Top Banner
i AL-QURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN (Suatu Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah) TESIS Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama Islam (M.Ag) Pembimbing Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag Dr. M. Suryadinata, M.A Disusun oleh Mamluatun Nafisah NIM: 21140340000003 PRODI KONSENTRASI TAFSIR PROGRAM MAGISTER FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1438/2017
209

AL-QURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN · 2014 Konsentrasi Tafsir Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Mabrur, ... Penelitian ini bertujuan untuk

Jan 29, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    AL-QURAN DAN KONSERVASI LINGKUNGAN

    (Suatu Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)

    TESIS

    Diajukan Kepada Program Magister Fakultas Ushuluddin

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi

    Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama Islam (M.Ag)

    Pembimbing

    Dr. Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag

    Dr. M. Suryadinata, M.A

    Disusun oleh

    Mamluatun Nafisah

    NIM: 21140340000003

    PRODI KONSENTRASI TAFSIR PROGRAM MAGISTER

    FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

    SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    TAHUN 1438/2017

  • gkjkjhkjhkhklh

  • v

    KATA PENGANTAR

    Ucapan syukur alhamdulillah kepada Allah Swt. yang telah memberikan

    rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini, dengan

    judul Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu Pendekatan Maqâsid al-

    Syarî’ah), yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

    Magister Konsentrasi Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta. Shalawat dan salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad saw., juga

    kepada keluarga, para sahabat, dan pengikut setia hingga akhir zaman.

    Dalam kesempatan ini penulis ucapkan banyak terima kasih kepada semua

    pihak yang telah membantu penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung,

    dalam menyelesaikan tesis ini. Karena itu, pertama-tama saya ingin

    menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pembimbing I, Dr.

    Abd. Moqsith Ghazali, M.Ag, yang dengan sangat teliti mengoreksi dan

    berdiskusi mengenai substansi dari isi penulisan tesis ini, sehingga menghasilkan

    suatu karya ilmiah yang layak. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada

    pembimbing II, Dr. M. Suryadinata, M.A, yang memberikan penguatan argumen

    dalam tesis ini. Juga kepada para penguji; Dr. Yusuf Rahman, M.A, Dr. Faizah

    Ali Syibromalisi, M.A, Dr. Bustamin, M.Si. Terima kasih juga saya sampaikan

    kepada pimpinan Program Magiter Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta, Dr. Atiyatul Ulya, M. Ag, dan Sekretaris Program Magiter Fakultas

    Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Maulana, M.Ag.

  • vi

    Penulisan tesis ini, harus saya akui, menjadi mungkin karena berkat

    bimbingan yang selama ini saya terima dari sejumlah guru dan dosen, seperti;

    Prof. Dr. M. Darwis Hude, M.Si, Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Dr. Syamsul

    Bahri Tanrere, MA, dan Dr. Muhammad Ulinnuha Khusnan, M.A. Berkat mereka,

    saya belajar banyak mengenai bagaimana membuat sebuah karya ilmiah yang

    layak, melalui event-event Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), baik tingkat

    Provinsi maupun Nasional. Kepada mereka saya sampaikan terima kasih.

    Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman angkatan

    2014 Konsentrasi Tafsir Hadis Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta; Mabrur, Azwar, mba Zukhruf, Helmi, Fasjud, Masrukhin,

    dan kang Wahyudi atas dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.

    Dengan penuh cinta dan kasih, penulis sampaikan terima kasih kepada

    orang tua, Bapak M. Mughni Labib (Alm), Ibu Nur Hidayah, dan Bapak Asrori,

    karena berkat bimbingan dan dukungannya, baik moril ataupun materil, tesis ini

    bisa diselesaikan. Untuknya, saya berdoa agar Allah tetap memberinya kesehatan,

    agar kuat beribadah dan mampu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya

    dengan penuh kesabaran. Dan penghargaan yang terindah, tentu saya alamatkan

    kepada Miftakhul Arif al-Mahbub, M.Pd, karena telah menjadi sumber dukungan,

    terutama pada saat sulit dan berat sepanjang penulisan tesis ini. Kepadanya, tesis

    ini saya persembahkan.

    Ciputat, 14 Maret 2017

    Penulis

    Mamluatun Nafisah

  • vii

    PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

    Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin

    Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012

    yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

    1. Konsonan

    Huruf

    Arab Nama Huruf Latin Nama

    alif tidak اdilambangkan

    tidak dilambangkan

    ba‟ b be ب ta‟ t te ث tsa‟ ts te dan es د jim j je ج (ha ẖ ha (dengan garis di bawah ح kha kh ka dan ha ر dal d de د dzal dz de dan zet ذ ra r er ر zai z zet ز sin s es س syin sy es dan ye ش (sad s es (dengan garis di bawah ص (dad ḏ de (dengan garis di bawah ض (ta ṯ te (dengan garis di bawah ط (za ẕ zet (dengan garis di bawah ظ

    ع„ain

    ʹ koma di atas menghadap ke

    kanan

    ghain gh ge dan ha غ

    fa‟ f ef ف

    qaf q qi ق

    kaf k ka ك

    lam l el ه

    mim m em م

    nun n en ى

    wau w we و

  • viii

    ha h ha ه

    hamzah ` apostrop ء

    ya‟ y ye ي

    2. Vocal

    Vocal Tunggal

    Tanda Nama Huruf Latin Nama

    َ fathah a a

    َ kasrah i i

    َ dammah u u

    Vocal Rangkap

    Tanda Nama Tanda Vocal Latin Keterangan

    َ ي fathah dan ya ai a dan i

    َ و fathah dan wau au a dan u

    3. Maddah

    Tanda Nama Tanda Vocal Latin Keterangan

    َ ا fathah dan alif â a (dengan topi di atas)

    َ ي kasrah î i (dengan topi di atas)

    َ و dammah û u (dengan topi di atas)

    4. Kata Sandang

    Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan

    huruf, yaitu “اه” dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

    syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

    bukan ad-dîwân.

  • ix

    5. Syaddah (Tasydîd)

    Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

    dengan sebuah tanda ( َ ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan

    huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tandah syaddah itu.

    Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah

    itu terletak setelah kata yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.

    Misalnya, kata ة ر و ر ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah الضَّ

    demikian seterusnya.

    6. Tâ’ Marbûtah

    Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah terdapat

    pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

    menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku

    jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2).

    Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

    huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

    Contoh:

    No Kata Arab Alih Aksara

    tarîqah طريقت 1

    al-jâmi„ah al-islâmiyyah الجاهعت اإلسالهيت 2

    Wahdat al-wujûd وددة الىجىد 3

    7. Huruf Kapital

    Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

    dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan

  • x

    mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan

    (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,

    huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting

    diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis

    dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

    atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid

    Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

    Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

    diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

    miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu

    ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya.

    Demikian seterusnya.

    Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

    berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

    meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

    Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin

    al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

    8. Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf

    (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

    atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada

    ketentuan-ketentuan di atas:

  • xi

    Kata Arab Alih Aksara

    خ اذ ه ة اْل س dzahaba al-ustâdzu ذ

    ر ج tsabata al-ajru ث ب ج اْل

    ر يَّت ت الع ص م ر al-harakah al-„Asriyyah الذ

    ه د أ ى َل إ ل ه إ َلَّ هللاأ ش asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

    ال خ ل ل الص ن ا ه َل ى Maulânâ Malik al-Sâlih ه

    م ن هللا ثِّر yu‟atstsirukum Allâh ي ؤ

    ق ل يَّت ظ اه ر ال ع a-mazâhir al-„aqliyyah الو

    ن يَّت ى al-âyât al-kauniyyah اآلي اث الن

    ذ ر ح ب ي خ الو و ر اثالضَّ ر ظ ى al-darûrat tubîhu al-mahzûrât

  • xii

    ABSTRAK

    Mamluatun Nafisah, “Al-Quran dan Konservasi Lingkungan (Suatu

    Pendekatan Maqâsid al-Syarî’ah)”, tesis Konsentrasi Tafsir Program

    Magister Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam perspektif al-

    Quran tentang konservasi lingkungan. Penelitian ini berbentuk library research,

    dengan sumber primer al-Quran dan kitab-kitab tafsir (klasik maupun

    kontemporer). Sementara sumber sekundernya adalah buku-buku, jurnal, dan

    artikel yang terkait dengan obyek penelitian ini. Metode yang dipakai adalah

    metode maudu’i, dengan pendekatan maqasîd al-syarî’ah. Pendekatan ini

    digunakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana teknis operasional

    pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan berlebih-lebihan,

    dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan.

    Lingkungan merupakan sebuah lingkup di mana manusia hidup, baik yang

    bersifat dinamis seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, maupun yang statis

    seperti alam (tabî’ah) yang diciptakan Allah Swt. dan industri (sinâ’iyyah) yang

    merupakan kreasi manusia. Dalam menyikapi lingkungan, al-Quran menggariskan

    nilai dasar dan hukum praktis yang substantif dalam pengelolaannya, meliputi

    prinsip yang mendasari pemanfataan potensi bumi dan prinsip pemeliharaannya.

    Dalam rangka memanfatkan potensi bumi, al-Quran memerintahkan manusia

    untuk melakukan ‘imârat al-ard,(huwa ansya’akum min al-ard wasta’marakum

    fîhâ) yaitu menjadikan bumi atau lingkungan sebagai media mewujudkan

    kemaslahatan hidup makhluk secara keseluruhan di muka bumi. Al-Quran

    memerintahkan kepada manusia untuk menggali potensi bumi (fantasyirû fî al-ard

    wabtaghû min fadl al-Allâh) agar dapat memberikan manfaat untuk

    kehidupannya. Untuk itu, agar tetap memberikan kemaslahatan (sesuai dengan

    tujuan penciptaannya), manusia dalam memanfaatkan potensi bumi, tidak

    diperkenankan mengeksploitasinya secara sewenang-wenang, terutama sumber

    daya umum yang tidak dimiliki perorangan (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî

    al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr). Aset-aset publik merupakan benda-benda umum

    yang Allah berikan untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik untuk

    memenuhi kebutuhan darûriyyah maupun hâjiyah-nya. Oleh karena itu aktivitas

    privatisasi merupakan bentuk penindasan hak asasi manusia (HAM) atas sumber

    daya umum, karena bertentangan dengan maqâsid al-syarî’ah yang

    menitikberatkan pada hifz al-mâl.

    Sementara prinsip pemeliharaannya, al-Quran menekankan pentingnya

    memperlakukan lingkungan dengan baik (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya al-

    sâlihûn). Salah satu prinsip yang mendasari hubungan antara manusia dengan

    alam adalah semua makhluk mempunyai status hukum muhtaram (wa mâ min

    dâbbatin fî al-ard wa lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum),

    yakni dihormati eksistensinya dan dilarang membunuh ataupun merusaknya. Al-

    Quran dengan sangat tegas melarang manusia melakukan kerusakan di bumi (wa

    lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), terlebih tindakan tersebut akan berdampak

    pada menurunnya kualitas lingkungan, sehingga akan mempengaruhi kualitas

  • xiii

    kehidupan manusia. Larangan ini menjadi jelas, jika dianalisis melalui pendekatan

    maqâsid al-syarî’ah; pertama, hifz al-dîn (menjaga agama), artinya perilaku

    perusakan lingkungan sangat mengancam keagamaan seseorang, baik dari segi

    akidah maupun dalam pelaksanaan yang menjadi kewajibannya. Kedua, hifz al-

    nafs (menjaga jiwa), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam

    jiwa, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti

    terpenuhinya kebutuhan air, udara, dan pangan. Apabila kebutuhan dasar tersebut

    tidak terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas, maka kehidupan itu sendiri

    akan terancam eksistensinya dan terganggu kesehatannya. Ketiga, hifz al-nasl

    (melindungi keturunan), artinya perilaku perusakan lingkungan mengancam

    keberlangsungan hidup generasi manusia, Keempat, hifz al-‘aql (menjaga akal),

    artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam akal seseorang. Banyak

    orang kehilangan kesadarannya setelah dilanda bencana. Kelima, hifz al-mâl

    (menjaga harta), artinya perilaku perusakan lingkungan akan mengancam harta

    seseorang. Singkatnya, segala prilaku yang mengarah kepada perusakan

    lingkungan, semakna dengan perbuatan mengancam agama, jiwa, keturunan, akal,

    dan harta.

    Sebagai mandataris Tuhan di bumi (innî jâ’il fî al-ard khalîfah), amanat

    pengelolaan lingkungan hendaknya dibaca dalam kerangka istikhlâf (tugas

    kekhalifahan), yaitu mengantarkan alam memenuhi tujuan penciptaannya.

    Sehingga, pengelolaan lingkungan yang dapat mendatangkan maslahah

    (kebaikan), maka hal itu dibolehkan, bahkan diwajibkan. Sementara pengelolaan

    yang dapat menghilangkan fungsi penciptaannya yaitu menimbulkan mafsadah

    (kerusakan), maka hal itu dilarang, bahkan diharamkan. Pelakunya berhak

    mendapat hukuman dan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.

    Karena pada prinsipnya, lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun

    tatanan masyarakat yang religius. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu

    terkait dengan lingkungan alam sekitar. Kewajiban memeliharanya berbanding

    lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa,

    keturunan, akal, dan harta). Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan

    pemeliharaan lingkungan menjadi doktrin utama (usûl) syariat Islam.

    Hasil penelitian ini menguatkan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa

    pengkaji sebelumnya, seperti Yusuf al-Qardawi yang berusaha membangun

    sebuah paradigma fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak. Hal senada

    juga dilakukan oleh Ali Yafi dan Mudhofir Abdullah yang dengan argumennya

    ingin menjadikan pemeliharaan lingkungan sebagai bagian dari maqâsid al-

    syarî’ah dengan menambahkannya menjadi enam. Namun, yang perlu

    digarisbawahi di sini, dalam penelitian sebelumnya tidak dijelaskan bagaimana

    teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan

    berlebih-lebihan dalam eksplorasinya.

  • xiv

    ABSTRACT

    Mamluatun Nafisah, "Al-Quran and Environmental Conservation (Maqâsid

    al-Syarî'ah Approach)", thesis Concentration Interpretation Master Program

    in the Faculty of Islamic Theology UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, in the

    Year 2017

    This research aims to determine the Quran in depth perspective about

    environmental conservation. This research is library research, the primary source

    of the Quran and books of tafsir (classical and contemporary). While secondary

    sources are books, journals, and articles related to the object of this research. The

    method used is a method maudu’i, with the approach of maqasîd al-syarî’ah. This

    approach is used in order to determine the extent to which technical and

    operational utilization of the earth and the extent to which content is said to be

    exaggerated, with more emphasis on welfare.

    The environment is a sphere in which man lives, whether they are dynamic

    such as humans, animals, and plants, as well as static as nature (tabî'ah) created

    by Allah. and industrial (sinâ'iyyah) which is a human creation. In addressing the

    environment, the Quran outlines the basic values and practical substantive law in

    its management, including the principle underlying the utilization potential of the

    earth and the principle of maintenance. In order to take advantage of the potential

    of the earth, the Quran commands people to do the ‘imârat al-ard,(huwa

    ansya’akum min al-ard wasta’marakum fîhâ) that made the earth or the

    environment as a medium to realize the benefit of overall living creatures on

    earth. The Quran commands human to explore the potential of the earth

    (fantasyirû fî al-ard wabtaghû min fadl al-Allâh) in order to provide benefits for

    life. Therefore, in order to keep providing the benefit (in accordance with the

    purpose of its creation), man to harness the potential of the earth, are not allowed

    to exploit it arbitrarily, especially common resources that are not owned by

    individuals (al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâtsin fî al-kalâ’ wa al-mâ’ wa al-nâr).

    Public assets are common objects that God has given for the benefit of humanity

    as a whole, both to meet the needs of its darûriyyah and hajiyyah. Therefore,

    privatization activity is a form of oppression of human rights on common

    resources, as opposed to maqâsid al-syarî'ah which focuses on hifz al-mâl.

    While the principle of its maintenance, the Quran emphasizes the

    importance of treating the environment well (anna al-arda yaritsûhâ ‘ibâdiya al-

    sâlihûn). One of the principles underlying the relationship between humans and

    nature are all beings have legal status muhtaram (wa mâ min dâbbatin fî al-ard wa

    lâ tairin yatiru bi janâhaihi illâ umamun amtsâlukum), which honored its

    existence and should not kill or hurt it. Quran very firmly forbidden them to

    damage the earth (wa lâ tufsidû fi al-ardi ba’da islâhihâ), especially those actions

    will have an impact on environmental degradation, so it will affect the quality of

    human life. This prohibition became clear, when analyzed through maqâsid

    approach al-syarî'ah; First, hifz al-dîn (keeping religion), meaning that the

    behavior of the environment is very threatening a person's religious, both in terms

    of faith as well as in the implementation of which it was his duty. Second, hifz al-

  • xv

    nafs (keeping the soul), meaning that the behavior of the environment will be life-

    threatening, especially in order to meet their basic needs, such as the requirement

    for water, air, and food. When basic needs are not met, both in quality and

    quantity, then life itself would be threatened their existence and their health

    impaired. Third, hifz al-nasl (protecting offspring), meaning that the behavior of

    environmental destruction threatening the survival of human generation, Fourth,

    hifz al-'aql (keep sense), meaning that the behavior of the environment will

    threaten the reasonable person. Many people lost consciousness after being hit by

    the disaster. Fifth, hifz al-mâl (maintain the property), meaning that the behavior

    of environmental destruction would threaten someone's property. In short, all the

    behaviors that lead to destruction of the environment, to convey the same

    threatening acts of religion, life, lineage, intellect, and property.

    As the mandatory of God on earth (innî jâ’il fî al-ard khalîfah),

    environmental management mandate should be read within the framework of

    istikhlâf (task Caliphate), which deliver natural fulfill the purpose of creation.

    Thus, environmental management can bring maslahah (goodness), then it is

    permissible, even obligatory. While management can eliminate the function of

    creation which cause mafsadah (damage), it is prohibited, even forbidden. The

    culprit is entitled to penalties and sanctions in accordance with the level of errors

    made. Because, in principle, the environment became the keywords in order to

    build a religious community. As well as the rights and obligations are always

    linked to the surrounding natural environment. Liabilities directly proportional to

    the care of the maintenance of the ultimate goal of Islamic law (preserve religion,

    life, lineage, intellect, and property). So it is not an exaggeration to say to preserve

    the major doctrines (usûl) of Islamic law.

    The results of this research reinforce the conclusions given by some

    previous reviewers, such as Yusuf al-Qaradawi is trying to build an environment-

    based paradigm of fiqh are loaded with character. The same thing was done by Ali

    Abdullah Yafi and Mudhofir want to make the argument that the maintenance of

    the environment as part of maqâsid al-syarî’ah by adding them to six. However,

    that should be highlighted here, the previous studies have not explained how the

    technical and operational utilization of the earth and the extent to which content is

    said to be effusive in his exploration.

  • xvi

    لخصالممملوءة النفيسة, "القرآن والحفاظ على البيئة: بحث من منظور مقاصد الشريعة"، أطروحة برنامج

    شريف هداية اهلل في جاكرتا، سنة في جامعة الماجستير، تركيز التفسير في كلية أصول الدين7102.

    يف مجع واعتمدت الباحثة .هدف ىذا البحث اىل معرفة القيم القرآنية للحفاظ على البيئةي

    والكتب األخرى يادلعلومات عن طريق حبث مكتيب على كتب التفسري القدمية واحلديثة كمصدر أساسومن خالل البحث والتحليل . للبحثاينوغريىا كمصدر ث ًتاثالىت ذلا عالقة بادلوضوع كادلقاالت وال

    .د الشريعةوعالج ادلوضوع على أساس مقاص ,منهج التفسري ادلوضوعي ققامت الباحثة بتطبيوجاء ىف القرأن .فيها ادلخلوق كاإلنسان واحليوان والنباتاتومفهوم البيئة ىي العامل اليت تعيش

    عمارة األرض كوسيلة فأمر اهلل اإلنسان .ادلبادي واألحكام التطبيقي لالستفادة فيها واحلفاظ عليهاالكرمي .كتشافات الثروة الطبيعية واالستفادة منهاكما أمر اهلل اإلنسان القيام با ,ادلصلحة لإلنسان لتخقيق

    دون حتطيط وخاصة فيما يا و اشعتغالل الثروة الطبيعية وللحفاظ على سالمة البيئة منع اهلل اإلنسان اس الكالء وادلاء والنار.. لذال تعتر ثالث يفحيتاج اليها اجلميع كالكالء وادلاء والنار )وادلسلمون شركاء يف

    .وق االنساناخلصخصة إىدار حلقومبدأ من مبادئ االسالم الىت تنظم عالقة اإلنسان .وأكد القرأن أمهية معاملة طيبة مع البيئة قوق ادلخلوق األخرى اليت تعيش يف البيئة معا. فالقرأن حرم حبة امبحاذ نسانن تكون حقوق اإلا بالبيئة

    طيبة للبيئة وتؤثر على حياة مستوى ال ريىا, ألنو يؤدى إىل اخنفاضماإلنسان القيام بإفساد األرض وتدأوال حفظ الدين مبعٌت أنو القيام بإفساد البيئة ,منها ,اإلنسان. والتحرمي لو عالقة واضحة مبقاصد الشريعة

    اد البيئة سفا , فإنولو عالقة باعتقاده من القيم الدينية ادلفروضة على اإلنسان حفظها. ثانيا حفظ النفسإذا مل تتوفر ىذه .مثل ادلاء واحلواء والغداء لىت حتتاج توافر احلاجة الضروريةختالف مبدأ حفظ النفس ا

    بسبب البيئة الفاسدة أصبح بقاء اإلنسان يف العامل ,رضة للهالك. ثالثا حفظ النسلعفالبيئة م ,الثالثة فيهاسبب حدوث إنو إفساد البيئة ب ,وجودىا جيال بعد جيل عرضو لالنقراض. رابعا حفظ العقلواستمرار

    إنو إفساد ,. خامسا حفظ ادلاللإلكتئاب واضطراب النفسجيعل اإلنسان معرضة مما الكوارث الطبيعية البيئة يؤدي إىل فساد مصادر األموال. من ىنا تقول إن أي نشاط تفسد البيئة خمالفة دلقاصد الشريعة من

    حفظ الدين والنفس والعقل والنسل وادلال.

  • xvii

    قام دلنحل اجلميع و اة على اإلنسان كخليفة اهلل يف األرض لتحقيق مصفحفظ البيئة إذا أمانجزاء ما فعلو من افسادىا, ألن البيئة احلجر االساس لبناء اجملتمع ادلثايل ةمبإفساد البيئة فعليو عقوبة صار

    .من أصول الشريعةفاصبح حفظ البيئة .الذي يتوفر فيو حفظ الدين والنفس والنسل والعقل وادلالالذي حاول لتأسيس إليو يوسف القرضاوي ذا توصلنا إىل نتيجة البحث اليت تؤيد ما ذىبهبحفظ البيئة جزء اليتجزأ ن جتعالا انيريد الذانافر عبد اهلل ظ ومياىففقو البيئة كما حاول على منهج عن الثروة الطبيعية توضح فيو عملية اإلستفادة من ةث القدميو البح قاصد الشريعة. واجلدير بالذكر أنمن م

    استغالل مبالغة يف اإلستفادة منها. ال تكون ىناك حىت وضوابطها

  • xvii

    DAFTAR ISI

    Judul .......................................................................................................................... i

    Persetujuan Pembimbing ........................................................................................ ii

    Persetujuan Penguji ................................................................................................. iii

    Pernyataan Keaslian ................................................................................................ iv

    Kata Pengantar ........................................................................................................ v

    Pedoman Transliterasi ............................................................................................. vii

    Abstrak ...................................................................................................................... xii

    Daftar Isi ................................................................................................................... xviii

    BAB I: PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

    B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 11

    C. Pembatasan dan perumusan Masalah ............................................................. 12

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 14

    E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................................... 15

    F. Metodologi Penelitian .................................................................................... 21

    G. Kerangka Teori............................................................................................... 23

    H. Sistematika Penulisan .................................................................................... 30

    BAB II: DISKURSUS ISLAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

    A. Problematika Lingkungan Hidup ................................................................... 33

    1. Pengertian Lingkungan Hidup ................................................................. 34

    2. Fenomena Kerusakan Lingkungan Hidup ................................................ 37

    3. Akar Krisis Lingkupan Hidup .................................................................. 50

    B. Pandangan Islam Tentang Lingkungan Hidup ............................................... 64

    1. Lingkungan sebagai Ruang Kehidupan Manusia ..................................... 65

    2. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan sebagai Makhluk Tuhan .............. 69

  • xviii

    3. Kesetaraan Manusia dan Lingkungan dalam Aspek Spiritual ................. 74

    BAB III: KONSERVASI LINGKUNGAN DAN PARADIGMA

    PENGEMBANGAN KONSEP MAQÂSID AL-SYARÎ’AH

    A. Pengertian Maqâsid al-Syarî’ah .................................................................... 80

    B. Kajian Maqâsid al-Syarî’ah dalam Lintas Sejarah ........................................ 82

    C. Menimbang Hifz al-Bî’ah dalam Maqâsid al-Syarî’ah ................................. 91

    1. Basis Ontologi Paradigma Hifz al-Bî’ah .................................................. 92

    2. Basis Epistmologii Paradigma Hifz al-Bî’ah ........................................... 94

    3. Basis Aksiologi Paradigma Hifz al-Bî’ah ................................................ 95

    BAB IV: PEMELIHARAAN LINGKUNGAN SEBAGAI USÛL AL-SYARÎ’AH

    DALAM AL-QURAN

    A. Rekonstruksi Ayat-ayat Lingkungan

    1. Prinsip-Prinsip Pemanfaatan Lingkungan

    a) Penundukan Alam sebagai Pemenuhan Kebutuhan Manusia

    di Bumi ............................................................................................... 103

    b) Manusia Makhluk yang Diperintahkan untuk Memakmurkan

    Bumi ................................................................................................... 110

    2. Prinsip-Prinsip Pemeliharaan Lingkungan

    a) Bumi sebagai Warisan Hamba Tuhan yang Saleh ............................. 121

    b) Larangan Melakukan Kerusakan di Bumi.......................................... 130

    3. Rekonstruksi Makna Khalîfah sebagai Wakil Tuhan di Bumi................. 139

    B. Konservasi Lingkungan sebagai Doktrin Utama Syariat Islam

    1. Lingkungan sebagai Basis Fundamental Keimanan ................................ 149

    2. Lingkungan sebagai Basis Kelangsungan Hidup ..................................... 153

    3. Hukuman Setimpal bagi Pelaku Pelanggaran Lingkungan ...................... 165

  • xix

    BAB V: PENUTUP

    A. Kesimpulan .................................................................................................... 175

    B. Saran ............................................................................................................... 177

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 179

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Persoalan krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini sudah pada taraf

    yang sangat mengkhawatirkan.1 Perubahan iklim akibat dari global warming

    menyebabkan bumi tidak lagi seimbang. Rentetan bencana, seperti banjir, tanah

    longsor, pencemaran air, tanah, dan udara, kekeringan yang berkepanjangan,

    kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi seakan sudah menjadi rutinitas

    musibah di negeri ini, bahkan sudah menjadi musibah dunia.

    Manusia sebagai mandataris Tuhan di bumi, yang diberi kepercayaan

    untuk memelihara dan memakmurkan bumi, tampaknya justru menjadi aktor

    utama kerusakan bumi. Manusia dengan segala kegiatan dan tindakannya, sudah

    semakin tidak selaras dengan alam. Dengan keserakahannya mereka

    mengeksploitasi alam dengan terus menguras energi yang ada di dalamnya.

    Mereka menjadikan alam sebagai objek nilai, ekonomi, dan kebutuhan hidup

    pragmatis. Di sisi lain pengaruh paham materialisme dan kapitalisme serta

    pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna dan ramah lingkungan,

    mengakibatkan rusaknya lingkungan yang semakin masif.2

    1 Selama tahun 2016, berdasarkan data sementara dari awal Januari sampai 30 September

    2016, telah terjadi 1.707 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 411 orang meninggal

    dunia dan hilang, sebanyak 2.214.256 korban menderita dan mengungsi, dan banyaknya kerusakan

    pemukiman sebanyak 25. 578. Lihat Pusat Data Informasi dan Humas-BNPB di dibi.bnpb.go.id 2 Muhammad Harfin Zuhdi, Rekonstruksi Fiqh al-Bî‟ah Berbasis Maslahah, dalam Jurnal

    Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2015, h. 43

  • 2

    Namun ironisnya, manusia seakan tidak pernah merenung dan mengambil

    pelajaran, apalagi merasa jera di balik bencana yang terjadi. Padahal sebelumnya,

    manusia sangat mematuhi dan menghargai alam sebagai karunia Tuhan, hingga

    dalam peradaban sebelumnya harmonisme alam dan manusia terasa begitu

    kental.3 Kebudayaan yang dihasilkan manusia tidak pernah lepas dari inspirasi

    alam. Namun, setelah manusia menciptakan mesin-mesin canggih, lambat laun

    perubahan semakin terlihat jelas. Alam, bumi, atau lingkungan menjadi objek

    manusia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Pertanyaannya kemudian,

    bagaimana manusia begitu mudahnya mengabaikan lingkungan hidup dan

    bersikap sangat merusak? Padahal perilaku yang mereka kerjakan tidak lepas dari

    campur tangan keyakinan atas agama yang dianutnya.4 Hal ini mengingat perilaku

    manusia (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of

    thought), sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks

    keagamaan, yang kemudian menjadi sistem etika teologi yang mereka yakini. Ini

    artinya, pendekatan agama melalui rekonstruksi penafsiran al-Quran terhadap

    persoalan lingkungan memang tidak bisa dielakkan.5

    Al-Quran yang merupakan sumber ajaran agama Islam memiliki posisi

    yang strategis. Umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa petunjuk al-Quran

    3 Etika lingkungan sesungguhnya telah lama dianut oleh nenek moyang manusia secara

    tradisional dengan bersumber pada agama, mitologi, dan legenda, termasuk cerita-cerita rakyat.

    Jejak tersebut mungkin masih bisa dikenali dalam bentuk berbagai kearifan tradisional. Di

    Indonesia masih ada sebagian kecil dari suku-suku bangsa yang kuat memegang etik lingkungan

    kuno seperti pada suku Nias, Mentawai, Dayak, Baduy dan yang lebih modern dan mengesankan

    adalah Bali. Lihat Eka Budianta, Eksekutif Bijak Lingkungan, (Jakarta: Dana Mitra Lingkungan,

    1997), h. 3 4Ahmad Sururi, Menggapai Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia: Studi

    Perbandingan Etika Islam dan Etika Ekofeminisme, dalam Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,

    h. 97 5Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, (Jakarta:

    paramadina, 2001), h. 16

  • 3

    wajib diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan sekedar sumber untuk

    merumuskan ajaran teologi dan hukum, tetapi juga konsep etika dalam kehidupan

    manusia. Banyak ayat al-Quran memberikan perhatian besar terhadap kelestarian

    lingkungan. Term lingkungan dalam al-Quran disebutkan dalam bentuk yang

    variatif, seperti al-„âlamîn (spesies), al-samâ‟ (langit), al-ard (bumi), dan al-bî‟ah

    (lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Quran ini pada prinsipnya

    mengilustrasikan tentang spirit rahmatan li al-„âlamîn. Artinya, lingkungan tidak

    saja diafiliasikan kepada bumi, tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi,

    ruang angkasa, dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya

    pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki

    hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Allah berfirman:

    ..

    Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit

    sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia

    menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki

    untukmu. (QS. al-Baqarah [2]: 22)

    Ada dua kata kunci yang menjadi pesan ekologis dalam ayat di atas.

    Pertama, bumi sebagai hamparan. Bumi diciptakan dan didesain Allah sebagai

    tempat yang sangat ideal bagi makhluk hidup. Kedua, langit sebagai atap, artinya

    langit diciptakan Allah sebagai pelindung kehidupan. Dalam terminologi

    meteorologi, yang menjadi pelindung bagi kehidupan di bumi adalah lapisan

    atmosfer. Oleh karenanya, ungkapan والسماء بناء dalam ayat ini dapat dipahami

    dengan lapisan atmosfir, yang merupakan lapisan pelindung seluruh alam

  • 4

    (spesies).6 Eksistensi bumi berhubungan erat dengan eksistensi atmosfir.

    Pengrusakan terhadap ekosistem langit akan berimplikasi langsung terhadap

    kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya.7 Untuk itu, Allah sangat

    melarang dan memberikan batasan kepada manusia untuk tidak melakukan

    kerusakan terhadap ekosistem langit dan bumi, demi untuk kemaslahatan

    kelangsungan hidup manusia.

    Banyak peristiwa yang digambarkan al-Quran tentang keserakahan

    manusia terdahulu yang menyebabkan kerusakan bumi, misalnya kisah kaum

    Saba‟. Kaum Saba‟ membangun peradaban selama satu milenium sebelum

    datangnya agama Islam. Mereka maju dalam bidang urbanisme dan irigasi. Pada

    masa itu, kota Saba‟ dijuluki sebagai kota metropolitan, paling makmur, dan

    sejahtera. Di setiap sudut kota terdapat tanaman dan kebun buah-buahan. Di

    kerajaan ini telah dikenal adanya lingkungan alam dan lingkungan buatan.

    Lingkungan alamnya yang subur, ditandai turunnya hujan secara teratur.

    Sedangkan lingkungan buatan, merupakan kota yang menjadi pusat pemerintahan,

    yang dikenal dengan nama al-Ma‟rib. Tidak hanya itu, bangsa Saba‟ juga

    membangun bendungan yang digunakan untuk menampung air hujan, sehingga

    hujan tidak mengalir habis menyusuri tanah terjal.8 Namun, kaum Saba‟tidak lama

    menikmati kemajuan tersebut, Allah mengirimkan banjir besar yang memorak-

    porandakan bendungan Ma‟rib, sekaligus membinasakan mereka.9 Hal ini

    6 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 93

    7 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 1, h. 231

    8 Meizer Said Nahdi, Kerusakan Lingkungan Kaum Saba‟: Studi Analisis Kaum Saba‟

    dalam al-Quran, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 1, Juli 2001, h. 89-91 9 QS. Sabâ‟ [34]: 16

  • 5

    disebabkan karena bangsa Saba‟ tidak memperhatikan etika pemeliharaan

    lingkungan.

    Pada dasarnya, unsur-unsur upaya pemeliharaan lingkungan dalam Islam

    dapat dilacak pada diri Nabi Muhammad. Sebagai contoh, Nabi pernah

    mengajarkan cara konservasi alam melalui pencanangan konsep himâ,10

    yakni

    lahan konservasi yang dalam konteks sekarang sepadan dengan istilah taman kota,

    kawasan terbuka hijau, atau suaka marga satwa dan sejenisnya. Kawasan tersebut

    tidak dipergunakan untuk penduduk, terutama untuk kepentingan yang sifatnya

    eksploitatif.11

    Ini menunjukkan adanya kepedulian dan sensitivitas yang besar dari

    Nabi dalam menjaga lingkungan. Apa yang telah dilakukan Nabi kala itu,

    merupakan sebuah lompatan pemikiran yang luar biasa dalam menjaga kelestarian

    lingkungan hidup manusia. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa ajaran Islam

    mengandung kerangka dasar etika konservasi lingkungan yang relevan.

    Namun persoalannya, selama ini para intelektual muslim belum

    mengelaborasi lebih dalam tentang kajian lingkungan. Misalnya, dalam kitab-

    kitab tafsir al-Quran yang ada sekarang, sedikit sekali menjelaskan secara rinci

    dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun

    10

    Himâ merupakan salah satu bentuk konservasi lingkungan. Istilah ini muncul dalam

    tradisi arab yang oleh Rasulullah direvitalisasi sebagai konsep integral ajaran Islam. Konsep ini

    oleh fikih didefinisikan suatu tempat berupa tanah kosong (mati) di mana pemerintah (penguasa)

    melarang orang untuk menggembala di situ. Selain definisi di atas, himâ juga didefinisikan sebagai

    area yang dibangun secara khusus untuk konservasi satwa liar hutan yang merupakan inti dari

    undang-undang Islam tentang lingkungan hidup. Dengan demikian konsep himâ bukan hanya

    memperoleh basis historis dalam peradaban awal dunia Islam, akan tetapi juga memiliki basis

    teologis dalam syariat. Lihat Muhammad Rawwas Qalahji, Ensiklopedi Fiqh Umar bin Khattab,

    (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 159 11

    M. Hasan Ubaidillah, Fiqh al-Bî‟ah (Formulasi Konsep al-Maqâsid al-Syarî‟ah dalam

    Konservasi dan Restorasi Lingkungan), dalam Jurnal al-Qânûn, Vol. 13, No. 1, Juni 2010, h. 29

  • 6

    pola relasi dengan alam.12

    Demikian halnya ketika penulis menelusuri kitab-kitab

    tafsir modern, seperti al-Manâr, al-Marâghi, dan al-Tahrîr wa al-Tanwîr juga

    kurang mendapati uraian yang memadai tentang persoalan lingkungan.13

    Hal ini

    disebabkan kitab-kitab tafsir sesungguhnya merupakan produk dari anak

    zamannya, yang pada masa itu kerusakan lingkungan belum semasif sekarang.

    Banyak ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep hakikat hubungan

    manusia dengan alam dipahami secara parsial. Ada empat konsep dasar hidup

    manusia menjadi simpul-simpul teologi yang bias antroposentris. Pertama,

    konsep manusia sebagai makhluk yang paling istimewa.14

    Kedua, ayat-ayat yang

    menggambarkan manusia sebagai makhluk berakal.15

    Ketiga, ayat-ayat yang

    menggambarkan manusia sebagai paling kuasa atas sumber daya alam dan

    lingkungan.16

    Keempat, ayat-ayat tentang kedudukan manusia sebagai manifestasi

    12

    Lihat misalnya penafsiran terhadap surah ar-Rum [30]: 41:

    Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam. Misalnya, Ibn

    Katsîr dalam Tafsîr Ibn Katsîr, dan Abu Bakr al-Jazâ`irî, dalam Aisîr al-Tafâsîr, ketika

    menafsirkann ayat di atas, keduanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad)

    dengan perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Hal ini

    disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang, sehingga fasad

    dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan spiritual semata. Lihat Abu al-Fida‟ Ismail bin

    Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, (t.tp: Dar al-Tîbah li al-Nasyr, 1999), jilid 6, h. 319 13

    Lihat misalnya penafsiran terhadap surah al-A‟râf [7]: 56

    Penafsiran ayat di atas, baik Râsyid Ridhâ, al-Marâghî, maupun Ibnu „Âsyur memahami

    kata ifsâd (kerusakan atau pengrusakan), bermakna teologis (non-fisik), seperti menyekutukan

    Allah swt., membunuh, mencuri, melakukan kemaksiatan, dan mengikuti hawa nafsu, dsb. Lihat

    Muhammad Râsyid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Mesir: al-Hay‟ah al-Mishriyyah, 1990), juz 8, h. 410.

    Lihat juga Ahmab bin Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir: Musthafa al-Babî al-

    Halâbî, 1946), juz 8, h. 178. Lihat juga Muhammad Tahir Ibn „Âsyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr,

    (Tunis: al-Dâr al-Tûnisiyyah, 1984), juz 8, h. 173-174. 14

    QS. al-Isra‟ [17]: 70, al-Taghâbun [64]: 3, al-Infitar [82]: 7-8, al-Tin [95]: 4 15

    QS. al-Baqarah [2]: 75, al-Nahl [16]: 78, al-Rûm [30]: 7, al-Anfâl [8]: 21, al-Hajj [22]:

    46, al-Ra‟d [13]: 2, Hûd [11]: 123, dan lain-lain 16

    QS. al-Baqarah [2]: 22, 29, al-Jâtsiyah [45]: 13, Luqmân [31]: 20

  • 7

    wakil Allah di bumi.17

    Dari keempat dasar keagamaan inilah yang kemudian

    dipahami bahwa, manusia merupakan makhluk terbaik karena dibekali akal.

    Dengan akalnya manusia dapat mengembangkan teknologi untuk menguasai

    sumber daya alam dan lingkungan, bahkan menjelajah angkasa luar. Pemahaman

    inilah yang selanjutnya diduga melebur menjadi satu dalam bingkai teologi

    lingkungan yang terkesan antroposentris.18

    Oleh sebab itu, menafsirkan kembali ayat-ayat lingkungan menjadi sebuah

    keniscayaan. Jika selama ini dikenal slogan habl min al-Allâh (relasi dengan

    Allah) dan habl min al-nâs (relasi dengan manusia), maka sudah saatnya juga

    dikumandangkan slogan habl min al-bî‟ah (relasi yang baik dengan lingkungan).

    Dengan kata lain, trilogi (tigal hal yang saling terkait) relasi Tuhan sebagai

    Pencipta, manusia sebagai khalifah, dan lingkungan sebagai tempat untuk

    menjalankan misi kekhalifahan, perlu dilakukan berdasarkan aturan-aturan etis

    yang komprehensif, sehingga ketimpangan-ketimpangan yang memunculkan

    bencana alam bisa diminimalisir.

    Menurut Yusuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M)19

    dalam bukunya, Ri‟âyat

    al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, bahwa Islam meletakkan pemeliharaan lingkungan

    17

    QS. al-Baqarah [2]: 30, al-An‟âm [6]: 165, dan Sad [38]: 26 18

    Junaidi Abdillah, Dekonstruksi Ayat-ayat Antroposentrisme, dalam Jurnal Kalam:

    Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, h. 68 19

    Yusuf Qardhawi lahir di sebuah desa di Republik Arab Mesir, yaitu desa Shafth Turab

    pada tahun 1926. Desa ini dikenal sebagai desa ramai, di desa inilah salah satu sahâbiyyât

    Rasulullah SAW, Abdullah bin Al-Harits bin Jaz al-Zubaidi dikuburkan, sebagaimana yang ditulis

    oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dan yang lainnya. Ia lahir pada tanggal 9 September 1926 dalam keadaan

    yatim. Oleh karena itu tanggung jawab kepengasuhan dan pendidikan diambil alih oleh pamannya.

    Sang paman inilah yang selalu menemani Qardawi kecil ke surau tempat mengaji. Di sana ia

    mampu menghafal al-Quran dan menguasai hukum-hukum tajwid dengan sangat baik, di usianya

    yang masih belia, 10 tahun. Penduduk di desa itu telah menjadikannya sebagai imam dalam

    usianya yang relatif muda, khususnya pada shalat Subuh. Lihat Ishom Talimah, Al-Qardawi

  • 8

    sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok agama (al-darûriyyât al-

    khams).20

    Sederhananya dapat dikatakan bahwa, lingkungan adalah prasyarat

    untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Pertama, menjaga lingkungan sama

    dengan hifz al-dîn, artinya segala usaha pemeliharaan lingkungan sama dengan

    menjaga agama, karena perbuatan dosa pencemaran lingkungan sama dengan

    menodai substansi keberagamaan, yang secara tidak langsung meniadakan

    eksistensi manusia sebagai khalîfah fi al-ard. Oleh karena itu, manusia tidak boleh

    lupa bahwa ia diangkat sebagai khalifah karena kekuasaan Allah di atas bumi

    milik-Nya. Penyelewengan terhadap lingkungan secara implisit, telah menodai

    perintah Allah untuk menjaga dan memelihara alam dan lingkungan,21

    Kedua, menjaga dan melestarikan lingkungan sama dengan menjaga jiwa,

    yaitu menjaga kehidupan dan keselamatan manusia. Pencemaran lingkungan dan

    eksploitasi berlebihan, mengakibatkan timbulnya ancaman dan bahaya bagi

    kehidupan manusia. Syariat Islam menaruh perhatian besar terhadap

    keberlangsungan kehidupan manusia.22

    Ketiga, menjaga lingkungan sama dengan

    hifz al-nasl, yaitu menjaga keberlangsungan hidup generasi manusia di muka

    bumi. Perbuatan menyimpang terkait lingkungan hidup akan berakibat pada

    kesengsaraan generasi berikutnya. Upaya menjaga kesinambungan generasi

    tercermin dalam ajaran dan anjuran untuk bersatu dan bersaudara membangun

    solidaritas, yang teraplikasi secara konkrit dalam menjaga segala bentuk

    Faqîhan: Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardawi, terj. Samson Rahman, (Jakarta Timur: Pustaka Al-

    Kautsar, 2001), p. 3-4. 20

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2000),

    h. 39 21

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 47 22

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fi Syarî‟at al-Islâm, h. 48-49

  • 9

    eksploitasi sumber-sumber rizeki yang menjadi hak bagi generasi yang akan

    datang.23

    Keempat, menjaga lingkungan sama dengan menjaga akal, dalam artian

    bahwa beban taklîf untuk menjaga lingkungan di-khitâb-kan untuk manusia yang

    berakal. Hanya orang yang tidak berakal saja yang tidak terbebani untuk menjaga

    dan melestarikan lingkungan. Upaya menjaga keberlangsungan hidup manusia

    tidak akan berjalan kecuali kalau akalnya dijaga, sehingga apabila ada manusia

    yang melakukan perusakan terhadap lingkungan, maka manusia tersebut telah

    kehilangan akalnya. Terkait dengan hal itu, Umar ibn al-Khattab berpesan,

    “Barang siapa yang melindungi lingkungan sama dengan menjaga keseimbangan

    dalam berfikir, keseimbangan antara hari ini dan hari esok, antara yang maslahah

    dan mafsadah, antara kenikmatan dan kesengsaraan, antara kebenaran dan

    kebatilan. Sebab tidaklah layak perilaku para pemabuk (orang yang kehilangan

    akal) diterapkan dalam pola interkasi dengan lingkungan. Karena ketika peran

    akal telah ditiadakan, maka manusia tidak akan pernah memahami manakah yang

    hak dan manakah yang batil.24

    Kelima, menjaga lingkungan sama dengan hifz al-mâl. Allah Swt., telah

    menjadikan harta sebagai bekal dalam kehidupan manusia di atas bumi. Harta

    bukan hanya uang, emas, dan permata, melainkan semua yang menjadi kebutuhan

    manusia, seperti pepohonan, binatang, air, udara, serta seluruh yang ada di atas

    23

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 49-50 24

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 50

  • 10

    maupun di dalam perut bumi adalah harta kekayaan yang tak terhingga, yang

    diberikan Allah untuk kebutuhan makhluk-Nya.25

    Dengan demikian memelihara lingkungan sama hukumnya dengan

    memelihara maqâsid al-syarî‟ah, merusak lingkungan dengan menghilangkan

    prinsip ekosistemnya, sama halnya dengan menghilangkan maqâsid al-syarî‟ah.

    Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa

    wâjib (sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya

    wajib). Jelasnya pemeliharaan lingkungan menjadi hal yang sangat wajib,

    mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan maqâsid al-

    syarî‟ah. Untuk itu mewacanakan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat

    Islam menjadi sebuah keniscayaan. Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah

    mencapai taraf yang memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan

    mengancam eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia. Pemikiran ini memiliki

    landasan dalam al-Quran, yaitu firman Allah:

    Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena

    perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka

    sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke

    jalan yang benar). (QS. al-Rûm [30]: 41

    Dalam ayat ini Allah mengungkapkan munculnya kerusakan lingkungan

    (al-fasâd) akibat ulah manusia. Ini artinya krisis lingkungan hidup akan terjadi

    bila manusia sudah tidak memperhatikan kelestarian ekologi secara keseluruhan

    ketika mengeksploitasi alam. Munculnya kerusakan fisik lingkungan hidup ini,

    25

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 51

  • 11

    pada hakekatnya juga diakibatkan adanya krisis mental manusia. Untuk

    menghindari bencana yang bakal terjadi, sebenarnya manusia dianjurkan kembali

    kepada metode al-Quran dan sekaligus mengadakan penelitian terhadap ekosistem

    lingkungan hidupnya, sambil membandingkan dengan peristiwa kehancuran

    lingkungan hidup yang pernah terjadi pada bangsa-bangsa terdahulu.

    Oleh sebab itu, munculnya wacana ekologi sebagai doktrin utama dalam

    Islam patut dipertimbangkan. Hal ini berdasarkan pada pertama, situasi dan

    kondisi lingkungan yang makin kritis baik di negara-negara muslim maupun di

    level global, sehingga memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai

    agama rahmatan lil „âlamîn. Kedua, adanya kenyataan bahwa terpeliharanya al-

    darûriyyât al-khams pada dasarnya tidak akan tercapai tanpa lingkungan hidup

    yang baik yang menjadi prasyarat kehidupan. Ketiga, lingkungan alam adalah

    amanah, bukan aset yang terus dieksploitasi tanpa memikirkan visi keberlanjutan

    bagi generasi manusia di masa mendatang. Untuk itu manusia harus

    memanfaatkan alam secara baik, serta merawat dengan penuh tanggung jawab.

    Dari ketiga landasan inilah menunjukkan bahwa merumuskan kembali wacana

    ekologi menjadi hal yang sangat urgen.

    B. Identifikasi Masalah

    1. Krisis lingkungan yang melanda dunia saat ini, mulai dari longsor, banjir,

    kebakaran hutan, telah menjadi ancaman kehidupan manusia.

    2. Ada yang salah dari cara pandang manusia terhadap teks-teks keagamaan

    tentang relasi manusia dengan alam, sehingga yang berkembang, alam

  • 12

    semesta ini disediakan oleh Tuhan hanya untuk kemakmuran manusia.

    Akibatnya, eksploitasi besar-besaran atas sumber daya alam tidak bisa

    dielakkan.

    3. Kitab-kitab tafsir tidak menjelaskan secara rinci dan sistematik tentang

    bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan membangun pola relasi

    dengan alam. Hal itu bisa dimengerti, karena boleh jadi problem krisis

    lingkungan saat kitab-kitab tafsir itu lahir tidaklah semasif sekarang.

    4. Konstruksi konsep lingkungan perlu dirumuskan kembali dengan

    mengkaji ayat-ayat lingkungan dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah,

    mengingat pemeliharaan lingkungan merupakan basis pemeliharaan

    maqâsid al-syarî‟ah (menjaga agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta)

    5. Memformulasikan konsep lingkungan sebagai doktrin utama (usûl)

    syariat Islam, karena dimungkinkan mampu mempengaruhi dan merubah

    mainstream manusia untuk berprilaku baik terhadap eksistensi

    lingkungan. Kewajiban memeliharanya, berbanding lurus dengan

    pemeliharaan tujuan pokok syariat Islam (memelihara agama, jiwa,

    keturunan, akal, dan harta)

    C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dalam penelitian ini, penulis

    membatasi kajian lingkungan pada term-term tertentu, yaitu al-„âlamîn, al-samâ‟,

    al-ard, dan al-bî‟ah. Pada penelitian ini penulis memfokuskan pada dua objek

  • 13

    kajian. Pertama, merekonstruksi penafsiran ayat-ayat al-Quran terhadap persoalan

    lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah. Adapun ayat-ayatnya, untuk

    term al-„âlamîn diantaranya QS. al-A‟raf [7]: 54, al-Mu‟min [40]: 64-66.

    Sedangkan term al-samâ‟; QS. al-An‟am [6]: 99, QS. al-A‟râf [7]: 96, QS. Yûnus

    [10]: 6, 31, QS. al-Ra‟d [13]: 2, 15, QS. Ibrahîm [14]: 32-34, QS. al-Nahl [16]:

    49, 65, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 16, 30-33, QS. al-Nûr [24]: 41, QS. al-Furqân [25]:

    48-50, QS. al-Naml [27]: 60-61, QS. al-„Ankabût [29]: 44, QS. al-Ahzâb [33]:

    72, QS. Fâtir [35]: 27-28, QS. al-Zukhruf [43]: 11-12, QS. al-Dukhân [44]: 38-

    39, QS. Qaf [50]: 6-12, QS. al-Qamar [54]: 11-12, QS. al-Hadîd [57]: 4. Untuk

    term al-ard; QS. Baqarah [2]: 29, 30, 36, 60, 164, 168, 205, Ali „Imrân [3]: 137,

    al-Mâidah [5]: 32, 33, al-An‟âm [6]: 6, 38, 165, al-A‟râf [7]: 10, 24, 56, 74, 85,

    128, Hûd [11]: 85, ar-Ra‟d [13]: 3, 4, al-Nahl [16]: 10-14, al-Isrâ‟ [17]: 37, al-

    Kahfi [18]: 7, Taha [20]: 53-54, QS. al-Anbiyâ‟ [21]: 31, 105, al-Hajj [22]: 18, 63,

    65, al-Mu‟minûn [23]: 18, al-Syu‟arâ‟ [26]: 7-8, 181-183, al-Naml [27]: 61-63,

    al-„Ankabût [29]: 61-63, al-Rûm [30]: 8-9, 22-24, Luqmân [31]: 10-11, 20, Shad

    [38]: 26, 27-28, al-Zumar [39]: 21, al-Mu‟mîn [40]: 64, al-Syurâ [42]: 27-30, al-

    Jâtsiyah [45]: 5, 13, al-Ahqâf [46]: 4, al-Dzâriyât [51]: 20-23, al-Najm [53]: 31,

    al-Hadîd [57]: 17, al-Jumu‟ah [62]: 10, al-Mulk [67]: 15, Nûh [71]: 15-20.

    Sedangkan term al-bî„ah diantaranya QS. al-A‟râf [7]: 74 dan al-Nahl [16]: 41.

    Kedua, merekonstruksi wacana ekologi sebagai doktrin utama (usûl)

    syariat Islam, mengingat pemeliharaan lingkungan sebagai basis fundamental

    keimanan dan sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia.

  • 14

    2. Perumusan Masalah

    Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

    penelitian ini adalah: bagaimana pandangan al-Quran tentang pola interaksi

    manusia dengan lingkungan hidupnya? Dan bagaimana memformulasikan wacana

    pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin utama (usûl) syariat Islam?

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Beradasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka

    tujuan dari penelitian ini adalah:

    a) Mengetahui pesan-pesan al-Quran mengenai prinsip pemanfaatan dan

    pemeliharaan lingkungan, dalam rangka meminimalisir kerusakannya

    b) Mengembangkan wacana pemeliharaan lingkungan sebagai doktrin

    utama syariat Islam

    c) Memenuhi tugas akademik guna melengkapi salah satu persyaratan

    mendapatkan gelar Magister Agama Islam (M.Ag) prodi Konsentrasi

    Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    2. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, secara konseptual

    memberikan kontribusi ilmiah dalam khazanah keislaman, sebagai respon dalam

    mengatasi krisis lingkungan. Sedangkan secara operasional, kajian ini diharapkan

  • 15

    dapat memberikan panduan terhadap perilaku yang seimbang bagi komunitas

    masyarakat secara luas.

    E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

    Pembahasan mengenai konsep lingkungan dalam kajian Islam dapat

    dikatakan bukanlah hal baru. Beberapa karya ilmiah baik berupa buku, jurnal,

    disertasi, tesis, telah membahas lingkungan hidup, sebagai kontribusi

    penanggulangan krisis lingkungan, di antaranya:

    1. Karya Yusuf al-Qardawi dengan judul Ri‟âyat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-

    Islâm, yang dicetak oleh Dâr al-Syurûq, Kairo pada tahun 2000. Secara

    umum dalam kitab tersebut, Yusuf al-Qardawi berusaha membangun

    sebuah paradigm fikih berbasis lingkungan yang sarat dengan akhlak,

    sehingga tidak berlebihan ketika beliau disebut sebagai penggagas fikih

    ramah lingkungan. Menurutnya, fikih yang ada selama ini cenderung

    hanya menjerat dengan hukum atas hubungan manusia dengan Allah dan

    hubungan manusia dengan manusia. Melalui fikih ramah lingkungan ala

    Yusuf al-Qardawi ini, diharapkan hubungan manusia dengan alam terjalin

    harmonis. Adapun prinsip-prinsip yang dapat diambil dari pemikiran etika

    lingkungan Yusuf al-Qardawi adalah prinsip hormat terhadap alam, kasih

    sayang dan kepedulian, tanggung jawab, kesederhanaan, keadilan, dan

    kebaikan. Prinsip-prinsip tersebut setidaknya dijadikan landasan etis

    manusia dalam berperilaku terhadap lingkungannya.26

    26

    Yusuf al-Qardawi, Ri‟ayat al-Bî‟ah fî Syarî‟at al-Islâm, h. 3

  • 16

    2. Jurnal yang ditulis oleh La Jamaa dalam jurnal Asy-Syir‟ah: Jurnal Ilmu

    Syariah dan Hukum tahun 2011, dengan judul Dimensi Ilahi dan Dimensi

    Insani dalam Maqâsid al-Syarî‟ah.27

    Dalam karyanya, beliau

    menyimpulkan bahwa konsep maqâsid al-syarî‟ah pada hakekatnya

    didasarkan pada wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat

    manusia. Dalam maqâsid al-syarî‟ah sebenarnya terdapat dimensi ilahi

    dan dimensi insani. Dimensi ilahi tersebut adalah nilai-nilai ketuhanan

    karena bersumber dari Tuhan serta bernilai ibadah. Sedangkan dimensi

    insaninya adalah nilai kemaslahatan bagi kehidupan manusia bagi di dunia

    maupun di akherat. Namun selaras dengan kemajuan zaman yang tidak

    hanya membawa dampak positif, namun juga menimbulkan negatif bagi

    kehidupan manusia, seperti penipisan lapisan ozon yang menimbulkan

    kerusakan lingkungan, maka menambah dan memperluas maqâsid al-

    syarî‟ah dengan pemeliharaan lingkungan menjadi suatu keharusan.

    Karena kerusakan lingkungan dewasa ini telah mencapai taraf yang sangat

    memprihatinkan, yang jika tidak diatasi secara serius akan mengancam

    eksistensi dan kemaslahatan hidup manusia.

    3. Jurnal yang ditulis oleh Abrar dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan tahun

    2012, dengan judul „Islam dan Lingkungan‟.28

    Dalam tulisannya, Abrar

    merumuskan bahwa kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat

    dari berbagai perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam

    27

    La Jamaa, Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâsid al-Syarî‟ah, dalam Jurnal

    al-Syir‟ah, Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 45 No. II, Juli-Desember 2011. 28

    Abrar, Islam dan Lingkungan, dalam jurnal Ilmu Sosial Mamangan, Edisi, 1, Tahun 1,

    Juli 2012

  • 17

    membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan

    terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta.

    Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan

    alam sekitar. Dengan demikian memposisikan aspek lingkungan sebagai

    ajaran Islam yang utama menjadi sebuah keharusan. Karena dengan

    menjadikan doktrin utama ajaran Islam, dimungkinkan mampu merubah

    mainstream umatnya untuk berperilaku baik terhadap eksistensi

    lingkungan.Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Paramadina

    tahun 2001 dengan judul Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran,

    yang ditulis oleh Mujiyono Abdillah. Dalam karyanya, ia menegaskan

    bahwa perspektif tentang ekologi yang berkembang, cenderung bersifat

    antroposentris, sekularistik, bahkan ateis. Implikasi dari pemikiran

    antroposentris ini menjadi biang keladi munculnya kerusakan-kerusakan

    ekosistem. Oleh sebab itu, menurutnya dibutuhkan paradigma ekologi

    yang bernuansa rasional dan ekoreligi Islam, yaitu pemahaman yang

    holistik integeralistik, yang mensinergikan antara teknologi, ekologi, dan

    spiritul relegius. Menurutnya prilaku ekologi sangat ditentukan oleh

    bentuk keyakinan yang dianut oleh masyararakat ekologi itu sendiri.

    Keyakinan yang dimaksud adalah keyaninan yang holistik dan sempurna

    sehingga penting untuk mengkonstruk konsep ekoteologi Islam.29

    Menurutnya teologi lingkungan dalam konsep Islam dikembangkan

    melalui dasar-dasar keberimanan yang meliputi tentang: 1) tidak sempurna

    29

    Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran, h. 222-223

  • 18

    iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. 2) peduli lingkungan adalah

    sebagian dari iman, 3) perusak lingkungan adalah kafir ekologis, 4)

    Pemboros energi adalah teman syaitan. 5. Banjir adalah fenomena ekologis

    bukan fenomena teologis.

    4. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Dian Rakyat pada tahun

    2010, dengan judul Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan

    Tertinggi Syariat,30

    yang ditulis oleh Mudhofir Abdullah. Dalam

    disertasinya, dia menyimpulkan bahwa; Pertama, krisis lingkungan yang

    sedang melanda dunia saat ini disebabkan oleh cara pandang postivistik-

    developmentalisme. Paradigma ini telah melahirkan era modernitas yang

    bertumpu pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan

    industrialisasi. Krisis lingkungan semakin lengkap seiring menguatnya

    kapitalisme global yang mempengaruhi perilaku lingkungan seseorang.

    Bagi Mudhofir, akar-akar krisis juga disebabkan karena manusia dilanda

    krisis spiritual, krisis alamiah dan krisis-krisis multidimensional. Kedua,

    aspek krisis lingkungan sangat variatif, fikih adalah salah satu jawaban,

    terutama dalam pendekatan agama.

    5. Disertasi yang telah diterbitkan dan dicetak oleh Mizan pada tahun 2014,

    dengan judul „Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia

    Perspektif Al Quran‟, yang ditulis Nur Arfiyah Febriani. Kajian ini

    dilatarbelakangi karena ada cara pandang yang mempermasalahkan laki-

    laki sebagai aktor pemicu berbagai bentuk kerusakan lingkungan. Pola

    30

    Mudhofir Abdullah, Argumen Konservasi Lingkungan sebagai Tujuan Tertinggi

    Syariat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010). h. v

  • 19

    interaksi laki laki yang arogan, diskriminatif, dan dominatif terhadap

    perempuan, disinyalir juga bertindak sama terhadap bumi, karena

    keduanya memiliki kesamaan karakter yang pasif dan submisif.31

    Cara

    pandang inilah yang menurut Febriani mengakibatkan pola pikir yang

    sangat sempit dalam memandang dan mengklasifikasi antara karakter laki-

    laki dan perempuan. Padahal di dalam al-Quran setiap ayat yang

    mengisyaratkan tentang karakter manusia didapati dalam bentuk umum

    sebagai indikasi bahwa ayat itu berlaku bagi laki-laki dan perempuan.

    Dalam ekologi alam, terdapat deskripsi al-Quran tentang keseimbangan

    karakter feminin dan maskulin dalam setiap entitas makhluk. Hanya saja,

    alam raya tidak memiliki sisi negatif dalam karakternya. Artinya,

    keseluruhan alam raya patuh pada ketentuan Allah Swt. dalam

    menjalankan fungsi dan perannya tanpa membelot sedikitpun. Kepatuhan

    alam raya dengan ketentuan Allah adalah sebagai bentuk ibadah alam raya

    kepada-Nya. Manusia yang menyadari tujuan penciptaan-Nya adalah

    untuk beribadah, tentu dapat belajar dari ketundukan alam raya sebagai

    bentuk ibadah kepada Allah. Keseimbangan karakter feminin dan

    maskulin yang memiliki nilai dan sisi positif dalam setiap makhluk di

    alam raya ini, dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk dapat

    menyeimbangkan karakter feminin dan maskulin yang memiliki nilai

    positif dalam dirinya. Untuk itu stereotip karakter laki laki dan perempuan

    seharusnya tidak menjadi penyebab bagi manusia untuk saling

    31

    Nur Arfiyah Febriani, Wawasan Gender Dalam Ekologi Alam Dan Manusia Perspektif

    Al Quran. (Jakarta: Mizan, 2014), h. 8

  • 20

    menyalahkan dan merasa lebih dominan dalam berbagai pola interaksi

    sosialnya termasuk dalam upaya konservasi lingkungan.

    6. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008 dengan

    judul Etika Lingkungan dalam al-Quran yang ditulis Muhirdan. Dalam

    kajiannya, Muhirdan mencoba menganalisa tentang bagaimana etika

    lingkungan hidup melalui perspektif al-Quran dengan pendekatan tafsir

    tematik. Untuk menghasilkan konsep etika lingkungan secara

    komprehensif, Muhirdan melakukan penelusuran term-term yang

    digunakan al-Quran dalam menjelaskan tentang lingkungan, yaitu term al-

    samâ‟, al-ard, dan al-bî‟ah. Muhirdan menyimpulkan bahwa terdapat

    etika lingkungan hidup yang perlu diterapkan untuk menjaga

    keseimbangan ekosistem alam, yaitu pertama, etika konservasi lingkungan

    hidup secara menyeluruh. Kedua, etika pembersihan dan penyehatan

    lingkungan hidup. Ketiga, etika menjaga lingkungan hidup dari perusakan.

    Keempat etika pengelolaan lingkungan hidup dengan cara tidak

    mengeksploitasi sumber daya alam dan meminimalisir penggunaan sesuai

    neraca kebutuhan.32

    7. Tesis Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2009

    dengan judul „Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hossein

    Nasr‟, yang ditulis oleh Muhammad Ridhwan. Dalam tesisnya, ia

    menyimpulkan bahwa krisis lingkungan sudah sangat masif. Hal ini

    disebabkan bersumber pada kesalahan fundamentalis-filosofis cara

    32

    Muhirdan, Etika Lingkungan dalam al-Quran, dalam tesisnya di UIN Sunan Kalijaga

    Yogyakarta Tahun 2008, h. iv

  • 21

    pandang manusia terhadap diri dan alamnya. Kesalahan pola pikir manusia

    tersebut mengakibatkan perilaku eksploitatif besar-besaran. Paham

    materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme semakin menambah

    kerusakan lingkungan. Menurutnya kesalahahpahaman tersebut akibat

    krisis moral dan spiritual manusia. Adapun untuk pengendaliannya,

    menurut Nasr dengan menempuh jalan sufisme yang kelak mengarah pada

    harmonisasi manusia dengan alam.33

    Dari semua literatur yang disebutkan di atas, belum ada yang melakukan

    kajian lingkungan melalui pendekatan maqâsid al-syarî‟ah untuk mengetahui

    sejauh mana teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan kadar dikatakan

    berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan. Kebanyakan

    penelitian yang ada, mengkaji seputar konsep lingkungan Islam pada aspek

    teologi. Ada penelitian yang memang melakukan kajian terhadap fikih

    lingkungan, namun baru sebatas hukum lingkungan yang sarat dengan akhlak.

    Dengan demikian jelaslah bahwa kajian lingkungan dengan pendekatan maqâsid

    as-syarî‟ah belum dilakukan. Karena, ketika sebuah penelitian memiliki

    perbedaan dalam sudut pandang dan pendekatan, tentu saja akan melahirkan

    kesimpulan dan implikasi yang berbeda pula.

    F. Metodologi Penelitian

    Dilihat dari jenis penelitian, kajian ini termasuk dalam penelitian pustaka

    (library research). Sumber datanya meliputi kitab-kitab tafsir sebagai sumber

    33

    Muhammad Ridhwan, Ekosofi Islam: Kajian Pemikiran Ekologi Sayyed Hoosein

    Naser, dalam karya tesisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tahun 2009, h. vi

  • 22

    primernya, sementara sumber sekundernya meliputi kitab-kitab, buku-buku,

    jurnal, dan artikel tentang lingkungan dan maqâsid al-syarî‟ah serta yang

    berhubungan dengan keduanya, baik dari karya-karya ulama klasik maupun

    modern.

    Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis34

    dengan pendekatan maqâsid al-

    syarî‟ah. Metode analisis yang digunakan adalah gabungan antara deduktif dan

    komparatif. Deduktif digunakan dalam rangka memperoleh gambaran detail

    konsep lingkungan dalam al-Quran, dengan menggunakan metode tafsir maudu‟i,

    yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat setema, untuk mendapatkan gambaran

    secara utuh, holistik, dan komprehensif mengenai tema yang dikaji, kemudian

    mencari makna yang relevan dan aktual untuk konteks kekinian. Sedangkan

    komparatif digunakan untuk membandingkan pendapat mufasir antara satu

    dengan penafsir lainnya, mengenai kajian ayat-ayat lingkungan dalam al-Quran.

    Adapun pendekatan maqâsid al-syarî‟ah digunakan dalam rangka

    menyingkap dan menjelaskan prinsip ekologi al-Quran, mengenai sejauh mana

    teknis operasional pemanfaatan potensi bumi dan sejauh mana kadar dikatakan

    berlebih-lebihan, dengan lebih menitikberatkan pada kemaslahatan manusia.

    Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban dan larangan (taklîf)

    34

    Deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang

    berkaitan dengan masalah yang diteliti kemudian dideskripsikan, sehingga dapat memberikan

    kejelasan terhadap kenyataan atau realitas. Sedangkan analitis adalah sebuah tahapan guna

    menguraikan data-data yang terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode Deskritif

    Analitis adalah sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data yang telah tersusun dengan

    melakukan kajian terhadap data-data tersebut, kemudian menganalisanya secara proporsional.

    Lihat Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada, 2009) Cet.ke-I, h. 73

  • 23

    diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan di

    akhirat.35

    G. Kerangka Teori

    Salah satu teori tafsir menyatakan taghayyur al-tafsîr bi taghayyur al-

    azmân wa al-amkân, bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan

    zaman dan tempat.36

    Berangkat dari teori ini maka tafsir sebagai sebuah produk

    dialektika antara teks al-Quran dan konteks, sesungguhnya harus selalu

    mengalami perkembangan sesuai dengan gerak waktu, tempat, bahkan juga

    perubahan lingkungan. Jika dulu tafsir sering hanya berkutat bagaimana

    memaknai ayat-ayat secara deduktif-normatif, bahkan terkesan hanya mengulang-

    ulang (al-qirâ‟ah al-mutakarrirah) atas pemaknaan masa lalu, maka sudah

    saatnya produk tafsir harus mampu membaca secara produktif dan kreatif agar

    bisa menjadi solusi atas problem sosial keagamaan kontemporer.37

    Artinya, fungsi

    tafsir harus dikembalikan kepada fungsi al-Quran sebagai solusi atau obat (syifâ‟)

    bagi problem sosial masyarakat modern, tidak terkecuali masalah lingkungan

    yang dewasa ini semakin memperlihatkan tingkat kerusakannya. Oleh sebab itu,

    paradigma tafsir lingkungan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Untuk

    merumuskan konsep lingkungan berbasis al-Quran, perlu adanya sebuah

    35

    Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, (Beirut: Dar al-Ma„rifah, t.t.),

    Juz 2, h.195. Lihat juga „Izz al-Dîn ibn „Abd al-Salâm, Qawâ„id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm,

    (Kairo: Maktabah al-Kulliyyâh al-Azhariyyah, 1994), Juz ke-1, h.5. Lihat juga Ibn al-Qayyim al-

    Jauziyyah, I„lâm al-Muwaqqi„în „an Rabb al-„Âlamîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1425 H/2004 M), Juz

    ke-3, h.5. Baca juga Tâhir ibn „Âsyûr, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun,

    Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M), h.12. 36

    Muhamad Syahrûr, Nahwa Usûl al-Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî, (Damaskus: al-Ahali li

    al-Tibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2000), h. 95 37

    Lebih lanjut baca Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:

    LKiS, 2010), h. 78

  • 24

    pendekatan baru sebagai pisau analisis dalam memahami sebuah teks, yaitu

    dengan pendekatan maqâsid al-syarî‟ah yang dalam hal ini tema utamanya adalah

    maslahah.38

    Berbicara mengenai maslahah dalam konteks maqâsid al-syarî‟ah, al-

    Syâṭibi (w. 790 H/1388 M)39

    mengatakan bahwa, tujuan pokok pembuat undang-

    undang (Syâri‟) adalah taḥqîq maṣâlih al-khalq (merealisasikan kemaslahatan

    makhluk). Oleh sebab itu setiap doktrin dan nilai-nilai yang diwahyukan, baik itu

    berbentuk perintah ataupun larangan, keduanya selalu berorientasi pada

    kemaslahatan manusia (human welfare). Pertanyaannya kemudian bagaimana

    38

    Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan sebutan

    (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (al-asl, al-qâ„idah, al-mabda‟), sumber atau dalil hukum

    (masdar, dalîl), doktrin (al-dâbit), konsep (al-fikrah), metode (al-tarîqah), dan teori (al-

    nazâriyyah). Lihat „Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî„ al-Islâmi fîmâ lâ Nass fîh,

    (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M). Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm al-

    Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-„Arabi, 1395 H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bughâ, Atsâr

    al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî„ al-Taba„iyyah fi al-Fiqh al-Islâmi, (Damaskus:

    Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.). Baca juga Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah

    wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî„ al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi„i, 1403 H/1983 M), h.16.

    Secara etimologis, arti al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan,

    kelayakan, keselarasan, dan kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah

    yang artinya kerusakan. Lihat Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyyâ, Mu„jam Maqâyîs al-

    Lughah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1403 H/1981 M), Juz ke-3, h.303; dan Jamâl al-Dîn

    Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzûr al-Ifrîqi, Lisân al-„Arab, (Riyad: Dâr „Âlam al-Kutub,

    1424 H/2003 M), Juz ke-2, h.348. Sementara secara terminologis, maslahah telah diberi muatan

    makna oleh beberapa ulama usûl al-fiqh. Al-Ghazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa

    makna genuine dari maslahah adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau

    menyingkirkan/menghindari kemudaratan (jalb al-manfa„ah atau daf„ al-madarrah) Menurut al-

    Ghazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti terminologis syar‟i, adalah memelihara dan

    mewujudkan tujuan syara‟ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

    Ditegaskan oleh al-Ghazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi

    kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat

    mengganggu dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan

    menghilangkan sesuatu dapat dikualifikasi sebagai maslahah. Lihat Abû Hâmid Muhammad al-

    Gazâli, al-Mustasfâ min „Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta„lîq Muhammad Sulaimân al-Asyqâr, (Beirut:

    Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1, h.416-417. 39

    Nama lengkap al-Syâtibî adalah Abû Ishâq Ibrâhim bin Mûsa al-Gharnati al-Syâtibî. Ia

    dilahirkan di Granada pada tahun 730 H dan wafat pada tahun 790 H di tempat yang sama. Al-

    Syâtibî, nama populer yang ada dibelakang nama lengkapnya, adalah nama kota kelahiran

    keluarganya. Keluarga al-Syâtibî awalnya tinggal di Syâtiba, tetapi karena situasi politik waktu itu,

    keluarga al-Syâtibî tidak memungkinkan untuk tinggal di Syâtiba. Mereka pun terpaksa harus

    tinggal di Granada. Lihat Imam Rosyadi, Pemikiran al-Syâtibî tentang Maslahah Murasalah,

    dalam jurnal Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni 2013, h. 79

  • 25

    mengetahui maslahah dalam sebuah teks? Menjawab hal ini, al-Syâtibi

    menggagas pemikiran bahwa maslahah dapat diketahui dengan cara sebagai

    berikut: Pertama, memahami tujuan legislasi suatu hukum melalui logika

    kebahasaan, al-amr dan al-nahy dari teks-teks syariat. Kedua, memahami secara

    tekstual sekaligus kontekstual „illah perintah dan larangan. Ketiga, memahami

    tujuan-tujuan primer (al-maqâsid al-asliyyah) dan tujuan-tujuan sekunder (al-

    maqâsid al-tabâ„iyyah). Keempat, tidak adanya keterangan Syâri‟ (sukût al-

    Syâri‟).40

    Sementara menurut Yûsuf al-Qardawi (l. 1245 H/1926 M), cara untuk

    mengetahui maslahah, yaitu: Pertama, meneliti setiap „illah (baik mansûsah

    maupun ghairu mansûsah) pada teks al-Quran dan Hadis. Misalnya, QS. al-Hadîd

    [57]:25, ayat ini sesungguhnya menjadikan keadilan sebagai tujuan seluruh

    doktrin agama samawi. Hal ini merupakan simpulan dari adanya lâm ta„lîl yang

    menyertai frase “li yaqûm al-nâs bi al-qist”. Hal yang sama juga terdapat pada

    QS. al-Hasyr [59]:7 (li kai lâ yakûna dûlatan bain al-aghniyâ‟ minkum), dan QS.

    al-Anbiyâ‟ [21]: 107 (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li al-„âlamîn). Kedua,

    mengkaji dan menganalisis hukum-hukum partikular, untuk kemudian

    menyimpulkan cita pikiran hasil pemaduan hukum-hukum partikular tersebut.41

    Sedangkan menurut Ibn „Âsyur (w. 1325 H/1907 M),42

    ada tiga cara untuk

    mengetahui maslahah. Pertama, melalui metode induktif (istiqra‟), yakni

    40

    Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî„ah, Juz 2, 393-414 41

    Yusuf al-Qardawi, Fiqih Maqâsid Syarî‟ah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual

    dan Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.23-25. 42

    Nama lengkapnya adalah Muhammad al-Tâhir Ibnu Muhammad bin Muhammad al-

    Thâhir bin Muhammad bin Muhammad al-Syâdzili bin al-„A lim Abd al-Qâdir bin Muhammad bin

    „Âsyur. Ibnu „Âsyur dilahirkan di pantai La Marsa sekitar 20 kilometer dari kota Tunisia pada

  • 26

    mengkaji syariat dari semua aspek berdasar ayat partikular. Cara ini dibagi dalam

    dua klasifikasi: 1) Meneliti semua hukum yang diketahui kausalnya (al-„illah).

    Contoh: larangan meminang perempuan yang sedang dalam pinangan orang lain,

    demikian pula larangan menawar sesuatu barang dagangan yang sedang ditawar

    orang lain. „Illah dari larangan ini adalah keserakahan dengan menghalangi

    kepentingan orang lain. Dari „illah ini dapat ditarik satu maslahah, yaitu

    kelanggengan persaudaraan antar saudara seiman. 2). Meneliti dalil-dalil hukum

    yang sama „illah-nya, sampai yakin bahwa „illah tersebut adalah maslahah-nya.

    Misalnya, larangan membeli produk makanan yang belum ada di tangan, dan

    larangan memonopoli produk makanan. Keduanya mempunyai „illah yang sama,

    yaitu larangan menghambat peredaran produk makanan di pasaran. Dari „illah ini

    dapat diketahui adanya maslahah, yaitu bertujuan bagi kelancaran peredaran

    produk makanan, dan mempermudah orang memperoleh makanan.43

    Kedua, maslahah dapat ditemukan secara langsung dari dalil-dalil al-

    Quran secara sarîh (jelas), serta kecil kemungkinan untuk dipalingkan dari makna

    zahir-nya, seperti bunyi ayat 183 surat al-Baqarah tentang kewajiban puasa

    „kutiba „alaikum al-siyâm.‟ Pada ayat ini, sangat kecil kemungkinan mengartikan

    kata „kutiba‟ dengan arti selain “diwajibkan,” dan tidak mungkin dimaknai

    sebagai „ditulis.‟ Ketiga, maslahah dapat ditemukan langsung dari dalil-dalil

    Sunah yang mutawatir, baik mutawatir ma„nawi yaitu pengalaman sekelompok

    sahabat yang menyaksikan perbuatan Nabi saw., seperti disyariatkannya khutbah

    tahun 1296 H bertepatan dengan 1879 M. Ia meninggal di Tunisia pada hari Ahad 3 Rajab tahun

    1393 H bertepatan 12 Juni 1973 M. Lihat Safriadi, Kontribusi Ibnu „Âsyur dalam Kajian Maqâsid

    al-Syarî‟ah, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. 15. No. 2, Februari 2016, h. 289 43

    Muhammad al-Tahir Ibn „Asyur, Maqâsid al-Syarî„ah al-Islâmiyyah (Tunisia:

    Maktabah al-Istiqâmah, 1366 H), h. 15-17

  • 27

    pada dua hari raya, maupun mutawatir „amali yaitu praktik seorang sahabat yang

    melakukan secara berulang kali pada masa hidup Nabi saw., dan Nabi

    mendiamkannya.44

    Dari semua langkah yang dilakukan di atas, pada dasarnya hanya satu

    yang dicari, yaitu kemaslahatan yang terkandung dalam syariat Islam. Sementara

    dalam kajian ini, penulis menggunakan teori maslahah al-Syâtibi.

    Menurut al-Ghazâli (w. 505 H/1111 M), ada tiga konsep maslahah

    manakala ditilik dari objeknya, yaitu: 1) maslahah yang mendapat ketegasan

    justifikasi Syâri‟ terhadap penerimaannya (maslahah mu„tabarah). Dalam hal ini,

    dalil yang secara khusus menjadi dasar dari bentuk kemaslahatan, baik secara

    langsung maupun tidak terdapat indikator dalam syara‟; 2) maslahah yang

    mendapat ketegasan justifikasi Syâri‟ terhadap penolakannya (maslahah

    mulghah). Jenis maslahah ini biasanya berhadapan secara kontradiktif dengan

    bunyi nas baik al-Quran maupun hadis; dan 3) maslahah yang tidak mendapat

    ketegasan justifikasi Syâri‟, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya

    (maslahah mursalah), tapi cakupan makna nas terkandung dalam substansinya.

    Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah dengan trilogi

    44

    Ibn „Âsyur mencontohkan dengan sebuah Hadis yang dibukukan dalam Sahih al-

    Bukhari. Diriwayatkan dari al-Azraq ibn Qays, ia menceritakan: “Kami berada di sebuah tepi

    sungai yang sedang kekeringan di daerah Ahwaz, lalu Abu Barzah datang dengan mengendarai

    seekor kuda. Kemudian mengistirahatkan kudanya untuk salat, lalu tiba-tiba kudanya lari. Maka ia

    pun menghentikan salat dan mengejar kudanya, lalu ia kembali mengerjakan salatnya. Di antara

    kami ada yang berkomentar: lihat Abu Barz