TERJEMAH AL-QUR’AN BAHASA SASAK Studi Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Imam Hidayatullah NIM :1112034000084 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M./1439 H.
84
Embed
Imam Hidayatullah NIM :1112034000084repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42201/2/IMAM... · dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TERJEMAH AL-QUR’AN BAHASA SASAK
Studi Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Imam Hidayatullah
NIM :1112034000084
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M./1439 H.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke pada Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam
nikmat dan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga dengan nikmat dan rahmat
tersebut penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Saiyyidina Nabi Muhammad SAW., berserta
para keluarrga dan sahabatnya yang telah mengajarkan berbagai macam ilmu
pengetahuan dan budi pekerti yang baik kepada umat manusia.
Skripsi berjudul “Terjemah Al-Qur’an Bahasa Sasak Studi Kitab Juz
‘Amma al-Majīdi “ disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama pada jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa
dukungan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus
Penguji I dalam skripsi ini.
3. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku penguji II dalam skripsi ini, yang
menurut penulis banyak memberikan perspektif baru (fresh perspektif)
sehingga finishing skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Dosen Pembimbing Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., yang telah berkenan
membimbing, hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Metode Terjemah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi ........... 43
B. Dialek Bahasa Sasak yang Digunakan .................................... 45
BAB V PENUTUP ............................................................................... 52
A. Kesimpulan ............................................................................. 52
B. Saran-Saran ............................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 54
Lampiran
x
Daftar Tabel
Tabel 4.1: Identifikasi Penggunaan Dialek Bahasa Sasak dalam kitab Juz
‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasa…………………………45
Tabel 4.2: Pilihan alternatif dialek terjemah kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
dengan dialek yang lebih sopan atau alus..........................................51
xi
Daftar Gambar
Gambar 3.1 : Sampul depan dan belakang kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi……………………………………………………40
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya menerjemahkan al-Qur‟an bukanlah hal baru. Ia telah dilakukan
sejak permulaan abad ke-2 M di mana al-Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Robert of Ketton (Robert de Retines). Hingga saat ini al-Qur‟an telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia, seperti bahasa Persia, Turki, Urdu, India,
Jepang, Inggris, Prancis, Spanyol, Mandarin, Indonesia hingga beberapa bahasa
negara-negara di Afrika. Ini dilakukan berangkat dari berbagai kebutuhan
masyarakat setempat, baik non-muslim maupun muslim, untuk tujuan positif
maupun negatif; pengembangan studi keagamaan, misi perpolitikan, memahami
agama (Islam), menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi sehari-
hari dan sebagainya.1
Melihat kebutuhan-kebutuhan yang semakin mendesak dan kompleks,
maka menerjemahkan al-Qur‟an menjadi kebutuhan ketika agama Islam masuk ke
wilayah-wilayah non-Arab.2 Realitas yang paling dekat adalah masuknya Islam
ke Indonesia. Masyarakat Indonesia dalam kesehariannya menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa daerah masing-masing. Dimungkinkan mereka tidak bisa
memahami al-Qur‟an secara langsung kecuali orang-orang yang menguasai
dwibahasa (bahasa Indonesia dan Arab sekaligus),3 sehingga penerjemah al-
Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia atau ke bahasa daerah di Indonesia menjadi
kebutuhan, guna menjadi perantara bagi masyarakat Indonesia yang ingin
memahami pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur‟an.4
Namun, pada saat menerjemahkan, penerjemah dituntut menjaga amanah
teks awal, agar pesan inti dari teks itu tersampaikan. Selain tuntutan amanah,
seorang penerjemah juga dihadapkan dengan masalah ketepatan memilih kosa
1Lihat Rifa‟i Sauqi dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 169-171. 2M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur’an. Penerjemah Thoha Musawa (Jakarta: al-Huda,
2007), h. 276. 3Siti Rohmatin Fitriani, “Membandingkan Metodologi Penafsiran A. Hassan dalam
Tafsir al-Furqon dan H.B Jassin dalam al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia,” (Skripsi S1 Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 3. 4Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia. Penerjemah Rahmat Taufiq
Hidayat (Bandung: Mizan, 1996), h. 154.
2
kata, agar pesan yang terkandung dalam teks awal ke dalam bahasa sasaran
tersampaikan secara utuh. Begitulah kesulitan yang dihadapi oleh seorang
penerjemah, sampai-sampai terkadang ia harus melakukan “pengkhianatan”
kepada salah satu bahasa bahkan pada keduanya. Apa lagi yang diterjemahkan
adalah teks al-Qur‟an yang posisinya sebagai firman tuhan.5
Dalam bahasa Indonesia sulit didapatkan tejemahan yang berhasil karena
banyak ide-ide dalam al-Qur‟an yang tidak tertampung oleh bahasa Indonesia. Ini
persis apa yang ditulis oleh Nurcholish Madjid dalam artikel Terjemahan al-
Qur’an sebagai Tafsir, Nurcholish Madjid mencontohkan terjemahan Bismi Allah
ar-Rahman ar-Rahim “Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang”. Menurut Nurcholish Madjid, ini merupakan contoh terjemahan
yang dipaksakan, karena kata Bismi Allah artinya “atas nama Allah” atau kalau
dalam terjemahan bahasa Inggris In The Name Of Allah, bandingkan dengan
terjemahan sekarang “dengan nama”. Menurut beliau ini penerjemahan semi
analitik, sebab “dengan nama” itu tidak ada artinya. Apalagi kadang-kadang ada
tambahan sisipan “dengan menyebut nama Allah”.6
Ahmad Syarbashi mengatakan Allah mengajarkan arti-arti isyarat,
rumusan-rumusan dan dalil-dalil yang tidak bisa diungkapan dalam bahasa
apapun. Walau seberapa kuat, jenius dan mampunya seseorang tidak akan mampu
untuk memindahkan arti-arti kata dalam al-Qur‟an ke bahasa lain. Jika
penerjemah memaksakan arti kata lain dan beranggapan lafaz tersebut lebih tepat
dari arti sebenarnya, berarti dia telah mengadakan perubahan.7
Hal ini terjadi karena setiap bahasa tidak mungkin disamakan dalam
semua aspek baik lafaz, susunan, bentuk metaphor, kosa kata, kata kerja dan
lainnya.8 Senada dengan apa yang dipaparkan oleh Komaruddin Hidayat, di
dalam bukunya Memahami Bahasa Agama, bahwa al-Qur‟an ketika
5Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemah al-Qur‟an: Studi Pada Penerbitan al-Qur‟an
dan Kasus Kontemporer”, dalam Suhuf Vol. 4, No.2 (2011): h. 170. 6M. Fudail, “Terjemah al-Qur‟an dalam bahasa Mandar: Telaah Metodologi
Penerjemahan Karya Khalid Bodi,” (Skripsi S1 Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), h. 4. 7Ahmad Syarbashi, Dimensi-Dimensi Kesejatian al-Qur’an (Yogyakarta: Ababil, 1996),
h. 45. 8Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemah al-Qur‟an: Studi Pada Penerbitan al-Qur‟an
dan Kasus Kontemporer,” h. 170.
3
diterjemahkan sudah pasti mengalami perubahan makna, baik perubahan yang
bersifat pengembangan maupun penyusutan.9
Melihat realitas yang ada di Indonesia, terjemahan al-Qur‟an berbahasa
Indonesia10
tidak cukup memberikan solusi bagi masyarakat daerah yang ada di
Indonesia untuk memahami al-Qur‟an, karena mereka dalam kesehariannya
menggunakan bahasa daerah. Dari itu, banyak ulama daerah yang
menterjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa daerahnya, seperti terjemahan bahasa
Sunda yang ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi bin K.H. Abdurrahim,11
dengan
menggunakan Arab pegon.12
Tafsīr al-Ibriz Lima‘rifati Tafsīr al-Qur’an bi al-
Lughati al-Jawiyyah karya K.H. Bisri Musthafa.13
Dari namanya tafsir ini sudah
kelihatan bahwa karya ini menggunakan bahasa Jawa dengan tulisan Arab-
Pegon.14
Dari semua buku yang membahas tentang Tafsir di Indonesia, seperti
Literatur Tafsir Indonesia karya Mafri Amir, dan Khazanah Tafsir Indonesia
karya Islah Gusmian dan Tafsir al-Qur’an Nusantara Tempo Doeloe karya Ervan
Nurtawab, belum dijelaskan terjemah al-Qur‟an bahasa Sasak atau Lombok.
Buku-buku di atas membahas tafsir Indonesia sampai tahun 2000-an, tepatnya
pada Tafsīr al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Padahal penulis
menemukan karya dari kumpulan beberapa ulama‟ Lombok yang tergabung dalam
tim Lajnah penerjemah al-Qur‟an Bahasa Sasak yang di beri nama Juz ‘Amma al-
Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.15
Melihat realitas di atas, penting kiranya Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan al-Qur’an Bahasa Sasak tersebut untuk diteliti. Dengan ini akan
9Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 172.
Antar Nusa, 1996), h. 407-408 8 Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an, h. 314
15
juga menjelaskan makna-makna dan menarik hukum-hukum serta hikmah-hikmah
yang terkandung di dalamnya.9
Dalam tafsir yang diutamakan adalah menyampaikan penjelasan dan pesan
dari bahasa aslinya yang pertama. Sedangkan pada terjemah terutama terjemahan
secara harfiyyah, makna yang diungkap tidak lebih dari sekedar pengganti bahasa
asal. Dalam tafsir yang menjadi pokok perhatian adalah tercapainya penjelasan tepat
sasaran baik secara global maupun secara terperinci. Tidak demikian halnya dengan
terjemah. Ia pada lazimnya mengandung tuntutan terpenuhinya semua makna yang
terpenuhi oleh bahasa pertama.10
Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas, maka dapat dipahami
bahwa antara tafsir dengan terjemah baik tafsiriyyah maupun harfiyyah terdapat
perbedaan yang cukup jelas. Tafsir memungkinkan adanya pemahaman dan arti yang
lebih spesifik atau bahkan lebih luas atas makna ayat atau lafaz al-Qur‟an sedangkan
terjemah lebih pada lafaz tanpa ada tambahan di luar sumber.
2. Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil
Kata ta‟wil memiliki makna yang sama dengan tafsir, yakni “menerangkan”
dan “menjelaskan”.11
Takwil berasal dari kata awwala-yuawwilu- ta‟wīlan kata
tersebut dapat berarti al-Marju‟u (kembali, mengembalikan) yakni, mengembalikan
makna pada proporsi yang sesungguhnya.12
Adapun ta‟wil secara istilah menurut al-
Jurjani, memalingkan suatu lafaz dari makna yang sebenarnya terhadap makna yang
dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandang sesuai dengan ketentuan al-
Qur‟an dan hadits.13
Menurut Quraish Shihab, ta‟wil adalah mengembalikan makna
kata, kalimat ke arah yang bukan makna harfiyyah-nya yang dikenal secara umum.14
9 Muhammad „Abd al-Azhim al-Zarqani, Manāhil al-Irfān Fī Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Dar
Ihya‟ al-Turats al-Arabi, 1995), h. 5-6. 10
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits Fī Ulūm al-Qur‟an, h. 314 11
Muhammad „Ali al-Shabuni, al-Tibyān Fī Ulūm al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Irsyad, 1970), h.
74. 12
Usman, Ulūm al-Qur‟an (Yogjakarta: Teras, 2009), h. 37. 13
al-Jurjani, al-Ta‟rifat al-Thaba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, h. 49. 14
M. Quraish Shihah, Kaidah Tafsir (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 39
16
Ada beberapa perbedaan pendapat para ulama mengenai tafsir dan ta‟wil di
antaranya; Pertama: apabila kita berpendapat ta‟wil adalah menafsirkan perkataan
dan maknanya, maka ta‟wil dan tafsir adalah dua kata yang berdekatan atau sama
maknanya. Kedua: ta‟wil diartikan sebagai esensi dari perkataan, maka bisa dipahami
ta‟wil dari berita adalah esensi dari yang diberitakan. Jika demikian maka ta‟wil dan
tafsir memiliki perbedaan yang sangat besar, karena tafsir berfungsi sebagai syarh
atau penjelasan bagi suatu perkataan, dan penjelasan berada dalam pikiran yang
diungkapkan melalui lisan. Sedangkan ta‟wil sesuatu yang ada dalam realita. Ketiga:
tafsir adalah sesuatu yang sudah jelas dalam al-Qur‟an dan yang dijelaskan dalam
hadits. Dan ta‟wil adalah apa yang disimpulkan ulama. Sebagian ulama mengatakan,
tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedangkan ta‟wil adalah apa yang
berhubungan dengan dirayat. Keempat: tafsir lebih pada menjelaskan makna kata,
sedangkan ta‟wil adalah menjelaskan maknanya dan susunan kalimat.15
B. Syarat-syarat dan Macam-macam Terjemah
Seperti yang sudah dibahas di atas menterjemahkan berarti memindahkan atau
mengalihkan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, maka teks yang sudah
diterjemahkan itu sudah bisa dipastikan mengalami perubahan dan mengandung
penafsiran dan penjelasan.16
Karenanya ketika menertejemahkan ke dalam bahasa
yang dituju, harus memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman
akurat seperti yang diinginkan bahasa aslinya.17
Sebenarnya hakikat manusia adalah
makhluk penafsir “Man is an interpreter being” yang memungkinkan keakuratan dan
ketepatan masih cendrung salah.18
Oleh karena itu, penting kiranya untuk
memberikan syarat dan ketentuan dalam menerjemahkan, agar hasil penerjemahan
dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
15
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 323. 16
Komaruddin Hidayat Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 72. 17 M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, h. 269. 18 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, h. 75.
17
1. Syarat-syarat Terjemah dan Menterjemahkan
Seorang penerjemah harus menguasai syarat-syarat yang telah disepakati oleh
para ulama. Syarif Hidayatullah, dalam bukunya; Seluk Beluk Penerjemahan Arab-
Indonesia Kontemporer: Dasar, Teori dan Masalah, mensyaratkan bagi penerjemah
al-Qur‟an sebagai berikut: Pertama, harus seorang muslim, sehingga tanggungjawab
keislamannya dapat dipercaya. Kedua, tidak fasik. Ketiga, menguasai bahasa sasaran
dengan teknik penyusunan kata, ia harus mampu bahasa sasaran dengan baik.
Keempat, berpegang teguh pada syarat-syarat penafsiran al-Qur‟an dan memenuhi
kriteria sebagai penafsir, karena penerjemah adalah mufasir.19
Syarat nomor satu dan
dua perlu direvisi atau diberi pemaknaan yang berbeda, kerana syarat ini menjadikan
tafsir orientalis (non muslim) tidak dapat diterima. Sebaiknya syarat tersebut diganti
dengan kaliamat objektifitas, maka siapa saja yang objektif, ia berpotensi memahami
ayat-ayat al-Qur‟an, asal syarat minilmal terpenuhi.20
istilah teknis dan pembahasan-pembahasan ilmiah, kecuali yang dibutuhkan oleh
pemahaman ayat. Kedua, tidak menguraikan atau membahas teori-teori ilmiah.
Ketiga, kalau pemahaman makna ayat membutuhkan pembahasan meluas, maka itu
diletakkan pada catatan kaki. Keempat, tidak terikat denga mazhab tertentu, baik
mazhab fiqih maupun teologi. Kelima, makna ayat dipetik dari qirā‟at hafs. Keenam,
tidak melakukan pemaksaan dalam menghubungkan satu ayat dengan ayat lain.
Ketujuh, menjelaskan tempat atau waktu turunnya ayat, apakah Makkiyah dan
Madaniyyah dan jumlah ayat-ayatnya.21
Menurut Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-
Qur‟an, syarat-syarat terjemah harfiyyah dan terjemah tafsiriyyah adalah: Pertama,
penerjemah harus mengetahui dua bahasa yaitu bahasa naskah yang mau
diterjemahkan dari bahasa terjemah itu sendiri. Kedua, penerjemah harus mengetahui
19
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk-Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer:Dasar,
Teori dan Masalah, h.100. 20
M Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 397. 21
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk-Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer:Dasar,
Teori dan Masalah, h.100-101
18
uslub-uslub serta ciri khas bahasa yang hendak diterjemahkan. Ketiga, sighah
terjemah harus benar jika diletakkan pada tempat aslinya. Keempat, terjemahan
haruslah cocok benar dengan makna-makna dan tujuan-tujuan aslinya.22
Di samping
itu, terjemahan harfiyyah harus memenuhi dua syarat sebagai berikut; Pertama,
adanya kata yang sempurna dalam bahasa terjemah, yang sesuai dengan kata bahasa
aslinya. Kedua, antara bahasa sumber dan bahasa terjemah harus mempunyai
kesamaan ḍamir (kata ganti orang), mustatir (yang disimpan), dan rabit-rabit
(penghubung) yang menggunakan jumlah untuk menyusun susunan kalimat.23
Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, memberikan syarat atas hasil
terjemah al-Qur‟an; Pertama, hendaknya terjemah tidak dianggap sebagai pengganti
al-Qur‟an sehingga di kemudian hari al-Qur‟an berbahasa Arab tidak dibutuhkan lagi.
Kedua, hendaknya seorang penerjemah memahami makna dari lafaz dari dua bahasa,
makna bahasa sumber dan bahasa terjemahan sesuai dengan konteks kalimat. Ketiga,
selanjutnya penerjemah harus mengetahui syar‟i dari lafaz-lafaz al-Qur‟an.24
Sedangkan pola penyajian hasil penerjemahan terbagi atas dua; Pertama,
menterjemahkan teks al-Qur‟an asli, yaitu bahasa Arab ke bahasa-bahasa lain di mana
teks aslinya masih dimuat. Kedua, menyodorkan terjemahan dalam bahasa lain tanpa
menuliskan teks aslinya.
Hakikat dalam penerjemahan adalah menafsirkan, yang didalamnya terdapat
anggapan dan penafsiran penerjemah. Ini terbukti ketika penerjemah mendatangkan
makna yang dekat atau yang sesuai dengan lafaz-lafaz di dalam al-Qur‟an.25
Ervan
Nurtawab, mengutip penjelasan Gadamer, bahwa tindakan penerjemahan pada
dasarnya adalah tindakan penafsiran karena itu mereka yang melakukan
penerjemahan bisa dianggap penafsir. Akan tetapi Gadamer, tidak menganggap kedua
aktivitas ini sebagai dua hal yang sama, karena Gadamer pada kenyataannya
membuat perbedaan antara terjemahan dan penafsiran dengan mendeskripsikan
22
Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟an Praktis. Penerjemah
Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 333. 23
Muhammad „Ali al-Sabuni dalam kitab al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟an Praktis,h. 334. 24
Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Usūl Fī Tafsīr Pengantar Dan Dasar-Dasar
Mempelajari Ilmu Tafsir. Penerjemah Ummu Saniyyah (Solo: al-Qowam,2014), h. 59. 25
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 313.
19
karakteristik terjemahan. Gadamer, meletakkan terjemahan berada pada titik tertinggi
penafsiran, dimana sang penerjemah memiliki kosa kata yang sesuai dengan bahasa
asli.26
2. Macam-macam Penerjemahan
Secara umum penerjemahan dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama,
Penerjemahan tekstual atau harfiyyah,27
adalah menerjemahkan setiap kata dari
bahasa aslinya ke dalam bahasa penerjemah, susunan-susunan kalimat, satu demi
satu, kata demi kata diubah sampai akhir. Ciri dari metode ini, antara lain adalah:
seorang penerjemah meletakkan kata-kata teks sasaran (Tsa) langsung di bawah versi
teks sumber (Tsu), kata-kata dalam (Tsu) diterjemahkan di luar konteks. Seorang
penerjemah juga mencari padanan kata kontruksi gramatikal (Tsu) yang terdekat
dalam (Tsa), dan seorang penerjemah memproduksi makna kontektual, tetapi masih
dibatasi oleh gramatikalnya, kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi
penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan, ia berpegang
teguh pada maksud dan tujuan dari (Tsu), sehingga hasil terjemahannya masih terlihat
kaku dan terasa asing.28
Kedua: Penerjemahan bebas (ma„nawiyyah) adalah memindahkan suatu
makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, tujuannya adalah mencerminkan makna
awal dengan sempurna. Metode ini banyak digunakan oleh para penerjemah buku-
buku ilmiyah, karena metode ini dipandang mampu menjaga amanah teks awal
dengan baik.
Ketiga: Terjemah penafsiran atau tafsiriyyah yaitu menjelaskan dan
menguraikan masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa
yang dikehendaki, seperti tafsir-tafsir berbahasa persia atau bahasa-bahasa yang lain.
26
Ervan Nurtawab, Tafsir al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe, 3-44 27
Metode harfiyyah ini dipandang banyak menimbulkan kontroversi, karena pada umumnya
metode ini digunakan untuk menerjemahkan kalimat-kalimat pendek, dan dianggap sebagai metode
terjemah yang sangat buruk, apalagi yang diterjemahkan adalah al-Qur‟an dimana didalamnya terdapat
banyak ungkapan-ungkapan kiasan dan analog, kiasan dan analog setiap bahasa hanya khusus untuk
bahasa itu sendiri. Lihat: M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an. Penerjemah Thoha Musawat (Jakarta:
al-Huda, 2007), h. 27. 28
Moh. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab Indonesia Kontemporer: Dasar,
Teori dan Masalah, h. 57-60
20
Manna‟ al-Qattan dalam Mabāhits fī Ulūm al-Qur‟an membagi terjemah ke dalam
dua yaitu; tekstual atau harfiyyah dan Penerjemahan bebas atau ma„nawiyyah.
Manna‟ al-Qattan, tidak membedakan antara penerjemahan bebas atau ma„nawiyyah
dan terjemah penafsiran atau tafsiriyyah.29
Merujuk pada penelitian Syihabuddin, bahwa Ahmad Hasan al-Zayyat, tokoh
penerjemah modern, menggunakan dua metode dalam menerjemahkan yaitu terjemah
harfiyyah dan terjemah tafsiriyyah. Paling tidak ada tiga langkah yang dilakukan oleh
Ahmad Hasan al-Zayyat dalam menerjemahkan. Pertama, menerjemahkan teks
sumber secara harfiyyah dengan mengikuti struktur dan urutan teks sumber. Kedua,
mengalihkan harfiyyah ke dalam struktur bahasa penerima tanpa menambahkan atau
mengurangi makna asli dari bahasa sumber. Ketiga, mengulangi proses penerjemahan
dengan menyelami perasaan dan spirit penulis melalui penggunaan metafora yang
relevan. Metode yang digunakan Ahmad Hasan al-Zayyan, menurut Syihabuddin,
diistilahkan dengan metode elektrik karena metode tersebut mengambil dan
mengaplikasikan kebaikan yang terdapat dalam metode tafsiriyyah.30
Berdasarkan macam-macam terjemah di atas, maka dapat dipahami terjemah
harfiyyah adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam bahasa
penerjemah, susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata di rubah hingga
akhir, atau menjelaskan makna lafaz dengan memperhatikan susunan dan urutan
bahasa sumber. Sedangkan Terjemah ma„nawiyyah atau tafsiriyyah, adalah
memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, tujuannya adalah
mencerminkan makna awal dengan sempurna, menjelaskan dan menguraikan masalah
yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa yang dikehendaki.
C. Sejarah Penerjemahan al-Qur’an di Indonesia
Sejarah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
sejarah penyebaran Agama Islam di Indonesia, karena dengan tersebarnya agama
Islam maka kitab suci yang diyakini sebagai pedoman hidup umat Islam menjadi
sangat penting untuk dipahami. Oleh karena itu penerjemahan kitab suci al-Qur‟an
29
Manna‟ al-Qattan, Mabāhits fī „Ulūm al-Qur‟an, h. 313 30
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, h. 68-69
21
merupakan suatu kebutuhan, sebeb pemeluk agama Islam di Indonesia tidak
semuanya paham bahasa Arab.
Dalam memahami isi al-Qur‟an sendiri perlu adanya pengajaran Islam.
Menurut Islah Gusmian sejak pertama Islam masuk ke Aceh, tahun 1290 M,
pengajaran Islam tersebut mulai tumbuh, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai.
Waktu itu banyak ulama yang mendirikan surau, seperti Teungku Cot Mamplam di
Geureudog dan yang lainya. Pada awal zaman Iskandar Muda Mahkota Alam Sultan
Aceh, awal abad ke-17 M, surau-surau di Aceh mengalami kemajuan. Kemudian
muncul ulama-ulama terkenal waktu itu, seperti Nuruddin al-Raniri, Ahmad Khatib
Langin, Syamsuddin al-Sumatrani, Hamzah Fansuri, „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili dan
Burhanuddin. Satu abad kemudian muncul terjemah tafsir yang cukup otoritatif,
yakni Tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh „Abd al-Rauf al-Sinkili (1615-
1693 M.) lengkap 30 juz.31
1. Periode Pertama Abad XVI-XIX
Meski berada di kawasan paling timur dari tempat lahirnya Islam, Indonesia
khususnya dan Nusantara (Asia Tenggara) umumnya, telah melahirkan ulama-ulama
yang dapat disejajarkan dengan ulama-ulama besar dari Timur Tengah. Secara
khusus, ulama-ulama Nusantara yang berdiri selevel dengan ulama besar lebih
banyak berkonsentrasi di bidang fikih dan tafsir. Karya-karya ulama Nusantara,
khususnya yang berbahasa Arab, juga diterbitkan dan dibaca di berbagai pusat studi
Islam di Timur Tengah.32
Oleh karenanya perlu bagi penulis untuk menguraikan
pembagian periodesasi ulama‟ tafsir di Indoneia, adapun periodesasi yang di gunakan
dalam penulisan ini lebih banyak merujuk kepada buku yang di tulis oleh Mafri Amir
Literatur Tafsir Indonesia dan Islah Gusmian Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi.
Syaikh „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili al-Fansuri dikenal sebagai ulama pelopor
dalam menyusun kitab Tafsir dalam bahasa Melayu. Nasaruddin Umar mengutip
31
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi
(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 42-43. 32
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. iii.
22
pendapat Peter Riddell bahwa penyusunan kitab Tafsir Tarjuman al-Mustafid
dilakukan pada tahun 1675 berdasarkan hasil temuannya atas kopi tertua manuskrip
tafsir ini yang diperkirakan tahunnya lebih dekat kepada saat kembalinya dari Arab
dari pada saat meninggalnya,33
yaitu pada pertengahan abad ke-17 yang juga
merupakan qaḍi Kerajaan Aceh sekitar tahun 1641-1699.34
Sebagai terjemahan tafsir yang pertama maka tidak dapat dipungkiri jika
karya ini banyak tersebar luas di seluruh Nusantara. Bahkan karya ini diterbitkan pula
di luar negeri, seperti di Istanbul pada tahun 1884 M. dan Kairo pada tahun 1951 M.
serta di Makkah dicetak ulang oleh percetakan al-Amiriah tanpa keterangan tahun.
Atas dasar edisi Kairo, karya ini dicetak ulang di Bombay, Singapura dan Penang.
Terakhir karya ini diterbitkan pada tahun 1981 M. di Jakarta.35
Sayang sekali, kepeloporan „Abd al-Ra‟uf al-Sinkili al-Fansuri tidak diikuti
ulama lain dalam waktu singkat. Barulah lebih dua abad kemudian, kitab tafsir karya
ulama Nusantara lain, Syaikh Nawawi al-Bantany muncul dalam bahasa Arab. Kitab
tafsir itu berjudul al-Tafsīr al-Munir li al-Ma„ālimi al-Tanzil al-Musfir „an Wujūhi
Mahasin al-Ta‟wil. Syaikh Nawawi juga menamai karyanya ini dengan Marah Labid
li Kasyfi Ma‟na al-Qur‟an al-Majid karya ini selesai ditulis pada malam Rabu 5
Rabi‟ul Akhir 1305 H betepatan dengan tanggal 21 Desember 1887 M.36
2. Periode Kedua Abad XX-XXI
a. Tahun 1900-1950
Dalam khazanah penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia setelah Tafsir
Tarjuman al-Mustafid selanjutnya sebuah terjemah lengkap, yaitu Tarjamah al-
Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus (1899-1973 M). Meskipun jarak waktu yang
cukup panjang, penerjemahan yang dilakukan oleh Mahmud Yunus memberikan
angin segar, karena selama sekitar 300 tahun tentu bahasa memiliki perkembangan,
33
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. iii. 34
Ismail Lubis, “Ihwal Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia,” Humaniora,
Vol. 16, No. 16, (Februari 2004), h. 105. 35
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir, h. 136 Lihat: Ismail Lubis, “Ihwal Penerjemahan
Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia,” Humaniora, Vol. 16, No. 16, (Februari 2004), h. 10. 36
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. iv.
23
sehingga diperlukan terjemah al-Qur‟an yang sesuai dengan masanya dan sesuai
dengan perkembangan bahasa yang ada di daerah tersebut.
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa kitab Terjamah al-Qur‟an Karim
dimulai dalam tulisan Jawi, yaitu dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang
ditulis dalam bentuk tulisan Arab Pegon37
yang umum digunakan pada awal abad ke-
20. Mahmud Yunus telah menerbitkan tiga bab pada tahun 1922 ketika “pada
umumnya para sarjana agama di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-
Qur‟an adalah diharamkan.” Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi mahasiswa di
Universitas al-Azhar Mesir, ia memperoleh dorongan dan penjelasan dari salah
seorang dosennya mengenai penerjemahan al-Qur‟an. Bahwa penerjemahan al-
Qur‟an yang dimaksud untuk memberitahu umat Islam bahwa menerjemahkan al-
Qur‟an itu diperbolehkan dalam hukum Islam, karena penerjemahan membantu orang
Islam non-Arab untuk memahami ajaran agama Islam, maka itu merupakan perbuatan
yang bermanfaat. Mahmud Yunus mengemukakan bahwa interpretasi dosennya
tersebut telah mendorongnya untuk melanjutkan usahanya dalam menerjemahkan al-
Qur‟an.38
Muhmud Yunus dengan karyanya Terjamah al-Qur‟an Karim ini mudah
untuk dipelajari dan difahami karena di dalamnya sudah dikategorikan surat-surat.
Dalam Terjamah al-Qur‟an Karim ini juga terdapat kesimpulan yang memudahkan
kita untuk mengetahui isi kandungan al-Qur‟an.39
Selanjutnya yang melakukan penerjemahan al-Qur‟an adalah Hasan bin
Ahmad bin Ahmad atau yang dikenal dengan nama Ahmad Hasan denga karyanya al-
Furqān Tafsir al-Qur‟an. Hasan bin Ahmad lahir di singapura pada tahun 1887 M.40
Ia merupakan seorang tokoh fundamentalis41
muslim Indonesia terkemuka yang
37 Arab Pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca
atau bunyi. Lihat dalam Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popular (Surabaya:
Penerbit Arkola, 1994), h. 756. 38
Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 34. 39 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 82. 40 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 111 41
Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, istilah “muslim fundamentalis” awalnya dicetuskan
sebagai signifier bagi gerakan Salafiyyah Jamaluddin al-Afghani. Istilah ini, dicetuskan karena bahasa
24
berkiprah mulai tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Ia menulis sejumlah karya
dalam bidang pembelaan terhadap agama Islam dan sejumlah buku-buku bacaan
dasar tentang agama Islam.42
Pada tahun 1928 pertama kali kitab ini diterbitkan, dan
tepatnya pada bulan Muharram 1347 H./Juli 1924 M. Ia menyelesaikan penulisan
karyanya tersebut melalui dua tahapan. Tahapan pertama sampai pada tahun 1941 M.
dengan menyelesaikan hingga surah Maryam, dan tahap kedua atas permintaan Salim
bin Nabhan seorang pengusaha percetakan dan penerbitan di Surabaya. Ahmad Hasan
mengulang kembali Tafsirnya dari awal sampai akhir dengan menempuh cara lain
yakni lebih mementingkan pemberian keterangan ayat demi ayat agar pembaca bisa
memahami maknanya dengan mudah. Sedangkan penerbitan karya ini secara lengkap
dilakukan pada tahun 1956 M.43
Selanjutnya K.H. Ahmad Sanusi Sukabumi dengan karyanya Rawḍatu al-
„Irfān (tafsir al-Qur‟an bahasa sunda). Ahmad Sanusi tidak hanya seorang mufasir,
tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan dan organisatoris. Ahmad Sanusi lahir pada
tanggal 18 September 1888 M. bertepatan dengan 12 Muharram 1306 H. Kitab ini
terdiri dari 2 julid. Jilid pertama berisikan juz 1-15 dan jilid kedua berisikan juz 16-
30, dan menggunakan arab pegon dalam penulisannya.44
b. Tahun 1950-1980
Pada tahun 1955 M. terbit Tafsir al-Qur‟an karya H. Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin HS. Mengutip pendapat Mafri Amir dalam Literatur Tafsir Indonesia di
bandingkan dengan tafsir karya Mahmud Yunus dan Ahmad Hasan tafsir karya H.
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS ini lebih baik. Tafsir ini memberikan
komentar lebih luas dan kaya dari segi sumber bacaannya. Banyak sisi-sisi menarik
dari tafsir yang satu ini.45
Menurut Hamidy persiapan yang dilakukan dalam
menyusun tafsir tersebut tidaklah mudah, tapi agak sulit dan kompleks. Persiapan
Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah Salafiyyah. Lihat: Azyumardi
Azra, Fenomena Fundamentalisme dalam Islam, (Jakarta: Mizan, 1993), h. 18-19. 42 Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 104. 43
Indar Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia“, Esensi Vol. 3 No. 2 (Juli 2002): h. 194. 44 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 97. 45 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.121.
25
tersebut meliputi penelitian yang cukup lama dan analisis yang teliti. Secara
keseluruhan, upaya tersebut berlangsung lebih dari seperempat abad.46
Berikutnya Tafsir al-Ibriz Lima‟rifati Tafsiril Qur‟an bi al-Lughati al-Jawiah
karya K.H. Bisri Musthafa. Tafsir ini adalah satu dari beberapa karya tafsir al-Qur‟an
berbahasa Jawa yang cukup fenomenal. K.H. Bisri Musthafa adalah seorang ulama
kharismatik asal Rembang Jawa Tengah. Karya Tafsir ini memuat penafsiran ayat
secara lengkap 30 juz, mulai dari surat al-Fatiḥaḥ hingga Surah al-Nas. Kitab tafsir
ini ditulis dengan tulisan Arab-Pegon dan diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus,
Rembang.47
Adapun karya berikutnya yakni Tafsir “an-Nur” al-Qur‟an al-Majid karya
Hasbi Ash-Shiddieqy. Tafsir an-Nur ini dikerjakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy sejak
tahun 1952-1961 (Sembilan tahun) di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin
fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tafsir an-Nur
tidak mempunyai corak dan orientasi terhadap bidang tertentu, sebab jika
diperhatikan semua tafsirnya tidak memuat bidang ilmu tertentu, seprti bidang
bahasa, hukum, sufi filsafat dan sebagainya.
Pada kata pengantar kitab Tafsir an-Nur Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan :
“Meninggalkan uraian yang tidak langsung berhubungan dengan tafsir ayat, supaya
tidak selalu para pembaca dibawa keluar dari bidang tafsir, baik kebidang sejarah atau
bidang ilmiyah yang lain”.48
Selanjutnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang popular dengan
panggilan Buya Hamka dengan karya monumentalnya Tafsir al-Azhar. Tafsir ini
merupakan tafsir yang lengkap merangkum semua 30 juz dan menggunakan bahasa
Melayu (Indonesia). Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terciptanya Tafsir
al-Azhar, yaitu: Pertama, adanya semangat para pemuda Indonesia dan di daerah-
daerah yang berbahasa Melayu yang sangat ingin mengetahui isi al-Qur‟an, akan
tetapi di sisi yang lain mereka tidak mempunyai kemampuan bahasa Arab. Untuk
46 Howard M. Ferderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia, h. 130. 47 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.145. 48 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h.168.
26
mereka inilah tujuan pertama tafsir ini disusun. Kedua, golongan peminat Islam yang
disebut muballigh atau ahli dakwah. Maka tafsir ini merupakan satu rujukan dalam
menyampakan dakwahnya.49
Berikunya Terjemahan al-Qur‟an Kementrian Agama RI yang dinamai al-
Qur‟an dan Terjemahannya Terjemahan ini telah mengalami beberapa kali perbaikan
dan penyempurnaan. Sejak pertama kali diedarkan pada 17 Agustus 1965 hingga
sekarang, kitab Terjemahan Kementrian Agama RI ini setidaknya sudah mengalami
dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan. Pertama, penyempurnaan redaksional
pada tahun 1989, dan Kedua, penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup
aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi.
Penyempurnaan tahap kedua ini mengahabiskan waktu yang cukup panjang, yakni
dari tahun 1998 hingga 2002 dan yang terakhir adalah tahun 2010.
Terjemahan berikutnya ialah penerjemahan al-Qur‟an yang dilakukan oleh
H.B. Jassin yang diberi judul al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia. (1977M). Jassin
lahir di Gorontalo, 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta, 11 Maret 2000.50
Terjemahan
al-Qur‟an yang dilakukan oleh H.B. Jassin ini dilatar belakangi oleh pandangannya
mengenai al-Qur‟an baik edisi Indonesia, Turki, Mesir maupun Arab, yang
menurutnya semua susunannya sama, yakni berbentuk prosa. Selain itu, menurutnya
bahasa al-Qur‟an itu puitis seperti puisi, sehingga rasanya lebih indah kalau disusun
berbentuk puisi dan tentu enak dibaca.
c. Tahun 1981-2000
Pada periode tahun 1981-2000 ini diawali dengan Tafsir Rahmat karya Oemar
Bakry.51
Khusus mengenai Tafsir Rahmat, Oemar Bakry menulis dari tahun 1981
sampai 12 Mei 1983 bertepatan denga 29 Rajab 1342 H, pukul 19.00 WIB di Jakarta.
Tafsir ini sudah mengalami cetak ulang sekitar 20 kali. Selain di Indonesia, tafsir ini
49 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 183. 50 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 192. 51
Oemar Bakry lahir 26 Juni 1916 M./24 Sya‟ban 1334 H. di Kacang sebuah nageri yang
terletak dipinggir sebelah timur Danau Singkarak yang indah, Sumatera Barat. Lihat: Mafri Amir,
Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 228.
27
juga sampai ke Malaysia, Brunei dan Singapura. Pemasaran tersebut didukung oleh
jaringan kerja sama antara penerbit antar negara yang bersangkutan.
Dalam kata pengantar Tafsir Rahmat, Oemar Bakry mengungkapkan bahwa
masalah menerjemahkan dan menafsirkan isi al-Qur‟an al-Karim masih sangat
diperlukan. Manakala memahami dan menguasai bahasa Arab sudah merata, tentu
umat Islam akan memahami isi al-Qur‟an al-Karim secara langsung, tanpa
terjemahan dan tafsir dalam bahasa ibu atau bahasa nasionalnya. Menurut Oemar
Bakry, umat manusia selalu berkembang alam pikirannya, berkembang cara hidup
dan kehidupannya, berkembang bahasa yang menjadi alat utama untuk
berkomunikasi.52
Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatiḥaḥ dan Surah-surah dalam Juz „Amma:
Paradigma baru. Penyusun: T.H Thalhas, Hasan Basri, Zaki Puad, A. Mufakhir
Muhammad dan Haji Mustafa Ibrahim.
Penamaan tafsir ini diilhami oleh nama sebuah Kerajaan Islam pertama dan
tertua di Indonesia. yaitu Kerajaan/Daulah Kesultanan Samudra Pase atau lebih
popular dengan sebutan Kesultanan Islam Samudra Pase. Tafsir ini diterbitkan oleh
Bale Kajian Tafsir al-Qur‟an Pase Jl. Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.53
d. Tahun 2000-Sekarang
Tahun 2001, Mufasir Indonesia yang paling popular yakni M. Quraish Shihab
yang menulis sebuah karya tafsir yang diberinama Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an. Quraish Shihab dalam pengantarnya mengungkapkan
bahwa karyanya tersebut bukan terjemahan al-Qur‟an. Beliau mengatakan bahwa
pada hakikatnya al-Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialih bahsakan.
Menurutnya yang bisa disajikan hanyalah sebagian makna bukan keseluruhannya,
dan makna itu adalah menurut sudut pandang manusia, bukan makna hakiki yang
dimaksud Tuhan.54
52
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 228. 53 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 264. 54 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 273-204
28
Dalam karyanya tersebut, ia juga menyajikan asbab al-nuzul ayat-ayat
tertentu menurut penelitian para ulama. Selain itu, catatan-catatan ilmiah yang
dicantumkan dalam karyanya pada umumnya diambil dari tafsir al-Muntahab yang
disusun oleh sejumlah pakar di Mesir.
Penerjemahan berikutnya dilakukan oleh Aam Amiruddin, yang dinamai
Terjemah al-Mu‟asir. Terjemahan tersebut diterbitkan pada tahun 2012 oleh penerbit
Khazanah Intelektual di Bandung. Karena adanya gap komunikasi bagi umat Islam
yang tidak memiliki akses pemahaman bahasa Arab sehingga penting untuk
menghadirkan terjemah al-Qur‟an yang lugas dan mudah diterima. Inilah salah satu
hal yang melatar belakangi Aam Amiruddin menerjemahkan al-Qur‟an.55
Selanjutnya adalah beberapa terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa daerah di
antaranya terjemahan al-Qur‟an bahasa Madura yang dilakukan oleh Lembaga
Penerjemah dan Pengkajian al-Qur‟an (LP2Q) pada 30 Juni 2012.56
Kitab ini adalah
hasil terjemah yang dilakukan oleh tim LP2Q. penggagas penerjemah awal al-Qur‟an
bahasa Madura ini adalah Abdullah Sattar Majid Ilyas yang merupakan pengasuh
Jamaah Pengajian Surabaya (JPS), dan dilanjutkan dengan lokakarya yang
melibatkan banyak komponen yakni para Kiyai, Cendikiawan Muslim, Budayawan,
tokoh Masyarakat, dan Departemen Agama. Tim ini diketuai oleh: Lailaturrahman
dan. Zainul Hasan.
Berikutnya adalah Terjemah I‟raban Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-
Jalalain (Tikmal) Terjemah al-Qur‟an bahasa Madura. Merujuk pada tulisan
Mursyidi,57
Terjemah al-Qur‟an bahasa Madura ini di susun oleh tim dari Forum
Mudzakarah Tafsir al-Qur‟an (FMTQ) antara lain beranggotakan Ali Karrar Shinhaji,
Umar Hamdan, Khazai, Rosyad Imam, dan Fattah Mahmud.
55
Aam Amiruddin, al-Qur‟an dengan Terjemahan Kontemporer (Bandung: Khazanah
Intelektual, 2012), h. 207. 56
Lailaturrahman, dkk, al-Qur‟an Terjemah Bahasa Madura (Pemekasan: Lembaga
Penerjemahan dan Pengkajian al-Qur‟an-LP2Q, 2006), h.v-vi 57
Mursyidi, “Terjemahan al-Qur‟an Bahasa Madura: Studi Kasus Terjemah I‟raban
Keterangan Madhurah Atoro‟ Lil-Jalalain (Tikmal), (Skripsi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 39.
29
D. Dialek Bahasa Sasak
1. Pengertian Dialek
Menurut Poedjosoedarmo dialek adalah variasi sebuah bahasa yang adanya di
tentukan oleh oleh sebuah latar belakang asal si penutur. Nababan menjelaskan
bahwa idiolek-idiolek58
yang menunjukkan lebih banyak persamaan dengan idiolek-
idiolek yang lain dapat di golongkan dengan satu kumpulan kategori yang disebut
dialek. Besarnya persamaan ini disebabkan oleh letak geografis yang berdekatan dan
memungkinkan komunikasi antara penutur-penutur idiolek itu.59
2. Ragam Dialek Bahasa Sasak
Dalam Kamus Bahasa Sasak-Indonesia yang disusun oleh Nazir, yang
diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan bahwa bahasa Sasak memiliki lima dialek
yang disebabkan faktor tempat dan lingkungan. Kelima dialek tersebut adalah dialek
ngeno-ngene, dialek meno-mene, dialek mriak mriku dialek keto-kete, dan dialek
ngeto-ngete.60
Daerah persebaran dialek Mriak-Mriku adalah Lombok Tengah bagian
Selatan (Pujut, Batujai, Ungga, Darek). Di Lombok Barat dialek ini antara lain
digunakan masyarakat Sasak di lingkungan Petemon, Kelurahan Pagutan Timur,
Kecamatan Ampenan. Mataram. Dialek Ngeno-Ngene, di Selaparang, Swela,
Pringgabaya, dan Paok Gading (Lombok Timur). Sementara di Lombok Barat dialek
ini antara lain digunakan masyarakat Sasak di lingkungan Karanggenteng dan Presak,
Kelurahan Pagutan Barat, Kecamatan Ampenan. Mataram. Dialek Meno-mene
digunakan di Pejanggik (Lombok Tengah) dan sekitarnya. Sementara di Lombok
Barat dialek ini antara lain digunakan masyarakat Sasak di Dusun Pelulan, Desa
58 Pengertian idiolek adalah keseluruhan ujaran seorang pembicara pada suatu saat yang
dipergunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Lihat: Poedjosoedarmo, artikel diakses pada 9
oktober 2018 dari http://eprints.uny.ac.id/9462/3/bab%202-08205244036.pdf 59
Poedjosoedarmo, artikel diakses pada 9 oktober 2018 dari
mempermudah penerapan ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an.6 Singkatnya,
upaya penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa daerah bertujuan untuk
mempermudah pemahaman dan penerapan kandungan isi al-Qur’an serta
melestarikan budaya. Melalui kegiatan seperti ini diharapkan kualitas kehidupan
keberagamaan di Indonesia khususnya di pulau Lombok semakin meningkat. Namun
sebagaimana telah diuraikan para penerjemah, bahwa kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
tidak luput dari kekurangan sehingga untuk saran dan kritik yang bersifat konstruktif
sangat terbuka.7
Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi
dalam sambutannya di muqadimah kitab ini menyatakan bahwa, secara kultural upaya
penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak memiliki nilai strategis dalam
membangun peradaban masyarakat Sasak, sedangkan secara kebahasaan terjemahan
ini bisa juga menjadi referensi utama dalam mempelajari bahasa Sasak. Selain itu
terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Sasak juga merupakan upaya dakwah kultural
dalam rangka mendekatkan al-Qur’an kepada masyarakat dengan bahasa yang
dimiliki sekaligus memberikan notifikasi Islam terhadap simbol-simbol kultural
masyarakat Sasak. Diharapkan dengan terbitnya kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Terjemahan Bahasa Sasak ini akan memberikan sedikit kelegaan bagi masyarakat
Muslim di Nusa Tenggara Barat, khususnya masyarakat Sasak, untuk lebih mudah
mempelajari dan memahami kandungan al-Qur’an sehingga dapat mengamalkannya
secara lebih utuh.8 Agar harapan itu bisa menjadi kenyataan, ke depan perlu
dilakukan langkah-langkah perbaikan dan penyempurnaan terhadap kitab Juz ‘Amma
al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
6Tim Penerjemah, al-Qur’an dan Terjemahannya Bahasa Sasak (Jakarta: Puslitbang Lektur
dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2014), h. iii-iv 7Wawancara dengan sahabat Tuan Guru Bajang. Dr. TGH. Muhammad Said Ghazali, MA di
Desa Gelogor, Kecamatan Labuapi Lombok Barat NTB. 8Tim Penerjemah, Juz ‘Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah al-
Qur’an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h. x
36
B. Anggota Tim Penerjemah Kitab Juz ‘Amma al-Majīdi
Menurut Lalu Supriadi penerjemahan dan penyusunan kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini awalnya digagas oleh beberapa alumni
Universitas Al-Azhar Kairo, Universitas Islam Madinah, Institut Dar al-Hadits al-
Hassaniyah Maroko yang tergabung dalam Forum Kumunikasi Alumni Timur
Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat. Di antaranya, Tuan Guru Bajang
Muhammad Zainul Majdi yang juga merupakan Gubernur Nusa Tenggara Barat dan
beberapa alumni Timur Tengah Nusa Tenggara Barat, seperti: Muhammad Said
Ghazali, Subhan Abdullah, Lalu Ahmad Zainuri, dan Lalu Supriadi. Di saat yang
bersamaan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama
Republik Indonesia sedang giat-giatnya mencanangkan terjemahan al-Qur’an ke
dalam bahasa daerah, antara lain, : bahasa Bugis, bahasa Kaili, dan bahasa Mandar.
Akhirnya karena kesamaan visi Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan,
Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Komunikasi
Alumni Timur Tengah (FKATT) untuk melanjutkan proses penerjemahan al-Qur’an
bahasa Sasak ini sampai 30 Juz.9
Selanjutnya pada tahun 2014 hasil terjemahan dari Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama Republik Indonesia bekerja sama dengan
Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah (FKATT) Nusa Tenggara Barat ini di
terbitkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Kementerian Agama
Republik Indonesia.10
Adapun tim penerjemah dan penyusun kitab Juz ‘Amma al-
Majīdi ini terdiri dari :
1. Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA.
Muhammad Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB)
lahir di Pancor Selong Lombok Timur, 31 Mei 1972, adalah Gubernur Nusa Tenggara
Barat 2 periode, masa jabatan 2008-2013 dan 2013-2018. Sebelumnya, Majdi
9Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, pada
Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA. 10
Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram,
Dari dua terjemahan surah al-Ikhlas/112 di atas, dapat dibedakan bahasa
Sasak yang Alus dan bahasa Sasak yang kasar. Selain kata gelis muni yang artinya
segera berkata tidak cocok karena kata muni/munian tingkatannya sama dengan
kata ngeraos. Ini adalah tingkatan yang paling bawah dalam struktur bahasa
Sasak. Padahal banyak pilihan kata yang lebih alus atau lebih sopan semisal
baosan atau maniqkan (Muhammad), “Allah nike tunggal.” Selain itu menurut
Subki Sasaki kata munian yang artinya berbicara, tidak sama dengan katakanlah
yang merupakan kata perintah (imperatif). Begitu juga dengan kata ndekne yang
tergolong bahasa yang tidak sopan dan tidak cocok untuk menerjemahkan kata
(Allah) tidak beranak karena, masih ada kata-kata yang lebih sopan. Seperti kata
nenten atau kata edaq iye.
B. Dialek Bahasa Sasak yang Digunakan
5Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Tahun 2012), h. 922 6Tim Penerjemah, Juz „Amma al-Majīdi, Terjemahan Bahasa Sasak (Lajnah Penerjemah
al-Qur‟an Bahasa Sasak (LPQBS) dan Forum Komunikasi Alumni Timur Tengah NTB, 2012), h.
63. 7Wawancara dengan TGH. Muhammad Subki Sasaki, via telepon pada hari Jum‟at,
tanggal 16 Maret 2018, jam 05.00 WIB.
45
Bahasa Sasak adalah bahasa yang memiliki ragam dialek.8 Meskipun
penulis berasal dari suku Sasak, tapi penulis juga menemukan banyak kata atau
kaliamat dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak yang boleh
jadi tidak dapat dimengerti, dikarenakan perbedaan dialek tersebut. Sebagai
contoh, dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi terdapat kata-kata ranjaq, ngengos,
lumeq, umaq meq, bepete,dan lain-lain. Arti dan makna kata tersebut baru dapat
dipahami setelah membaca al-Qur‟an terjemahan bahasa Indonesia. Jika hal itu
benar-benar terjadi, maka tujuan pembumian al-Qur‟an pada masyarakat Suku
Sasak tidak akan tercapai, atau tidak maksimal.
Menurut Lalu Supriadi dialek yang digunakan dalam kitab Juz „Amma al-
Majīdi ini adalah dialek Selaparang (Ngeno-ngene), karena dialek ini dapat
dipahami oleh semua penutur bahasa.9 Akan tetapi setelah membaca kitab Juz
„Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak secara keseluruhan, penulis
menemukan kecenderungan yang muncul lebih banyak mengarah pada
penggunaan dialek secara campuran. Tabel beikut menampilkan beberapa contoh
penggunaan dialek campuran dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan
Bahasa Sasak.
Tabel 4.1: Identifikasi Penggunaan Dialek Bahasa Sasak dalam kitab
Juz ‘Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak.
Surah/Ayat Bahasa Indonesia Terjemahan
Kitab Juz ‘Amma
al-Majidi
Dialek
Yang di
Gunakan
QS. al-Ikhlās :
3
(Allah) tidak beranak (Allah) ndekn
bedowe anak
Ngeno-ngene
QS. al-Falaq :1 Katakanlah Munian Meno-mene
QS. „Abasa: 35 Ibu Bapak Inaq Amaq Meno-mene
QS. al-Fātihah:
5
Mohon pertolongan Endeng tulung Meno-mene
QS. an-Naba‟:
3
Yang dalam hal itu
mereka berselisih
Sino siqne pade
pegejuhang
Keto-kete
QS. an-Naba:
16
Dan kebun-kebun yang
rindang
Dait kebon-kebon
si rembak melaq
Keto-kete
8Tawalinuddin Haris, “al-Qur‟an dan Terjemahannya Bahasa Sasak Beberapa Catatan,”
Jurnal Suhuf Vol. 10 No. 1 Juni 2017, h. 216 9Wawancara dengan Lalu Supriadi di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Mataram, pada Selasa 2 Januari 2018, jam 11.30-12.00 WITA.
46
QS. an-
Nāzi‟at: 39
Maka sungguh,
nerakalah tempat
tinggalnya
Sejatine, lek nerake
taoqne ndot
Ngeno-ngene
QS. „Abasa: 1 Dia (Muhammad)
berwajah masam dan
berpaling
Niye (Muhammad)
nyebeng dait
ngengos
Ngeno-ngene
dan ngeto-
ngete
QS. „Abasa: 2 Karena seorang buta
telah datang kepadanya
Sengak sopok
dengan bute dating
tipaq iye
Ngeno-ngene
dan keto kete
QS. „Abasa: 38 Pada hari itu ada wajah-
wajah yang berseri-seri
Luweq pemuaq
dengan leq jelo
sino bungah
Keto-kete
QS. al-Infitār:
2
Dan apabila bintang-
bintang jatuh
berserakan
Dait lamun
bintang-bintang
geriq begeritik
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. at-Tāriq :
10
Maka manusia tidak
lagi mempunyai suatu
kekuatan dan tidak
(pula) ada penolong
Banjur manusiye
ndeqne bedoe
balung dait
penulung malik
Keto-kete
QS. al-Fajr: 28 Kembalilah pada
Tuhanmu dengan hati
yang ridha dan
diridhainya
Tulaq tipaq neneq
meq isiq ate si ride
dait ridayang ne
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. al-Lail: 3 Demi penciptaan laki-
laki dan perempuan
Demi pepina‟qan
nine kance mame
Ngeno-ngene
QS. ad-Duha :
6
Bukankah dia
mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu dia
melindungi (mu)
Ndek ke kamu
tedait isiq naneq
jari anaq iwoq
banjur tepeliharaq
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. asy-Syarh
: 2
Dan kamipun telah
menurunkan bebanmu
darimu
Dait wah ku
turunang bande
meq
Ngeno-ngene
dan keto-kete
QS. al-
Bayyinah : 3
Di dalamnya terdapat
(isi) kitab-kitab yang
lurus
Lek dalemne arak
kitab-kitan sik
lombok
Ngeno-ngene
Q.S al-„Alaq
:18
Kelak kami akan
memanggil malaikat
Eraq ku kelek
malaikat zabaniyah
Ngeto-ngete
Q.S al-Ādiyat:
4
Sehingga
menerbangkan debu
Poqne kelepang
kerepuk
-
Q.S at-
Takātsur: 4
Kemudian sekali-kali!
Kelaq kamu akan
mengetahui
Bajur kendeq gati-
gati! Eraq gen
kamu taoq
Ngeto-ngene
Q.S al-Fātihah:
7
Yang telah engkau beri
nikmat
Si sampun de kaji
icanin nikmat
Ngeno-ngene
47
Dari tabel di atas, jelas sekali bahwa dialek yang digunakan lebih dari dua
dialek (mungkin tiga atau empat). Penggunaan kata atau kalimat yang sering
muncul adalah dialek ngeno-ngene dan dialek keto-kete. Namun secara umum
sebagian besar kosakata yang digunakan termasuk dalam kategori bahasa Sasak
“kasar” (sogol). Hal ini sangat disayangkan, mengingat upaya penerjemahan kitab
suci al-Qur‟an seharusnya dapat dilakukan ke dalam bahasa yang lebih sopan dan
halus (sasak alus), seperti bahasa Sasak yang ditampilkan atau digunakan dalam
karya sastra babad atau bahasa Sasak yang digunakan dalam acara-cara besar dan
formal. Tujuannya tidak lain agar budaya Sasak yang akan diwariskan kepada
generasi penerus melalui upaya penerjemahan ini bisa menjadi contoh yang baik
dan memancarkan nilai-nilai kesasakan yang baik.10
Bahasa Sasak yang diperkenalkan kepada para pembaca terjemahan al-
Qur‟an sebaiknya merupakan bahasa Sasak yang menampilakan sopan santun.
Contoh keseharian yang tampak misalnya penggunaan ucapan “silahkan” yang
dalam bahasa Sasak berarti Ngiring, Dawek. Atau kata terima kasih yang dalam
bahasa Sasak berarti tampi asih. Kosakata ini masih jarang dipergunakan oleh
orang Sasak, terutama kelompok masyarakat jajar karang11
yang belum terlalu
paham, dikarenakan yang mereka kenal dan gunakan selama ini adalah bahasa
Sasak yang kurang sopan.
Tentu saja tidak dapat dinyatakan bahwa semua kosakata bahasa Sasak
yang digunakan dalam kitab Juz „Amma al-Majīdi Terjemahan Bahasa Sasak ini
tergolong kurang sopan atau “kasar” karena terdapat pula penggunaan kosakata
yang tergolong halus. Sebagai contoh digunakan kata bije atau tebijeang pada
Surah al-Ikhlas ayat 3 untuk terjemahan kata “anak”/”diperanakan”, deside Allah