74
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan teori dan konsep yang terkait dengan masalah
penelitian, sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini tentang
cedera kepala, terapi oksigen, motivasi , lingkungan kerja,
Kompetensi perawat , ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana,
Standar Operasional Prosedur (SOP), kebijakan Rumah Sakit . Teori
dalam penelitian ini juga akan membantu peneliti untuk
menghubungkan pengumpulan dan analisis data dalam penelitian.
2.1 Konsep Dasar Cedera Kepala SedangCedera kepala atau
traumatic brain injury didefinisikan sebagai cedera pada kepala
akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating
trauma) atau tenaga akselerasi-deselerasi yang menyebabkan gangguan
fungsi otak sementara atau permanen. Sebagian ahli menggunakan
istilah cedera kranio-serebral berdasarkan pemahaman bahwa
perlukaan atau lesi yang terjadi dapat mengenai bagian tulang
tengkorak (kranium) atau bagian jaringan otak (serebral) atau
keduanya sekaligus (B.Batticaca, 2008)
Organization (WHO) tahun 2004 sebagian besar korban kecelakaan
lalu lintas darat (KLLD) adalah pemakai jalan yang berisiko seperti
pejalan kaki, pengendara sepeda motor, penumpang dan anak-anak.
Faktor utama cedera kepala dari pengendara sepeda motor oleh karena
tidak menggunakan helm. Penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa
pengendara yang tidak menggunakan helm berisiko 4 kali lebih besar
mengalami cedera kepala. Penelitian lain di Florida dari 995 pasien
kecelakaan sepeda motor, didapatkan 201 pasien mengalami CKB dan
yang tidak menggunakan helm menunjukkan proporsi lebih besar
(21.8%) dibandingkan dengan yang menggunakan helm (10.2%).
Kewajiban memakai helm bagi pengendara dan penumpang sepeda motor
di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Badan Standarisasi Nasional
juga telah memberlakukan wajib helm standar pada pengendara sepeda
motor yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) terhitung
April 2010. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam bertata tertib
berlalulintas di jalan seperti melengkapi kelengkapan sepeda motor
(2 spion, lampu sein, lampu rem), menggunakan helm standar,
menggunakan tali pengaman helm, menyalakan lampu meski di siang
hari, dan menggunakan lajur kiri bagi pengendara sepeda motor dapat
menjadi pencetus timbulnya kecelakaan yang menyebabkan pengendara
mengalami cedera, kecacatan bahkan kematian (Data statistik)
Cedera kepala menyebabkan secara signifikan separo kematian dari
seluruh pasien akibat trauma. Hampir 75% dari korban fatal
kecelakaan memperlihatkan bukti cedera kepala pada postmortem.
Pembagian cedera kepala yaitu ringan, sedang dan berat berdasarkan
atas derajat penurunan tingkat kesadaran penderita serta ada
tidaknya defisit neurologi fokal dengan Gasglow Coma Scale (GCS).
Penderita dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan dengan GCS 13
15, Cedera kepala sedang dengan GCS 9 12 serta cedera kepala berat
dengan GCS 8.
Menurut Rao (2000) dalam lisnawati (2012) menyebutkan bahwa
cedera kepala dapat menimbulkan berbagai gangguan neuropsikiatri
mulai dari defisit yang tidak jelas sampai gangguan intelektual dan
emosional yang berat. Neuropsikiater yang berhubungan dengan cedera
kepala meliputi gangguan kognitif, gangguan mood, ansietas,
psikosis dan masalah tingkah laku. Defisit kognitif telah
diklasifikasikan dalam berbagai bentuk seperti delirium, demensia
oleh karena cedera kepala, gangguan amnestik atau gangguan
intelektual yang tergantung pada gejala dan waktu saat onset serta
masa resolusi. Kesemua ini dapat menunda proses kesembuhan pada
sistem saraf pusat.
2.1.1 Pengertian Cedera kepala merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada usia reproduktif, sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Penanganan yang tepat dan
adekuat mulai dari tempat kejadian, selama transportasi ke rumah
sakit serta penanganan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan perjalanan klinis pasien serta prognosis penyakitnya
(Mansyour, 2007).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar
terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi
kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian
dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi
anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi harus segera
dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital (Tobing, 2011).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam
substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Muttaqin, 2008).
2.1.2. EtiologiSetelah terjadinya cedera otak primer, satu atau
lebih kejadian terjadi berturut-turut dan memicu terjadinya
perburukan fungsi serebral (Brain Trauma Foundation. Guidelines for
the Management of Severe Traumatic Brain Injury,2007). Klasifikasi
etiologi cedera otak sekunder dibedakan menjadi penyebab
ekstrakranial dan intrakranial. Penyebab ekstrakranial meliputi
hipoksia, hipotensi, hiponatremi, hipertermia, hipoglikemia atau
hiperglikemia. Penyebab intrakranial meliputi perdarahan
ekstradural, subdural, intraserebral, intraventrikular, dan
subarachnoid. Selain itu cedera sekunder juga dapat disebabkan
karena pembengkakan dan infeksi. Pembengkakan intrakranial meliputi
kongesti vena/hiperemi, edema vasogenik, edema sitotoksik, dan
edema interstisial. Infeksi yang mengakibatkan cedera otak sekunder
antara lain meningitis dan abses otak (CDC, 2011 dan Brain Trauma
Foundation. Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain
Injury,2007).
Hipotensi dan hipoksia merupakan penyebab utama terjadinya
cedera otak sekunder yang mengakibatkan terbentuknya lesi iskemik
post traumatik (Moppet, 2007). Faktor lain yang juga berpengaruh
terhadap terjadinya cedera otak sekunder adalah hiperglikemi,
hiperkapni, dan hipokapni (Moppet, 2007)
Masalah ekstrakranial menghasilkan kerusakan otak sekunder baik
oleh hipoksia ataupun oligemia/iskemia. Konsekuensi utamanya adalah
pengurangan dalam ketersediaan energi tinggi fosfat (adenosin
triphosphat, ATP). Hal ini menyebabkan kegagalan pompa membran
sehingga memicu kematian sel atau sel menjadi bengkak (edema
sitotoksik). Hipotensi terjadi karena adanya oligemia primer dan
iskemia yang mempengaruhi zona batas artery (arterial boundary
zones). Sedangkan hipoksemia cenderung menyebabkan kerusakan lebih
luas yaitu neuronal loss yang akan memicu atropi kortek pada
pasien. Akibat lebih fatal dari hipoksia yang berat dan panjang
adalah keadaan vegetatif yang persisten (persistent vegetatif state
PVS) atau kematian. PVS terjadi karena masih masih adanya refleks
batang otak tetapi hilangnya sebagian besar reflek kortek (Moppet,
2007; CDC, 2011 dan Brain Trauma Foundation,2007)Cedera otak
sekunder dapat terjadi karena hipoksemia sistemik. Hipoksemia
terjadi pada 22,4% pasien cedera otak traumatik parah dan secara
signifikan berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Jones et al pada inhospital study terhadap 124 pasien
dengan cedera otak dengan tingkat keparahan yang berfariasi,
menunjukkan subgrup analisis terhadap 71 pasien dengan data yang
dikumpulkan untuk delapan tipe efek sekunder yang berbeda (termasuk
hipoksemia dan hipotensi). Durasi hipoksemi (ditandai dengan SaO2
90%; median durasi berkisar dari 11,5 hingga 20 menit) dinyatakan
sebagai prediktor mortalitas (p=0,024) tetapi tidak terhadap
morbiditas (Moppet, 2007 dan Marrik, 2002)
Sebagian besar studi observasional terhadap cedera otak
traumatik menunjukkan hubungan antara hipoksia awal (Spo2 55 ml 100
g-1 mnt-1) dan diikuti hiperemi. Mendiagnosis hipoperfusi atau
hiperperfusi hanya valid setelah mengukur CBF dan konsumsi oksigen
di serebral. ( Mauritz, 2008; Moppet, 2007 dan Brain Trauma
Foundation,2007)
Autoregulasi serebral dan reaktivitas-CO2 merupakan mekanisme
penting menjaga aliran CBF tetap konstan dengan cara menjaga
tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP) dan
tekanan intrakranial (TIK). Gangguan pada mekanisme regulasi
tersebut meningkatkan resiko cedera otak sekunder ( Mauritz, 2008
dan Brain Trauma Foundation,2007)
Setelah terjadinya cedera otak traumatik, autoregulasi CBF
(respon konstriksi dan dilatasi cerebrovaskuler untuk meningkatkan
atau menurunkan CPP) pada sebagian besar pasien, terganggu atau
hilang. Gangguan autoregulasi CBF dapat muncul segera setelah
trauma atau beberapa saat setelah trauma, bersifat sementara atau
menetap, dan menyebabkan kerusakan ringan, sedang, atau berat.
Autoregulasi vasokonstriksi cenderung lebih resisten terhadap
kerusakan dibandingkan dengan autoregulasi vasodilatasi. Hal ini
menunjukkan bahwa CPP yang rendah lebih rentan menyebabkan
kerusakan otak dibandingkan dengan CPP tinggi( Mauritz, 2008 dan
Brain Trauma Foundation,2007)
Jika dibandingkan dengan autoregulasi CBF, reaktivitas CO2
serebrovaskuler (konstriksi atau dilatasi serebrovaskuler sebagai
respon terhadap hipokapni dan hiperkapni) memiliki pengaruh lebih
kuat. Pada pasien dengan cedera otak berat dan prognosis buruk,
gangguan reaktivitas serebrovaskuler terjadi pada tahap awal
setelah terjadi trauma. Sebaliknya, reaktivitas CO2 masih intak
atau bahkan meningkat pada sebagian besar pasien. Hal ini merupakan
prinsip fisiologis yang digunakan sebagai target dalam manajemen
TIK pada keadaan hiperemis (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma
Foundation,2007)
Serebral vasospasme pasca trauma menentukan prognosis pasien.
Vasospasme terjadi pada lebih dari satu per tiga pasien cedera otak
traumatik dan mengindikasikan kerusakan otak berat. Onsetnya
bervariasi dari hari ke-2 hingga hari ke-15 post trauma.
Hipoperfusi terjadi pada 50% pasien yang mengalami vasospasme.
Vasospasme terjadi karena depolarisasi kronis otot polos vaskuler
yang disebabkan oleh penurunan aktivitas kanal potasium, pelepasan
endotelin bersama dengan penurunan nitrit oksida, penurunan siklik
Guanosin Monophosphate (GMP) otot polos vaskular, potensiasi
prostaglandin memicu vasokonstriksi, dan pembentukan radikal bebas
(Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Metabolisme serebral dan energi serebral menurun setelah cedera
otak. Derajat kegagalan metabolik berhubungan dengan keparahan
cedera primer dan prognosisnya buruk pada pasien dengan angka
metabolik yang rendah dibandingkan pada pasien dengan penurunan
angka metabolik minimal atau tanpa disfungsi metabolik. Penurunan
serebral metabolik pasca trauma berhubungan dengan cedera primer
yang memicu disfungsi mitokondria dengan penurunan kecepatan
respirasi dan produksi ATP, penurunan availibilitas ko-enzim, dan
berlebihnya Ca2+ di intra mitokondria. Penurunan kebutuhan
metabolisme serebral tidak berhubungan dengan penurunan CBF
(Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Cedera otak ditandai dengan ketidakseimbangan hantaran dan
konsumsi oksigen serebral. Meskipun ketidakseimbangan ini ditandai
dengan gangguan pada hemodinamik dan vaskuler, hasil akhirnya
adalah hipoksia jaringan otak. Pengukuran tekanan oksigen jaringan
otak pada pasien cedera otak teridentifikasi pada ambang batas
kritis di bawah 15-10 mmHg pada kondisi terjadinya infark jaringan
neuronal. Akibatnya, insiden, durasi, dan perluasan jaringan
hipoksia berhubungan dengan prognosis yang buruk (Mauritz, 2008 dan
Brain Trauma Foundation,2007)
Cedera otak primer dan sekunder berhubungan dengan pelepasan
berlebih neurotransmiter asam amino eksitasi, khususnya glutamat.
Kelebihan glutamat ekstraseluler mempengaruhi neuron dan astrosit.
Hal ini menyebabkan stimulasi berlebih ionotropik dan reseptor
metabotropik glutamat dengan aliran Ca2+, Na+, dan K+. Meskipun
proses tersebut memicu proses katabolik melalui perusakan sawar
darah otak, kompensasi selular terhadap gradien ion adalah
peningkatan aktivitas Na+/K+ ATPase dan mengubah kebutuhan
metabolik (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007).
Stres oksidatif berhubungan dengan jenis oksigen reaktif
(oksigen radikal bebas, superoksida, hidrogen peroksida, nitrit
oksida, dan peroksinitrit) sebagai respon terhadap cedera otak.
Kelebihan produksi jenis oksigen reaktif karena eksitotoksisitas
dan kelelahan sistem endogen antioksidan menginduksi peroksidase
selular dan struktur vaskuler, oksidasi protein, pembelahan DNA,
dan inhibisi rantai transport elektron mitokondria. Meskipun
mekanisme ini cukup menyebabkan kematian sel mendadak, proses
inflamasi dan apoptosis diinduksi oleh stres oksidatif ( Mauritz,
2008 dan Brain Trauma Foundation,2007).
Pembentukan edema sering terjadi pada cedera otak. Klasifikasi
edema otak berhubungan dengan kerusakan struktural atau
ketidakseimbangan air dan osmotik yang diinduksi oleh cedera primer
atau sekunder ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Edema otak vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanis atau
autodigestif, atau perusakan fungsional lapisan sel endotel
pembuluh darah otak. Disintegrasi dinding endotel serebral vaskuler
memungkinkan transfer ion dan protein yang tidak terkontrol dari
intravaskuler ke ekstravaskuler (interstisial) kompartmen otak dan
menyebabkan akumulasi air. Secara anatomis, proses patologi ini
meningkatkan volume ruang ekstravaskuler. Edema otak sitotoksik
ditandai dengan akumulasi cairan di intraseluler sel-sel neuron,
astrosit, dan mikroglia terlepas dari integritas dinding endotel
vaskuler. Proses patologi ini disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas membran sel terhadap ion, kegagalan pompa ionik
karena kekurangan energi, dan reabsorpsi selular terhadap zat
terlarut aktif osmotik. Meskipun edema sitotoksik terlihat lebih
sering dibandingkan dengan edema vasogenik setelah cedera otak,
keduanya berhubungan dengan peningkatan TIK dan proses iskemik
sekunder (Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Cedera kepala menginduksi susunan kompleks respon inflamasi
jaringan, mirip dengan cedera iskemik karena reperfusi. Cedera
primer dan sekunder memicu pelepasan mediator seluler, meliputi
sitokin proinflamasi, prostaglandin, radikal bebas, dan komplemen.
Proses ini menginduksi chemokine dan molekul adhesi serta
mengaktifkan pergerakan imun dan sel glial. Polimorfonuklear
leukosit yang teraktivasi berikatan pada defek dan pada lapisan sel
endotel yang masih intak. Hal ini dimediasi melalui adhesi molekul.
Sel-sel tersebut menginfiltrasi jaringan cedera bersama dengan
makrofag dan sel T limfosit. Infiltrasi jaringan oleh limfosit
terjadi melalui upregulasi adhesi molekul seluler, seperti
P-selektin, intercellular adhesion molecules (ICAM-1), dan vascular
adhesion molecules (VAM-1). Respon terhadap proses inflamasi,
cedera dan jaringan sekitarnya akan dieliminasi dalam hitungan jam,
hari, dan minggu ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma
Foundation,2007)
Astrosit menghasilkan mikrofilamen dan neutropin untuk
mensintesis jaringan parut. Enzim proinflamasi, seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin-1-, dan interleukin-6 mengalami
upregulasi dalam hitungan jam setelah cedera. Progresi kerusakan
jaringan berhubungan dengan pelepasan langsung mediator neurotoksik
atau pelepasan tidak langsung nitrit oksida dan sitokin. Pelepasan
vasokonstriktor tambahan (prostaglandin dan leukotrin), adhesi
leukosit dan platelet, lesi sawar darah otak, dan pembentukan
edema, menurunkan perfusi jaringan dan memperburuk kerusakan otak
sekunder ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Dua tipe kematian sel yang mungkin terjadi setelah cedera otak
adalah nekrosis dan apoptosis. Nekrosis terjadi sebagai respon
terhadap keparahan mekanik atau iskemik atau kerusakan jaringan
hipoksik dengan kelebihan pelepasan neurotransmiter asam amino dan
kegagalan metabolik. Akibatnya, fosfolipase, protease, dan lipid
peroksidase menyebabkan autolisis membran. Hasilnya, sel detritus
dikenali sebagai antigen dan akan hilang dengan proses inflamasi
serta meninggalkan jaringan scar Sebaliknya, neuron mengalami
apoptosis secara morfologis. Neuron tetap intak selama periode
pasca traumatik segera, dengan produksi ATP yang cukup. Apoptosis
terjadi dalam hitungan jam hingga hari setelah cedera primer.
Selanjutnya terjadi penghancuran disintegrasi membran secara
progresif melalui lisisnya membran nuklear, kondensasi kromatin,
dan fragmentasi DNA ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma
Foundation,2007)
2.1.2 Mekanisme timbulnya lesi pada Cedera Kepala.Manifestasi
cedera otak sekunder berhubungan dengan terganggunya fungsi
serebral dan terganggunya persediaan energi serebral.
Manifestasinya antara lain peningkatan tekanan intrakranial,
kerusakan otak iskemik, hipoksia serebral dan hiperkarbi, serta
terganggunya autoregulasi serebral ( Mauritz, 2008 dan Brain Trauma
Foundation,2007)
Tengkorak merupakan ruangan tertutup, sehingga jika terjadi
peningkatan volume intrakranial, tekanan di dalamnya akan meningkat
dan cenderung menyebabkan penurunan perfusi serebral. Penyebab
utama peningkatan TIK pada cedera kepala adalah edema otak dan
pendarahan intrakranial. Edema otak terjadi karena cairan berpindah
ke ruang ekstraseluler melalui endotel vaskuler yang rusak.
Sedangkan pendarahan intrakranial dapat terjadi di ekstradural,
subdural, ruang subarahnoid, dan dapat pula terjadi di dalam otak
atau di dalam sistem ventrikel. Pendarahan subarahnoid dan
pendarahan intraventrikel menyebabkan gangguan pada sirkulasi dan
penyerapan cairan serebrospinal, sehingga dapat menyebabkan
hidrosefalus. (National Institute for Health and Clinical
Excellence, 2007 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Dampak trauma kepala terhadap sistem tubuh lainnya. Gamgguan
sistem persyarafan akibat trauma kepala akan berdampak terhadap
sistem tubuh lainnya :1. Sistem kardiovaskuler : aktifitas miokard
berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya
stroke work dimana pembacaan CVP abnormal, tidak adanya stimulus
endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan
meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi
dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
(Pahria, 2002)2. Sistem pernafasan : konsentrasi oksigen dan
karbondiosida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah.
Penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang menyebabkan
vasokontriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood
fluid). Bila PCO2 bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan
menyebabkan terjadinya penambahan tingginya tekanan intrakranial
(TTIK). Edema otak karena trauma adalah bentuk vasogenik. Pada
kontusiobotak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan
traumatik yang mengandung protein eksudat yang berisi albumin.
Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapakn edema
otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan jaingan
sekitarnya. Edema otak dapat mengakibatkan herniasi dan penekanan
batang otak atau medulla oblongata. Akibat penekanan daerah medulla
oblongata dapat menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai
dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
(Pahria, 2002)3. Sistem pencernaan : hipothalamus merangsang
anterior hipofisis untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini
adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral. Namun,
pengaruhnya erhadap lambung adalah peningkatan sekresi asam lambung
yang menyebabkan hiperasiditas. Sein itu, hiperasiditasterjadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani
stres yang mempengaruhi produksi asam lambung. Hiperasiditas yang
tidak ditangani akan menyebabkan perdarahan lambung (Pahria,
2002)4. Sistem endokrin dan perkemihan : retensi natrium disebutkan
karena adanya stimulus terhadap hipotalamus yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengampil peran dalam
proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan
natrium (Pahria, 2002)5. Sistem muskuloskeletal : trauma kepala
menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga berbagai proses pengolahan impuls
yang datang terganggu, begitupun terhadap aktivitas otot dan
rangka, sehingga bila terjado kerusakan pada yang mengatur
aktivitas motorik maka akan menyebabkan terjadinya hemiplegi atau
parase. Selain itu, sebagai akibat tidak langsung dari terganggunya
system pernafasan, kardiovaskuler dan pencernaan maka akan
mengakibatkan terganggunya proses metabolisme sel sehingga terjadi
kelemahan fisik (Hudak dan Gallo, 2005).6. Sistem integumen : pada
klien yang terjadi trauma kepala sehingga menimbulkan luka di
kepala penyembuhan lukanya tidak baik akan didapatkan tanda tanda
rubor, tumor, dolor kalor dan fungsiolesa dan bila infeksi akan
didaatkan gangguan integritas kulit. Seain itu, juga dapat terjadi
peningakatan suhu tubuh sehingga pada anggota badan akan tampak
banyak keringat.Dengan hilangnya fungsi motorik, pasien cedera
kepala dapat rentan terhadap kerusakan kulit. Pasien tidak sadar
dan seseorng yang daam keadaan immobilisasi cenderung mengalami
masalah kulit karena penekanan, kelembaban, gesekan dan penurunan
sensasi (Hudak dan Gallo, 2005).
Kerusakan otak iskemik disebabkan karena kontusio fokal dengan
infark yang menyertai cedera otak. Hal ini menyebabkan gangguan
perfusi jaringan otak. Manifestasi klinis yang muncul tergantung
dari lokasi iskemik. (Brain Trauma Foundation,2007)
Hipoksia serebral dan hiperkarbi berhubungan dengan gangguan
pada pertukaran gas di paru-paru atau gangguan ventilasi. Hal ini
merupakan faktor tambahan yang penting pada pasien dengan infeksi
dada, edema paru, pneumotorak, dan pada flail chest atau fraktur
iga multipel. Efek hipoksia dan atau hiperkarbi dapat diperburuk
oleh hipotensi sistemik yang menyebabkan gangguan aliran darah
serebral (Marik, 2002 dan Brain Trauma Foundation,2007)
Otak yang normal dapat menjaga pasokan darah untuk kebutuhan
metabolismenya melalui myogenik autoregulasi dalam pembuluh darah
serebral. Kerusakan otak menyebabkan terganggunya kemampuan
regulasi pasokan darah, dan aliran darah serebral menjadi lebih
pasif terhadap perubahan tekanan darah sistemik (Mauritz, 2008 dan
Marik, 2002)
2.2 Oksigenasi Sebagai Kebutuhan Dasar ManusiaLandasan teori
menurut Virginia Henderson dalam Asmadi (2005) tentang kebutuhan
dasar manusia adalah model konsep aktifitas sehari-hari dengan
menggambarkan fungsi utama perawat yaitu menolong orang yang
sakit/sehat dalam usaha menjaga kesehatan atau menghadapi kematian
dengan tenang. Teori Henderson berfokus pada individu berdasarkan
pandangan, yaitu jasmani (body) dan Rohani (mind) yang tidak dapat
di pisahkan.
Pemahaman konsep teori keperawatan dari Virginia Handerson
didasari kepada keyakinan dan nilai yang dimilaikinya diantaranya :
1) Manusia akan mengalami perkembangan mulai dari prtumbuhan dan
perkembangandalam rentang kehidupan, 2) Dalam melaksankan aktifitas
sehari hari individu akan mengalami ketergantungan sejak lahir
hingga menjadi mandiri pada dewasa yang dapat dipengaruhi oleh pola
asuh, lingkungan dan kesehatan, 3) Dalam melaksanakan aktifitas
sehari hari individu dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
diantaranya terhambat dalam melakukan aktifitas, belum dapat
melaksanakan aktifitas dan tidak dapat melakukan aktifitas
(Hidayat, 2007)
Henderson mengkonseptualisasikan peran perawat sebagai peran
yang membantu individu sakit atau sehat dengan cara menambah atau
saling melengkapi. Perawat harus menjadi mitra klien, orang yang
memberikan bantuan pada klien dan jika diperlukan, pengganti bagi
klien. Fokus perawat adalah membantu individu dan keluarga untuk
mencapai kemandirian dalam memenuhi 14 kebutuhan dasar: 1) Bernafas
dengan normal, 2) Nutrisi, 3) Eliminasi, 4) Gerak dan keseimbangan
tubuh, 5) Istirahat tidur, 6) Berpakaian, 7) Mempertahankan
sirkulasi, 8) Personal hygiene, 9) Rasa aman dan nyaman, 10)
Berkomunikasi, 11) Kebutuhan spiritual, 12) Kebutuhan rekreasi, 13)
Kebutuhan bekerja, 14) Kebutuhan bermain dan rekreasi dan kebutuhan
belajar
Menurut Kozier dan Erb (2004) Kebutuhan tubuh terhadap oksigen
merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan mendesak. Tanpa
oksigen dalam waktu tertentu, sel tubuh akan mengalami kerusakan
yang menetap dan menimbulkan kematian. Otak merupakan organ yang
sensitif terhadap kekurangan oksigen. (Asmadi, 2005).
Permasalahan dalam hal pemenuhan kebutuhan oksigen tidak
terlepas dari gangguan yang terjadi pada sistem respirasi baik pada
anatomi maupun fisiologis dan organ-organ respirasi. Permasalahan
dalam pemenuhan tersebut juga dapat disebabkan karena adanya
gangguan pada system tubuh yang lain, misalnya system
kardiovaskuer. Gangguan pada system respirasi dapat disebabkan di
antaranya oleh karena peradangan, obstruksi, trauma, kanker,
degenerative dll. Gangguan tersebut akan menyebabkan kebutuhan
oksigen dalam tubuh tidak terpenuhi secara adekuat (Asmadi,
2005).
Oksigen atau zat asam adalah salah satu bahan farmakologi,
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau digunakan untuk
proses pembakaran dan oksidasi. Oksigen merupakan unsur golongan
kalkogen dan dapat dengan mudah bereaksi dengan hampir semua unsur
lainnya (utamanya menjadi oksida). Pada Temperatur dan tekanan
standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi dioksigen, yaitu
senyawa gas diatomic. (Sudarmoko dan Susanto,2010). Oksigen banyak
dipakai untuk pasien dengan kelainan kardiopulmoner.
Kebutuhan Oksigen orang dewasa sehat pada kondisi istirahat
rata-rata 53 liter oksigen per jam, kalau sedang bernapas rata-rata
sekitar 500 mL udara per napas. Hal ini disebut volume tidal
normal, yaitu terdiri dari 150 mL udara akan pergi ke daerah yang
tidak berfungsi di paruparu, hal ini yang disebut "ruang mati."
Tingkat napas rata-rata adalah 12 kali per menit. Jumlah udara yang
di hirup oleh manusia adalah 12 x(500 ml -150 ml) = 4.200 mL/menit.
Kalikan dengan 60 untuk mendapatkan 252.000 mL / jam. Artinya,
setiap jam, orang akan bernapas dalam 252 liter udara (prasetyo,
2011).
Indikasi primer terapi oksigen adalah pada kasus hipoksemia yang
telah dibuktikan dengan pemeriksaan analisa gas darah. Indikasi
lain adalah trauma berat, infark miokard akut, syok, sesak napas,
keracunan CO, pasca anestesi dan keadaan-keadaan akut yang diduga
terjadi hipoksemia. Adapun tujuan dari terapi oksigen adalah
mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 %, sehingga
dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan
kerja pernapasan dan menurunkan kerja otot jantung. Untuk pemberian
terapi oksigen sama seperti memberikan obat, sehingga beberapa kata
kunci pada terapi oksigen adalah :a. Siapa yang memerlukan terapi
oksigenb. Bagaimana cara pemberian terapi oksigenc. Bagaimana cara
memonitor pemberian oksigen
Untuk mendeteksi keadaan hipoksemia perlu dilakukan pemeriksaan
antara lain :1. Pemeriksaan gejala klinik seperti sianosis,
disorientasi, takipnu, dispnu, takikardi atau bradikardi, aritmia,
hipertensi atau hipotensi, polistemia dan clubbing.2. Pemeriksaan
analisa gas darah.Pemeriksaan ini merupakan gold Standar analysis
untuk mendeteksi keadaan hipoksemia dan dapat dilihat nilai PaO2
dan SaO2.3. Pulsa oksimetri Pulsa Oksimetri mengukur kadar oksigen
di darah arteri. Alat ini bekerja dengan cara ditempelkan di bagian
tertentu di tubuh pasien seperti telinga, jari, atau kaki yang
selanjutnya akan mentransmisikan sinar melalui pembuluh darah
pasien. Alat ini lalu mengukur perbedaan absorpsi panjang gelombang
cahaya yang berbeda. Pulsa Oksimetri merupakan kemajuan di bidang
kedokteran, dan banyak digunakan terutama di bidang anestesi dan
perawatan intensif. Meski demikian, pulsa oksimetri memiliki
sejumlah kekurangan, misalnya teknologi ini tidak bisa menembus
jaringan yang lebih dalam, sensitif terhadap cahaya di sekitarnya,
dan memiliki keterbatasan terhadap perfusi periferal seperti di
jari. Oksimetri jaringan, teknologi yang memugkinkan untuk menembus
jaringan yang lebih dalam, tidak bisa memberikan sebuah ukuran
absolut mengenai saturasi oksigen darah. Pulsa oksimetri adalah
suatu metode non invasive untuk monitoring oksigen saturasi (SpO2)
dari hemoglobin. Sekarang ini, alat pulsa okimetri banyak digunakan
di tempat pelayanan kesehatan yang mencakup perawatan intensif,
ruang penyembuhan rehabilitasi dan untuk monitoring pasien yang
dianesthesia. Alat pulsa oksimetri mengijinkan dua panjang
gelombang cahaya yang berbeda (merah, biasanya 550 nm dan
inframerah, biasanya 950 nm) untuk menembus sekeliling bagian
peripheral dari tubuh pasien, biasanya ujung jari atau daun
telinga, dan mengukur tiap panjang gelombang cahaya yang relatif
berkurang (R-ratio). Jaringan biologi yang sedang diukur terdiri
dari banyak unsur-unsur, mencakup kapiler, arteri, vena, kulit dan
jaringan yang lainnya. Kecuali untuk pembuluh darah arteri,
berkurangnya cahaya oleh unsur jaringan lainnya adalah relatif
tetap.
Gejala kekurangan pasokan oksigen ke otak dapat menyebabkan
penurunan kontrol dan perubahan kognitif meliputi pusing jika
bangun dan berdiri dengan cepat, lemah peningkatan detak jantung,
kehilangan memori untuk jangka pendek dan perubahan warna kebiruan.
Pada kondisi parah seseorang yang mengalami hipoksia dapat
mengalami gejala seperti kejang, koma, berhentinya nafas dan tidak
adanya refleks otak. Seseorang dapat dikatakan mati otak ketika
terjadi kerusakan otak dan hilangka fungsi otak tapi jantung terus
berddenyut sedangkan pernafasan dibantu dengan ventilator mekanik.
Hipoksia serebral dapat didiagnosa dengan bantuan pemeriksaan
fisik, tes darah dan sebagainya. Penderita memerlukan alat bantu
pernafasan atau ventilator mekanik. Jika otak kekurangan oksigen
dalam waktu yang sangat singkat mungkin ada sedikit kerusakan.
Namun, beberapa pasien dapat pulih tergantung sejauh mana cedera
terjadi pada otak. Resiko kematian otak lebih tinggi jika otak
tidak mendapatkan oksigen yang cukup lama lebih dari lima menit
(Wedaran, 2015).
2.2.1 DefinisiTerapi oksigen mempunyai beberapa definisi di
antaranya yang ditentukan oleh Perry dan Potter (2006) terapi
oksigen (O2) adalah cara pemberian O2 ke klien untuk mencegah
hipoksia. Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dari udara lingkungan (Kallstrom,
2002).
Le Mone, (1997) menyebutkan bahwa terapi oksigen adalah
pemberian O2 yang berasal dari sentral atau tabung oksigen. Sumber
oksigen di setiap rumah sakit ada dua yaitu oksigen sentral, di
mana akan dialirkan ke setiap ruangan dengan menggunakan pipa yang
ditanam di dalam tembok. Kedua tabung oksigen, yaitu oksigen yang
terdapat di dalam tabung silinder yang bisa di bawa kemana- mana.
Tabung oksigen digunakan sebagai sumber oksigen pada waktu transpor
pasien. Oksigen dari kedua sumber perlu diwaspadai saat diberikan
ke klien karena bersifat kering (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2004).
2.2.2 Tujuan terapi oksigenTujuan utama terapi O2 secara klinis
untuk mencegah atau mengatasi keadaan hipoksia (Perry & Potter,
2006). Smeltzer dan Bare (2008) Memberikan transpor oksigen yang
adekuat dalam darah sambil menurunkan upaya bernafas dan mengurangi
stres pada miokardium.
Berdasarkan tujuan terapi oksigen, dapat di tentukan indikasi
utama pemberian O2 yaitu: klien dengan hipoksemia (PaO2 6 LPM)
tidak diperlukan humidifien.
6Teknik Pemberiana. Nasal prong (O2 Nasal) 24%-40% 2-4 LPMb.
Masker Sederhana 40%-80% 8-10 LPMc. RM 40%-80% 8-10 LPMd. NRM
40%-90% 8-10 LPMe. Venturi mask 24%-60% 4-10 LPMf. Jackson Reese
100% 10-15 LPMg. CPAP Mask atau Nasal 21-100%h. Respirator
21-100%i. Incubator (sampai 40%)j. Oxygen Tent/ Head Box 30-50%1.
Tanpa O2 21%2. Dengan 02 tanpa reservoir 40%-60% 8-10 LPM3. Dengan
O2+reservoir 100% 8-10 LPM
1.10 Kerangka TeoriInput Proses Output
Terapi OksigenasiTerpenuhi Kebutuhan OksigenPerawatPasienTidak
mampuTidak mauTidak tahu
Kebutuhan dasar manusiaBernafas dengan
normalNutrisiHliminasiHerak dan keseimbangan tubuhIstirahat
tidurBerpakainMempertahankan sirkulasiPersonal hygieneRasa aman dan
nyamanBerkomunikasiKebutuhan spiritualKebutuhan rekreasiKebutuhan
bekerjaKebutuhan bermain dan rekreasi dan kebutuhan belajar
Faktor Internal:KompetensiMotivasi Outcome
Faktor Eksternal:Lingkungan KerjaFasilitasKebijakanMeningkatnya
kualitas hidup
Tercegahnya kecacatan dan kematian
Karakteristik PasienUmurJenis kelaminPendidikan
terakhirKarakteristik PerawatKarakteristik PerawatUmurJenis
kelaminPendidikan terakhirLama bekerja
Gambar 2.1 Modifikasi menggunakan teori Kebutuhan Dasar Manusia
Virginia Hunderson.
12