Get Homework/Assignment Done Homeworkping.com Homework Help https://www.homeworkping.com/ Research Paper help https://www.homeworkping.com/ Online Tutoring https://www.homeworkping.com/ click here for freelancing tutoring sites IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. I No CM : 01257111
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan EF, pemahaman
mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF dengan EF yang normal masih
diteliti. Walaupun disfungsi diastolic diketahui merupakan mekanisme tunggal yang berperan
dalam perkembangan HF dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas menyatakan bahwa
mekanisme tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan vaskuler dan ventrikuler, dapat
berperan penting pula.
Patogenesis terjadinya Gagal Jantung
MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya
dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan
komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada
tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort); namun
semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada
akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF.
Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan
interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan
menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit
jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat
adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot
napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya
onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.
Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya
merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini terjadi akibat
redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat
selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk
yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan
seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk
tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala
yang relative spesifik pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal
atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan
posisi tegak.
Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien
tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena
peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan
edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui
bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali
mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.
Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing
akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner
lainnya yang menimbulkan wheezing.
Pernapasan Cheyne-Stokes
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes
umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput.
Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi
terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan
PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat
pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea.
Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah
(berat) atau napas berhenti sementara.
Edema Pulmoner Akut
Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa,
tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari
perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine
endogenous.
Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut.
Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi
katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya
diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan
segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara
bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema
pulmoner .
Gejala Lainnya
Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan
perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering
dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan
regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral,
seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat,
terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun.
Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat berperan dalam insomnia.
Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart Association) :
Kapasitas
Fungsional
Penilaian Objektif
CLASS I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri
anginal
CLASS II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik
ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa
mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
CLASS III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna pada
aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik yang
lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri
anginal.
CLASS IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung
atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.
DIAGNOSIS
Kriteria Framingham dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria mayor:
1. Paroksismal nocturnal dyspneu
2. Distensis vena lehar
3. Ronki basah di basal paru
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peninggian tekanan vena jugularis
8. Refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1. Edema ekstremitas
2. Batuk malam hari
3. Dyspnea d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan Kapasitas vital 1/3 dari normal
7. Takikardi (>120x/mnt)
Mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 Kg dalam 5 hari pengobatan
Diagnosa ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada
pada saat yang bersamaan.
PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG
Apabila sindroma gagal jantung belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/
LV dysfunction (tahap asimptomatik), maka keluhan seperti fatik, sesak napas, edema,
peningkatan vena jugularis, asites, kardiomegali dan hepatomegali kurang jelas. Oleh karena itu
dapat digunakan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menopang diagnosis seperti
pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Terapi dalam gagal jantung diuretic oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak
pengobatan gagal jantung sampai oedem atau asites hilang (tercapai euvolemik). Ace-Inhihitor
atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik tercapai
sampai dosis optimal. Beta blocker sampai optimal dapat dimulai setelah diuretic dan ACE-
inhobitor itu diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau
ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah
terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin yang meningkat) atau kadar kalium yang
rendah (kurang dari 3,5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretic atau pada pasien dengan
hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian
obat jenis ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti Brain Natriuretic Peptide (Nesiritide)
masih dalam penelitian. Pemakaian alat bantu seperti Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)
maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrilator) sebagai alat mencegah mati
mendadak pada gagal jantung akibat iskemia atau non-iskemi dapat memperbaiki status
fungsional atau kualitas hidup, tetapi biayanya sangat mahal. Berikut adalah Algoritma yang
mungkin bisa digunakan untuk terapi pada gagal jantung.
Pada kasus diatas, terjadi Gagal Jantung Kongestif klas IV ec HHD. Sampai saat ini
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978
proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada
tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi
primer ( hipertensi esensial atau idiopatik ). Hanya sebagian hipertensi yang dapat ditetapkan
penyebabnya ( hipertensi sekunder ).
PATOGENESIS PENYAKIT JANTUNG
Hipertrofi Ventrikel Kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan
darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot
jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolic ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi
gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik).
KELUHAN DAN GEJALA
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada keluhan.
Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang (dizzy) dan
impoten.
2. Penyakit jantung/vascular hipertensi seperti cepet capek, sesak napas, sakit dada (iskemia
miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vascular lainnya
adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan retina, transient
serebral ischemic.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria, dan kelemahan otot
pada aldosteronisme primer, peningkatan BB dengan emosi yang labil pada Sindroma
Cushing. Feokromasitoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).
PENATALAKSANAN
Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi maka prinsip pengobatan sama dengan
pengobatan gagal jantung yang lain yaitu: diuretik, penghambat ACE/ARB, penghambat beta,
dan penghambat aldosteron.
HIPERTENSI
Hipertensi adalah tekanan arteri yang tinggi dan abnormal pada sirkulasi sistemik dengan nilai sistole minimal 140 dan diastole 90.
Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. primer : hipertensi yang belum jelas penyebabnya; 2. sekunder : hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Sebagian besar pasien hipertensi termasuk kategori primer (90%). Berikut kriteria hipertensi menurut JNC 7 (The seven report of the joint national committee on prevention,detection,evaluation, and treatment of high blood pressure).
PATOFISIOLOGI Berdasarkan hukun ohm tekanan darah arteri = Curah jantung (CO) x Resistensi Perifer Total (TPR). Maka jika ada peningkatan pada CO dan TPR,
tekanan arteri akan meningkat. Contoh peningkatan CO adalah pada perangsangan jantung yang berlebihan oleh katekolamin, sedangkan peningkatan TPR pada perangsangan angiotensin II pada arteri.
ANAMNESIS 1. Ditemukan tanda-tanda hipertensi : kaku tengkuk, kepala berat,
sakit kepala.2. Ada kelainan organ : mata kabur, sesak nafas, bengkak muka.3. Pola makan 4. Riwayat keluarga.5. Sosial ekonomi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM1. Renal fungsi tes : BUN, kreatinin dan asam urat.2. ECG dan foto thorak
PENATALAKSANAAN
1. Bed rest.2. Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam.3. Medika mentosa : - Tahap 1 : Diuretik (Lasik Injeksi, Furosemid tablet)- Tahap 2 : Diuretik + Beta bloker (propanolol, maintate)- Tahap 3 : Diuretik + Ca Antagonis (Nifedipin, Verapamil, Diltiazem)- Untuk terapi tambahn bisa juga diberikan adrenolitik sentral dan
vasodilator.4. Terapi komplikasi- apopleksi cerebri- retinopati hipertensi- edema paru akut- gangguan fungsi ginjal5. Bila desertai faktor emosional diberi minor transquilizer.
KRISIS HIPERTENSI Tensi > 200/100 mmHg disertai ancaman komplikasi target organ. Merupakan keadaan emergensi sehingga harus diturunkan dalam waktu 1 jam. Biasanya diberikan nifedipin sublingual dan klonidin injeksi. PEMBAHASAN Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara ronki basah halus di basal paru adalah khas bagi penyakit jantung. Suara whezzing yang ada pada pasien sering didapatkan pada penderita gagal jantung berat. Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan
penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron). Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan peningkatan kadar serum ureum (82 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Pada saat terjadi penurunan filtrasi glomerulus, terjadi pula laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kadar kreatinin serum penderita sebesar 2,78 mg/dl (normal 0,7-1,2 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Hal tersebut bisa terjadi karena pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR ≥ 50 persen. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan
peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi. Pada pasien akan ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 28 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan
1. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.
2. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.
B. Saran
1. Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.
2. Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Klabunde RE, PhD.. Cardiovaskuler Phisiology Concepts. 2005.
2. Onusko E, MD. Diagnosing Acute Myocardial Infarction . Clinton Memorial Hospital.Ohio.
http: //www.aafp.org.
3. Price Sylvia, Wilson Lorraine : Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Jilid 1 dan 2, edisi 4,
EGC, Jakarta, 1995, hal. 723-725 dan hal. 650.
4. Sudoyo, AR et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,Ed IV.2006. FK Universitas
Indonesia.
5. . Joesoef, H. Andang; Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.
6. 5. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
7. 6. Cutler, Jeffrey A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999 2004. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/52/5/818.