golongan/partai, pembusukan politik dan

beralih wujud menjadi politikus amoral sebagaimana yang telah lama ditunjukan

oleh wajah perpolitikan Indonesia.

Partai Sarikat Indonesia juga mendorong kader-kader wanitanya untuk

berkiprah di dunia politik, karena kewajiban menunaikan amar maruf nahi

munkar diembankan pada kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Partai

Sarikat Indonesia tidak menafikan kebijakan kuota politik 30% kaum perempuan

karena merupakan kebijakan yang dirancang, dirumuskan, diputuskan dan

disahkan oleh para wakil rakyat yang duduk di legislatif. Partai Sarikat Indonesia

Universitas Sumatera Utara

juga mendukung kebijakan tersebut demi meningkatkan kepekaan warga negara

Indonesia khususnya perempuan terhadap problematika umat.

Oleh karena itu, bagi Partai Sarikat Indonesia, perempuan (dan tentu saja

laki-laki) yang akan terjun di dunia potik tersebut hendaklah memenuhi

kualifikasi sebagai berikut:

Kekuatan ruhiyah. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa tujuan dari

politik itu sendiri adalah dalam kerangka amar maruf nahi munkar dimana

semua aktivitas yang dilaksanakan harus didasarkan niat yang tulus ikhlas

untuk mencari ridho Allah.

Kekuatan Fikriyah. Politik adalah seni mengelola umat atau masyarakat

dan negara, yang bermuara pada keputusan politik di bidang agama,

pendidikan, ekonomi, pertahanan, keamanan, teknologi, seni dan budaya,

dan lain-lain. Oleh karena itu seorang akrivits politik haruslah orang yang

memiliki kamampuan fikriyah di atas rata-rata yang ditandai dengan

kecerdasan intelektual serta keluasan ilmu dan pengetahuan.

Kekuatan manajerial. Seorang tidak akan bisa mengelola umat dengan

baik apabila ternyata dia tidak mampu mengelola dirinya sendiri. Oleh

karena itu, cerdas dan shaleh tidaklah cukup, namun harus disertai dengan

sikap profesional .

Kekuatan khuluqiyyah (akhlak); Seorang aktivis politik harus mampu

memberikan keteladanan dalam segala perilakunya, karena ia adalah sosok

publik yang hadir di tengah masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Kekuatan jasmani; Seorang anggota legislatif perlu terus memelihara

kebugaran dan kesehatan jasmaninya, karena aktivitas politik akan sangat

melelahkan.

Begitu juga yang dikemukakan oleh Ibu Ennika Dianna bahwa hambatan

sesungguhnya perempuan untuk masuk kedalam dunia politik ada pada diri

perempuan itu sendiri. Perempuan pada umumnya belum memiliki kesadaran dan

kemauan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Beliau

berpendapat masalah kurangnya keterwakilan perempuan dalam politik bukan

hanya terletak pada kebijakan partai dalam mendukung caleg perempuan, akan

tetapi yang harus ada kemauan perempuan untuk menunjukkan dan

memperjuangkan keterwakilannya dalam politik.

Pendapatan Partai Sarikat Indonesia ini sesuai dengan asumsi dasar

feminisme liberal yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki memang

diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan dirinya

dalam berbagai hal. Sehingga upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan akan

tercapai jika perempuan mampu mempersiapkan dirinya bersaing dalam dunia

politik untuk meruntuhka diskriminasi politik yang selama ini membedakan

kedudukan laki-laki dan perempuan.

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat menyatakan

dalam memenuhi kuota 30% perempuan dalam pemilu 2009 yang lalu

menghadapi hambatan-hambatan yang tidak datang dari partai akan tetapi juga

datang dari dalam diri perempuan tersebut. Bagi perempuan umumnya, politik

adalah urusan laki-laki dan menurut perempuan politik itu keras sehingga

Universitas Sumatera Utara

perempuan tidak perlu berpolitik. Pandangan-pandangan ini barangkali membuat

perempuan tidak mau memasuki dunia politik.

Akan tetapi dalam pelaksanaanya Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

dan Partai Sarikat Indonesia tidak konsisten dengan keadaann nyata di lapangan.

Unkonsistennya kedua partai tersebut yaitu kedua partai sama-sama menyatakan

hambatan dalam tidak terpenuhinya kuota 30% calon legislatif perempuan bukan

dari partai namun dalam diri perempuan. Tetapi dalam pelaksanaan partai tidak

berusaha untuk meningkatkan kemampuan perempuan berpolitik sehingga

perempuan benar-benar siap dan mampu untuk bersaing dengan kaum laki-laki

dalam dunia politik.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

Kesimpulan Dan Saran

Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki atau politik

maskulin. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang

dianggap kotor, penuh intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan.

Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa

dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional

terlibat dalam pengambilan keputusan

Masalah keterwakilan politik ( political representativeness) bagi

perempuan adalah suatu hal yang sangat cukup penting, khususnya dalam

peristiwa penting dan besar seperti pemilu. Rendahnya keterwakilan perempuan

dalam struktur politik formal atau di arena pembuat keputusan publik disegala

tingkatan di Indonesia menjadi persoalan penting bagi perempuan untuk

mengartikulasikan kepentingannya. Dari sinilah kemudian gerakan perempuan

memperjuangkan kedudukan perempuan dalam politik dimulai.

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu

2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Namun

ketetapan kuota ini tidak juga menjamin upaya memperjuangkan keterwakilan

perempuan. Kemudian perjuangan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan

ini memdapat perhatian kembali dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU

Universitas Sumatera Utara

No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik

Di dalam upaya memenuhi kuota 30% perempuan untuk calon anggota

legislatif, secara empirik dan faktual terdapat kendala yang menyebabkan

keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat sangat rendah yakni masih

adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya laki-laki, di mana sistem

dan struktur sosial patriakhi telah menempatkan perempuan pada posisi yang tidak

sejajar dengan laki-laki, masih sedikitnya perempuan yang terjun kedunia politik

dan rendahnya pengetahuan perempuan tentang politik, serta dukungan partai

politik yang belum besungguh-sungguh terhadap perempuan.

Hal ini juga terjadi dalam pemilu legislative di Kota Medan dimana masih

terdapat partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan . Dalam

penelitian ini partai yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan adalah Partai

Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Dalam

tanggapannya kedua partai ini sepakat bahwa tidak terpenuhinya kuota 30%

perempuan pada pemilu legislative 2009 yang lalu bukan karena kurangnya

dukungan partai terhadap keterwakilan perempuan, akan tetapi disebabkan

hambatan yang ada dalam diri perempuan itu sendiri.

Perempuan yang telah direkrut dan dikader oleh Partai Nasional Indonesia

Perjuangan dan Partai Sarikat Indonesia cenderung terikat pada norma agama dan

budaya patrirki yang menganggap bahwa perempuan itu tidak memiliki kodrat

untuk memimpin. Selain itu perempuan juga cenderung tertutup dan tidak

membuka diri untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya melakukan

persaingan di dunia politik.

Universitas Sumatera Utara

Kesetaraan dan Keadilan perempuan sangat perlu bagi peningkatan kualitas

kehidupan perempuam dalam aspek kehidupan politik, karena apabila kesetaraan

dan keadilan kaum perempuan tercapai dalan kehidupan politik maka aspek

kehidupan yang lainya seperti ekonomi, pendidikan,social budaya akan tercapai

dengan sendirinya. Ini disebabkan kehidupan politik sangat menentukan

pencapaian kesetaraan dan keadilan berbagai aspek kehidupan setiap individu baik

laki-laki dan perempuan.

Saran

1. Perempuan hendaknya tidak pasif terhadap partai politik. Mereka perlu

terlibat aktif di kepengurusan partai politik untuk mengembangkan diri,

partai politik, dan membangun bangsa.

2. Partai politik sebaiknya memberikan kesempatan lebih luas kepada kaum

perempuan untuk terlibat di dalam pengurusan partai politik. Jika perlu

partai politik melakukan tindakan affirmasi untuk mendorong banyak

perempuan menduduki jabatan di partai politik.

3. Kalangan perempuan yang terlibat dalam partai politik perlu dibimbing

secara profesional dan proporsional, sehingga menjadi SDM yang

berkualitas.

Universitas Sumatera Utara

Perempuan dan Politik (Studi Penetapan Kuota 30% Calon Anggota Legislatif Perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia di Kota Medan) Nama : Eka Parinduri A Nim : 050906025 Departemen : Ilmu Politik Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ABSTRAK Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan, komite sekolah, dan kelompok pengajian. Meskipun penyertaan 30% keterwakilan perempuan sudah dinyatakan dalam undang-undang sebagai persyaratan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilu, namun masih ada juga partai politik yang dapat mengikuti pemilu meskipun tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif. Hal ini terjadi pada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan kualitatif dengan teknik analisis data berbentuk wawancara pengurus-pengurus partai supaya mengetahui mengapa PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tidak memenuhi kuota 30% perempuan pada pemilu legislatif. Hasil yang diproleh dari penelitian ini adalah tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan oleh PNI Marhaenisme dan Partai Serikat Indonesia karena perempuan yang telah direkrut dan dikader oleh partai masih cenderung terikat pada norma agama dan budaya patrirki yang menganggap bahwa perempuan itu tidak memiliki kodrat untuk memimpin. Selain itu perempuan juga cenderung tertutup dan tidak membuka diri untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya melakukan persaingan di dunia politik.

Kata Kunci: Kuota 30% Perempuan dan Kesetaraan, Keadilan perempuan

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan

dalam Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara

dalam politik tanpa kecuali. Ketentuan perundang-undangan melindungi siapapun

warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil rakyat (right to vote and right to be candidate)1. Hal ini dapat kita lihat

dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28-D ayat (3) yang

menyebutkan : setiap warga negara berhak memproleh kesempatan yang sama

dalam pemerintahan. Perempuan pun memiliki hak sama besar dengan laki-laki

dalam tiap peri kehidupan di Indonesia. Namun kenyataan yang ada dan berbagai

hambatan sistemik maupun kultural jelas-jelas menghambat kemajuan peran

perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya.

1 Dapat dilihat pada : http://kompas.com/2005/02.

Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini,

membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi

setiap warganegara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi

yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang.

Misalnya, saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik,

Universitas Sumatera Utara

perempuan masih di tetapkan pada nomor paling bawah. Hal ini menandakan

masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen.

Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki atau politik

maskulin. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang

dianggap kotor, penuh intrik dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan.

Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat

negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan massa dan kompetisi, dimana

kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian. 2

2 Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan : USU Press, 2007, hal. 34.

Isu politik begitu penting untuk perempuan, tidak lain karena perempuan

adalah bagian terbesar/mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai

warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping itu

mereka terus menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses

pembuatan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif,

menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan terhadap permasalahan

politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga

politik formal diserahkan kepada laki-laki sebagai wakil perempuan akan

menghasilkan bias gender. Hal ini terjadi karena sangat kecil peluang laki-laki

yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa

yang dirasakan oleh perempuan.

Masalah keterwakilan politik ( political representativeness) bagi

perempuan adalah suatu hal yang sangat cukup penting, khususnya dalam

peristiwa penting dan besar seperti pemilu. Alasan mendasar bagi tuntutan

Universitas Sumatera Utara

representatif politik yang lebih adil ini seperti Gender sebagai suatu kategori

politik yang penting yang harus terwakili secara penuh dalam institusi-institusi

pemerintahan Apapun pilihan politiknya, kaum perempuan memiliki hak untuk

diwakili hanya oleh perempuan. Keterwakilan perempuan hanya oleh perempuan

adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar, karena laki-laki tidak akan pernah bisa

memahami kepentingan dan nilai-nilai yang dipahami dan dipercaya oleh kaum perempuan.3

Rendahnya keterwakilan perempuan dalam struktur politik formal atau di

arena pembuat keputusan publik disegala tingkatan di Indonesia menjadi

persoalan penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya.

Situasi ini dapat dicermati dari persentasi keterwakilan perempuan dilembaga

legisltif periode 1999-2004 berturut-turut adalah DPR 8.8%, DPRD Propinsi 6%,

dan DPRD Kabupaten/Kota 2%. Keterwakilan perempuan dalam Badan Perwakilan Desa (BPD) juga menunjukkan angka yang cukup rendah yaitu 2%.4

Pada Pemilu 2004 yang lalu dan telah membangkitkan gairah baru bagi

perempuan untuk lebih lagi berkiprah dalam dunia politik. Gairah ini sebetulnya

telah dimulai saat pemilu 1999 diselenggarakan, dimana berbagai kelompok

perempuan telah berperan aktif dalam melakukan pendidikan pemilih yang antara

lain mengkampanyekan agenda politik perempuan dan strategi dasar

3 Ani Widyani Sociepto, Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen, dikutip dari Alida Alida Brill A Rising Pulbic Voice : Women In Politics World Wide, New York : The Feminist, 1995. hal. 188-190, dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta : Yayasan API. 2001. hal. 235. 4 Indriyati Suparno, dkk., Masih Dalam Posisi Pinggiran, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

meningkatkan keterwakilan perempuan dilembaga-lembaga pengambilan keputusan.5

Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu

2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan.

Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI

(11,27%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi,

hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%).

Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 10

Tahun 2008 tentang Pemilu mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan

memperhatikan kesetaraan gender. Hal demikian ditujukan untuk meningkatkan

kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia.

Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan

rakyat sendiri bukannya tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang

membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik

penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu

kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, serta

lingkungan, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan

multitasking dan mengelola waktu, serta yang tidak kalah penting adalah

keterbiasaan dan kenyataan bahwa perempuan juga telah menjalankan tugas

sebagai pemimpin dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam kegiatan

kemasyarakatan, seperti di posyandu, kelompok pemberdayaan perempuan,

komite sekolah, dan kelompok pengajian.

5 Himawan S. Pambudi, Menuju Demokrasi Terkonsilidasi, Yodyakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003, hal 21

Universitas Sumatera Utara

Sehubung dengan kesetaraan gender tersebut, pada UU No 2 Tahun 2008

telah ditentukan secara tegas mengenai porsi keterwakilan perempuan dalam

kepengurusan suatu partai politik. Sementara pada UU No.10 Tahun 2008

memiliki prinsip yang sama, adanya affirmative action dimana minimal harus

terdapat 30 persen perempuan calon legislatif. Dengan demikian dapat dikatakan

UU No.2 Tahun 2008 dan UU No.10 Tahun 2008 merupakan media hukum yang

revolusioner dibidang politik di Indonesia.

Lahirnya pengaturan prinsip keterwakilan perempuan atau bisa disebut

juga sistem kuota perempuan, bersumber dari ketidakpuasan beberapa kalangan.

Hal itu khususnya dari kelompok feminis ysng melihat betapa memprihatinkan

porsi atau persentase kalangan perempuan di dunia politik dan partai politik.

Kalangan perempuan dilingkungan atau bisa dikatakan dengan istilah feminis

partai politik terdiri dari aktivis partai politik, pengurus partai politik, calon

legislatif (caleg) dan anggota legislatif (parlemen) dari kaum perempuan.

Dengan sistem kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia

dalam pengambilan keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada

kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender yang adil; perubahan cara

pandang dalam melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan

mengutamakan perdamaian dan cara-cara anti kekerasan; perubahan kebijakan

dan peratura undang-undang yang ikut memasukan kebutuhan kebutuhan

perempuan sebagai bagian dari agenda nasional dan membuat perempuan berdaya

untuk terlibat dalam berbagai permasalahan yang selama ini tidak mendapat

perhatian di Indonesia, yang sensitif gender.

Oleh karena itu mematok angka 30 persen perempuan calon legislatif

Universitas Sumatera Utara

dalam Pemilu 2004, maka Pemilu 2009 dianggap penting dalam rangka tindakan

affirmasi sekaligus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan

berkiprah dalam politik. Basis pemikiran lainnya adalah keyakinan bahwa

sangatlah penting bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasi politiknya baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Maju ke ruang publik dan menduduki

tempat-tempat strategis pengambilan keputusan adalah satu-satunya cara agar

kepentingan perempuan tercapai.

Dalam Pemilu calon legislatif 2009 yang telah diselenggarakan 9 April

lalu, di Kota Medan terdiri dari 5 daerah pemilihan ( Dapil) yang diikuti oleh 38

partai nasional. Dari 38 partai yang ikut ada beberapa partai yang tidak

mengikutkan perempuan dalam daftar calon legislatif bahkan ada partai yang ikut

dalam pemilu namun tidak terdapat satu nama yang dicalonkan sebagai calon

anngota legislatif kota Medan. Hal ini dapat kita lihat pada Partai Penegak

Demokrasi Indonesia yang tidak mencalonkan satu namapun sebagi calon

legislatif pada 5 daerah pemilihan kota Medan,sementara itu ada beberapa partai

yang hanya mencalonkan laki-laki saja dalam beberapa daerah pemiliha seperti

Partai Serikat Indonesia (Dapil 4 dan 5), Partai Kedaulatan (Dapem 1), Partai Persatuan Daerah (Dapil 5), dan PNI Marhaenisme (Dapil 1).6

Penetapan kuota 30% calon legislatif perempuan tahun 2009 di Kota

Medan tidak tercapai, ini terlihat dari masih ada beberapa daerah pemilihan yang

tidak terpenuhinya kuota 30% perempuan oleh partai politik di Kota Medan

terutama oleh Partai PNI Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia. Maka dengan

6 Data diambil dari : Komisi Pemilihan Umun (KPU) Kota Medan

Universitas Sumatera Utara

demikian dapat dilihat implementasi kuota perempuan 30% Kota Medan belum

tercapai.

B. Perumusan Masalah

Undang-undang no.10 Tahun 2008 tentang pemilu dalam pasal 8

menyatakan bahwa salah satu syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilu

adalah menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada

kepengurusan partai politik. Kemudian dalam pengajuan calon anggota legislatif,

pada pasal 52 menyatakan bahwa partai politik harus memuat paling sedikit 30%

keterwakilan perempuan.

Meskipun penyertaan 30% keterwakilan perempuan sudah dinyatakan

dalam undang-undang sebagai persyaratan bagi partai politik untuk dapat

mengikuti pemilu, namun masih ada juga partai politik yang dapat mengikuti

pemilu meskipun tidak menyertakan 30% keterwakilan perempuan sebagai calon

legislatif. Hal ini terjadi pada Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai

Sarikat Indonesia.

Berdasarkan data-data tersebut dapat kita lihat bahwa Partai Nasional

Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia yang masih kurang

memperhatikan pentingnya peranana perempuan dalam politik. Selain itu juga

dapat dilihat bahwa Partai Nasional Indonesia Marhaenisme Dan Partai Sarikat

Inonesia tidak mematuhi ketetapan 30% peran perempuan yang telah diatur oleh

Undang-Undang No 10 tahun 2008 sebagi prasyarat partai politik untuk ikut

dalam peserta pemilu 2009.

Dengan demikian berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk

Universitas Sumatera Utara

meneliti dan ingin mengetahui keputusan yang diambil oleh partai politik dalam

menerapkan ketentuan 30% kuota perempuan yang ditetapkan dalam UU No.10

Tahun 2008, khususnya untuk calon anggota legislatif perempuan dalam pemilu.

Adapun yang menjadi rumusan pertanyaan penelitian yaitu :

1. Mengapa Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia Kota Medan tidak memenuhi 30% kuota perempuan calon

legislatif pada pemilu 2009?

2. Bagaimana pandangan pimpinan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme dan Partai Sarikat Indonesia tentang kesetaraan dan keadilan perempuan

dalam politik?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui cara dan peran partai politik dalam menerapkan

ketentuan 30% calon anggota legislatif perempuan dalam Pemilu 2009

untuk DPRD Kota Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat komitmen partai politik dalam meningkatkan

peran perempuan di partai politik.

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah

1. Secara akademisi, dapat menjelaskan fenomena tentang rekrutmen caleg

perempuan yang dilakukan partai politik atas basis gender.

Universitas Sumatera Utara

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang persoalan-persoalan yang muncul untuk meningkatkan peran

perempuan dalam partai politik.

3. Secara umum penelitian ini berguna sebagai pengetahuan, wawasan, dan

pengalaman dalam melihat sejauhmana sebenarnya fungsi dan peran

perempuan dalam bidang politik.

E. Kerangka Teori Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam penelitian adalah

menyusun kerangka teori, karena teori berfungsi sebagai landasan berfikir untuk

menggambarkan dari segi mana peneliti menerangkan dan menganalisa masalah

yang dipilih.

Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi dan proposisi

untuk menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.7

E.1. Gender

Secara etimologis, gender berasal dari bahasa Latin ( Italia) yaitu Genus

yang berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang

berproses pada budaya dan menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diarikan

sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan

Dalam hal ini, kerangka teori yang menjadi landasan

befikir yang digunakan penulis dalam penelitian adalah :

7 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37

Universitas Sumatera Utara

perempuan yang tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial- budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas.8

Sebagai contoh, pembagian kerja seksual dirumah tangga yang berlaku

umum paling tidak ditingkat ideologi tugas perempuan adalah mengurus rumah

tangga, tugas laki-laki adalah mencari nafkah, berada dalam konteks gender.

Dengan kata lain pembagian kerja seksual yang menempatkan perempuan hanya

disektor domestik, sedangkan laki-laki disektor publik yang berada dalam lingkup

Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara

umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan

perempuan dari segi sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum

digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi

fisik dan anatomi biologis. Istilah seks (dalam kamus bahasa Indonesia berarti

Jenis Kelamin ) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologis seseorang,

meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan

karakteristik biologis lainya.

Sesuai dengan defenisi diatas, konsep gender tampak berlaku fleksibel,

berbeda-beda dalam ruang dan waktu dan bisa diubah. Identitas gender diproleh

melalui proses belajar, proses sosialisasi, dan melalui kebudayaan masyarakat

yang bersangkutan. Karena itu tidak heran apabila identitas gender telah memberi

label tentang jenis pekerjaan yang boleh atau layak dan tidak boleh atau tidak

layak dilakukan oleh jenis kelamin tertentu.

8 Leo Agistino, Perihal Ilmu Politik; Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, hal.229

Universitas Sumatera Utara

pemahaman gender. Peran gender yang seperti ini menimbulkan ketidakadilan

terutama bagi perempuan.

Oakley ( 1972 ) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi

makna gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin

(sex) merupakan kodrat tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan universal

berbeda. Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan

perempuan yang socially constructed yakni perbedan yang bukan kodrat atau

bahkan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan

melalui proses sosial dan budaya yang panjang.

Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya

terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya : Perempuan dikenal dengan lemah

lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,

rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dan sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari

waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.

Hilary M. Lips dan S.A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai fungsi yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

kelestarian, keharmonisan daripada persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja

dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-

laki sebagi pemburu dan perempuan sebagai peramu.

The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995)

menyatakan, gender adalah pengelompokan individu dalam tata bahasa yang

digunakn untuk menunjukan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis

Universitas Sumatera Utara

kelamin tertentu.

E.2. Feminisme

Feminisme lahir akibat dari ketidakadilan dalam struktur sosial antara laki

dan perempuan yang kemudian termanifestasikan melalui kehidupan ekonomi,

sosial, politik dan budaya. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui analisis di berbagai bidang kehidupan secara kritis.9

Kesadaran akan adanya ketidakadilan terhadap kaum perempuan

sebenarnya telah lama terjadi. Kaum perempuan sudah lama melakukan

perjuangan membebaskan diri dari ketidakadilan. Tetapi pada waktu itu belum

ada istilah feminism (femenisme). Istilah itu mulai disosialisasikan oleh majalah Century pada musim semi pada tahun 1914.10

Kata feminisme yang berasal dari bahasa Perancis pertama kali digunakan

pada tahun 1880-an, untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak

politiknya. Hubertine Auclort adalah pendiri perjuangan politik perempuan yang

pertama di Perancis, dalam salah satu publikasinya menggunakan kata femenisme

dan femeniste. Sejak itulah feminisme tersebar diseluruh Eropa dan sampai AS,

melalui New York pada tahun 1906. Gerakan femenisme di New York diwarnai

oleh perjuangan menuntut hak-hak perempuan sebagai warga negara, hak perempuan di bidang sosial, politik, dan ekonomi.11

9 A. Nunuk Prasetyo Muniarti,Emansipasi: Tinjauan dari Teologi Perempuan, Magelang: Indonesiatera, 1995, hal.24 10 A. Nunuk Prasetyo Muniarti, Getar Gender, Magelang : Indonesiatera, 2004, hal.XXVIII 11 Ibid.

Perempuan dan laki-laki telah dijajah oleh struktur yang tidak adil melalui

Universitas Sumatera Utara

kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan juga praktik keagamaan.

Kemunculan gerakan emasipatoris yang menanggapi masalah ini, yakni gerakan

feminisme itu merupakan upaya untuk mendudukkan relasi yang setara antara

perempuan dan laki-laki. Aliran ini mempersoalkan ketidakadilan gender melalui

analisis berbagai bidang kehidupan. Gerakan ini bertujuan untuk mencapai

keadilan dan perdamaian dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan

dirugikan dalam semua bidang dan di nomor duakan oleh kaum laki-laki

khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang sosial,

pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih

inferior ketimbang apa ya