Transcript
BAB IPENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Jual – beli merupakan aktivitas yang dilakukan manusia umumnya dalam perekonomian baik itu sebagai produsen ataupun konsumen, dalam islam istilah tersebut sering kita kenal dengan muamalah artinya semua aktivitas yang lebih banyak dilakukan dengan manusia lainnnya atau lebih bersifat dengan keduniawian, meskipun lebih bersifat keduniawian kita tidak boleh menyimpang dari aturan Syara’, sebab semua aktivitas manusia kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual – beli.
Dalam bertransaksi ( jual – beli ) di semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas dari sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam islam disebut dengan istilah khiyar artinya tawar – menawar. Pada makalah ini penyusun akan coba membahas mengenai tawar – menawar yang kami beri judul KHIYAR DALAM PANDANGAN ISLAM, serta kedudukannya.
Penyusun berharap agar para pembaca makalah ini tidak merasa puas dengan tulisan ini, akan tetapi harus lebih memacu semangat untuk lebih menggali kebenaran yang hakiki dengan menggunakan referensi yang lebih banyak lagi, agar kita semua mempunyai pedoman dalam beraktivitas dengan manusia lainnya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
KHIYAR DALAM SURAT ANNISA AYAT 29
DANSURAT AL-MAIDAH AYAT 1
A. Pengertian Khiyar
اض� �ر� ت ع�ن� ة ار� �ج� ت �ون� �ك ت �ن� أ �ال إ �اط�ل� �ب �ال ب �م� �ك �ن �ي ب �م� �ك م�و�ال� أ �وا �ل �ك �أ ت ال �وا آم�ن &ذ�ين� ال )ه�ا ي
� أ �ا يح�يما ( ر� �م� �ك ب �ان� ك &ه� الل �ن& إ �م� ك �ف�س� �ن أ �وا �ل �ق�ت ت و�ال �م� �ك )٢٩م�ن
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.1
م�ح�ل6ي �ر� غ�ي �م� �ك �ي ع�ل �ل�ى9 �ت ي م�ا �ال& إ � �ع�ام �ن األ� �ه�يم�ة� ب �م� �ك ل �ح�ل&ت� أ �ع�ق�ود� �ال و�ف�واب� أ �وا آم�ن &ذ�ين� ال )ه�ا ي
� أ �ا �ي �ر�يد� ي م�ا �م� �ح�ك ي &ه� الل �ن& إ Cم ح�ر� �م� �ت �ن و�أ �د� �الص&ي
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS: Al-Maidah Ayat: 1)
Kata al-Khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.Secara termonologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, antara lain menurut Sayyid Sabiq[1]:
. �غ�اء� �ل اال و�� أ �م�ض�اء� اال م�ن� �ن� ي �م�ر� �أل ال �ر� ي خ� ط�ل�ب� ه�و الخيار�
Kyihay adalah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau meninggalkan (jual-beli).Sedangkan menurut wahbah al-Zulaily mendifinisikan khiyar :
�و� ا �ب� ع�ي �و� ا ة� ؤ�س� ر� �و� ا Cط ر� ش� �ار� ي خ� �ر� �ا ي �خ� ال �ان� ك �ن� ا خ�ه� ف�س� �و� ا �ع�ق�د� ال �م�ض�اء� ا ف�ى �ح�ق) ال ق�د� �ع�ا �م�ت �ل ل �و�ن� �ك ي �ن� ا�ن� �ي �ع�ي ت �ار� ي خ� �ار� ي �لخ� ا �ك�ان� �ن ا �ن� �ع�ي �ي �لب ا �ح�د� ا �ار� ت �خ� ي �ن� ا
Artinya : “suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta;yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.).
1 Mohammad Shohib Thohir, Al-Qur’an Terjemah Perkata (Bandung: Symamil Cipta Media, 2007), 83.
Hak khiyar ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.2
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.
Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :
Menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu
memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah
dan melakukan bermacam-macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at.
Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli
dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya
dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah
dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya.
B. Pembahasan Kosa Kata
ال �وا آم�ن &ذ�ين� ال )ه�ا ي� أ �ا ي
Jangan Mereka beriman Orang-orang yang Wahai�اط�ل� �ب �ال ب �م� �ك �ن �ي ب �م� �ك م�و�ال
� أ �وا �ل �ك �أ تDengan jalan yang
batilDiantara sesame kalian Harta kalian Kalian saling memakan
ع�ن� ة ار� �ج� ت �ون� �ك ت �ن� أ �ال إDengan (dengan jalan)
perniagaanKalian adalah Kecuali
�م� ك �ف�س� �ن أ �وا �ل �ق�ت ت و�ال �م� �ك م�نDiri kalian Kalian membunuh Dan jangan Diantara kalian
ح�يما ر� �م� �ك ب �ان� ك &ه� الل �ن& إDengan kalian maha
penyayangAda dia Allah Sesungguhnya
C. Tafsir Mufradat
2 Dr. H. Abdul Rahman,. Fiqh Muamalah,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 98
Kata al-batil berasal dari al-buthl dan buthlan, berarti kesia-siaan dan kerugian. Menurut syara’ adalah mengambil harta tanpa keridhaan dari pemilik harta yang diambil itu atau menafkahkan harta bukan pada jalan yang bermanfaat. 3
Kata-kata bainakum menunjukkan bahwa yang haram biasannya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan dengan orang yang hartanya dimakan. Yang dimaksud dengan memakan disini adalah mengambil dengan cara apapun.
�م� �ك م�ن اض� �ر� ت ع�ن� ة ار� �ج� ت �ون� �ك ت �ن� أ �ال إ Janganlah kalian termasuk orang-orang yang tamak yang memakan harta orang lain tanpa mengganti
dengan mata uang atau dengan suatu yang manfaat. Tetapi makanlah harta itu dengan cara perniagaan yang pokok penghalalannya ia saling meridhoi, itulah yang patut bagi orang-orang yang menjunjung kemanusiaan dan agama. Apabila ingin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang banyak hartanya.4
D. Kandungan Hukum
Di dalam pergaulan manusia yang luas itu, hendaklah ada hubdungan yang baik di dalam hal harta benda. Sesudah Allah ta’ala menuntun jalan kepada perkawinan dan menjauhi perzinaan, sekarang Allah menuntun kita dalam hal harta.[4]sebgaimana ayat tersebut diatas:
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta-harta sesamamu dengan cara bathil, kecuali bahwa ada dalam perniagaan dengan ridha diantara kamu.
Allah SWT melarang mengambil harta orang lain dengan jalan yang bathil (tidak benar) kecuali dengan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka. Jalan yang bathil menurut syara’ adalah mengambil dengan cara yang tidak disetujui oleh pemiliknya dan menggunakan harta bukan pada tempatnya.
Islam menghormati hak milik (harta) dan menentukan hak-hak tertentu atas harta tersebut dengan kewajiban zakat atau amalan-amalan sunnah lainnya. Karena harta benda mempunyai kedudukan dibawah nyawa, bahkan terkadang nyawa dipertaruhkan untuk memperoleh atau mempertahankannya. Maka pesan atau kandungan ayat ini selanjutnya adalah dan janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri atau orang lain secara tidak hak. Karena orang lain sama dengan kamu, bila kamu membunuhnya maka kamupun terancam dibunuh.[5] Karena kjalau orang lain dibunuh, timbullah dendam yang tidak berkesudahan. Dan kalau kamu bunuh dirimu sendiri persoalanmu tidak akan selesai hingga itu.5
3 Ahmad Mustafa, Al-maraghi Juz V, Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly (Semarang: Toha Putra, 1986), 25.
4 Hamka, tafsir Al-Azhar Juz V (Jakarta; Pustaka panji Mas, 2004), 30.
5 M. Quraish Shihab, tafsir Al-Misbah (Ciputat: Lentera hati, 204), 24.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an tentang prinsip berekonomi yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 29, Al-Ma’idah ayat 1 yang telah dijelaskan diatas tadi, kita dapat menyimpulkan bahwa menurut perspektif Islam, ada beberapa prinsip dalam sistem ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai kerangka acuan dalam melakukan berbagai aktifitas perekonomian. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Khiyar artinya “Boleh memilih antara dua, meneruskan akad jul beli atau mengurungkan ( menarik kembali, tidak jadi jual beli)”.
2. Tujuan diadakan khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.
3. Cara menggunakan khiyara. Pengguran Jelas ( sharih )b. Pengguguran dengan Dilalahc. Pengguran khiyar dengan kemadaratan
B. Saran
Penulis sadar, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu. Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
BAB IV
DAFTAR PUTAKA
Ahmad Mustafa, Al-maraghi Juz V, Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hery Noer Aly (Semarang: Toha Putra, 1986), 25.
Mohammad Shohib Thohir, Al-Qur’an Terjemah Perkata (Bandung: Symamil Cipta Media, 2007), 83.
Dr. H. Abdul Rahman,. Fiqh Muamalah,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 98 Hamka, tafsir Al-Azhar Juz V (Jakarta; Pustaka panji Mas, 2004), 30. M. Quraish Shihab, tafsir Al-Misbah (Ciputat: Lentera hati, 204), 24. M. Quraish Shihab, tafsir Al-Misbah (Ciputat: Lentera hati, 204), 24.
Kebijakan moneterDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah lain.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. [1]
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang.Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Daftar isi
1 Jenis-jenis Kebijakan Moneter 2 Tujuan Kebijakan Moneter 3 Lihat pula 4 referensi
Jenis-jenis Kebijakan Moneter
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: [2]
Kebijakan moneter ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat (permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi. Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain : [3]
Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Imbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. [4]
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
ujuan Kebijakan Moneter
Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Definisi/Pengertian Kebijakan Moneter Dan Kebijakan Fiskal, Instrumen Serta Penjelasannya
Oleh godam64 pada 14 Januari 2008 | 06:13
A. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive PolicyAdalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
B. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli
masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal EkspansifAnggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal KontraktifAnggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
KEBIJAKAN FISKAL Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian
untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan
ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih
mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan
jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer
pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat
pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Tujuan utama kebijakan fiskal ialah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga.
Implementasinya untuk menggerakkan Pos penerimaan dan pengeluaran dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleksnya struktur ekonomi perdagangan dan
keuangan, maka semakin rumit pula cara penanggulangan inflasi. Kombinasi beragam harus digunakan
secara tepat, seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, perdagangan dan penentuan harga.
Dalam kebijakan fiskal, inflasi dikendalikan dengan surplus anggaran, sedangkan dalam kerangka
kebijakan moneter, inflasi dikendalikan dengan tingkat bunga dan cadangan wajib. Piranti kebijakan
yang perlu dipersiapkan
1. Pajak untuk sektor swasta
2. Pinjaman pada masyarkat
3. Pengeluaran Pemerintah untuk pengendalian pengangguran
Apabila piranti kebijakan dimaksud ternyata gagal, maka cara yang tepat dengan MENCETAK UANG.
Uang yang dicetak oleh pemerintah harus dijamin dengan cadangan devisa yang cukup, agar uang yang
beredar di masyarakat aman.
Kebijakan Fiskal
1. Ekspansif : implementasi kebijakan ini dengan menaikkan pengeluaran pemerintah dan
menurunkan penerimaan pajak.
2. Kontraktif : implementasi kebijakan ini dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan
menaikkan penerimaan pajak.
Permasalahan yang mungkin muncul dalam kebijakan fiscal
1. Bagaimana meningkatkan kemampuan perpajakan (Taxable Capacity)
2. Bagaimana membuat seimbang komposisi pajak
3. Bagaimana merancang pajak-pajak khusus
Macam-macam Kebijakan Fiskal
1. Functional finance : Pembiayaan pemerintah yang bersifat fungsional
2. The managed budget approach : Pendekatan pengelolaan Anggaran
3. The stabilizing budget : Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal, maka
pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti dengan menaikkan gaji PNS atau
subsidi
4. Balance budget approach : Pendekatan Anggaran Belanja berimbang, namun bila terlambat
penyesuaian (Perubahan Anggaran Keuangan), maka kepercayaan masyarakat akan hilang.
Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan
untuk pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi,
pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga pening katan aspek sosial seperti
pemerataan pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.
Buku ini memberikan gambaran era baru pengelolaan kebijakan fiskal sejak periode 1960an hingga saat
ini. Seperti perkembangan kebijakan perpajakan dan kepabeanan; perkembangan reformasi kebijakan
belanja; perkembangan kebijakan pembiayaan dan sektor keuangan; desentralisasi fiskal dan otonomi
daerah; termasuk peningkatan kualitas dan pengamanan pelaksanaan kebijakan fiskal.
Karena itu, kebijakan fiskal senantiasa mengalami perubahan dari tahun ke tahun sejalan dengan masa
bakti kabinet pemerintahan saat itu. Buku ini disarankan dimiliki oleh para birokrat pemerintahan,
pemerhati perpajakan dan keuangan, dosen, mahasiswa, serta masyarakat umum yang memiliki
perhatian terhadap kebijakan fiskal di Indonesia.
RESENSI TERKINI - Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu
negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda
dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol
tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan
pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi
variabel-variabel berikut:
* Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
* Pola persebaran sumber daya
* Distribusi pendapatan
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat
dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri
akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli
masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Perubahan dalam tingkat dan komposisi
pajak dan pengeluaran pemerintah dapat berdampak pada variabel-variabel berikut dalam
perekonomian:
Aggregate demand and the level of economic activity ( Permintaan agregat dan tingkat kegiatan
ekonomi )
The pattern of resource allocation (Pola alokasi sumber daya)
The distribution of income (Distribusi pendapatan)
Kebijakan fiskal mengacu pada efek keseluruhan hasil anggaran pada kegiatan ekonomi. Sikap yang tiga
kemungkinan kebijakan fiskal yang netral, ekspansif, dan kontraktif:
Sebuah sikap netral menyiratkan kebijakan fiskal anggaran berimbang di mana G = T
(Pemerintah pengeluaran = Pajak pendapatan). Pengeluaran pemerintah sepenuhnya didanai
oleh penerimaan pajak dan hasil keseluruhan anggaran memiliki efek netral pada tingkat
kegiatan ekonomi.
Sikap ekspansif kebijakan fiskal bersih melibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah (G> t)
melalui pengeluaran pemerintah meningkat, penurunan pendapatan pajak, atau kombinasi dari
keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit anggaran yang lebih besar atau lebih kecil
daripada surplus anggaran pemerintah sebelumnya, atau defisit jika sebelumnya pemerintah
memiliki anggaran berimbang. . Ekspansioner kebijakan fiskal biasanya berhubungan dengan
defisit anggaran.
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM
KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam ekonomi konvesional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat
perubahan-perubahan dalam system pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan
government expenditure). Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan,
yang didefenikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan
spiritual manusia. Fiskal terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efesian, stabilitas
ekonomi, pertumbuha, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang memengaruhi anggaran pendapatan dan belanja suatu Negara (APBN).
Kebijakan moneter dan perdangangan, diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat
jalannya roda perekonomian.
A. POSISI KEBIJAKAN FISKAL
Biasa dikatakan, kebijakan fiskal memengang peranan penting dalam system ekonomi islam bila dibandingkan
dengan kebijakan moneter, adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan
tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Larangan bunga yang
diberlakukan pada tahun hijriah ke empat telah mengakibatkan system ekonomi islam yang dilakukan oleh nabi
terutama bersandar pada kebijakan fiskalnya saja. Sementara itu, negera islam yang dibangun oleh nabi tidak
mewarisi harta sebagai mana layaknya dalam pendirian suatu negera.
Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelah, kaum muslimin cukup berpengalaman dalam menerapkan
beberapa instrument sebagai kebijakan fiskal, yang diselenggarakan pada lembaga baitulmal(nasional treasuri).
Dalam berbagai macam instrument pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak khusus muslim), tanah kharaj,
dan ushur(cukai) atas barang impor dari Negara yang mengenakan cukai terhadap pedangang kaum muslimin,
sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.
Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat.
Kemudian dilihat dari bagaimana islam memecahkan problematika ekonomi. Maka berdasarkan kajian fakta
permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada
bagaimana distribusi harta dan jasa ditengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan
ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT.
Mengingatkana kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya :
“… supaya harta itu jangan hanya beredar antara orang-orang kaya saja diantara kamu…”(QS. Al-Hasyr:7)
Juga dalam hadist nabi Muhammad SAW:
“jika pada suatu pagi suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka”,
dalam kesempatan lain ” tidak beriman lagi pada-ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu
tetangganya kelaparan.”(Hadis Qudsi).
B. ZISWA SEBAGAI KOMPONEN KEBIJAKAN FISKAL ISLAMI
Dalam islam kita kenal adanya konsep zakat infaq, sedekah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan
kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah
islam guna diberikan kepada berbagai unsure masyarakat yang telah ditetapka dalam syariah islam. Sementara
infaq, sedakah, wakaf merupakan pengeluaran sukarela yang juga sangat dianjurkan dalam islam. Dengan
demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang
bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela.
Sebagai salah satu kebijakan fiskal dalam islam, ZIKWA merupakan salah satu sendi utama dari system ekonomi
islam yang kalau mampu dilaksanakan dengan baik akan memberikan dampak ekonomi yang luar biasa.
Diharapkan system ekonomi islam ini mampu menjadi alternatif bagi system pasar yang ternyata menunjukan
berbagai masalah didalam pelaksanaannya. Jelas ini memerlukan kerja keras dari berbagi unsur keahlian untuk
mewujudkannya apa yang dimakan dengan system ekonomi islam.
1. ZAKAT
Dalam hal pengelolaan keuangan public, dunia islam dewasa kehilangan minimal dua hal yaitu menghilangnya
spirit religiositas dan kehilangan meknisme teknik yang bermanfaat. Pertama , menghilangnya spirit regiliositas
dalam penemuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda
dunia islam, hal ini menyebabkan dunia islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak
digunakannya berbagai mekanisme yang berbau islam , justru dunia islam kehilangan metode menyejahterakan
rakyatnya.
Sebagai contoh , tidak diadopsikannya zakat dalam system ketatanegaraan, ini menyebabkan dunia islam
kehilangan kekuatan untuk menjalankan program welfare. Program kesejahteraan untuk memecahkan masalah
kemiskinan dan bencana yang meliputi kesehatan, pangan, balita, dan manula tidak dikenal dengan standar yang
memuaskan diseluruh dunia islam. Menghilangnya regiliositas dari panggung ketatanegaraan dengan serta-merta
mengadopsi sekularisme dan materialism yang tidak dipahami mendorong moralitas yang bobrok.
Tujuan utama dari kegiatan zakat berdasarkan suduk pandang system ekonomi pasar adalah menciptakan
distribusi pendapatan menjadi lebih merata dan tidak ada unsur zakat didalam anggaran pendapatan dan belanja
pemerintah(APBN), karena memang kegiatan zakat belum termasuk dalam catatan statistic resmi pemerintah.
Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin menyucikan hartanya.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa system zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim
dengan pihak defisit muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan
defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit(mustahik) menjadi surplus(muzaki). Zakat
merupakan komponen utama dalam system keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam system
ekonomi islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat islam walaupun demikian masih
komponen lainnya yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan Negara sebagai mana yang
terlah diuraikan diatas.
Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mat a untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan,
stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi mempunyai implikasi untuk kehidupan diakhirat hal ini yang membedakan
kebijakan fiskall dalam islam dengan kebijakan fiskal dalam system ekonomi pasar. Coba perhatikan QS. At-taubah
ayat 103 yang artinya sebagai berikut :
“ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan₂ dan menyucikan₃ mereka dan
berdoalah untuk”
₂maksudnya : zakat memberikan sebagian harta mereka dari kekikiran dan cinta berlebih-lebihan kepada harta
benda.
₃maksudnya : zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda
mereka.
Mereka. Sesungguhnya doa kamu itu(menjadi)ketenteraman jiwa bagi mereka Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.
Sementara itu dampak untuk pengeluaran – pengeluaran lainnya seperti sedekah dan lain-lain, coba perhatikan
QS. Al-baqarah ayat yang artinya :
“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas(karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”
Zakat sesungguhnya merupaka instrument fiskal islami yang sangat luar biasa potensinya, namun sayang,
perhitung-perhitungan potensi zakat yang ada saat ini masih bersifat perkiraan yang kasar. Sebagaian besar
perhitunganyang telah dilakukan hanya sebatas pada perhitungan potensi yang minimal. Angka yang terkecil yang
diperoleh dari beberapa perhitungan yang telah lakukan adalah sebesar Rp.5,1 triliun (informasi dari dewan
syariah dompet duafa, panduan zakat praktis, tahun 24). Selanjutanya, disusun satu formula untuk menghitung
potensi zakat penghasilan atau profesi sebagai berikat :
Z = k rm Yk
Dimana :
Z = jumlah zakat penghasilan/profesi
k = konstanta kadar zakat penghasilan/profesi = 0,025
rm = persentase penduduk muslim Indonesia
Yk = total penghasilan pekerja Indonesia yang penghasilannya di atas nisab.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat penghasilan, maka nisabnya
adalah penghasilan minimal per bulan yang membuat seseorang menjadi wajib zakat(muzaki). Dari sudut kadar
zakat, dianologikan dengan zakat emas, dan uang, karena memang gaji, honorarium, upah dan yang lainnya, pada
umumnya diterima dalam bentuk uang, karena itu kadar zakatnya adalah sebesar rub’ul usyri atau 2,5%, dan
dikeluarkan setiap bulan bagi karyawan yang menerima gaji bulanan (sama seperti zakat pertanian yang
dikeluarkan pada setip panen).
Setelah dilakukan analisis data untuk tahun 2004, maka diperoleh hasil bahwa dari jumlah total tenaga kerja di
Indonesia yang berjumlah 93.722.040 orang, terdapat 16,91% atau 15.847.072 orang yang memiliki penghasilan
lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Sementara dari jumlah total penghasilan tenaga kerja di Indonesia
yang sebesar Rp.1.302.913.160,926,190,-, terdapat 43% atau Rp.557.954.119.104.025,- merupakan jumlah total
penghasilan tenaga kerja yang berpenghasilan lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Dengan asumsi rasio
penduduk Indonesia jumlah muslin (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di Indonesia, maka diketahui
zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari tenaga kerja muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar
Rp.12.274.990.620.289,- berdasarkan penelitian pada tahun 2004.
Realisasi zakat yang dikeluarkan oleh masyarakat muslim di Indonesia belum dapat diketahui secaara pasti,
mengingat tradisi masyarakat kita dalam membayarkan zakatnya banyak secara langsung dibayar kepada
mustahik. Dari hasil survey PIRAC 2004 hanya sebesar 12,5% masyarakat muslim yang menyalurkan zakatnya
melalui lembaga resmi badan amil zakat (BAZ), lembaga amil zakat atau yayasan amal lainnya, ada pun data yang
tercatat pada departemen agama, realisasi zakat pada tahun 2004 sebesar Rp.199,3 milyar. Jadi jika dibandingkan
antara realisasi zakat yang terhimpun pada berbagai lembaga pengelola zakat dengan potensi zakat profesi,
ternyata realisasinya hanya sekitar 1.6 persen dari potensi. Ini bisa dipahami Karena apabila dibandingkan dengan
zaman Rasulullah maka ada beberapa system manajemen yang tidak dilakukan oleh pengelola zakat pada saat ini.
Pada zaman Rasulullah, system manajemen zakat dilalukan oleh amil zakat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Katabah, petugas untuk mencatat para wajib zakat.
Hasabah, petugas untuk menafsir, menghitung zakat.
Jubah, petugas untuk menarik, mengambil zakat dari para muzaki.
Kahazanah, petugas untuk menghimpun dan memelihara harta zakat.
Qasamah, petugas untuk menyalurkan zakat kepada mustahik
Bila mencontoh manajemen zakat Rasulullah, bukan mustahil angka-angka potensi di atas bisa terwujudkan. Jika
itu terjadi, maka zakat akan benar-benar berfungsi sebagai instrument fiskal islami, yang akan sangat membantu
keuangan Negara.
2. WAKAF
Wakaf merupakan satu instrument ekonomi islam yang belum diberdayakan secara optimal di Indonesia. Padahal
sejumlah Negara lain, seperti mesir dan banglades, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi
sumber pendanaan yang tiada habis-habisnya bagi pembangunan ekonomi umat, dalam kondisi keterpurukan
ekonomi seperti yang tengah dialami Indonesia saat ini, alangkah baiknya bila kita mempertimbangkan
pengembangan instrument wakaf ini(masyita, 2003).
Wakaf memang tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi ada beberapa ayat yang dapat dijadikan
dasar hokum wakaf. Salah satunya adalah firman Allah berikut ini, “ kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan(yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sungguhnya Allah mengetahuinya”(QS.ali imran[3];92). Begitu pula dalam sebuah hadist,
Rasulullah bersabda,”apabila seorang manusia meninggal, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari 3 yaitu
shadaqah jariyah(sedekah yang pahalanya tetap mengalir), ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan do’a anak
yang saleh”. Beberapa ahli berpendapat, yang termasuk sedekah jariyah dalam hadist itu, salah satunya, harta
yang diwakafkan, dalam hokum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama(zatnya)
kepada seseorang atau nadzir(penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa
hasilnya digunakan sesuai syariat islam.
Diantara instrument ZIKWA, untuk kasus wakaflah yang paling terbelakang kemajuannya, padahal sesungguhnya,
wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat islam sejak agama islam masuk keindonesia. Wakaf juga telah
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perkembangan islam di Indonesia, maklum karena lahan yang
digunakan untuk sekolah islam atau mesjid umumnya berasal dari wakaf.
Memang itulah kenyataan di Indonesia, kalau kita bicara masalah wakaf, maka yang terbayang adalah lahan dan
mesjid, pesantren, sekolahan dan tak kalah seringnya untuk tanah makan. Data dari departemen agama
menunjukan, sampai tahun 2001 lalu luas tanah wakaf di seluruh Indonesia mencapai lebih dari 8.000 hektar.
Kalau tanah seluas itu dikelola secara produktif, tentu akan sangat bermakna bagi perekonomian umat. Seperti apa
yang bisa dilihat di Negara muslim lainnya semacam Saudi Arabia, mesir, turki, yordania, lembaga wakaf
berkembang sangat maju, dan memberikan manfaat yang besar pada umat dinegeri itu, bahkan termasuk pula
umat di negeri lain.
Di samping wakdaf produktif, misalnya berupa lahan perkebunan seperti contoh di mesir, kini juga senang
berkembang wacana baru yakni wakaf tunai, yaitu wakaf dengan uang tunai. Wakaf tunai lebih bersifat fleksibel
dari pada wakaf tanah/banguanan dan pendistribusiannya tidak mengenal batsa wilayah , memang di Indonesia
baru bersifat wanca, namun sesungguhnya wakaf tunai. telah lama dikenalkan dan ditemukan pada era ottoman
dan di mesir (masyita.2003)
Diera modern ini wakaf tunai dipopulerkan oleh Prof. Dr. M. A.Mannann dengan medirikan suatu badan yang
bernama SIBL(social investment bank limited) di bangladesh. SIBL memperkenalan produk sertifikasi wakaf
tunai(cas waaf certifcatei) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya
untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miksin. Jika melihat pengalaman Negara lain,
maka sebenarnya lembaga wakaf dapat difungsikan untuk meningkatkan kesajahteraan umat. Untuk mencapai itu.
Tentu cara pandang masyarakat harus diluruskan dulu. Jangan lagi memandang wakaf hanyalah untuk peruntukan
peribadatan atau social semata.
Sebelum melihat praktik pengelolaan wakaf di Negara lain. Tidak ada salahnya kita menengok ke masa lalu, yakni
masa kejayaan islam. Abad ke-8 dan ke-9 hijriah dipandang zaman keemasan perkembangan wakaf. Ketika itu
wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, musholla, sekolah, tanah pertanian, tempat perniagaan, pasar,
rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung beras, tempat pemandian, dan lain-lain (uswatun
hasanah 2001:13 dari hasan langgulung 1991:173). Tempat peribadatan dan pendidikan memang ada, namun
hanya sebagian kecil dari jenis-jenis aset yang diwakafkan. Ketikan itu sultan memang selalu mendorong
perkembangan zakatnya secara terus menerus sehingga menjadi sumber pendapatan yang tak habis-habis. Dengan
demikian guru-guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya tercukupi, siswa pun dapat belajar dengan
tenang karena tidak lagi pusing dengan bisa sekolahnya. Semua kebutuhan itu, baik gaji guru maupun jaminan
hidup siswa di tanggung oleh dana yang dikembangkan dari wakaf tersebut.
Hasil dari pengembangan wakaf secara garis besar dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin,
anak yatim, pedagang kecil, dan kaum dhuafa lainnya. Juga meningkatkan kesehatan masyarakat, mendirikan
rumah sakit, dan menyediakan obat-obatan bagi masyarakat. Selain itu digunakan pula mendirikan dan
memelihara masjid, dan sekolah. Dan tak kala pentingnya adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sesungguhnya cara semacam ini telah diterapkan oleh sejumlah pengelola yayasan yang bermaksud memobilisasi
dana masyarakat. Sebidang tanah seluas 500 meter persegi misalnya hendak dibeli oleh satu yayasan untuk lokasi
pembangunan mesjid. Harga tanah itu Rp.300.000 per meter. Mereka menerbitkan seftifikat infak(umumnya
memang tidak menyebut wakaf, karena mungkin belum tahu) dengan nilai nominal setiap lembarnya Rp.300.000,-
sertifikat tersebut diterbitkan atas nama dermawan yang menyumbang uang sebesar kelipatan RP.300.000,-
biasanya yayasan itu menyelenggarakan acara yang hadiri oleh para dermawan, terserah mau mengambil berapa
lembar.
Ini sekedar menunjukkan bahwa di masyarakat telah berkembang inovasi-inovasi yang cerdas. Tinggal sekarang
bagaimana mensosilisasikan kepada masyarakat yang lebih luas tentang sertifikat wakaf tunai ini, tentang
manfaatnya dan bagaimana operasionalnya.
C. KEBIJAKAN PENDAPATAN EKONOMI ISLAM
Islam telah menentukan sector-sektor penerimaan pemerintah, melalui zakat, ghanimah, fai, jizyah, kharaj,
shadaqah, dan lain-lain. Jika diklarifikasi maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti : zakat, jizyah,
kharaj, ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti : ghanimah,
fa.i dan harta yang tidak ada pewarisnya.
Secara umum ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999)
berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang harus dilakukan pemerintah islam modern dalam kebijakan
pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat adanya kebijakan pungutan pajak (ter-
lepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak).
1.Kaidah syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pungutan Zakat
Ajaran islam dengn rinci telah menentukan, syarat, kategori harta yang harus dikelurkan zakatnya, lengkap dengan
besaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah
tarif yang telah ditentukan. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan Para Sahabat telah memberi
contoh mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menagguhkan zakat pamannya Abbas karenakrisis yang dihadapinya.
Selain fleksibilitas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda
atau nilai.
2.Kaidah-kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Hasil Pendapatan yang Berasal dari Aset Pemerintah
Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat dibagi dalam 2 katagori: (a) pendapatan dari
aset pemerintah yang umum, yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri
atau masyarakat. (b) pendapatan dari aset yang masyarakat ikut memanfaatkannya adalah berdasarkan kaidah
syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api, garam dan yang semisalnya. Kaidah
ini dalam konteks pemerintah modern adalah sarana-sarana umum yang sangat dibutuhkan masyarakat.
3.Kaidah Syar’iyah yang Berkaitan dengan Kebijakan Pajak
prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya pemerintah mengambil sebagian harta milik orang
kaya secara paksa (undang-undang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit apapun kehidupan Rasulullah SAW.
Di madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Seandainya pungutan pajak tersebut di
perbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu
pungutan tersebut hanya bagi orang mampu atau kaya dan untuk pembiayaan yang betul-betul sangat diperlukan
dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.
D. KEBIJAKAN BELANJA EKONOMI ISLAM
Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum ang didasarkan dari Al-Qur’an dan Hadist dalam
memandu kebijakan belanja pemerintah. Diantara kaidah (Chapra: 1995, 288-289) tersebut adalah:
1.Kebijakan atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudarat harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.Mudarat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudarat dalam skalaumum.
4.Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian
dan pengorbanan dalam skala umum.
5.Kaidah Al-giurmu bil gunni yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapaatkan manfaat harus siap
menanggung beban (yang ingin untung harus siap menanggung kerugian).
6.Kaidah Ma la yatimmu al waajibu illa bihi fahua wajib yaitu kaidah yang menyatakan bahwa suatu hal yang wajib
di tegakkan dan tanpa ditunjang oleh factor penunjang lainnya tidak dapat di bangun, maka menegakkan factor
penunjang tersebut wajib hukumnya.
Kaidah-kaidah tersebut dapat membantu dalam mewujudkan efektivitas dan efisiensi pembelanjaan pemerintah
dalam islam, sehingga tujuan-tujuan dari pembelanjaan pemerintah dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan
dalam pemerintahan islam:
a) Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
b) Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.
c) Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
d) Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
e) Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar
Kebijakan belanja umum pemerintah dalam system ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1).Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2).Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3).Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut system pendanaannya.
Adapun kaidah syariyah yang berkaitan dengan belanja kebutuhan operasiaonal pemerintah yang rutin adalah
mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan diatas, secara rinci pembelanjaan Negara harus didasarkan
pada:
1 Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan azas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan
seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2 Kaidah atau prinsip efisiensi dalam rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang
semurah-murahnya. Kaidah ini membawa suatu pemerintahan yang jauh dari sifat mubazir dan kikir di samping
alokasinya pada sector-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3 Tidak berpihak pada kelompok miskin. Kaidah tersebut cukup berlandaskan pada nash-nash yang sahih seperti
kasus “al-Hima” yaitu tanah yang diblokir oleh pemerintah yang khusus diperuntukan bagi kepentingan umum.
4 Prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah,
dan menjauhi yang haram.
5 Prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib,sunah, mubah atau dharruroh, hajjiyat
dan kamaliayah
.
Pos penerimaan baitulmal dari porsi fai dan kharaj harus dikeluarkan Negara untuk pos pengeluaran dar al-Khalifah
(rumah tangga khalifah), mashalihad-daulah (kepentingan Negara), santunan jihad , ath-Thawaari (urusan
darurat /bencana alam), dan al-muwazanah al-ammah (anggaran belanja Negara), al-muhasabah al-Ammah
(pengendali umum), al-muraqabah (badan penguasa). Kemudian pos penerimaan dari sector public harus
dikeluarkan untuk jihad, penyimpanan pemilikan umum dan urusan darurat/bencana alam. Sedangkan pos
penerimaan dari bagiaan shadaqah harus dikeluarkan hanya untuk penyimpanan dana zakat dan jihad.
Kebijakan fiscal dalam Islam tidak lepas dari kendali politik ekonomi (as-siyasatu al-iqtishadi) yang bertujuan,
sebagaimana yang dikemukan Abdurrahman Al-Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan -kebutuhan primer
(al-hajat al-asasiyah/basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu diantara
mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar
kemampuannya.
Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer kategori pertama adalah jaminan akan sandang, pangan, papan
dan merupakan jaminan secara langsung terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan, tetapi tidak
mencukupi untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarga.
Jaminan juga diberikan terhadap setiap individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah
kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya.Kebijakan ini termasuk kebijakan transfer payment karena Negara
memberikan secara cuma-cuma harta berupa uang atau barang kepada seseorang.Jaminan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan primer kategori kedua meliputi keamanan, pendidikan, dan kesehatan.
E. KEBIJAKAN FISKAL MASA RASULULLAH
Segala kegiatan yang dilakukan oleh rasulullah dalam awal masa pemerintahan dilakukan berdasarkan keikhlasan
sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala
kegiatan dalam dakwah tersebut.
Dengan adanya perang badar pada abad ke-2 Hijrah, Negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima
perampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai dengan firman Allah dalam QS.al-Anfaal (8)
ayat 41:
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya
seperelima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibu-ibu sabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari furqaan,
yaitu dihari bertemunya dua pasukan, dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Dalam ayat tersebut Allah SWT, menjelaskan bahwa bagian 1/5 adalah hak Allah, rasul, dan kerabatnya, golongan
yatim golongan miskin, dan ibnu sabil. Sedangkan 4/5 sisanya adalah milik para pejuang yang berhak atas
rampasan perang tersebut. Dengan demikian, bagian yang 1/5 dibagi menjadi 5 bagian yaitu: bagian untuk Allah,
untuk rasulnya, untuk para kerabat beliau, para anak yatim, para fakir miskin, dan bagian bagi ibnu sabil (Qadhy,).
Hal ini berlangsung selama masa rasulullah, sedangkan setelah beliau wafat maka khulafa’ Ar Rasyidin membagi
bagian yang 1/5 itu kepada 3 bagian dengan menghapuskan saham rasul dan kerabatnya.
Pada masa rasulullah juga sudah terdapat jizyah yaitu pajak yang dibayar oleh orang nonmuslim khususnya ahli
kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Besarnya
jizyah satu Dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utamanya adalah
kebersamaan dalam membangun beban Negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan, dan tempat
tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam. Jizyah merupakan hak Allah
yang diberikan kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Pihak
yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab
seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan komunis yang telah menjadi warga Negara Islam.
Jizyah tidak wajib bagi wanita, anak-anak, dan orang gila. Jizyah juga tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan
tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kekafiran atau kemiskinannya.
Firman-Nya: “ Pergilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberkan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS.at-Taubah: 29).
Pengertian kharaj (pajak tanah) adalah kebijakan fiscal yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara
islam yang baru berdiri. Para fuqaha menetapkan bahwa Al-Kharaj adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepada
kaum Mualimin karena kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharaj dilaksanakn setiap satu tahun
sekali. Sedangkan ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam
setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya kebih dari 200 dirham.
Para fuqaha menetapkan bahwa Al- kharraj rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin kerena dalam
kemenangan atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharraj dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Firman Allah
dalam Al-Qur’an :
“apa saja harta rampasan(fai-i)yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya berada diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyr:7)
Zakat dan ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi Negara pada masa Rasulullah hidup. Kedua pendapatan
ini berbeda dengan pajak dan tidak di perlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agam dan
termasuk salah satu pilar islam. Dalam Al-Quran disebutka kewajiban zakat sebagai berikut: “ Dirikan lah shalat dan
tunaikan lah zakat “ (QS.Al-Baqarah ayat 43, 83, 110, dan lain-lain).
Sedangkan ketentuan pengeluaran dan zakat tercantum dalam surat at- Taubah (QS. 9 ayat 60): “ Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanya lah untuk orang-orang kafir, orang-orang kafir, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk ( memerdekakan ) budak. Orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui dan
Mahabijaksana.
Dasar-dasar kebijakan fiskal menyangkut penentuan subjek dan objek kewajiban membayar kharaz, zakat, ushr,
jizyah, dan kafarat, termasuk penentuan batas minimal terkena kewajiban (nisab). Umur objek ter kena kewajiban
(haul), dan tarifnya. Karena membayar zakat merupakan ibadah wajib untuk umat islam , maka menghitung
berapa besar zakat yang harus dibayar dapat dilakukan sendiri dengan penuh kesadaran iman dan taqwa.
Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijakan fiskal yang berlandaskan keadilan, sejak masa awal
pemerintah islam. Setelah Rasulullah wafat, kebijakan fiskal itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para
penerusnya.
F. KEBIJAKSANAAN FISKAL MASA SAHABAT
1. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq (51SH-13 H/573-634 M)
Langkah yang dilakukan Abu Bakar dalam menyempurnakan ekonomi Islam:
Perhatian terhadap keakuratan perhitungan zakat yang dikatakan anas (seorang amil) bahwa: Jika seseorang yang
harus membayar unta betina ber umur satu tahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk
memberikan seekor unta betina berumur dua tahu, hal tersebut dapat diterima. Kolektror zakat akan
mengembalikan 20 dirham atau dua ekor kambing padanya (sebagai kelebihan pembayaran). Dalam kesempatan
lain Abu Bakar juga mengintruksikan kepada amil yang sama, kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat
digabung atau kekayaan dari orang yang berbeda yang tidak bias di pisahkan (dikhawatirkan akan kelebihan
pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat).
Pengembangan pembangunan baitulmal dan penanggung jawab baitulmal (Abu Ubaida).
Menerapkan konsep balance bubget policy pada baitulmal.
Melakukan penegakkan hokum terhadap pihak yang tidak mau membayar zakat dan pajak.
Secara individu Abu bakar adalah seorang praktisi akad-akad perdagangan.
2. Khalifah Umar Bin Khatab (40 SH-23 H/ 584-644 M)
Kontribusi yang diberikan Umar untuk mengembangkan ekonomi Islam:
Reorganisasi baitulmal, dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama yang disebut dengan al-Divan (sebuah
kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension dan tunjangan-
tunjangan lain.
Pemerintah bertanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warga Negaranya.
Diversifikasi terhadap objek zakat (zakat tehadap karet di Semenanjungkan Yaman), tariff zakat (misalnya
mengenakan dasar advalorem, satu dirham untuk 40 dirham).
Pengembangan ushr (pajak) pertanian (misalnya perbebanan sepersepuluh hasil pertanian).
Undang-undang perubahan pemilikan tanah (land reform).
Pengelompokan pendapatan Negara dalam 4 bagian:
SUMBER PENDAPATAN PENGELUARAN
Zakat dan ushr Pendistribusian untuk local jika berlebihan disimpan
Khums dan Shadaqah Fakir miskin dan kesejahteraan
Kharaj, fay, jizyah, ushr sewa
tetap
Dana pension, Dana pinjaman (allowance)
Pendapatan dari semua sumber Pekerja, pemeliharan anak terlantar dan dana sosial
3. Khalifah Usman Bin Affan (47SH-35H/577-656 M)
Pada awal pemerintahan Usman mencoba melanjutkan dan mengembangkan kebijaksanaan yang dijalankan
khalifah Umar. Pada enam tahun kepemimpinannya hal-hal yang dilakukan:
Pembangunan pengairan.
Pembentukan organisasi kepolisian untuk menjaga keamanan perdagangan.
Pembangunan gedung pengadilan guna penegakkan hukum.
Kebijakan pembagian lahan luas milik raja Persia kepada individu dan hasilnya mengalami peningkatan bila
dibandingkan pada masa Umar dari 9 juta menjadi 50 juta dirham.
Selama enam tahun terakhir dari pemerintahan Usman situasi politik Negara sangat kacau. Kepercayaan terhadap
pemerintahan Usman mulai berkurang dan puncaknya rumah Usman dikepung dan mulai di bunuh dalam usia 82
tahun.
4. Khalifah Ali Bin Abi Talib (23SH-40H/600-661 M)
Khalifah Ali memiliki konsep yang jelas tentang pemerintahan dan administrasi umum. Konsep ini
dijelaskan dalam suratnya yang terkenal yang ditujukan kepada Malik Ashter bin Harith, dimana surat tersebut
mendeskripsikan tugas kewajiban dan tanggung jawab penguasa menyusun prioritas dalam melakukan dispensasi
terhadap keadilan, control terhadap pejabat tinggi dan staf, menguraikan pendapat pegawai administrasi dan
pengadaan bendahara.
Beberapa perubahan kebijaksanaan yang dilakukan pada masa khalifah Ali antara lain:
1. Pendistribusian seluruh pendapatan yang ada pada baitulmal berbeda dengan Usmar yang menyisihkan untuk
cadangan.
2. Pengeluaran angkatan laut dihilangkan.
3. Adanya kebijakan pengetatan anggaran.
G. FORMULASI KEBIJAKSANAAN FISKAL ISLAMI DI ERA MODERN
Kebijaksanaan fiscal tidak hanya menaruh perhatian pada pendapatan dan pembelanjaan Negara, tetapi juga pada
pilihan berbagai instrument kebijakan perpajakan dan pola pembelanjaan Negara. Cara yang berbeda dalam
menaikan dan pembelanjaan anggaran memiliki dampak ekonomi yang berbeda.
Pandangan bahwa fungsi dan tanggung jawab sebuah Negara islam memiliki fleksibelitas yang luas didasarkan
pada premis bahwa islam bertujuan untuk kesejahteraan umum masyarakat, sehingga sebuah Negara islami dapat
mendefinisikan apa pun fungsinya dalam mencapai sasaran tersebut. Menurut Siddiqi (1983), mengklasifikasikan
fungsi Negara islam dalam 3 kategori:
1. Fungsi yang diamanahkan syariah secara permanen, meliputi:
a. Pertahanan.
b. Hukum dan ketertiban.
c. Keadilan.
d. Pemenuhan kebutuhan.
e. Dakwah.
f. Amar maruf nahi munkar.
g. Administrasi sipil.
h. Pemenuhan kewajiban-kewajiban social (furud kifayah) jika sector swasta gagal memenuhinya.
2. Fungsi turunan syariah yang berbasis ijtihad sesuai kondisi social dan ekonomi pada waktu tertentu,
meliputi 6 fungsi:
a. Perlindungan lingkungan,
b. Penyediaan sarana kepentingan umum.
c. Penelitian umum.
d. Pengumpulan modal dan pembangunan ekonomi,
e. Penyediaan subsidi pada kegiatan swasta tertentu, dan
f. Pembelanjaan yang diperlukan untuk stabilisasi kebijakan.
3. Fungsi yang diamanahkan secara kontekstual berdasarkan proses musyawarah (syuraa), meliputi semuakegiatan
yang dipercayakan masyarakat kepada sebuah proses syuraa. Inilah yang menurut siddiqi terbuka dan berbeda
pada setiap Negara tergantung pada keadaan masing-masing.
Pandangan berbeda tentang fungsi dan tanggung jawab Negara banyak disampingkan pemikiran lain. Kahf (1983)
menyatakan Negara tidak bebas menentukan prioritas politik dan ekonomi, ataupun memaksakan pola
pembelanjaan Negara, politik dan ekonomi yang membatasi kebebasan dan hak inividu yang diberikan Tuhan.
Lebih lanjut khaf , menyatakan sasaran utama Negara Islami melindungi agama dan supremasi kalimattullah.
Negara harus membantu kaum muslimin melaksanakan kewajiban agamanya. Selanjutnya Negara Islam harus
bertanggung jawab menyampaikan kalimatullah ke kalangan nonmuslim melalui dakwah.
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Pengertian Sedekah Definisi Sedekah
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya;
''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:
''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264).
Pengertian Zakat
Zakat mempunyai beberapa arti, diantaranya :
Pertama : An-Nama (tumbuh dan berkembang), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakat darinya, tidaklah akan berkurang, justru akan tumbuh dan berkembang lebih banyak. Faktanya sudah sangat banyak.
Kedua : Ath-Thaharah (suci), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya, akan menjadi bersih dan membersihkan jiwa yang memilikinya dari kotoran hasad, dengki dan bakhil.
Ketiga : Ash-Sholahu (baik), artinya bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya, akan menjadi baik dan zakat sendiri akan memperbaiki kwalitas harta tersebut dan memperbaiki amal yang memilikinya.
Adapun zakat secara istilah adalah jenis harta tertentu yang pemiliknya diwajibkan untuk memberikannya kepada orang-orang tertentu dengan syarat-syarat tertentu juga.
Pengertian Infak
Infak dari akar kata : Nafaqa (Nun, Fa’, dan Qaf), yang mempunyai arti keluar. Dari akar kata inilah muncul istilah Nifaq-Munafiq, yang mempunyai arti orang yang keluar dari ajaran Islam.
Kata (infaq), yang huruf akhirnya mestinya “Qaf”, oleh orang Indonesia dirubah menjadi huruf “ Kaf ”, sehingga menjadi (infak).
Maka, Infaq juga bisa diartikan mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang buruk. Ini sesuai dengan firman Allah yang menyebutkan bahwa orang-orang kafirpun meng "infak" kan harta mereka untuk menghalangi jalan Allah :
�ون� �ب �غ�ل ي �م& ث ة ر� ح�س� �ه�م� �ي ع�ل �ون� �ك ت �م& ث �ه�ا �ف�ق�ون �ن ي ف�س� &ه� الل �يل� ب س� ع�ن� �ص�د)وا �ي ل �ه�م� م�و�ال� أ �ف�ق�ون� �ن ي وا �ف�ر� ك &ذ�ين� ال �ن& إون� ر� �ح�ش� ي &م� ج�ه�ن �ل�ى إ وا �ف�ر� ك &ذ�ين� و�ال
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan” (Qs. Al Anfal : 36)
Sedangkan Infak secara istilah adalah : Mengeluarkan sebagian harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala, seperti : menginfakkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Infak sering digunakan oleh Al Qur'an dan Hadits untuk beberapa hal, diantaranya :
Pertama : Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan, yaitu zakat. Infak dalam pengertian ini berarti zakat wajib.
Kedua : Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan selain zakat, seperti kewajiban seorang suami memberikan nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Kata infak disini berubah menjadi nafkah atau nafaqah.
Ketiga : Untuk menunjukkan harta yang dianjurkan untuk dikeluarkan, tetapi tidak sampai derajat wajib, seperti memberi uang untuk fakir miskin, menyumbang untuk pembangunan masjid atau menolong orang yang terkena musibah. Mengeluarkan harta untuk keperluan-keperluan di atas disebut juga dengan infak.
Biasanya infak ini berkaitan dengan pemberian yang bersifat materi.
Pengertian Sedekah.
Sedangkan “Sedekah“ secara bahasa berasal dari akar kata (shodaqa) yang terdiri dari tiga huruf : Shod- dal- qaf, berarti sesuatu yang benar atau jujur. Kemudian orang Indonesia merubahnya menjadi Sedekah.
Sedekah bisa diartikan mengeluarkan harta di jalan Allah, sebagai bukti kejujuran atau kebenaran iman seseorang. Maka Rasulullah menyebut sedekah sebagai burhan (bukti), sebagaimana sabdanya :
الله - - : - صلى الله رسول� ق�ال� ق�ال� ، عنه الله رضي األشعري6 عاصم بن الحارث مالك� أبي وعنو� - : -
� أ �مآلن ت لله والح�مد� الله �ح�ان� ب و�س� ، ان� الميز� � �م�أل ت لله والح�مد� ، �يمان اإل ط�ر� ش� الط)ه�ور� وسلم عليه - ، Cور� ن والص&الة� ر�ض�،
� و�األ الس&ماوات �ين� ب م�ا � �م�أل ان� ت ب�ره� دقة� �ك� والص� ل Cح�جة آن� والق�ر� ، Cض�ياء �ر� والص&ب ، �ق�ها . م�وب و�� أ �ق�ه�ا ف�م�ع�ت ه� �فس� ن Cائع� ف�ب �غ�د�و ي &اس� الن �ل) ك �ك� �ي ع�ل و�
� مسلم أ رواه
Dari Abu Malik Al harits Bin Ashim Al as'ariy ra.. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Suci adalah sebagian dari iman, membaca alhamdulillah dapat memenuhi timbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah dapat memenuhi semua yang ada diantara langit dan bumi, salat adalah cahaya, sedekah itu adalah bukti iman, sabar adalah pelita dan AlQuran untuk berhujjah terhadap yang kamu sukai ataupun terhadap yang tidak kamu sukai. Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim).
Sedekah bisa diartikan juga dengan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah. Tetapi kadang diartikan sebagai bantuan yang non materi, atau ibadah-ibadah fisik non materi, seperti menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bertasbih, berdzikir, bahkan melakukan hubungan suami istri, disebut juga sedekah. Ini sesuai dengan hadits :
�م�ا : ك �ص�ل)ون� ي ، �ج�ور� باأل �ور الد)ث أهل� ذ�ه�ب� ، الله س�ول� ر� �ا ي قالوا ناسا أن& عنه الله رضي lذ�ر �ي ب� أ ع�ن�
م�ا : �م� �ك ل الله� ج�ع�ل� ق�د� و�ل�يس�� أ ق�ال� ، �ه�م� أم�و�ال �ف�ض�ول� ب �ص�د&ق�ون� �ت و�ي ، �ص�وم� ن �م�ا ك �ص�وم�ون� و�ي ، �ص�ل6ي ن
: ، ص�د�ق�ة �ة� �يل �ه�ل ت �ل6 و�ك ، ص�د�ق�ة �حم�يد�ة� ت �ل6 و�ك ، ص�د�ق�ة ة� �كبير� ت �ل6 و�ك ، ص�د�قة �يح�ة� ب �س� ت �ل6 �ك ب إن& �ه� ب �ص�د&ق�ون� ت Cص�د�ق�ة �م� �ح�د�ك أ �ض�ع� ب وفي ، Cص�د�ق�ة �ر� �ك الم�ن ع�ن� Cهي� و�ن ، Cص�د�ق�ة وف� بالم�ع�ر� Cو�أم�ر : ، الله� رسول� �ا ي قالوا
�ذ�ا : إ �ك� فكذ�ل ؟ Cو�زر �يه� ع�ل �ان� �ك أ � ح�رام في و�ض�ع�ه�ا �و� ل �م� أيت أر� ق�ال� ؟ Cأج�ر ف�يه�ا �ه� ل �ون� �ك و�ي �ه� ه�و�ت ش� �ا �ح�د�ن أ �ي �أت أيمسلم رواه Cج�ر� أ �ه� ل �ان� ك الح�الل� في و�ض�ع�ه�ا
Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu : Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya : “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim)
Kesimpulan
Zakat kalau disebut dalam al-Qur’an dan Hadist berarti zakat wajib yang dikenal kaum muslimin sebagai rukun Islam ketiga. Sedangkan Infaq kadang dipakai untuk menyebut infaq wajib (zakat), kadang dipakai untuk menyebut infaq wajib selain zakat (nafkah keluarga). Kadang dipakai untuk menyebut infaq yang tidak wajib. Begitu juga Sedekah, kadang berarti zakat wajib, kadang untuk sesuatu yang tidak wajib. Wallahu A’lam.
KESEJAHTERAAN EKONOMI
Kesejahteraan Ekonomi atau jaminan kewangan ialah keadaan dimana seseorang itu mempunyai perancangan kewangan yang teliti iaitu simpanan atau pelaburan yang membolehkan beliau melalui umur persaraan tanpa perasaan risau untuk memenuhi keperluan perbelanjaan.
Konsep Kesejahteraan
Ada dua pengertian yang saling berkaitan antara tingkat kepuasan dan kesejahteraan. Jika
tingkat kepuasan lebih kepada individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan lebih
kepada keadaan komunitas atau masyarakat. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan
individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi
dalam dua arena perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua
adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat. Meskipun
tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan
mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial
lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan
sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan
lingkup kebijakan sosial. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang
bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat
kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antar dimensi dan ada dimensi yang sulit
direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang
merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi
distribusional dari keadaan itu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi
kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas6[3].
V. PEMBAHASAN
V.1 Negara Kesejahteraan dalam Perspektif Islam
Perang ideologi antara kapitalisme dan sosialisme yang sampai saat ini belum juga
menemukan titik temu ternyata berdampak pada miliaran umat manusia. Meskipun kapitalisme
dianggap lebih unggul, sesungguhnya ideologi ini telah gagal memberi kesejahteraan bagi
kemanusiaan. Di Barat dan bahkan dinegara muslim sendiri telah melupakan bahwa ada satu
sistem yang bisa menjadi alternatif, yaitu sistem negara kesejahteraan Islami (Islamic welfare
state). Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban dan harkat martabat kemanusiaan
yang memadukan antara aspek material dan spiritual, keduniawian dan keukhrowian. Islam
bukan hanya sekedar agama. Ia mencakup pandangan dan cara hidup secara total. Islam
bertujuan menciptakan sebuah sistem dimana prinsip keadilan berada di atas keuntungan
segelintir atau sekelompok orang. Sistem ekonomi Islam, memiliki dua tujuan: memerangi
kemiskinan dan menciptakan distribusi kekayaan yang adil secara ekonomi dan sosial. Implisit
dalam pengertian ini adalah adanya pengakuan bahwa umat Islam akan dapat beribadah kepada
Allah secara fokus dan total jika kebutuhan dasarnya terpenuhi dengan baik. Negara melakukan
hal ini melalui berbagai mekanisme sukarela maupun wajib. Sebagai contoh, zakat merupakan
salah satu alat pendistribusian kekayaan yang bermakna, karena mampu mentransfer uang dari
orang kaya ke orang miskin. Selain itu, penghapusan riba mencegah eksploitasi ekonomi yang
merugikan kelompok lemah. Sebagaimana sejarah menyaksikan, Islam mengajarkan
keseimbangan antara kebebasan ekonomi individu dengan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dalam konteks ini, kehadiran negara diperlukan untuk menjamin setiap warganya mampu
memenuhi kebutuhan hidup standar. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, ”Setiap
penguasa yang bertanggungjawab mengatur urusan-urusan Muslim, tetapi tidak berjuang dengan
6
keras dan amanah bagi kesejahteraan mereka, tidak akan masuk surga bersama mereka.” (Hamid,
2007)
V.2 Kesejahteraan
kesejahteraan adalah sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada Negara dalam memberikan
pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker (1995:82),
misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed ideal in which
welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.” Negara
kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang responsif dalam mengelola dan
mengorganisasikan perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk
menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya
(Esping-Andersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Konsep ini dipandang sebagai bentuk
keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti
empirik mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan kegagalan
negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat Husodo, 2006).
Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai
“penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Triwibowo
dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara tersebut
sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur
dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human
investment) yang terencana dan melembaga. Dapat dikatakan, negara kesejahteraan merupakan
jalan tengah dari ideologi kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, dan ini yang menarik,
konsep negara kesejahteraan justru tumbuh subur di negara-negara demokratis dan kapitalis,
bukan di negara-negara sosialis. Di negara-negara Barat, negara kesejahteraan sering dipandang
sebagai strategi ‘penawar racun’ kapitalisme, yakni dampak negatif ekonomi pasar bebas.
Karenanya, welfare state sering disebut sebagai bentuk dari ‘kapitalisme baik hati’
(compassionate capitalism) (Suharto, 2006). Meski dengan model yang berbeda, negara-negara
kapitalis dan demokratis seperti Eropa Barat, AS, Australia dan Selandia Baru adalah beberapa
contoh penganut welfare state. Sedangkan, negara-negara di bekas Uni Soviet dan Blok Timur
umumnya tidak menganut welfare state, karena mereka bukan negara demokratis maupun
kapitalis (Suharto, 2006).
Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam pelayanan sosial,
negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi negara. Melainkan,
wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya sesuai dengan prinsip-
prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi
hak-hak warga negara.
V.3 Fungsi Uang dalam Perspektif Islam
Uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Oleh karena itu,
uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga.
Misalkan, harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia,
yang masing-masing merupakan perkiraan masyarakat terhadap nilai barang dan tenaga orang.
Sementara promis, saham dan sejenisnya tidak bisa disebut sebagai uang.
Perkiraan nilai-nilai barang dan jasa di negeri manapun dinyatakan dengan satuan-satuan,
maka satuan inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk mengukur kegunaan barang
dan tenaga. Satuan-satuan mi menjadi alat tukar (medium of exchange). Satuan satuan inilah
yang disebut dengan sebutan uang.
Ketika menetapkan hukum-hukum jual-beli dan arah, Islam tidak menentukan barang
tertentu yang menjadi pijakan pertukaran untuk menukarkan barang atau tenaga dengan
kegunaan (utility) tertentu sebagai suatu keharusan. Namun, Islam memberikan kebebasan
kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan barang apa saja, selama dalam pertukaran
tersebut masing-masing saling menerima (ridha). Seseorang boleh menikahi seorang wanita
dengan kompensasi mengajari Al-Qur’an kepada wanita tersebut. Seseorang juga boleh membeli
barang dengan kompensasi bekerja pada pemiliknya selama sehari, misalnya. Seseorang juga
boleh bekerja pada seseorang selama sehari dengan kompensasi berupa sejumlah kurma.
Menurut Imam Al Ghazali dalam Kitabnya Ihya Ulumaddin, uang berfungsi sebagai
media pertukaran namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk
memperlancar pertukaran dan mencipatakan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang
bukan merupakan komoditi. Uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan semua warna. Maknanya uang tidak mempunyai harga, tetapi dapat merefleksikan
semua harga barang. Hal ini bertentangan dengan prinsip Ekonomi Klasik yang dikenal sebagai
direct utility function. Dalam ekonomi Islam, jika uang digunakan untuk membeli barang, maka
barang itu yang memberikan kegunaan.
Dalam sistem perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang sah (legal
tender) melainkan juga sebagai komoditas. Uang juga dapat diperjual belikan secara spot atau
ditangguhkan. Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas berkembanglah apa yang disebut
dengan pasar uang. Pasar uang kemudian berkembang seiring dengan munculnya pasar derivatif
yang menggunakan bunga sebagai harga dari produk-produknya. Transaksi di pasar uang dengan
pasar derivatifnya sebagian besar mengandung motif spekulasi. Kondisi inilah yang menciptakan
gelembung perekonomian, dimana suatu kondisi melibatkan transaksi keuangan yang besar
sekali, namun sesungguhnya tidak ada isinya.
Kesejahteraan ekonomi adalah studi tentang kesejahteraan sosial dan ekonomi sebagai sistem teori ekonomi, itu adalah dengan ekonom Inggris Thomas Hobbes dan Pigou pada tahun 1920 didirikan.
Informasi Dasar
Kesejahteraan ekonomi (kesejahteraan ekonomi) adalah studi tentang kesejahteraan sosial dan ekonomi dari sistem teori ekonomi. Hal ini oleh ekonom Pigou Inggris di Hobbes dan mendirikan tahun 1920. Pigou dalam karya "ekonomi kesejahteraan" nya, "perubahan industri" teori, "Studi Fiskal" dan mengusulkan "ekonomi kesejahteraan" konsep, menganjurkan pemerataan pendapatan nasional dan mendirikan basis teori utilitas dan sebagainya.
Disiplin menentukan
Ekonom Barat sudut pandang atau dari maksimalisasi prinsip kesejahteraan dalam pengoperasian sistem ekonomi menjadi evaluasi sosial ekonomi. Barat modern Ekonomi perbedaan antara ekonomi positif dan ekonomi normatif Diduga, ekonomi positif adalah untuk mengecualikan evaluasi sosial ekonomi teoritis, yang mempelajari ekonomi operasi, deskripsi tentang bagaimana perekonomian dijalankan dan mengapa dijalankan, jawab " ya "dan" tidak "pertanyaan. Tugas ilmu ekonomi normatif adalah untuk membuat perekonomian berjalan penilaian sosial, jawabannya adalah "baik" dan "buruk" masalah. Kesejahteraan ekonomi adalah ekonomi normatif.
Konten utama
Kesejahteraan ekonomi adalah tentang "pemerataan, kesejahteraan sosial, semakin besar" dalam mendukung pendapatan pemerataan, dimana "negara kesejahteraan." Penghasilan negara untuk memperkuat peran proses penyesuaian, ada telah disajikan dalam pendapatan pemerataan tren nasional.
Isi utama dari ekonomi kesejahteraan adalah: operasi sosial dan ekonomi tujuan, atau perilaku sosial-ekonomi standar kualitas uji; mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang diperlukan untuk menjalankan produksi, pertukaran, distribusi kondisi optimum umum untuk rekomendasi kebijakan .
EKONOMI INTERNASIONAL
Ekonomi internasional adalah ilmu ekonomi yang membahas akibat saling ketergantungan antara negara-negara di dunia, baik dari segi perdagangan internasional maupun pasar kredit internasional. Sumber energi Amerika Serikat, misalnya, sangat bergantung pada produsen luar negeri, sedangkan Jepang mengimpor hampir setengah dari makanan yang di konsumsi oleh penduduknya. Sebaliknya, negara-negara berkembang sangat membutukan teknologi yang dikembangkan dan dihasilkan oleh negara-negara industri. Dalam jangka panjang, pola perdagangan internasional ditentukan oleh prinsip-prinsip keunggulan komparatif.
Daftar isi
1 Pengaruh perdagangan internasional 2 Pengaruh pasar kredit internasional 3 Pustaka 4 Lihat pula
Pengaruh perdagangan internasional
Pengaruh perdagangan internasional terasa pada harga, pendapatan nasional, dan tingkat kesempatan kerja negara-negara yang terlibat dalam perdagangan internasional tersebut. Ekspor akan meningkatkan permintaan masyarakat, yaitu jumlah barang dan jasa yang diinginkan masyarakat di dalam negeri. Sebaliknya, impor akan menurunkan permintaan masyarakat di dalam negeri. Permintaan masyarakat akan memengaruhi kesempatan kerja dan pendapatan nasional, dan di antara lain akan tergantung pada besarnya ekspor neto, yaitu selisih antara ekspor dan impor. Bila ekspor neto positif, berarti ekspor lebih besar daripada impor, kesempatan kerja dan pendapatan nasional cenderung akan naik. Besarnya ekspor neto sangat ditentukan oleh nilai kurs mata uang negara yang bersangkutan. Misalnya, nilai rupiah turun dibandingkan dengan dolar AS, harga barang ekspor dari Indonesia relatif akan lebih murah di AS, sehingga ekspor akan cenderung meningkat. Sebaliknya, harga barang-barang dari AS relatif menjadi mahal sehingga impor akan akan cenderung menurun. Dengan demikian, penurunan nilai kurs mata uang sendiri akan cenderung meningkatkan ekspor neto, demikian pula sebaliknya. Jadi, kegiatan serta kejadian internasional akan memengaruhi ekonomi dalam negeri, melalui pengaruh nilai kurs mata uang pada impor, ekspor, dan akhirnya permintaan masyarakat.My Dospl Perdagangan internasional bukan hanya bermanfaat di bidang ekonomi saja. Manfaatnyadi bidang lain pada masa globalisasi ini juga semakin terasa. Bidang itu antara lain politik,sosial, dan pertahanan keamanan. Di bidang ekonomi, perdagangan internasional dilakukan semua negara untuk memenuhikebutuhan rakyatnya. Negara dapat diibaratkan manusia, tidak ada manusia yang bisahidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Begitu juga dengan negara, tidak ada negara yangbisa bertahan tanpa kerja sama dengan negara lain. Negara yang dahulu menutup diri dariperdagangan internasional, sekarang sudah membuka pasarnya. Misalnya, Rusia, China, danVietnam. Perdagangan internasional juga memiliki fungsi sosial. Misalnya, ketika harga bahanpangan dunia sangat tinggi. Negara-negara penghasil beras berupaya untuk dapatmengekspornya. Di samping memperoleh keuntungan, ekspor di sini juga
berfungsi secarasosial. Jika krisis pangan dunia terjadi, maka bisa berakibat pada krisis ekonomi. Akibatberantainya akan melanda ke semua negara. Pada era globalisasi ini banyak muncul perusahaan multi nasional. Perusahaan sepertiini sahamnya dimiliki oleh beberapa orang dari beberapa negara. Misalnya, saham telkomseldimiliki oleh beberapa orang dari Indonesia dan Singapura. Perusahaan multi nasional sepertiini dapat mempererat hubungan sosial antar bangsa. Di dalamnya banyak orang dari berbagainegara saling bekerja sama. Maka terjadilah persabatan di antara mereka. Perdagangan internasional juga bermanfaat di bidang politik. Perdagangan antar negarabisa mempererat hubungan politik antar negara. Sebaliknya, hubungan politik juga bisamempererat hubungan dagang. Perdagangan internasional juga berfungsi untuk pertahanan keamanan. Misalnya, suatunegara nonnuklir mau mengembangkan senjata nuklir. Negara ini dapat ditekan dengandikenai sanksi ekonomi. Artinya, negara lain tidak diperbolehkan menjalin hubungan dagangdengan negara tersebut. Biasanya upaya seperti ini harus dengan persetujuan PBB. Hal inidilakukan demi terciptanya keamanan dunia. Perdagangan internasional juga terkait dengan pertahanan suatu negara. Setiap negaratentu membutuhkan senjata untuk mempertahankan wilayahnya. Padahal, tidak semua negaramampu memproduksi senjata. Maka diperlukan impor senjata. Untuk mencegah perdagangan barang-barang yang membahayakan, diperlukan kerjasama internasional. Barang yang membahayakan tersebut misalnya senjata gelap, obat-obatanterlarang, hewan langka, ternak yang membawa penyakit menular, dsb. Untuk kepentinganinilah pemerintah semua negara memiliki bea cukai. Instansi ini dibentuk pemerintahsuatu negara untuk memeriksa barang-barang dan bagasi ketika memasuki suatu negara.Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek barang-barang tersebut barang selundupan ataupun barang terlarang atautidak. Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen barang,menggunakan detektor barang berbahaya, atau menggunakan anjing pelacak.
Pengaruh pasar kredit internasional
Pengaruh ini terasa pada ekonomi dalam negeri. Bank-bank serta perusahaan-perusahaan besar dan perorangan dapat meminjamkan uangnya di dalam negeri maupun luar negeri, tergantung mana yang lebih menguntungkan. Keuntungan ini tergantung dari tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh masing-masing negara. Bila di AS lebih tinggi tingkat bunganya, misalnya, maka dana akan mengalir banyak ke AS, begitu pula sebaliknya. Tetapi, mengalirnya banyak dana ke AS akan mengakibatkan penawaran kredit menjadi meningkat, dan hal ini akan menurunkan kembali tingkat bunga disana. Demikian seterusnya sehingga dicapai suau tingkat bunga yang dapat mempertahankan keseimbangan.
Pengertian dan Ruang Lingkup Ekonomi InternasionalDalam perkembangan ekonomi dunia yang makin interdependent dan global, konsekuensi terbesar dapat berupa peningkatan arus perdagangan barang maupun uang antar negara. Batas negara juga makin kurang relevan, khususnya dalam hal perpindahan uang dan investasi. Masing-masing negara tentu saja berupaya untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari perkembangan tersebut.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kajian ilmu ekonomi juga semakin berkembang dan maju, di mana dibutuhkan suatu kajian ekonomi yang secara khusus membahas perekonomian
dunia dengan melihat keterkaitan hubungan ekonomi antar negara, dalam hal ini adalah ilmu ekonomi internasional.Ilmu ekonomi internasional adalah cabang ilmu ekonomi yang secara khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan ekonomi antar negara. Ilmu ekonomi internasional menggambarkan aplikasi prinsip-prinsip teori ekonomi mikro dan ekonomi makro ke dalam konteks internasional.Ilmu ekonomi internasional mengkaji teori perdagangan internasional, kebijakan perdagangan internasional, pasar valuta asing dan neraca pembayaran (balance of payment) yang ditinjau dari aspek teori ekonomi mikro. ilmu ekonomi mikro membahas teori dan kebijakan perdagangan internasional, sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga relatif satu komoditas. Teori perdagangan internasional menganalisis dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan perdagangan, serta hal-hal menyangkut proteksionisme baru (new protectionism). Pasar valuta asing merupakan kerangka kerja terjadinya pertukaran mata uang suatu negara dengan mata uang negara lainnya.
Sementara dari aspek teori ekonomi makro, neraca pembayaran (balance of payment) mengukur penerimaan total suatu negara dari negara-negara lainnya di dunia dan total pembayaran ke negara-negara tersebut. Ilmu ekonomi makro negara terbuka juga membahas mekanisme penyesuaian dalam ketidaksesuaian neraca pembayaran (defisit dan surplus) seperti halnya pengaruh saling ketergantungan antar negara di bawah sistem moneter internasional yang berbeda, serta pengaruhnya terhadap tingkat pendapatan nasional dan indeks harga umum serta kesejahteraan suatu negara.
Hubungan ekonomi internasional berbeda dengan hubungan ekonomi yang terjadi antar penduduk dalam suatu wilayah yang sama (hubungan ekonomi dalam negeri). Dalam hubungan ekonomi internasional, setiap negara selalu menerapkan beberapa pembatasan (restriksi) terhadap arus barang, jasa, serta berbagai macam faktor produksi yang akan melintasi batas negaranya. Hal tersebut tidak dilakukan secara internal (dalam negeri). Selain itu, arus ekonomi internasional banyak dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan bahasa, adat istiadat, serta hukum yang berlaku di masing-masing negara. Selanjutnya, arus barang, jasa, dan sumber daya secara internasional juga akan menimbulkan pembayaran dan penerimaan dalam bentuk mata uang asing, yang nilainya selalu berubah sepanjang waktu.
Ilmu ekonomi internasiomal telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan berkelanjutan hingga saat ini. Perkembangan ilmu ekonomi internasional tersebut tak lepas dari kontribusi banyak ahli ekonomi terkenal seperti Adam Smith, David Ricardo, Jhon Stuart Mill, Alfred Marshall, Eli Heckscher, Bertil Ohlin, Paul Anthoni Samuelson, dan lain-lain.
Ilmu ekonomi internasional akan terus berkembang, tentunya tidak lepas dari berbagai masalah ekonomi internasional yang terus bermunculan. Misalnya dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, masalah yang serius dihadapi dunia saat ini adalah meningkatknya proteksionisme di berbagai negara maju (developed countries) serta kecenderungan negara-negara di dunia membentuk blok-blok perdagangan, walaupun di sisi lain negara-negara maju terus mendengungkan adanya perdagangan bebas. Berkaitan dengan masaah moneter internasional adalah menyangkut ketidakstabilan kurs valuta asing yang terus berlanjut, serta besarnya dan menetapnya misalignment (yaitu fakta bahwa kurs dapat berada jauh di luar keseimbangan untuk jangka waktu lama). Masalah ekonomi internasional lainnya yang dianggap
serius antara lain munculnya tingkat pengangguran yang cukup tinggi, serta tingginya kemiskinan dan melebarnya jurang ketidakadilan (inequlities) yang dihadapi berbagai negara miskin di dunia. Oleh karena itu, melalui hubungan ekonomi antar negara yang terjadi secara murni diharapkan mampu melihat dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing negara maupun secara global.
Hubungan ekonomi antar suatu negara dengan negara lainnya (hubungan ekonomi internasional) meliputi berbagai macam kegiatan yang dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu :Hubungan ekonomi yang terjadi karena adanya pertukaran atau perdagangan barang dan jasa yang dihasilkan.Hubungan ekonomi yang terjadi karena adanya pertukaran sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi.Hubungan ekonomi yang terjadi karena adanya hubungan hutang piutang.
Ketiga bentuk hubungan ekonomi tersebut memiliki kaitan yang erat satu sama lain. Misalnya, hubungan hutang piutang antara suatu negara dengan negara lainnya dapat terjadi karena adanya hubungan perdagangan barang dan jasa, atau karena adanya hubungan pertukaran faktor-faktor produksi.
Terjadinya hubungan ekonomi internasional didorong oleh perbedaan antar negara, perbedaan yang dimaksud adalah :Iklim dan kesuburan tanah. Perbedaan iklim dan kesuburan tanah mengakibatkan adanya perbedaan barang hasil-hasil pertanian, hasil tambang dan mineral, serta sumber alamlainnya.Kebudayaan dan gaya hidup. Perbedaan kebudayaan dan gaya hidup masing-masing negara mengakibatkan perbedaan barang-barang yang dihasilkan oleh masing-masing negara. Barang-barang seni atau kerajinan yang dihasilkan suatu negara sangat diwarnai oleh kebudayaan dan gaya hidup masyarakatnya.Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbedaan ilmu pengetahuan dan teknologi berimplikasi pada timbulnya perbedaan jenis barang yang dihasilkan. Negara dengan teknologi lebih maju cenderung lebih banyak menghasilkan barang-barang industri. Sebaliknya negara yang belum maju teknologinya lebih banyak menghasilkan barang-barang agraris.Kebutuhan yang semakin bertambah. Semakin maju suatu masyarakat, maka kebutuhannya semakin banyak, sehingga relatif terbatas untuk memenuhinya apabila hanya mengandalkan hasil produksi dalam negeri.Adanya spesialisasi internasional. Negara agraris akan mengembangkan produksi pertanian yang padat tenaga kerja (labor intensif), sedangkan negara yang relatif lebih tandus akan mengembangkan teknologi yang menghasilkan barang-barang industri dengan padat modal (capital intensif).Semakin berkembangnya kegiatan perusahaan multinasional (multinational corporation). Dewasa ini kegiatan perusahaan besar banyak yang beroperasi di berbagai negara, sehingga hubungan ekonomi semakin berkembang. Dengan berbagai perbedaan antar negara di dunia, maka melalui hubungan ekonomi internasional diharapkan masing-masing negara yang melakukan hubungan dapat saling memetik manfaat yang berarti, baik untuk kepentingan nasional masing-masing negara maupun dunia internasional pada umumnya.
Manfaat Hubungan Ekonomi Internasional
Hubungan ekonomi yang berlangsung antar negara dapat memberi manfaat dan keuntungan bagi masing-masing negara yang melakukan hubungan ekonomi, yaitu di antaranya : Negara-negara yang melakukan hubungan ekonomi dapat memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri. Masing-masing negara dapat melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang ataupun jasa yang efisiensinya lebih tinggi di banding negara lain, atau suatu negara dapat memproduksi barang ataupun jasa dengan harga yang relatif rendah di banding negara lainnya.Memungkinkan dilakukannya perluasan pasar bagi barang-barang ataupun jasa yang diproduksi di dalam negeri tetapi tidak dapat lagi dinaikkan penjualannya di dalam negeri, karena kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi, sementara kapasitas penggunaan faktor-faktor produksi belum optimal. Dalm kondisi demikian, maka perlu melakukan ekspor ke luar negeri, sehingga kapasitas produksi tetap dapat ditingkatkan dengan penggunaan alat-alat produksi yang semakin efisien.Memungkinkan terjadinya arus faktor-faktor produksi dari suatu negara ke negara lainnya. Misalnya arus modal dari negara yang memiliki modal ke negara yang relatif kekurangan modal. Arus modal (dana) tersebut dapat terjadi melalui investasi maupun hutang piutang. Demikian halnya dengan arus tenaga kerja, baik kuantitas maupun kualitas.Memungkinkan terjadinya alih teknologi dari suatu negara ke negara lainnya, berupa penggunaan teknik produksi yang lebih modern dan tepat guna, pengelelolaan perusahaan yang lebih modern. Hal tersebut memungkinkan suatu negara dapat meningkatkan produktivitasnya.
C. Rangkuman1. Ilmu ekonomi internasional adalah cabang ilmu ekonomi yang secara khusus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan ekonomi antar negara. Ilmu ekonomi internasional menggambarkan aplikasi prinsip-prinsip teori ekonomi mikro dan ekonomi makro ke dalam konteks internasional.2. Hubungan ekonomi antar suatu negara dengan negara lainnya dapat berbentuk : Pertukaran atau perdagangan barang dan jasa yang dihasilkan.Pertukaran sumber daya ekonomi atau faktor-faktor produksi.Hubungan hutang piutang.3. Terjadinya hubungan ekonomi internasional didorong oleh perbedaan antar negara, yakni :Iklim dan kesuburan tanah.Kebudayaan dan gaya hidup. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.Kebutuhan yang semakin bertambah. Adanya spesialisasi internasional. Semakin berkembangnya kegiatan perusahaan multinasional (multinational corporation).4. Hubungan ekonomi yang berlangsung antar negara dapat memberi manfaat dan keuntungan bagi masing-masing negara yang melakukan hubungan ekonomi, yaitu di antaranya :Dapat memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri. Dapat melakukan spesialisasi.Memungkinkan dilakukannya perluasan pasar.Memungkinkan terjadinya arus faktor-faktor produksi dari suatu negara ke negara lainnya.Memungkinkan terjadinya alih teknologi dari suatu negara ke negara lainnya.
D. Soal-Soal Latihan1. Jelaskan ruang lingkup dan pengertian ekonomi internasional2. Jelaskan dalam kerangka apa hubungan ekonomi internasional dapat terjadi.3. Uraikan perbedaan-perbedaan apa saja yang terjadi sehingga timbul hubungan ekonomi internasional4. Jelaskan manfaat hubungan ekonomi internasionalPengertian dan Contoh : http://pengertiandancontoh.blogspot.com/ Blog ini berisikan tentang informasi pendidikan, kesehatan dan ekonomi bisnis yang bersifat membangun dan mendidik. Terima kasih untuk kunjungan Anda, demi kemajuan blog ini, mohon tinggalkan komentar yang bersifat positif dan membangun di tempat yang telah kami sediakan.
Tujuan ekonomi internasionalAdalah untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi bagi umat manusia. Tujuan itu dapat dicapai dengan mengadakan kegiatan-kegiatan dalam bidang perdagangan, investasi, perkreditan, pengangkutan, perasuransian, diplosiasi, dsb.Perbedaan-perbedaan dalam sifat dan cara-cara antara perdagangan internasional dengan perdagangan dalam negeri disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
Perbedaan negara, menyebabkan adanya perbedaan dalam hukum peraturan jual beli, uang, peraturan bea, dan sebagainya.
Perbedaan bangsa dan daerah, menyebabkan perbedaan dalam kebiasaan, adat istiadat, kesukaan, musim dan kondisi pasar
Perbedaan yang disebabkan oleh keadaan politik, sosial, ekonomi dan kultural.
Ruang lingkup ekonomi internasional
a. Teori dan kebijakan perdagangan internasional
b. Teori dan kebijakan keuangan atau moneter internasional
c. Organisasi dan kerjasama ekonomi internasional
d. Perusahaan internasional dan bisnis internasional
RIBA
Pengertian riba. Riba sering juga diartikan sebagai tambahan yang tidak disertai dengan adanya kompensasi. Tambahan nilai untuk pertukaran yang ada pada jual beli baik tambahan nilai uang, barang maupun kadar waktu. Di dalam sebuah transasaksi jual beli atau pertukaran barang dan barang yang lain atau pertukaran harta dengan harta lain yang sama-sama menguntungkan dengan nilai yang telah disepakati dan tidak merugikan salah satu pihak maka hal ini hukumnya halal. Namun berbeda dengan riba, tambahan harta yang harus dikembalikan salah satu pihak ke pihak lain dalam trasaksi jual beli ataupun pertukaran harta menjadikan kerugian untuk salah satu pihak bilamana terjadi penambahan nilai.
Pengertian riba juga bisa sebagai sebuah kompensasi tertetu yang kesesuaiannya dengan timbangan tidak diketahui dengan jelas sesuai syariat, baik pada waktu aqad berlangsung maupun ketika adanya penundaan barang yang ditukarkan. Ada tiga macam riba yakni riba yadd, riba nasaa’, riba qardl dan riba fadlal. Sebelum bahasan mengenai macam-macam riba, alangkah baiknya kita mengetahui hukum riba.
Image courtesy of Tina Phillips / FreeDigitalPhotos.net
Hukum Riba
Dari pengertian riba yang ada yakni sebuah penambahan dalam tukar menukar atau jual beli maka hukum riba menurut syariat islam adalah haram. Keharaman riba ini berlaku baik untuk penambahan dengan nilai sedikit maupun dengan nilai besar. Larangan akan melalukan riba telah tertulis jelas dalam al-qur’an tepatnya pada surat Al-Baqarah ayat 275 dan 279 beserta ayat-ayat berikutnya . Perbuatan riba sama halnya dengan dosa besar yang bahkan lebih besar daripada melakukan zina, mencuri bahkan minum khamer. Allah dan Rosulullah SAW telah melaknat siapapun yang memakan harta riba karena riba sudah jelas hukumnya haram dalam agama Islam.
Macam-Macam Riba
a. Riba yaddRiba jenis ini terjadi karena adanya penundaan dalam membayar suatu barang. Kedua belah pihak yang melakukan transaksi ini telah terpisah dari tempat aqad sebelum diadakannya serah terima barang.
b. Riba nasaa’Riba ini adalah penambahan nilai atas sanksi yang diberikan pihak pemberi hutang kepada orang yang melakukan hutang karena keterlambatan pembayaran hutang yang tidak sesuai dengan waktu jatuh tempo pembayaran.
c. Riba qardlPeminjaman uang atau barang kepada orang lain dengan syarat si peminjam akan memberikan kelebihan atau keuntungan terhadap pihak yang memberikan pinjaman.
d. Riba fadlalRiba jenis ini adalah mengambil kelebihan atau penambahan nilai dari adanya pertukaran barang yang sejenis.
Pembaca sudah membaca uraian di atas mengenai apa itu pengertian riba, hukum serta macamnya, semoga selanjutnya kita akan lebih berhati-hati dalam bertransaksi agar tidak terjerumus ke dalam riba.
Jenis-Jenis Riba
Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang (dain) dan
dalam transaksi jual-beli (bai’). Keduanya biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba
jual-beli (riba buyu’). Mari kita tinjau satu persatu:
Riba Dalam Utang
Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang.Riba ini terjadi dalam
transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-
beli kredit (bai’ muajjal).Perbedaan antara utang yang muncul karena qardh dengan utang karena jual-
beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang, yaitu meminjam
harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul
karena harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta
kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib
mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang
diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah, jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang
berutang mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika dia tidak
mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan tambahan
atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus disebutriba
jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan
transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si X membeli
motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam tiga tahun. Jika dalam tiga tahun
tidak berhasil dilunasi maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar
5%, misalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang, riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa
melihat jenis barang yang diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala macam barang. Jika si A
berutang dua liter bensin kepada si B, kemudian disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam
pengembaliannya, maka tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan.Demikian pula jika si A
berutang 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan pengembalian sebesar 1kg,
maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan, “kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat
yang mereka nukil dari Nabi mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah
riba, meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada syarat bahwa orang yang berutang harus memberi
hadiah atau jasa tertentu kepada si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai
kaidah, “setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia
memberi pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya kepada si B
selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan riba.
Riba Dalam Jual-beli
Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba, yakni riba fadhl dan riba nasi’ah.Keduanya akan kita kenal lewat
contoh-contoh yang nanti akan kita tampilkan.
Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam barang, riba dalam jual-
beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah
saw. Rasulullah saw bersabda:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir
(jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam
ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan
(tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang
mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam
dosa.”(HR. Muslim no. 1584)
Dalam riwayat lain dikatakan:
“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah
sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu
Dawud III/248).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi
saja, yaitu: emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka ketentuan/larangan dalam hadits
tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada
komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau
garam ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi,
yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus sama; dan kedua keduanya harus diserahkan
saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang
emas seberat 5 gram, meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai
kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus,
karena pertukaran kurma dengan kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak setimbang atau
setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan
tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang secara tunai, meskipun timbangan dan
takarannya sama, maka hukumnya haram, dan praktek ini tergolong riba nasi’ah atau ada sebagian
ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Ketiga, Pertukaran tak sejenis di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan
dengan berat atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita boleh menukar 5 gram emas
dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai kerelaan keduabelah pihak. Kita juga boleh
menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai kerelaan masing-
masing. Itu semua boleh asalkan tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat
transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan barangnya, maka transaksi itu tidak boleh
dilakukan. Para ulama menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam
jenisriba nasi’ah tapi ada pula ulama yang memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba
yad.
Keempat, Jika barang ribawi ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu,
maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak disyaratkan pula harus kontan karena
kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain
meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh menukar-nukarkannya secara tidak
tunai. Sebagai contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak kontan
karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara bahasa maknanya
adalah penundaan atau penangguhan.
Nah, sekarang mari kita mencoba untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan
istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-
jenis riba, bukan suatu hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya. Hanya saja, karena istilah
riba fadhldan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita dengar, maka kita akan menemukan kesulitan
untuk memahami tulisan atau pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan cermati kembali poin dua dan poin tiga pada penjelasan hadits yang baru saja kita lewati,
setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut dengan riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba
fadhl adalah tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang sejenis,
seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah riba yang terjadi
karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang telah kita bahas sebelumnya tergolong ribanasi’ah, karena
semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks utang, ribanasi’ah berupa tambahan sebagai
kompensasi atas tambahan tempo yang diberikan. contohnya utang dengan tempo satu tahun tidak
berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar 15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini
merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati sejak
awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk
riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau dari segi
bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan
semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai
itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak
secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan
karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi
disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan
kedalam ribanasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang
ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.
Kesimpulan
Riba bisa terdapat dalam utang dan transaksi jual-beli.
Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang disepakati sejak awal ataupun yang
ditambahkan sebagai denda atas pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi
dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit. Semua bentuk riba
dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul akibat tempo (penundaan).
Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis
(seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis ini yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan, seperti emas
ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus
disebut dengan istilah riba yad.
KONSEP RIBA DALAM ISLAM
BAB I
KONSEP RIBA
1. Pengertian Riba
Riba secara bahasa bermakna; ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.7[1]
Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara batil8[2]. Kata riba juga berarti ; bertumbuh menambah
atau berlebih. Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan
subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan
uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’,
apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti
yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam
bahasa inggris sebagai “usury” yang artinya “the act of lending money at an
exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih
mendefinisikan riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah
dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah
tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang
yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh
tempo9[3].
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan baik dalam transaksi jual beli, maupun pinjam
meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip mua’amalat dalam
7[1] Zainuddin Ali, Hukum perbankan Syari’ah, 2008, Jakarta : Sinar Grafika. Hal 88, lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, 2001, Jakarta : Gema Insani, Hal. 37. Lihat Abdullaoh Saeed, Islamic Banking And Interest : A Study Of The Probihition Of Riba And Itis Kontemporary. (Laiden : E Jibril 1996)
8[2] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 88. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 37. Lihat syafi’i Antonio. Wacana ualama’ dan cendikiawan, central bank of Indonesia and Tazkia institute, Jakarta 1999.
9[3] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat kontemporer, 2000, Jogjakarta : UII Press. Hal. 147
Islam. Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa’ :
29 ..............................
Artinya : Hai orang-orang yang beriman janganah kamu memakan
harta sesamamu dengan jalan batil.
Dalam kaitanya dengan pengertian al-batil dalam ayat tersebut, ibnu
ArobiAl-Maliki menjelaskan seperti yang dikutif oleh Afzalurrohman.10[4]
.........
“ pengertian riba’ secara bahasa adalah tambahan, namun yang
dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan
syari’ah.
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan
tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil
proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena
adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis
suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah
dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika dibandingkan
sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan
barang yang diterimanya.
Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta perkongsian
berhak mendapatkan keuntungan karena disamping menyertakan modal
juga turut serta menanggung kemungkinan resiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bunga tanpa adanya suatu
penyeimbangan yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor
waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang
tidak adil disini adal peminjam diwajibkan untuk selalu dan pasti untung
10[4] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 88. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal.38
dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu
tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu
semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa saja rugi.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama’ sepanjang
sejarah Islam dari berbagai madzahib fiqhiyyah, diantaranya sebagai berikut.
a. Badr Ad-Din Al-Ayni pengarang Umdatul Qari’ syarah Shahih Al-Bhukhari.
..........................
Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis rill.11[5]
b. Imam zarkasi dari madzab Hanafi
.............
Riba adalah tambahan yang disaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh (atau padanan yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut.
c. Raghib Al-Asfahani
.................................
Riba adalah penambahan atas harta pokok.
d. Imam An-Nawawi dari Madzab Syafi’i12[6].
...................................
Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi diatas, dapat dipahami bahwa salah
satu bentuk riba yang dilarang oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah ................................penambahan atas harta pokok karena unsur
waktu. Dalam dunia perbankan, hal tersebut dikenal dengan bunga kredit
sesuai lama waktu pinjaman.
e. Qatadah
.....................................
11[5] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 89. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 38. Lihat Badr Ad-Din Al-Ayni, Umdatul Qari’ syarah Shahih Al-Bhukhari (Constatinople : Mathbaah Al-Amira. 1310 H.) Vol.-V. Hal. 4.136
12[6] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 90. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 39. Lihat majmu’ Syarah Al-Muhadzab, Vol. IX, Cairo Zakaria Ali Yusuf tt. Hal. 442
Riba Jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo
hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat membayar dan si pembeli
tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas
penangguhan.
f. Zaid Bin Aslam
...................................
Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang beramplikasi pelipatgandaan
sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas
mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata “bayar sekarang atau tambah”.
g. Mujahid
.........................................
Mereka menjual daganganya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan
(tidak mampu membayar) si pembeli memberikan “tambahan” atas
tambahan waktu.
h. Ja’far As-Shodiq dari kalangan Madzab Syi’ah
............................................
Ja’far As-Shodiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan
riba supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman maka seseorang tadi
tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan seterusnya.
Padahal Qord bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan
antar manusia.
i. Imam Ahmad Bin Hambal. Pendiri Madzab Hambali
.......................................
Imam Ahnad Bin Hambal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab
sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan
kepadanya apakah akan melunasi atauy membayar lebih. Jikalau tidak
mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjaman)
atas penambahan waktu yang diberikan.
2. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba utang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok yang pertama terbagi
lagi menjadi riba jahiliyah dan qardh. Sedangkan kelompok kedua riba jual
beli terbagi menjadi riba Afdhl dan riba nasi’ah. Adapun penjelasannya
sebagai berikut13[7]:
a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disaratkan terhadap
yang berhutang (Muqtaridh).
b. Riba Jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditentukan.
c. Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi.
d. Riba nasi’ah
e. Penangguhan, penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antar yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Dalam kitab Fathul Mu’in riba dibagi menjadi tiga yaitu14[8] :
1. Riba Fadhl
Yaitu selisih barang pada salah satu tukar menukar dua barang yang sama
jenisnya. Termasuk dalam macam ini adalah riba qordh yaitu jika dalam
utang kembali kepada pihak pemberi utang.
2. Riba yad
Yaitu jika salah satu dari penjuual dan pembeli berpisah dari akad sebelum
serah terima.
13[7] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 92. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 41
14[8] Abdul Azis Al-Malibari. Fath Al-Mu’in, Surabaya : Dar Al-Ilmi, sh. 68 , lihat terjemah Fath Al-Mu’in (2). Surabaya : Alhidayah, hal. 211
3. Riba Nasa’
Yaitu jika mensaratkan ada penundaan penyerahan dua barang ma’qud alaih
dalam penukaranya (jual-beli).
3. Hukum Riba
Hukum riba dalam Islam telah ditetapkan dengan jelas, yakni dilarang
dan termasuk dariu salah satu perbuatan yang diharamkan. Namun proses
pelaranga riba dalam Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah SWT sekaligus,
melainkan diturunkan dalam empat tahap15[9].
1. Allah memberikan pengertian bahwa riba tidak akan menambah kebaikan
disisi Allah SWT. Allah berfirman :
.....................................Arrum Ayat 39
2. Allah SWT memberikan gambaran siksa bagi yahudi dengan salah satu
karakternya suka memakan riba.
(QS. An-Nisa’ : 160-161)...........................
3. Allah melarang memakan riba yang berlipat ganda
Ali Imran 130..............................
4. Allah melarang dengan keras dan tegas semua jenis riba.
Albaqoroh 278-279...............................
Untuk lebih memperjelas keharaman riba, Rosululloh SAW juga menjelaskan
dan beberapa hadits diantaranya16[10]:
..............................................
Artinya : dari Jabir ia berkata Rosululloh SAW mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan
dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda mereka itu semuanya sama (
HR. Muslim)
15[9] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 99-102. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 48-51, lihat Sunarto Dzulkifli, Perbankan Syariah, 2007, Jakarta ; Zikrul Hakim, hal. 2-4
16[10] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 105. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 53
......................................................hadis
Hakim meiwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasanya nabi Saw telah bersabda
“riba itu mepunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan
seseorang yang berzina dengan ibunya”. (HR. Mutafaqun Alaihi)17[11].
Bahkan dalam suatu hadis dinyatakan bahwa dosa orang yang mengerjakan
riba lebih besar beberapa kali lipat daripada dosa orang yang berzina. Hal ini
didasari oleh logika bahwa zina biasanya terjadi akibat gejolak syahwat yang
tidak tertahan dan dilakukan tanpa pikir panjang, sementara praktek riba
dilakukan dengan pertimbangan yang matang, jelas dan telaten18[12].
Hakikat larangan tersebut tegas, mutlak, dan tidak mengendung
perdebatan. Tidak ada ruang untuk mengatakan bahwa riba mengacu
sekedar pada pinjaman dan bukan bunga, karena Nabi melarang mengambil,
meskipun kecil, pemberian jasa atau kebaikan sebagai syarat pinjaman,
sebagai tambahan dari uang pokok.
Larangan bunga ini tidaj hanya berlaku dalam agama Islam tetapi dalam
agama non Islampun juga dilarang. Seperti halnya orang-orang Yahudi yang
dilarang mempraktekkan riba. Pelarangan dimaksud banyak terdapat dalam
kitab suci mereka, baik dalam perjanjian lama (oldtestament). Maupun
undang-undang talmud. Dalam Agama Kresten kitab perjanjian baru tidak
menyebutkan permasalahan ini dengan jelas. Namun, sebagian kalangan
kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6 : 34-5
sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Disamping itu,
para pendeta Agama kresten pada awal abad I – XII M. Juga berpandangan
bahwa pengambilan bunga dilarang oleh ajaran agama.
Dalam kalangan Yunani dan Romawi sejak abad 6 SM. Hingga 1 M. Telah
terdapat beberapa jenis bunga. Meskipun demikian, praktek pengambilan
bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat yunani terkemuka,
plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM), menbgecam praktek
17[11] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 106. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 54,
18[12] Sunarto Zulkifli,.............hal. 4
bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Para
ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang romawi yang mempraktekkan
pengambilan bunga19[13].
Dari sedikit uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa apapun bentuk
riba maupun bunga dilarang secara mutlak oleh smua Agama, terutama
Agama-Agama samawi. Hal ini dikarenakan dampak yang dikarenakan oleh
adanya riba atau bunga tersebut dipandang merugikan masyarakat.
BAB II
KONSEP BUNGA
1. Pengertian Bunga
Secara leksikal, bunga seabagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah
sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa interest is
a charge for afinacial loan, usually a presentage of the amount loaned
(Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan
dengan prosentase dari uang yang dipinjamkan. Pendapat lain menyatakan
interest yaitu sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasikan untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu
tingkat atau prosentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang
dinamakan suku bunga modal.
Berbeda dengan bunga (Interest), dalam bahasa inggris riba lebih dikenal
sebagai “usury” yang artinya “ the act of lending money at an exorbitant or
illegal rate of interest” tapi bila disimpulkan dari sejarah masyarakat barat,
terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang dikenal saat ini pada
hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam
presentase, istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan
pada zaman itu sehingga pengusahaharus menetapkan suatu tingkat bunga
yang dianggap wajar20[14].
19[13] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 94-96. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal. 43-48
20[14] Muhammad, Lembaga-lembaga........, hal. 146-147
2. Bunga Bang dan Riba
Dalam persoalan sub pokok bahasan ini, akan lebih rinci apabila
dikembalikan kepada pandangan tentang adanya kesamaan antara praktek
bunga dengan riba yang diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadits. Kesamaan
itu sulit dibantah, apalagi secara nyata aplikasi sistem bungan pada
perbankan lebih banyak dirasakan mudharatnya dari pada manfaatnya.
Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, antara
lain adalah21[15] :
1. Mengakumulasikan dana untuk keuntungan sendiri.
2. Bunga adalah konsep biaya yang digeserkan kepada penanggung
berikutnya.
3. Menyalurkan harta hanya kepada mereka yang mampu.
4. Penanggung terakhir adalah masyarakat.
5. Memandulkan kebijakan stabilitas ekonomi dan investasi.
6. Terjadi kesenjangan yang tidak akan ada habisnya.
Disamping itu, terlepas dari haram / tidaknya bunga bank, secara jujur harus
diakui bahwa terdapat beberapa kelemahan pada penerapan sistem bunga
dalam sistem bank konvensional, antara lain22[16] :
1. Salah satu penyebab krisis berkepanjangan.
2. Menganaktirikan usaha sektor riil.
3. Menciptakan budaya malas.
4. Memperlebar jurang sosial antara simiskin dan sikaya.
Apabila ada suatu bank yang didirikan untuk membantu lalu lintas
perdagangan, memuadahkan kirim mengirim uang, memudahkan jual-beli
antar bangsa, membantu manusia pedagang dengan modal, maka semua itu
dibolehkan Agama. Yang tidak diperbolehkan hanyalah memungut atau
memberikan rente pinjaman (riba/ bunga). Baik yang dilakukan oleh bank/
perseorangan, yaitu memungut rente pinjaman. Dan juga dilarang kalau
dengan tujuan “ihtikar” (menumpuk barang-barang makanan pada waktu
21[15] Muhammad, lembaga-lembaga, hal. 146-147
22[16] Muhammad, lembaga-lembaga, hal. 158-159
mahal untuk dijual dalam waktu yang lebih mahal lagi), maka semuanya
menurut hukum agama adalah haram23[17].
Dalam analisa terhadap praktek pembuangan dalam bank, tercatat beberapa
hal sebagai berikut24[18] :
1. Bunga adalah tamnbahan terhadap uang yang disimpan pada lembaga
keuangan atau uang yang dipinjam.
2. Besarnyta bunga yang harus dibayar ditetapkan dimuka tanpa
memperdulikan apakah lembaga keuangan penerima simpanan atau
peminjam berhasil dalam usahanya/ tidak.
3. Besarnya bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka presentase
dalam setahun yang artinya apabila hutang tidak dibayar atau simpanan
tidak diambil dalam beberapa tahun bisa terjadi berlipat ganda jumlahnya.
Dari ketiga hal tersebut diatas tampak jelas bahwa praktek membungakan
uang adalah upaya untuk memperoleh tambahan uang atas uang semula
dengan cara : (1). Pembayaran tambahan uang itu prakarsanya tidak datang
dari yang meminjam, (2). Dengan jumlah tambahan yang besarnya
ditetapkan dimuka, (3). Peminjam sebenarnya tidak mengetahui dengan
pasti apakah usahanya akan berhasil atau tidak dan apaakah ia akan
sanggup membayar tambahan dari pinjamanya itu atau tidak; (4).
Pembayaran tambahan uang itu dihitung dengan presentase sehingga tidak
tertutup kemungkinan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus
dibayar menjadi berlipat ganda.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bunga sama halnya dengan riba
an-nasi’ah yang dalam Al-Qur’an dan Hadits telah dijelaskan keharamanya.
Namun, disisi lain banyak orang yang beranggapan bahwa bunga dan riba
itu berbeda, karena bunga dianggap sebagai balas jasa atas pinjaman yang
telah digunakan untuk kepentingan produksi. Berdasarkajn pendapat yang
kedua ini, maka lembaga bank dianggap sebagai jalan keluar dari riba.
Maksudnya, unsur yang mengharamkan riba telah dihapus melalui peraturan
23[17]Sunarto zulkifli, Perbankan Syari’ah, hal. 8-9
24[18] Muhammad, lembaga-lembaga, hal. 154
perbankan yang mana suku bunganya telah ditetapkan oleh pemerintah
yang biasanya telah disepakati oleh wakil rakyat. Namun demikian,
bukankah hal tersebut hanyalah dalih untuk menghalalkan yang diharamkan
Tuhan?.
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Tahu tentang apa yang telah terjadi dan
apa yang akan terjadi. Begitu juga dengan perubahan zaman seperti
sekarang ini, tetapi Allah SWT tetap mengharamkan riba dengan jelas dalam
firman-Ny, itu berarti tidak ada dalih apapun yang dapat menghalalkan riba.
Alhasil, bagaimanapun dicfari dalihnya maka bunga itu terlarang menurut
hukun Islam, tidak diridhoi oleh Allah SWT dan RasullNya.
3. Fatwa-Fatwa Tentang Bunga Bank
a. Majlis Tarjih Muhammadiyah25[19]
Majlis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan :
1. Riba hukumnya haram dengan nash shorih Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya
halal.
3. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya
yang selama ini berlaku, termasuk perkara musyabihat.
4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai
dengan kaidah Islam.
b. Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhlatul Ulama’26[20]
menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum
gadai. Terdapat tiga pendapat ulama’ sehubungan dengan masalah ini.
1. Haram sebab termasuk utang yang dipungut rente.
25[19] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 113-114. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal.
26[20] Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 115. Lihat M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah.....hal.
2. Halal, sebab tidak ada syarat pad awaktu akad sedangkan adat yang
berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
3. Syubhat (tidak tentu halal haramnya) sebab para ahliu hukum berselisih
pendapat tentangnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan lajnah memutuskan bahwa (pilihan)
yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama yaitu menyebut bunga
bank adalah haram.
c. Sidang Konferensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di korachi, pakistan,
Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu :
1. Praktek bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan Syari’ah
Islam.
2. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya
sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah.
Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikanya Bank
pembangunan Islam / Islamic Development Bank (IDB).
d. Mufti Negara Mesir
keputusan kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank
senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun
1900 hingg 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa
bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
e. Konsul Kajian Islam Dunia (;;;;;;;;;;;;;;;;)
Ulama’-ulama’ besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia
(KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam
konferensi II KKID yang diselenggarakan di universitas Al-Azhar, Kairo, pada
bulan Muharram 1385 H/ Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun
kerugian atas haramnya praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan
bank-bank konvensional.
f. Majelis Ulama’ Indonesia.
Dalam lokakarya alim ulama’ di Usaura tahun 1991 bertekad bahwa MUI
harus segera mendirikan bank alternatif. Selanjutnya, keputusan fatwa MUI
No. 1 tahun 2004 tentang bunga, bahwa praktek pembungaan uang pada
saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rosululloh
Saw, yakni riba nasi’ah. Dengan semikian, praktek pembungaan ini termasuk
salah satu bentuk riba, dan riba hukumnya adalah haram, baik dilakukan
oleh bank, asuransi, pasar modal, penggadaian, koperasi, dan lembaga-
lembaga lainya maupun dilakukan oleh individu.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam konteks Islam, Riba merupakan satu halnya yang sangat dilarang.
Bahkan penerapanya berakibat fatal bagi masyaraakat secara luas. Oleh
sebab itu, tidak lagi menjadi perdebatan tentang haramnya riba, baik dalam
lingkup Islam maupun non Islam.
Sedangkan mengenai mpermasalahan Bank konvensional dan bunganya
terdapat banyak perbedaan pendapat. Baik mengenai hukumnya mauoun
tingkat nilai dari suku bunga itu sendiri. Namun, setelah dianalisis lebih jauh,
tidak dapat dihindari bahwa bunga bank banyak memiliki kesamaan dengan
riba. Bahkan pada penerapanya pada zaman ini, bunga bank telah menemui
kriteria riba nasi’ah sehingga telah jelas keharamanya. Meski ada ulama’-
ulama’ maupun tokoh-tokoh yang membolehkan adanya riba, namun itu
hanya dalam jumlah minoritas, sedangkan mayoritas ulama’ Internasional
sepakat bahwa bunga bank sama dengan riba dan hukumnya adalah haram
secara mutlak.
JUAL BELI ISTI’NA
PENDAHULUAN
Jual beli Al-Istisna' merupakan salah satu daripada prinsip-prinsip muamalah Islam yang mana penggunaannya kini diberi nafas baru selepas beberapa kontrak yang sedia ada pada masa sekarang ini seperti Bayc Bithaman Ajil (BBA), jual salam, murabahah, dan sebagainya tidak dapat menampung perkembangan yang pesat di samping permintaan pembiayaan yang semakin bertambah umpama “cendawan yang tumbuh selepas hujan” daripada pelanggan.
Jual beli al-Istisna' ialah tempahan sesuatu barang seperti menempah sepasang baju, sebuah rumah, sebuah katil, dan sebagainya. Ia merupakan satu prinsip kontrak jual beli yang diterima pakai sejak zaman Rasulullah S.A.W dan para sahabat Baginda sehinggalah kini, namun masih ramai yang kurang mengambil perhatian tentang kewujudan prinsip ini. Sehinggakan ada di kalangan masyarakat yang keliru berkenaan dengan prinsip ini.
Dalam kajian ini, penulis akan menjelaskan tentang konsep jual beli al-istisnac mengikut perundangan Islam serta penulis akan membuat perbandingan jual beli al-istisna' menurut fiqh muamalat Islam dengan sistem konvensional yang diamalkan oleh bank-bank pada masa kini. Kita sedia maklum bahawa sistem perbankan konvensional pada masa kini banyak mengeluarkan produk ekonomi yang sama seperti konsep al-istisna', maka di dalam kajian ini penulis akan merungkai segala perspektif yang berkaitan dengan jual beli al-istisna'.
1.2 PENGERTIAN JUAL BELI AL-ISTISNA'
Al-Istisna' dari sudut bahasa telah disepakati ulama bahawa al-Istisna' bermaksud meminta supaya
dibuat sesuatu atau menempah sesuatu. Atau pun dengan kata lain, membuat sesuatu berdasarkan apa yang diminta. Dari sudut istilah pula, para ulama berselisih pendapat kerana berbeza fahaman tentang pensyariatannya. Oleh yang demikian , ada di kalangan mereka memberikan definisi al-istisnac secara istilah dan ada yang sebaliknya.
Definisi Al-Istisna' dari segi istilah menurut pendapat fuqaha’ ialah meminta pembuat melakukan sesuatu yang khusus atas cara yang khusus. Atau ia merupakan akad meminta melakukan sesuatu (menempah) atas pekerjaan sesuatu yang telah ditentukan pada tanggungannya yakni kontrak membeli sesuatu apa yang ditempah olehnya kepada pembuat tempahan.
Mazhab Hanafi mendefinisikan Al-Istisna' sebagai akad ke atas barang yang ditempah secara hutang dengan syarat membuat mengikut apa yang diminta. Fuqaha’ Hanafi menggunakan perkataan Istisna' dengan maksud ia dikategorikan sebagai jual beli sesuatu dengan syarat. Bagi mereka jual beli istisna' adalah tidak sama dengan jual beli salam. Begitu juga dengan pendapat fuqaha’ Hanbali yang berpendapat bahawa al-istisna' tidak sama dengan jual salam. Malahan pula, fuqaha’ Hanbali mendefinisikan perkataan istisnac sebagai jual beli sesuatu dengan syarat.
Manakala fuqaha’ bermazhab Maliki dan Syafici mengkategorikan istisna' sama dengan Bay' al-salam. Konsep al-istisna' sama dengan Bay' salam iaitu kedua-duanya merupakan urusniaga tempahan barang, cuma apa yang membezakan antara kedua-dua prinsip tersebut ialah jenis-jenis barang yang ditempah. Hal ini dilihat bahawa jenis-jenis barang yang ditempah di dalam jual beli salam adalah lebih umum berbanding barang yang ditempah di dalam al-istisnac yang mana tempahan yang diminta berbentuk khusus dan ia tidak semestinya benda yang wujud pada pasaran.
Dapat disimpulkan di sini bahawa al-istisna' merupakan jual beli yang mana seseorang pembeli membuat tempahan sesuatu barang seperti baju, kereta, perabot, dan sebagainya kepada pihak lain. Jual beli ini hukumnya harus.
1.3 HUKUM JUAL BELI AL-ISTISNA' MENURUT FUQAHA’ BESERTA DALIL
Terdapat dua pandangan daripada ulama-ulama fiqh berkaitan dengan pensyariatan kontrak al-istisna'. Golongan yang pertama berpendapat bahawa prinsip istisna' adalah tidak harus berdasarkan kepada qiyas. Manakala golongan kedua pula berpendapat bahawa diharuskan kontrak istisnac ini digunakan di dalam muamalah Islam.
1.3.1 Golongan Pertama Yang Mengharuskan
Ulama bermazhab Hanafi berpendapat bahawa kontrak jual beli istisna' diharuskan berdasarkan konsep al-istihsan kerana kontak tersebut telah menjadi amalan biasa yang dilakukan oleh orang ramai pada setiap masa tanpa sebarang bantahan. Ia juga berperanan memberikan kemudahan urusniaga kepada umat Islam. Secara tidak langsung, wujud satu ijmak di kalangan umat Islam terhadap keharusan akad jual beli al-istisnac. Oleh yang demikian, prinsip qiyas diketepikan kerana Rasulullah S.A.W telah bersabda:
ضاللة على أمتي تجتمع الMaksudnya: “Umatku tidak berhimpun (bersekutu) atas suatu perkara yang sesat ”
Menurut qiyas tidak diharuskan membuat akad pertukangan kerana ia adalah suatu jual beli yang macdum (jual beli yang tiada barang) ketika akad tempahan dan jual beli yang tiada barang pada waktu akad adalah amat dilarang oleh Rasulullah S.A.W. Baginda S.A.W melarang daripada menjual barang yang tidak wujud di sisi manusia.
Dr. Ahmed al-Husadri dalam kitabnya yang bertajuk ‘Ilm al-Iqtisadi pula menambahkan bahawa dalil pensyariatan al-istisna' yang menjadi hujah pegangan mazhab Hanafi adalah melalui hadis mawquf yang disebutkan oleh Abdullah bin Mascud iaitu:
�ه ما المسلمون را حسن الله عند فهو حسناMaksudnya:“Apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai baik, maka ia adalah baik di sisi Allah S.W.T ”
Berdasarkan dalil tersebut, maka mazhab Hanafi telah melihat dan menganggap bahawa al-istisna' sebagai harus kerana ia mendatangkan kemaslahatan kepada umat Islam. Ulama Hanafi juga menggunakan hadis periwayatan daripada 'Abdullah Ibn cUmar yang menceritakan bahawa Rasulullah S.A.W pernah menempah sebentuk cincin yang diperbuat daripada emas.
Di samping itu juga, terdapat ulama yang mengharuskan penggunaan akad istisna' iaitu Imam Zufar (mazhab Hanafi), sebahagian mazhab Maliki, dan Hanbali dengan mensyaratkan jual beli tersebut telah menjadi amalan kebiasaan masyarakat setiap zaman. Dalam akad ini dikenakan syarat yang sama sepertimana syarat yang ditetapkan di dalam jual beli salam. Di antara syaratnya ialah hendaklah menyerahkan semua harganya dalam majlis akad tersebut. Syarat yang ditetapkan oleh mazhab Maliki khususnya mensyaratkan bahawa barang yang hendak ditempah itu mestilah terdiri daripada bahan mentah sejenis yang tidak boleh bercampur dengan jenis-jenis lain bagi mengharuskan kontrak istisnac.
Ulama Syafi'i yang berpendirian bahawa jual beli istisna' tidak harus juga telah memberikan kelonggaran bagi pengamalan istisna' dengan menganggap bahawa akad ini tetap dikira sah sama ada ditentukan waktu bagi penyerahan barangan yang ditempah itu ataupun tidak (yakni diserahkan segera).
Selain daripada hujah terdahulu, terdapat juga ulama yang berpendapat bahawa pensyariatan al-istisnac adalah berdasarkan taqrir ulama dan fuqaha’ setiap zaman bermula selepas kewafatan Rasulullah S.A.W sehinggalah zaman sekarang. Mereka tidak membantah akan urusniaga seperti demikian. Oleh yang demikian, orang ramai mengikut dan mengamalkan jual beli tersebut atas sebab tiada fatwa yang melarangnya.
1.3.2 Golongan Kedua Yang Tidak Mengharuskan
Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis bahawa terdapat dua pandangan ulama tentang hukum dan pensyariatan jual beli al-istisna' iaitu satu golongan mengatakan kontrak ini harus dan satu golongan lagi menyatakan sebaliknya. Golongan kedua yang menyatakan bahawa kontrak di dalam jual beli al-istisna' adalah tidak harus terdiri daripada ulama’ mazhab Syafi'i. Mereka berpendapat sedemikian adalah berdasarkan konsep qiyas.
Selain daripada Mazhab Syafi'i, wujud juga ulama yang tidak mengharuskan kontrak ini iaitu sebahagian ulama mazhab Maliki dan Hanbali. Mereka mengaitkan kontrak istisna' dengan kontrak bay' al-salam. Oleh yang demikian, pendapat mereka bagi seseorang yang menempah sesuatu barang perlu mengikut prosedur-prosedur hukum dalam kontrak bay'al-salam. Hal ini disebabkan mereka menganggap bahawa
tidak mungkin al-istisnac ini digunakan sebagai akad jual beli kerana ia dilihat merupakan jual beli yang tiada di tangan (bay' al-ma'dum) dan bukannya bayc al-salam.
Hal ini juga diperjelaskan lagi bahawa kontrak tersebut tidak mungkin menjadi seperti kontrak sewaan atau upah kerana ia mengambil upah ke atas kerja yang sememangnya dimiliki dan dilakukan olehnya sendiri (orang yang mengambil upah).
1.4 RUKUN JUAL BELI AL-ISTISNA'
Menurut ulama' mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali, rukun-rukun akad al-istisna' ialah ijab dan qabul yakni keredhaan anatara kedua-dua pihak (pembeli dan tukang pembuat tempahan) dan disyaratkan di dalam di dalamnya apa-apa syarat yang terkandung di dalam akad jual beli dan upah. Contohnya seperti lafaz ini: ”Buatkan untukku sepasang baju kemeja” dan tukang jahit menjawab: ”aku terima tempahan ini dan aku akan siapkan”.
Manakala menurut ulama mazhab Maliki pula meletakkan rukun-rukun jual beli al-istisna' sama sepertimana yang terdapat di dalam rukun-rukun akad upahan iaitu:
i) Pihak yang berakad (iaitu terdiri daripada penempah dan tukang)ii) Sighah (iaitu ijab dan qabul)iii) Benda yang diakadkan.
1.5 SYARAT-SYARAT JUAL BELI AL-ISTISNA'
1.5.1 Syarat Pihak yang Berakad
Syarat kedua-dua pihak yang berakad adalah sama dengan syarat pihak yang terlibat di dalam jual beli ('aqd al-bay').
1.5.2 Syarat Sighah
Untuk menjadikan akad tempahan pertukangan ini sah, maka dikenakan beberapa syarat iaitu:
1) Menjelaskan jenis benda yang mahu dibuat, dibentuk, kadar, dan sifatnya kerana ia merupakan barangan jualan yang wajib dimaklumi oleh kedua-dua pihak. Maklumat-maklumat tentang ciri-ciri barang yang ditempah diperoleh ketika majlis sighah berlaku.
2) Hendaklah ia menjadi perkara yang biasa dilakukan di kalangan manusia seperti menempah kasut, bangunan, rumah, dan sebagainya.
3) Mestilah ia tidak dibataskan dengan waktu yang tertentu ketika majlis akad istisnac berlangsung. Sekiranya penyerahan barang yang ditempah itu ditetapkan tempohnya, ianya akan bertukar menjadi akad akad jual beli salam. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah menyatakan bahawa jika terdapat penetapan waktu penyerahan barang yang ditempah tersebut, maka telah gugur hak untuk kedua-dua pihak melakukan khiyar apabila tukang pembuat telah menyerahkan barang yang ditempah itu di dalam akad tersebut.
Pendapat di atas tidak dipersetujui oleh As-sohibani iaitu Imam Abu Yusuf dan Muhammad Al-Syaibani yang mana mereka berpendapat bahawa semua yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah itu tidak menjadi syarat kepada akad kontrak isitisnac. Bagi pandangannya, akad tersebut tetap dikira sebagai tempahan (istisna') sama ada ditentukan tempohnya atau tidak kerana beliau mengambil kira maslahah dan adat yang telah menjadi kebiasaan serta amalan masyarakat.
Penulis di sini bersetuju dengan pendapat yang kedua yang didokong oleh As-sohibani adalah selaras dengan tuntutan kehidupan yang praktikal kerana kemaslahatan umat Islam harus diutamakan di dalam muamalat Islam khususnya.
1.5.3 Syarat Benda yang diakadkan
Menurut fuqaha’ Hanafi, mereka berselisih berkenaan dengan syarat benda yang diakad sama ada ia berbentuk cain sesuatu barang atau ia merupakan perkhidmatan. Maka jumhur fuqaha’ hanafi berpendapat bahawa hendaklah disyaratkan barang yang mempunyai cain dijadikan barang yang diakadkan. Hal ini disebabkan kalau jual beli istisnac pada ain dan telah disiapkan tempahan oleh pembuat tempahan atas apa yang diminta oleh penempah, maka kesempurnaan tempahan yang dibuat oleh tukang adalah masih di dalam tempoh akad sehinggalah penempah tidak menolak cain hasil tempahan kecuali dengan khiyar ru’yah. Mereka juga bersetuju berpendapat bahawa jual beli istisnac menjadi sabit padanya bagi penempah (pembeli) membuat khiyar ru’yah.
Sebahagian fuqaha’ Hanafi berpendapat bahawa barang yang dijadikan akad di dalam jual beli istisnac merupakan perkhidmatan. Hal ini disebabkan akad terbina atas perkhidmatan. Walaupun dijadikan akad istisnac sebagai akad perkhidmatan, namun bagi mereka ia diharuskan.
Pada pendapat penulis hanya beranggapan bahawa kedua-duanya yakni barang dan perkhidmatan adalah harus digunakan di dalam akad jual beli istisnac. Pada zaman yang kian canggih ini, kita tidak dapat menolak kemungkinan tempahan perkhidmatan juga menjadi suatu urusniaga seperti menempah perkhidmatan membaiki komputer, menempah perkhidmatan sekuriti keselamatan, dan lain-lain lagi. Penulis berasakan ia juga suatu keperluan bagi umat Islam kini.
BAB II
APLIKASI JUAL BELI ISTISNAC DALAM SISTEM PERBANKAN
2.1 MEKANISME JUAL BELI ISTISNAC
Pengamalan kontrak jual beli al-istisnac di Malaysia merupakan satu kemudahan pembiayaan yang praktikal dan ideal serta menepati kehendak pelanggan masa kini. Ia selaras dengan prinsip yang diterapkan di dalam muamalah Islam. Selain itu juga, pengamalan kontrak jual beli istisnac banyak membantu kepada perkembangan ekonomi negara. Terdapat banyak pembinaan perumahan dan infrastruktur yang menggunakan kemudahan ini.
Di dalam perbankan Islam di negara kita khususnya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) telah menyediakan suatu kemudahan mekanisme pembiayaan moden yang diaplikasikan dan diamalkan kontrak melalui prinsip kontrak jual beli al-istisnac. Kemudahan yang menawarkan kemudahan tersebut dikenali sebagai kemudahan istisnac (Istisnac Facility).
2.2 ISTISNAC FACILITY (KEMUDAHAN ISTISNAC)
Istisnac Facility merupakan satu kemudahan jual beli mengikut pesanan ataupun tempahan oleh pembeli atau penempah sesuatu barangan. Ia merupakan satu produk yang ditawarkan oleh BIMB kepada pelanggannya yang asalnya ingin membuat pinjaman. Namun sepertimana yang kita sedia maklum bahawa di dalam perundangan Islam, prinsip yang boleh digunakan bagi perkhidmatan pinjaman hanyalah kontrak Qard Al-Hasan .
Hasil daripada perbincangan dan penelitian yang dibuat oleh Majlis Pengawasan Syariah dan individu-individu yang berkelayakan dalam bidang ekonomi dan keagamaan, maka pihak bank bersetuju mengeluarkan satu kemudahan kepada pelanggannya iaitu Istisnac Facility.
Konsep asas Istisnac Facility ialah bank akan membeli hak milik sesuatu aset yang sedang dalam proses pembinaan daripada pelanggan mengikut kontrak pembinaan antara pihak pelanggan dengan pihak pembekal atau kontraktornya, dan seterusnya hak milik kepada aset tersebut dijual balik kepada pelanggan dengan harga jualan yang meliputi harga belian dan margin keuntungan. Pelanggan akan membayar harga jualan melalui ansuran mengikut tempoh yang dipersetujui.
Dalam pengamalan hariannya, pihak BIMB telah mengubahsuai skim pinjaman penyambung (Bridging Loans) yang dikeluarkan oleh bank-bank konvensional dan juga kontrak al-istisnac. Kemudian menjadikan kedua-duanya sebagai satu kaedah pembiayaan perbankan terhadap kemudahan Istisnac. Ia adalah lebih kepada berbentuk pembiayaan sementara.
Kemudahan Istisnac (Istisnac Facility) yang dikeluarkan oleh BIMB adalah untuk membiayai projek-projek tertentu sahaja yang mana ianya diiktiraf dan mematuhi syarat-syarat kontrak istisnac. Pembiayaan tersebut di antaranya ialah:
1) Pembiayaan untuk projek perumahan2) Pembinaan bangunan untuk tujuan komersial atau industri3) Projek komersial seperti jalan raya, bangunan, dan sebagainya4) Lain-lain projek.Perlu disebutkan di sini bahawa kemudahan istisnac yang ditawarkan oleh BIMB kebiasaannya urusniaga tersebut digabungkan dengan kontrak-kontrak dan kemudahan-kemudahan lain yang dikeluarkan oleh pihak bank. Ia bukanlah satu kemudahan yang berdiri sendiri tanpa ada sokongan kontrak lain. Gabungan ini ternyata memberikan lebih banyak kebaikan dan kemudahan kepada pihak yang berurusniaga sama ada pihak bank, pelanggan, dan lain-lain yang terlibat. Mereka berpendapat bahawa apabila ia dibuat di dalam kontrak yang berasingan, maka kos pengeluaran kemudahan tersebut akan meningkat. Malahan pula, prosedur pengeluarannya juga bertambah rumit dan memakan masa yang lebih lama.
Oleh yang demikian, gabungan Istisnac Facility dan Bayc Bithaman Ajil adalah dikira pasangan dan gabungan ideal yang biasa diamalkan pleh pihak bank. Praktiknya, kedua-dua kontrak tersebut mempunyai persamaan dan kesinambungan yang lebih efektif berbanding instrumen-instrumen lain.
Konsep asas gabungan tersebut ialah pihak pelanggan akan menempah sesuatu barangan, sebagai contoh seperti pelanggan ingin membeli rumah daripada pemaju perumahan tersebut. Dia kemudiannya akan menemui pihak bank dan pihak bank akan mengeluarkan kemudahan istisnac (Istisnac Facility) di mana pihak bank akan membeli barangan (rumah) tersebut (daripada pemaju perumahan) dan kemudian menjualnya balik kepada pelanggan tersebut. Proses ini dilakukan dengan menggunakan akad tempahan. Manakala cara pembayaran urusniaga tersebut pula akan dilakukan dengan cara bayaran bertangguh (Bayc Bithaman Ajil) secara ansuran ataupun mengikut persetujuan yang telah dicapai oleh pihak bank dan pelanggan.
Namun demikian, urusniaga yang menggunakan kemudahan ini yang biasanya diamalkan oleh pihak bank adalah melibatkan pelbagai pihak. Dalam kemudahan ini, pihak bank biasanya akan menggunakan pembiayaan penyambung (Bridging Financing) seperti yang diamalkan oleh bank konvensional.
Terdapat dua peringkat pembayaran balik bagi penjualan yang dilakukan oleh pihak bank. Peringkat pertama adalah tempoh selama 12 bulan atau 24 bulan yang mana pembiayaan tersebut adalah untuk jumlah pembayaran keuntungan yang diterima oleh pihak bank hasil daripada penjualan kepada pelanggan tersebut. Peringkat kedua ialah peringkat penerimaan bagi jumlah kos asal pembelian. Pengeluaran wang bagi pembelian yang dilakukan oleh pihak bank terhadap projek tersebut akan dibayar mengikut peringkat penyelesaian projek yang telah ditetapkan dan diluluskan oleh panel arkitek.
Namun demikian, pihak bank berhak untuk memilih harga yang lebih tinggi di antara pembayaran melalui ansuran seperti yang telah diterangkan terdahulu ataupun melalui harga penebusan hak milik. Harga penebusan hak milik adalah harga yang ditentukan apabila datang pihak ketiga yang ingin membeli projek tersebut. Proses ini berlaku dalam proses pembiayaan akhir. Ia berlaku apabila terdapat individu-individu kecil yang ingin membeli rumah yang sedang dibina melalui projek yang sama dijalankan oleh pemaju perumahan yang menggunakan pembiayaan penyambung (Bridging Financing) secara per unit iaitu sebuah-sebuah.
Individu-individu kecil tersebut kemudiannya akan mendapatkan pinjaman daripada pihak bank lain (individu ketiga). Bank tersebut pula sebagai sekuriti kepada pinjaman tersebut akan menebus hak milik projek tersebut daripada BIMB. Harga penebusan hak milik tersebutlah yang akan dinilai oleh pihak BIMB sama ada memilih bayaran secara ansuran atau harga penebusan hak milik projek (yakni yang mana satu lebih tinggi keuntungannya atau kedua-duanya sekali).
2.3 PERBANDINGAN DAN PERKAITAN DI ANTARA ISTISNAC FACILITY DENGAN PINJAMAN PENYAMBUNG (BRIDGING LOANS)
Walaupun pada hakikatnya kontrak Istisnac itu adalah merupakan salah satu kontrak yang terdapat di dalam sistem muamalat Islam, namun kemudahan istisnac (Istisnac Facility) yang ditawarkan oleh BIMB merupakan hasil pengubahsuaian yang dilakukan terhadap kemudahan pinjaman konvensional iaitu Pinjaman Penyambung (Bridging Loans).
Pinjaman penyambung merupakan satu bentuk pembiayaan jangka pendek untuk menyambung atau menghubungkan jarak antara keperluan tunai segera dengan jangkaan penerimaan tunai di masa
hadapan. Ataupun dengan kata lain, seseorang individu itu membuat pinjaman jangka pendek bagi menampung pembelian sesuatu barangan dan dalam masa yang sama juga dia menunggu pulangan hasil keuntungan daripada hasil penjualan yang dilakukannya terhadap barangannya.
Terdapat juga penggunaan istilah lain selain daripada pinjaman penyambung iaitu pendahuluan penyambung (Bridging advance), akan tetapi ia hanya membawa maksud yang sama iaitu wang pendahuluan yang diberikan untuk tujuan membantu seseorang yang menjual asetnya dan membeli sesuatu yang lain.
Kebiasaannya pinjaman ini disediakan kepada pemaju perumahan bagi membiayai projuk perumahan yang dijalankan. Namun terdapat juga orang perseorangan yang menggunakan kemudahan ini. Misalnya, sseorang yang ingin membeli rumah atau apartment, lalu kemudiannya dia memohon kepada Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) untuk sebahagian daripada pembiayaan pembelian rumah tersebut. Sementara menunggu penerimaan wang KWSP tersebut, dia kemungkinan akan membuat pinjaman jangka pendek untuk menampung kesempitan atau kekurangan yang bersifat sementara itu.
Di dalam kes pembangunan perumahan, pemaju perumahan memerlukan pembiayaan bagi modal kerja dalam bentuk pinjaman penyambung untuk membiayai kos pembinaan dan pembiayaan estet perumahan. Pinjaman ini dibayar dari semasa ke semasa atau secara progresif bergantung kepada peringkat kemajuan dan penyiapan projek ini.
Dalam keadaan seperti ini, bank akan memastikan sama ada sebarang persediaan untuk membiayai perbezaan harga jika ada, sudah silakukan dan surat aku janji telah diperolehi jika diperlukan. Pergerakan dana dan pelaksanaan pemprosesan dokumen tersebut dilakukan melalui peguamcara.
Pinjaman penyambung ini biasanya mempunyai perkaitan dengan pembiayaan akhir (end financing). Pembiayaan akhir merupakan komitmen pihak bank kepada pemaju yang sama. Di sini bank bersetuju menyediakan pinjaman perumahan kepada individu yang membeli rumah yang disiapkan oleh pemaju berkenaan. Pinjaman ini dibayar secara progresif berasaskan peringkat penyiapannya. Hasil yang diperolehi daripada pinjaman akhir ini akan digunakan oleh pemaju berkenaan untuk menyelesaikan pinjaman penyambung.
Untuk mempertimbangkan permohonan pinjaman penyambung atau pembiayaan akhir untuk pembangunan perumahan atau harta, bank akan menilai kedudukan dan keupayaan kewangan pemaju dan pihak yang berkaitan seperti arkitek. Mereka juga akan menjalankan kajian yang lengkap tentang keboleh laksanaan dan daya maju projek serta sifat atau syarat cagaran yang ditawarkan. Namun demikian pihak bank tidak akan memberi pinjaman penyambung ini apabila pihak pelanggan hendak membeli sebuah rumah tetapi tidak ingin membeli rumah yang sedia ada.
Merujuk kepada penggunaan pembiayaan penyambung oleh BIMB dalam kemudahan istisnac, pihak bank merasakan bahawa pembiayaan tersebut mempunyai persamaan dan kesesuaian dengan kemudahan istisnac. Melalui kaedah ini, pihak bank akan membeli dari pelanggan projek yang akan dilaksanakan. Pembelian tersebut dibuat secara konsep tempahan dengan harga yang telah dipersetujui oleh pihak bank dan pelanggan. Kemudiannya, pihak bank akan menjual balik atau aset yang dilaksanakan tadi kepada pelanggan yang mana penjualan tadi yang dibuat secara tempahan juga. Harga bagi jualan tersebut adalah merangkumi harga belian dan kadar keuntungan kepada pihak bank.Pembayaran bagi pembelian balik pelanggan kepada pihak bank akan dilakukan secara ansuran mengikut tempoh masa yang dipersetujui ataupun secara tebus baki jika pihak bank merasakan ia
sesuai.
2.4 PROSES PELAKSANAAN ISTISNAC FACILITY
Seseorang yang ingin memohon untuk kemudahan istisnac ini mestilah melalui beberapa peringkat proses yang ditetapkan. Terdapat enam proses bagi kemudahan istisnac iaitu:
2.4.1 Perjumpaan Pelanggan dengan Pihak BIMB
Dalam peringkat pertama ini, pihak pelanggan yang ingin membuat permohonan akan berjumpa pihak bank buat kali pertama dan menyatakan tujuan pembiayaan tersebut. Pihak bank pula akan meminta beberapa maklumat penting mengenai projek dan syarikat (pelanggan tersebut) yang akan mengendalikan projek tersebut. Maklumat yang diperlukan adalah seperti berikut:
1) Latar belakang syarikat dari segi jenis perniagaan, struktur pengurusan, sejarah syarikat, struktur modal.
2) Butir-butir pengurusan iaitu maklumat mengenai latar belakang dan pengalaman Ahli Lembaga Pengarah dan Pengurusan yang mengendalikan operasi perniagaan seperti keterangan sesuatu projek termasuk aliran tunai dan andaian, penyata kewangan untuk sekurang-kurangnya 3 tahun terakhir (jika sesuai), unjuran penyata kewangan, akaun untung rugi dan aliran wang tunai beserta andaiannya tentang tempoh kemudahan yang diberikan, tatacara syarikat yang mutakhir, dan lain-lain dokumen.
3) Kemudahan Perbankan seperti senarai kemudahan perbankan yang diperolehi dari BIMB atau bank-bank lain serta terma dan syarat kemudahan.
4) Maklumat mengenai projek yang akan dilaksanakan seperti anggaran jadual pengeluaran harga belian, unjuran aliran tunai dan tempoh masa pembiayaan, unjuran penyata kewangan dan akaun untung rugi bagi tempoh masa pembiayaan, latar belakang projek, lokasi projek, jenis bangunan yang hendak dimajukan, luas kawasan untuk jualan (di dalam kaki persegi), harga jualan (setiap unit), bilangan unit yang akan dibangunkan, fasa pembangunan dan sasaran jualan, senarai perunding yang dipilih (arkitek, juru ukur bahan, dan lain-lain), maklumat kos pembangunan, dan senarai tempahan yang diterima.
5) Cagaran dari segi jenis dan nilai, laporan penilaian, serta penilaian pasaran dan harga pasaran.
2.4.2 Penilaian Pihak BIMB
Peringkat kedua ialah peringkat di mana pihak BIMB akan membuat kelulusan berdasarkan kertas kerja yang dibuat bagi permohonan tersebut. Pegawai bank akan menganalisa maklumat yang telah diisi dan dikemukakan oleh pelanggan dengan teliti. Proses ini akan menilai projek yang akan dilakukan dan menilai syarikat itu sendiri. Dalam peringkat ini juga pihak bank dan pelanggan akan berunding mengenai pembayaran dan keuntungan yang akan dikenakan serta beberapa perkara lain yang berkaitan sehinggalah pihak bank meluluskan pembiayaan tersebut.
Setelah bank berpuas hati dan meluluskan kertas kerja yang dibuat, maka surat tawaran akan dikeluarkan kepada pelanggan bagi meneruskan proses pembiayaan tersebut ataupun tidak. Berdasarkan kertas kerja yang telah diluluskan itu, sekiranya pelanggan masih lagi tidak berpuas hati,
maka rundingan masih dibuka sehinggalah persetujuan dicapai oleh kedua-dua pihak.
Setelah pihak pelanggan dan pihak bank bersetuju dengan rundingan tersebut serta telah menandatangani surat tawaran, maka langkah seterusnya ialah proses mendokumentasikan perjanjian yang berkaitan. Proses ini akan dilakukan oleh peguamcara yang dipilih oleh pelanggan dan biasanya ia terdiri daripada ahli panel guaman BIMB dan diluluskan oleh pihak bank. Dokumen- dokumen yang terlibat iaitu:
i) Perjanjian pembelian istisnac antara pihak bank dan pelanggan.ii) Perjanjian jualan istisnac antara pelanggan dan pihak bank.iii) Dokumen tuntutan untuk jualan istisnac.iv) Dokumen jaminan.v) Surat janji untuk pembelian istisnac.vi) Dokumen perundangan yang lain sebagaimana yang dicadangkan oleh Penasihat Undang-Undang pihak bank.
BAB III
KEBERKESANAN PELAKSANAAN JUAL BELI ISTISNAC
3.1 FENOMENA BARU MENGENAI JUAL BELI ISTISNAC
Pengalaman masyarakat berurusan dengan Cawangan Perbankan Islam sebuah institusi perbankan terbesar negara bagi menyelesaikan urusan pembelian rumah baru-baru ini telah sedikit sebanyak mengundang persoalan di benak penulis akan sejauh manakah Skim Perbankan Islam (SPI) di Malaysia menepati apa yang dikatakan sebagai perbankan berlandaskan Syariah yang bebas daripada unsur-unsur riba dan unsur-unsur lain yang dilarang oleh agama Islam.
Di Malaysia, bagi pembiayaan perumahan, majoriti bank menggunakan konsep al-baic bithaman ajil (BBA) atau jual harga tangguh.Manakala dalam penentuan kadar keuntungan pula ada dua pendekatan yang digunakan iaitu sama ada menggunakan kadar tetap (fixed rate) atau kadar yang berubah-ubah (floating base financing rates) yang mempunyai kadar siling yang tertentu yang ditetapkan pada awalkontrak.
Dalam amalan BBA sekarang, pelanggan perlu menandatangani Perjanjian Jual Beli (S&P) dengan pemaju/penjual dengan membayar 5%-10% wang pendahuluan. Kemudian dia cuba mendapatkan pembiayaan daripada pihak bank. Jika diluluskan, pihak bank akan membeli hak pelanggan di bawah S&P tadi dan kemudiannya membayar keseluruhan harga aset kepada pihak pemaju atau pembeli sebelum menjualnya kembali kepada pelanggan pada harga tangguh dan pada kadar untung yang tertentu.Persoalannya sekarang jika rumah tadi masih lagi dalam pembinaan, apa yang dibeli oleh pihak bank dan apa yang dijualnya kembali kepada pelanggan.
Ini kerana dalam Islam sesuatu yang ingin dijual itu perlu wujud dan ada dalam pemilikan penjual pada masa akad dilakukan. Jika barang yang diakad (ma'qud alaih) tidak wujud semasa akad dibuat, ia boleh
mewujudkan unsur ketidaktentuan (gharar) tentang kemampuan pihak penjual dalam menyerahkan aset tadi kepada pembeli.
Dalam perundangan Islam, kontrak jual beli boleh menjadi satu akad yang fasid jika penjual gagal menyerahkan ma'qud alaih semasa akad dibuat.Dalam kes BBA (jika benarlah ia bersandarkan konsep jual beli Islam), kontrak tersebut sepatutnya terbatal jika rumah tadi gagal disiapkan atau gagal diserahkan kepada pembeli dalam tempoh yang ditetapkan.
Hakikat sebenar yang berlaku di Malaysia ialah, walaupun sesuatu projek itu gagal disiapkan atau terbengkalai, pelanggan tetap kena membayar ansuran bulanan atau membayar kadar keuntungan ke atas progressive payment yang telah dibuat pihak bank kepada pemaju atau penjual. Jika benar rumah tadi adalah milik bank (kerana ia telah beli daripada pemaju/penjual sebelum menjualnya kepada pelanggan), bukankah ini sesuatu yang tidak menepati semangat syariah yang berpaksikan konsep adil.
Katakan rumah tadi berjaya disiapkan, bagaimanapun ini belum menjamin pelanggan sudah boleh menarik nafas lega. Hal ini kerana dalam sesetengah kes, kelewatan pihak bank menjelaskan baki harga rumah kepada pihak pemaju (selepas di tolak bayaran pendahuluan yang biasanya sekitar 10% daripada harga rumah) ada kala boleh menyebabkan pihak pelanggan dikenakan kadar faedah (riba) yang ada kalanya mencecah 8%-10% setahun oleh pihak pemaju/penjual. Kunci tidak akan diberikan oleh pihak pemaju selagi bayaran faedah ini tidak dilunaskan oleh pembeli. Bukankah ini adalah tanggungjawab pihak bank untuk menyerahkan kunci kepada pelanggan kerana dalam BBA, bank adalah penjual atau pemilik kepada aset tadi? Begitu juga dengan denda oleh pemaju. Sepatut kos ini ditanggung oleh pihak bank bukannya pelanggan jika terbukti kelewatan pendokumentasian dan pembayaran berlaku di pihak bank itu sendiri.
Apa yang terkandung di dalam S&P sebenarnya lebih mirip konsep istisna' iaitu tempahan. Istisnac merupakan akad jual beli di mana pembeli menempah atau memesan kepada penjual untuk membuat sesuatu barang yang dikehendakinya supaya disiapkan dalam masa yang tertentu dengan harga dan cara bayaran yang ditetapkan. Akad jual beli itu adalah atas barang yang dibuat oleh penjual. Dalam kontrak istisna' akad hanya akan menjadi sempurna apabila penjual menyerahkan barang tempahan tadi kepada pelanggan.
Oleh sebab itu, bagi mengelak kekeliruan dari segi penggunaan konsep dalam pembiayaan perumahan, kebanyakan bank Islam dari Timur Tengah mengamalkan konsep Istisnac dan Ijarah Muntahiya bi al-Tamlik atau Musharakah Muntaniqisah.
Secara ringkasnya melalui konsep Istisnac dan Ijarah Muntahiyah bi al Tamlik, bank akan membeli rumah daripada pemaju dengan menggunakan konsep Istisnac. Kemudian bank akan memajak rumah (yang masih dalam pembinaan) tadi kepada pelanggan untuk suatu tempoh dan kadar sewa yang tertentu. Jika rumah tadi gagal disiapkan pemaju, kontrak tadi akan dibatalkan dan sebarang lebihan sewa (jika ada) akan dipulangkan kepada pelanggan. Jika rumah tadi berjaya disiapkan, kontrak tadi akan berterusan dengan pelanggan akan membayar sewa bulanan kepada pihak bank. Pada akhir tempoh kontrak, pihak bank akan memindahkan pemilikan rumah tadi kepada pelanggan melalui kontrak jualan atau sebagai pemberian.
Manakala melalui konsep Musyarakah Mutanaqqisah, bank dan pelanggan akan menjadi rakan kongsi dalam pemilikan sesebuah rumah. Bank biasanya akan menjadi pemilik saham terbesar manakala pelanggan akan menjadi pemilik minoriti. Sebagai contoh, bank akan membayar 90% daripada harga
rumah tadi manakala baki 10% lagi ditanggung pelanggan. Pelanggan akan secara beransur-ansur menguasai saham yang dimiliki oleh bank ke atas rumah tadi melalui bayaran ansuran bulanan (sewa) dan pada akhir tempoh kontrak, rumah tadi akan menjadi milik penuh pelanggan.
Bagaimana pula dengan syarat-syarat lain yang diwajibkan oleh pihak bank kepada pelanggan seperti mengambil perlindungan takaful terhadap diri dan aset tadi. Biasanya bank akan mensyaratkan pelanggan menyertai takaful gadai janji dan takaful pemilik rumah atau takaful kebakaran yang biasanya disediakan secara automatik oleh pihak bank dan perlu dibayar oleh pelanggan.
Pengalaman bapa penulis sendiri memberitahu walaupun mengambil pembiayaan yang dibuat secara BBA atau istisnac, salah satu perlindungan yang diberikan adalah insuran kebakaran dan bukannya takaful kebakaran. Apabila ditanya pegawai pemasaran bank kenapa penulis diberi insurans kebakaran sedangkan urusan dibuat di Cawangan Perbankan Islam, jawapannya adalah acuh tak acuh sahaja. Kononnya polisi dijana secara automatik oleh komputer. Dan perkara seumpama ini tidak seharusnya berlaku kerana syarikat induk bank tadi merupakan satu-satunya syarikat di Malaysia yang mempunyai dua buah syarikat takaful di bawah naungannya.
Begitu juga dengan alat-alat pemasaran dan maklumat-maklumat iklan yang digunakan untuk memberitahu pelanggan akan produk yang ditawarkan. Ia seharusnya betul dan tidak mengelirukan. Dalam perbankan Islam, terma pinjaman dirujuk sebagai pembiayaan, terma faedah dirujuk sebagai keuntungan manakala kadar faedah adalah kadar keuntungan. Akan tetapi bank yang penulis berurusan ini menggunakan secara terang-terangan menggunakan terma BLR (Base Lending Rate) atau Kadar Pinjaman Asas di dalam brosur untuk menyatakan kadar keuntungan yang dikenakan ke atas produk pembiayaan perumahannya. Ini adalah sesuatu yang mengelirukan kerana dalam Sistem Perbankan Islam, BLR (Base Lending Rate) adalah BFR (Base Financing Rate).
Pada dasarnya Sistem Perbankan Islam diwujudkan bagi menyediakan satu ruang bagi masyarakat Islam bermuamalat dalam ruang lingkup yang dibenarkan syariah dan yang paling utama ialah muamalat tadi bebas daripada unsur riba. Akan tetapi, dalam agama Islam tahap pematuhan kepada kehendak Syariah adalah suatu perkara yang tidak dilihat dari segi konsep semata-mata. Agama Islam melihatnya secara keseluruhan.
Begitu juga dalam kes Sistem Perbankan Islam hari ini. Walaupun konsep-konsep yang digunapakai dalam Sistem Perbankan Islam seperti al-wadiah, al-mudharabah, bai al-inah, bai bithaman ajil, al-ijarah dan sebagai adalah konsep-konsep yang terdapat dalam buku-buku fiqh, ia tidak semestinya menunjukkan dengan menggunapakai konsep-konsep ini ke atas produk-produk yang ditawarkan oleh SPI, akan menjadikan produk-produk tadi sebagai seratus peratus menepati syariah.
Ini disebabkan konsep merupakan sebahagian unsur yang mewujudkan sesuatu produk sebelum ia boleh dipasarkan kepada pelanggan. Unsur-unsur lain seperti prosedur-prosedur yang perlu dilalui pelanggan semasa proses memohon produk atau perkhidmatan, tahap pengetahuan kakitangan bank tentang produk atau perkhidmatan yang ditawarkan; mutu perkhidmatan; unsur-unsur perundangan yang membabitkan pihak yang berurusan (baik peguam yang mewakili bank, pelanggan mahupun pembekal/penjual); syarat-syarat yang dikenakan pihak bank ke atas pelanggan dan sebagainya perlu juga diambil kira.
3.2 Cadangan bagi Langkah Awal
Pada pendapat penulis, pihak perbankan Islam hendaklah mengamalkan sistem muamalah Islam yakni konsep istisnac secara telus. Sekiranya projek perumahan rumah yang dijalankan oleh Pemaju Perumahan mengalami kegagalan dan terbengkalai, maka pihak bank perlu memutuskan kontraknya dengan pembeli rumah (pelanggan) dan tidak perlu menyuruh pelanggan meneruskan bayaran perumahan tadi. Pihak perbankan Islam perlulah memulangkan segala pembiayaan yang pernah dibayar oleh pelanggan ketika mana berurusniaga istisnac.
Selain itu juga, jika projek perumahan telah selesai sekalipun, penulis tegas menyatakan bahawa adalah salah di sisi syarak jikalau pihak bank mengenakan kadar riba ke atas pelanggan kerana ia menampakkan ketidak adilan di dalam sistem perbankan Islam. Malahan lagi, pihak bank perlulah mengenakan keuntungan dengan kadar yang sepatutnya sahaja tanpa perlu menetapkan kadar faedah. Penulis juga mencadangkan kepada sistem perbankan Islam agar tidak mengikuti apa yang diamalkan oleh perbankan konvensional.
Akhir kata, penulis mencadangkan bahawa perlu bagi perbankan Islam memperbaiki kelemahan yang wujud bagi memastikan produk yang dijalankan adalah selari dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.
top related