Transcript
I. PENDAHULUAN
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain,
protein daging lebih mudah dicerna ketimbang yang berasal dari nabati. Bahan
pangan ini juga mengandung beberapa jenis mineral dan vitamin.
Karakteristik kualitas daging merupakan karakteristik yang dinilai oleh
konsumen dalam memenuhi palatabilitasnya, berkaitan dengan penilaian sensorik
atau organoleptik. Kualitas daging atau bahan pangan pada umumnya, dinilai oleh
konsumen pada awalnya melalui pendekatan organ-organ panca indera. Sehingga
karakteristik kualitas pada daging menyangkut warna, keempukan, citarasa
(flavour), dan kebasahan (juiciness). Secara organoleptik (sensorik), warna dinilai
oleh organ penglihatan, keempukan dinilai melalui perabaan dan pencicipan (gigi,
tangan, dan lidah), citarasa dinilai melalui pencicipan dan penciuman (lidah dan
hidung), dan kebasahan dinilai oleh pencicipan (lidah). Karakteristik kualitas ini
sering pula disebut sebagai eating quality (kualitas makan).
Penilaian karakteristik kualitas ini yang pada awalnya dinilai oleh
konsumen secara organoleptik, berkembang menjadi penilaian dengan
menggunakan peralatan untuk menghindari subyektifitas. Namun demikian para
pakar dibidang organoleptik menyatakan bahwa justru penilaian dengan
menggunakan alatlah yang lebih subyektif karena alat merupakan imitasi dari
organ-organ panca indera yang digunakan lebih awal dalam penilaian tersebut.
Alat yang dipergunakan untuk menilai keempukan daging diciptakan melalui
imitasi dari kemampuan gigi geligi (geraham) dalam melakukan gigitan pertama
dan selama pengunyahan pada daging. Pendekatan statistik melalui penggunaan
sejumlah panelis terlatih dan pengulangan berulang kali dalam penilaian kualitas
secara sensorik/organoleptik dimaksudkan adalah untuk lebih mengobjektifkan
hasil penilaian tersebut.
Penentuan harga pada saat jual beli ternak siap potong,
umumnyadidasarkan pada taksiran pada saat ternak masih hidup, meskipun
dibeberapa tempat terutama ternak besar, penentuan harga ditentukan olehberat
karkas yang dihasilkan oleh ternak yang bersangkutan. Bila hargaternak hidup
ditentukan berdasarkan penaksiran, maka pembeli harus sudahbisa
memperkirakan berapa banyak karkas yang akan didapat, berapa nilaidari hasil
ikutan seperti kulit, jeroan dan sisa karkas lainnya.Penampilan ternak saat hidup
mencerminkan produksi dan kualitaskarkasnya. Ketepatan penaksir dalam
menaksir nilai ternak tergantung padapengetahuan penaksir dan kemampuan
menterjemahkan keadaan dariternak itu Pada dasarnya, kualitas karkas adalah
nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran.
Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang
dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh ternak yang akan
dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik, yaitu
1. ternak harus dalam keadaan sehat, bebas dari berbagai jenis penyakit,
2. ternak harus cukup istirahat, tidak diperlakukan kasar, serta tak
mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal,
3. penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna
mungkin,
4. cara pemotongan harus higienis.
KARKAS RUMINANSIA BESAR ( SAPI )
Karkas adalah bagian tubuh yang telah mengalami proses pemotongan
tanpa kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit,
darah dan organ dalam (hati, saluran pencernaan, jantung, saluran reproduksi,
paru-paru, limpa kecuali ginjal. Karkas dapat dibagi dalam bentuk recahan karkas
(yeld grade) atau potongan karkas. Potongan komponen karkas berbeda-beda dari
satu tempat ketempat lain sesuai dengan sistem pemotongan untuk dijual dan
kebiasaan masyarakat dalam memilih depot perdagingan pada karkas. Namun
setiap spesies mempunyai potongan komponen karkas tersendiri
Potongan komponen karkas pada sapi ditetapkan atas Round, Rump, Loin,
Ribs, Chuck, Shank, Flank, Plate dan Brisket. Potongan komponen karkas pada
babi yaitu Ham, Loin, Boston, Butt, Ribs, Picnic dan Jowl. Potongan komponen
karkas domba dibagi menjadi delapan bagian yaitu Leg (paha), Loin (lemusir),
Rack (punggung-rusuk), Neck (leher), Middle neck (tengkuk) dan Shank (kaki)
Kualitas karkas
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh
ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai
karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging
dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan
ternak, dan jumlah lemak intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai
karkas dapat diukur secara subjektif, misalnya dengan pengujian organol eptik
atau metode panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil,
yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas (Soeparno, 1998).
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan
tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging
( juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss)
yaitu: Berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan,
retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging
Aspek-Aspek yang Harus Diperhatikan Untuk Menghasilkan Karkas /
Daging yang Berkualitas dengan Tujuan utama untuk usaha peternakan pedaging
adalah untuk menghasilkan produk daging dan karkas yang berkualitas baik.
Kualitas daging dan karkas ini secara umum sangat dipengaruhi oleh tiga aspek,
yaitu aspek produksi, aspek pemanenan (pemotongan), dan aspek penanganan
segera setelah pemanenan (pemotongan) (Soeparno, 1994) .
1. Aspek Produksi
Aspek produksi menyangkut seluruh rangkaian proses produksi
peternakan termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetik yang turut mempengaruhi kualitas daging dan karkas adalah spesies,
breed (bangsa), tipe ternak, dan jenis kelamin ternak. Sebagai contoh adalah
kerbau memiliki serat daging yang lebih kasar dari pada sapi. Sapi potong
bangsa angus lebih memiliki kecenderungan menimbun lemak intramuskular
dari pada bangsa sapi yang lain. Pada sapi madura memiliki persentase karkas
yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali meskipun daging total yang
diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya bahwa tipe ternak perah
akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada ginjal dan pelviksnya
(Soeparno, 1994).
2. Aspek pemanenan (pemotongan)
Sebelum Pemotongan Selain aspek produksi sebagaimana disebutkan di
atas, penyembelihan ternak memiliki peranan penting dalam mempertahankan
kualitas daging / karkas yang di hasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis
ternak, perubahan-perubahan baik fisik maupun biokemis segera setelah
disembelih, dan pencemaran daging oleh mikroorganisme (Soeparno, 1994).
Pada prinsipnya dalam persiapan penyembelihan ternak adalah bagaimana
mengkondisikan ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap
untuk disembelih dengan sebaik-baiknya sehingga pada proses penyembelihan-
nya darah yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak tidak merasa
tersiksa (Soeparno,1994). Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap
disembelih maka beberapa hal perlu diperhatikan sebelum ternak disembelih.
a. Ternak harus diistirahatkan secukupnya dan tenang sesaat menjelang
eksekusi.
b. ternak harus dihindarkan dari tekanan dan perlakuan menyakiti.
c. ternak harus dalam keadaan sehat (Soeparno, 1994).Ternak yang cukup
istirahat dan tenang sebelum penyembelihan diharapkanakan mendapatkan
kualitas karkas / daging bermutu tinggi dibandingkan dengan ternak yang
sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan
(stres).
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan
setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi
kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin,
umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress.
Faktor setelah pemotonganyang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan
antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan
preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno,
1998). Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan
daging diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat
tubuh ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi
merupakan faktor lingkungan yang terpenting yang mempengaruhi komposisi
karkas dan daging. Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi
tinggi akan meningkatkan kadar lemak tubuhnya
Bagian – Bagian Karkas
1. Leg (paha)
Sampil. dalam bahasa Inggris chuck, didapat dari daging paha atas, bahu
dan punuk. Sampil merupakan daging yang kurang lunak namun penuh rasa
karena kandungan kolagen yang cukup tinggi. Karena harganya yang lumayan
bersahabat dibandingkan potongan prima seperti has dalam, sampil adalah salah
satu potongan daging yang cocok untuk dipakai dalam hidangan sehari-hari.Untuk
mengatasi sifatnya yang kurang lunak, sampil sebaiknya dimasak dengan
cara stewing (dimasak dalam cairan, seperti rendang, kari atau semur), atau
diungkep (dimasak dengan sedikit cairan dengan panci tertutup rapat).
Daging sampil juga bisa dipotong kecil-kecil untuk kemudian digunakan
dalam sop atau dalam oseng-oseng, diolah menjadi bakso, abon atau empal. Jika
Anda ingin membuat hamburger yang lezat dan ekonomis, maka sampil yang
digiling sangatlah cocok untuk dibuat hamburger.Sampil kecil, dalam bahasa
Inggris blade tetapi juga disebut clod, oyster atau oyster blade, merupakan sampil
bagian bahu atas dan bawah yang berbentuk segi empat. Sampil kecil merupakan
potongan daging yang tebal namun empuk, bisa dimasak menjadi rendang, kari,
steak, oseng-oseng.Kijen atau chuck tender berbentuk kerucut yang terlapis kulis
luar yang tipis. Potongan ini juga cukup empuk untuk dimasak sebagai steak,
namun juga bisa dibuat rendang, sop dan oseng-oseng.
2. Rack (dada)
Sandung lamur, dalam bahasa Inggris brisket, adalah potongan dari bagian
dada. Potongan ini agak berlemak, dan bisa dimasak dalam berbagai hidangan
seperti soto atau pho, atau hidangan berkuah yang dimasak dengan api kecil
hingga empuk seperti Asem-Asem Sandung Lamur atau Sandung Lamur Cabai
Hijau. Di negara-negara Barat sandung lamur digunakan untuk membuat corned
beef serta smoked brisket. Potongan sandung lamur lainnya adalah sandung lamur
bagian pangkal (brisket naval end) dan sandung lamur bagian ujung (brisket point
end).
3. Loin ( lemusir )
Lamusir depan, atau cube roll, diambil dari bagian punggung, dipotong
dari rusuk keempat hingga rusuk keduabelas. Lamusir termasuk daging yang
lunak karena terdapat butir-butir lemak didalamnya. Cara meyiapkannya dengan
dipanggang dalam oven, dibakar atau digrill. Iga adalah potongan daging yang
berasal sekitar tulang rusuk, yaitu dari rusuk keenam hingga keduabelas. Tulang
iga, atau short ribs, bisa diolah menjadi sop seperti sop konro atau dimasak semur.
Iga juga bisa dipanggang, dibarbecue, dan diungkep. Rib-eye steak adalah
potongan dalam bentuk steak, bisa dengan tulang (bone in) atau tanpa tulang
(boneless).
4. Shortloin, has luar, sirloin
Shortloin dan has luar (striploin) adalah potongan daging bagian belakang
sapi. Sirloin adalah bagian daging yang terletak persis di belakang shortloin dan di
atasnya tenderloin atau has dalam. Di Indonesia sirloin juga disebut sebagai has
luar. Potongan shortloin and has luar dipotong lagi menjadi steak seperti
Porterhouse Steak, T-Bone steak, strip steak. Otot dari bagian sapi ini masih
bekerja cukup keras, namun beban pekerjaannya tidak seberat sampil, punuk dan
betis depan sehingga dagingnya lumayan lunak. Meskipun jenis daging ini
termasuk dalam kategori prima, harganya tidak semahal has dalam. Has luar bisa
dimasak dengan berbagai cara yaitu sebagai steak, diiris tipis-tipis untuk
keperluan sukiyaki, yakiniki atau shabu-shabu.
5. Has dalam
Has dalam, dalam bahasa Inggris tenderloin atau fillet, adalah potongan
daging yang paling empuk dan kandungan lemaknya tidak besar. Lokasi potongan
daging ini ditengah-tengah sirloin. Karena daging ini sangat lunak, cara
memasaknya dengan cepak supaya tekstur daging tidak rusak. Has dalam bisa
dipotong untuk dipanggang dalam oven, atau bisa juga dipotong dalam
bentuk steak (tenderloin steak, fillet mignon). Biasanya steak tartare dibuat dari
has dalam. Harga jenis potongan ini adalah yang paling mahal dibandingkan
dengan potongan yang lainnya.
6. Flank ( perut )
Samcan atau flank, adalah potongan dari bagian otot perut. Bentuknya
panjang dan datar, dan kurang lunak. Di Prancis daging ini dinamakan bavette,
dimasak secukupnya saja dan dimakan rare supaya daging tidak menjadi a lot
karena dimasak terlalu lama. Samcan yang diiris tipis-tipis seringkali dijual
sebagai daging oseng-oseng. Samcan bisa didiamkan dalam marinade satu malam
atau beberapa hari untuk membantu proses pelunakan dan setelah dimasak
dipotong menjadi irisan tipis atau bisa juga dipukul-pukul sebelum dimasak.
7. Shank ( kaki depan )
Sengkel, dari bahasa Belanda schenkel, dalam bahasa Inggris shank atau
shin merupakan daging yang terdapat di bagian atas betis sapi. Potongan daging
ini tidak lunak, dan bisa dibuat menjadi kari, sop, digiling untuk dijadijan daging
cincang yang tidak begitu berlemak.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode
pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan
tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak
intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot
daging dan lokasi pada suatu otot daging. Faktor kualitas daging yang dimakan
terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau
dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak
intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang
selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut
menentukan kualitas daging.
2.1 Faktor Sebelum pemotongan
Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan.
Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging adalah
genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan dan bahan aditif
(hormon, antibiotik, dan mineral), serta keadaan stres.
a. Genetic/Keturunan
Nilai heritabilitas keempukan daging sapi sekitar 45%, artinya
45% keempukan daging sapi saat dimasak ditentukan oleh faktor
genetik atau tetua ternak yang dipotong. Faktor genetik akan menentukan
keempukan daging antargrade dan potongan daging sejenis.
b. Spesies
Dari taksonomi ternak yang paling diperhatikan yaitu spesiesnya, karena
spesies menentukan apakah ternak tersebut banyak dipelihara di Indonesia,
mampu memproduksi daging atau susu, serta mempunyai produksi daya
adaptasi yang tinggi, dan sebagainya. Spesies menentukan tingkat perdagingan
suatu ternak.
c. Bangsa
Bangsa ternak termasuk kedalam factor genetic atau factor keturunan.
Bangsa suatu ternak juga menentukan kualitas suatu daging ternak itu sendiri.
Misalnya ternak sapi-sapi introduksi, seperti: 1) sapi limousine, persentase
daging dalam karkas cukup tinggi, 2) sapi angus, mempunyai kemampuan
dalam menurunkan marbling (perlemakan dalam daging) ke anak-anaknya. 3)
sapi Hereford, perdagingannya tebal. Dan sebagainya. Jadi dilihat dari bangsa
ternak itu sendiri sangat penting dalam mennentukan kualitas daging.
d. Tipe ternak
Tipe ternak menentukan keempukan daging itu sendiri, seperti tipe ternak
potong dan tipe ternak perah. Tipe ternak potong lebih empuk daripada tipe
ternak perah. Karena tipe ternak potong itu sendiri dipelihara untuk
menghasilkan daging, dan sebaliknya.
e. Umur
Semakin tua usia hewan, susunan jaringan ikat semakin banyak, sehingga
daging yang dihasilkan semakin liat, jika ditekan dengan jari, daging yang
sehat akan memiliki konsistensi kenyal (padat) (Tambunan, 2010).
Umumnya daging yang berasal dari sapi tua akan lebih liat dibandingkan
dengan daging yang berasal dari sapi muda. Hasil penelitianpun menunjukkan
bahwa umur potong sapi berkorelasi positif dengan keempukan daging yang
dihasilkannya, artinya makin tua ternak sudah dapat dipastikan dagingnya akan
lebih liat. Daging yang berasal dari sapi tua baunya lebih menyengat
dibandingkan dengan daging yang berasal dari sapi muda. Namun pada
kenyataannya, kuat lemahnya bau daging pada sapi tidak dipermasalahkan
konsumen, lain halnya dengan daging domba dan daging kambing, karena
kedua ternak kecil ini bau dagingnya sangat unik dan lebih kuat dibandingkan
dengan sapi. Oleh karena itu konsumen daging domba atau kambing lebih
menyukai daging yang berasal dari ternak muda. Ternak sapi tua yang gemuk
akan menghasilkan daging yang berlemak oleh karena itu rasanya akan lebih
gurih dan banyak disukai konsumen. Selain itu daging yang berlemak
kandungan airnya lebih sedikit sehingga pada saat dimasak penyusutannya
tidak terlalu besar.
Umur ternak saat dipotong berpengaruh terhadap keempukan daging. Sapi
yang dipotong pada umur 9-30 bulan umumnya memiliki daging yang empuk.
Sapi betina yang digunakan sebagai induk, dagingnya menjadi kurang empuk
saat umurnya tua. Keempukan daging menurun sejalan dengan bertambahnya
umur ternak.
f. Pakan dan Bahan Aditif (Hormone, Antibiotic, dan Mineral)
Ternak yang digemukkan dengan pakan biji-bijian cenderung mencapai
bobot potong lebih cepat dibanding ternak yang mendapat pakan dari padang
penggembalaan. Dengan demikian, daging dari ternak yang diberi pakan biji-
bijian
biasanya lebih empuk karena ternak dipotong pada umur lebih muda.
g. Keadaan Stress
· DFD (Dark Firm Dry)
Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi
(Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah
mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik,
kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).Menurut Taylor (1984), pigmen yang
memberikan warna pada daging adalah struktur hem. Hem ini berkombinasi
dengan protein membentuk hemoglobin dan mioglobin. Munculnya warna
merah cerah pada daging disebabkan oleh adanya ikatan oksigen pada atom
besi (Fe2+) pada struktur molekul mioglobin.Perbedaan warna daging
disebabkan oleh adanya H2O2 dan enzim yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Senyawa H2O2 menyebabkan oksidasi oksimioglobin
menjadi metmioglobin yang berwarna coklat (Varnam & Sutherland,1995).
Kandungan H2O2 yang dihasilkan oleh bakteri yang memfermentasi secara
alamiah kemungkinan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah H2O2 yang
dihasilkan olehL . plantarum selama memfermentasi daging. Hal ini
menyebabkan warna daging terfermentasi alamiah lebih gelap dibandingkan
dengan daging difermentasi L. plantarum.
· PSE (Pale Soft Exudatife)
Daging PSE (Pale Soft Exudative) disebabkan Stress dalam waktu yang
lama sebelum penyembelihan shg pH tetap tinggi stlh penyembelihan. Produksi
asam laktat postmortem dari glikogen yang sangat cepat dan tidak terkendali,
sehingga mengakibatkan pH daging yang sangat rendah sesaat setelah
pemotongan, sementara temperatur otot masih tetap tinggi. Daya ikat air oleh
proteinnya sangat rendah. Penurunan pH yang cepat, seperti pada saat
pemecahan ATP yang cepat, akan mengakibatkan kontraksi aktomiosin dan
menurunkan DIA protein (Bendall, 1960). Demikian pula suhu yang tinggi
akan mempercepat penurunan pH otot pascamerta, dan akan meningkatkan
penurunan DIA sebagai akibat dari meningkatnya denaturasi protein otot dan
meningkatnya perpindahan air keruang ekstraselular.
2.2 Faktor Setelah Pemotongan
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging adalah
metode pelayuan, metode pemasakan, tingkat keasaman (pH) daging, bahan
tambahan (termasuk enzim pengempuk daging), lemak intramuskular
(marbling), metode penyimpanan dan pengawetan, macam otot daging, serta
lokasi otot.
a. Metode Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan
cara menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di
atas titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan
adalah daging yang telah mengalami proses pelayuan. Selama pelayuan,
terjadi aktivitas enzim yang mampu menguraikan tenunan ikat daging. Daging
menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor
yang lebih kuat.
Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi
perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak
mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis.
Dalam kondisi rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan
dengan sewaktu baru dipotong. Oleh karena itu, jika daging dalam keadaan
rigor dimasak, akan alot dan tidak nikmat. Untuk menghindarkan daging dari
rigor, daging perlu dibiarkan untuk menyelesaikan proses rigornya sendiri.
Proses tersebut dinamakan proses aging (pelayuan). Daging biasanya
dilayukan dalam bentuk karkas atau setengah karkas. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi luas permukaan yang dapat diinfeksi oleh mikroba.
Tujuan dari pelayuan daging adalah:
a. Agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung
sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat
b. Pengeluaran darah menjadi lebih sempurna,
c. Lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba
pembusuk dari luar dapat ditahan,
d. Untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum
serta cita rasa khas.
b. Metode Pemasakan
Daging dengan jaringan ikat sedikit seperti has, dianjurkan dimasak
dengan pemanasan kering (goreng, bakar, panggang, barbeque). Daging
dengan jaringan ikat banyak seperti sengkel, dianjurkan dimasak secara lama
dan lambat dengan suhu rendah dan menggunakan sedikit air. Suhu
pemasakan memengaruhi keempukan daging. Jika daging tanpa lemak
dipanaskan, protein kontraktil mengeras dan cairan hilang sehingga
menurunkan keempukan daging. Potongan daging yang empuk bila dimasak
pada suhu rendah akan menjadi lebih empuk dibanding pemasakan pada suhu
sedang, dan dengan pemasakan suhu sedang, daging lebih empuk dibanding
pemasakan dengan suhu tinggi. Oleh karena itu, suhu pemasakan perlu
diperhatikan untuk menghasilkan daging yang empuk.
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan
atau pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan
makin besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut
masak merupakan indicator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan
kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut
otot. Jus daging merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan
keempukan daging (Soeparno, 1992).
c. Tingkat Keasaman (pH) Daging
Nilai pH merupakan salah satu criteria dalam penentuan kualitas daging,
khususnya di Rumah Potong Hewan (RPH). Setelah pemotongan hewan
(hewan telah mati), maka terjadilah proses biokimiawi yang sangat kompleks
di dalam jaringan otot dan jaringan lainnya sebagai konsekuen tidak adanya
aliran darah ke jaringan tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu
proses yang terjadi dan merupakan proses yang dominan dalam jaringan otot
setelah kematian (36 jam pertama setelah kematian atau postmortem) adalah
proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem. Dalam glikolisis anaerob
ini, selain dihasilkan energi (ATP) maka dihasilkan juga asam laktat. Asam
laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan mengakibatkan
penurunan nilai pH jaringan otot.
Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut
daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan
disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat
adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat
dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap,
yaitu dari nilai pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara
bertahap dari 7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan
mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value)
adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan
(kematian). Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.
Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang
terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010)
d. Bahan Tambahan (Termasuk Enzim Pengempuk Daging)
Enzim dari tanaman, seperti papain (dari pepaya), bromelin (dari nenas),
dan fisin (getah pohon daun ara), baik berbentuk cair maupun bubuk, dapat
digunakan untuk mengempukkan daging. Kelemahan enzim ini adalah kadang-
kadang hanya bereaksi pada permukaan daging, selain berpengaruh negatif
terhadap sifat daging.
Papain dari getah pepaya paling banyak digunakan sebagai pengempuk
daging. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas enzim proteolitik, dan
kualitas enzim bergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Aktivitas
enzim dipengaruhi oleh proses pembuatan, umur, dan varietas pepaya. Papain
stabil pada pH larutan 5,0. Papain sangat aktif dan tahan terhadap
panas. Papain bekerja optimum pada suhu 50-60oC dan pH 5-7, serta aktivitas
proteolitik antara 70-1.000 unit/gram.
Enzim bromelin dari nenas juga banyak digunakan untuk mengempukkan
daging. Enzim bromelin dapat menguraikan serat-serat daging sehingga
menjadi lebih empuk. Buah nenas yang belum matang mengandung bromelin
lebih sedikit dibandingkan buah nenas matang yang masih segar. Kandungan
bromelin paling banyak terdapat dalam bagian kulit.
Marinasi adalah cara meningkatkan keempukan daging dengan
menambahkan bahan perasa, seperti garam atau kecap, asam (cuka, jeruk
lemon), dan enzim (papain, bromelin, fisin atau jahe). Penambahan beberapa
sendok makanminyak zaitun akan melindungi permukaan daging dari udara
dan daging akan tetap segar dan warnanya lebih cerah dalam waktu lebih lama.
Dengan marinasi terjadi pelunakan kolagen oleh garam, meningkatnya
pertahanan air, hidrolisis serta pemecahan ikatan silang jaringan ikat oleh
asam.
e. Lemak Intramuscular (Marbling)
Berdasarkan marbling, karkas sapi dibedakan menjadi: 1) prime, bila
marbling-nya berlebih, 2) choice, bila marbling-nya sedang, 3) seledt, bila
marbling-nya sedikit, 4) standart, bila marbling-nya sangat sedikit.
Marbling adalah lemak yang terdapat diantara serabut otot
(intramuscular). Lemak berfungsi sebagai pembungkus otot dan
mempertahankan keutuhan daging pada waktu dipanaskan. Marbling
berpengaruh terhadap citarasa daging. Selama proses penggemukan,
peningkatan lemak karkas akan mempengaruhi komposisi karkas dan hasil
daging (Priyanto et al., 1999).
f. Metode Penyimpanan dan Pengawetan
Ada beberapa yang dilakukan dalam menentukan kualitas daging dengan
metode penyimpanan dan pengawetan, antara lain sebagai berikut:
1) Laju Pendingin
Karkas sebaiknya cepat didinginkan setelah pemotongan untuk mencegah
penurunan kualitas. Jika karkas didinginkan sebentar, hasilnya adalah
pendinginan singkat dan menyebabkan daging keras/alot. Pendinginan
singkat terjadi pada saat otot didinginkan kurang dari 60°F sebelum rigor
mortis selesai. Jika karkas dibekukan sebelum rigor mortis selesai, hasilnya
adalah rigor cair (thaw rigor) dan daging menjadi keras/alot. Pada kondisi
pendinginan normal, karkas yang terlindungi lemak sekitar rib eye kurang
dari 1,2 cm mungkin akan menurunkan keempukan karena pendinginan
singkat. Pelayuan karkas hasil pendinginan singkat atau rigor cair dapat
memengaruhi keempukan. Agar daging lebih empuk, harus dihindari
pendinginan singkat, 6-12jam pertama setelah ternak dipotong (mati).
2. Pembekuan
Pembekuan kurang memengaruhi keempukan daging. Bila daging
dibekukan secara cepat akan terbentuk kristal es kecil, dan bila
daging dibekukan lambat/lama akan terbentuk kristal es besar.
Terbentuknya kristal es besar dapat mengganggu serat otot daging sehingga
sangat sedikit meningkatkan keempukan. Kristal es yang besar dapat
menurunkan cairan daging selama thawing (pencairan). Daging yang kurang
berair akan kurang empuk jika dimasak.
3) Thawing
Daging beku yang sudah mengalami pencairan secara lambat dalam
refrigerator umumnya lebih empuk dibanding yang dimasak dalam kondisi
beku. Pencairan secara lambat mengurangi kekerasan dan jumlah cairan
daging yang hilang. Pencairan menggunakan microwave hendaknya
dilakukan dengan daya yang rendah.
Akibat proses pengolahan dan komponen bumbu yang digunakan,
beberapa produk olahan tersebut memiliki nilai gizi lebih baik dibandingkan
dengan daging segarnya. Produk olahan daging tersebut dapat juga
digunakan sebagai alternatif sumber protein hewani.
g. Macam Otot Daging
Keempukan daging bervariasi sesuai dengan jenis otot atau letak
daging pada karkas. Contoh, daging sapi jenis has dalam lebih empuk
dibanding daging sengkel karena adanya perbedaan jaringan ikat pada jenis
daging tersebut. Has dalam memiliki jaringan ikat yang lebih sedikit
dibandingkan dengan sengkel. Jumlah jaringan ikat berkaitan dengan fungsi
otot pada ternak hidup. Sengkel terutama digunakan dalam pergerakan
sehingga memiliki jaringan ikat lebih banyak. Sementara itu, has dalam hanya
mendukung fungsi ternak sehingga jaringan ikatnya lebih sedikit.
h. Lokasi Otot
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena
terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari
ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan. Otot yang
memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan panjang
sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin
atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno, 1994).
Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau
pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging,
karena panjang sarkomer miofibril meningkat. Penggantungan karkas dapat
meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi empuk.
Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus
teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti
pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat
dalam otot merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan
antar otot (Boccard dkk., 1967).
Bagian tubuh sapi yang bisa dikonsumsi disebut sebagai karkas.
Karkas yang dihasilkan oleh sapi berkisar antara 4%5 – 55 % dari berat
tubuhnya, tergantung pada bangsa dan kondisi sapi. Perolehan karkas
dapat diperkirakan pada saat sapi masih hidup, dengan cara grading
(klasifikasi).
Klasifikasi ternak sapi berdasarkan karkas adalah sebagai berikut
1. Berdasarkan Kualitas, digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu :
Prime. Ciri klasifikasi ini adalah seluruh tubuh berdaging tebal,
mempunyai selubung lemak yang berat, dengan bentuk dan tampilan
yang sangat bagus. Ternak sapi dengan kondisi ini sangat gemuk
Choice. Bentuk dan tampilannya sedikit dibawah prime, karena
selaput lemak, daging dan perototan lebih sedikit, tetapi tetap lunak.
Klasifikasi ini dibagi lagi menjadi : high, middle, atau low choice
carcass. Klasifikasi ini diperoleh melalui pemberikan pakan berupa biji-
bijian.
Good. Ternak sapi pada klasifikasi ini mengandung sedikit lemak ,
biasanya pada ternak muda. Klasifikasi ini ini dibagi lagi menjadi :
high, middle, dan low good yang sering digunakan. Ternak sapi
dengan klasifikasi ini biasanya terbentuk karena diberi pakan dengan
sedikit biji-bijian atau terbentuk di padang penggembalaan yang baik
tanpa biji-bijian.
Standard. Ini adalah klasifikasi pada ternak-ternak di bawah umur 4
tahun, yang berdaging dan berotot tipis, serta sedikit mengandung lemak
sangat sedikit.
Commercial. Klasifikasi untuk sapi-sapi yang berumur di atas 4
tahun dengan kualifikasi sama dengan pada standard.
Utility. Klasifikasi ternak sapi dengan kondisi dibawah grade commercial.
Cutter. Ternak sapi dengan grade ini badannya sangat kurus, tinggal kulit
pembalut tulang dengan susunan tulang yang menonjol.
Canner. Kualitasnya lebih buruk daripada cutter.
2. Berdasarkan kuantitas ( yield grade, cutability)
dibagi berdasarkan persentase daging dan perlemakan tubuh menjadi 5
macam yaitu : cutability 1(dengan daging hampir tanpa lemak/ lean meat)
hingga cutability 5 (yang banyak sekali mengandung lemak tubuh). Rumus
untuk menghitung yield grade pada sapi sebagai berikut. Yield grade : 250 +
(2,50 x tebal lemak punggung, inchi) – (0,32 x luas otot mata rusuk, inchi
kuadrat) + (0,20 x persen lemak ginjal, jantung, pelvis) + (0,0038 x
bobot karkas panas, pound)
Bagian Karkas Sapi
Dalam bangsa ternak yang sama, komposisi karkas dapat berbeda. Setiap
bangsa ternak akan menghasilkan karkas dengan karakteristiknya sendiri.
Misalnya, sapi Angus mempunyai kecenderungan yang khas untuk menimbun
lemak intramusculer. Demikian halnya dengan perbedaan utama antara bangsa
sapi tipe perah (dairy) dan tipe daging (beef) adalah terletak pada ciri dari
pendistribusian lemak diantara depot-depot lemaknya. Karkas sapi tipe perah
cenderung mempunyai proporsi lemak ginjal dan pelvis (lemak internal) yang
lebih tinggi dan proporsi lemak subkutan yang lebih rendah dibanding dengan
sapi tipe daging, dan sebaliknya (Aberle et al., 2001). Perbedaan komposisi tubuh
dan karkas terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh atau bobot pada saat
dewasa. Sebagai contoh, bila perbandingan komposisi karkas antara bangsa tipe
besar dan tipe kecil didasarkan pada bobot yang sama, maka bangsa tipe besar
akan lebih besar perdagingannya dan lebih banyak mengandung protein, proporsi
tulangnya lebih tinggi dan proporsi lemak lebih rendah daripada sapi tipe kecil
(Williams, 1982; Black, 1983).
Perbedaan ini disebabkan karena pada bobot yang sama, ternak tipe besar
secara fisiologis adalah lebih muda. Sapi Eropa tipe kecil seperti Angus, Hereford
dan Shorthorn mengandung lebih banyak lemak pada saat penggemukan daripada
tipe besar seperti Charolais (Williams, 1982). Sebelumnya Arthaud et al. (1969)
dari penelitiannya menjelaskan bahwa karkas dan daging, sapi Angus jantan lebih
berat dibandingkan dengan sapi kebiri pada bangsa yang sama. Priyanto et al.
(1993) menyimpulkan bahwa bangsa sapi Brahman, Hereford dan Persilangan
Brahman-Hereford yang diberikan dua macam perlakuan pakan (hijauan dan
konsentrat), maka peningkatan proporsi lemak dan penurunan proporsi daging
yang dihasilkan tidak nyata berbeda jika perbandingan tersebut dilakukan antar
bangsa ternak dalam perlakuan pakan yang berbeda, tetapi nyata berbeda jika
perbandingan tersebut dilakukan antar bangsa ternak dalam masing-masing
perlakuan pakan yang sama.
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KLASIFIKASI KARKAS
SAPI
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karkas dan komponennya
adalah genetik, lingkungan, makanan, dan kemampuannya beradaptasi. Makanan
merupakan faktor yang penting diperhatikan untuk memperoleh bobot karkas
yang tinggi dari seekor ternak. Ternak membutuhkan makanan sejak dalam
kandungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi foetus dan dilahirkan,
kemudian tumbuh menjadi dewasa. bentuk grafik pertumbuhan ternak ditentukan
oleh jumlah makanannya. Bila jumlah makanan yang dikonsumsi tinggi, maka
pertumbuhan akan cepat bagi ternak untuk mencapai bobot badan yang
diharapkan serta bobot karkas yang maksimal sesuai dengan potensi genetiknya.
Jumlah makanan dan mutu makanan yang baik tidak dapat merubah tubuh ternak
secara genetis bertubuh kecil, tetapi pemberian makanan dalam jumlah yang
rendah tidak akan mampu memberikan pertambahan bobot badan dan
pertumbuhan karkas secara optimal sesuai dengan potensi genetik yang ada pada
masing-masing ternak seperti kecepatan tumbuh, persentase karkas yang tinggi,
hanya mungkin dapat terealisasi apabila ternak tersebut dapat memperoleh
makanan yang cukup.
Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi laju pertumbuhan dan
komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi kimia komponen
karkas. Faktor lingkungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor fisiologi
dan nutrisi. Umur, berat hidup, dan laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi
komposisi karkas. Proporsi tulang, otot, dan lemak sebagai komponen utama
karkas dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Bila proporsi salah satu variabel
lebih tinggi, maka proporsi salah satu atau kedua variabel lainnya lebih rendah.
Komposisi kimia karkas terutama terdiri atas air, protein, lemak dan abu secara
proporsional juga dapat berubah bila salah satu variabel mengalami perubahan
(Soeparno, 2005). Karkas dapat digunakan untuk menentukan berat dan
persentase tanpa tulang, serta produk retail hasil trimming (Greiner et al., 2003).
Faktor yang diperhitungkan dalam mengestimasi jumlah daging dari suatu karkas
(kualitas hasil) pada daging ruminansia besar meliputi ketebalan lemak subkutan,
luas area urat daging mata rusuk, persentase lemak visceral (lemak penyelubung
ginjal, jantung dan pelvis) terhadap berat karkas
.
A. Pengaruh Lemak Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi
Perlemakan (marbling) dibagi menjadi slightly abundant, moderate,
modest, small, slight, traces, dan yang tampa lemak. Daging yang termasuk
peringkat kualitas tinggi menurut USDA ( prime, choice, good, dan standart)
terdapat pada hewan-hewan yang masuk kedewasaanya lebih awal. Ini
mencerminkan bahwa konsumen sekarang lebih suka memilih daging tampa
lemak.
B. Pengaruh Bangsa Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi/Kerbau
Perbedaan bangsa atau breed pada ternak sapi mempunyai dampak pada
besarnya proporsi lemak dibandingkan proporsi daging dan tulang selama
penggemukan. Pada sapi Hereford menghasilkan proporsi lemak yang lebih
banyak pada daerah subkutan, sedikit lemak intermuskuler dan lemak internal
dibandingkan pada sapi Friesian (Leat dan Cox, 1980). Menurut Berg dan
Butterfield (1976) genetik sapi mempengaruhi pertumbuhan relatif dari
otot,tulang dan lemak. Pada stadium awal pertumbuhan otot, tulang dan lemak
mempunyai pola pertumbuhan yang serupa, relatif terhadap bobot karkas baik
pada sapi jantan kastrasi Hereford maupun Friesian. Meskipun demikian, pada
saat awal fase penggemukan sapi Hereford mempunyai berat karkas yang lebih
ringan, Setelah itu karkas sapi Friesian mempunyai lebih banyak otot dan tulang
tetapi lebih sedikit lemak dibanding Hereford. Selanjutnya Fortin et al., (1981)
melaporkan bahwa persentase lemak karkas sapi Angus lebih tinggi dibandingkan
sapi Friesian, baik yang mengkonsumsi energi rendah maupun energi tinggi.
Komposisi karkas sapi dapat berbeda pada bangsa ternak yang sama.
Bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karakteristiknya masingmasing.
Ada bangsa ternak yang mempunyai persentase lemak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bangsa ternak lainnya pada bobot potong yang sama,
demikian pula dengan komposisi daging dan tulang juga akan berbeda (Aberle et
al., 2001; Lawrie, 2003). Selanjutnya, perbedaan utama antara bangsa sapi tipe
perah (dairy cattle) dengan tipe daging (beef cattle) adalah ciri distribusi lemak
diantara depot-depot lemak karkas. Tipe perah cenderung mempunyai proporsi
lemak ginjal dan pelvis yang lebih tinggi dan proporsi lemak subkutan dan lemak
intermuskuler daripada bangsa sapi tipe pedaging. Menurut Leat dan Cox (1980)
bangsa sapi tipe perah memiliki ukuran sel-sel lemak yang lebih kecil dan
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan sel-sel lemak bangsa sapi pedaging.
Menurut Soeparno (1998) genetik, jenis kelamin dan umur mempengaruhi
laju pertumbuhan komposisi tubuh yang meliputi distribusi berat dan komposisi
kimia serta proporsi komponen karkas (otot, tulang dan lemak). Bila proporsi
salah satu komponen karkas tinggi maka proporsi komponen lainnya akan lebih
rendah. Menurut Aberle et al. (2001) sapi Angus terkenal dengan sifat menyimpan
lemak intramuskuler (marbling) yang sangat baik.
Mc. Carthy et al. (1985) melaporkan bahwa perbandingan komposisi
karkas antara bangsa sapi tipe besar dengan tipe kecil pada bobot potong yang
sama maka sapi tipe besar lebih berdaging (lean), lebih banyak mengandung
protein, proporsi tulang lebih tinggi dan lemak lebih rendah dibandingkan tipe
kecil. Sapi Hereford dan sapi Shorthorn Cross (SX) mempunyai distribusi bobot
otot yang berbeda pada karkas, namun otot pada bagian perut (flank) dan leher
(chuck) relatif sama (Mukhoty dan Berg, 1973). Thompson dan Barlow (1981)
melaporkan bahwa sapi Brahman Cross (BX) mempunyai karkas yang lebih berat
dibandingkan sapi Hereford.
C. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi/Kerbau
Jenis kelamin (sex) mempengaruhi pertumbuhan jaringan dan komposisi
karkas. Sapi dara (heifer) menyelesaikan fase penggemukan pada bobot yang
lebih ringan dibandingkan sapi jantan kebiri (steer), dan sapi kebiri menyelesaikan
fase penggemukan tersebut lebih ringan dibandingkan sapi pejantan (bull). Oleh
karena itu bobot potong optimal lebih kecil pada sapi dara dan lebih besar pada
sapi jantan bila dibandingkan dengan sapi kebiri atau kastrasi. Penggemukan sapi
jantan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan sapi dara atau sapi kebiri
(Berg dan Butterfield, 1976). Sapi jantan mempunyai otot yang lebih banyak dan
lemak lebih rendah jika dibandingkan sapi dara, sedangkan sapi kebiri terletak
diantara keduanya. Tulang dan jaringan ikat (connective tissue) pada sapi jantan
dan kebiri lebih tinggi jika dibandingkan sapi dara (Fortin et al., 1981).
Sapi dara cenderung mempunyai persentase urat daging kaki belakang
bagian proximal dan abdomen yang lebih besar dibandingkan dengan sapi jantan,
dan pada sapi kebiri persentase tersebut lebih besar dibandingkan sapi jantan. Sapi
jantan mempunyai proporsi urat daging bagian leher dan dada yang lebih besar
daripada sapi dara, sedangkan sapi kebiri diantara keduanya (Mukhoty dan Berg,
1973). Pada sapi, lemak cenderung disimpan lebih banyak pada ginjal dan rongga
pelvis. Banyaknya lemak bervariasi diantara spesies dan merupakan pertimbangan
utama dalam menentukan nilai karkas (Minish dan Fox, 1979). Crouse et al.,
(1985) mendapatkan tebal lemak punggung sapi jantan kastrasi 0.76 cm
sedangkan sapi pejantan 0.97 cm, sementara Johnson et al., (1988) mendapatkan
tebal lemak punggung sapi jantan kastrasi lebih tinggi dibandingkan sapi pejantan,
yaitu 1.14 cm VS 0.94 cm.
Persentase lemak pada sapi akan bertambah selama terjadi pertumbuhan
(Aberle et al., 2001). Penelitian Arnim (1985) pada sapi Peranakan Ongole
menunjukkan bahwa perbedaan umur mempengaruhi bobot lemak pelvis, dimana
pada umur 2,5 tahun mempunyai bobot lemak pelvis 1.14 kg sedangkan umur 3.5
tahun sebesar 1.65 kg. Menurut Ockerman et al., (1984) kastrasi terhadap sapi
jantan muda berpengaruh terhadap karakteristik karkas. Pada sapi jantan yang
tidak dikastrasi, karkasnya lebih panjang dibandingkan sapi yang tidak dikastrasi,
demikian pula bagian urat daging bagian paha (round) lebih berat serta urat
daging mata rusuk (loin eye area) yang lebih luas. Sedangkan sapi yang dikastrasi
(steer) dagingnya lebih ber-marbling, kualitas daging lebih baik, lemak yang
menyelimuti daging (intermusculer fat) lebih tebal, serabut otot “putih”
persentasenya lebih banyak dan diameter serabut otot pada otot longissimus lebih
kecil dibandingkan karkas sapi yang tidak dikastrasi.
Kirchgessener et al., (1994) menyatakan bahwa kandungan lemak sapi
jantan kastrasi (steer) lebih tinggi dibandingkan sapi pejantan (bull) apabila sapi
tersebut dipotong. Gerrand et al., (1987) melaporkan bahwa sapi jantan kastrasi
(steer) mempunyai serabut kolagen diantara otot yang lebih sedikit dibandingkan
sapi jantan (bull). Menurur Restle dan Vaz (1997) melaporkan bahwa antara steer
dan young bull (pejantan muda) sapi Hereford umur 14 bulan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata pada parameter: berat hidup, persentase karkas, panjang
karkas dan luas urat daging mata rusuk. Namun demikian, berat karkas dan
konformasi karkas pada sapi yang tidak dikastrasi (young bull) relatif lebih baik.
D. Pengaruh Umur dan Berat Potong Terhadap Klasifikasi Karkas Sapi
Gerrand et al., (1987) melaporkan bahwa, sapi jantan kastrasi yang
dipotong secara berseri pada umur 9, 12, 15 dan 18 bulan menunjukkan hubungan
yang linear terhadap berat potong, berat karkas, tebal lemak punggung (fat
thickness), luas urat daging mata rusuk, skor marbling (skor 2,8 sampai 6.1) dan
USDA quality grade. Menurut Song dan Choi (1993) dalam Basuki (2000) lama
pemeliharaan sapi dengan pakan yang rasional dapat meningkatkan persentase
karkas, luas urat daging mata rusuk, tebal lemak punggung, persentase potongan
eceran karkas (retail cuts) dan perbaikan skor marbling dari urat daging mata
rusuk. Shahin et al., (1993) melaporkan bahwa perbedaan lama penggemukan
pada sapi berpengaruh terhadap laju pertumbuhan relatif dari lemak dan proporsi
lemak pada karkas. Komposisi tubuh pada sapi yang dipelihara dalam jangka
waktu yang berbeda (124 hari VS 175 hari) ternyata sangat besar korelasinya
dengan kandungan energi pakan.
Menurut Mahbout dan Lodge (1994), kandungan otot, tulang dan lemak
pada karkas domba Omani meningkat dengan bertambahnya berat potong.
Meskipun demikian proporsi otot dan tulang pada karkas yang telah dilayukan
(cold carcass) menurun sedangkan proporsi lemak meningkat, rasio daging-tulang
meningkat sedangkan rasio daging-lemak menurun dengan meningkatnya berat
potong. Sapi jantan Aberden Angus yang dipotong secara berseri sesuai
peningkatan bobot potong menunjukkan bahwa semakin besar bobot potong dan
berat karkas maka persentase karkas dan persentase lemak juga meningkat,
utamanya lemak subkutan, ginjal, jantung,, lemak intermuskuler dan lemak
internal (Morris et al., 1993 dalam Basuki, 2000).
III. PENUTUP
KESIMPULAN
Karkas adalah bagian tubuh yang telah mengalami proses pemotongan
tanpa kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari carpus dan tarsus, kulit,
darah dan organ dalam (hati, saluran pencernaan, jantung, saluran reproduksi,
paru-paru, limpa kecuali ginjal. Karkas dapat dibagi dalam bentuk recahan karkas
(yeld grade) atau potongan karkas. Potongan komponen karkas berbeda-beda dari
satu tempat ketempat lain sesuai dengan sistem pemotongan untuk dijual dan
kebiasaan masyarakat dalam memilih depot perdagingan pada karkas. Namun
setiap spesies mempunyai potongan komponen karkas tersendiri.
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait
satudengan yang lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
samaantara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak
yangdipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang lebih
tinggidaripada ternak muda. Dengan bertambahnya umur biasanya diikuti
pertambahan berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan
organ-organtertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak
IV. DAFTAR PUSTAKA
Adegoke, G.O dan K.O Falade. 2005. Quality of meat. J. Food Agric. Environ.
3:87-90.
Almatsier, S. 2003. Prinsip dasar ilmu gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Bahar B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Blakely, J. dan D.H Bade 1998. Ilmu peternakan. Cetakan keempat. Terjemahan:
B. Srigandono. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Bunter dan Bennet. 2004. Animal Science and Industry. Cetakan keempat.
Prentice Hall, Inc. New Yersey.
Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. The Interstate Printed and Publisher
Denville. Illionis.
Herawaty, R., J. Rahman, N. Jamarun, Refnita, H. Muis dan Mirzah. 1992.
Penuntun praktikum analisa bahan makanan ternak. Fakultas Peternakan
Universitas Andalas, Padang.
http://ftp.lipi.go.id/pub/Proses Pemotongan Ternak di RPH.pdf
Lawrie RA. 1991. Ilmu Daging. Parakkasi Aminuddin, penerjemah. Jakarta: UI
Press. Terjemahan dari : Meat Science.
Lawrie, R. A. 1995. Ilmu daging. Terjemahan: A. Parakkasi. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
Lawrie. 2003. Ilmu Daging-edisi kelima. UI-Perss. Jakarta
Mitchel, J. R. 1990. Guide to Meat Inspection in The Tropis. Commonwealth
Agriculture Bureaux Franham Royal. England.
Nugroho, C,P. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Nurwantoro dan Sri Mulyani. 2003. Teknologi hasil ternak. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang.
Romars et al. 1994. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Yogyakarta : Liberty.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : UGM Press.
top related