BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Tradisi adat dayak Ketapang adalah karena Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996). Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu, kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, 1
49
Embed
lambosetungkung.weebly.comlambosetungkung.weebly.com/.../4/1/2/4/4124636/karya_ilmiah_27.docx · Web viewbenda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang keinginan saya membuat karya ilmiah tentang Tradisi adat dayak
Ketapang adalah karena Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki
kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku
bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan
unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996). Jika pengertian
tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu,
kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak
dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan
belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam
kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di
dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan
secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud
kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan
Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud kebudayan
sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu
merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan adat, yang
berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada
perilaku manusia Dayak, tampak jelas di dalam pelbagai upacara adat yang dilaksanakan
berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam
pelbagai upcara adat yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai
sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari
aktivitas manusia yang berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di
dasarkan pada adat tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan
sosial orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan
mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman
dalam bertingkah laku bagi masyarakat Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-
1
benda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil
karya manusia Dayak, misalnya seperti rumah panjang dan lain-lain.
Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak sangat mempunyai makna
dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses
kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak dalam perkembangan
sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Dayak sebagai
pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga
mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya
tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang tetap
bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin menunjukkan
identitasnya sebagai suatu warisan leluhur.
Dalam konteks ini, dan dalam tulisan ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan
yang terdapat dalam masyarakat Dayak, baik yang berupa kebudayaan material maupun non
material.
1.2 Rumusan masalah
1.2.1. Apa itu Kamponk Tamawakng di ketapang?
1.2.2. Apa perhatian Pemerintah terhadap budaya dayak ketapang?
1.2.3. Bagaimana Cara masyarakat dayak menjaga keseimbangan alam?
1.2.4. Apa Rumah Adat Dayak Paya' Kumang?
1.2.5. Dimana Gelar Kehormatan Dayak Kayong?
1.2.6. Seperti apa Adat Buka Tanah Dayak Kayong?
1.2.7. Bagaimana Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat Dayak Ketapang?
1.2.8. Apa Karakteristik Kebudayaan Dayak Ketapang?
1.2.9. Bagaimana Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup Dayak Ketapang?
1.2.10. Seperti apa Sistem Pengetahuan Dayak Ketapang?
4. Bahasa Cempede’5. Bahasa Semandakng6. Bahasa Sajan7. Bahasa Banjur8. Bahasa Gerai9. Bahasa Baya10. Bahasa Laur11. Bahasa Joka’12. Bahasa Domit13. Bahasa Pawatn14. Bahasa Krio15. Bahasa Konyeh16. Bahasa Biak17. Bahasa Beginci18. Bahasa Tumbang Pauh19. Bahasa Gerunggang20. Bahasa Kayong21. Bahasa Majau22. Bahasa Pangkalan Suka23. Bahasa Kebuai24. Bahasa Tola’25. Bahasa Marau26. Bahasa Batu Tajam27. Bahasa Kengkubang28. Bahasa Pesaguan Hulu29. Bahasa Kendawangan30. Bahasa Pesaguan Kanan31. Bahasa Kekura’32. Bahasa Lemandau33. Bahasa Tanjung34. Bahasa Benatuq35. Bahasa Sumanjawat36. Bahasa Tembiruhan37. Bahasa Penyarangan38. Bahasa Parangkunyit39. Bahasa Perigiq40. Bahasa Riam41. Bahasa Belaban42. Bahasa Batu Payung43. Bahasa Pelanjau44. Bahasa Membuluq45. Bahasa Dayak Menggaling46. Bahasa Air Upas47. Bahasa Sekakai48. Bahasa Air Durian49. Bahasa Sempadian
7
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Sumber data
Dalam penelitian karya tulis ini,digunakan metode penulisan dengan cara peninjauan
dan cara tinjaua kepustakaan menurut buku………………………………tinjauan
kepustakaan disebut juga study kepustakaan yaitu mencari data dari kepustakaan misalnya
dari data buku jurnal masalah dan lain-lain.
Semakin banyak sumber bacaan semakin banyak pula pengetahuan yang diteliti
namun tidak semua buku bacaan dan laporan dapat diolah.
3.2 Cara memperoleh data
a. Mepelajari hasil yang diperoleh dari setiap sumber yang relevan dengan penelitian
yang akan dilakukan.
b. Mempelajari metode penelitian yang dilakukan termasuk metode penelitian
pengambilan sampel pengumpulan data sumber data dan satuan data
c. Mengumpulkan data dari sumber lain yang berhubungan dengan bidang penelitian.
d. Mempelajari analisis deduktif dari problem yang tertera(analisis berpikir secara
kronologis)
3.3 Instrumen penelitian
Instrumen penelitian ini adalah penelitian sendiri karena subjek penelitiannya berupa
pustaka yang memerlukan pemahaman dan penafsiran penelitian,penulis mencatat hal-hal
yang berhubungan dengan pesan social budaya dalam menghasilkan generasi muda yang
berkualitas yang digunakan sebagai instruktur penelitian seluruh data dikumpulkan dalam
catatan khusus.
3.4 Analisis data
` Data yang dikumpulkan dalam catatan khusus selanjutnya dianalisis,proses analisis
dilakukan dengan cermat dan dideskripsikan dengan lengkap sehingga menghasilkan analisis
yang representative teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini analisis isi.
8
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kebudayaan Dayak Ketapang
Kepercayaan yang dianut oleh suatu suku bangsa dapat ditelusuri melalui ekpresi
budaya seperti cerita rakyat, terutama dalam cerita yang berbentuk mitos tentang kejadian
alam semesta dan manusia serta mitos-mitos lainnya yang menggambarkan keterkaitan yang
hakiki antara insan manusia dan alam sekitarnya (Umberan, 1994). Hal yang sama juga
dikatakan oleh Ukur (1994) bahwa untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam
kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mite-mite tentang
kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan
dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitar.
Mitos bukanlah sekedar cerita, tetapi melalui mitos yang hidup dalam masyarakat
Dayak dapat diungkap rahasia yang mendasari dan melatarbelakangi sikap serta perilaku
suku Dayak. Keberadaan mitos diyakini kebenarannya, dianggap suci, mengandung hal-hal
ajaib, dan umumnya ditokohi oleh para dewa, sebab itu mitos dijadikan landasan untuk
menata kehidupan masyarakat Dayak yang tampak pada berbagai ketentuan seperti adat, ritus
dan kultus.
Mitos dihayati sebagai sejarah oleh masyarakat Dayak meskipun peristiwa-peristiwa
yang dituturkan dalam mitos tidak terikat pada waktu dan ruang. Sejarah dalam konteks
pemahaman suku Dayak terhadap mitos tersebut tidak dapat diverifikasi secara historis,
menurut Ukur (1994) mitos dianggap sebagai sejarah karena memang sedemikianlah yang
dihayati oleh insan Dayak.Kepercayaan suku Dayak berhubungan erat dengan lingkungan
sekitarnya, seperti hewan, tumbuhan-tumbuhan, air, bumi, dan udara. Kepercayaan itu begitu
kuat sehingga suku Dayak percaya bahwa kehidupan akan menjadi baik jika adanya
keseimbangan kosmos, sebab itu setiap makhluk hidup berkewajiban untuk senantiasa
memelihara keserasian dan keseimbangan semesta, terutama manusia menurut kepercayaan
suku Dayak merupakan bagian yang integral dari alam (Seli, 1996).
Sistem kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suku Dayak berkaitan
erat sehingga sulit untuk dipisahkan. Kedua hal tersebut sama-sama berpengaruh pada
kehidupan masyarakat Dayak (Seli,1996). Senada dengan pendapat Seli, Alqadrie (1994)
juga menyatakan bahwa sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir
9
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka
sehari-hari. Ini berlaku pula antara nilai-nilai budaya itu dengan etnisitas dalam masyarakat
Dayak. Kenyataan ini yang melatar belakangi kesimpulan Coomans (1987) dan Alqadrie
(1991) yang menyatakan bahwa keperipadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan
sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak
saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat-istiadat atau hukum adat, tetapi
juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat
berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada
tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan
nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2)
kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan
merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).
Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kalimantan Barat (1988) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang
dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia alam
beserta isinya. Bahkan menurut Alqadrie (1994) dan Seli (1996) berkaitan sistem
kepercayaan tersebut masyarakat Dayak juga percaya bahwa Tuhan yang tertinggi yang satu
(the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (devinity). Karakter yang
satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi”, dan karakter lainnya tinggal “di
bawah” atau yang “lebih rendah” yaitu bumi yang menjadi tempat tinggal manusia. Orang
Dayak percaya kedua karakter ini masing-masing memuat sifat yang baik dan buruk.
Kompleksitasnya sistem kepercayaan orang Dayak, menurut Alqagrie (1994) di tandai juga
oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar
seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik (mangkok dan tempayan)
yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun
penggunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon) atau (dragon) yang melambangkan
secara mitologis Tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Lebih lanjut menurut
Alqdarie (1994) pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur-unsur Hunduisme dan
Islamisme. Kedua unsur ini dalam masyarakat Dayak dapat ditemukan dalam istilah-istilah
keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan, seperti Mahatara yang mungkin
berasal dari istilah dalam agama Hindu. Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, atau
Mahatala, Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta’ala dalam Islam yang berarti
10
Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolik diekspresikan oleh
burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”.Dalam pada itu, penggunaan
burung enggang dan naga sebagai simbol dari Tuhan yang satu, sejalan dengan pendapat
Durkheim tentang totemisme. Unsur penting dari kepercayaan nenek moyang dalam
masyarakat Dayak adalah barang-barang keramik Cina, dekorasi-dekorasi yang
menggunakan simbol naga dan burung enggang, dan kelompok etnik Dayak sendiri sebagai
penganut kepercayaan nenek moyang mereka dapat dikatakan sejajar dengan tiga unsur
totemisme Australia yang ditemui oleh Durkheim (dalam Alqadrie, 1994) bahwa lambang
totemik (totemic emblem) adalah berupa hewan atau tumbuhan-tumbuhan, dan anggota dari
kaum, suku atau klan (clan)
Tiga unsur dalam masyarakat Dayak merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan
merupakan manifestasi dari organisasi sosial. Dalam kaitan dengan itu, Mclennan (1986
dalam Alqadrie, 1994) menyatakan bahwa hubungan yang dekat antara totemisme tersebut
merupakan bentuk spesifik dari organisasi sosial. Alqadrie (1994) melihat bahwa penggunaan
naga dan burung enggang bukanlah suatu manifestasi dari kesederhanaan pemikiran orang
Dayak di Kalimantan tetapi justru merupakan refleksi dari kompleksitasnya sistem
kepercayaan mereka pada mana totemisme bukan semata-mata suatu kepercayaan, tetapi
mungkin pula menjadi sumber, atau paling kurang, suatu embrio dari agama-agama
berkembang lainnya. Tambahan pula penggunaan dua jenis hewan di atas juga merupakan
perwujudan dari organisasi sosial yang khas dalam masyarakat Dayak.
Melihat kenyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya suku Dayak merupakan
rumpun suku bangsa yang unik karena walupun mereka hidup di lingkungan yang serba
alami dan tradisional tetapi dapat melahirkan suatu pemikiran yang relgius yang kompleks
dan sangat sempurna.
4.2 Sistem Pengetahuan Dayak Ketapang
Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan
sistem pengetahuan yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap
perladangan. Menurut Mudiyono (1995) pengetahuan tentang gejala alam yang berkaitan
dengan perladangan pada orang Dayak di Kalimantan adalah pengetahuan tentang bintang
tujuh. Apabila bintang tujuh telah timbul maka pada malam hari udara akan menjadi teramat
dingin sampai pagi hari adalah suatu pertanda bahwa orang sudah sampai pada waktunya
mulai membuka ladang. Jika bintang tujuh di Timur, sedangkan bintang satu lebih rendah
11
dari bintang tujuh menandakan bahwa orang sudah boleh mulai menanam padi. Apabila di
langit tampak garis seperti tempbok dan awan menyerupai sisik ikan maka orang mengetahui
bahwa musim kemarau telah tiba. Sebaliknya jika langit tampak merah pada pagi hari dan
awan menggumpal seperti gunung adalah pratanda bahwa hari atau musim penghujan segera
tiba. Gejala datangnya musim hujan dapat pula diketahui apabila akar-akar kayu yang
tumbuh dipinggir sungai bertunas dan pohon buah-buah banyak yang berbunga.
Ketika tanda-tanda alam telah memberitahu bahwa musim kemarau segera akan tiba maka
orang mulai bersiap diri untuk berladang. Parang dan beliung sebagai alat berladang mulai di
asah supaya tidak menemui hambatan pada saatnya membuka ladang. Pekerjaan berladang
harus memperhatikan benar-benar perputaran waktu dan memahami sifat-sifatnya. Ketidak
sesuaian antara kondisi alam dengan tahapan berladang akan mengakibatkan kegagalan panen
dan bila hal ini terjadi adalah merupakan malapetaka bagi penduduk.
Sistem pengetahuan mereka juga mengajarkan bahwa apabila akan membuat bahan-
bahan rumah, hendaknya tidak menebang pohon kayu dan bambu pada waktu bulan di langit
sedang membesar karena pelanggaran yang dilakukan berarti kayu dan bambu akan cepat
dimakan bubuk. Oleh karena itu waktu yang tepat untuk meramu bahan-bahan bangunan
kayu dan bambu adalah ketika bulan di langit sedang surut.
Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis
hutan yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya
terlebih mereka meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan.
Jika terdapat pohon-pohon kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama
tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur. Untuk memastikan kesuburan tanah
di amatinya dengan cara memasuki ujung parang ke dalam tanah kira-kira 10 cm. Ketika
parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua belah sisi parang dapat
menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi
parang dan gembur kehitam-hitaman berarti tanah setempat adalah subur. Sebaliknya jika
kondisi tanah setempat kurus maka yang melekat ke dua sisi parang adalah tanah berpasir.
Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah tanah yang terletak pada
lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini khusus orang Dayak di Kalimantan Barat di
sebut jenis tanah payak labak atau payak. Keadaan tanah paya selalu berair dan becek.
Ladang di tanah paya biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3 tahun
berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah paya ditinggalkan selama 2-4 tahun untuk
kemudian ditanam lagi.
12
Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis
tanaman dan tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan
untuk berburu dan menuba ikan.
Jenis tanaman untuk dikonsumsi sendiri kecuali padi dikenal juga tanaman jenis cabai