BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen penghubung antara bagian proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas (trakea). 1 B. ETIOLOGI Etiologi dari atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus masih belum jelas. Adanya hubungan dengan anomali lainnya menandakan gangguan yang bersifat menyeluruh selama fase awal embriologi. Organ lain yang mengalami anomali kongenital bersamaan dengan atresia esofagus diantaranya jantung (35%), genitourinaria (24%), traktus gastrointestinal (24%), skeletal (13%), susunan saraf pusat (10%). 1 Beberapa pola abnormalitas yang berhubungan dengan atresia esofagus diantaranya VATER (Vertebral defect, Anal atresia, Trakeo- esophageal fistula, Esophageal, Renal abnormality), VACTERYL (Vertebral, Anal, Cardiac, Trache-
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa
gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia esofagus dapat disertai
dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen penghubung antara bagian
proksimal dan atau distal esofagus dengan jalan napas (trakea).1
B. ETIOLOGI
Etiologi dari atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus masih belum jelas.
Adanya hubungan dengan anomali lainnya menandakan gangguan yang
bersifat menyeluruh selama fase awal embriologi. Organ lain yang mengalami
anomali kongenital bersamaan dengan atresia esofagus diantaranya jantung
(Vertebral, Anal, Cardiac, Trache-oesophageal, Esophageal, and Radial
abnormalities) dan CHARGE (Colobomata, Heart disease, choanal Atresia,
mental Retardation, Genital hypoplasia, and Ear abnormalities).2 Atresia
esofagus dengan atau tanpa fistula juga kerap ditemukan pada pasien dengan
sindrom DiGeorge dan sindrom Down.1
Hal yang dikaitkan berpengaruh terhadap kejadian atresia esofagus
diantaranya kekurangan vitamin A, adanya agen infeksius, penggunaan lama
pil kontrasepsi dan pajanan yang tinggi terhadap hormon progesteron selama
kehamilan.2 Sampai saat ini tidak ditemukan adanya gen khusus yang
berhubungan dengan kejadian atresia esofagus pada manusia.5
C. EMBRIOLOGI
Ketika mudigah berusia kurang lebih 4 minggu, sebuah divertikulum
respiratorius (tunas paru) tampak di dinding ventral usus depan, di perbatasan
dengan faring, menginvasi jaringan mesoderm splanknik di sekitarnya.5,7
Divertikulum ini berangsur-angsur terpisah dari bagian dorsal usus depan
melalui sebuah pembatas, yang dikenal sebagai septum esofagotrakealis dan
akan mengalami pemanjangan. Dengan cara ini, usus depan terbagi menjadi
bagian ventral yaitu primordium pernapasan dan bagian dorsal yaitu esofagus.
Lapisan otot yang dibentuk oleh mesenkim sekitarnya bercorak serat lintang
pada dua pertiga bagian atasnya dan dipersarafi oleh nervus vagus. Lapisan
otot di sepertiga bawah adalah otot polos dan dipersarafi oleh pleksus
splangnikus.7
Gambar 1. Urutan tingkat perkembangan divertikulum pernapasan dan esofagus melalui penyekatan usus depan pada akhir minggu ke-3 (A) dan
selama minggu ke-4 (B dan C) 7
Normalnya, jaringan mesenkim akan berproliferasi diantara tabung
pernapasan dan esofagus untuk memisahkan keduanya. Beberapa teori
menyatakan bahwa adanya pertumbuhan abnormal sel epitelial diantara kedua
tabung tersebut dapat menimbulkan terbentuknya fistula trakeoesofagus,
sedangkan kelebihan pertumbuhan jaringan mesenkimal dapat mengganggu
dan menghalangi proses perkembangan esofagus dan menimbulkan
terbentuknya atresia esofagus.1
Di daerah fistula, cincin trakea akan berbentuk U dengan bagian
membranosa yang lebar dibandingkan dengan normalnya yang berbentuk C
dengan bagian membranosa yang pendek. Keadaan ini menyebabkan
trakeomalacia. Mukosa trakea juga dapat kehilangan sel epitel silia dan sel
goblet yang penting bagi pernapasan. Pada esofagus yang mengalami atresia,
perkembangan plexus myenterikus dan plexus Auerbach dapat terganggu
sehingga menyebabkan gangguan gerak peristaltik esofagus dan gangguan
fungsi sfingter esofagus distal. Fungsi jaringan otot pada esofagus juga dapat
menjadi abnormal.1
D. KLASIFIKASI
Perbedaan gambaran anatomi atresia esofagus dengan atau tanpa fistula
trakeoesofagus menimbulkan perbedaan dalam hal pengklasifikasiannya,
namun salah satu klasifikasi yang banyak dipakai dan praktis secara klinis
ialah sistem klasifikasi oleh Gross dan Vogt yang membedakan atresia
esofagus menjadi 5 tipe sebagai berikut 1,2,6 :
1. Tipe A : atresia esofagus terisolasi. Angka kejadiannya sekitar 8% dari
semua kasus.
2. Tipe B : atresia esofagus distal dengan fistula yang menghubungkan
bagian proksimal esofagus dengan trakea (fistula trakeoesofagus
proksimal) dengan angka kejadian 0,8%.
3. Tipe C : merupakan tipe yang paling sering terjadi yaitu sekitar 88,5%
- 90% dimana terdapat proksimal atresia esofagus disertai fistula
trakeoesofagus di bagian distal.
4. Tipe D : atresia esofagus dengan double fistula trakeoesofagus yaitu di
bagian proksimal dan distal esofagus dengan angka kejadian 1,4%.
5. Tipe E : disebut juga tipe-H dimana tidak terdapat atresia esofagus
namun terdapat fistula trakeoesofagus dengan angka kejadian sekitar
4% dari semua kasus.
Gambar 2. Klasifikasi atresia esofagus oleh Gross dan Vogt 1
E. EPIDEMIOLOGI
Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula merupakan malformasi
kongenital yang umum terjadi dan mengancam kehidupan. Insidensinya 1
dalam 3500 kelahiran hidup.5 Kelainan kongenital ini dapat berdiri sendiri
namun lebih sering terjadi bersamaan dengan anomali lain.1,5 Di Amerika,
kelainan ini terjadi 1 diantara 4500 kelahiran hidup dan 50%-nya juga
menderita kelainan bawaan lain.2 Adanya riwayat keluarga terutama
meningkatkan resiko kejadian menjadi 2,5% dibandingkan jika tanpa adanya
riwayat keluarga resikonya hanya 1%.5 Bentuk yang paling sering ditemukan
ialah tipe C dimana bagian proksimal esofagus memiliki kantong buntu dan
bagian distalnya terdapat fistula trakeoesofagus.7
Anuntkosol dkk., di Thailand pada tahun 2000 mendapatkan insidensi
atresia esofagus 1,2 : 10.000 kelahiran hidup dengan 90% merupakan tipe C.
sebanyak 34,2% tanpa disertai dengan anomali lainnya dan sisanya disertai
anomali organ lain dan yang terbanyak ialah jantung (47,6%), kelainan
vertebra dan ortpedik lain (27,5%), traktus gastrointestinal (18,0%), traktus
urinarius (11,4%) dan sisanya berupa kelainan susunan saraf pusat, kelainan
kromosom, dan labiopalatoskisis.8
Penelitian di India mendapatkan sejumlah 127 kasus atresia esofagus dari
tahun 2004 – 2006 dengan bentuk terbanyak ialah tipe C (117 kasus/92%),
atresia esofagus murni/ tipe A ditemukan sebanyak 9 kasus (7%) dan satu
kasus (1%) merupakan bentuk tipe D. Perbandingan laki-laki dan perempuan
ialah 1,95:1, namun secara umum tidak terdapat perbedaan ydalam hal gender.
Kelainan bawaan lain ditemukan pada 52 kasus (41%) dengan rincian
penyakit jantung bawaan (17 kasus), traktus gastrointestinal (15 kasus),
anomali vertebra dan sistem saraf pusat (8 kasus), anomali muskuloskeletal (6
kasus). 11
F. GAMBARAN KLINIS
Gejala yang dapat terlihat dalam hari pertama setelah kelahiran berupa
tidak bisa minum ASI, tersedak atau muntah dan tidak dapat menelan air liur
sehingga terjadi hipersalivasi. Jika disertai dengan fistula trakeoesofagus
proksimal (tipe B) dapat terjadi aspirasi ASI ke paru-paru karena seluruh ASI
yang ditelan bayi akan berakhir di paru-paru sehingga bayi tampak sesak
napas dan sianosis. Adanya ASI (makanan/benda asing) di paru-paru dapat
menyebabkan pneumonia. Distensi abdomen dapat terjadi jika terdapat aliran
udara dari trakea ke lambung melalui fistula trakeoesofagus distal (tipe C dan
D).3 Atresia esofagus tipe D selain adanya fistula trakeoesofagus distal juga
terdapat fistula di bagian proksimal dan merupakan salah satu tipe yang sulit
terdiagnosis. Gejala klinisnya dapat berupa asthma atau batuk yang persisten
karena aspirasi dalam beberapa tahun. Namun, pada tipe D dengan adanya
fistula memberikan jalan bagi ASI dan makanan mencapai lambung melalui
fistula proksimal ke trakea dan melalui fistula distal kembali ke esofagus dan
akhirnya ke lambung. 4
Atresia esofagus tipe E atau disebut juga tipe H merupakan tipe yang sulit
didiagnosis dini dan dapat terdiagnosis setelah bayi tumbuh menjadi anak-
anak atau dewasa. Pada tipe ini tidak terdapat atresia esofagus sehingga
makanan dapat mencapai lambung namun, makanan juga dapat masuk ke
paru-paru melalui fistula. Begitu juga sebaliknya udara dari trakea dapat
masuk ke lambung melalui fistula sehingga terdapat udara dalam jumlah yang
banyak di abdomen dan tampak distensi abdomen. Gejala tipikal lainnya
berupa sering tersedak ketika makan dan minum, dan pneumonia aspirasi yang
berulang. Untuk itu, Bayi dengan atresia esofagus baik dengan fistula atau
tidak memiliki mortalitas yang tinggi.3
G. DIAGNOSIS
Atresia esofagus baik secara klinis maupun etiologi merupakan kondisi
yang heterogen/ beragam. Beberapa hal yang dapat membantu diagnosis
diantaranya sebagai berikut 3,5 :
Anamnesis meliputi :
a. Riwayat ibu selama kehamilan misalnya adanya pajanan terhadap
teratogen seperti methimazole. Penting juga untuk menanyakan ada
tidaknya penyakit diabetes pada ibu. 5
b. Riwayat keluarga yaitu adanya anggota keluarga lain dengan
atresia esofagus atau fistula trakeoesofagus, atresia
Gastrointestinal tract, malformasi jantung atau ginjal, IUFD pada
kehamilan lanjut, riwayat kematian bayi sesaat setelah lahir,
mikrocephali atau gangguan mental dan gangguan belajar. Hal
tersebut mengarahkan pada diagnosis sindrom Feingold. 5
Pemeriksaan antenatal. Kecurigaan ke arah atresia esofagus dapat
didukung oleh temuan pemeriksaan USG antenatal berupa polihidramnion dan
sedikit atau tidak ditemukan gas di dalam lambung dan usus (absent stomach
bubble).2 Pada beberapa pasien, adanya sekresi dari lambung dan adanya
fistula trakeoesofagus membantu visualisasi dari lambung.6
Normalnya, fetus akan menelan cairan amnion di dalam kandungan namun
dengan adanya atresia esofagus maka cairan amnion tidak dapat ditelan dan
menimbulkan polihidramnion.3 Temuan ini dapat memprediksikan kejadian
atresia esofagus sekitar 40-50% dari semua kasus dan meningkat menjadi 56%
jika disertai temuan tidak adanya gambaran gas di lambung. Gambaran ini
dapat tampak pada atresia esofagus terisolasi (tipe A) maupun atresia esofagus
dengan fistula trakeoesofagus.2,6
Diagnosis atresia esofagus juga dapat ditegakkan dengan gambaran
dilatasi dari kantong esofagus proksimal yang buntu. Gambaran ini membantu
diagnosis atresia esofagus meskipun terdapat gambaran udara di lambung dan
usus, sehingga USG merupakan pemeriksaan penunjang yang reliabel dan
spesifik untuk atresia esofagus baik dengan maupun tanpa fistula
trakeoesofagus.6
Gambar 3. A : gambaran potongan transversal USG abdomen fetus menunjukkan cairan di lambung (fluid-filled stomach). B : gambaran potongan koronal dari leher dan dada fetus yang menunjukkan ujung buntu kantong esofagus tanpa gambaran udara di lambung (empty phase). C : gambaran potongan koronal dari leher dan dada fetus yang menunjukkan ujung buntu kantong esofagus proksimal dengan gambaran udara di lambung (full phase).6
Diagnosis klinis atresia esofagus atau fistula trakeoesofagus biasanya
dapat ditegakkan dalam beberapa jam pertama setelah bayi lahir. Gejala klinis
yang dapat ditemukan diantaranya hipersalivasi (drooling) dan distres
pernapasan ringan. Pemberian makanan pertama berupa ASI diikuti oleh
regurgitasi, tersedak (choking), batuk-batuk dan bahkan sianosis. Bayi dengan
atresia esofagus disertai fistula trakeoesofagus distal sering menunjukkan
distensi abdomen dikarenakan udara dari trakea dapat lewat melalui fistula
menuju esofagus menuju lambung dan traktus gastrointestinal. Namun, untuk
klasifikasi tipe H yang tidak disertai atresia esofagus dapat tidak menunjukkan
gejala sesaat setelah lahir melainkan adanya episode sianosis dan infeksi paru
berulang misalnya pneumonia lobus atas paru kanan dalam masa neonatal
sampai masa anak-anak.2
Pemeriksaan fisik untuk melihat adanya kelainan bawaan lain seperti
jumlah dan bentuk jari-jari, ada tidaknya coloboma, anophtalmia/
microphtalmia, pertumbuhan yang terhambat dapat mengarahkan pada
sindrom CHARGE.5
Konfirmasi diagnosis atresia esofagus dapat dilakukan dengan
pemasangan NGT (nasogactric tube) atau OGT (orogastric tube) yang tidak
dapat mencapai lambung karena esofagus yang buntu sehingga pipa akan
bergelung di ujung kantong buntu esofagus tersebut. Pemeriksaan radiologi X-
ray (photo polos abdomen) menunjang hal tersebut dengan memberikan
gambaran pipa NGT/OGT yang berakhir di ujung buntu esofagus dan bukan
di lambung. Jika terdapat fistula trakeoesofagus maka pipa tersebut dapat
terlihat berakhir di paru-paru. Bagian distal esofagus dapat memberikan
gambaran terisi udara dan hal ini menandakan adanya fistula trakeoesofagus
distal.2,3 Gambaran ini juga dapat memberikan informasi mengenai celah
pemisah (gap) antara esofagus proksimal dan distal yang mengalami atresia
dan dinilai berdasarkan tulang vertebra. Atresia esofagus terisolasi (tipe A)
maupun atresia esofagus dengan fistula di proksimal akan memberikan
gambaran “gaslessness” pada photo polos abdomen. Photo polos abdomen
juga bermanfaat untuk mendeteksi adanya kelainan atau abnormalitas lainnya
seperti atresia duodenal, anomali vertebra, agenesis sacrum dan adanya
tambahan atau ketiadaan tulang iga.2 Photo polos thorax juga dapat menilai
ada tidaknya konsolidasi dikarenakan pneumonia aspirasi terutama terlihat di
lobus atas paru.12
Lebih dari seperempat pasien atresia esofagus tipe C memiliki hubungan
dengan kelainan traktus gastrointestinal lainnya seperti stenosis pylorus,
atresia duodenum dan malformasi anorektal. Pola distribusi udara pada photo
polos abdomen memberikan petunjuk ada tidaknya kelainan tersebut.
Misalnya adanya udara yang terkurung atau terpisah di lambung dan
duodenum meningkatkan kecurigaan adanya atresia duodenum.12
A B
Gambar 4. A: Kombinasi photo polos abdomen dan thorax AP yang menggambarkan “gasless abdomen” pada atresia esofagus murni (tipe A) atau atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (tipe B).2 B : photo polos lateral yang menunjukkan atresia esofagus dimana kantung esofagus proksimal berdilatasi dan terisi udara (tanda bintang). Gambaran udara di lambung dan usus menandakan adanya fistula trakeoesofagus distal.12
Pemeriksaan X-ray dengan kontras jarang dilakukan untuk mendiagnosis
atresia esofagus dengan frekuensi terbanyak (tipe C), melainkan digunakan
untuk memastikan adanya fistula pada klasifikasi tipe E dan untuk
menentukan panjang celah pada atresia esofagus murni (tipe A) dan jika
didapatkan celah yang cukup panjang maka tindakan pembedahan biasanya
ditunda.2 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan ialah bronkoskopi
atau esofagoskopi. Esofagogram dengan fluoroskopik atau barium swallow
merupakan cara terbaik untuk mendiagnosis fistula trakeoesofagus tipe H
dimana pipa NGT dapat berakhir di lambung.3,12 Diagnosis dan tindakan
pembedahan pada pasien dengan fistula trakeoesofagus tipe-H biasanya
tertunda hingga bayi mencapai usia rata-rata 8 bulan.1
H. PENATALAKSANAAN AWAL (KONSERVATIF)
Bayi dengan atresia esofagus dengan atau tanpa fistula memerlukan
tindakan resusitasi awal dan ventilasi terutama jika terdapat distres
pernapasan. Namun, jika bayi dengan fistula trakeoesofagus distal dilakukan
ventilasi maka tindakan pembedahan untuk meligasi fistula harus segera
dilakukan dalam 8 jam pertama terkait perburukan kondisi pernapasannya dan
resiko terjadinya perforasi gaster.2
Penatalaksanaan preoperatif yang juga sangat penting ialah mencegah
terjadinya aspirasi dari sekresi faring maupun refluks dari isi lambung melalui
fistula trakeoesofagus. Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
suction secara intermiten atau aspirasi yang berkelanjutan menggunakan
kateter bertekanan rendah dengan doubel lumen atau Replogle tube.2
Bayi diposisikan dengan bagian kepala lebih tinggi untuk mencegah
terjadinya refluks cairan lambung.2
Pemberian cairan intravena dan antibiotik spektrum luas
direkomendasikan untuk diberikan.2
I. TERAPI PEMBEDAHAN
Tujuan dari terapi pembedahan yaitu 2 :
1. Menyelamatkan nyawa bayi
2. Mengembalikan fungsi traktus gastrointestinal
3. Mempertahankan kondisi esofagus seperti semula
Prinsip dasar terapi pembedahan mencakup pendekatan terhadap tiga
kategori atresia esofagus yaitu atresia esofagus celah sempit dengan fistula
distal, atresia esofagus celah jauh dengan atau tanpa fistula proksimal dan
fistula trakeoesofagus tanpa atresia (tipe H).2
Kebanyakan bayi dengan atresia esofagus/ fistula trakeoesofagus
menjalani pembedahan di awal kehidupannya berupa anastomosis esofagus
primer dengan atau tanpa esophagomyotomi. Pada beberapa kasus yang berat,
tindakan anastomosis ditunda dan diganti dengan tindakan esophagostomi
servikal. Anastomosis esofagus ditunda sampai terjadi pertumbuhan esofagus
yang cukup untuk menunjang anastomosis. Pada kasus dimana anastomosis
esofagus tidak mungkin dilakukan maka anastomosis dilakukan dengan
jaringan yang diambil dari gaster, jejunal atau kolon.1
1. Atresia esofagus celah sempit (narrow gap) dengan fistula distal
Definisi celah sempit pada atresia esofagus merupakan hal yang
subjektif yaitu jarak antara esofagus proksimal dan distal yang cukup
dekat sehingga dapat dilakukan reparasi/anastomosis primer. Celah
tersebut dinilai berdasarkan jumlah badan vertebra antara esofagus
proksimal dan distal yang terlihat melalui photo polos thorax. 2 Literatur
lain menyebutkan klasifikasi celah antar esofagus sebagai berikut11 :
Short gap : celah antar esofagus <1 cm atau kurang dari satu badan
tulang vertebra.
Intermediate gap : celah antar esofagus sepanjang antara 1-3 cm
atau sejumlah satu sampai tiga badan vertebra.
Long gap : celah antar esofagus > 3cm atau lebih dari 3 badan
vertebra.
Pada neonatus tanpa abnormalitas berat lainnya, tindakan pembedahan
normalnya dilakukan dalam 48 jam pertama setelah kelahiran bayi.
Tindakan operasi diawali dengan penilaian terhadap kantong atas esofagus
melalui esofagoskopi dan identifikasi letak fistula trakeoesofagus melalui
bronkoskopi. Insisi yang digunakan ialah thorakotomi sebelah kanan
kanan (biasanya melalui celah iga ke-4) dengan pendekatan retropleural.
Fistula dan kedua kantung esofagus diidentifikasi kemudian fistula
dipisahkan dari trakea dan dijahit tersendiri. Ujung buntu esofagus
proksimal dieksisi kemudian dihubungkan dengan ujung distalnya melalui
jahitan terputus. Beberapa ahli bedah sering meletakkan NGT di daerah
anastomosis (transanastomotic tube) untuk mengamankan anastomosis
dan memudahkan pemberian makanan per oral pascaoperasi. Drain
retropleural juga kerap dipasang di akhir operasi untuk memudahkan
identifikasi ada tidaknya kebocoran dari anastomosis esofagus tersebut. 2
2. Atresia esofagus celah jauh (long gap) dengan atau tanpa fistula proksimal
Atresia esofagus dengan celah jauh merupakan tantangan bagi para
ahli bedah. Sama halnya dengan celah sempit, definisi celah jauh juga
bersifat subjektif namun istilah celah jauh biasanya ditujukan untuk atresia
esofagus murni dan atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus
proksimal (25% dari seluruh kasus atresia esofagus celah jauh).
Pendekatan pembedahan ialah dengan penundaan anastomosis primer
(delayed primary repair) atau dengan oesophageal replacement.2
Melalui bronkoskopi dan esofagoskopi, jika ditemukan fistula bagian
proksimal maka harus segera diligasi. Pemilihan tindakan bedah yang akan
dilakukan tergantung dari jarak antara ujung esofagus dan keahlian ahli
bedahnya. Jika ditemukan ujung distal esofagus menonjol di atas
diafragma maka penundaan operasi anastomosis merupakan pilihan yang
utama, sedangkan jika ujung distal esofagus murni terletak intraabdominal
maka oesophageal replacement diperlukan. 2
Penundaan operasi dilakukan sampai usia 6-8 bulan. Ada beberapa
bukti yang mendapatkan bahwa celah antar ujung esofagus berkurang
sejalan dengan pertumbuhan bayi dan kondisi esofagus juga semakin baik
untuk menunjang anastomosis (suture repair). Gastrostomi dilakukan
sebelum operasi anastomosis untuk menunjang pemberian makanan dan
untuk evaluasi. Selanjutnya, pendekatan operasi anastomosis primer yang
dilakukan sama halnya dengan atresia esofagus celah sempit.2 Gastrostomi
dan penundaan operasi merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan
kondisi yang buruk dibandingkan dengan thorakotomi darurat untuk
meligasi fistula.8
Jika sejak awal dapat diketahui bahwa tindakan anastomosis primer
tidak dapat dilakukan maka dipilih operasi penyambungan esofagus
dengan jaringan lain yang dapat dilakukan dalam minggu pertama setelah
kelahiran bayi atau dapat juga ditunda sampai 6-8 bulan. Jika operasi
penyambungan ditunda maka dilakukan esofagostomi servikal (proksimal
esofagus dinonfungsikan sebagai stoma) dan gastrostomi untuk pemberian
makanan. Esofagus biasanya disambung dengan jaringan yang diambil
dari gaster, jejunal, kolon atau dengan tabung khusus.2
3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia
Identifikasi fistula trakeoesofagus menggunakan bronkoskopi dan
esofagoskopi perlu dilakukan sebelum operasi. Kebanyakan operasi
pemisahan dan pengikatan fistula pada tipe H berhasil dengan baik
menggunakan pendekatan insisi servikal kanan atau torakotomi jika letak
fistula lebih rendah.2
Metode operasi anastomosis yang klasik dengan garis sirkular sering
menimbulkan komplikasi berupa striktur esofagus pascaoperasi di daerah
anastomosis tersebut. Untuk itu, dikembangkan metode operasi terbaru yang
bertujuan untuk mengurangi komplikasi tersebut dengan pendekatan yang
sama yaitu thorakotomi sisi kanan secara ekstrapleural. Pertama dilakukan
ligasi pada fistula trakeoesofagus, kemudian ujung kantong esofagus
proksimal dibebaskan dan dibuka dengan irisan bentuk tanda tambah “+”
(plus-shaped incision). Pada ujung esofagus distal dilakukan irisan
longitudinal sepanjang 2 mm di bagian anterior dan posteriornya. Ujung
esofagus proksimal dan distal kemudian disatukan dan dijahit seperti yang
terlihat pada gambar berikut ini. Teknik anastomosis ini tidak menyebabkan
peningkatan jarak antar ujung esofagus dan tidak menyebabkan kebocoran
didaerah anastomosis.9
Gambar 5. A : irisan plus pada esofagus proksimal dan irisan longitudinal kecil pada esofagus distal. B : irisan dibuka. C : hasil akhir anastomosis esofagus. D : esofagus proksimal dengan irisan plus (tanda panah).9
Pemberian makanan dapat dilakukan setelah 48 jam pascaoperasi melalui
NGT yang dipasang saat operasi. Drain yang dipasang di dada dapat dilepas
pada hari kelima pascaoperasi jika tidak ditemukan tanda-tanda kebocoran.
Pemeriksaan esofagogram dengan kontras dilakukan pada hari ketujuh setelah
operasi dan jika tidak ditemukan tanda-tanda kebocoran maka pemberian
makanan per oral dapat sepenuhnya dilakukan. Pemeriksaan follow up
sebaiknya dilakukan seminggu sekali pada satu bulan pertama dilanjutkan
dengan dua minggu sekali pada dua bulan berikutnya dan sebulan sekali untuk
6 bulan seterusnya. Pemeriksaan esofagogram dengan kontras kembali
dilakukan saat follow up pada bayi-bayi dengan disfagia atau infeksi saluran
pernapasan berulang.10
J. KOMPLIKASI PASCAOPERASI
Komplikasi operasi dapat terjadi sesaat setelah operasi atau muncul di
kemudian hari. Komplikasi yang terjadi sesaat setelah operasi dapat berupa
kebocoran anastomosis, striktur esofagus dan fistula trakeoesofagus rekure.
Komplikasi yang terjadi di kemudian hari dapat berupa gstro-esofageal
refluks, trakeomalacia dan gangguan peristaltik.2
K. PROGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROGNOSIS
Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula trakeoesofagus secara umum
memiliki prognosis yang buruk, bukan hanya dikarenakan tantangan pada
tindakan pembedahan namun juga karena adanya kelainan bawaan lain yang
terjadi bersamaan dengan atresia esofagus seperti kelainan jantung, kelainan
kromosom dan anomali saluran pernapasan. Berat badan bayi lahir juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prognosis. Klasifikasi
Waterson mengelompokkan bayi dengan atresia esofagus ke dalam 3
kelompok berdasarkan faktor resiko dan prognosis sebagai berikut 2:
1. Grup A (resiko rendah) : Berat badan bayi > 2500 gr tanpa kelainan
bawaan lain.
2. Grup B (resiko sedang) : Berat badan bayi 2000 – 2500 gr tanpa kelainan
bawaan lain atau berat badan > 2500 gr dengan kelainan bawaan yang
moderat.
3. Grup C (resiko tinggi) : Berat badan bayi < 2000 gr tanpa kelainan bawaan
lain atau > 2000 gr dengan kelainan jantung bawaan yang berat.
Klasifikasi lain yang dikembangkan oleh Spitz menyatakan bahwa berat
badan bayi baru lahir <1500 gr dan kelainan jantung bawaan yang berat
memiliki prognosis yang paling buruk dengan survival rate 22% dibandingkan
survival rate 97-100% pada bayi dengan berat badan > 1500 gr tanpa kelainan
jantung bawaan.2
Penelitian yang dilakukan oleh Anwar dkk., di Pakistan mendapatkan total
pasien dengan atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus dari tahun 2004-
2005 sebanyak 80 orang dan sejumlah 33 bayi (41%) dapat bertahan hidup
setelah operasi sedangkan 47 bayi (58%) meninggal dengan rincian 20 bayi
(25%) meninggal sebelum operasi dan 27 bayi (34%) meninggal setelah
operasi. Tingginya mortalitas tersebut dikarenakan kebanyakan pasien
terlambat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang memadai dan sudah
mendapatkan makanan (ASI) sebelumnya yang menyebabkan pneumonia
aspirasi.10
Penelitian Tandon dkk., di India melakukan penelitian dan mendapatkan
bahwa faktor yang mempengaruhi prognosis bayi dengan atresia esofagus
diantaranya ialah prematuritas, kelainan bawaan lain yang diderita, celah (gap)
antar kantong esofagus dan status respiratorius preoperatif. Prognosis dinilai
berdasarkan jumlah bayi hidup berdasarkan klasifikasi Waterson dimana
dinyatakan baik jika bayi yang telah dioperasi dan dapat keluar dari rumah
sakit dalam kondisi mampu menerima makanan per oral secara efektif.
Penelitian ini mendapatkan survival rate pada grup A sejumlah 100%, grup B
83% dan grup C 22 %. Bayi prematur dengan berat badan < 2500 gr
merupakan resiko tinggi dan jika < 1800 gr maka prognosisnya sangat buruk
dikarenakan kerentanan yang tinggi terhadap sepsis. Bayi dengan distress
pernapasan dan pneumonitis memiliki prognosis yang buruk, begitu juga pada
bayi dengan jarak antar esofagus proksimal dan distal yang cukup panjang.
Bayi dengan kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung kongenital juga
memiliki prognosis yang buruk.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Kovesi, T., Rubin, S., (2004), Long Term Complications of Congenital Esophageal Atresia and/or Tracheoesophageal Fistula, American College of CHEST Physicians. Didownload dari http://www.chestjournal.org
2. Johnson, P.R.V., (2005), Oesophageal Atresia, University of Oxford, SNL vol 1 issue 5.
3. Hefner, M.M.S., (1999), CHARGE Syndrome : Esophageal Atresia (EA) and Tracheoesophageal Fistula (TEF), CHARGE Syndrome Foundation Inc, Section III-11
4. Ezer, S.S., (2010), Diagnostic Difficulties in Esophageal Atresia with Proximal and Distal Tracheoesophageal Fistula: a Case Report, The Turkish Journal of Pediatrics; 52: 104-107.
5. Smith, C.S., (2006), Oesophageal Atresia, Tracheooesophageal Fistula, and the VACTERL Association: Review of Genetics and Epidemiology, Joint Information System Committee. Didownload dari http://www.jmg.bmj.com.
6. Vijayaraghavan, S.B., (1996), Antenatal Diagnosis of Esophageal Atresia with Tracheoesophageal Fistula, American Institute of Ultrasound in Medicine, J Ultrasound Med :15:417-419.
8. Hosseini, S.M.V., Davani, S.Z.N., Sabet, B., Forutan, H.R., Sharifian, M., (2008), The Role of Gastrostomy in the Staged Operation of Esophageal Atresia, Department of Pediatric Surgery, University of Medical Sciences, Iran. J Indian Assoc Pediatr Surg : Jan-Mar 2008/Vol 3/Issue 1. Didownload dari http://www.jiaps.com.
9. Melek, M., Cobanoglu, U., (2011), Methodology Report : A New Technique in Primary Repair of Congenital Esophageal Atresia Preventing Anastomotic Stricture Formation and Describing the Opening Condition of Blind Pouch: Plus (“+”) Incision, Hindawi Publishing Corporation, Gastroenterology Research and Practice, doi:10.1155/2011/527323.
10. Haq, A.U., Akhter, N., Samiullah, Javeria, Jan, I.A., Abbasi, Z., (2009), Factors Affecting Survival in Patients with Oesophageal Atresia and Tracheo-Oesophageal Fistula, Department of Paediatric Surgery, Aga Khan University, Karachi, Pakistan, J Ayub Med Coll Abbottabad ;21(4). Didownload dari http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/21-4/Anwar.pdf
11. Tandon, R.K., Sharma, S., Sinha, S.K., Rashid, K.A., Dube,R., Kureel, S.N., Wakhlu, A., Rawat, J.D., (2008), Esophageal Atresia : Factors Influencing Survival – Experience at an Indian Tertiary Centre, Department of Pediatric
Surgery and Neonatology, King George’s Medical University, India, J Indian Assoc Pediatr Surg : 13 (1). Didownload dari http://www.jiaps.com.
12. Gupta, A.K., Guglani, B., (2005), Imaging of Congenital Anomalies of the Gastrointestinal Tract, Symposium on Common Pediatric Surgical Problems-II, India, Indian J Pediatr ; 72 (5) : 403-414.