Visum et Repertum - TP
Post on 08-Aug-2015
285 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
TINJAUAN PUSTAKA
VISUM ET REPERTUM
Oleh:Cokorda Agung Arbi Maranggi
0802005163
Pembimbing:dr. Dudut Rustyadi, Sp.F
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYADI BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK
FK UNUD/RSUP SANGLAHJUNI 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-
Nya, penulisan Tinjauan Pustaka yang berjudul “Visum et Repertum” ini dapat
selesai tepat pada waktunya. Tugas tulisan ilmiah ini disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di
Bagian/SMF Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat:
1. dr. Dudut Rustyadi, Sp.F selaku Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RSUP
Sanglah Denpasar sekaligus sebagai pembimbing dalam penulisan laporan
kasus ini.
2. dr. Ida Bagus Putu Alit, Sp.F, DFM selaku Kepala Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Kunthi Yulianti, Sp.KF selaku Koordinator Pendidikan Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar.
4. dr. Henky, Sp.F selaku dosen di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah yang telah banyak
memberikan ilmu.
5. Para pegawai dan staf di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah yang telah banyak membantu
dalam berbagai kegiatan dan aktivitas selama proses KKM.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ilmiah
ini, yang tidak bisa disebutkan semuanya.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada penyusunan
laporan kasus ini, sehingga bimbingan, saran, dan kritik yang membangun dan
bermanfaat sangat diharapkan. Atas perhatian pembaca, penulis ucapkan
terimakasih.
Denpasar, Juni 2012
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Visum et Repertum ................................................................ 4
2.2 Dasar Hukum Visum et Repertum ....................................................... 4
2.3 Fungsi dan Peran Visum et Repertum ................................................. 7
2.4 Jenis Visum et Repertum ..................................................................... 8
2.5 Struktur Visum et Repertum ................................................................ 14
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ............................................................................................. 17
3.2 Saran ................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ilmu Kedokteran Forensik, yang juga dikenal dengan nama Legal
Medicine adalah salah satu cabang spesialistik dari Ilmu Kedokteran, yang
mempelajari pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum
serta keadilan. Dalam bentuknya yang masih sederhana, ilmu kedokteran forensik
telah dikenal sejak zaman Babilonia, yang mencatat ketentuan bahwa dokter saat
itu mempunyai kewajiban untuk memberi kesembuhan bagi para pasiennya
dengan ketentuan ganti rugi bila hal tersebut tidak tercapai. Anthitius, seorang
dokter pada zaman Romawi Kuno yang dalam suatu Forum – semacam institusi
pengadilan waktu itu – menyatakan bahwa dari 21 luka yang ditemukan pada
tubuh Julius Caesar, hanya satu luka yang menembus sela iga ke-2 sisi kiri depan
yang merupakan luka mematikan. Nama kedokteran forensik berasal dari kata
Forum tersebut.1
Di masyarakat, sering terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang
menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Peristiwa tersebut tentu saja
mengakibatkan adanya korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal. Peristiwa yang sering menimbulkan korban misalnya kecelakaan lalu-
lintas, kecelakaan kerja, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, bunuh diri,
bencana, maupun terorisme. Untuk pengusutan dan penyidikan, serta penyelesaian
masalah hukum tersebut di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya pemutusan
perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang terkait untuk
menjelaskan dan membuktikan kebenaran peristiwa tersebut, salah satunya adalah
dokter spesialis forensik.
Dalam tugas sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik,
memberikan pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai
tugas membuat suatu surat keterangan medis yang bertujuan untuk membantu
penegakan hukum, baik untuk korban hidup maupun korban mati. Surat
keterangan medis tersebut adalah Visum et Repertum, yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti dalam proses peradilan yang sering diminta oleh pihak penyidik
1
(polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. Jadi, pada satu
saat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas
mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas
membuat Visum et Repertum. Sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang
diobati sekaligus sebagai korban yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti.2
Sebagai pasien, seseorang mempunyai hak dan kewajiban yang timbul
karena hubungan dokter-pasien (kontak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki
pasien, seperti hak atas informasi, hak menolak atau memilih jenis
pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran, dan lain-lain harus dipatuhi oleh
dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-ketentuan
seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak dapat begitu
saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap dirinya.1
Dokter telah cukup tersita energinya dalam menangani begitu banyak
pasien di Rumah Sakit, khususnya bagian bedah dan kebidanan yang banyak
unsur kedaruratannya. Padahal permintaan keterangan (Visum et Repertum) yang
paling banyak justru menyangkut masalah bedah dan kebidanan sehingga sangat
dapat dimaklumi bila pembuatan keterangan untuk peradilan itu hanya seadanya
saja sesuai dengan segala keterbatasan yang ada pada dokter. Hal ini akan
mengakibatkan banyak hal-hal yang penting bagi pengungkapan perkara akan
luput dari perhatian dokter. Penelitian di Jakarta memperlihatkan bahwa hanya
15,4% dari Visum et Repertum perlukaan rumah sakit umum DKI Jakarta yang
berkualitas baik, dan sebuah penelitian di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06%
yang berkualitas jelek dan tidak satu pun yang memenuhi kriteria Visum et
Repertum yang baik. Dari kedua penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa
bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan bagian yang paling kurang
diperhatikan oleh dokter.2
Visum et Repertum tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis,
tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan.
Sebuah Visum et Repertum yang baik harus mampu membuat terang perkara
tindak pidana yang terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum?
2. Apakah dasar hukum dari Visum et Repertum?
3. Apakah fungsi dan peran Visum et Repertum?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis Visum et Repertum.
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Visum et Repertum.
3. Untuk mengetahui fungsi dan peran Visum et Repertum.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Dapat menambah pengetahuan penulis mengenai pembuatan Visum et
Repertum.
2. Dapat menambah informasi dan sebagai sumber referensi pembelajaran di
bidang ilmu kedokteran forensik.
3
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
permintaan tertulis penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis
terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari
tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan.1-2 Rumusan yang jelas tentang pengertian Visum et
Repertum telah dikemukakan pada seminar forensik di Medan pada tahun 1981
yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau
janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat
pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan pada benda
bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan
yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang
pemeriksaan tersebut.2
Istilah Visum et Repertum ini dapat ditemukan dalam Lembaran Negara
Tahun 1937 Nomor 350 Pasal 1 yang terjemahannya adalah Visum et Repertum
pada dokter yang dibuat, baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu
menyelesaikan pelajarannya di Negeri Belanda atau Indonesia, maupun atas
sumpah khusus seperti tercantum dalam Pasal 2, dan mempunyai daya bukti yang
sah dalam perkara pidana selama visa et reperta tersebut berisi keterangan
mengenai hal-hal yang diamati oleh dokter itu pada benda-benda yang diperiksa.3
2.2 Dasar Hukum Visum et Repertum
Dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut:1,2,4,5
Pasal 133 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
4
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik
pembantu sebagaimana bunyi Pasal 7 (1) butir h dan Pasal 11 KUHAP. Penyidik
yang dimaksud adalah penyidik sesuai dengan Pasal 6 (1) butir a, yaitu penyidik
yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi
pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa
manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana
yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri
sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum, karena mereka hanya
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter
menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana:1,2
Pasal 216 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Mengenai kepangkatan pembuat surat permintaan Visum et Repertum telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 yang menyatakan penyidik
Polri berpangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua, sedangkan pada
wilayah kepolisian tertentu yang komandannya adalah seorang bintara (Sersan),
maka ia adalah penyidik karena jabatannya tersebut. Kepangkatan bagi penyidik
pembantu bintara serendah-rendahnya Sersan Dua. Untuk mengetahui apakah
suatu surat permintaan pemeriksaan telah ditandatangani oleh orang yang
berwenang, maka yang penting adalah bahwa si penanda tangan menandatangani
surat tersebut selaku penyidik.1
Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan
kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam
Pasal 179 KUHAP sebagai berikut:1
5
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
Dari bunyi Staatsblad 350 Tahun 1937 terlihat bahwa:1
1. Nilai daya bukti Visum et Repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang
dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya
dianggap memberikan kesaksian (mata) saja.
2. Visum et Repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan
sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter
seperti yang tertera pada Staatsblad No. 97 Pasal 38 Tahun 1882. Lafal sumpah
dokter ini memang tepat bila digunakan sebagai landasan pijak pembuatan
Visum et Repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan
dengan Visum et Repertum adalah Pasal 186 dan 187 (c), yang berbunyi:1
Pasal 186:
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Penjelasan Pasal 186 KUHAP:
Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan
dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Pasal 187:
(c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya.
Berdasarkan penjelasan pada kedua pasal di atas, maka Visum et Repertum
dapat digolongkan sebagai alat bukti yang sah berupa keterangan ahli, surat, dan
petunjuk sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah
yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah:1,3
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
6
e. Keterangan terdakwa
2.3 Fungsi dan Peran Visum et Repertum
Visum et Repertum dapat berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Sebagaimana yang tertulis dalam
Pasal 184 KUHAP, Visum et Repertum merupakan alat bukti yang sah dalam
proses peradilan, yang berupa keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Dalam
penjelasan Pasal 133 KUHAP, dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan
oleh dokter spesialis forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat
oleh dokter selain spesialis forensik disebut keterangan. Hal ini diperjelas pada
Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No.
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 yang menjelaskan bahwa keterangan yang dibuat
oleh dokter bukan ahli merupakan alat bukti petunjuk. Dengan demikian, semua
hasil Visum et Repertum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik maupun
dokter bukan spesialis forensik merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan
Pasal 184 KUHAP.
Di dalam Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah tersebut berturut-turut
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Beban pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut berbeda
sesuai dengan urutannya. Sebagai contoh, keterangan saksi harus lebih dipercaya
oleh hakim bila dibandingkan dengan keterangan terdakwa. Demikian halnya
dengan keterangan ahli yang diberikan oleh seorang dokter spesialis forensik
tentunya akan mempunyai beban pembuktian yang lebih besar bila dibandingkan
dengan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan spesialis forensik. Sehingga,
kedudukan Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter spesialis forensik masih
lebih tinggi dibandingkan dengan Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter
bukan spesialis forensik.1,2
Visum et Repertum juga dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti
karena segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medis telah diuraikan di dalam
bagian Pemberitaan. Karena barang bukti yang diperiksa tentu saja akan
mengalami perubahan alamiah, seperti misalnya luka yang telah sembuh, jenazah
yang mengalami pembusukan atau jenazah yang telah dikuburkan yang tidak
7
mungkin dibawa ke persidangan, maka Visum et Repertum merupakan pengganti
barang bukti tersebut yang telah diperiksa secara ilmiah oleh dokter ahli.1,2
Apabila Visum et Repertum belum dapat menjernihkan suatu duduk
persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau
diajukannya bahan baru. Sesuai dengan Pasal 180 KUHAP, hakim tersebut dapat
meminta kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan atau penelitian ulang atas
barang bukti jika memang timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasihat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.1,2
2.4 Jenis Visum et Repertum
Berdasarkan objek yang diperiksa, Visum et Repertum dibagi menjadi dua,
yaitu:1,6
1. Objek psikis
Visum et Repertum berupa objek psikis adalah Visum et Repertum
psikiatrikum. Visum et Repertum ini perlu dibuat karena adanya Pasal 44 (1)
KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.”
Jadi, yang dapat dikenakan pasal ini tidak hanya orang yang menderita
penyakit jiwa (psikosis), tetapi juga orang dengan retardasi mental. Apabila
penyakit jiwa (psikosis) yang ditemukan, maka harus dibuktikan apakah
penyakit itu telah ada sewaktu tindak pidana tersebut dilakukan. Tentu saja,
jika semakin panjang jarak antara saat kejadian dengan saat pemeriksaan, maka
akan semakin sulit bagi dokter untuk menentukannya sehingga diperlukan
pemeriksaan lanjutan. Demikian pula jenis penyakit jiwa yang bersifat hilang-
timbul juga akan mempersulit pembuatan kesimpulan dokter.
Visum et Repertum psikiatrikum dibuat untuk tersangka atau terdakwa
pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana Visum et Repertum
lainnya. Selain itu, Visum et Repertum psikiatrikum menguraikan tentang segi
kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Oleh karena Visum et
Repertum psikiatrikum menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya
8
seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka lebih baik pembuat
Visum et Repertum psikiatrikum ini adalah dokter spesialis psikiatri yang
bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.
2. Objek fisik, yang dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Visum et Repertum orang hidup
1) Visum et Repertum perlukaan atau keracunan
Tujuan pemeriksaan kedokteran forensik pada korban hidup adalah
untuk mengetahui penyebab luka atau sakit dan derajat parahnya luka
atau sakitnya tersebut. Terhadap setiap pasien, dokter harus membuat
catatan medis atas semua hasil pemeriksaan medisnya. Pada korban yang
diduga korban tindak pidana, pencatatan harus lengkap dan jelas
sehingga dapat digunakan untuk pembuatan Visum et Repertum. Catatan
medis yang tidak lengkap dapat mengakibatkan hilangnya sebagian
barang bukti di dalam bagian Pemberitaan Visum et Repertum.
Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter setelah
melapor ke penyidik atau pejabat kepolisian, sehingga mereka datang
dengan membawa serta surat permintaan Visum et Repertum. Sedangkan
para korban dengan luka sedang dan berat akan datang ke dokter atau
rumah sakit sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan
Visum et Repertum-nya akan datang terlambat. Keterlambatan surat
permintaan Visum et Repertum ini dapat diperkecil dengan diadakannya
kerja sama yang baik antara dokter atau institusi kesehatan dengan
penyidik atau instansi kepolisian.
Baik terhadap surat permintaan Visum et Repertum yang datang
bersamaan dengan korban maupun yang datang terlambat, tetap harus
dibuatkan Visum et Repertum. Visum et Repertum ini dibuat setelah
perawatan/pengobatan selesai, kecuali pada Visum et Repertum
sementara yang memerlukan pemeriksaan ulang pada korban bila surat
permintaan pemeriksaan datang terlambat.
Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak
pidana penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), korban dengan luka
9
“sedang” dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (Pasal 351 (1)
atau 353 (1) KUHP), dan korban dengan luka berat (Pasal 90 KUHP)
dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan luka
berat (Pasal 351 (2) atau 353 (2) KUHP) atau akibat penganiayaan berat
(Pasal 354 (1) atau 355 (1) KUHP). Perlu juga diingat bahwa luka-luka
tersebut dapat juga timbul akibat kecelakaan atau usaha bunuh diri.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 352 KUHP, penganiayaan
ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Umumnya, yang
dianggap hasil dari penganiayaan ringan adalah korban tanpa luka atau
dengan lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya atau tidak
menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Luka-luka tersebut dimasukkan
ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu.
KUHP tidak menjelaskan pengertian penganiayaan, tetapi
yurisprudensi Hoge Raad tanggal 25 Juni 1894 menjelaskan bahwa
menganiaya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, yang semata-mata
merupakan tujuan dari perbuatan tersebut. Bagi dokter, yang terpenting
adalah menentukan keadaan yang dimaksud dengan sakit atau luka. Oleh
karena batasan luka ringan sudah disebutkan di atas, maka semua
keadaan yang lebih berat dari luka ringan dimasukkan ke dalam batasan
sakit atau luka. Selajutnya dokter membaginya ke dalam kategori luka
sedang (luka derajat dua) atau luka berat (luka derajat tiga).
Pasal 90 KUHP memberikan batasan tentang luka berat, yaitu jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau menimbulkan bahaya maut; menyebabkan seseorang terus-
menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian; menyebabkan kehilangan salah satu panca indera;
menimbulkan cacat berat (verminking); mengakibatkan terjadinya
keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau
lebih; serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan.
10
Di dalam bagian Pemberitaan Visum et Repertum biasanya
disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka atau cedera
atau penyakit yang ditemukan pada pemeriksaan fisik beserta uraian
tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan
penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit
selama perawatan, dan keadaan akhir saat pengobatan/perawatan selesai.
Gejala atau keluhan yang dapat dibuktikan secara objektif dapat
dimasukkan ke dalam bagian Pemberitaan, misalnya sesak nafas, nyeri
tekan, nyeri lepas, nyeri sumbu, dan lain sebagainya. Sedangkan keluhan
subjektif yang tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam Visum
et Repertum, misalnya keluhan sakit kepala, mual, dan lain sebagainya.
2) Visum et Repertum korban kejahatan susila
Pada umumnya, korban kejahatan susila yang dimintakan Visum et
Repertum-nya kepada dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan
yang diancam hukuman oleh KUHP. Persetubuhan yang diancam pidana
oleh KUHP meliputi perzinahan, pemerkosaan, persetubuhan pada
wanita yang tidak berdaya, dan persetubuhan dengan wanita yang belum
cukup umur.
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk
membuktikan adanya persetubuhan, adanya kekerasan (termasuk
pemberian racun atau obat untuk membuat orang menjadi tidak berdaya),
serta usia korban. Selain itu, dokter juga diharapkan memeriksa adanya
penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatri atau
kejiwaan sebagai akibat dari tindak pidana tersebut. Dokter tidak
dibebani pembuktian adanya pemerkosaan karena istilah pemerkosaan
adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Untuk dapat memeriksa korban wanita tersebut, selain adanya surat
permintaan Visum et Repertum, dokter sebaiknya juga mempersiapkan
korban atau orang tuanya bila ia masih belum cukup umur agar dapat
dilakukan pemeriksaan serta sebagai saksi atau pendamping perawat
11
wanita, dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam ruang tertutup yang
tenang.
Pembuktian adanya persetubuhan dilakukan dengan pemeriksaan
fisik terhadap kemungkinan adanya deflorasi himen, laserasi vulva atau
vagina, serta adanya cairan mani dan sel sperma dalam vagina terutama
dalam forniks posterior.
Dalam bagian Kesimpulan Visum et Repertum korban kejahatan
susila diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau
tidaknya tanda persetubuhan, dan bila mungkin menyebutkan kapan
perkiraan terjadinya dan ada atau tidaknya tanda kekerasan.
b. Visum et Repertum untuk orang mati (jenazah)
Visum et Repertum jenazah dibuat terhadap korban yang meninggal.
Tujuan pembuatan Visum et Repertum ini adalah untuk menentukan sebab,
cara, dan mekanisme kematian. Jenazah yang akan dimintakan Visum et
Repertum-nya harus diberi label yang memuat identitas mayat, di-lak
dengan diberi cap jabatan, yang dikaitkan pada ibu jari kaki atau bagian
tubuh lainnya. Pada surat permintaan Visum et Repertum-nya harus jelas
tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah hanya pemeriksaan luar
jenazah atau pemeriksaan bedah jenazah (autopsi) (Pasal 133 KUHAP).
1) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar
Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan berupa tindakan
tanpa merusak keutuhan jaringan jenazah. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan teliti dan sistematik, serta kemudian dicatat secara rinci, mulai
dari bungkus atau tutup jenazah, pakaian, benda-benda di sekitar jenazah,
perhiasan, ciri-ciri umum identitas, tanda-tanda tanatologi, gigi geligi,
dan luka atau cedera atau kelainan yang ditemukan di seluruh bagian
luar.
Apabila penyidik hanya meminta pemeriksaan luar saja, maka
kesimpulan Visum et Repertum menyebutkan jenis luka atau kelainan
yang ditemukan dan jenis kekerasan penyebabnya, sedangkan sebab
matinya tidak dapat ditentukan karena tidak dilakukan pemeriksaan
12
bedah jenazah. Bila dapat diperkirakan, lama mati sebelum pemeriksaan
(perkiraan waktu kematian) dapat dicantumkan dalam bagian
Kesimpulan.
2) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam
Bila juga disertakan pemeriksaan autopsi, maka penyidik wajib
memberi tahu kepada keluarga korban dan menerangkan maksud dan
tujuan pemeriksaan. Autopsi dilakukan jika keluarga korban tidak
keberatan, atau bila dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari
keluarga korban (Pasal 134 KUHAP). Jenazah yang diperiksa dapat juga
berupa jenazah yang didapat dari penggalian kuburan (Pasal 135
KUHAP).
Pemeriksaan autopsi dilakukan menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Selain itu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan
histopatologi, toksikologi, serologi, dan lain sebagainya. Dari
pemeriksaan dapat disimpulkan sebab kematian korban, jenis luka atau
kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, dan perkiraan waktu kematian.
Berdasarkan kelengkapan isinya, Visum et Repertum dapat dibagi menjadi
dua, antara lain:
1. Visum et Repertum sementara
Pada korban hidup, Visum et Repertum ini dibuat untuk sementara waktu
karena korban memerlukan perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut sehingga
menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka belum dapat ditentukan dan
tidak dapat ditulis pada bagian Kesimpulan. Pada saat pemeriksaan pertama
kali, dokter sering tidak dapat menentukan apakah suatu perlukaan yang
sedang diperiksanya adalah luka derajat dua atau luka derajat tiga. Hal ini
diakibatkan oleh perkembangan derajat suatu perlukaan yang belum berhenti
sebelum pengobatan/perawatan selesai. Kadang-kadang ketidakpastian derajat
luka tersebut terjadi berkepanjangan sehingga pada saat penyidik
membutuhkan Visum et Repertum-nya, dokter hanya bisa memberikan Visum et
13
Repertum sementara, dan Visum et Repertum yang lengkap baru bisa dibuat
setelah perawatan selesai dan derajat lukanya sudah dapat ditentukan.
Visum et Repertum sementara pada jenazah dibuat karena sebab kematian
belum dapat ditentukan karena masih menunggu hasil pemeriksaan penunjang
seperti histopatologi dan toksikologi.
Ada lima manfaat dibuatnya Visum et Repertum sementara, yaitu:
- Menentukan ada/tidaknya tindak pidana.
- Mengarahkan penyelidikan.
- Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara
terhadap terdakwa.
- Menentukan tuntutan jaksa.
- Medical record.
2. Visum et Repertum definitif
Visum et Repertum ini dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan
perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan
korban. Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian Kesimpulan adalah luka
derajat satu.
2.5 Struktur Visum et Repertum
Unsur penting dalam Visum et Repertum yang diusulkan oleh banyak ahli
adalah sebagai berikut:1,2,5
1. Kata “Pro Justitia”
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas sehingga Visum et Repertum
tidak perlu bermeterai.
2. Bagian Pendahuluan
Pendahuluan memuat identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal dan
pukul diterimanya surat permohonan Visum et Repertum, identitas dokter yang
melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa (nama, jenis kelamin,
umur, bangsa, alamat, pekerjaan), kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat
dilakukan pemeriksaan.
14
3. Bagian Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati,
terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.
Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada
yang tertinggal. Deskripsi lukanya mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya
(absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak
antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera,
karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut penting terutama pada pemeriksaan
korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada
pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari:
a. “Pemeriksaan anamnesis atau wawancara” mengenai apa yang dikeluhkan dan
apa yang diriwayatkan yang menyangkut tentang penyakit yang diderita korban
sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga kekerasan.
b. “Hasil pemeriksaan” yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
c. “Tindakan dan perawatan berikut indikasinya” atau pada keadaan sebaliknya,
“alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan.” Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukan tindakan dan perawatan
tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman
tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.
d. “Keadaan akhir korban” terutama tentang gejala sisa dan cacat badan yang
merupakan hal penting untuk pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan
dengan jelas.
Pada bagian Pemberitaan memuat enam unsur, yaitu anamnesis, tanda
vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan
pengobatan/perawatan yang diberikan.
15
4. Bagian Kesimpulan
Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et Repertum,
dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut.
Pada bagian ini harus memuat minimal dua unsur, yaitu jenis luka dan kekerasan
serta derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung
oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik
kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis dilakukan dengan penuh
hati-hati. Kesimpulan Visum et Repertum adalah pendapat dokter pembuatnya
yang bebas dan tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di dalam
kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi, standar profesi, dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kesimpulan Visum et Repertum harus dapat menjembatani antara temuan ilmiah
dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan tidak
hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
5. Bagian Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat Visum et Repertum.
16
BAB IIIPENUTUP
3.1 Simpulan
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas
permintaan tertulis penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis
terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari
tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk
kepentingan peradilan. Dasar hukum Visum et Repertum telah diatur dalam Pasal
133, Pasal 179, Pasal 184, Pasal 186 dan 187 KUHAP, Pasal 216 KUHP, dan
Staatsblad 350 tahun 1937.
Jenis Visum et Repertum menurut objek yang diperiksa adalah:
1. Objek psikis, yaitu Visum et Repertum psikiatrikum.
2. Objek fisik, dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Visum et Repertum orang hidup:
1) Visum et Repertum perlukaan atau keracunan
2) Visum et Repertum korban kejahatan susila
b. Visum et Repertum orang mati (jenazah):
1) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar
2) Visum et Repertum dengan pemeriksaan luar dan dalam
Jenis Visum et Repertum menurut kelengkapan isinya adalah:
1. Visum et Repertum sementara
2. Visum et Repertum definitif
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, penulis dapat memberikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Bagi praktisi kesehatan diharapkan agar dapat mengupayakan prosedur
pembuatan Visum et Repertum yang baik karena Visum et Repertum merupakan
alat bukti yang sah dalam proses peradilan dan harus mampu membuat terang
suatu perkara tindak pidana dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang
memiliki dampak yuridis luas dan dapat menentukan nasib seseorang.
17
2. Bagi rumah sakit perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO)
tentang petatalaksanaan pengadaan Visum et Repertum karena Visum et
Repertum berguna bagi penyidik (polisi/polisi militer) maupun Penuntut
Umum (Jaksa) untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari
tuntutan hukum.
3. Bagi praktisi kesehatan dan rumah sakit diharapkan agar dapat mengupayakan
prosedur pembuatan Visum et Repertum yang baik dan memenuhi standar. Hal
ini dikarenakan pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bentuk
pelayanan medikolegal di rumah sakit, di mana kualitas pelayanan Visum et
Repertum secara langsung akan mencerminkan kualitas pelayanan medikolegal
di rumah sakit tersebut.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi, Hertian S, Rizkiwijaya, Herkutanto, Atmadja DS, Budiningsih Y, Purnomo S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Afandi D. 2010. Visum et Repertum Perlukaan: Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Maj Kedokt Indon, 60(4):188-95.
3. Pratama AB. 2008. Verifikasi Citra Sidik Jari Poin Minutiae dalam Visum et Repertum (VeR) Menggunakan K-Means Clustering. Jurnal Ilmu Komputer UB, Volume XX, Nomor XX.
4. Priambada BS. Peran Visum et Repertum dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana. Fakultas Hukum Universitas Surakarta.
5. Afandi D. 2008. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
6. Anonim. 2012. Visum et Repertum. http://id.wikipedia.org/wiki/Visum_et_repertum [diakses pada tanggal 12 Juni 2012]
top related