BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Norma
Kesopanan di Sekolah adalah Kemajuan dan perkembangan pendidikan
sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga perubahan
akhlak pada anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan formal informal
dan non-formal. Penerapan pendidikan akhlak pada anak sebaiknya
dilakukan sedini mungkin agar kualitas anak yang berakhlak mulia
sebagai bekal khusus bagi dirinya, umumnya bagi keluarga,
masyarakat, bangsa dan agama.
Betapa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan pada
anak-anak yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan
pendidikan yang buruk dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan
yang pahit penuh dengan kegilaan, betapa banyak sumber kejahatan
dan kerusakan yang menyeret mereka dari berbagai sudut dan tempat
berpijak.Oleh karena itu, jika para pendidik tidak dapat memikul
tanggung jawab dan amanat yang diberikan pada mereka, dan pula
tidak mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan kelainan pada
anak-anak serta upaya penanggulangannya maka akan terlihat suatu
generasi yang bergelimang dosa dan penderitaan dalam
masyarakat.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Sopan santun
1.2.2. Sopan Santun Itu Telah Hilang
1.2.3. Mengembangkan Pendidikan Anak bangsa
1.2.4. Mengembalikan Nilai Kesantunan
1.2.5. Berbahasa Tepat
1.2.6. Faktor Sopan Santun di Sekolah
1.2.7. Langkah Pembinaan Sopan Santun
1.2.8. Disiplin Merupakan Sopan Terhadap Aturan
1.2.9. Kurikulum Budi Pekerti dan Sopan Santun
1.2.10. Mengasah Kecerdasan Sopan Santun
1. Ruang Lingkup Masalah
Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil
pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya
apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai
tempat, lingkungan, atau waktu.
ecara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu
kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata
majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan pantun dapat
diartikan sebagai berikut:
Sopan: hormat dengan tak lazim(akan,kepada) tertib menurut adab
yang baik. Atau bisa dikatakan sebagai cerminan kognitif
(pengetahuan).
Santun: halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan,
sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan
pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan).
Jika digabungkan kedua kalimat tersebut, sopan santun adalah
pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui sikap,
perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan
tata krama; peradaban; kesusilaan.
1. Tujuan Penelitian
1. Sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir semester genap
bidang study Bahasa Indonesia.
1. Sistematika Penyajian
Sistematika Penyajian pada karya ilmiah ini lima bab.
Bab pertama pendahuluan,bab kedua Rumusan masalah,bab ketiga
metode penelitian,bab keempat pembahasan,bab kelima penutup.
Di dalam bab pertama pendahuluan terdiri atas lima subbab,di
antaranya yaitu latar belakang,rumusan masalah,ruang lingkup
masalah,maksud dan tujuan,sistematika penyajian.
Bab 2 sesuai landasan teori
Bab 3 yaitu metode penelitian.Di dalam bab3 terdapat empat hal
yaitu sumber data,cara memperoleh data,instrumen penelitian
dananalisis data.
Bab 4 dalah pembahasan.Di dalam pembahasan terdapat...
Bab 5 yaitu penutup terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Norma sopan santun
Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil
pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya
apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai
tempat, lingkungan, atau waktu. Contoh-contoh norma kesopanan
ialah:
1. Menghormati orang yang lebih tua.
2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
3. Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
4. Tidak meludah di sembarang tempat.
Norma kesopanan sangat penting kia terapkan, terutama dalam
bermasyarakat karna norma ini sanga erat kaitanna terhadap
masyarakat sekali saja kita melanggar terhadap norma kesopan kita
pasti akan mendapat sanki dari masyarakat semisal "cemoohan" atau
yang lainnya
Berikut ini
contoh Norma Kesopanan
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan adalah tidak tegas, tetapi
dapat diberikan oleh masyarakat berupa cemoohan, celaan, hinaan,
atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan serta di
permalukan.
2.2. Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran
siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar
negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam
sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama
untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada
bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar
untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah
menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga
mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum
dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah
menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya
umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi
atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah. Sebuah
sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu,
seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat
menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta.
Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus
ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka;
keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas
dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang
lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi
lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-l
embaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan
militer.
Dalam homeschooling dan sekolah online, pengajaran dan
pembelajaran berlangsung di luar gedung sekolah tradisional.
2.3. Terminologi
Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae
atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang,
dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi
anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan
menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja.
Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung,
cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan
estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak
didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak,
sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak
untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di
atas.
Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan
atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberi pelajaran.Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah.
Kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah.Jumlah wakil
kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung dengan
kebutuhannya. Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan
tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas yang lain.
Ketersediaan sarana dalam suatu sekolah mempunyai peran penting
dalam terlaksananya proses pendidikan.
2.4. Sarana Prasarana Sekolah
Ukuran dan jenis sekolah bervariasi tergantung dari sumber daya
dan tujuan penyelenggara pendidikan. Sebuah sekolah mungkin sangat
sederhana di mana sebuah lokasi tempat bertemu seorang pengajar dan
beberapa peserta didik, atau mungkin, sebuah kompleks bangunan
besar dengan ratusan ruang dengan puluhan ribu tenaga kependidikan
dan peserta didiknya. Berikut ini adalah sarana prasarana yang
sering ditemui pada institusi yang ada di Indonesia, berdasarkan
kegunaannya:
2.5. Ruang Belajar
Ruang belajar adalah suatu ruangan tempat kegiatan belajar
mengajar dilangsungkan. Ruang belajar terdiri dari beberapa jenis
sesuai fungsinya yaitu:
Ruang kelas atau ruang Tatap Muka, ruang ini berfungsi sebagai
ruangan tempat siswa menerima pelajaran melalui proses interaktif
antara peserta didik dengan pendidik, ruang belajar terdiri dari
berbagai ukuran, dan fungsi.Sistem kelas terbagi 2 jenis yaitu
kelas berpindah (moving class) dan kelas tetap.
Ruang Praktik/Laboratorium ruang yang berfungsi sebagai ruang
tempat peserta didik menggali ilmu pengetahuan dan meningkatkan
keahlian melalui praktik, latihan, penelitian, percobaan. Ruang ini
mempunyai kekhususan dan diberi nama sesuai kekhususannya tersebut,
diantaranya:
Laboratorium Fisika/Kimia/Biologi,
Laboratorium bahasa,
Laboratorium komputer,
Ruang keterampilan, dll
Kantor
Ruang kantor adalah suatu tempat dimana tenaga kependidikan
melakukan proses administrasi sekolah tersebut, pada institusi yang
lebih besar ruang kantor merupakan sebuah gedung terpisah.
Perpustakaan
Sebagai satu institusi yang bergerak dalam bidang keilmuan, maka
keberadaan perpustakaan sangat penting.Untuk meminjam buku, murid
terlebih dahulu harus mempunyai kartu peminjaman agar dapat
meminjam sebuah buku.
Halaman/Lapangan
Merupakan area umum yang mempunyai berbagai fungsi
diantaranya:
tempat upacara
tempat olahraga
tempat kegiatan luar ruangan
tempat latihan
tempat bermain/beristirahat
Ruang lain
Kantin/cafetaria
Ruang organisasi peserta didik (OSIS, Pramuka, Senat Mahasiswa,
dll)
Ruang Komite
Ruang keamanan
Ruang produksi, penyiaran dll.
Ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS)
Sekolah menurut status
Menurut status sekolah terbagi dari:
Sekolah negeri, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh
pemerintah, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi.
Sekolah swasta, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh
non-pemerintah/swasta, penyelenggara berupa badan berupa yayasan
pendidikan yang sampai saat ini badan hukum penyelenggara
pendidikan masih berupa rancang
an peraturan pemerintah.
Seragam sekolah
Kewajiban mengenakan seragam sekolah diterapkan berbeda-beda di
beberapa negara. Beberapa negara mengharuskan seragam sementara
beberapa lainnya bebas.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sumber data
Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan
dengan cara peninjauan dan cara tinjaua kepustakaan menurut
bukutinjauan kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu
mencari data dari kepustakaan misalnya dari data buku jurnal
masalah dan lain-lain.
Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan
yang diteliti namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat
diolah.
3.2 Cara memperoleh data
a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode
penelitian pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan
satuan data
c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan
bidang penelitian.
d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang
tertera(analisis berpikir secara kronologis)
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek
penelitiannya berupa pustaka yang memerlukan pemahaman dan
penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal yang berhubungan
dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang
berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh
data dikumpulkan dalam catatan khusus.
3.4 Analisis data
`Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya
dianalisis,proses analisis dilakukan dengan cermat dan
dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis yang
representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini analisis isi.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Sopan santun
Sikap perilaku seseorang yang merupakan kebiasaan yang
disepakati dan diterima dalam lingkungan pergaulan.Bagi siswa sopan
santun merupakan perwujudan budi pekerti luhur yang diperoleh
melalui pendidikan dan latihan dari pelbagai orang dalam
kedudukannya masing-masing, seperti: orang tua dan guru, para
pemuka agama dan masyarakat umum dan tulisan-tulisan dan hasil
karya para bijak.
Dari pendidikan dan laihan tersebut, diharapkan siswa
mewujudkannya dalam bentuk sikap dan perilaku yang sehat dan serasi
dengan kodrat, tempat waktu dan lingkungan dimana siswa berada
sehari-hari.Perwujudan nilai sopan santun disesuaikan dengan
kondisi dan situasi secara pribadi ( individu ) maupun secara
kelompok.
Secara Pribadi
Siswa sebagai pribadi terlepas dalam hubungannya dengan pribadi
lain atau kelompok harus dapat mewujudkan tata krama dan sopan
santun dalam kehidupan sehari hari sesuai nilai sopan santun
sebagai pencerminan kepribadian dan budi pekerti luhur.
Sikap dan perilaku tersebut harus diwujudkan dalam:
1.Sikap berbicara
2.Sikap duduk
3.Sikap berdiri
4.Sikap berjalan
5.Sikap berpakaian
6.Sikap makan dan minum
7.Sikap pergaulan
8.Sikap penghormatan
9.Sikap menggunakan fasilitas umumSecara Kelompok
Siswa sebagai insan dalam kodratnya sebagai mahluk sosial yang
memiliki norma nilai sopan santun, berkepribadian dan berbudi
pekerti luhur harus dapat mewujudkan sikap dan perilaku kelompok
sehari-hari sesuai dengan norma nilai sopan santun dilingkungan
sosialnya sebagai berikut:
Disekolah Pencerminan sikap dan perilaku disekolah antara
lain:
Sikap memasuki ruangan ( kelas, guru, kepala sekolah )
Sikap duduk dikelas
Sikap terhadap guru, kepala sekolah, tata usaha
Sikap terhadap sesama teman
Sikap berpakaian seragam sekolah
Sikap pada waktu mengikuti upacara disekolah
Sikap dilapangan olah raga
4.2. Sopan Santun Itu Telah Hilang
Dulu Indonesia dikenal sebagai negeri yang ramah. Yang
mengatakan bahwa negeri kita ramah bukan hanya tetangga dekat atau
tetangga jauh, orang-orang kita sendiripun merasa bangga akan hal
itu karena merasakan hal tersebut.Pada zaman itu, alhamdulillah
saya merasakan, dimana orang tua menghargai anak muda dan anak muda
sangat menghormati kaum tua. Timbal balik yang membuat harmonisasi
hidup begitu damai, indah dan menyejukkan.Kenapa hal tersebut
terjadi? ada dua alasan yang saya kemukakan.
1. Agama Islam. Agama islam mengajarkan untuk menghargai yang
muda dan menghormati yang tua. Di negeri ini mayoritas Islam. Dulu
ketika penduduknya masih menjalankan islamnya secara intens maka
sopan santun diterapkan dengan sebenar-benarnya karena sopan santun
adalah bagian dari islam. Maka karena mayoritas ini menjalankan
islamnya dengan betul-betul, akhirnya kita dikenal sebagai negeri
yang sopan.
2. Guru dan Tetua Adat. Mereka menjadi orang-orang terdepan yang
mengedepankan sistem sopan santun ini. Dengan giat mereka
mengajarkan adat sopan santun, di mesjid atau di acara
perkumpulan.
Namun di zaman ini, semua mulai kabur, mulai padam, mulai sirna
seperti akan menghilang ditelan bumi andai tidak ada perbaikan
kembali. Maka oleh karena itu mari kita berpikir bagaimana
mengembalikan zaman-zaman keemasan tersebut.Anda sebagai generasi
yang merasakan zaman itu saya ajak berpartisipasi untuk
mengembalikan budaya sopan santun. Dimana saat ini, anak muda tidak
mengenal yang namanya adat sopan santun.Anak kecil kemarin sore
memanggil pemuda yang jauh umurnya dengan nama tanpa ada
embel-embel abang, mas, aa, dll . Mereka melakukannya tanpa merasa
bersalah.
PerilakuOrang-orang lewat di depan orang yang sedang duduk,
boro-boro bilang permisi tersenyumpun sepertinya mahal. Hal ini
adalah penyakit! Mari kita cari obatnya.Padahal sopan santun itu
jika digunakan akan mencegah banyak keributan, akan mencegah
terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa persaudaraan.Dulu di
sekolah dan tempat mengaji atau diriungan, saya diajarkan oleh guru
atau saudara. Kalau lewat di depan orang tua harus membungkuk dan
bilang permisi. Pun seandainya kalau lewat di depan orang-orang
yang sedang duduk atau kita ingin melewati suatu kumpulan maka kita
harus bilang permisi.Namun sepertinya sekarang pelajaran itu tidak
ada lagi. Anak kemarin sore lewat di depan kerumunan orang tidak
ada sopan santunnya, lewat begitu saja bagai batang pisang ada
raganya namun dingin tidak ada jiwanya. Orang tua cuek dengan
keadaan itu karena mereka pun sudah mulai tidak perduli lagi dengan
adat sopan santun.Oleh karena itu mari kita perbaiki budaya sopan
santun ini, jika anda orang tua ajarkan kepada anaknya untuk
berbuat sopan santun. Karena sopan santun itu tidak mahal, tidak
mengeluarkan banyak biaya. Jika anda seorang kakak, ajarkan kepada
adiknya untuk berbuat sopan santun karena pastinya anda sayang
dengan adik anda. Tentunya jika anda guru, anda WAJIB mengajarkan
kepada anak didik anda untuk mengajarkan sopan santun karena
sekolah adalah gerbang dari watak seseorang.Jika anda membaca
tulisan ini, silahkan sebarkan kepada seluruh kenalan anda. Mari
kita buat negeri ini kembali sebagai negeri ramah.
Negeri yang akan banyak mendapat berkah karena keramahan.
Kirimkan lewat email atau perbincangkanlah tulisan ini diantara
sesama teman.Hingga saat ini, saya masih terkesan dengan
pemikiran-pemikiran (almarhum) Rama Mangunwijaya tentang dunia
pendidikan. Pandangan-pandangannya mencerahkan, inklusif, kritis,
dan selalu menyadarkan insan-insan pendidikan untuk mengembalikan
dunia persekolahan kepada khittah-nya sebagai pencerah spiritual.
Dalam buku Pasca-Indonesisa, Pasca-Einstein (1999), misalnya, Rama
Mangunwijaya pernah bilang bahwa dunia persekolahan kita tidak
mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh
suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa
pengertian yang memadai. Adapun bertanya apalagi berpikir
kritis-praktis adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill,
dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda
dari pelatihan binatang-binatang pintar dan terampil dalam
sirkus.Suasana pembelajaran yang salah urus semacam itu, demikian
Rama Mangunwijaya yang semasa hidupnya akrab dengan lingkungan
pendidikan kumuh di bantaran Kali Code Yogyakarta, telah membikin
cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada
sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental
penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat
berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi
sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu,
berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin meracuni kehidupan
kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran
dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan
semakin timpang.Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal
budi, bahkan makin menjauhkan diri dari perilaku hidup yang
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tampaknya sudah menjadi
fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita. Maraknya fenomena dan
perilaku anomali semacam itu, disadari atau tidak, merupakan imbas
dari sistem pendidikan yang telah gagal dalam membangun generasi
yang utuh dan paripurna.Pertama, selama menuntut ilmu di bangku
pendidikan, pelajar yang baik senantiasa dicitrakan sebagai anak
mami yang selalu mengamini semua komando gurunya. Mereka ditabukan
untuk bersikap kritis, berdebat, dan bercurah pikir. Akibatnya,
mereka tampak begitu santun di sekolah, tetapi menjadi liar dan
bringas di luar tembok sekolah.Kedua, anak-anak bangsa yang tengah
gencar memburu ilmu di bangku pendidikan (hampir) tidak pernah
dididik secara serius dalam menumbuhkembangkan ranah emosional dan
spiritualnya. Ranah kecerdasan spiritual yang amat penting
peranannya dalam melahirkan generasi yang utuh dan paripurna justru
dikebiri dan dimarginalkan.Kebijakan dan kurikulum pendidikan kita
belum memberikan ruang dan waktu yang cukup berarti untuk
memberikan pencerahan spiritual siswa. Yang lebih memprihatinkan,
guru sering terjebak pada situasi rutinitas pembelajaran yang kaku,
monoton, dan menegangkan lewat sajian materi yang lebih mirip orang
berkhotbah, indoktrinasi, dan membunuh penalaran siswa yang
dikukuhkan lewat dogma-dogma dan mitos-mitos.
Pendidikan Harus Mamfu Memberikan PencerahanIdealnya, pendidikan
harus mampu memberikan pencerahan dan katarsis spiritual kepada
peserta didik, sehingga mereka mampu bersikap responsif terhadap
segala persoalan yang tengah dihadapi masyarakat dan bangsanya.
Melalui pencerahan yang berhasil ditimbanya, mereka diharapkan
dapat menjadi sosok spiritual yang memiliki apresiasi tinggi
terhadap masalah kemanusiaan, kejujuran, demokratisasi, toleransi,
dan kedamaian hidup. Kita membutuhkan sosok manusia yang memiliki
kecerdasan spiritual yang menciptakan damai di tengah berkecamuknya
kebencian, yang menawarkan pengampunan bila terjadi penghinaan.
4.3. Mengembangkan Pendidikan Anak bangsa
Di tengah situasi Indonesia yang masih silang-sengkarut akibat
krisis multiwajah dan konflik berkepanjangan, sudah saatnya dunia
pendidikan benar-benar mengambil peran sebagai pencerah dan
katarsis peradaban yang sakit. Kehadirannya harus benar-benar
dimaknai secara substansial sebagai kawah candradimuka yang
menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi yang utuh dan
paripurna; cerdas intelektualnya, cerdas emosionalnya, sekaligus
cerdas spiritualnya. Bukan hanya sekadar pelengkap yang selalu
disanjung puji sebagai pengembang SDM, tetapi realitasnya hanya
menjadi sebuah Indonesia yang terpinggirkan.
4.4. Mengembalikan Nilai Kesantunan
Tulisan dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fenomena berbahasa
di kalangan siswa yang telah menanggalkan nilai-nilai kesantunan
berbahasa sebagai akibat pergeseran nilai di tengah masyarakat.
Atas dasar itu tulisan ini ingin menjawab strategi pendidikan yang
bagaimana yang sesuai dengan pengembangan berbahasa santun di
sekolah. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengungkapkan strategi
pendidikan berbahasa santun di sekolah. Paradigma yang digunakan
adalah naturalistik , pendekatan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan beragam metode (multi methods).Perinsif-perinsif
Berbahasa Santun
Berdasarkan penelitian, terdapat siswa berbahasa santun dan
tidak santun di sekolah, sekolah sementara belum memiliki strategi
untuk mengembangkan pendidikan nilai berbahasa. Berdasar penelitian
ditemukan enam prinsip berbahasa santun dalam Al Quran, yaitu
qaulan sadiria, qaulan ma'rufa, qaulan baligha, qaulan maysura,
qaulan karima, dan qaulan layyina. Dari enam prinsip tersebut
ditemukan dua puluh enam nilai berbahasa santun yang dapat
dijadikan rujukan dalam pendidikan berbahasa santun di sekolah,
keluarga, maupun masyarakat. Di samping itu diturunkan
strategi-strategi (multistrategi) dalam pengembangan berbahasa
santun di sekolah. Strategi tersebut adalahlangkah-langkah
operasional dalam pengelolaan pendidikan berbahasa santun di
sekolah, dan pembelajaran berbahasa santun di kelas, menyangkut
peran sekolah, guru, siswa,dan karyawan sekolah yang dapat
dijadikan altematif bagi pengembangan berbahasa santun di
sekolah.
4.5. Berbahasa Tepat
Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa".
Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa
tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun,
damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa
yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka
menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri.
Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu
suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran
di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap
paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa
Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP,
bahasa Indonesia termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika.
Kelompok ini juga merupakan salah satu penyangga dari kelompok
agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak mulia mencakup etika,
budi pekerti, atau moral.Kelompok mata pelajaran estetika sendiri
bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan
mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan
itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan
individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun
dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan
kebersamaan yang harmonis.Tujuan rumpun estetika tersebut
dijabarkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang bertujuan agar
peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain (1) berkomunikasi
secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik
secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan bahasa Indonesia
untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan sosial. Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.Pelajaran bahasa
Indonesia telah eksis sejak dulu dari tingkat SD sampai PT. Di SD
pelajaran ini mulai diberikan di kelas IV-VI, alokasinya 5 jam per
minggu atau 15,63% dari total alokasi jam pembelajaran, SMP 4 jam
atau 12,5%, di SMA kelas XI 4 jam atau 10,53%, kelas XI dan XII 4
jam atau 7,69%. Alokasi itu diperkuat lagi dengan pelajaran bahasa
Sunda sebanyak 2 jam setiap minggunya. Di PT, bahasa Indonesia
termasuk dalam MKDU, minimal 2 SKS. Ini menunjukkan bahwa
kedudukannya dalam kurikulum pendidikan formal begitu utama dan
strategis.Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran
bahasa Indonesia di sekolah saat ini belum memberikan kontribusi
dan korelasi yang berarti terhadap tumbuhnya kesadaran penggunaan
bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, sopan, sistematis,
teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus diakui
belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan
pembelajarannya masih bersifat kurang komunikatif, dikotomis,
artifisial, verbalistis, dan kognitif.
Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran
bahasa Indonesia ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak
mengindahkan nilai-nilai sopan santun. Kegagalan ini sedikit banyak
telah memberi andil pada terjadinya tindak kekerasaan di
masyarakat, perseteruan di tingkat elite, dan ikut memengaruhi
terjadinya pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati
bersama.
Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi dari Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang
yang memiliki fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia
dengan kekerasan yang merupakan perilaku manusia yang
hegemonik-destruktif.
Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai
alat untuk melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu
jenis kekerasan yang disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat
dalam tindak tutur seperti memaki, membentuk, mengancam,
menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan,
mendiskriminasikan, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa,
menghasut, membuat orang malu, menghina, dan lain sebagainya.
Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan
menjadi pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah
alat komunikasi, alat bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai
persatuan bagi para pemakainya. Dalam teori percakapan, ada dua
prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu prinsip kerja
sama dan prinsip kesopanan.
Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan
dengan bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan
konteksnya. Prinsip kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal
dilakukan dengan sopan, yaitu bijaksana, mudah diterima, murah
hati, rendah hati, cocok, dan simpatik.
Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam ada yang disebut dengan
dosa lisan. Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu
ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak
mencela, yang kian kemari menghambur fitnah". Larangan itu
dipertegas lagi oleh dua hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari. Hadis pertama berbunyi, "Orang yang beriman kepada
Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik. Atau, (jika tidak
bisa) lebih baik diam". Bunyi hadis kedua, "Orang yang disebut
Muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya (dari
menyakiti Muslim lain)". Begitulah ajaran agama mengatur etika dan
anjuran berbahasa dengan baik dalam lehidupan.
Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang
menyebutkan lidah atau lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah
mengibaskan ketajaman mata pedangnya di hati, rasa sakit dan
lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama. Penyimpangan (deviasi)
prinsip-prinsip tersebut dapatlah memicu timbulnya kekerasan.
Sebagai contoh, berbicara kasar, berbicara saja tanpa tindakan,
berbicara bohong, berbicara dengan keras, tidak jelas, menyakitkan,
menyinggung perasaan, merendahkan orang lain, dan tidak
transparan.Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak
mengindahkan nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu
semakin banyak ditemukan di masyarakat kita saat ini. Perilaku yang
tidak terpuji ini ironisnya banyak dilakukan di alam reformasi.
Apakah ini merupakan cerminan dari euforia demokrasi yang
kebablasan. Entah apa. Perilaku berbahasa yang buruk itu dilakukan
oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah, bahkan elite
politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi,
dan saling mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para
pemimpin."Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih tetap
relevan. Akibat dari penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini
masyarakat dan elite politik mudah sekali bermusuhan, melakukan
tindak anarkis, merusak, dan lain sebagainya.Pendek kata, negeri
ini sangat rentan dan rawan dengan konflik-konflik, friksi-friksi,
perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak berkesudahan.
Dalam rangka reformasi pendidikan, selayaknyalah dipikirkan juga
bagaimana sekolah dapat berperan agar anak didik khususnya, dan
masyarakat pada umumnya tidak berbahasa untuk melakukan tindakan
kekerasan dan tidak memicu kekerasan. Hendaknya anak didik
berbahasa Indonesia yang sopan dan beradab, yang berfungsi
memelihara serta membangun kerja sama kerukunan.
Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu pertama, sekolah
hendaknya memberi penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya.
Kedua, pelajaran bahasa menggunakan pendekatan komunikatif tetap
menekankan perlunya kesopanan berbahasa. Ketiga, semua warga
sekolah dikondisikan dan disiplinkan untuk berbahasa dengan
sopan.
Tentang berhasa yang sopan ini, sangat selaras dengan sabda
Rasul yang mulia, "Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang makruf
da mencegah yang mungkar, kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah
lembut dalam menyuruh dan melarang (mencegah), mengerti apa yang
harus dilarang, dan adil terhadap apa yang harus dilarang".
Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak
setiap orang yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu
hendaknya disampaikan secara beretika. Aksi-aksi jangan seakan
membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar apa pun dilontarkan
di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar bibit-bibit
kebencian, membakar amarah, memancing emosi, mendorong anarkisme,
dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya memancing
kericuhan dan bentrokan fisik dengan aparat atau pihak lain.
Demikian juga dengan para pemimpin bangsa, hendaknya menjunjung
etika berbahasa. Perilaku berbahasa pemimpin bangsa dan elite
politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah berpengaruh besar
pada kehidupan masyarakat di level akar rumput. Semua itu hanya
menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin menderita.Momentum
Idulfitri yang melambangkan kesucian hati dan peringatan Bulan
Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini seyogianya dapat
menggugah kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi dunia
pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan
bahasa lainnya diharapkan mampu menginternalisaikan dan
mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa dalam perilaku verbal
kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang berotoritas membina dan
mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam
mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun.
Lembaga ini jangan hanya berkutat pada riset-riset dan pembakuan
bahasa yang hanya menjadi "menara gading" bagi masyarakatnya.Karena
bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan
keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik,
masyarakat, dan setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan
sopan, santun, dan beradab. Wallahu a'lam.
4.6. Faktor Sopan Santun di Sekolah
Pada dasarnya kita harus sopan dimana saja, kapan saja dan dalam
kondisi apapun. Apalagi kita hidup dalam budaya Timur yang sarat
akan nilai-nilai kesopanan, sehingga seharusnya kita berpatokan
dalam budaya timur dan berpedoman pada sopan santun ala timur.
Sopan santun itu bukan warisan semata dari nenek moyang, lebih dari
itu, dia sudah menjadi kepribadian kita. Memang kadar kesopanan
yang berlaku dalam setiap masyarakat berbedabeda, tergantung dari
kondisi sosial setempat. Dan permasalahan ini sangat komplek karena
berkaitan dengan faktor internal dan eksternal yang menyebabnya
lunturnya nilai sopan santun.
Dalam kondisi sekarang yang secara realita kebudayaan terus
berubah karena masuknya budaya barat akan sulit mempertahankan
kesopanan disemua keadaan ataupun disemua tempat. Perubahan
tersebut mengalami dekadensi karena berbedanya kebudayaan barat
dengan kebudayaan kita (faktor eksternal). Misalnya saja sopan
santun dalam tutur kata. Di barat, anak-anak yang sudah dewasa
biasanya memanggil orang tuanya dengan sebutan nama, tetapi di
Indonesia sendiri panggilan tersebut sangat tidak sopan karena
orang tua umurnya lebih tua dari kita dan kita harus memanggilnya
bapak ataupun ibu. Kemudian sopan santun dalam berpakaian, diluar
negeri orang yang berpakaian bikini dipantai bagi mereka wajar.
Tapi bagi kita berpakaian seperti itu sangat tidak sopan karena
dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan. Selanjutnya Sopan
santun dalam bergaul, dibarat jika kita bertemu teman yang
berlawanan jenis kita boleh mencium bibirnya, tetapi di Indonesia
hal tersebut sangat bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena
kebudayaan yang masuk tidak tersaring sepenuhnya menyebabkan
lunturnya sopan santun.
Sedangkan faktor internalnya ada pada diri sendiri, keluarga,
lingkungan tempat nongkrong, lingkungan sekolah, ataupun media
massa. Pengetahuan tentang sopan santun yang didapat disekolah
mungkin sudah cukup tapi dilingkungan keluarga ataupun tempat
tongkrongan dan media massa kurang mendukung tindakan sopan disemua
tempat ataupun sebaliknya, sehingga membuat tindakan sopan yang
dilakukan oleh anak-anak atau pun remaja hanya dalam kondisi
tertentu. Misalnya penyebutan nama bagi yang umurnya lebih tua
masih dianggap tidak sopan sehingga mereka memanggil mas, bang, aa,
ataupun yang lain. Sedangkan dalam berpakaian atapun yang lain
kurang diperhatikan. Saya sendiri tak memungkiri keadaan tersebut ,
kondisi lingkungan yang kurang peduli terhadap kesopanan, sehingga
akhirnya pada saat-saat tertentu saja saya sopan. Seperti
disekolah, ditempat kuliah ataupun di tempat-tempat formal yang
lainnya. Keadaan ini seharusnya jangan sampai terjadi karena lama
kelamaan akan menimbulkan hilangnya kebudayaan kita dan mungkin
akhirnya kita tidak mempunyai kebudayaan sendiri.
4.7. Langkah Pembinaan Sopan Santun
Preventif
Pada dasarnya langkah langkah pembinaan sopan santun bagi siswa
secara preventif meliputi seluruh upaya pembinaan yang continue,
tidak terputus-putus, konsisten, meningkat secara kualitas sesuai
waktu mulai dari TK, SD, SLTP, SLTA.
Pembinaan tersebut meliputi pendidikan latihan, pengembangan,
permunculan, dan pembiasaan sikap dan perilaku sesuai norma nilai
sopan santun yang pelaksanaanya tidak dapat dipisahkan dari agama
dan budaya bangsa Indonesia.
Pembinaan sikap dan perilaku sesuai norma nilai sopan santun
terhadap siswa akan berjalan efektif dan efisien bila para
instruktur dibina dan dilatih dan dibiasakan bersikap sebagai
berikut:
Keterlibatan langsung
1.Efektif efisien dan simpatik
2.Menumbuhkan ketertiban internal
3.Siswa harus sering dimunculkan atau dihadapkan dalam kenyataan
hidup yang memang memerlukan perlakuan tertentu.
Menghindari Kognisi sebanyak mungkin
Kognisi merupakan penunjang daripada pendekatan psikomotor bukan
cara pendekatan yang utama.
1.Hindari memberikan kognisi dengan mengomel, menegur anggota
didepan orang banyak, mengomel yang tidak mengenal batas waktu,
tempat dan sasaran.
2.Hindari khotbah yang tidak tepat pada sasarannya.
3.Upayakan pendekatan 4 atau 6 mata ( Bapak / Ibu )
4.Meminta maaf kepada anggota, akan, sedang dan sesudah
menyinggung adalah mutlak. Peristiwa yang sering terjadi pada saat
menasehati da memberikan pengarahan dan petunjuk walaupun disadari
bahwa etnis anthropologik tidak orang tua meminta maaf kepada
anak.
Pendekatan Psikomotor Pembiasaan
Adalah pendekatan yang utama dilaksanakan seiring dengan usia
anak.
1.Pembiasaan penerapan sikap dan perilaku tertentu untuk
mengahadapi masalah tertentu.
2.Sering dimunculkan dalam situasi dan kondisi tertentu yang
membutuhkan sikap dan perilaku norma nilai sopan santun
tertentu.
3.Penghargaan dan hukuman (reward atau punishment) adalah cara
yang mungkin paling efektif.
4.Hindari punishment sebanyak mungkin, kembangkan reward system
yang lebih banyak.
5.Hindari atau jangan mempergunakan hukuman fisik badaniah.
6.Jangan merendahkan martabat siswa remaja didepan orang lain
atau teman-temanya.
7.Jangan menjelekan teman siswa apapun keadaanya.
8.Perkuat perbuatan yang baik, perlemah perbuatan yang kurang
baik.
Pendekatan Filisofis1.Kurangi pemikiran masa lalu, pikir, ambil
tindakan pada masa kini untuk mendapatkan masa esok yang cerah.
2.Selesaikan keterampilan yang dapat memberikan nafkah sedini
mungkin.
3.Siswa dibiasakan mengalami konflik, tetapi konflik yang
terselesaikan, dan hindarkan konflik mengambang yang dapat membuat
penumpukan kemarahan terpendam.
4.Siswa tidak boleh dianggap anak kecil terus menerus, batas
mendidik siswa adalah usia 18 tahun.
5.Jadilah pendengar yang baik bagi siswa yang sedang berbicara
untukmendapatkan tanggapan ( response ) yang baik dari siswa.
6.Upayakan siswa selalu mampu memecahkan masalah.
7.Bila siswa menyimpang dari aturan sopan santun, peraturan,
adat, hukum dan agama, maka harus diberitahu, tetapi jangan
merendahkan harkat dan mertabat siswa.
8.Hormat kepada siswa adalah keharusan. ( dalam masalah sikap
hormat kepada anak dan siswa perlu adanya konsesus nasional
bagaimana tata caranya. Secara umum, hampir semua kultur etnis
bangsa Indonesia cenderung anak harus mengormati orang tua dan
tidak sebaliknya. Pandangan ini menurut situasi sekarang sebaiknya
diubah. Anak yang dihormati akan menghayati rasa hormat dan
diharapkan dapat menghormati orang lain. )
Penampilan fisik yang tepat dan benar
Guru dan orang tua sukar memberikan sesuatu pandangan apabila
penampilan diri pribadi, berdandan, cara bicara, intonasi, dan
ritme yang kurang tepat.
Represif
Pembinaan bagi siswa yang berprilaku menyimpang disamping
dianjurkan pemeriksaan kepada psikiater, karena ada kemungkinan
gangguan organik atau ganggguan jiwa, perlu pula dilakukan tindakan
represif berupa tindakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Tindakan represif disesuaikan dengan kalitas dan kuantitas
penyimpangan sikap perilaku.
1.Teguran verbal ringan sedang dan keras.
2.Teguran tulisan ringan sedang dan keras.
3.Skorsing ringan sedang dan berat.
4.Dikembalikan kepada orang tua.
5.Ke pengadilan.
4.8. Disiplin Merupakan Sopan Terhadap Aturan
Disiplin adalah hal mutlak dalam kegiatan sebagai siswa (
anggota PASKIBRA ) atau dalam kehidupan sehari-hari, karena tanpa
disiplin yang kuat akan merusak sendi kehidupan sebagai siswa ( di
PASKIBRA ) yang akan membahayakan citra dirinya, sekolah, dan
organisasi PASKIBRA.
DISIPLIN itu mutlak untuk:
1.Menepati semua aturan siswa ( PASKIBRA ) dan semua tugas yang
harus dijalankan, juga hal yang kecil dengan tertib dan
sempurna.
2.Menegakkan kehidupan siswa ( PASKIBRA ) yang teratur dalam hal
yang kecil.Pengertian1.Sikap mental yang mengandung kerelaan
mematuhi semua ketentuan, pertauran dan norma yang berlaku dalam
menunaikan tugas dan tanggung jawab.
2.Kepatuhan terhadap suatu peraturan.
3.Mengutamakan kepentingan tugas diatas kepentingan pribadi yang
hakekatnya tida lain dari keikhlasan menyisihkan pilihan hati
sendiri.
4.Mengatur kewajiban dan larangan bagi siswa ( anggota PASKIBRA
) yang apabila tidak ditaati atau dilanggar akan dikenakan
sangsi.
5.Tanggung jawab dan sikap seseorang dalam menyadari apa yang
seharusnya dia lakuakan.Tujuan1.Memberikan landasan dan pedoman
dalam sikap dan perilaku hidup
2.Menjadikan tata kehidupan organisasi yang tertib dan
teratur.
3.Membentuk anggota PASKIBRA yang mempunyai tiga kualitas
pokok.
4.Mengembangkan ciri khas PASKIBRA.
5.Bisa menbagi waktu
6.Teratur dalam hidup
7.Mempunyai mental dan jiwa yang tangguh.
8.mempunyai fisik yang kuat
9.Mendapat kepercyaan dari orang lain
10.Keyakinan diri sendiri
Disiplin bukan merupakan hukuman, ikatan yang mengekang atau
paksaan yang harus dituruti. Disiplin harus diartikan sebagi
sesuatu yang positif yang timbul dan tumbuh dari penentuan pada
diri pribadi secara sadar.
Dalam mengikutu gerak disiplin ini kita harus juga melihat
situasi, kondisi, toleransi, pendapat dan jangkauan serta
lingkungan yang sedang kita hadapi. Jadi sebagai siswa ( anggota
PASKIBRA ) yang berdisiplin juga harus tahu dimana dia menerapkan
disiplin.Segala yang disebut disiplin pada dasarnya sikap seseorang
pemimpin atau seseorang yang mempunyai jiwa pemimpin yaitu
bagaimana ia mengikuti atau mengerjakan sesuatu dengan
disiplin.
FAKTOR PENDORONG
1.Dorongan dari dalam
Pengalaman, kesadaran dan kemauan untuk berdisiplin.
2.Dorongan dari luar
Perintah, larangan, pengawasan, pujian, ancaman, dan ganjaran
serta lain-lain untuk berdisiplin
KEPRIBADIAN SEBAGAI WADAH DISIPLIN
Kepribadian adalah pola tingkah laku yang tetap yang
diperlihatkan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungannya.
Kepribadian yang mantap harus membentuk pola kedisiplinan yang
akan memberikan pengaruh yang besar terhadap manusia yang
disesuaikan dengan kebudayaan atau kultur Indonesia.BERBAGAI KONSEP
DAN PRINSIP DISIPLIN
a.Suatu disiplin yang efektif harus didasarkan pada pengarahan
diri secara maksimal. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif dan
tanggung jawab yang besar untuk menjalankan disiplin.
b.Disiplin yang efektif didasarkan pada kebebasan, keadaan dan
persamaan kesempatan. Oleh sebab itu, suatu disiplin akan dapat
dihayati dan tertanam dalam diri bila mereka diberi kesempatan
untuk mengalami kesalahan.
c.Disiplin yang efektif akan membantu pemuda untuk mengenal diri
lebih baik sebagai individu yang unik dan mandiri. Kesamaan akan
menjadikan sesuatu menjadi lebih mudah tapi sangat bertentangan dan
Demokrasi Pancasila.
d.Disiplin yang efektif akan membangun konsep diri sebagai
pemuda yakni sebagai individu yang bermatabat dan perlu dihormati.
Sehingga sebagai seorang pemimpin yang ingin menanamkan disiplin
pada seseorang harus memulainya dengan kesan yang konstruktif atas
hasil dan perilaku yang diperlihatkan.
e.Disiplin yang efektif akan meningkatkan kesiapan individu
untuk pengarahan diri.
f.Disiplin yang efektif ditujukan pada pemuda yang berkemampuan
untuk melaksanakan sesuatu tanpa paksaan.
g.Disiplin yang efektif pada dasarnya menetap agar orang tidak
perlu melakukan penyesuaian terhadap perubahan disiplin.
h.Disiplin yang efektif jarang menggunakan hukuman sebagai cara
untuk menakut-nakuti.
i.Disiplin yang efektif tidak menggunakan kutukan sebagai
tuduhan atau penyesalan.
DISIPLIN PRIBADI, SOSIAL DAN NASIONAL.
Disiplin mengarahkan seseorang pada keterikatan pada pribadi,
masyarakat dan negara yang terdapat dalam Demokrasi Pancasila yaitu
keserasian antara kepentingan pribadi dengan kepentingan diluar
kita, kepentingan masyarakat dan negara.
Disiplin berpangkal pada tingkat kemampuan dan kemampuan
mengendalikan diri dalam mengamalkan nilai, ketentuan peraturan dan
perundangan yang berlaku dimasyarakat dan negaranya.
Disiplin Pribadi adalah pengarahan diri kesetiap tujuannya yang
ditumbuhkan melalui peningkatan kemampuan dan kemauan mengendalikan
diri melalui pelaksanaan yang menjadi tujuan dan kewajiban pribadi
pada diri sendiri.
Didiplin Sosial merupakan perwujudan dari adanya disiplin
pribadi yang berkembang melaui kewajiban pribadi dari:
1.Individu
2.Karakteristik: Sikap, tingkah laku dan kepribadian.
Disiplin Nasional adalah kemampuan dqan kemauan mengendalikan
diri untuk mematuhi semua ketentuan yang telah ditentukan
negara.
Tujuan yang hendak dicapai dengan mematuhi disiplin pribadi,
sosial dan nasional adalah untuk mencapai seuatu yang diharapkan
oleh setiap individu.
Program yang telah ditentukan dengan mematuhi didiplin tugas dan
disiplin nasional maka tujuan yang hendak dicapai itu akan berjalan
sesuai dengan yang diharapkan.
Intruksi: Perintah dari atasan yang tidak boleh ditunda dan
harus segera dilaksanakanPribadi: Perintah yang datang dari hati
nurani dengan suatu kerelaan untuk melakukan disiplin.
PELAKSANAANHanya ada satu cara untuk menjadikan seseorang
berdisiplin yaitu dengan menjadikannya KEBIASAAN , kebiasaan itu
terbentuk oleh latihan. Jadi percuma bila kita mau disiplin tanpa
pernah latihan.
Dengan kata lain kita bisa berdisiplin karena kita telah
terbiasa, dan kebiasaan ini dibentuk dari latihan.
Contoh Disiplin:
Menepati waktu yang telah ditetapkan
Meminta maaf bila datang terlambat
Mengerjakan tugas yang diberikan
Menyadari kesalahan dalam tugas
Semangat mengikuti latihan
Berani mengemukakan pendapat
Bayar iuran tepat waktu.
4.9. Kurikulum Budi Pekerti dan Sopan Santun
KURIKULUM berbasis kompetensi yang dikembangkan saat ini tetap
menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang
terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran.
Mengintegrasikan suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan
mudah bagi sebagian besar guru. Karenanya, diperlukan strategi
tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan
efektif. Secara konsepsional, pendidikan budi pekerti merupakan
usaha sadar menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang
berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya sekarang dan masa
yang akan datang.
Di samping itu, pendidikan budi pekerti merupakan upaya
pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan
perilaku peserta didik agar mereka mau dan mampu melaksanakan
tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, dan seimbang.Secara
operasional, pendidikan budi pekerti merupakan upaya membekali
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan
selama pertumbuhan dan perkembangannya sebagai bekal bagi masa
depannya. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih,
berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Tuhan dan terhadap sesama makhluk.
Pendangkalan konsep
Dikhawatirkan, dengan pengintegrasian yang tidak tepat,
pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran akan mengalami
pendangkalan makna, setidaknya pendangkalan konsep. Bisa jadi
pembelajaran budi pekerti menjadi tidak lebih sekadar pendidikan
etika atau sopan santun. Padahal, sesungguhnya etika atau sopan
santun hanyalah bagian dari pendidikan budi pekerti.Secara
etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut
budi pakerti, dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti
berarti perbuatan. Dengan demikian, budi pakerti dapat diartikan
sebagai perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang
merupakan realisasi dari isi pikiran; atau perbuatan yang
dikendalikan oleh pikiran.
Budi pekerti berisi nilai-nilai perilaku manusia yang akan
diukur menurut kebaikan dan ke-burukannya melalui ukuran norma
agama, norma hukum, tata krama, dan sopan santun, norma budaya/adat
istiadat masyarakat. Pendidikan budi pekerti akan mengidentifikasi
perilaku positif yang diharapkan dapat terwujud dalam perbuatan,
perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan kepribadian peserta didik.
Budi pekerti luhur dapat menciptakan sikap sopan santun, suatu
sikap dan perbuatan menunjukkan hormat, takzim, tertib menurut adat
yang baik yang menunjukkan tingkah laku yang beradab.
Dewasa ini, masyarakat sering menggunakan istilah etiket atau
etika, yang diartikan sama dengan tata krama, unqgah-ungguh, dan
subasita. Ketiga istilah ini selalu dihubungkan dengan sikap dan
perilaku sopan santun. Dalam konteks ini, etika dihubungkan dengan
norma sopan santun, tata cara berperilaku, tata pergaulan, dan
perilaku yang baik.Tata krama, berasal dari kata tata, yang berarti
atur, dan krama, yang berarti langkah. Sedangkan subasita, berasal
dari kata su, yang berati baik, dan basita, yang berarti bahasa.
Dengan demikian, tata krama berkaitan dengan perilaku seseorang,
sedangkan subasita berkaitan dengan cara memilih kata dan kalimat
dalam berbahasa dan bagaimana pengucapan-nya. Lain halnya dengan
ung-gah-ungguh yang merupakan hal yang bersangkutan dengan aturan
sikap dan cara menempatkan diri dalam perbuatan atau bertindak.
Misalnya, dalam berbicara harus mengatur sikap anggota tubuh dan
alat suara.
Pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran perlu
diperjelas wujudnya. Di antaranya, hendaknya implementasi
pendidikan budi pekerti bukan hanya pada ranah kognitif saja,
melainkan harus berdampak positif terhadap ranah afektif dan
psikomotorik yang berupa sikap dan perilaku peserta didik dalam
kehidupan sehari-hari.Dalam konsepsi Ki Hadjar Dewantara,
pembelajaran sebagai produk menyangkut tiga unsur, ialah ngerti,
ngrasa, dan nglakoni, atau tri-nga. Ketiga unsur itu saling
berkaitan. Ketiga unsur itu perlu diperhatikan, supaya nilai yang
ditanamkan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja tetapi sungguh
menjadi tindakan seseorang.
Secara teknis, setidaknya dapat ditempuh dua macam strategi
dalam pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam pembelajaran.
(1) Pengintegrasian dalam kegiatan sehari-hari, yang dilakukan
melalui keteladanan, kegiatan spontan, teguran, pengondisian
lingkungan, dan kegiatan rutin. (2) Pengintegrasian dalam kegiatan
yang diprogramkan, yang merupakan kegiatan yang jika akan
dilaksanakan terlebih dahulu dibuat perencanaannya atau
diprogramkan oleh guru. Hal ini dilakukan jika guru menganggap
perlu memberikan pemahaman atau prinsip-prinsip moral yang
diperlukan. Akhirnya, secara kurikuler pengintegrasian pendidikan
budi pekerti dalam pembelajaran yang diprogramkan perlu perhatian
para guru. Mengingat banyaknya muatan-muatan lain dalam mata
pelajaran sehingga kurikulum kita sangat sarat muatan. Tanpa
kemampuan guru yang baik dalam mengintegrasikan pendidikan budi
pekerti terprogram, bukan tidak mungkin pembelajaran akan gagal
oleh karena berbagai sebab. Misalnya, fokus pembelajaran tidak
jelas, keterbatasan memilih model dan metode pembelajaran, sulitnya
merumuskan tujuan pembelajaran terintegrasi, dan
sebagainya.***Penulis, pamong Tamansiswa, pemerhati pendidikan dan
kebudayaan
4.10. Mengasah Kecerdasan Sopan Santun
Guru Adalah Orang Tua
Kelak, anak yang dibiasakan bersikap sopan santun akan lebih
mudah bersosialisasi dan mau mematuhi aturan umum di
masyarakat.
Orang tua memang dituntut untuk menularkan etiket pada anak.
Namun, mengajarkan etiket tak bisa dilakukan dalam satu hari. Perlu
proses yang cukup panjang dan harus dilakukan secara konsisten
serta berkesinambungan agar hasilnya maksimal. Terkadang, meskipun
orang tua sudah "bersusah payah" mendidik si kecil agar bersikap
sopan, lingkungan di luar rumah justru memberikan model yang
berlawanan. Ada juga yang menyikapi perilakunya secara permisif
misalnya meng- izinkan si prasekolah merebut mainan anak lain tanpa
meng- upayakan cara yang santun dan beranggapan, "Biarin aja
begitu, namanya juga anak-anak. Nanti juga berubah kok sikapnya
kalau sudah besar." Nah, justru pemakluman seperti ini secara
langsung maupun tidak mengakibatkan anak menerapkan perilaku tak
sopan bahkan menganggap apa yang dilakukannya itu sah-sah saja.
Alhasil, sikap tidak beretiket akan terus terbawa sampai besar.
Kalau sudah begitu, akan sulit sekali untuk mengubah
perilakunya.Sebenarnya ada beberapa hal penting yang mesti
diperhatikan sekolah agar anak cerdas bertatakrama, yaitu:
Orang Tua Sebagai Model
Sekali lagi, pembentukan perilaku sopan santun sangat
dipengaruhi lingkungan. Anak pasti menyontoh perilaku orang tua
sehari-hari. Tak salahlah kalau ada yang menyebutkan bahwa ayah/ibu
merupakan model yang tepat bagi anak. Di sisi lain, anak dianggap
sebagai sosok peniru yang ulung. Lantaran itu, orang tua sebaiknya
selalu menunjukkan sikap sopan santun. Dengan begitu, anak pun
secara otomatis akan mengadopsi tata- krama tersebut. Asal tahu
saja, pola pengajaran bertatakrama tentunya tidak semata berupa
nasihat, akan tetapi juga perlu contoh.
Kemudian, orang tua juga mesti konsisten dan konsekuen
menerapkan adab yang baik. Misalnya, ayah/ibu minta si prasekolah
setiap makan di meja makan. Akan tetapi dia sendiri makan di ruang
tengah sambil nonton teve atau sambil berdiri. Ya, tentunya takkan
berefek maksimal. Mungkin saja si anak malah protes, "Kok ayah
makannya sambil nonton teve, sih?"
Yang perlu diwaspadai, anak dapat berperilaku berlawanan karena
menyontoh orang lain baik yang sebaya ataupun lebih dewasa. Kalau
sudah begitu, jelaskan pada si kecil dengan bahasa yang mudah
dipahami kenapa sikap seperti itu dilarang dan tak baik dilakukan.
Yang pasti jangan sambil marah-marah karena toh anak mungkin pada
dasarnya tak tahu sikap yang dilakukannya itu baik atau buruk.
MULAI DARI HAL KECIL
"Pengajaran" tatakrama sebaiknya dimulai dari kehidupan
sehari-hari dan dari hal yang kecil. Anak dikenalkan mengenai
aturan-aturan atau adab sopan santun. Kelak, kebiasan-kebiasan baik
yang kadang luput dari perhatian ini akan terus dilakukan hingga
dia besar.
Nah, berikut contoh-contoh sikap dasar yang perlu "ditularkan",
yaitu:
* Mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu atau ketika si
prasekolah dibawakan sesuatu baik oleh orang tua maupun orang lain.
Sekaligus mengajarkan menghargai jerih payah orang lain.
* Mengucapkan "maaf" jika bersalah. Mengajarkan sportivitas dan
berani mengakui kesalahan.
* Mengucapkan tolong ketika meminta diambilkan sesuatu,
misalnya. Dengan begitu, anak belajar untuk menghargai pertolongan
atau bantuan orang lain.
* Menyapa, memberi salam atau mengucapkan permisi jika bertemu
orang lain. Mengajarkan pula perilaku ramah dan agar mudah
bersosialisasi.
* Mengajarkan adab menerima telepon. Sekaligus mengajarkan
bagaimana berbudi bahasa yang baik. Dalam skala yang lebih luas,
bagaimana bersikap di tempat umum, misalnya tidak berteriak-teriak,
tidak memotong pembicaraan orang.
* Mengajarkan privasi orang lain, misalnya mengetuk pintu
terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar tidur orang tua. Prinsip
dasar sopan santun adalah menghargai hak dan perasaan orang lain.
Ini akan menjadi dasar bagi anak untuk menjadi manusia yang
beretika.
* Etiket makan yang baik, tidak sambil jalan-jalan atau
melakukan aktivitas lain. Sikap ketika makan di meja makan, tidak
bersendawa atau makan sambil ngobrol, misalnya.
JELASKAN TUJUANNYA
Selain memberikan contoh yang baik, tentunya orang tua juga
perlu menjelaskan pada si prasekolah kenapa harus menerapkan sopan
santun. Misalnya, kalau anak berteriak-teriak atau lari
kesana-kemari saat ayah/ibu menerima tamu tentu akan mengganggu
konsentrasi dan pembicaraan. Di sisi lain, ayah/ibu pun jadi malu
melihat tingkah-polah si anak. Sang tamu mungkin tak berkeberatan
dengan sikap seperti itu, malah barangkali menganggap lucu. Akan
tetapi, jika perilaku yang sama terus dilakukan efek jangka
panjangnya cenderung negatif bagi si anak sendiri.
Barangkali si kecil juga tak tahu maksud harus mengucapkan
terima kasih, maaf, salam dan sebagainya. Menjadi tugas orang
tualah untuk menjelaskan alasan semua aturan atau tatakrama
tersebut.
Nah, mengajak atau mengajarkan anak bersopan santun sekali lagi
tidak perlu dengan cara yang keras. Namun upayakan dengan
kelembutan sehingga anak betul-betul memahami maksud dan tujuan
beretiket. Umumnya, anak yang baik dan bisa menghargai orang lain
adalah anak yang tahu sopan santun. Sebagai sebuah proses,
bagaimana pun orang tua perlu sabar hingga anak mengerti dan
menerapkannya.
Kelak, anak yang dibiasakan dari kecil untuk bersikap sopan
santun akan lebih mudah bersosialisasi. Dia akan mudah memahami
aturan-aturan yang ada di masyarakat dan mau mematuhi aturan umum
tersebut. Anak pun relatif mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya
diri, dan memiliki kehidupan sosial yang baik. Pen-dek kata, dia
tumbuh menjadi sosok yang beradab.
HARUS SEJAK DINI
Mengenalkan dan mengajarkan tatakrama sebaiknya dilakukan sejak
dini, setidaknya usia batita. Tentunya dikenalkan dari hal yang
paling sederhana, seperti memberi salam, minta izin sebelum
meminjam barang kakaknya, mengetuk pintu sebelum masuk kamar orang
tua, dan sebagainya. Jangan menunggu mengenalkan adab atau etiket
ketika anak sudah besar. Pun, jangan menyerahkan sepenuhnya perihal
pengajaran sopan santun ini pada pihak sekolah. Toh, pembelajaran
etiket atau tatakrama sebenarnya paling efektif dilakukan ayah dan
ibu.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Guru dan Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi
anak, karena merekalah anak mula-mula menerima
pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana kehidupan
religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam
perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan orang
tuanya, agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang
luhur yang berguna bagi dirinya demi masa depan keluarga agama,
bangsa dan negara.
5.2. Saran
Hendaklah Guru dan orang tua selalu memberikan perhatian yang
jenuh kepada anak-anak dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh
anak agar melakukan perbuatan yang baik tetapi hendaklah Guru dan
orang tua selalu memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknyaSerta
Guru dan orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan
berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan
kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila
berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius
(membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a
dan ayat-ayat Al-Qur'an), menghapal, menumbuhkan gairah bertanya
dan berdialog.
Daftar pustaka
1. (Muhammad Nur, Abdul Hafizh 1988:9):
2. Alb V Dian Sano, 2005. 24 jam menguasai HTML, JSP, dan MySQL
Yogyakarta :
Penerbit Andi
3. Ali Akbar, ST. 2005. Membuatpresentasidengan PowerPoint 2003
Bandung :
M2S
4. Andi Setiawan, S.Kom, 2006. Mudah Tepat Singkat Pemrograman
HTML
Bandung : CV. Yrama Widya
5. Erislan. 2005. Notifikasi e-mail melalui SMS
Yogyakarta : Penerbit Andi
6. Firrar Utdirartatmo. 2005. Praktis dan Mudah Administrasi
MySQL berbasis GUI
Yogyakarta : Penerbit Andi
7. http:// visitbanyumas.com/bahasa/archives/238
8. http://visitbanyumas.com/bahasa/archives/248
1