BAB IPENDAHULUAN
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata
sekitar1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya
sebagian besar diregio hipokondria dekstra, epigastrika, dan
sebagian kecil di hipokondriasinistra. Hati memiliki dua lobus
utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen
anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri
dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum
falsiformis. Di bawah peritonium terdapat jaringan ikat padat yang
disebut kapsula Glisson yang meliputiseluruh permukaan hati. Setiap
lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yangdisebut sebagai
lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsionalorgan yang
terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya
terdapatsinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh
sel endotel khusus dan sel Kupfferyang merupakan makrofag yang
melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing
lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari
saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta
melalui arteria hepatika. Hati mempunyai fungsi yang sangat
beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu pembentukan dan
ekskresi empedu, pengolahan metabolik kategori nutrien utama
(karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran
pencernaan. Penimbunan vitamin dan mineral, mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain, hati juga
berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi. (1,2,3,4) Abses hati
masih merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara
di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Prevalensi yang tinggi sangat
erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang
rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi
menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan.
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh
karenainfeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang
bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya
proses supurasi denganpembentukan pus yang terdiri dari jaringan
hati nekrotik, sel-sel inflamasi atausel darah didalam parenkim
hati. (1)Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik
(AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu
komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai
di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga
sebagai hepatic abscess, bacterial liverabscess, bacterial abscess
of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP inimerupakan kasus
yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400SM) dan
dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.
(1)Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi
yangjelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk.
Meningkatnya arusurbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses
hati di daerah perkotaan.Di negara yang sedang berkembang abses
hati amuba lebih sering didapatkansecara endemik dibandingkan
dengan abses hati piogenik. Dalam beberapadekade terakhir ini telah
banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis,etiologi,
bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan
sertaprognosisnya. (2)
BAB IILAPORAN KASUS
Dilaporkan kasus yang ditemukan di ruangan rajawali bawah, RSUD
Anutapura,Palu. Identitas pasien, nama Tuan Moh.Zain, umur 48
tahun, alamat Desa Sibalaya Utara, Kec. Tanamulava, Kab. Sigi,
pekerjaan Kepala Desa, agama Islam, pasien masuk tanggal 21
september 2014.Pasien masuk Rumah sakit dengan keluhan utama nyeri
perut. Nyeri perut dirasakan pada bagian perut kanan atas sejak 1
bulan yang lalu. Awalnya pasien mengalami demam tetapi menurut
pasien hanya demam-demam biasa (suhu badan tidak terlalu panas).
Setelah mengalami demam pasien kemudian mulai merasakan nyeri perut
kanan atas secara tiba-tiba. Rasanya seperti ditusuk-tusuk sampai
tembus kebelakang. Nyeri akan bertambah ketika pasien berjalan, dan
agak berkurang ketika berbaring. Pasien tidak mengalami kejang,
sakit kepala (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), batuk
kadang-kadang, flu (-), nyeri dada (-), sesak nafas (-). Pasien
juga mengalami mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien mengatakan
bahwa badannya terasa lemas dan nafsu makan berkurang. Buang air
besar pasien normal, berwarna kuning kecoklatan. Buang air kecil
kadang berwarna gelap seperti teh.
Riwayat penyakit sebelumnya dan kebiasaan/perilaku, pasien
memiliki riwayat BAB cair dialami sekitar 1 bulan lalu, BAB cair
selama 3 hari namun sembuh dengan sendirinya. Riyawat hipertensi
(+), riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol (+). Pasien biasa
mengkonsumsi air minum yang bersumber dari pengairan desa. Riwayat
penyakit keluarga, tidak ada keluarga yang memiliki sakit
serupa.Dari pemeriksaan fisik di temukan kesadaran kompos mentis,
TD : 110/80 mmHg, N: 80 kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu :
37,3oC, konjungtiva anemis (+). thorax: tidak ditemukan kelainan;
abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra, hepatomegali (+),
konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata, murphy sign (+).
Nyeri tekan regio hipokondrium dextra.Dari hasil pemeriksaan
laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan leukositosis
dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5 g/dL, HCT 33,0%,
MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT 384x103/uL. Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L, SGPT 44 u/L, Ureum
34 mg/dL, Kreatinin 0,6 mg/dL. Pada hari kedua perawatan, dilakukan
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan USG abdomen pada pasien.
Dari hasil pemeriksaan USG abdomen didapatkan hasil ukuran hepar
membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas
tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak
dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan abses hepar.Pada
hari ke tiga kembali dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan foto thorax (PA). Dan dari hasil pemerikaan foto thorax
(PA) didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan.Dari anamnesis
dan pemeriksaan yang dilakukan, di ambil diagnosis kerja abses
hepar. Yang di diagnosis bandingkan dengan kolesistitis akut dan
hepatoma. Penanganan dari kasus ini adalah melalui non
medikamentosa yaitu Istirahat yang cukup (tirah baring). Menjaga
higienitas makanan, minuman, tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan lainnya, diet lunak, tinggi karbohidrat dan tinggi
protein. Medikamentosa IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Antibiotik :
Metronidazole 0,5mg/8jam/IV, Antipiretik : Sistenol tablet 500 mg
3x1 tablet (jika panas). Operatif (Pertimbangan insisi drainase
abses perkutaneus).Pasien menjalani perawatan selama kurang lebih
10 hari di RS Anutapura. Dilakukan follow up setiap hari pada
pasien untuk melihat perkembangan kondisi pasien dan keberhasilan
terapi yang diberikan. Dan dari hasil; follow up yang dilakukan,
pasien mengalami perbaikan yang signifikan dengan pemberian
antibiotik Metronidazole. Pada hari ke 10, Pasien pulang paksa.
BAB IIIPEMBAHASAN
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang
bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya
proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim hati.
Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitua. Abses hati amebic (AHA)
AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal,
paling sering terjadi di daerah tropis/subtropik. AHA lebih sering
terjadi endemic di negara berkembang dibanding AHP. AHA terutama
disebabkan oleh E. Histolytica. Salmonella Thypi Entamoeba
Hystolytica Streptokokus Escherichia ColiPada amebiasis hati
penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian
kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala
amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica
yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi
berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati.(1,6)Patogenesis amebiasis hati belum
dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah
dikemukakan antara lain faktor virulensi parasit yang menghasilkan
toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit,
imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan
penurunan imunitas cell-mediated. (1,6)Secara singkat dapat
dikemukakan 2 mekanisme : Strain E.hystolitica ada yang patogen dan
non patogen. Secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi
tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit
dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora
bakteri.Mekanisme terjadinya amebiasis hati : Penempelan
E.hystolitica pada mukus usus. Pengerusakan sawar intestinal. Lisis
sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons
imun cell-mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga
dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
Penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati
sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi
neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi
granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan
jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis
seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan
atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50%
amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis.
(1,6)
b. Abses hati piogenik (AHP/ Hepatic Abcess, Bacterial Liver
Abcess)AHP tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah
tropis dengan sanitasi kurang. Etiologi AHP adalah
enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic
streptococci, klebsiella pneumonia, bacteroides, fusobacterium, S.
aureus, S. milleri, candida albicans, aspergillus, actinomyces,
eikenella corrodens, yersinia enterolitica, S. typhi, brucella
militensis, dan fungal.Pada era pre-antibiotik, AHP terjadi akibat
komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileflebitis. Bakteri
patogen melalui a. hepatica atau sirkulasi vena portal masuk ke
dalam hati, sehingga terjadi bakterimia sistemik, atau menyebabkan
komplikasi infeksi intraabdominal (diverticulitis, peritonitis, dan
infeksi post operasi). (1,7,8)Sedangkan saat era antibiotik,
terjadi peningkatan insidensi AHP akibat komplikasi dari sistem
biliaris (kolangitis, kolesistitis). Hal ini karena makin tinggi
angka harapan hidup dan makin banyak pula orang lanjut usia dikenai
penyakit sistem biliaris ini. AHP juga bisa akibat trauma, luka
tusuk / tumpul, dan kriptogenik. (1,7,8)Abses hati piogenik dapat
terjadi melalui infeksi yang berasal dari :a) Vena porta yaitu
infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis
porta atau emboli septik.b) Saluran empedu merupakan sumber infeksi
yang tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan
saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran
empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.c) Infeksi
langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti
abses perinefrik, kecelakaan lau lintasd) Septisemia atau
bakterimia akibat infeksi di tempat lain.e) Kriptogenik tanpa
faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut
usia.Manifestasi akut lebih sering pada abses hati amuba dari pada
piogenik. Jarang sekali penderita dengan ruptur abses hepar
menyebabkan syok. Banyak pasien dewasa yang memiliki gejala yang
sama, namun lebih berat pada abses hati piogenik. Pasien dengan
abses hati amuba sering memiliki riwayat penyakit diare (20-50%).
Gejala klinis yang klasik pada abses hati amuba dapat berupa demam
yang tidak lebih dari 38,5 C, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang nyeri spontan atau nyeri tekan. Jarang sekali disertai
ikterus, prekoma, atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan
ditemukan massa di daerah epigastrium. Kadang-kadang gejalanya
tidak khas dan timbul pelan-pelan. Penderita tidak kelihatan sakit
berat seperti pada abses karena bakteri. (1,6,7)
NoGejalaPresentase (%)
1Nyeri perut84-93
2Demam80-93
3Menggigil41-73
4Nausea45-85
5Berat badan menurun29-45
6Diare17-60
7Batuk2-41
NoTandaPresentase (%)
1 Nyeri tekan perut kanan atas67-80
2Hepatomegali 18-53
3Tanda peritoneal18-20
4Ikterus4-12
Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi
sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Secara klinis,
ditemukan demam yang naik turun, rasa lemas, penurunan berat badan
dan nyeri perut. Nyeri terutama di bawah iga kanan atau pada
kuadran kanan atas. Dapat dijumpai gejala dan tanda efusi pleura.
(1,6,7)Nyeri sering berkurang bila penderita berbaring pada sisi
kanan. Demam hilang timbul atau menetap bergantung pada jenis abses
atau kuman penyebabnya. Dapat terjadi ikterus, ascites dan diare.
Ikterus, terutama terdapat pada abses hati piogenik karena penyakit
saluran empedu disertai dengan kolangitis supurativa dan
pembentukan abses multiple. Jenis ini prognosisnya
buruk.(1,6,7)Pada pemeriksaan mungkin didapatkan hepatomegali atau
ketegangan pada perut kuadran lateral atas abdomen atau
pembengkakan pada daerah intercosta. Ketegangan lebih nyata pada
perkusi. Apabila abses terdapat pada lobus kiri, mungkin dapat
diraba massa di epigastrium.(1,6,7)
NoGejalaPresentase (%)TandaPresentase(%)
1Demam80Hepatomegali50
2Nyeri perut50Nyeri tekan50
3Menggigil40Ikterus25
4Mual dan muntah35Efusi pleura20
5Berat badan menurun30
Kriteria penegakan diagnosis dari abses hepar ini, dapat dilihat
dari beberapa kriteria yaitu: Kriteria Ramachandra Hepatomegali
yang nyeri tekan Riwayat disentri Leukositosis Kelainan radiologis
Respon terhadap terapi amoebisid
Kriteria Sherlock Hepatomegali yang nyeri tekan Respon yang baik
terhadap terapi amoebisid Leukositosis Peninggian diafragma dengan
pergerakan yang kurang Aspirasi pus Pada USG ditemukan rongga dalam
hati Tes hemaglutinasi positif Kriteria Lamont dan Pooler ditegakan
apabila didapatkan 3 atau lebih dari : Hepatomegali yang nyeri
Kelainan hematologis Kelainan radiologi Pus amoebik Tes serologi
positif Kelainan sidikan hati Respon yang baik terhadap terapi
amoebisid
Dalam kasus ini, seorang Pasien laki-laki 48 tahun masuk rumah
sakit dengan nyeri abdomen kuadran kanan atas sejak 1 bulan yang
lalu secara tiba-tiba seperti ditusuk-tusuk tembus belakang. Nyeri
bertambah ketika berjalan dan berkurang ketika berbaring. Riwayat
demam sub febris (+), nausea (+), vomitus (-), malaise (+),
anoreksia (+). BAK berwarna seperti teh. Pasien memiliki riwayat
BAB encer sekitar 1 bulan lalu yang berlangsung selama kurang lebih
3 hari. Namun sembuh dengan sendirinya. TD : 110/80 mmHg, N: 80
kali/menit, P : 20 kali/menit, suhu : 37,3oC, thorax: tidak
ditemukan kelainan; abdomen: nyeri ketok regio hipokondrium dextra,
hepatomegali (+), konsistensi lunak, tepi tumpul, permukaan rata,
murphy sign (+). Sesuai dengan teori yang ada bahwa secara umum,
gejala dapat timbul secara mendadak (bentuk akut), atau secara
perlahan-lahan (bentuk kronik). Dapat timbul bersamaan dengan
stadium akut dari amebiasis intestinal atau berbulan-bulan atau
bahkan bertahun-tahun setelah keluhan intestinal sembuh. Pada
bentuk akut, gejalanya lebih nyata dan biasanya timbul dalam masa
kurang dari 3 minggu. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri
di perut kanan atas. Rasa nyeri terasa seperti tertusuk tusuk dan
panas, demikian nyerinya sampai ke perut kanan. Dapat juga timbul
rasa nyeri di dada kanan bawah, yang mungkin disebabkan karena
iritasi pada pleura diafragmatika. Pada akhirnya dapat timbul tanda
tanda pleuritis. Rasa nyeri pleuropulmonal lebih sering timbul pada
abses hepatis jika dibandingkan dengan hepatitis. Rasa nyeri
tersebut dapat menjalar ke punggung atau skapula kanan. Pada saat
timbul rasa nyeri di dada dapat timbul batuk batuk. Keadaan serupa
ini timbul pada waktu terjadinya perforasi abses hepatis ke paru
paru. Sebagian penderita mengeluh diare. Hal seperti itu memperkuat
diagnosis yang dibuat. Gejala demam merupakan tanda yang paling
sering ditemukan pada abses hepar. Gejala yang non spesifik seperti
menggigil, anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan
penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan.
Lebih dari 90 % didapatkan hepatomegali yang teraba nyeri tekan.
Hati akan membesar kearah kaudal atau kranial dan mungkin mendesak
kearah perut atau ruang interkostal. Pada perkusi diatas daerah
hepar akan terasa nyeri. Konsistensi biasanya kistik, tetapi bisa
pula agak keras seperti pada keganasan. Pada tempat abses teraba
lembek dan nyeri tekan. Dibagian yang ditekan dengan satu jari
terasa nyeri, berarti tempat tersebutlah tempatnya abses. Rasa
nyeri tekan dengan satu jari mudah diketahui terutama bila letaknya
di interkostal bawah lateral. (6)Banyak penderita abses hati amuba
hanya mengalami sedikit perubahan parameter laboratorium. Penulis
lain menyebutkan pada penderita dengan abses hati amuba akut tidak
didapatkan anemia, tetapi didapatkan derajat leukositosis yang
cukup bermakna, sedangkan pada penderita dengan penyakit kronis
mengalami anemia dengan leukositosis yang tidak jelas. Pada
pemeriksaan hematologi pada abses hati amuba didapatkan hemoglobin
antara 10,4-11,3%, sedangkan leukosit berkisar umumnya antara
10.000-12.000/ml. Pada abses hati piogenik, leukositosis didapatkan
pada 70% penderita, sementara anemia didapatkan pada kira-kira 50%
kejadian. Abnormalitas test faal hati lebih jarang terjadi dan
lebih ringan pada abses hati amuba dibanding abses hati piogenik.
Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10% penderita abses hati
amuba. Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,67-3,05 gr%,
globulin 3,62-3,75 gr%, total bilirubin 0,9-2,44 gr%, alkali
fosfatase 270,4-382 u/L sedangkan SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT
15,7-63 u/L. Karena pada abses amuba terjadi destruksi aktif
parenkim hepar, dapat terjadi peningkatan PPT (Plasma Prothrombin
Time). Pemeriksaan feses penderita, meskipun dengan sampel yang
didapatkan dengan proktoskop bukan merupakan cara yang dapat
dipercaya untuk mendiagnosis investasi amuba. Kista dan tropozoit
pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15% sampai 50% (penulis
lain menyebutkan 15,4%) penderita abses amuba hepar, karena infeksi
usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses
hepar. Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding
riwayat diare, pemeriksaan kotoran dan proktoskopi. Diagnosis
sering ditegakkan dengan aspirasi dari kavitas abses, prosedur yang
relatif tidak berbahaya. Tropozoit amuba ditemukan pada kurang dari
sepertiga pasien. (6)Untuk kasus abses hepar pyogenik pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat dengan jelas
(> 10.000/mm3) didapatkan pada 75-96% pasien, walaupun beberapa
kasus menunjukkan nilai normal. Laju endap darah biasanya meningkat
dan dapat terjadi anemia ringan yang didapatkan pada 50-80% pasien.
Alkali fosfatase dapat meningkat yang didapatkan pada 95-100
pasien. Peningkatan serum aminotransferase apartat dan serum
aminotransferase alanin didapatkan pada 48-60% pasien. Prognosis
buruk bila kadar serum amino transferase meningkat. Peningkatan
bilirubin didapatkan pada 28-73% pasien. Penurunan albumin (3 g/dL)
masih diamati. Protrombin time meningkat pada 71-87 pasien.(6) Dari
hasil pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, didapatkan kesan
leukositosis dengan WBC 21,07x103/uL, RBC 3,67x106/uL, HGB 10,5
g/dL, HCT 33,0%, MCV 89,9 fL, MCH 28,8 pg, MCHC 31,8 g/dL, PLT
384x103/uL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 58 u/L,
SGPT 44 u/L, Ureum 34 mg/dL, Kreatinin 0,6 mg/dL. Berdasarkan hasil
laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat peningkatan
enzim-enzim hati ( SGOT SGPT) yang menunjukan telah terjadi
gangguan fungsi hati. Adanya proses infeksi memicu terjadinya
peningkatan produksi enzim-enzim hati sehingga kadar enzim-enzim
tersebut tinggi didalam darah. Leukositosis sendiri muncul akibat
dari proses infeksi. Sebagai salah satu upaya sistem imun untuk
melawan mikroorganisme penyebab infeksi. Kelainan foto dada pada
abses hati amuba dapat berupa peninggian kubah diafragma kanan,
berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses
paru.(7)
Gambaran Foto Dada Abses Hati Amuba
Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak, hanya
mungkin dapat berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran
udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid
level.(7,9) Untuk mendeteksi abses hati amuba, USG sama efektifnya
dengan CT atau MRI. Sensitivitasnya dalam diagnosis abses hati
amuba 85-95 %. USG dapat mendeteksi kelainan sebesar 2 cm disamping
sekaligus dapat melihat kelainan traktus bilier dan diafragma.
Keterbatasan USG terutama kelainan pada daerah tertentu, pasien
gemuk atau kurang kooperatif.(7)Abses hati amuba stadium dini
kelihatan seperti suatu massa dan jika terjadi pencairan bagian
tengah, terlihat sebagai kista. Gambaran ultrasonografi pada abses
hati amuba adalah:(7) Bentuk bulat atau oval Tidak ada gema dinding
yang berarti Ekogenesitas lebih rendah dari parenkim hati normal
Bersentuhan dengan kapsul hati Peninggian sonik distal
USG Abses Hati Amuba
Sensitivitas Tomografi Computer berkisar 95-100% dan lebih baik
untuk melihat kelainan di daerah posterior dan superior. Tetapi
tidak dapat melihat integritas diafragma, sehingga tidak dapat
menentukan efusi pleura sebagai efusi reaktif atau ruptur dari
diafragma.(7,9)
Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba dengan kontras IV dan
oral. Gambaran ini tidak dapat dibedakan dengan abses hati
piogenik.
Gambaran CT Scan Abdomen Abses Hati Amuba pada pasien yang sama
dengan gambar 8 di atas tanpa kontras32
Membedakan abses piogenik dengan abses amuba pada hepar
seringkali tidak dapat dilakukan dengan mempergunakan kriteria
klinis, pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan radiologis.
Karena itu, pemeriksaan serologi diperlukan untuk memastikan adanya
infeksi amuba. Respon antibodi bergantung pada lamanya sakit dan
negatif pada minggu pertama. Titer antibodi dapat bertahan
berbulan-bulan sampai tahunan pada pasien di daerah endemik. Jadi
tidak begitu spesifik untuk daerah endemik, tetapi sangat spesifik
untuk daerah bukan endemik. Pemeriksaan serologi yang dapat
dilakukan meliputi IHA (Indirect Hemagglutination), GDP (Gel
Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay),
counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan
complement fixation. IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling
sering digunakan. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui
1:128. Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang,
sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik untuk
amubiasis invasif, tetapi hasil yang positif bisa didapatkan sampai
20 tahun setelah infeksi mereda. GDP meskipun dapat mendeteksi 95%
abses hepar karena amuba, juga mendeteksi colitis karena amuba yang
noninvasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi tidak spesifik untuk
abses amuba hepar. Namun demikian, GDP dapat dikatakan tidak mahal,
mudah dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan
setelah sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan
radiologi ditemukan lesi "space occupying" di hepar, GDP sangat
membantu untuk memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan
amuba.(7)ELISA, counterimmunelectrophoresis, dan indirect
immunofluorescence juga sangat sensitif dan cepat prosedurnya untuk
mendiagnosis amubiasis invasif. Namun pemeriksaan tersebut masih
sulit didapatkan dibanding IHA dan GDP dan harganya lebih mahal.
Prosedur "compement fixation" merupakan pemeriksaan serologi
pertama yang dikembangkan untuk mendiagnosis amubiasis invasif,
namun pelaksanaannya sukar dan sensitivitasnya kurang. Karena itu,
pemeriksaan ini jarang digunakan. (7)Pada kasus ini, tidak semua
pemeriksaan penunjang dilakukan. Hal ini dikarenakan fasilitas yang
tersedia tidak lengkap. Dari pemeriksaan USG abdomen didapatkan
ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic,
batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 9,5 cm pada lobus kanan.
Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan abses
hepar. Dan dari hasil pemerikaan foto thorax (PA) didapatkan adanya
kesan elevasi diafragma kanan. Pada pasien abses hati amebik, foto
thorax menunjukan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya
pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru.
Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval,
tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari
parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian
sonic distal.Abses hepar dapat di diagnosis bandingkan dengan
beberapa penyakit serupa yang memiliki manifestasi klinis hampir
sama yaitu hepatoma yang merupakan tumor ganas hati primer. Pada
hepatoma ini didapatkan penurunan berat badan, nyeri perut sebelah
kanan atas, anoreksia, malaise, dan terdapat benjolan pada perut
kanan atas. Sedangkan dari pemeriksaan fisik terdapat hepato megali
yang berbenjol-benjol, dan stigmata penyakit hati kronik. Diagnosis
banding selanjutnya adalah kolestitis akut yang merupakan reaksi
inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang
disertai keluhan nyeri perut kana atas, nyeri tekan dan peningkatan
suhu tubuh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan perut
kanan atas yang disertai dengan tanda-tanda peritonitis lokal,
murphy sign (+). Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis dan dari hasil USG didapatkan penebalan dinding
kandung empedu.(6,7,8)Penanganan abses hati yang di anjurkan adalah
pemberian Antibiotik. Dengan ditemukannya metronidazol, sebagian
besar kasus abses hati amuba hepar tidak lagi memerlukan tindakan
bedah. Aspirasi perkutan atau tindakan bedah diperlukan bila
diagnosisnya masih belum dapat dipastikan atau bila terjadi
komplikasi. Golongan imidasol meliputi metronidazol, tinidazol, dan
niridazol dapat memberantas amuba pada usus maupun hepar.
Metronidazol peroral, 750 mg, tiga kali sehari selama sepuluh hari,
dapat menyembuhkan 95% penderita abses amuba hepar. Pemberian
intravena sama efektifnya, diperlukan pada penderita yang mengalami
rasa mual atau pada penderita yang keadaan umumnya buruk. Hasil
yang positif pada pemberian metronidazol secara empiris dapat
memperkuat diagnosis abses amuba hepar. Perbaikan gejala klinis
terjadi dalam 3 hari dan pemeriksaan radiologis menunjukkan
penurunan ukuran abses dalam 7 sampai 10 hari. Metronidazol tidak
mahal dan aman, namun merupakan kontraindikasi pada kehamilan. Efek
samping yang dapat terjadi ialah mual dan rasa logam. Neuropati
perifer jarang terjadi.(6,7,8)Emetin, dehidroemetin, dan klorokuin
berguna pada abses amuba hepar yang mengalami komplikasi atau bila
pengobatan dengam metronidazol gagal.10,14 Karena obat ini hanya
memberantas amuba yang invasif, diperlukan pemberian obat yang
bekerja dalam usus secara bersamaan. Pemberian metronidazol dapat
dilanjutkan. Setelah terapi abses hepar diberikan, direkomnedasikan
pemberian agen luminal untuk mencegah kekambuhan. Agen Luminal yang
efektif untuk amubiasis seperti iodokuinol, paronomysin dan
diloxanide furoate. Emetin dan dehidroemetin diberikan secara
intramuskular. Emetin memiliki "therapeutic range" yang sempit.
Dapat terjadi proaritmia, efek kardiotoksik yang diakibatkan
akumulasi dosis obat. Penderita yang mendapat obat ini harus tirah
baring dan dilakukan pemantauan tanda vital secara teratur.
(6,7,8)Emetin dan dehidroemetin diindikasikan terutama untuk
penderita yang mengalami komplikasi paru, karena biasanya keadaan
umumnya buruk dan memerlukan terapi "multidrug" untuk mempercepat
perbaikan gejala klinis. Dehydroemetine 1-1,5 mg/kgBB/hari
intramuskular (maksimum 99 mg/hari) selama 10 hari. Klorokuin dapat
diberikan per oral. Dosisnya 1g/hari selama 2 hari dan diikuti
500/hari selama 20 hari. Meskipun efek samping penggunaan klorokuin
lebih sedikit dibanding emetin dan dehidroemetin, obat ini kurang
poten serta sering terjadi relaps jika digunakan sebagai obat
tunggal. Saat ini klorokuin digunakan bersamaan dengan emetin dosis
rendah untuk strain amuba yang resisten terhadap metronidazol.
Kombinasi klorokuin dan emetin dapat menyembuhkan 90% sampai 100%
penderita amubiasis ekstrakolon yang resisten. (6,7,8)Penderita
yang mendapat pengobatan amubisid sistemik namun gejala klinisnya
tidak menunjukkan perbaikan lebih dari 72 jam setelah dimulainya
pengobatan, akan menunjukkan perbaikan dengan cara aspirasi rongga
abses. Dalam hal ini, aspirasi berguna tidak hanya untuk mengurangi
gejala-gejala penekanan, tetapi juga untuk menyingkirkan adanya
infeksi bakteri sekunder. Aspirasi juga mengurangi risiko ruptur
pada abses yang volumenya lebih dari 250 ml, abses yang terletak
pada lobus kiri hepar, atau lesi yang disertai rasa nyeri hebat dan
elevasi diafragma, dan untuk membedakan dengan abses hati piogenik
Aspirasi juga bermanfaat bila terapi dengan metronidazol merupakan
kontraindikasi seperti pada kehamilan. Tidak ada indikasi untuk
melakukan injeksi obat-obatan ke dalam kavitas abses. Sebaiknya
aspirasi ini dilakukan dengan tuntunan USG. Bila abses menunjukkan
adanya infeksi sekunder, drainase terbuka adalah pilihan terapinya.
(6,7,8)Drainase perkutan berguna pada penanganan komplikasi paru,
peritoneum dan perikardial. Tingginya viskositas cairan abses amuba
memerlukan kateter dengan diameter yang besar untuk drainase yang
adekuat. Infeksi sekunder pada rongga abses setelah dilakukan
drainase perkutan dapat terjadi.(7)Pembedahan diindikasikan untuk
penanganan abses yang tidak berhasil membaik dengan terapi
konservatif. Laparotomi diindikasikan untuk perdarahan yang jarang
terjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya
ruptur abses. Tindakan operasi juga dilakukan bila abses amuba
mengenai sekitarnya. Penderita dengan septikemia karena abses amuba
yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan
bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil.
Laparoskopi juga dikedepankan untuk kemungkinannya dalam
mengevaluasi terjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal.
Sepanjang tindakan ini, kateter perkutan dimasukkan dengan tuntunan
laparoskopi akan berhasil mengeluarkan abses dan mencegah tindakan
laparotomi. (6,7,8)Pada pasien ini penanganan yang diberikan adalah
terapi non medika mentosa yaitu Istirahat yang cukup (tirah
baring). Menjaga higienitas makanan, minuman, tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan lainnya, diet lunak, tinggi karbohidrat
dan tinggi protein. Medikamentosa IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, Antibiotik
: Metronidazole 0,5mg/8jam/IV, Antipiretik : Sistenol tablet 500 mg
3x1 tablet (jika panas). Dan pasien menunjukan adanya perbaikan
kondisi dengan pemberian antibiotik metronidasol.Diperkirakan 10%
pasien dengan abses amuba hati akan mengalami komplikasi. Dari
penelitian yang baru-baru ini diadakan di China dengan 503 kasus
abses amuba hati yang didokumentasikan sepanjang 21 tahun,
didapatkan 22% mengalami komplikasi dengan perforasi. Perforasi
tersering meliputi struktur pleura dan paru (72%), ruang subfrenik
(14%), dan ruang peritoneum (10%). Pada penelitian lain (India
Selatan) dengan 200 kasus abses amuba hati yang didapati antara
tahun 1989 dan 1991, komplikasi yang didapat 4% termasuk pleural
efusi (dua kasus), konsolidasi paru (4 kasus), efusi perikardial (1
kasus), dan ascites (2 kasus). Peneliti di negara Barat melaporkan
insidens komplikasi sebanyak 23%. Disebutkan pula pada sebuah
penelitian bahwa pasien-pasien dengan komplikasi didapatkan
perubahan yang bermakna dari hemoglobin, hematokrit, prothrombin
time, total protein, albumin, LDH, dan BUN. Juga titer antibodi
terhadap E. histolytica meningkat pada kelompok ini. (6,7,8)Seperti
halnya abses piogenik, angka kematian meningkat pada pasien-pasien
ini. Komplikasi tersering adalah ruptur abses ke dalam peritoneum
atau ke dalam toraks. Abses dapat juga menyebabkan erosi organ di
sekitarnya atau mendapat infeksi sekunder bakterial. Sangat jarang,
hemobilia dan kegagalan hepar timbul sebagai akibat pertumbuhan
yang erosif dari abses hati amuba.(7) Sistem pleuropulmonum
merupakan sistem tersering terkena bila abses amuba hepar ruptur.
Secara khusus, kasus tersebut berasal dari lesi yang terletak di
lobus kanan hepar. Abses menembus diafragma dan akan timbul efusi
pleura, empyema, abses pulmonum, atau pneumonia. Fistula
bronkopleura, biliopleura, dan biliobronkial juga dapat timbul dari
ruptur abses amuba. Pasien-pasien dengan fistula ini akan
menunjukkan ludah yang berwarna kecoklatan yang berisi amuba yang
ada. Kebanyakan komplikasi pleuropulmonum berespons baik terhadap
antibiotik dan drainase. Pasien-pasien dengan amuba empyema akan
mengakibatkan sesak napas dan perselubungan hemitoraks. Ini akan
memerlukan terapi multimedikamentosa, pemasangan toraks drain, dan
sering torakotomi dengan dekortikasi. Torakotomi mungkin juga
diperlukan pada pasien-pasien dengan fistula biliobronkial yang
tidak membaik dengan pengobatan konservatif. (6,7,8)Tiga puluh
persen dari komplikasi abses amuba, termasuk kontaminasi
peritoneal, berasal dari abses hepar kanan. Penanganan amubiasis
ruptur intraperitoneal masih kontroversial. Beberapa penulis
menganjurkan terapi antibiotik sistemik saja, yang lain
menganjurkan drainase perkutan. Pasien-pasien dengan perdarahan
yang mengancam nyawa atau yang gagal pada pengobatan konservatif
memerlukan laparotomi, drainase abses, dan irigasi amubisidal.
Terapi amubisidal sistemik adalah pengobatan awal dari fistula
hepatokutan. (6,7,8)Pada kurang dari 2% pasien, abses hepar kiri
dapat mengalami ruptur ke dalam perikardium. Pada kebanyakan
pasien, akan timbul gagal jantung kongestif. Penanganan dari
amubiasis perikardial adalah nonoperatif, dengan angka kematian
yang rendah dengan aspirasi jarum dan amubisidal sistemik dibanding
prosedur drainase terbuka. (6,7,8)Tidak seperti abses hati
piogenik, angka kematian pada abses amuba hepar tercatat dalam
sejarah lebih rendah. Tahun 1935, Ochner melaporkan 9% pasien
dengan abses amuba meninggal karena penyakitnya. Para peneliti
mengevaluasi pengobatan dengan antibiotik saja, antibiotik
dikombinasikan dengan aspirasi jarum, dan antibiotik dengan
drainase terbuka, telah dilaporkan dengan angka kematian yang sama
antara 2% sampai 3%.(6,7,8,9,10,11)Beberapa faktor klinis telah
dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada pasien-pasien dengan
abses amuba hepar. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang
lambat, encephalopathy, multipel abses, volume abses > 500 ml,
dan komplikasi seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi
pulmonum meningkatkan tiga kali angka kematian. Hiperbilirubinemia
(>3,5 mg/dL) juga termasuk faktor resiko, dengan ruptur timbul
lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Kadar hemoglobin 8
g/dL dan serum albumin