Page 1
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Periapikal
Karies berawal dari sisa makanan yang bercampur dengan hasil
metabolisme bakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus mutans,
Lactobacillus, dll yang berupa asam akan mengakibatkan proses demineralisasi
pada email sehingga terbentuk karies. Proses karies ini mengakibatkan radang
pada pulpa yang dikenal sebagai Pulpitis Reversibel dan akan berlanjut menjadi
Pulpitis Irreversibel. Bila infeksi dibiarkan jaringan pulpa akan menjadi nekrosis
sehingga infeksinya dapat masuk ke pembuluh darah menuju jaringan periapikal
melalui apeks. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam
melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah memfagosit
bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang
membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini
maka jaringan sekitarnya akan terdorong dan menjadi dinding pembatas abses.
Hal ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran
infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses pecah maka infeksi bisa menyebar
tergantung kepada lokasi abses. Sehingga Abses Periapikal dapat didefinisikan
sebagai suatu proses supuratif disekitar ujung akar gigi yang terjadi karena
hancurnya jaringan dan merupakan respon inflamasi berlanjut dari jaringan
periapikal terhadap iritasi pulpa (Michael TB et al, 2006)
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi
atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah
membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang
ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan
reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon
jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis
yang supuratif atau abses dentoalveolar (Marvin G, 2006).
Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola
patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh : jumlah dan
Page 2
5
virulensi kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat
(Michael TB et al, 2006).
Pus pada jaringan periapikal menyebar melalui tulang cancelous menuju
ke permukaan tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke
jaringan lunak di sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada
periosteum tulang alveolar di daerah tersebut yang disebut dengan periostitis
(Maestra-Vera JR, 2004).
Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi
oleh 2 faktor utama yaitu (Maestra – Vera JR, 2004) :
1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi
2. Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-
otot pada maksila dan mandibula
Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan
menyebabkan vestibular abscess. Sebaliknya jika akar gigi lebih dekat dengan
permukaan palatal maka yang terjadi adalah palatal abscess.
Setelah pus menembus permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan
lunak arah penyebaran selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot
pada tulang rahang, utamanya yaitu m. Buccinator pada maksila dan mandibula,
dan Mylohyoid pada mandibula. Pada gigi-gigi posterior rahang atas apabila pus
keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m.buccinator pada maksila dan
mandibula, dan m mylohyoid pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas
apabila pus keluar ke arah bukal dan dibawah perlekatan m. Buccinator maka
akan terjadi vestibular abscess. Apabila pus terletak di atas perlekatan m.
Buccinator maka yang terjadi adalah buccal space abscess ((Michael TB et al,
2006).
Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umunya menjalar ke
arah labial atau bukal. Beberapa gigi seperti insisif lateral yang inklinasinya
ekstrem, akar palatal gigi premolar pertama dan molar rahang atas dapat
menyebabkan abses di sebelah palatal. Penjalaran infeksi ke labial atau bukal
dapat menjadi vestibular abscess atau fascial space infection ditentukan oleh
hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot pada
Page 3
6
tulang maksila yaitu m. buccinator dan m. Levator anguli oris (Lynnus Peng,
MD, 2006).
Penyebaran infeksi Molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan oleh
perlekatan m. Buccinator. Apabila pus keluar diatas perlekatan m. buccinator
maka yang tejadi adalah vestibular abscess, bila pus keluar dibawah perlekatan
otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau perimandibular
infection. Penyebaran infeksi M RB yg kearah lingual ditentukan oleh relasi
antara letak apeks akar gigi M dan tempat perlekatan m. Mylohyoid. Bila pus
keluar dari dinding lingual di atas perlekatan m. Mylohyoid maka akan terjadi
sublingual space abscess, sebaliknya bila pus keluar dibawah perlekatan otot tsb
akan timbul submandibular space abscess (Green, 2001).
2.1.1 PeriapikalAbses
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi
akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode
laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan
dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga
bisa berasal sistemik (bakteremia). (Fragiskos, 2007)
2.1.1.1 Periapikal Abses Akut
Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal gigi,
yang disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya
bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi. Abses apikalis akut
ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan
pembengkakan. Pembengkakan biasanya terletak di vestibulum bukal, lingual atau
palatal tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikalis akut juga
terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu tubuh,
dan malaise. Tes perkusi abses apikalis akut akan mengahasilkan respon yang
sangat sensitif, tes palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak
memberikan respon.
Page 4
7
Secara histologi abses apikalis akut menunjukkan adanya lesi destruktif
dari nekrosis yang mengandung banyak leukosit PMN yang rusak, debris, dan sel
serta eksudat purulen. Gambaran radiografis abses apikalis akut, terlihat
penebalan pada ligamen periodontal dengan lesi pada jaringan periapikal.
(Fragiskos, 2007) (Ingle, 2008) (Sutasmi, 2012).
2.1.1.2 Periapikal Abses Kronis
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang
berjalan lama yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis
kronis disebabkan oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat
juga disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan
pus yang terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau
benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah. Abses
apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan untuk mencegah
infeksi menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Abses apikalis kronis berkembang dan membesar tanpa gejala yang
subjektif, hanya dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiografis atau dengan
adanya fistula didaerah sekitar gigi yang terkena. Fistula merupakan ciri khas
dari abses apikalis kronis. Fistula merupakan saluran abnormal yang terbentuk
akibat drainase abses.
Abses apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan
respon non-sensitif. Sedangakan tes vitalitas tidak memberikan respon.
(Fragiskos, 2007) (Ingle, 2008) (Sutasmi, 2012)
2.1.2 Serous Periositis
Serous periostitis adalah keradangan akut pada periosteum tulang rahang
karena infeksi periapikal telah menembus korteks tulang. Keradangan yang terjadi
berupa cairan serous diantara korteks dan periosteum, belum terbentuk nanah.
Gejala subjektifnya berupa rasa sakit selama 1-3 hari disertai pembengkakan,
suhu badan meningkat. Ekstraoral tampak pembengkakan merata, warna agak
kemerahan, palpasi peningkatan suhu dan sakit. Intraoral tampak peninggian
Page 5
8
buccal fold tapi tidak ada fluktuasi, terdapat gigi dengan karies profunda dan non
vital (Gangren pulpa) (Ariji Y et al, 2002)
Pencabutan merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan
penyebaran infeksi yang berbahaya. Perawatan ditujukan pada tindakan yang
dapat meredakan infeksi akut : open bur disertai dengann ekstirpasi saluran akar,
pemberian antibiotik dan analgesik. Pencabutan dilakukan bila tanda radang sudah
reda (Lynnus Peng, MD, 2006).
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan tidak mampu
menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang
disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama,
yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya adalah
di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, pus sudah berhasil “menembus”
korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karena itu nama abses yang tadinya
disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal.
Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam
saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang
sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih
serous (Michael TB et al, 2006). Subperiosteal abscess merupakan kelanjutan dari
serous periostitis dimana pus sudah terbentuk dan terkumpul di bawah
periosteum. Periosteum adalah jaringan ikat yang tipis dan tegang, maka dengan
terkumpulnya pus dibawahnya akan timbul rasa sakit yang sangat dan biasanya
periosteum akan pecah dalam waktu singkat. Oleh karena itu secara klinis
periosteal abscess jarang dijumpai. Keadaan ini dapat berlanjut menjadi
vestibular abscess atau fascial space abscess (Maestra-Vera JR, 2004).
2.2 Infeksi Odontogen
Infeksi odontogen merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang
paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien infeksi ini
bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase
spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang mengalami gangguan)( Al
Hutami,2012).
Page 6
9
Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering
terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit
periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi
odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri seperti
streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke sisi
wajah lain)( Al Hutami,2012).
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat
menyebabkan abses, abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang
memberikan prognosis baik) dan penjalaran berat (yang memberikan prognosis
buruk). Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis,
abses sub periosteal, abses sub mukosa, abses sub gingiva, dan abses sub palatal,
sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular,
osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut.
Infeksi odontogen merupakan suatu proses infeksi yang primer atau
sekunder yang terjadi pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik
atau infeksi pasca bedah. Tipikal infeksi odontogenik adalah berasal dari karies
gigi yang merupakan suatu proses dekalsifikasi email. Sekali email larut, infeksi
karies dapat langsung melewati bagian dentin yang mikroporus dan langsung
masuk ke dalam pulpa. Di dalam pulpa, infeksi dapat berkembang melalui suatu
saluran langsung menuju apeks gigi dan dapat menggali menuju ruang medulla
pada maksila atau mandibula. Infeksi tersebut kemudian dapat melubangi lapisan
tulang kortikal dan merusak jaringan superficial dari rongga mulut atau membuat
saluran yang sangat dalam pada daerah fasial.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan kegawatan
infeksi odontogenik adalah:
Jenis dan virulensi kuman penyebab.
Daya tahan tubuh penderita.
Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.
Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.
Adanya tissue space dan potential space.
Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya
karies gigi yang mencapai ruang pulpa, kemudian berlanjut menjadi pulpitis dan
Page 7
10
akhirnya terjadi nekrosis pulpa. Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau
meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai ke apikal gigi. Foramen apikalis pada pulpa
tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut
menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi
yang nekrosis tersebut.
2.2.1 Penyebaran Per Kontinuatum
Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang mengenai struktur
gigi (pulpa dan periodontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju
kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari
tulang rahang. Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab
infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena
adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal
ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan
subkutaneus servikal kemudian berkembangan menjadi selulitis fasial, yang
akan mengakibatkan kematian jika tidak segera diberikan perawatan yang
adekuat (Berini, et al, 1999).
2.2.1.1 Vestibular Space
Vestibular space adalah space yang berpotensi antara mukosa vestibular
dan dekat pada muskulus fasial. Jangkauan dentoalveolar abses menjelaskan
mengenai infeksi antara alveolar prosesus dan alveolar mukosa pada dinding
fasial pada prosesus alveolar. Karena struktur anatomi membatasi penyebaran
abses dentoalveolar atau selulitis menjadi vestibula oral dan perlekatannya dekat
dengan muskulus fasial pada apikal dari infeksi tersebut, abses dentoalveolar
mengambil porsi dari space vestibular. Secara posterior dari muskulus fasial
adalah buccinator, bagian depan dari muskulus intrinsik dan bibir, termasuk
orbicularis oris, quadratus labii superioris, mentalis, atau risorius, membatasi
space vestibular. Space vestibular adalah pengisi dengan submukosa dan jaringan
ikat alveolar yang berada pada persilangan buccal dan nervus mentalis. Dapat
dikatakan bahwa ada jarak pada muskulis fasial dengan bukal dan space
Page 8
11
subcutaneous. Pembengkakan vestibular dapat merubah struktur fascial, distorsi
pandang. Drainase secara spontan dapat terjadi pada mukosa rongga mulut
(Richard G, et al, 2002).
Abses vestibular biasanya terletak pada daerah premolar dan molar
rahang atas. Secara pemeriksaan klinis tampak pembengkakan, padat, disertai
nyeri pada daerah buccal vestibular dekat dengan gigi yang bermasalah (Sailer
HF, Pajarola GF. 1999).
2.2.1.2 Buccal Space
Lokasi dimana abses ini berkembang adalah terletak diantara m.
buccinator dan otot masseter. Letak dari abses ini berada di superior
pretygopalatine space yang mana berada di inferior dari pterygomandibular space.
Penyebaran pus pada buccal space tergantung pada posisi apeks gigi yang
memeiliki peranan penting terhadap perlekatan dengan otot buccinator. Abses
pada buccal ini mungkin berasal dari saluran akar gigi posterior yang terinfeksi
pada rahang atas maupun rahang bawah.
Abses buccal space secara klinis ditandai dengan adanya pembengkakan
dari pipi yang memanjang dari lengkung zygomatic sejauh batas inferior
mandibula, dan dari perbatasan anterior ramus ke sudut mulut. Kulit tampak
kencang dan merah, dengan atau tanpa fluktuasi abses, yang jika diabaikan, dapat
mengakibatkan drainase spontan (Fragiskos, 2007).
Gambar 2.1 Ilustrasi gambar penyebaran dari lateral abses ke daerah otot buccinator. b. Tampakan
klinis
Page 9
12
2.2.1.3 Submandibular Space
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya
dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang
mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior
oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke
dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar
ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris
eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses
periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar
mandibula (Fragiskos, 2007).
Gambar 2.2 Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah submandibular di bawah muskulus
mylohyoid b. Tampakan klinis
ruang submandibular
Ruang ini terletak di bawah otot milohioid, medial ramus dan tubuh
mandibula. Hal ini dibatasi anterior oleh lampiran dari perut anterior digastrikus
otot dan posterior oleh perut posterior otot digastrikus dan stylomandibular yang
50 A Textbook of Advanced Mulut dan Maksilofasial Bedah
ligamen. Infeksi dari gigi rahang bawah posterior mungkin lewat lingual, di bawah
lampiran otot milohioid, ke ruang angkasa ini. Klinis, pembengkakan submandibular yang
daerah cenderung melenyapkan sudut mandibula, menyebabkan rasa sakit dan kemerahan pada
kulit
atasnya daerah ini. Disfagia juga biasanya merupakan gejala ditandai.
2.2.1.4 Submentale
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya
melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses
Page 10
13
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat
berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau
premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir
akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan
intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi
penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat
menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah belakang
(Fragiskos, 2007).
Gambar 2.3 a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental b. Tampakan klinis
2.2.2 Penyebaran Per Limfogen
Sistem limfatik (lymphatic system) atau sistem getah bening membawa
cairan dan protein yang hilang kembali ke darah .Cairan memasuki sistem ini
dengan cara berdifusi ke dalam kapiler limfa kecil yang terjalin di antara kapiler-
kapiler sistem kardiovaskuler. Apabila suda berada dalam sistem limfatik, cairan
itu disebut limfa (lymph) atau getah bening, komposisinya kira-kira sama dengan
komposisi cairan interstisial. Sistem limfatik mengalirkan isinya ke dalam sistem
sirkulasi di dekat persambungan vena cava dengan atrium kanan.
Limfe mirip dengan plasma tetapi dengan kadar protein yang
lebih kecil. Kelenjar-kelenjar limfe menambahkan limfosit pada limfe
sehingga jumlah sel itu sangat besar di dalam saluran limfe.Di dalam limfe
tidak terdapat sel lain. Limfe dalam salurannya digerakkan oleh
kontraksi otot disekitarnya dan dalam beberapa saluran limfe yang gerakannya
besar itu dibantu oleh katup.
Page 11
14
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya
dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah
menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis
pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi
anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah (Sandler NA, 2009).
Tabel 2.1 Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:
Sumber infeksi KGB regional
Gingiva bawah Submaksila
Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental, servikal
profunda
Jaringan submukosa bibir atas dan
bawah
Submaksila
Gingiva dan palatum atas Servikal profunda
Pipi bagian anterior Parotis
Pipi bagian posterior Submaksila, fasial
Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi
penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau
leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya
(Sandler NA, 2009).
Weinmann mengatakan bahwa inflamasi gingiva yang menyebar
sepanjang sisi krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke sumsum
tulang. Ia juga menyatakan bahwa inflamasi jarang mengenai membran
periodontal. Kapiler berjalan beriringan dengan pembuluh limfe sehingga
memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin ke pembuluh limfe dari pembuluh
darah (Sandler NA, 2009).
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di
sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi
kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat
inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya
biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah
Page 12
15
indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi
menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan
memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi
dan drainase dinamakan limfadenopati.
2.2.2.1 Vaskuler Limfe
Pembuluh limfe, merupakan saluran tipis yang dibatasi endotel berperan
dalam pengumpulan cairan dari ruang-ruang jaringan dan mengembalikannya ke
darah. Cairan ini dinamakan cairan limfe. Limfe hanya beredar dalam satu arah,
yaitu ke arah jantung.
Kapiler limfe berasal dari berbagai jaringan sebagai pembuluh tipis dengan
ujung buntu. Mereka terdiri atas satu lapisan endotel. Pembuluh yang tipis ini
bergabung dan berakhir sebagai 2 batang besar, yaitu ductus thorasicus dan ductus
limphaticus dexter, yang mengosongkan limfe ke dalam peralihan vena jugularis
interna dengan vena jugularis interna dexter. Di antara pembuluh-pembuluh limfe
terdapat kelenjar-kelenjar limfe. Dengan pengecualian sistem syaraf dan sumsum
tulang, sistem limfe ditemukan pada hampir semua organ.
Pembuluh limfe mempunyai struktur yang mirip dengan vena kecuali
mereka mempunyai dinding yang lebih tipis dan tidak mempunyai batas yang
nyata antara ketiga lapisan (intima, media, dan adventitia). Seperti vena, mereka
mempunyai banyak katup-katup interna. Akan tetapi, katup-katup ini lebih banyak
pada pembuluh limfe. Antara katup-katup pembuluh limfe melebar dan
mempunyai bentuk noduler.
Seperti vena, sirkulasi cairan limfe dibantu oleh kerja gaya eksterna
(misalnya kontraksi otot-otot sekitarnya) pada dindingnya. Gaya-gaya ini bekerja
secara tidak kontinu dan aliran limfe terutama terjadi sebagai akibat adanya
banyak katup dalam pembuluh ini dan irama kontraksi otot-otot polos yang
terdapat dalam dindingnya.
Duktus limfaticus ukuran besar mempunyai struktur yang mirip dengan
vena dengan penguatan otot polos pada lapisan media. Pada lapisan ini, berkas-
berkas otot tersusun longitudinal dan sirkuler, dengan serabut-serabut longitudinal
lebih banyak. Tunika Adventitia relatif kurang berkembang.
Page 13
16
2.2.2.2 Fungsi Limfe
1. Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi
darah.
2. Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.
3. Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi
darah. Saluran limfe yangmelaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.
4. Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk
menghindarkan penyebaranorganism itu dari tempat masuknya ke dalam
jaringan, ke bagian lain tubuh.
5. Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat anti (antibodi)
untuk melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi.
2.2.2.3 Limfadenopati
Pembesaran KGB dapat dibedakan menjadi pembesaran KGB lokal
(limfadenopati lokalisata) dan pembesaran KGB umum (limfadenopati
generalisata). Limfadenopati lokalisata didefinisikan sebagai pembesaran KGB
hanya pada satu daerah saja, sedangkan limfadenopati generalisata apabila
pembesaran KGB pada dua atau lebih daerah yang berjauhan dan simetris.
Secara anatomi aliran getah bening aferen masuk ke dalam KGB melalui
simpai (kapsul) dan membawa cairan getah bening dari jaringan sekitarnya dan
aliran getah bening eferen keluar dari KGB melalui hilus. Cairan getah bening
masuk kedalam kelenjar melalui lobang-lobang di simpai. Di dalam kelenjar,
cairan getah bening mengalir dibawah simpai di dalam ruangan yang disebut sinus
perifer yang dilapisi oleh sel endotel (Koss, 2006).
Jaringan ikat trabekula terentang melalui sinus-sinus yang
menghubungkan simpai dengan kerangka retikuler dari bagian dalam kelenjar dan
merupakan alur untuk pembuluh darah dan syaraf. 4,6-12 Dari bagian pinggir
cairan getah bening menyusup kedalam sinus penetrating yang juga dilapisi sel
endotel. Pada waktu cairan getah bening di dalam sinus penetrating melalui hilus,
sinus ini menempati ruangan yang lebih luas dan disebut sinus meduleri. Dari
hilus cairan ini selanjutnya menuju aliran getah bening eferen (Koss, 2006)
Page 14
17
Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher secara mendadak biasanya
disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada infeksi oleh
penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya satu sisi saja. Apabila
berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi oleh Mikobakterium,
Toksoplasma, Ebstein Barr Virus atau Citomegalovirus (Kanwar, 2009)
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi
saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat
badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang
tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan
oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness), ditambah adanya
riwayat pemakaian obat-obatan atau produk darah. Pembesaran KGB leher yang
disertai daerah lainnya juga sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan,
obat-obatan, penyakit kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB
generalisata (Kanwar, 2009).
Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, umumnya bilateral lunak dan
dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada
penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat fluktuatif dan dapat digerakkan.
Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya mengarahkan infeksi
bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya abses. Bila limfadenopati
disebabkan keganasan tanda-tanda peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak
dapat digerakkan oleh karena terikat dengan jaringan di bawahnya (Kanwar,
2009).
Pada infeksi oleh mikobakterium, pembesaran kelenjar berjalan
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB
menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan
terbentuk jembatan-jembatan kulit di atasnya (Kanwar, 2009).
Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya.
Banyak kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak
membutuhkan pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk mengecil
setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB.
Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan
kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah besar walau dengan
Page 15
18
pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat. Antibiotik
perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang biasa disebabkan oleh
Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes (group A). Pemberian
antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan memberikan respon positif
dalam 72 jam. Kegagalan terapi menuntut untuk dipertimbangkan kembali
diagnosis dan penanganannya. Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai
adanya abses dan evaluasi dengan menggunakan USG diperlukan untuk
menangani pasien ini (Peters, 2008).
2.2.3 Penyebaran Per Hematogen
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke
dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya
organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah (Lyx et all, 2000).
Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir
ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus
vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena
perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan
karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat
berlangsung dua arah, memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di
dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon
perlawanan terhadap infeksi tersebut.
Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan
eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan (Sandler
NA, 2014). Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan
dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor
predisposisi tertentu. Contoh perluasan infeksi odontogen melalui aliran darah
misalnya kearah jantung yaitu, sub bacterial endokarditis (SBE). Penyakit Infeksi
yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per Hematogen terdiri dari Subakut
Bacterial Endokarditis (SBE).
Page 16
19
2.2.3.1 Penyakit Infeksi yang Berhubungan dengan Pola Perluasan per
Hematogen
1. Subakut Bacterial Endokarditis (SBE)
Endokarditis Bakterial adalah penyakit infeksi oleh organisme pada
permukaan endokardial atau jaringan endothelial jantung, termasuk katup
jantung (baik yang alami atau prostetik), endokardium muralis, korda
tendinae atau defek septum (Talib 2001, Keith 2000, Gerardo 2003). Nama
lain dari endokarditis infektif adalah endokarditis bakterial (Soparman 1987,
Mokhtar Moendiyah 1998) . Lesi yang khas pada endokarditis infektif
adalah vegetasi yang terdiri dari trombosit, fibrin, mikroorganisme dan sel-
sel radang (Mokhtar Moendiyah 1998). Endokarditis infektif biasanya
terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit jantung
yang mendahului endokarditis, bisa berupa penyakit jantung bawaan
maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu diduga infeksi pada
endokard hanya disebabkan oleh bakteri, sehingga disebut endokarditis
bakterial. Kemudian ternyata bahwa infeksi bukan saja disebabkan oleh
bakteri tetapi dapat juga disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti
jamur, virus dan lain-lain (Soparman 1987, Mokhtar moendyah 1998)).
Endokarditis juga bisa terjadi pada endokard dan katup yang sehat,
misalnya endokarditis yang terjadi pada penyalahgunaan narkotik intravena
dan penyakit yang kronik. Perjalanan penyakit bisa akut atau sub-akut
bergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan pasien. Faktor
predisposisi dan Faktor pencetus .Faktor predisposisi dapat dibagi dua, yaitu
kelainan jantung organik dan tanpa kelainan jantung organik. Kelainan
jantung organik dapat berupa penyakit jantung reumatik, penyakit jantung
bawaan, katup jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik, prolaps katup
mitral, operasi jantung, kardiomiopati hipertrofi obstruktif (Soparman,
1987).
Endokarditis infektif sub-akut sering timbul pada penyakit jantung
reumatik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering mengenai katup
aorta dan mitral. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis infektif
Page 17
20
adalah penyakit jantung bawaan tanpa sianosis dengan deformitas katup dan
tetralogi fallot(Soparman 1987).
Bila tidak ada kelainan organik pada jantung, maka faktor predisposisi
endokarditis infektif adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau
sitostatik, hemodialisis atau dialysis peritoneal, sirosis hati, diabetes
mellitus, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit ginjal, lupus
eritematosus, gout, penyalahgunaan narkotik intravena (Soparman, 1987).
Faktor pencetus endokarditis infektif adalah ekstraksi gigi atau
tindakan lain pada mulut, tindakan pada traktus respiratorius (tonsilektomi
dan adenoidektomi, bronkoskopi, tindakan bedah), tindakan pada traktus
gastrointestinal (skleroterapi, operasi traktus biliaris, endoskopi), tindakan
pada traktus genitourinarius (kateterisasi, operasi prostate, sitoskopi), atau
tindakan obstetric-ginekologis(Gerardo 2003). Lima puluh persen pasien
endokarditis sub-akut tidak diketahui faktor pencetusnya (Soparman, 1987).
Sumber-sumber infeksi yang dapat menjadi fokal infeksi yang
terdapat di mulut dan gigi sehingga dapat menginfeksi jantung dan
menimbulkan endokarditis adalah sisa akar, pulpitis kronik, periodontal
poket dan penyakit periodontal lainnya, penyakit periapikal kronis dan gigi
nonvital yang tidak dirawat.
a. Sisa akar
Sisa akar sering kali tidak mendapat perhatian karena tidak
mengakibatkan keluhan sakit, tetapi sisa akar ini dapat merupakan
pengumpulan bakteri-bakteri dan menjadi fokal infeksi(mundiyah, dkk,
2003).
b. Pulpitis kronik
Pulpitis kronik adalah peradangan pulpa karena adanya karies dentis
yang sudah dalam, atau dapat juga merupakan idiokatif pulpitis, dimana
kuman tidak diketahui dari mana masuknya ; ada kemungkinan kuman
masuk dari peredaran darah melalui foramen apikal, kuman yang terdapat
pada pulpitis kronik adalah streptococcus viridans, staphylococcus albus,
basillus coli, basillus proteus, streptococcus aureus, streptococcus
hemolyticus (Mokhtar mundiyah, dkk, 2003).
Page 18
21
c. Poket periodental dan penyakit periodental lainnya
d. Penyakit periapikal kronis
Endokarditis infektif sub-akut paling banyak disebabkan oleh
Streptococcus viridans, yaitu suatu mikroorganisme yang biasa hidup pada
saluran nafas bagian atas. Sebelum ditemukan antibiotik, 90-95%
endokarditis infektif sub-akut disebabkan oleh Streptococcus viridans dan
sesudah ditemukan antibiotik hanya kira – kira 50%, yang merupakan
sepertiga dari seluruh endokarditis infektif (Keith 2000, Gerardo 2003,
Soparman 1987).
Penyebab endokarditis infektif akut adalah mikroorganisme yang
relative lebih pathogen, yaitu Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus
selain menyebabkan endokarditis akut, dapat juga menyebabkan endokardtis
infektif sub-akut. Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan
endokarditis infektif ialah Streptococcus fecalis, Streptococcus dan
Staphylococcus lain, bakteri gram negative aerob dan anaerob, jamur, virus,
ragi dan kandida (Keith 2000, Gerardo 2003).
Sering pasien tidak mengetahui dengan jelas sejak kapan penyakitnya
timbul. Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah
pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang
sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten
ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak
demam 38-40 oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti
menggigil dan kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang
bersifat progresif dan dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala
emboli dan vascular berupa ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok,
mata dan juga pada semua bagian kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih
pucat, dan bisa terjadi di retina yang disebut Roth’s spot. Emboli yang
timbul sub-ungual jari tangan dan kaki yang berbentuk linier disebut
Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Osler’s nodes yaitu
penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di bagian
dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar dapat
tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan
Page 19
22
saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner
dapat menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru – paru dapat
terjadi abses paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan
adanya kelainan katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar
endokarditis sub-akut didahului oleh penyakit jantung.
2.3 Vestibular Abses
2.3.1 Etiologi
Infeksi periapikal dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola
patofisiologi yang beragam yang pada dasarnya dipengaruhi oleh: virulensi
kuman, resistensi dari host, dan struktur anatomi daerah yang terlibat. Pus pada
jaringan periapikal menyebar melalui tulang kanselus menuju ke permukaan
tulang dan setelah menembus lapisan korteks pus masuk ke jaringan lunak di
sekitarnya yang biasanya didahului dengan keradangan pada periosteum tulang
alveolar di daerah tersebut (periostitis)
Arah penyebaran infeksi periapikal menuju ke jaringan lunak dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu:
1. Ketebalan tulang yang meliputi apeks gigi
2. Hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan otot-otot
pada maksila dan mandibula
Abses vestibular biasanya berasal dari premolar dan molar rahang atas.
Tanda klinis biasanya mukosa bengkak, keras, dan nyeri pada bagian bukal dari
vestibulum gigi yang terinfeksi. Abses vestibular baik yang berasal dari maksila
ataupun mandibula, dapat menyebar hingga ke mukosa pipi. Jika abses
berkembang pada kranial, abses dapat menemui jaringan adipose pada pipi dan
menyebar sepanjang anatomical plane ke arah fossa infra temporal atau fossa
pterygopalatinus dan bahkan dapat menyebar ke bagian kranial dan dorsal (Sailer
& Pajarola, 1999).
2.3.2 Patofisiologi
Bila apeks gigi yang terinfeksi lebih dekat dengan labial plate maka akan
menyebabkan abses vestibular. Sebaliknya, jika akar gigi lebih dekat dengan
permukaan palatal maka yang terjadi adalah abses palatal. Setelah pus menembus
Page 20
23
permukaan tulang dan masuk ke dalam jaringan lunak, arah penyebaran
selanjutnya ditentukan oleh tempat perlekatan otot-otot pada tulang rahang,
utamanya yaitu m.buccinator pada maksilla dan mandibula, dan m.mylohyoid
pada mandibula. Pada gigi posterior rahang atas apabila pus keluar ke arah bukal
dan di bawah perlekatan m. buccinators maka akan terjadi abses vestibular.
Infeksi periapikal pada gigi-gigi rahang atas pada umumnya menjalar ke arah
labial atau bukal dan dapat menjadi abses vestibular atau fascial space infection
ditentukan oleh hubungan antara tempat perforasi tulang dan tempat perlekatan
otot-otot pada tulang maksila, yaitu m. buccinators dan m. levator anguli oris.
Infeksi dari gigi kaninus juga dapat mengakibatkan terjadinya abses labial atau
abses vestibular jika terjadi penetrasi pus pada perlekatan muskulus. Abses
tersebut dapat terjadi bila penetrasi pus tersebut terjadi di atas muskulus levator
pada bibir atas (Rajendran & Sivapathasundharam, 2009).
Di rahang bawah, infeksi periapikal dari gigi insisif, caninus, dan premolar
pada umumnya akan merusak korteks di buccal plate sehingga menjadi abses
vestibular. Penyebaran infeksi molar bawah yang ke arah bukal juga ditentukan
oleh perlekatan m. buccinator. Apabila pus keluar di bawah perlekatan otot
tersebut maka yang terjadi adalah abses vestibular, bila pus keluar di bawah
perlekatan otot tersebut maka yang terjadi adalah buccal space infection atau
perimandibular infection. penyebaran infeksi molar rahang bawah yang ke arah
lingual ditentukan oleh relasi antara letak apeks akar gigi molar dan tempat
perlekatan m. mylohyoid. Bila pus keluar dari dinding lingual di atas perlekatan
m.mylohyoid maka akan terjadi sublingual space abscess, sebaliknya bila pus
keluar di bawah perlekatan otot tersebut akan timbul submandibular space
abscess.
Page 21
24
Gambar 2.4. Abses Vestibular
2.4 Submandibular Abses
Abses submandibula merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses
leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai
kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Pada abses submandibular, ruang
potensial ini terdiri dari ruang sublingual dan submaksilayang dipisahkan oleh
otot milohioid.
2.4.1 Etiologi
Infeksi leher dalam potensial terjadi pada ruang faring.Sumber infeksi
dapat berasal dari gigi-geligi (odontogenic infection) faring, atau akibat
traumapada saluran nafas dan organ cerna atas (upper aerodigetive trauma),
dimana terjadi perforasi pada membrana mukosa pelindung mulut atau ruang
faring. Selain itu, infeksi kelenjar liur, infeksi saluran napas atas,benda asing dan
intervensi alat-alat medis (iatrogenic) dapat menjadi factor penyebab abses leher
dalam. Namun masih terdapat sekitar 20% dari kasus yang terjadi, penyebabnya
belum dapat diketahui. Kemudian penyalahgunaan pemakaian obat-obatan
intravena dapat juga menyebabkan terjadinya kasus penyakit ini (Soepardi, 2007).
Pada abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalan dari infeksi gigi
dan jaringan sekitarnya yaitu pada P1,P2,M2,M2 namun jarang terjadi pada M3.
Beberapa jenis bakteri yang menjadi penyebab abses submandibula ini dibagi
menjadi golongan bakteri Aerob dan Anaerob (Soepardi, 2007).
Untuk golongan aerob terdiri dari :
Alfa Streptokokus hemolitikus
Stafilokokus
Bakteroides
Sedangkan yang termasuk kedalam golongan bakteri anaerob yaitu:
Peptostreptokokus
Peptokoki
Fusobakterium nukleatum
2.4.2 Patofisiologi
Page 22
25
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohiod. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk diruang
submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari dareah
kepala dan leher.
Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui
beberapa proses, diantaranya (Soepardi dkk, 2007):
1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau
infeksi leher csuperficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik.
2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi
abses fokal.
3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang
leher dalam
4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus.
Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah
sekeliling batas posterior muskulus mielohioideus dan dalamnya akar-akar gigi
molar dibawah mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi
dapat timbul di trigonum submandibularis (Soepardi dkk, 2007).
2.4.3 Diagnosis
Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala
klinis, dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos jaringan lunak leher atau
tomografi computer (Soepardi dkk, 2007).
2.4.4 Anamnesis
Beberapa gejala berikut dapat ditemukan pada pasien dengan abses
submandibula adalah (Soepardi dkk, 2007):
1. asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati pada sekitar 70%.
2. trismus karena proses inflamasi pada m.pterigoides
3. torticolis dan penyempitan ruang gerak leher karena proses inflamasi pada
leher.
Page 23
26
Riwayat penyakit dahulu sangat bermanfaat untuk melokalisasi etiologi
dan
perjalanan abses pasien seharus ditanya :
1. tentang riwayat tonsillitis dan peritonsil abses.
2. riwayat trauma retrofaring contoh intubasi
3. dental caries dan abses.
2.5 Sinusitis
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus
maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad,
2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya
adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008).
2.5.1 Anatomi Sinus Maksilaris
Batas-batas dinding Sinus Maksilaris:
a. Dinding anterior : permukaan fasial os maksila (fossa kanina)
b. Dinding posterior : permukaan infra-temporal maksila
c. Dinding medial : dinding lateral rongga hidung
d. Dinding superior : dasar orbita
e. Dinding inferior : prosesus alveolaris dan palatum
Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semi lunaris melalui infundibulum etmoid. Sepertiga tengah
dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus
maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini dinamakan kompleks
ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang
Page 24
27
prosesus uncinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior
dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2007)
Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu
diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi
taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui
infundibulum yang
sempit.
Infundibulum
adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan
pembengkakan
akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat
menghalangi
drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Page 25
28
Gambar 2.5 Anatomi Sinus Maksila (Netter, 2006)
2.5.2 Sinusitis Maksilaris Odontogen
2.5.2.1 Definisi
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput
lendir sinus paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan
cairan atau kerusakan tulang di bawahnya, terutama pada daerah fossa kanina dan
menyebabkan sekret purulen, nafas bau, post nasal drip. (Herawati dan Rukmini,
2003)
Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus. Penyebab utamanya adalah
selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat
diikuti oleh infeksi bakteri. (Soepardi et al., 2011)
2.5.2.2 Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis yaitu akut
dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas
sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik
jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu
infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011).
Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut
dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi
kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen
terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe
dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan
sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.5.2.3 Insiden dan Epidemiologi
Page 26
29
Menurut Wald (1990) insiden pada orang dewasa di Amerika antara 10-15%
dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di
Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak
sepuluh persen, kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut
Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada
sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental,
khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis
maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan
terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan
pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis
dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan
yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).
2.5.2.4. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :
a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi
kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada
kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis,
walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh
tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya
dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari
membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu, Padwa,
Robsen, dan Rahbar, 2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus
maksila (Ross, 1999)
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan
akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001).
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler
dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
Page 27
30
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).
2.5.2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus
dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat
dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda.
Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri, bersifat sebagai
antimikroba serta mengandung zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya
berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya
sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium
sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang
kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan
retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena
infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga
jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu, Padwa, Robsen, dan Rahbar,
2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai
selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung
lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus.
Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus
menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila
(Drake, 1997).
Page 28
31
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan
dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung.
Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan
menyebabkan sinusitis.
2.5.2.6 Manifestasi Klinis
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri
kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya
seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan
kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow,
2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri
di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar
dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga
seringkali ada (Sobol,2011).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan
rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis
maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus
yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal
mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen
menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001). Kriteria Saphiro
dan Rachelefsky:
a. Gejala Mayor:
1) Rhinorea purulen
2) Drainase Post Nasal
3) Batuk
b. Gejala Minor:
1) Demam
2) Nyeri Kepala
3) Foeter ex oral
Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 atau lebih gejala minor. (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007)
Page 29
32
2.5.2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan
nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik
dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk
diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema,
dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang
terkena. Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi
atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan
maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus
mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas
ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan
frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan
sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain
itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana
pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post
nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan.
Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang
akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (air-fluid level) pada
sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus
merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus,
adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis
kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan
operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil
sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat
Page 30
33
guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi
oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis.
Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi
oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya
timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999).
Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding
medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
2.5.2.8 Komplikasi
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis dan
fistula oroantral. (Balaji, 2007) Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata
sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis
akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita
atau intrakranial. (Soepardi et al., 2011)
2.5.2.9 Oro Antral Fistula Pada Sinusitis Maksilaris
Fistula oroantral merupakan suatu saluran yang menghubungkan rongga
dasar sinus maksilaris dengan rongga mulut. Fistula oroantral ini merupakan suatu
komplikasi akibat tindakan pencabutan gigi molar 1, 2 atau premolar 2. Selain itu,
dapat juga diakibatkan oleh trauma iatrogenik, infeksi, tumor ganas, osteomyelitis
dan sifilis (Kamdjaja, 2008; Yilmaz et al, 2003; Khitab et al, 2010).
Dikutip dari Sokler K4, Guven pada tahun 1998 menemukan bahwa fistula
oroantral banyak terjadi pada usia dekade ketiga. Dikutip dari Meirelles, Lin pada
tahun 1991, melaporkan bahwa perkembangan rongga sinus pada wanita lebih
besar dan dasar rongga sinus lebih tipis daripada pria sehingga fistula oroantral
lebih banyak terjadi pada pria. Sinus maksilaris mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Bila terjadi infeksi atau
kondisi patologis lainnya berupa kista radikuler atau granuloma periapikal pada
ujung akar gigi dapat menyebabkan terjadinya penipisan tulang dasar sinus
Page 31
34
maksilaris. Setelah dilakukan ekstraksi gigi premolar dan molar atas dapat
menyebabkan terjadinya fistula oroantral sehingga kuman dari rongga mulut dapat
masuk ke dalam sinus yang menimbulkan terjadinya sinusitis maksilaris
(Meirelles et al, 2008).
Pada dasar sinus maksilaris terdapat tiga jenis fistula yaitu fistula oronasal,
oroantral dan oroantronasal5. Fistula oroantral dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukurannya, ukuran kecil (kurang dari 2 mm), ukuran sedang (3-5 mm) dan ukuran
besar (lebih dari 5 mm). Pada ukuran kecil (kurang 2 mm) cenderung akan
menutup dengan sendirinya, tetapi bila dalam waktu tiga minggu tidak terjadi
penutupan perlu dilakukan tindakan operasi (Meirelles et al, 2008; Lore et al,
2005).
Gejala yang ditimbulkan berupa sekret purulen melewati fistula yang
berasal dari rongga sinus maksilaris dan pada saat minum pasien terasa adanya
cairan yang masuk ke dalam hidung melewati fistula (Sokler et al, 2001; Sulastra
et al, 2009). Pemeriksaan radiologi berupa foto polos panoramik berguna untuk
melihat keadaan akar gigi sehingga setelah tindakan ekstraksi gigi tidak terjadi
fistula oroantral. Pada tomografi komputer ditemukandiskontinuitas dinding dasar
sinus maksilaris, tampakadanya perselubungan opak di sinus maksilaris dan
atrofifokal alveolar. Atrofi tulang alveolar terlihat di segmen yang berdekatan
dengan fistula (Meirelles et al, 2008).
Berpedoman pada ukuran fistula oroantral dapat ditentukan teknik
menutup fistula. Bila ukuran kurang dari 2 mm dilakukan observasi selama tiga
minggu, bila tidak terjadi penutupan fistula oroantral secara spontan dapat
dilakukan tindakan penjahitan mukosa atau teknik jabir alveolaris. Ukuran 3-4
mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik buccal flap. Ukuran
lebih dari 5 mm dilakukan penutupan fistula oroantral dengan teknik palatal flap
(Lore et al, 2005).
2.6 Sub Bacteria Endocarditis
Salah satu penyakit gigi dan mulut dengan penyakit sistemik yang erat
hubungannya dengan terjadinya Endikarditis Bakterial adalah fokalinfeksi.
Adanya fokal infeksi pada mulut dapat menginfeksi jantung melalui aliran
Page 32
35
sistematis. Dimana gigi sendiri sebagai fokal infeksi terkadang tidak punya
keluhan apa-apa tapi menyebarnya bakteri dan toksinnya secara bacterinial
septikamia. Bakteri inilah yang sampai ke jantung dandapat masuk ke lapisan otot
atau katup jantung. Endokarditis bakterial yang disebabkan oleh fokal infeksi
adalah yang bersifat subakut. Kuman penyebab utamanya Alphahemolytis
Streptocxocci, yang banyak terdapat di rongga mulut, disamping Stafiplococi,
Bota hemolytic Streptococci gonococci dan lain-lain. Organisme dapat memasuki
tubuh dalam banyak hal termasuk setelah pencabutan gigi dan pengobatan
konservatif yang luas, termasuk scalling (Horskotte, 2000).
2.6.1 Definisi
Endokarditis Bakterial adalah penyakit infeksi oleh organisme pada
permukaan endokardial atau jaringan endothelial jantung, termasuk katup jantung
(baik yang alami atau prostetik), endokardium muralis, korda tendinae atau defek
septum. Nama lain dari endokarditis infektif adalah endokarditis bakterial. Lesi
yang khas pada endokarditis infektif adalah vegetasi yang terdiri daritrombosit,
fibrin, mikroorganisme dan sel-sel radang. Endokarditis infektif biasanya terjadi
pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit jantung yangmendahului
endokarditis, bisa berupa penyakit jantung bawaan maupun penyakit jantung
yangdidapat. Dahulu diduga infeksi pada endokard hanya disebabkan oleh bakteri,
sehingga disebut endokarditis bakterial. Kemudian ternyata bahwa infeksi bukan
saja disebabkan oleh bakteri tetapi dapat juga disebabkan oleh mikroorganisme
lain, seperti jamur, virus dan lain-lain. Endokarditis juga bisa terjadi pada
endokard dan katup yang sehat, misalnya endokarditis yangterjadi pada
penyalahgunaan narkotik intravena dan penyakit yang kronik. Perjalanan
penyakit bisa akut atau sub-akut bergantung pada virulensi mikroorganisme dan
daya tahan pasien (Li et al, 2000).
2.6.2 Epidemiologi
Terdapat perubahan epidemiologi endokarditis infektif pada saat sekarang
yang disebabkan tingkat kesehatan umum yang baik, tingkat kesehatan gigi yang
baik, pengobatan yang lebih dini dan penggunaan antibiotik. Insidens
Page 33
36
endokarditis 10-60 kasus per 1.000.000 penduduk per tahun diseluruh dunia dan
cenderung meningkat pada usia lanjut. Faktor predisposisi dan faktor pencetus
dapat dibagi dua, yaitu kelainan jantung organik dan tanpa kelainan jantung
organik. Kelainan jantung organik dapat berupa penyakit jantung reumatik,
penyakit jantung bawaan, katup jantung prostetik, penyakit jantung sklerotik,
prolaps katup mitral, operasi jantung, kardiomiopati hipertrofi obstruktif.
Endokarditis infektif sub-akut sering timbul pada penyakit jantung reumatik
dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering mengenai katup aorta dan mitral.
Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis infektif adalah penyakit
jantung bawaan tanpa sianosis dengan deformitas katup dan tetralogi fallot. Bila
tidak ada kelainan organik pada jantung, maka faktor predisposisi endokarditis
infektif adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, hemodialisis
atau dialysis peritoneal,sirosis hati, diabetes mellitus, penyakit paru obstruktif
kronik, penyakit ginjal, lupuseritematosus, gout, penyalahgunaan narkotik
intravena. Faktor pencetus endokarditis infektif adalah ekstraksi gigi atau tindakan
lain pada mulut,tindakan pada traktus respiratorius (tonsilektomi dan
adenoidektomi, bronkoskopi, tindakan bedah), tindakan pada traktus
gastrointestinal (skleroterapi, operasi traktus biliaris, endoskopi), tindakan pada
traktus genitourinarius (kateterisasi, operasi prostate, sitoskopi), atau
tindakanobstetric-ginekologis (Renzulli et al, 2001).
2.6.3 Etiologi
Sumber-sumber infeksi yang dapat menjadi fokal infeksi yang terdapat di
mulut dan gigi sehingga dapat menginfeksi jantung dan menimbulkan
endokarditis adalah sisa akar, pulpitis kronik, periodontal pocket dan penyakit
periodontal lainnya, penyakit periapikal kronis dan giginonvital yang tidak
dirawat (Piper et al, 2001)
Sering pasien tidak mengetahui dengan jelas sejak kapan penyakitnya
timbul. Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah
pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang
sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten
ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak demam 38-
Page 34
37
40oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti menggigil dan
kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang bersifat progresif dan
dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala emboli dan vascular berupa
ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok, mata dan juga pada semua bagian
kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih pucat, dan bisa terjadi di retina yang
disebut Roth’s spot. Emboli yang timbul sub-ungual jari tangan dan kaki yang
berbentuk linier disebut Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Osler’s
nodes yaitu penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di
bagian dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar
dapat tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan
saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner dapat
menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru – paru dapat terjadi abses
paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan adanya kelainan
katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar endokarditis sub-akut didahului
oleh penyakit jantung (Renzulli et al, 2001)
2.6.4 Patogenesis
Port d’entrée kuman yang paling sering adalah saluran pernafasan bagian
atas, selain itu juga melalui saluran kemih dan genital, saluran pencernaan,
pembuluh darah vena dan kulit (Soeparman, 1987).
Endokard yang rusak dan tidak rata mudah terinfeksi oleh
mikroorganisme, menimbulkan vegetasi yang terdiri dari trombosit dan fibrin.
Vaskularisasi jaringan granular tersebut biasanya tidak baik, sehingga
memudahkan mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah
kerusakan katup dan endokard, kuman yang sangat pathogen dapat menyebabkan
robeknya katup sehingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan mudahnya meluas ke
jaringan sekitarnya menimbulkan abses miokard atau aneurisma mikotik. Bila
infeksi mengenai korda tendinae maka dapat terjadi rupture, mengakibatkan
terjadinya kebocoran katup. Endokarditis akut, terutama yang disebabkan
Staphylococcus aureus disertai abses pada lingkaran katup (Soeparman, 1987).
Pembentukan thrombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari
endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infektif. Besarnya
Page 35
38
emboli bermacam-macam. Emboli yang disebabkan oleh jamur biasanya lebih
besar, menyangkut dan menyumbat pembuluh darah besar pula. Tromboemboli
yang infeksius bisa tersangkut di otak, limpa, ginjal, saluran cerna, jantung,
anggota gerak, kulit dan paru (Soeparman, 1987).
2.6.5 Manifestasi
Pada beberapa pasien, manifestasi penyakit menjadi jelas sesudah
pencabutan gigi, infeksi saluran nafas atau tindakan lain. Gejala umum yang
sering ditemukan adalah demam yang berlangsung terus menerus, remitten
ataupun intermitten, atau sama sekali tidak teratur. Umumnya puncak demam 38-
40oC dan terjadi pada sore atau malam hari. Sering diikuti menggigil dan
kemudian berkeringat banyak. Dapat terjadi anemia yang bersifat progresif dan
dapat pula ditemui pembesaran hati dan limpa. Gejala emboli dan vascular berupa
ptekie biasanya timbul pada mukosa tenggorok, mata dan juga pada semua bagian
kulit. Bagian tengah ptekie biasanya lebih pucat, dan bisa terjadi di retina yang
disebut Roth’s spot. Emboli yang timbul sub-lingual jari tangan dan kaki yang
berbentuk linier disebut Splinter hemorrhages. Lesi yang spesifik adalah Osler’s
nodes yaitu penonjolan kulit berwarna merah jambu atau merah, yang terdapat di
bagian dalam jari, otot tenar dan hipotenar, bersifat nyeri. Emboli yang besar
dapat tersangkut di otak sehingga bisa menimbulkan hemiplegi, atau gangguan
saraf sentral lain atau gangguan psikiatri. Bila tersangkut di arteri koroner dapat
menyebabkan infark miokard akut, dan jika di paru – paru dapat terjadi abses
paru. Tanda-tanda kelainan jantung penting untuk menentukan adanya kelainan
katup atau kelainan bawaan karena sebagian besar endokarditis sub-akut didahului
oleh penyakit jantung (Soeparman, 1987).
2.6.6 Pemeriksaan
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat leukositosis (neutrofilia), anemia
normositik normokrom, peningkatan laju endap darah (LED), immunoglobulin
serum meningkat, uji fraksi gamaglobulin positif, total hemolitik komplemen dan
komplemen C3 dalam serum menurun, C-reactive protein walau tidak spesifik
meningkat, faktor rheumatoid positif, serta kadar bilirubin darah sedikit
Page 36
39
meningkat. Pada pemeriksaan urin didapat proteinuria dan mikrohematuria
(Soeparman, 1987).
Yang terpenting adalah kultur darah untuk menentukan mikroorganisme
penyebab yang sedikitnya dua kali memberikan hasil yang sama dan uji resistensi
antibiotik untuk menentukan antibiotik yang tepat. Elektrokardiografi (EKG)
diperlukan untuk mencari infark yang tersembunyi yang disebabkan emboli atau
vegetasi pada arteri koronaria dan gangguan hantaran yang disebabkan oleh
endokarditis. Ekokardiografi diperlukan untuk melihat vegetasi pada katup aorta
terutama vegetasi yang besar (>5 mm), melihat dilatasi atau hipertrofi atrium atau
ventrikel yang progresif, mencari penyakit yang menjadi predisposisi endokarditis
seperti prolaps mitral, dan melihat penutupan katup mitral yang lebih dini yang
menunjukan kerusakan pada katup aorta. Photo thoraks penting dilakukan untuk
mencari tanda – tanda gagal jantung kongestif sebagai salah satu komplikasi
(Soeparman, 1987).
2.7 Penatalaksanaan
2.7.1 Vestibular Abses
Terapi yang dapat diberikan pada vestibular abses adalah drainase pada
puncak fluktuasi, pemberian antibiotic untuk pencengah penyebaran infeksi,
pemberian analgesic sebagai pereda nyeri serta ekstraksi gigi. Perawatan pada
abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan jalan
keluar nanah secara bedah ( dengan scapel ). Drainase adalah tindakan eksplorasi
pada facial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan,
biasanya dengan menggunakan hemostat. Untuk mempertahankan drainase dari
pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain ( karet )
atau pen rose drain ( kasa ), untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum
drainase pus tuntas. ( Daud and Karasutisna, 2001; Lopez - Piriz et al., 2007 )
Page 37
40
Gambar 2.6 Hemostat diinsersikan ke dalam kavitas ruang abses
Gambar 2.7 Pemasangan rubber drain pada daerah abses.
Pencabutan dilakukan setelah gejala akut mereda. Apabila sudah terjadi
drainase spontan ( sudah ada fistula ) maka dapat langsung dilakukan pencabutan
gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat ( menjadi penyebab abses )
biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita
membaik. Dalam keadaan abses yng akut, tidak boleh dilakukan pencabutan gigi
karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga
mungkin terjadi osteomyelitis ( Karasutisna, 2001; Lopez - Piriz et al., 2007 ).
Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah
terjadinya perluasan abses / infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit,
menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki
vaskularisasi jaringan ( karena pada daerah abses, vaskularisasi jaringan
berkurang), sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada, pada
pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat
drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan
melakukan open bur dan ekstirpasi jaringan pulpa nekrotik, atau dengan
pencabutan gigi penyebab ( Karasutisna, 2001 ).
Page 38
41
Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan
tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor mikrobiologi penting
pada saat memilih antibiotik. Pertama, antibiotik harus efektif melawan organisme
Streptococcus, selama bakteri ini adalah bakteri yang paling banyak ditemukan.
Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri anaerobik sprektrum luas.
Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap organisme
Streptococcus ( aerobik dan anaerobic ), namun sayangnya antibiotik jenis ini
dapat mengalami resistensi. Penisilin dibagi menjadi penisilin murni dan semi
sintetik. Penisilin murni memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan
asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering
menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin.
Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semi sintetik antara lain
amfisilin ( sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh
penisilinase ) dan kloksisilin ( efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak dirusak
oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase) ( Soetiarto, 1997 ).
Gambar 2.8 Struktur Kimia Penisilin
Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin dan
amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga
perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik
daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar
dalam darah yang tingginya kira - kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin,
sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan
ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin
tidak ( Ganiswara, 1995 ). Namun, akhir - akhir ini penggunaan metronidazole
Page 39
42
sangat populer dalam perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki
aktivitas dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob.
Vestibular abses sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri yang
muncul akibat keradangan salah satunya disebabkan oleh adanya infeksi dento
alveolar yaitu masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui
jaringan dento alveolar ( Sukandar & Elisabeth, 1995 ). Untuk mengatasi hal
tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian obat
analgesik untuk meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat
dengan dosis optimal. Pasien dengan nyeri akut memerlukan obat yang dapat
menghilangkan nyeri dengan cepat, efek samping dari obat lebih dapat ditolerir
daripada nyerinya ( Rahayu, 2007 ).
Gambar 2.9 Mekanisme aksi NSAIDs ( Non Streroidal Antiinflammatory Drugs )
Obat anti inflamasi non steroid ( Non Streroidal Antiinflammatory Drugs /
NSAIDs ) adalah golongan obat yang terutama bekerja di perifer dan memiliki
aktivitas penghambat radang. Mekanisme kerja NSAIDs yaitu menghambat
biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase.
Efek analgesik yang ditimbulkan ini menghambat sintesis prostaglandin sehingga
dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan
kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian
Page 40
43
mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan
menimbulkan nyeri ( Ganiswara, 1995 ). Efek analgesik NSAIDs telah terlihat
dalam waktu satu jam setelah pemberian peroral. Sementara efek antiinflamasi
tampak dalam waktu 1 - 2 minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya
timbul bervariasi dari satu sampai empat minggu. Setelah pemberian peroral,
kadar puncak di dalam darah dicapai dalam waktu 1 - 3 jam setelah pemberian,
penyerapan umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan ( Arbie, 2003 ).
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai antiinflamasi,
asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat
terikat sangat kuat pada protein plasma. Oleh karena itu, interaksi terhadap obat
antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering timbul
misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam
mefenamat adalah 2 - 3 kali 250 - 500 mg sehari ( Ganiswara, 1995 ).
2.7.2 Submandibular Abses
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik ( Fachruddin, 2007 ).
Seharusnya pemberian antibiotic berdasarkan hasil biakan kuman dan tes
kepekaan terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus
segera diberikan ( Rosenblatt, 2006 ). Sebelum hasil mikrobiologi ada, diberikan
antibiotic kuman aerob dan anaerob ( Scott et al., 2001 ).
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam nikrosis bila letak abses dalam dan
luas ( Fachruddin, 2007 ). Bila adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa
endotrakea peroral. Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam
anestesi local. Jika terdapat fasilitas bronkoskop fleksibel, intubasi pipa
endotrakea dapar dilakukan secara intranasal ( Scott et al., 2001 ).
Insisi abses submandibular untuk drainase dibuat pada tempat yang paling
berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi
Page 41
44
dilakukan secara perlahan sampai mencapai ruang subingual, kemudian dipasang
salir ( Fachruddin, 2007 ).
2.7.3 Sinusitis Maksilaris
Prinsip penatalaksanaan sinusitis meliputi beberapa hal, yaitu
pengendalian infeksi dan rasa sakit , mengurangi edema jaringan , fasilitasi
drainase dan pemeliharaan sinus. Pengendalian infeksi adalah hal yang utama
harus dilakukan. Terapi Amoksisilin dianggap sebagai lini pertama pengobatan
untuk sinusitis bakteri akut, dengan dosis yang memadai yaitu, 40mg/kg/day.
Beberapa studi telah menunjukkan tingkat kesembuhan bakteriologis rata-rata
lebih besar dari 90 % dengan lini pertama pemberian obat ini. Obat Alternatif
lainnya yang dapat digunakan adalah sefalosporin generasi kedua dan ketiga
seperti cefaclor dan ceftiroxime . Ketika pasien gagal untuk pada antibiotik baris
pertama, kemungkinan penyebab adalah adanya bakteri penghasil beta laktamase
atau strain resisten . Amoksisilin klavulanat sangat efektif terhadap strain yang
resisten tersebut. (Pynn et al, 2001)
Pada anak-anak, kombinasi eritromisin dan sulfisoxazole sering dianggap
sebagai antibiotik pilihan pertama . Sinusitis akut harus ditangani oleh setidaknya
selama 14 hari karena ini memberikan klinisi kesempatan terbaik untuk
menghilangkan organisme sepenuhnya dan dengan demikian menghindari
perkembangan sinusitis kronis. Beberapa hari tambahan terapi dapat membantu
memastikan pemberantasan penyakit. Klindamisin juga menyediakan tawaran
yang baik, terutama terhadap spesies anaerob. Penambahan metronidazol untuk
penisilin juga mencakup spektrum patogen yang lebih luas. Sedangkan sinusitis
kronis memerlukan 4-6 minggu cakupan antibiotik. (Pynn et al, 2001)
Banyak penatalaksanaan farmakologis lainnya telah diresepkan untuk
pengobatan sinusitis . Agen vasokonstriktor topikal seperti phenylephrine HCL
0,5 % dan oxymetazoline HCL 0,05%, memberikan bantuan gejala hampir
langsung akibat mukosa hidung yang meradang. Dekongestan oral kortikosteroid
topikal juga sebagai pilihan yang akan membantu untuk mengurangi peradangan
sinus. Penggunaan rutin obat antihistamin harus disediakan untuk pasien yang
menunjukkan tanda-tanda sinusitis dalam hubungannya dengan alergi .
Page 42
45
Antihistamin tidak diindikasikan jika ada sedikit atau tidak ada histamin yang
diproduksi dalam sinusitis karena memiliki kemungkina pengeringan mukosa
hidung dapat menyebabkan penebalan sekresi cairan yang kontra dengan tujuan
terapi. Penatalaksanaan nyeri pada sinusitis, analgesik sering dijadikan pilihan
oleh pasien dengan infeksi sinus. Kombinasi produk non -steroid anti-
inflammatory drugs ( NSAID ) atau acetaminophen dengan dekongestan juga
dapat sebagai pilihan. Selain itu jika diperlukan anti-jamur topikal jika secara
klinis adanya kontribusi akibat jamur. (Pynn et al, 2001)
Penatalaksanaan tindakan non - farmakologis juga dijadikan pilihan pada
sinusitis akut. Semprotan saline atau irigasi membasahi hidung dan mukosa antral
dan dapat membantu sekresi cairan. Uap inhalasi juga akan mencairkan dan
melembutkan krusta hidung serta akan melembabkan mukosa yang kering akibat
inflamasi. Sedangkan penatalaksanaan sinusitis kronis dapat dilakukan dengan
tindakan bedah teknik konvensional seperti lavage antral , intranasal antrostomy
dan prosedur Caldwell - Luc untuk operasi endoskopi yang lebih modern disebut
bedah sinus endoskopi fungsional ( FESS ) . FESS memungkinkan untuk
visualisasi langsung dan lokasi yang tepat dari kelainan dan restorasi drainase
normal dengan invasi minimal. Hasil FESS baik , dengan tingkat keberhasilan
dilaporkan 80-90 % dengan beberapa compilcations. Ini adalah salah satu
prosedur bedah yang paling umum dilakukan di Amerika Utara . Tujuan utama
dari pengobatan bedah untuk membangun kembali drainase dengan menghapus
penyebab obstruktif (seperti poylps dan pelebaran ostia alami dari sinus. (Pynn et
al, 2001)
2.7.4 Sub Bacteria Endocarditis
Pemilihan antibiotik yang tepat sangat penting untuk keberhasilan
pengobatan bakteri endokarditis. Bakteri endokarditis ditandai dengan konsentrasi
tinggi yang menginfeksi organisme dalam vegetasi endokardial. Penggunaan
antibiotik tingkat tinggi selama perpanjangan waktu diperlukan untuk
memberantas organisme ini, bahkan ketika ada baik dalam sensitivitas vitro
terhadap antibiotik. Tantangannya lebih besar ketika organisme menginfeksi telah
mengurangi sensitivitas terhadap antibiotik. Pilihan terapi antibiotik didasarkan
Page 43
46
pada beberapa faktor, termasuk identitas organisme penyebab infeksi, profil
sensitivitas antibiotik organisme, farmakokinetik agen antibiotik, dan karakteristik
individu pasien (yaitu, alergi obat, fungsi ginjal). (Giessel et al, 2000)
Pengobatan endokarditis membutuhkan terapi antimikroba intensif,
kadang-kadang untuk 2, tetapi sering selama 4 sampai 6 minggu. Untuk beberapa
pasien, operasi diperlukan untuk menghilangkan jaringan yang terinfeksi dari
jantung, untuk memperbaiki penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, atau
untuk memperbaiki jantung atau katup kerusakan yang disebabkan oleh infeksi.
Untuk mencapai tujuan ini, penggantian katup jantung yang terinfeksi dengan
katup buatan mungkin diperlukan. (Cabell et al, 2003)
Viridans Streptococcus ( α - hemolytic streptococci ) adalah penyebab
paling umum dari endokarditis setelah tindakan pada gigi atau mulut, prosedur
saluran pernapasan bagian atas tertentu, bronkoskopi dengan bronkoskopi kaku
prosedur bedah yang melibatkan mukosa pernafasan, dan prosedur esofagu .
Profilaksis harus secara khusus ditujukan terhadap organisme ini.
Direkomendasikan rejimen profilaksis standar untuk semua prosedur ini adalah
dosis tunggal amoksisilin oral. Antibiotik amoksisilin, ampisilin, dan penisilin V
sama-sama efektif pada in vitro terhadap α - hemolitik streptokokus. Namun,
amoksisilin dianjurkan karena lebih baik diserap dari saluran pencernaan dan
memberikan tingkat serum yang lebih tinggi dan lebih berkelanjutan. Sebelumnya
dosis yang dianjurkan adalah 3,0 g 1 jam sebelum prosedur dan kemudian 1,5 g 6
jam setelah pemberian awal. Penelitian terbaru, pada pemberian awal 2,0 g dan
3,0 g dosis menunjukkan bahwa hasil dosis 2,0 - g kadar serum yang memadai
selama beberapa jam tidak menyebabkan efek merugikan pada gastrointestinal.
Baru – baru ini direkomendasikan dosis dewasa adalah 2,0 g amoksisilin
( dosis pediatrik adalah 50 mg / kg tidak melebihi dosis dewasa) yang akan
diberikan 1 jam sebelum prosedur sebagai antisipasi. Dosis kedua tidak
diperlukan, jika terjadi perpajangann atas konsentrasi hambat minimal paling dan
aktivitas penghambatan disebabkan oleh amoksisilin terhadap strain tersebut
selama 6 sampai 14 jam . Bagi individu yang tidak mampu menyerap obat-obat
oral, secara parenteral mungkin diperlukan. Ampisilin sodium dianjurkan karena
amoksisilin parenteral tidak tersedia di Amerika Serikat. Individu yang alergi
Page 44
47
terhadap penisilin ( seperti amoksisilin , ampisilin , atau penisilin ) harus diobati
dengan rejimen alternatif yang disediakan. Hidroklorida Klindamisin merupakan
salah satu alternatif yang disarankan. Individu yang dapat mentolerir sefalosporin
generasi pertama ( cephalexin atau sefadroksil ) dapat menerima pemberian ini ,
asalkan mereka tidak memiliki IgE -mediated reaksi alergi anafilaktik langsung,
lokal , atau sistemik terhadap penisilin . Azitromisin atau klaritromisin juga agen
alternatif yang dapat diterima untuk individu alergi penisilin, meskipun mereka
lebih mahal daripada rejimen lain. Ketika pemberian parenteral dibutuhkan dalam
individu yang alergi terhadap penisilin, klindamisin fosfat dianjurkan dan
cefazolin dapat digunakan jika individu tidak memiliki tipe langsung
hipersensitivitas anafilaksis lokal atau sistemik terhadap penisilin. Rekomendasi
sebelumnya dari komite ini adalah eritromisin sebagai agen alternatif untuk pasien
alergi penisilin. Eritromisin tidak lagi dimasukkan karena gastrointestinal
farmakokinetik yang menyebabkan sedikit yang diserap. (Dajani et al, 1997)
Tabel 2.2 Dosis Pemberian Antibiotik Pada Sub Bacteria Endocarditis (AHA,
2007)
Situation Agent Regimen
Standard general
prophylaxis
Amoxicillin Adults: 2.0 g; children: 50 mg/kg orally 1 h
before procedure
Unable to take oral
medications
Ampicillin Adults: 2.0 g IM or IV; children: 50 mg/kg IM
or IV within 30 min before procedure
Allergic to penicillin Clindamycin or Adults: 600 mg; children: 20 mg/kg orally 1 h
before procedure
Cephalexin2or
cefadroxil2or
Adults: 2.0 g; children; 50 mg/kg orally 1 h
before procedure
Azithromycin or
clarithromycin
Adults: 500 mg; children: 15 mg/kg orally 1 h
before procedure
Allergic to penicillin
and unable to take oral
medications
Clindamycin or
Cefazolin2
Adults: 600 mg; children: 20 mg/kg IV within
30 min before procedure Adults: 1.0 g; children:
25 mg/kg IM or IV within 30 min before
procedure
Page 45
48
Penatalaksanaan Infeksi Odontogen
Prinsip perawatan Infeksi Odontogen:
Langkah pertama dalam mengevaluasi pasien adalah untuk menentukan tingkat keparahan infeksi. Hal ini dilakukan untuk memastikan waktu pengembangan infeksi pasien. Tanda dan gejala yang menunjukkan perlunya pemberian antibiotik dengan segera adalah trismus, demam atau menggigil, dan lymphadenitis lokal. Tanda penting dan gejala lain adalah kelemahan, pusing, takipnea dan selulitis yang menyebar.
Langkah kedua adalah evaluasi pertahanan pasien. Dokter gigi harus menyadari penyakit pasien memiliki atau obat-obatan yang ia dapat mengambil yang mungkin dapat mempengaruhi kondisi pasien. Keadaan khusus yang memerlukan penggunaan antibiotik profilaksis termasuk bacteremia, imunosupresi, transplantasi organ dan diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Pemberian antibiotik tidak dipandang perlu pada kasus edema paska trauma, sakit karena pulpitis atau trauma, lokal abses, fistula kecil dari sebuah gigi nonvital, peradangan periodontium sekitar gigi, dry socket, dan gingivitis yang tidak menimbulkan komplikasi.
Langkah ketiga adalah bedah, yang mencakup pembersihan dan pembuangan jaringan nekrotik. Kebutuhan terapi endodontic atau ekstraksi gigi tergantung pada peradangan dan yang merupakan area fokus utama dari infeksi merupakan prioritas. Efektifitas tearapi bedah menuntut pengetahuan yang terperinci tentang potensi jalur dari menyebar dari infeksi, yang tidak kalah penting penting adalah waktu sayatan dan drainase.
Page 46
49
Langkah keempat adalah pemberian antibiotik, yang berdasarkan pada mikroorganisme penyebab infeksi tersebut. Akhirnya, langkah kelima adalah evaluasi dari pasien, dalam rangka untuk mengevaluasi pasien dalam merespon terapi dan untuk menyelidiki setiap reaksi yang merugikan atau yang luar biasa.Tanggapan positif untuk terapi ini memang diharapkan dalam waktu 48 jam dan terapi ini memang harus terus selama 3 hari setelah gejala telah diselesaikan. Pemilihan antibiotik yang paling tepat untuk individu pasien membutuhkan pengetahuan tentang efektivitas mikrobial, kontraindikasi, dan biaya dari antibiotik yang paling umum digunakan untuk pengobatan infeksi odontogenik.
Terapi Antibiotik
PENICILLIN
Penicillin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Baik yang alami maupun semisintesis mempunyai aktivitas bakteriosidal sprektum luas, dan bekerja dengan jalan mengganggu pembentukan dan keutuhan dinding sel bakteri.
Penicillin V tersedia dalam bentuk tablet 125-250mg, dan 500 mg. Dosis untuk dewasa adalah 500 mg tiap 6 jam sesudah dosis awal 1 gram, dengan kisaran sampai dengan 2 gram empat kali sehari. Penicillin V juga tersedia dalam bentuk suspensi untuk anak-anak dengan dosis 125 atau 250 mg/ 5 ml. Dosis biasa untuk anak dibawah 12 tahun adalah 15-62,5 mg/kg per berat badan, dibagi menjadi tiga sampai enam kali sehari.
Penicillin adalah obat utama untuk mengobati sebagian besar penyakit infeksi orofasialdan untuk profilaksis pada pasien resiko tinggi terhadap infeksi, apabila tidak ada riwayat alergi.
CEPHALOSPORIN
Cephalosporin secara struktural dan farmakologis mirip dengan penicillin. Bersifat bakterisid terhadap Streptococcus da Staphylococcus tetapi tidak efektif terhadap sebagian coccus gram negatif dan batang yang sering terlibat dalam infeksi orofasial.
Dosis pemakaiannya adalah 1-4 mg per hari dibagi dalam beberapa dosis (setiap 6 jam atau dua kali sehari) untuk dewasa dan 25-50 mg/ kg berat badan/hari, dibagi menjadi empat dosis untuk anak-anak.
CLINDAMYCIN
Clindamycin merupakan derivat dari lincomycin. Bersifat bakterisid yaitu dengan cara menghambat sintesis protein. Walaupun clindamycin efektif terhadap sebagian bakteri gram positif, indikasinya terutama untuk perawatan infeksi yang disebabkan oleh coccus gram positif anaerob dan batang gram negatif.
Page 47
50
Dosis oral untuk infeksi serius pada orang dewasa adalah 150-300 mg tiap 6 jam sedangkan untuk infeksi yang lebih parah dosisnya bisa mencapai 300-450 mg tiap 6 jam. Dosis untuk anak-anak berkisar antara 8-16 mg/ kg berat badan perhari untuk infeksi serius dan 16-20 mg/kg berat badan per hari untuk infeksi yang lebih serius. Clindamycin dicadangkan untuk infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri anaerob yang rentan terhadap obat ini, dan pada kasus dimana respons terhadap penicillin kurang baik. Indikasi lainnya adalah pada pasien yang mengalami infeksi yang parah dan alergi terhadap penicillin.
Abses Spasia Parotid
Page 48
51
Lokasi dari abses ini terletak pada area ramus mandibula, khususnya pada lapisan fasia dari kelenjar parotid. Area ini berhubungan dengan spasia lateral faringeal dan spasia mandibula. Area ini berisi kelenjar parotid dan duktusnya, arteri karotid eksternal dan superfisial temporal, vena retromandibular, nervus auricotemporal dan nervus facialis. Infeksi spasia ini berasal dari infeksi odontogenik yang merupakan migrasi dari infeksi spasia lateral faringeal dan submandibular. Gambaran klinis dari abses ini berupa edema pada daerah retromandibular dan parotid. Gambaran subyektif dari penderita berupa kesulitan saat menelan dan sakit yang menjalar hingga area telinga dan temporal saat mengunyah. Pada beberapa kasus terdapat kemerahan dan fluktuasi subkutan. Juga ditemukan adanya eksudat purulen saat ditekan.
Penatalaksanaan:
Page 49
52
Insisi dilakukan tergantung pada margin dari edema. Terapi memerlukan luas sayatan dari posterior ke sudut mandibula. Diperlukan perawatan khusus agar tidak melukai cabang-cabang dari nervus fasialis. Drainase dari pus dilakukan setelah blunt dissection menggunakan hemostat untuk mengeksplor kumpulan dari eksudat yang purulen.
Selulitis (Phlegmon)
Selulitis merupakan sebuah kondisi akut dan infiltrasi difusse. Ditandai inflamasi dari jaringan ikat longgar di bawah kulit. Diyakini bahwa istilah selulitis dan phlegmon menggambarkan keadaan yang sama. Etiologi dari kasus ini disebabkan oleh gigi yang terinfeksi dan biasanya merupakan infeksi campuran. Diduga mikoroorganisme penyebab selulitis adalah mikroorganisme aerobik dan anaerobik streptokokus dan staphylococci.
Gejala yang timbul yaitu rasa sakit, pembengkakan, trismus, disfagia, limfadenitis, demam, dan malaise. Pada mulanya, pembengkakan yang terjadi bersifat terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua ruangan fasial ang batasnya diffuse. Palpasi pada regio tersebut biasanya mengungkapkan bahwa konsistensinya sangat lunak dan spongious. Apabila pertahanan tubuh penderita menjadi lebih efektif, maka akan terjadi pembentukan infiltrat regional, dan konsistensi pembengkakan menjadi keras. Pada saat ini terjadi purulensi dan biasanya diffuse (tidak terlokalisir).
Penatalaksanaan: Terapi farmasi dengan pemberian antibiotik dosis besar (penisilin atau ampicillin parenteral). Drainase dapat dilakukan dalam satu waktu atau lebih untuk mengevakuasi eksudat purulen. Dalam kasus-kasus serius rujukan pasien ke rumah sakit dianjurkan.
Page 50
53
Ludwig’s Angina
Ludwig’s Angina adalah infeksi selular akut yang ditandai oleh keterlibatan bilateral dari spasia sublingual dan submandibula serta ruang submental. Di masa lalu, kondisi ini adalah fatal, meskipun telah ada pengobatan bedah yang memadai dan terapi antibiotik yang bagus. Penyebab paling sering penyakit adalah infeksi periapikal atau periodontal mandibula, terutama dari orang-orang yang memiliki apeks gigi yang ditemukan di bawah otot mylohyoid. Gambaran klinis dari penyakit ini berupa kesulitan menelan, berbicara dan pernapasan. Peningkatan saliva dan peningkatan temperatur tubuh juga ditemukan. Keterlibatan bilateral submandibula ruang dan ruang submental menyebabkan indurasi yang keras seperti papan, tidak ada fluktuasi, karena nanah terlokalisasi dalam jaringan.
Penatalaksanaan:
Dilakukan pembedahan dengan bedah dekompresi (drainase) ruang infeksi dan pemberian bersamaan dengan antibiotik. Intervensi bedah harus berhasil menguras semua spasia yang terkena abses. Sayatan harus dilalukan bilateral, ekstraoral, paralel, dan medial ke perbatasan inferior mandibula, di wilayah premolar dan molar dan intraoral, sejajar dengan saluran dari kelenjar submandibula. Eksplorasi dan upaya untuk mencapai ruang infeksi, dengan membagi septa-septa tersebut untuk memudahkan drainase. Rubber drains ditempatkan untuk menjaga area drainase yang terbuka untuk setidaknya 3 hari, sampai gejala klinis infeksi telah selesai. Banyak orang percaya bahwa dalam kasus ini terus obstruksi saluran napas harus selalu dilakukan.
Sumber:
Page 51
54
Fragiskos D. Fragiskos. 2007. Oral Surgery. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Pedersen, G.W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.
6. manajemen bedah infeksi odontogenik
Prinsip utama dari manajemen bedah infeksi odontogenik adalah untuk melakukan
drainase bedah dan untuk menghilangkan penyebab infeksi. Manajemen bedah dapat berkisar
dari sesuatu yang sederhana sebagai pemusnahan endodontik dari pulpa gigi nekrotik untuk pengobatan
serumit sayatan lebar jaringan lunak di daerah submandibula dan leher untuk
56 A Textbook of Advanced Mulut dan Maksilofasial Bedah
infeksi berat. Tujuan utama dalam manajemen bedah infeksi adalah untuk menghapus penyebabnya
infeksi dan untuk menyediakan drainase akumulasi nanah dan puing-puing nekrotik. Sayatan bedah
dan drainase membantu untuk menyingkirkan material purulen beracun, untuk dekompresi jaringan edema, untuk
memungkinkan perfusi yang lebih baik dari darah, yang mengandung unsur antibiotik dan pertahanan, dan untuk meningkatkan
oksigenasi dari daerah yang terinfeksi. Ketika abses dikeringkan pembedahan, sesuai gigi
pengobatan juga harus dilembagakan untuk mencapai resolusi cepat. Ini mungkin melibatkan eksplorasi
baik seluruh ruang anatomis atau rongga abses. Rongga abses kemudian irigasi
dengan betadine dan larutan garam. Sebuah saluran dimasukkan ke kedalaman ruang. Mungkin hanya
melewati sayatan tunggal dan tetap berada di kedalaman ruang, atau mungkin throughand-melalui
tiriskan. Sia biasanya diamankan ke salah satu margin sayatan dengan
Page 52
55
jahitan. Metode membuka abses memastikan bahwa tidak ada pembuluh darah atau saraf di daerah
rusak, dan dapat didefinisikan dalam sepuluh langkah:
1. anestesi topikal. Anestesi lokal dicapai dengan bantuan etil klorida semprot;
anestesi lokal kemudian dapat dicapai dengan penyumbatan cincin subkutan menggunakan lokal
solusi anestesi, seperti articaine + epinefrin atau lidokain + epinefrin.
2. Insisi. Ini dibuat atas titik fluktuasi di daerah yang paling bergantung sepanjang
lipatan kulit, melalui kulit rusak dan jaringan subkutan.
3. Jika nanah tidak ditemui, pendalaman lebih lanjut dari situs bedah dicapai dengan sinus
tang.
4. tang Tertutup didorong melalui fasia dalam dan maju ke arah nanah
koleksi.
5. Rongga abses dimasukkan dan forsep dibuka di arah sejajar dengan struktur vital.
6. Nanah mengalir sepanjang sisi sayatan. [Gambar 3]
7. Jelajahi seluruh rongga untuk lokus tambahan.
8. Penempatan saluran pembuangan. Sebuah karet saluran bergelombang lembut dimasukkan ke kedalaman
rongga abses, dan bagian eksternal dijamin untuk margin luka dengan bantuan
jahitan. [Gambar 4]
9. Saluran dibiarkan di tempat selama setidaknya 24 jam.
10. Sebuah ganti diaplikasikan di atas lokasi sayatan, tanpa tekanan.
Tujuan dari saluran ini adalah untuk memungkinkan keluarnya cairan jaringan dan nanah dari luka oleh
menjaganya agar tetap paten. Sia juga memungkinkan debridement dari abses rongga oleh irigasi. Jaringan
Page 53
56
cairan mengalir sepanjang permukaan tiriskan. Dengan demikian, hal ini tidak selalu diperlukan untuk membuat perforasi di
drain, yang bisa melemahkan dan mungkin menimbulkan fragmentasi dalam jaringan. Saluran air
harus dihapus ketika drainase hampir selesai. Saluran air telah ditunjukkan untuk memungkinkan
masuknya kulit flora sepanjang permukaan mereka. Beberapa bentuk saluran air, seperti saluran air lateks khususnya,
dapat mengiritasi jaringan sekitarnya dan dapat merangsang diri mereka sendiri beberapa eksudat
formasi. Dengan demikian, saluran air biasanya meninggalkan luka yang terinfeksi selama 2-7 hari. Penghapusan dicapai
dengan hanya memotong jahitan dan tergelincir mengalir dari luka.
Infeksi odontogenik
http://dx.doi.org/10.5772/54645
57
Gambar 3. Drainase nanah setelah insisi.
Gambar 4. Melalui dan melalui saluran ditempatkan.
Hal ini penting untuk diingat bahwa metode utama untuk mengobati infeksi odontogenik adalah
operasi pengangkatan sumber infeksi dan pengeringan ruang anatomi dipengaruhi oleh
selulitis indurated atau abses. Setiap kali abses atau selulitis didiagnosis, itu harus
dikeringkan oleh dokter bedah. Kegagalan untuk melakukannya akan mengakibatkan memburuknya infeksi dan kegagalan
58 A Textbook of Advanced Mulut dan Maksilofasial Bedah
infeksi untuk menyelesaikan, bahkan jika diberikan antibiotik. Bahkan jika gigi tidak dapat dibuka atau
diekstrak, prosedur insisi dan drainase harus dilakukan [12,13].