171010963 OD Orto Indeks Maloklusi
Post on 09-Dec-2015
300 Views
Preview:
DESCRIPTION
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan sepanjang hidup.
peranannya cukup besar dalam mempersiapkan zat makanan sebelum absorbs
nutrisi. pada saluran pencernaan, di samping fungsi estetis dan bicara.
Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi
berbagai fungsi rongga mulut , salah satunya adalah kelainan susunan gigi
atau yang disebut dengan maloklusi. Maloklusi merupakan kelainan gigi yang
menduduki urutan kedua setelah penyakit karies gigi.
Maloklusi adalah salah satu kelainan dentofasial yang kebanyakan
bersifat morfogenik dan merupakan masalah di bidang kesehatan gigi dan
akan terus menerus meningkat sehingga penelitian–penelitian dibidang ilmu
kedokteran gigi masih tetap diperlukan (Dewanto, 1993).
Maloklusi adalah bentuk oklusi gigi yang menyimpang dari normal.
Oklusi adalah hubungan kontak antara gigi geligi bawah dengan gigi atas
waktu mulut ditutup. Oklusi dikatakan normal, jika susunan gigi dalam
lengkung geligi teratur baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara
gigi atas dengan gigi bawah, hubungan seimbang antara gigi, tulang rahang
terhadap tulang tengkorak dan otot sekitarnya yang dapat memberikan
keseimbangan fungsional sehingga memberikan estetika yang baik.
Penyimpangan tersebut berupa ciri–ciri maloklusi yang jumlah dan
macamnya sangat bervariasi baik pada tiap–tiap individu maupun
sekelompok populasi. Ciri–ciri maloklusi di antaranya adalah: gigi berjejal
(crowdeed), gingsul (caninus ektopik), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil
(mesio oklusi), gigitan menyilang (crossbite), gigi jarang (diastema).
Maloklusi dapat mengakibatkan beberapa gangguan dalam diri
penderitanya. Dilihat dari segi fungsi, gigi crowdeed amat sulit dibersihkan
dengan menyikat gigi, kondisi ini dapat menyebabkan gigi berlubang (caries)
dan penyakit gusi (gingivitis) bahkan kerusakan jaringan pendukung gigi
(periodontitis) sehingga gigi menjadi goyang dan terpaksa harus dicabut.
Dari segi rasa sakit fisik, maloklusi yang berlebihan pada tulang penunjang
dan jaringan gusi, kesulitan dalam menggerakkanrahang (gangguan otot
dan nyeri), gangguan sendi temporomandibular, yang dapat menimbulkan
sakit kepala kronis atau sakit pada wajah dan leher (Dewanto, 1993).
Di Indonesia penelitian tentang kesehatan gigi dan mulut kebanyakan
merupakan penelitian tentang prevalensi dan keparahan karies, penyakit
periodontal dan maloklusi. Oleh sebab itu, makalah ini dibuat agar, penelitian
tentang tingkat keparahan maloklusi dapat dilakukan dengan baik dengan
mengetahui apa saja indeks maloklusi yang ada dan dapat digunakan dalam
penelitian tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana manfaat Indeks Maloklusi dalam menunjang perawatan di
bidang ortodonsia?
1.3 Tujuan
Mengetahui dan memahami tentang maloklusi, indeks maloklusi serta
manfaat Indeks Maloklusi dalam menunjang perawatan di bidang ortodonsia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Maloklusi
Menurut definisi Salzman (1957), maloklusi adalah susunan lengkung
gigi dengan gigi antagonis, yang tidak sesuai dengan morfologi yang normal
pada kompleks maksilo dentofasial. Menurut Moyers (1973), maloklusi
merupakan suatu keadaan kedudukan gigi geligi yang menyimpang dari oklusi
normal. Menurut Houston (1989), maloklusi merupakan ketidakteraturan gigi-
gigi diluar ambang normal. Maloklusi sendiri dapat meliputi ketidakteraturan
local dari gigi-gigi malrelasi pada tiap ketiga bidang ruang-sagital, vertical
atau tranversal.
Maloklusi merupakan oklusi abnormal yang ditandai dengan tidak
harmonisnya hubungan antar lengkung di setiap bidang spasial atau anomali
abnormal dalam posisi gigi. Maloklusi menunjukkan kondisi oklusi
intercuspal dalam pertumbuhan gigi yang tidak reguler. Penentuan maloklusi
dapat didasarkan pada kunci oklusi normal. Angle membuat pernyataan key of
occlusion artinya molar pertama merupakan kunci oklusi.
Menurut Angle yang dikutip oleh Dewanto, oklusi normal sebagai
hubungan dari bidang-bidang inklinasi tonjol gigi pada saat kedua rahang atas
dan rahang bawah dalam keadaan tertutup, disertai kontak proksimal dan
posisi aksial semua gigi yang benar, dan keadaan pertumbuhan, perkembangan
posisi dan relasi antara berbagai macam jaringan penyangga gigi yang normal
pula.
Menurut Andrew yang dikutip oleh Bisara, terdapat enam kunci oklusi
normal, sebagai berikut:
1. Relasi molar menujukkan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
beroklusi dalam celah antara mesial dan sentral dari molar pertama rahang
bawah.
2. Angulasi mahkota yang benar.
3. Inklinasi mahkota menjamin dari keseimbangan maloklusi.
4. Inklinasi mahkota menjamin dari keseimbangan oklusi.
5. Tidak ada rotasi gigi.
6. Tidak ada celah diantara gigi geligi.
7. Adanya curve of spee yang datar terhadap dataran oklusal.
Oleh karena itu, jika berbagai ketentuan oklusi normal di atas tidak
sesuai, maka akan tergolong kasus maloklusi.
2.2. Etiologi Maloklusi
Etiologi maloklusi dibagi atas dua golongan yaitu faktor luar atau faktor
umum dan faktor dalam atau faktor lokal. Hal yang termasuk faktor luar yaitu
herediter, kelainan kongenital, perkembangan atau pertumbuhan yang salah
pada masa prenatal dan posnatal, malnutrisi, kebiasaan jelek, sikap tubuh,
trauma, dan penyakit-penyakit dan keadaan metabolik yang menyebabkan
adanya predisposisi ke arah maloklusi seperti ketidakseimbangan kelenjar
endokrin, gangguan metabolis, penyakit-penyakit infeksi.
Hal yang termasuk faktor dalam adalah anomali jumlah gigi seperti
adanya gigi berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya gigi
(anodontis), anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii yang
abnormal, kehilangan dini gigi desidui, persistensi gigi desidui, jalan erupsi
abnormal, ankylosis dan karies gigi.
a. Faktor luar
Herediter
Lundstrom, meneliti pada anak kembar dan nenemukan ciri-ciri
yang sama yang berhubungan dengan keturunan :
a. Ukuran gigi
b. Panjang dan lebar lengkung
c. Gigi berdesakan dan diastema
d. Overjet
Pada ras yang berbeda memiliki bentuk kepala yang berbeda,
dan pada individu dengan bentuk muka yang lebar memiliki bentuk
lengkung rahang yang lebar pula, demikian juga pada bentuk muka
sempit terdapat lengkung rahang yang sempit pula.
Faktor keturunan atau genetik adalah sifat genetik yang
diturunkan dari orang tuanya atau generasi sebelumnya. Sebagai
contoh adalah ciri-ciri khusus suatu ras atau bangsa misalnya
bentuk kepala atau profil muka sangat dipengaruhi oleh ras atau
suku induk dari individu tersebut yang diturunkan dari kedua orang
tuanya. Bangsa yang merupakan percampuran dari bermacam-
macam ras atau suku akan dijumpai banyak maloklusi.
Ciri-ciri faktor oklusi yang diturunkan (herediter)
- Kedudukan dan penyesuaian antara otot-otot perioral dengan
bentuk dan ukuran lidah mempengaruhi keseimbangan oklusi
(oklusi normal). Adanya penyesuaian antara bentuk muka,
bentuk dan ukuran rahang dan lidah.
- Sifat-sifat mukosa, ukuran, bentuk lidah dan frenulum. Sifat
mukosa : keras, lunak, kencang atau lembek mempengaruhi
erupsi gigi.
- Frenulum labii dapat mengakibatkan celah gigi dan
mempengaruhi kedudukan bibir.
- Frenulum buccinator mengakibatkan rotasi gigi.
- Ukuran gigi-gigi dan lebar serta penjang lengkung rahang dapat
mengakibatkan gigi berjejal atau bercelah. Misalnya
makrodontia, mikrodomtia. Lebar dan panjang lengkung
rahang, penyesuaian antara rahang atas dan rahang bawah
mengakibatkan terjadinya mandibuler retrusi atau prognatism.
Kelainan congenital.
Kelainan bawaan kebanyakan sangat erat hubungannya dengan
faktor keturunan misalnya sumbing atau cleft : bibir sumbing atau
hare lip, celah langit-langit (cleft palate). Kelainan congenital
missal: sumbing, tortikollis, kleidokranial diostosis, cerebral plasi,
sifilis dan sebagainya.
- Tortikolis : adanya kelainan dari otot-otot daerah leher
sehingga tidak dapat tegak mengkibatkan asimetri muka.
- Kleidokranial disostosis adalah tidak adanya tulang klavikula
baik sebagian atau seluruhnya, unlateral atau bilateral, keadaan
ini diikuti dengan terlambatnya penutupan sutura kepala,
rahang atas retrusi dan rahang bawah protrusi.
- Serebral palsi adalah adanya kelumpuhan atau gangguan
koordinasi otot yang disebabkan karena luka didalam kepala
yang pada umumnya sebagai akibat kecelakaan pada waktu
kelahiran. Adanya gangguan fungsi pada otot-otot
pengunyahan, penelanan, pernafasan dan bicara akan
mengakibatkan oklusi gigi tidak normal.
- Sifilis : akibat penyakit sifilis yang diderita orang tua akan
menyebabkan terjadinya kelainan bentuk dan malposisi gigi
dari bayi yang dilahirkan.
Perkembangan dan pertumbuhan yang salah pada masa prenatal
dan postnatal.
- Prenatal, misalnya : trauma, diet maternal, metabolisme
maternal dan sebagainya.
- Postnatal, misalnya : luka kelahiran, cerebal palsi, luka
TMJ dan sebagainya.
Malnutrisi
- Misal : Rickets (kekurangan vitamin D), Scorbut
(kekurangan vitamin C), beri-beri (kekurang vitamin B1)
mengakibatkan maloklusi yang hebat.
Kebiasaan jelek
- Cara menetek yang salah
- Mengigit jari atau ibu jari
- Menekan atau mengigit lidah
- Mengigit bibir atau kuku
- Cara penelanan yang salah
- Kelainan bicara
- Gangguan pernapasan (bernafas melalui mulut dan
sebagainya)
- Pembesaran tonsil dan adenoid
- Psikkogeniktik dan bruksisem
Keadaan metabolik
- Gangguan keseimbangan endokrine
Misal : gangguan parathyroid, adanya hipothiroid akan
menyebabkan kritinisme dan resorpsi yang tidak normal
sehingga menyebabkan erupsi lambat dari gigi tetap.
- Gangguan metabolism
- Penyakit infeksi
Trauma
- Trauma, yaitu trauma sebelum lahir dan trauma saat
dilahirkan serta trauma setelah dilahirkan.
Penyakit-penyakit
- Penyakit yang terdiri dari penyakit sistemik, kelainan
endokrin, penyakit lokal (gangguan saluran pernapasan,
penyakit gusi, jaringan penyangga gigi, tumor, dan gigi
berlubang).
Sikap tubuh
- Sikap tubuh disini misalnya saja dari kebiasaan menyangga
pipi dengan tangan yang menyebabkan adanya tekanan
yang lebih besar dibanding biasanya, bila terlalu sering dan
lama dilakukan maka sedikit demi sedikit gigi akan
mengalami malposisi.
b. Faktor lokal / faktor Intrinsik :
Kelainan jumlah gigi
- Super numerary gigi (gigi kelebihan)
Lebih banyak terjadi pada rahang atas, kedudukan dekat
midline (garis mediana) sebelah palatival gigi seri rahang atas
disebut mesiodens. Bentuknya biasanya konus kadang-kadang
bersatu (fused) dengan gigi pertama kanan atau kiri, jumlahnya
pada umumnya sebuah tapi kadang-kadang sepasang. Gigi
supernumery kadang-kadang tidak tumbuh (terpendam atau
impected) sehingga menghalangi tumbuhnya gigi tetap didekatnya
atau terjadi kesalahan letak (malposisi). Oleh karena itu pada
penderita yang mengalami kelambatan atau kelainan tumbuh dari
gigi seri rahang atas perlu dilakukan Ro photo.
- Agenesi
Dapat terjadi bilateral atau unilateral atau kadang-kadang
unilateral dengan partial agenese pada sisi yang lain. Lebih banyak
terjadi dari pada gigi supernumerary. Dapat terjadi pada rahang atas
maupun rahang bawah tetapi lebih sering pada rahang bawah.
Urutan kemungkinan terjadi kekurangan gigi adalah sebagai
berikut :
1. Gigi seri II rahang atas ( I2 )
2. Gigi geraham kecil II rahang bawah ( P2 )
3. Gigi geraham III rahang atas dan rahang bawah
4. Gigi geraham kecil II ( P2 ) rahang bawah
5. Pada kelainan jumlah gigi kadang diikuti dengan adanya
kelainan bentuk atau ukuran gigi. Misalnya bentuk pasak dari
gigi seri II (peg shaps tooth).
Kelainan ukuran gigi
Salah satu penyebab utama terjadinya malposisi adalah gigi
sendiri yaitu ukuran gigi tidak sesuai dengan ukuran rahang, ukuran
gigi lebih lebar atau sempit dibandingkan dengan lebara lengkung
rahang sehingga meyebabkan crowded atau spasing.
Kelainan bentuk gigi
Kelainan bentuk gigi yang banyak dijumpai adalah adanya peg
teeth ( bentuk pasak) atau gigi bersatu (fused). Juga perubahan bentuk
gigi akibat proses atrisi (karena fungsi) besar pengaruhnya terhadap
terjadinya maloklusi, terutama pada gigi sulung (desidui).
Kelainan frenulum labii
Bentuk kelainan frenulum yang dapat menyebabkan maloklusi
ini biasanya frenulum yang terlalu tunggu yang dapat menyebabkan
diastema. Kelainan yang paling sering adalah diastema sentral rahang
atas akibat frenulum labial rahang atas terlalu tinggi.
Premature loss
Fungsi gigi sulung (desidui) adalah : pengunyahan, bicara,
estetis juga yang terutama adalah menyediakan ruang untuk gigi tetap,
membantu mempertahankan tinggi oklusal gigi-gigi lawan (antagonis),
membimbing erupsi gigi tetap dengan proses resopsi. Akibat premature
los fungsi tersebut akan terganggu atau hilang sehingga dapat
mengkibatkan terjadinya malposisi atau maloklusi.
Kelambatan tumbuh gigi tetap (delayed eruption)
Dapat disebabkan karena adanya gigi supernumerary, sisa akar
gigi sulung atau karena jaringan mucosa yang terlalu kuat atau keras
sehingga perlu dilakukan eksisi. Kadang-kadang hilang terlalu awal
(premature los) gigi sulung akan mempercepat erupsinya gigi tetap
penggantinya, tetapi dapat pula menyebabkan terjadinya penulangan
yang berlebihan sehingga perlu pembukaan pada waktu gigi permanen
akan erupsi, sehingga gigi tetap penggantinya dapat dicegah.
Kelainan jalannya erupsi gigi
Merupakan akibat lebih lanjut dari gangguan lain. Misalnya
adanya pola herediter dari gigi berjejal yang parah akibat tidak
seimbangnya lebar dan panjang lengkung rahang dengan elemen gigi
yaitu adanya : persistensi atau retensi, Supernumerary, pengerasan
tulang, tekanan-tekanan mekanis : pencabutan, habit atau tekanan
ortodonsi, faktor-faktor idiopatik (tidak diketahui).
Ankilosis
Ankilosis atau ankilosis sebagian sering terjadi pada umur 6 –
12 tahun. Ankilosis terjadi oleh karena robeknya bagian dari
membrana periodontal sehingga lapisan tulang bersatu dengan
laminadura dan cementum. Ankilosis dapat juga disebabkan oleh
karena gangguan endokrin atau penyakit-penyakit kongenital (misal :
kleidokranial disostosis yang mempunyai predisposisi terjadi ankilosis,
kecelakaan atau trauma).
Karies gigi
Adanya karies terutama pada bagian aproksimal dapat
mengakibatkan terjadinya pemendekan lengkung gigi sedang karies
beroklusal mempengaruhi vertikal dimensi. Adanya keries gigi pada
gigi sulung mengakibatkan berkurangnya tekanan pengunyahan yang
dilanjutkan ke tulang rahang, dapat mengakibatkan rangsangan
pertumbuhan rahang berkurang sehingga pertumbuhan rahang kurang
sempurna.
Restorasi gigi yang tidak baik
Terutama tumpatan aproksimal dapat menyebabkan gigi
elongasi, sedangkan tumpatan oklusal dapat menyebabkan gigi ektrusi
atau rotasi.
2.3. Dampak Maloklusi
Maloklusi dapat menimbulkan berbagai dampak diantaranya dapat dilihat
dari segi fungsi yaitu jika terjadi maloklusi yang berupa gigi berjejal akan
berakibat gigi sulit dibersihkan ketika menyikat gigi. Dari segi rasa sakit,
maloklusi yang parah dapat menimbulkan kesulitan menggerakkan rahang
(gangguan TMJ dan nyeri). Dari segi fonetik, maloklusi salah satunya adalah
distooklusi dapat mempengaruhi kejelasan pengucapan huruf p, b, m
sedangkan mesio-oklusi s, z, t dan n. Dari segi psikis, maloklusi dapat
mempengaruhi estetis dan penampilan seseorang.10
2.4. Klasifikasi Maloklusi
Cara paling sederhana untuk menentukan maloklusi ialah dengan
Klasifikasi Angle. Menurut Angle yang dikutip oleh Rahardjo, mendasarkan
klasifikasinya atas asumsi bahwa gigi molar pertama hampir tidak pernah
berubah posisinya. Angle mengelompokkan maloklusi menjadi tiga
kelompok, yaitu maloklusi Klas I, Klas II, dan Klas III.
1. Maloklusi Klas I : relasi normal anteroposterior dari mandibula dan
maksila. Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen berada pada
bukal groove molar pertama permanen mandibula. Seperti yang terlihat
pada gambar (Gambar 2.1) Terdapat relasi lengkung anteroposterior yang
normal dilihat dari relasi molar pertama permanen (netrooklusi).
Kelainan yang menyertai maloklusi klas I yakni: gigi berjejal, rotasi dan
protrusi.
Tipe 1 : Klas I dengan gigi anterior letaknya berdesakan atau crowded
atau gigi C ektostem
Tipe 2 : Klas I dengan gigi anterior letaknya labioversi atau protrusi
Tipe 3 : Klas I dengan gigi anterior palatoversi sehingga terjadi gigitan
terbalik (anterior crossbite).
Tipe 4 : Klas I dengan gigi posterior yang crossbite.
Tipe 5 : Klas I dimana terjadi pegeseran gigi molar permanen ke arah
mesial akibat prematur ekstraksi.
Gambar 1. Maloklusi Klas I
2. Maloklusi Klas II : relasi posterior dari mandibula terhadap maksila.
Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih mesial
dari bukal groove gigi molar pertama permanen mandibula. Seperti yang
terlihat pada gambar (Gambar 2.2).
Gambar 2. Maloklusi Klas II
Divisi 1 : insisivus sentral atas proklinasi sehingga didapatkan jarak
gigit besar (overjet), insisivus lateral atas juga proklinasi, tumpang gigit
besar (overbite), dan curve of spee positif.
Divisi 2 : insisivus sentral atas retroklinasi, insisivus lateral atas
proklinasi, tumpang gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit bisa normal
atau sedikit bertambah.
Pada penelitian di New York Amerika Serikat diperoleh 23,8%
mempunyai maloklusi Klas II. Peneliti lain mengatakan bahwa 55% dari
populasi Amerika Serikat mempunyai maloklusi Klas II Divisi I.
3. Maloklusi klas III : relasi anterior dari mandibula terhadap maksila.
Tonjol mesiobukal cusp molar pertama permanen atas berada lebih distal
dari bukal groove gigi molar pertama permanen mandibula dan terdapat
anterior crossbite (gigitan silang anterior). Seperti yang terlihat pada
gambar (Gambar 2.3).
Gambar 3. Maloklusi Klas III
Tipe 1 : adanya lengkung gigi yang baik tetapi relasi lengkungnya
tidak normal.
Tipe 2 :adanya lengkung gigi yang baik dari gigi anterior maksila
tetapi ada linguoversi dari gigi anterior mandibula.
Tipe 3 : lengkung maksila kurang berkembang; linguoversi dari
gigi anterior maksila; lengkung gigi mandibula baik.
Untuk kasus crossbite ada yang membaginya menjadi crossbite
anterior dan crossbite posterior.
a. Crossbite anterior
Suatu keadaan rahang dalam relasi sentrik, namun terdapat
satu atau beberapa gigi anterior maksila yang posisinya
terletak di sebelah lingual dari gigi anterior mandibula.
b. Crossbite posterior
Hubungan bukolingual yang abnormal dari satu atau beberapa
gigi posterior mandibula.
Selain Klasifikasi Angle, terdapat berbagai jenis maloklusi, seperti:
1. Deepbite adalah suatu keadaan dimana jarak menutupnya bagian insisal gigi
insisivus maksila terhadap insisal gigi insisivus mandibula dalam arah vertikal
melebihi 2-3 mm. Pada kasus deepbite, gigi posterior sering linguoversi atau
miring ke mesial dan insisivus mandibula sering berjejal, linguoversi, dan
supra oklusi.
2. Openbite adalah keadaan adanya ruangan oklusal atau insisal dari gigi saat
rahang atas dan rahang bawah dalam keadaan oklusi sentrik. Macam-macam
open bite menurut lokasinya antara lain :
a.Anterior openbite
Klas I Angle anterior openbite terjadi karena rahang atas yang sempit, gigi
depan inklinasi ke depan, dan gigi posterior supra oklusi, sedangkan Klas II
Angle divisi I disebabkan karena kebiasaan buruk atau keturunan.
b. Posterior openbite pada regio premolar dan molar.
c.Kombinasi anterior dan posterior/total openbite terdapat baik di anterior,
posterior, dapat unilateral ataupun bilateral.
3. Crowded (Gigi berjejal)
Gigi berjejal adalah keadaan berjejalnya gigi di luar susunan yang normal.
Penyebab gigi berjejal adalah lengkung basal yang terlalu kecil daripada
lengkung koronal. Lengkung basal adalah lengkung pada prossesus alveolaris
tempat dari apeks gigi itu tertanam, lengkung koronal adalah lengkung yang
paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari
mahkota gigi geligi. Faktor keturunan merupakan salah satu penyebab gigi
bejejal, misalnya ayah mempunyai struktur rahang besar dengan gigi yang
besar-besar, ibu mempunyai struktur rahang kecil dengan gigi yang kecil.
Kombinasi genetik antara rahang kecil dan gigi yang besar membuat rahang
tidak cukup dan gigi menjadi berjejal. Kasus gigi berjejal dibagi berdasarkan
derajat keparahannya, yaitu:
a. Gigi berjejal kasus ringan
Terdapat gigi-gigi yang sedikit berjejal, sering pada gigi depan
mandibula, dianggap suatu variasi yang normal dan dianggap tidak
memerlukan perawatan.
b. Gigi berjejal kasus berat
Terdapat gigi-gigi yang sangat berjejal sehingga dapat
menimbulkan oral hygiene yang buruk.
4. Diastema (Gigi renggang)
Gigi renggang adalah suatu keadaan terdapatnya ruang di antara gigi geligi yang
seharusnya berkontak. Diastema ada 2 macam, yaitu:
a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya antara lain
frenulum labial yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan jelek, dan
persistensi.
b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan oleh faktor
keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang traumatis.
2.5. Prevalensi Maloklusi
Maloklusi merupakan masalah penting dalam kesehatan gigi di
Indonesia, dan menduduki urutan ketiga setelah karies dan penyakit
periodontal. Sejak puluhan tahun yang lalu prevalensinya masih tinggi, sekitar
80% (Koesoemaharja, 1991).13 Prevalensi maloklusi di Kota Medan pada 4
Sekolah Menegah Umum bahkan telah mencapai 83% (Marpaung, 2006).
Hasil penelitian Agusni (1998) pada anak Sekolah Dasar di Surabaya
menunjukkan 31% anak tidak memerlukan perawatan terhadap maloklusi,
45% memerlukan perawatan ringan dan 24% sangat memerlukan perawatan
karena keadaan maloklusi yang tergolong parah sehingga dapat mengganggu
kesehatan fisik dan kehidupan sosialnya. Banyaknya jumlah tersebut disertai
dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai masalah maloklusi
serta meningkatnya taraf hidup masyarakat menjadi penyebab bertambahnya
permintaan kebutuhan perawatan ortodonti. Prevalensi maloklusi dapat
diperoleh dengan melakukan survey pada masyarakat di daerah tertentu.
Prevalensi maloklusi di setiap daerah berbeda-beda dikarenakan kasus
maloklusi di setiap daerah tersebut juga berbeda. Dengan prevalensi maloklusi
dapat mengetahui kondisi suatu maloklusi yang terdapat dalam suatu daerah
tertentu sehingga dengan demikian operator akan dapat merencanakan
tindakan selanjutnya atau tindakan perawatan yang akan dilakukan.
BAB III
PEMBAHASAN
INDEKS MALOKLUSI
1. Occlusal Index
Pada metode ini ada 9 ciri khas oklusi yang dinilai yaitu : (1) umur
gigi, (2) hubungan gigi molar, (3) tumpang gigit, (4) jarak gigit, (5) gigitan
silang posterior, (6) penyimpangan letak gigi, (7) hubungan garis tengah, (8)
gigitan terbuka posterior, (9) gigi permanen yang absen.
Cara memberi skor/nilai 9 ciri khas maloklusi untuk menentukan
OI adalah sebagai berikut :
1. Umur gigi (dental age)
Dengan mengklasifikasikan oklusi berdasarkan tingkat perkembangan
oklusi, perbedaan umur kronologis, jenis kelamin, dan erupsi dapat
diatasi.
a. Umur gigi 0 mulai pada waktu lahir dan berakhir dengan
erupsinya (mahkota klinis sebagian) gigi sulung. Jadi umur gigi
ini ditandai dengan erupsinya gigi sulung.
b. Umur gigi I mulai dengan erupsonya gigi sulung yang pertama
dan berakhir bila semua gigi geligi sulung atas dan bawah dalam
keadaan oklusi. Ini ditandai dengan perkembangan gigi geligi
sulung.
c. Umur gigi II mulai bila semua gigi geligi sulung dalam keadaan
oklusi dan berakhir dengan erupsinya gigi permanen yang
pertama. Umur gigi II ini ditandai dengan lengkapnya gigi
gelegi sulung.
d. Umur gigi III mulai dengan erupsinya gigi pertama permanen
dan berakhir bila semua gigi insisiv sentral dan lateral permanen
serta gigi molar pertama permanen dalam keadaan oklusi. Umur
ini ditandai dengan tahap pertama dari gigi geligi bercampur,
yang lebih tepat disebut periode gigi geligi bercampur tahap
awal (early mixed dentition).
e. Umur gigi IV mulai bila semua gigi insisiv sentral dan lateral
serta gigi molar pertama permanen dalam keadaan oklusi dan
berakhir dengan erupsinya gigi caninus permanen atau gigi
premolar. Umur gigi ini yang ditandai dengan periode tidur atau
istirahat (dormant periode) saat tidak ada gigi permanen satu
pun yang erupsi, disebut periode gigi bercampur tahap
pertengahan.
f. Umur gigi V mulai dengan erupsinya gigi kaninus permanen
atau premolar dan berakhir apabila semua gigi dalam keadaan
oklusi. Umur ini ditandai dengan tahap akhir dari gigi geligi
bercampur dan disebut periode gigi geligi bercampur tahap
akhir.
g. Umur gigi VI mulai bila semua gigi kaninus dan gigi premolar
dalam oklusi. Umur gigi ini ditandai dengan lengkapnya gigi
geligi permanen (gigi molar kedua permanen sudah atau belum
erupsi).
2. Hubungan molar atau relasi molar (molar relasion).
Pemberian skor/nilai pada hubungan molar atau relasi molar sebagai
berikut :
a. Menentukan cut-off point yaitu pada saat satu tipe relasi molar
berakhir dan yang dimulai.
b. Tidak ada klasifikasi klas I, II, II menurut angle. Tetapi mungkin
klasifikasi angle berasal dari pengukuran ini.
c. Relasi gigi molar sulung kedua dan gigi molar permanen
pertama pada kedua sisi rahang diperhatikan.
3. Tumpang gigit.
Tumpang gigit diskor sebagai jarak vertical dari tepi insisal gigi
insisivus sentral atas ke tepi insisal gigi insisiv sentral bawah bila
dalam keadaan oklusi sentris. Tumpang gigit diskor positif bila jarak
tersebut 1/3 panjang mahkota klinis gigi insisivus bawah. Tumpang
gigit negative (gigitan terbuka) diskor sebagai jarak dari tepi insisal
gigi insisiv sentral atas ke tepi insisal gigi insisivus sentral rahang
bawah dalam milimeter.
4. Jarak gigit
Jarak gigit di skor sebagai jarak horizontal dari permukaan labial gigi
insisivus atas permukaan labial gigi insisivus sentral bawah dalam
milimeter. Besarnya skor bias positif, nol, negatif.
2. Metode Survei Dasar dari WHO
Karena banyak kesukaran-kesukaran yang dihadapi dalam
menentukan kelainan handicap, dan karena tidak adanya standar untuk
menilai anomali dentofasial yang bisa diterima, maka pada tahun 1971
WHO revision Committee memberikan rekomendasi, bahwa untuk survey
dasar hanya anomali dentofasial yang berat yang dikembangkan, yaitu :
a. Anomali yang menyebabkan cacat muka (facial disfigurement)
b. Anomali yang menyebabkan gangguan berat pada fungsi
pengunyahan atau pernafasan
Selain itu keadaan-keadaan yang dianggap sebagai penyebab
anomali juga dicatat, yaitu :
a. Mesio-oklusi yang berat
b. Disto-oklusi yang berat
c. Celah bibir atau celah langit-langit
d. Lain-lain anomali termasuk gigitan terbuka, tumpang gigit dalam, gigi
sangat berjejal dan sebagainya. Jika ini ada maka sebaiknya dirinci
secara lengkap.
Definisi sederhana dari ciri-ciri maloklusi di bawah ini menjelaskan
macam-macam keadaan yang dapat mempengaruhi anomali dentofasial,
tetapi hanya manifestasi yang berat yang dapat menyebabkan terjadinya
kelainan bentuk yang perlu dicatat sebagai anomali dentofasial.
Mesio-oklusi ialah bila gigi molar permanen pertama bawah dan
gigi kaninus permanen bawah beroklusi lebih kemesial daripada
kedudukannya dalam neutron-oklusi. Hal ini bisa unilateral atau bilateral.
Disto-oklusi ialah bila gigi molar permanen pertama bawah dan
gigi kaninus permanen bawah berada lebih ke distal dari posisinya dalam
neutron-oklusi. Ini juga bisa unilateral atau bilateral.
Penilaian pada gigi geligi susu dilakukan dengan mengamati
kedudukan gigi kaninus sulung dan gigi molar sulung kedua.
Cara melaporkan data sebagai berikut : persentase orang-orang
dengan anomali dentofasial dilaporkan menurut kelompok umur yaitu
kelompok umur 2-12 tahun dan kelompok umur 15-19 tahun. Distribusi
menurut besarnya penyebab yang mempengaruhi juga harus dilaporkan
untuk kelompok umur yang sama.
3. Occlusion Feature Index (OFI)
Indeks ini telah dikembangkan oleh National Institute of Dental
Research pada tahun 957 dan telah ditetapkan dan dievaluasi oleh Poultman
dan Aaronson (1960) dalam penelitiannya. Ciri-ciri maloklusi yang dinilai
dengan metode ini ialah: letak gigi berjejal, kelainan interdigitasi tonjol gigit
posterior, tumpang gigit, jarak gigit. Kriteria penilaiannya dengan memberi
skor sebagai berikut:
OFI (1) Gigi berjejal depan bawah
0 : susunan letak gigi rapi
2 : letak gigi berjejal sama dengan ½ lebar gigi insisivus satu kanan bawah
3 : letak gigi berjejal sama dengan lebar gigi insisivus satu kanan bawah
Gambar 4. Kriteria OFI (1)
OFI (2) Interdigitasi tonjol gigi dilihat pada regio gigi premolar dan molar sebelah kanan dari arah bukal dalam keadaan oklusi0 : hubungan tonjol lawan lekuk
1 : hubungan antara tonjol dan lekuk
2 : hubungan antara tonjol lawan tonjol
Gambar 5. Kriteria OFI (2)
OFI (3) Tumpang gigit, ukuran panjang bagian insisal gigi insisivus bawah
yang tertutup gigi insisivus atas pada keadaaan oklusi
0 : 1/3 bagian insisal gigi insisivus bawah
1 : 2/3 bagian insisal gigi insisivus bawah
2 : 1/3 bagian gingival gigi insisivus bawah
Gambar 6. Kriteria OFI (3)
OFI (4) Jarak gigit, jarak dari tepi labio-insisal gigi insisivus atas ke
permukaan labial gigi insisivus atas ke permukaan labial gigi insisivus
bawah pada keadaan oklusi
0 : 0-1,5 m
1 : 1,5-3 mm
2 : 3 mm atau lebih
Gambar 7. Kriteria OFI (4)
Skor total didapat dengan menjumlahkan skor keempat macam ciri
utama maloklusi tersebut di atas. Skor OFI setiap individu berkisar antara 0-
9 karena pada OFI (1) nilai maksimumnya 3 dan OFI (2), (3), (4) masing-
masing nilai maksimumnya 2.
Penilaian dapat dilakukan pada model gigi atau langsung dalam
mulut. Waktu yang diperlukan untuk menilai hanya kurang lebih 1-1½
menit bagi setiap individu.
Keuntungan metode ini adalah sederhana dan obyektif serta tidak
memerlukan peralatan diagnostik yang rumit seperti model gnathostatik dan
alat sefalometri. Selain itu apabila peneliti telah terlatih hanya memerlukan
waktu penilaian yang singkat. Kerugiannya adalah dalam menilai
interdigitasi tonjol hanya memeriksa hubungan gigi posterior atas dan
bawah sebelah kanan saja, sebelah kiri tidak dinilai. Selain itu penilaian gigi
berjejal depan bawah memerlukan latihan terlebih dahulu karena untuk
menentukan besarnya skor membutuhkan waktu untuk mengukur lebar
mesio-distal gigi-gigi anterior bawah dan mengukur panjang lengkung gigi
depan bawah. Jadi metode ini kurang praktis.
Poulton dan Aaranson (1960) telah mengevaluasi metode ini dan
dari hasil penelitiannya terbukti bahwa penilaian keparahan maloklusi oleh
ahli ortodonti secara subyektif dan penilaian oleh dokter ahli kesehatan
masyarakat memakai OFI hasilnya sangat mendekati (hampir sama).
Kriteria penilaian maloklusi oleh ahli ortodonti sebagai berikut:
1. Skor 0-1: Maloklusi ringan sekali (slight) Tidak memerlukan
perawatan ortodonti
Skor 1-3 : Maloklusi ringan (mild) Ada sedikit variasi dari oklusi ideal
yang tidak perlu dirawat
2. Skor 4-5 : Maloklusi sedang (moderate) Indikasi perawatan ortodonti
3. Skor 6-9 : Maloklusi berat/parah (severe)Sangat memerlukan
perawatan ortodonti
Penilaian ini yang berdasarkan atas perlunya perawatan, tidak
dapat diterapkan pada kelompok populasi yang lebih besar, tetapi meskipun
demikian ternyata erat hubungannya dengan skor OFI.
4. Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA-I)
Penilaian maloklusi pada metode ini dengan menggunakan HMAR
(Handicapping Malocclusion Assesment Record) yaitu suatu lembar isian
yang dirancang oleh Salzmann pada tahun 1967 dan digunakan untuk
melengkapi cara menentukan priorotas perawatan orthodontik menurut
keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat
pada lembar isian tersebut.
Ciri-ciri maloklusi yang dicatat dan diskor terdaftar dalam HMAR
sebagai berikut :
1. Penyimpangan gigi dalam satu rahang (Intra Arch Deviation) :
a. Gigi absen (missing)
b. Gigi berjejal (crowded)
c. Gigi rotasi (rotation)
d. Gigi renggang (spacing)
Skor untuk setiap gigi anterior rahang atas (4 gigi insisivus) yang
terkena = 2. Skor untuk setiap gigi posterior dan setiap gigi anterior
dan posterior rahang bawah = 1.
2. Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (Inter
Arch deviation) :
Segmen Anterior
a. Jarak gigit (over jet)
b. Tumpang gigit (over bite)
c. Gigitang silang (cross bite)
d. Gigitang terbuka (open bite)
Segmen posterior
a. Kelainan antero-posterior
Penilaian dapat dilakukan pada model gigi atau di dalam mulut. Di
samping pengisian HMAR juga dilakukan pada lembat SOAR
(Suplementary Oral Assesmment Record). Jika penilaian dilakukan dalam
mulut, sebelum mencatat ciri-ciri maloklusi yang ada pada SOAR, HMAR
dilengkapi terlebih dahulu.
Untuk mengetahui seberapa besar keinginan seseorang untuk
dirawat (treatment diserability), dicatat pula kebutuhan perawatan,
keinginan untuk dirawat, dan tidak adanya permintaan untuk dirawat. Hal
ini semua ditanyakan pada pasien, orang tua dan guru.
Keuntungan HMA ialah mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi
dan peka terhadap semua tingkatan maloklusi. Untuk penilaian maloklusi
tidak memerlukan alat khusus. Kalau dibandingkan dengan indeks yang lain
penilaian subjektif tidak begitu kritis karena hanya mencatat perbedaan “full
cusp”. Kalau ada error tidak serius sebab sistem penilaiannya hanya di
bagian anterior dan lebih kearah penilaian estetik. Keuntungan lain ialah
adanya penilaian renggang dan absensi gigi posterior yang dicatat, sedang
pada lain-lain metode hal tersebut diabaikan. Keuntungan terbesar adalah
bahwa sekali metode tersebut dipelajari dengan baik, tidak diperlukan
catatan lain dan skor keparahan maloklusi dapat dikalkulasi dengan cepat.
Jadi cara penilaian maloklusi dengan HMAR lebih menyerupai penilaian
status kesehatan dengan indeks DMF.
Kerugian metode ini hanya sedikit. Terutama ialah bahwa cara ini
memerlukan latihan untuk memberi pelajaran kepada para petugas
pelayanan kesehatan gigi agar memahami bagaimana menggunakan HMAR
tersebut. Tetapi sekali mereka mempelajari dan memahami, kemungkinan
membuat kesalahan tidak sebanyak metode-metode yang lain dan setiap
orang yang telah mempelajari cara ini menjadi berpengalaman dalam
melihat oklusi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan HMAR untuk
menilai maloklusi pada gigi geligi bercampur ialah :
a. Penilaian absen gigi molar kedua susu, bila tidak ada penyempitan
ruang sebaiknya tidak diberi skor.
b. Renggang antara gigi insisivus lateral dan kaninus atau yang disertai
renggang antara gigi kaninus dan premolar tidak dinilai sebagai
renggang terbuka anterior.
c. Penilaian overbite termasuk bila seluruh mahkota gigi insisivus bawah
tertutup oleh gigi insisivus atas pada keadaan oklusi.
d. Bila posisi gigi premolar dan kaninus normal, tetapi belum erupsi
penuh, sebaiknya tidak dinilai sebagai gigitan terbuka posterior.
Cara penilaian :
a. Penyimpangan gigi dalam satu rahang (Intra arch deviation)
1) Segmen Anterior
Setiap gigi anterior rahang atas yang terlibat diberi skor 2, dan
setiap gigi anterior rahang bawah diberi skor 1.
a) Gigi absen
Gigi yang tidak terdapat dalam mulut, termasuk jika
tinggal akar (radix)
b) Gigi berjejal (crowded)
Gigi yang berjejal karena kurang tempat sehingga untuk
mengatur perlu menggeser gigi lain yang ada dalam
rahang. Gigi yang sudah dinilai rotasi tidak boleh dinilai
berjejal.
c) Gigi rotasi (rotation)
Gigi yang letaknya berputar tetapi cukup tempat untuk
mengaturnya dalam lengkung rahang. Gigi yang sudah
diberi skor rotasi tidak boleh diberi skor berjejal atau
renggang
d) Gigi renggang (spacing), yaitu :
i. Renggang terbuka (open spacing), yaitu celah yang
terdapat diantara gigi sehingga terlihat papil
interdental. Pemberian skor adalah jumlah papila
yang nampak, bukan giginya.
ii. Renggang tertutup (closed spacing), yaitu penutupan
ruang sebagian sehingga tidak memungkinkan gigi
untuk erupsi penuh tanpa menggeser gigi lainnya
dalam lengkung rahang yang sama, yang diberi skor
adalah giginya.
2) Segmen posterior
Setiap gigi yang terlibat diberi skor 1. Cara penilaian seperti
segmen anterior.
b. Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (inter
arch deviation)
Penilaian dilakukan dengan cara menengadahkan kepala
kebelakang sejauh mungkin dan mulut terbuka lebar untuk mendapat
oklusi terminal. Lidah digerakkan keatas dan ke belakang mengenai
palatum dan dengan cepat gigi-gigi dioklusikan sebelum kepala
tertunduk kembali. Untuk melihat dengan jelas oklusi gigi dalam
mulut digunakan kaca mulut.
1) Segmen Anterior
Untuk setiap gigi rahang atas yang terlibat diberi skor 2
a) Jarak gigit, penilaian jarak gigit ialah bila gigi insisivus
atas labioversi sehingga gigi insisivus bawah pada waktu
oklusi mengenai mukosa palatum. Apabila gigi insisivus
atas tidal labioversi maka kelainan itu hanya diskor
sebagai kelainan tumpang gigit.
b) Tumpang gigit, penilaian tumpang gigit ialah apabila pada
waktu oklusi, gigi insisivus atas mengenai mukosa gingiva
gigi insisivus bawah, sedang gigi bawah tersebut
mengenai mukosa palatum. Jika insisivus atas labioversi
maka kelainan tumpang gigit juga jarak gigit.
c) Gigitan silang, yaitu apabila gigi insisivus atas pada waktu
oklusi disebelah lingual gigi insisivus bawah.
d) Gigitan terbuka, yaitu apabila waktu oklusi gigi depan atas
dan bawah tidak berkontak.
2) Segmen posterior
Untuk setiap gigi yang terlibat diberi skor 1.
a) Kelainan anteroposterior, yaitu kelainan oklusi dimana
pada waktu oklusi gigi kaninus, premolar pertama dan
premolar kedua serta gigi molar pertama bawah berada
disebelah distal atau mesial gigi antagonisnya. Kelainan
tersebut diskor bila terdapat satu tonjol atau lebih dari gigi
molar, premolar dan kaninus beroklusi di daerah
interproksimal lebih ke mesial atau ke distal dari posisi
normal.
b) Gigitan silang, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat gigi
pada segmen bukal yang posisinya lebih ke lingual atau
bukal diluar kontak oklusi terhadap gigi antagonisnya.
c) Gigitan terbuka, yaitu bila pada waktu oklusi terdapat
celah antara gigi posterior atas dan bawah. Hubungan
tonjol lawan tonjol tidak termasuk gigitan terbuka.
Setiap ciri maloklusi yang berupa kelainan dentofasial diberi skor
8. Ciri-ciri tersebut yaitu: celah bibir dan celah mulut, bibir bawah terletak
di palatal gigi insisivus atas, gangguan oklusal (oklusal interference),
gangguan fungsi rahang (functional jaw limitation), asimetri muka/wajah,
gangguan bicara (speech impairment).
Indikator kebutuhan perawatan berdasarkan kriteria tingkat
keparahan maloklusi menunjukan keparaham maloklusi berkisar antara :
1. Skor 0 – 4 : variasi oklusi normal
2. Skor 5 – 9 : maloklusi ringan, tidak perlu perawatan
3. Skor 10-14 : maloklusi ringan, kasus tertentu memerlukan perawatan
4. Skor 15 – 19 : maloklusi berat, memerlukan perawatan
5. Skor = 20 : maloklusi berat, sangat memerlukan perawatan
5. Treatment Priority Index (TPI)
Indeks ini diperkenalkan oleh Grainger pada tahun 1967
penyusunannya didasarkan atas konsep bahwa maloklusi itu tidak
merupakan suatu keadaan yang sederhana tetapi lebih merupakan suatu seri
kelainan yang berbeda-beda walaupun satu sama lain saling berhubungan.
Indeks tersebut didapatkan dari hasil penilaian 10 ciri-ciri
maloklusi yang saling berhubungan dan 1 ciri maloklusi yang merupakan
kelainan dentofasial yang berat. Macam ciri-ciri maloklusi yang dinilai
meliputi: (1) jarak gigit, (2) gigitan terbalik, (3) tumapng gigit, (4) gigitan
terbuka anterior, (5) gigi insisivus agenese, (6) disto-oklusi, (7) mesio-
oklusi, (8) gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas bukoversi, (9)
gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas linguoversi, (10) malposisi
gigi individual, dan (11) celah langit-langit, kondisi traumatik dan lain-lain
anomaly dentofasial yang berat.
Pemakaian TPI bisa diandalkan karena Sciever dkk. (1974) telah
membuktikan dengan penilaian bahwa cara penilaian dengan TPI
merupakan metode yang objektif dan reliable untuk menilai derajat
keparahan maloklusi bagi tujuan epidemiologi.
Penilaian maloklusi dengan cara ini ternyata tidak menilai ciri-ciri
maloklusi tertentu seperti renggang, diastema sentral, dan asimetris garis
tengah (midline asimetry). Hal ini karena Grainger berpendapat bahwa ciri-
ciri maloklusi tersebut dipandang dari segi kesehatan masyarakat tidak
penting. Demikian pula kebiasaan-kebiasaan mulut (oral habits) dan
morphologi jaringan lunak dianggap tidak merupakan faktor penyebab
intrinsic terjadinya maloklusi.
Cara menilai dan member skor ciri-ciri maloklusi dengan TPI
sebagai berikut:
a. Hubungan gigi insisivus atas bawah dalam arah horizontal.
1) Jarak gigit. Cara mengukur sebagai berikut: ukur jarak dari tepi
labio-insisal gigi insisivus sentral atas ke permukaan labial gigi
insisivus sentral bawah dalam mm. Dengan penggaris yang
diletakkan di tengah-tengah kedua gigi insisivus sentral atas.
Jika kedua gigi tersebut posisinya tidak sama, jaraknya diambil
rata-rata.
2) Underjet (mandibular overjet = gigitan terbalik atau gigitan
silang anterior).
b. Hubungan gigi insisivus atas dan bawah dalam arah vertikal.
1) Tumpang gigit.
2) Gigitan terbuka.
Yang termasuk kelainan hubungan gigi insisivus atas dan bawah ialah
palatal bite, tumpang gigit dalam yang berupa penutupan gigi insisivus
atas terhadap gigi insisivus bawah sampai tepi gingival, gigitan silang
anterior dan gigitan terbuka. Setiap kelainan overbite ini diberi skor
sesuai dengan tingkatan keparahannya.
c. Gigi insisivus permanen agenese (congenital missing).
Ini tidak dapat ditentukan tanpa pengambilan foto Rontgen. Tetapi
pada cara penilaian ini, jika pada umur 12 tahun gigi tersebut tidak
ada maka jumlah gigi yang tidak ada maka jumlah gigi yang tidak ada
tersebut dicatat.
d. Hubungan antero posterior gigi-gigi segmen bukal.
1) Disto-oklusi
2) Mesio-oklusi
Kedua hal tersebut dinilai dengan melihat hubungan gigi
molar permanen pertama atas dan bawah, dan apabila masih ada gigi
molar susu kedua, juga dicatat hubungannya. Hubungan antero-
posterior segmen bukal gigi-gigi permanen dan gigi-gigi bercampur.
Untuk setiap sisi diperiksa derajat penyimpangannya
terhadap neutro-oklusi. Jika penyimpangan pada satu sisi, hubungan
tonjol gigi molar pertama bawah beroklusi pada lekuk gigi molar
pertama atas lebih posterior dari posisi normal (disto-oklusi) ini diberi
skor 2.
Bila lebih ke anterior (mesio-oklusi) skor juga 2. Tetapi bila
hubungan gigi molar pertama sisi lain tonjol lawan tonjol, skor hanya
1. Skor kedua sisi dijumlahkan, kalau satu sisi diskor mesio-oklusi
maka skor dicatat terpisah.
e. Gigitan silang posterior (posterior cross-bite).
Gigi-gigi yang posisinya di luar hubungan normal dicatat kemudian
dijumlah.
1) Gigitan silang posterior yang disebabkan oleh gigi atas
bukoversi.
2) Gigitan silang posterior yang disebabkan oleh gigi atas
linguoversi.
f. Penyimpangan letak gigi (tooth displacement).
Jumlah gigi yang letaknya menyimpang diskor dengan menggunakan
metode Van Krik dan Pennel (1959). Gigi-gigi yang malposisi
(letaknya menyimpang) ringan atau rotasi berat diskor 2. Selanjutnya
skor setiap gigi dijumlah untuk mendapatkan skor total.
6. Malalignment Index (Mal I)
Indeks ini diajukan oleh van kirk dan Pennell pada tahun 1959. Ciri
maloklusi yang dinilai adalah letak gigi yang tidak teratur (Malalignment
teeth). Kriteria penilaian dengan member skor sebagai berikut :
Skor 0 = ideal alignment; letak gigi teratur dalam deretan normal.
Skor 1 = minor Malalignment; letak gigi tak teratur ringan.
Ada 2 tipe yaitu :
1. rotasi < 45
2. penyimpangan (displacement) < 1,5 mm.
Skor 2 = major Malalignment; letak gigi tak teratur berat.
Ada 2 tipe yaitu :
1. rotasi ≥ 45
2. penyimpangan (displacement) ≥ 1,5 mm.
Pada metode penilaian ini gigi geligi dibagi menjadi 6 segmen
yaitu segmen depan atas, kanan atas, kiri atas, depan bawah, kanan bawah
dan kiri bawah. Skor tiap segmen didapat dengan menjumlahkan skor tiap
gigi, dan skor Mal I berkisar antara 0 - 64. Tetapi dalam praktek hanya
sedikit individu yang skornya 0 dan diatas 18.
Alat ukur yang dipakai adalah penggaris plastic kecil dengan
ukuran 1 x 4 inci, ujung penggaris miring 45º, dan di atas ujung yang lain
diberi tanda garis mendatar dan tegak pada jarak 1,5 mm dri tepi penggaris.
Penilaian dapat dilakukan di model gigi atau langsung di mulut.
Bagi yang sudah terlatih, penilaian maloklusi dengan Mal I hanya
memakan waktu 1 menit. Metode ini sederhana, objektif dan praktis untuk
program lapangan sangat cocok. Indeks ini tidak hanya menilai kuantitas
maloklusi tetapi juga dapat untuk mengelompokkan tingkat keparahan
maloklusi dalam masyarakat.
Metode ini berbeda dengan pemeriksaan kliniksecara rutin yang
dilakukan oleh seorang ahli ortodonti atau dokter gigi umum lainnya.
Metode penilaian tersebut tidak memerlukan kursi gigi dan alat pemeriksaan
gigi yang lain seperti sonde, pinset, dan lampu penerang. Cukup kaca mulut,
alat penggaris plastic kecil dan penerangan alam.
Van Kirk dan Pennell memilih penilaian maloklusi berdasarkan
ketidakteraturan letak gigi karena seringnya cirri maloklusi ini terjadi dan
ciri ini erat hubungannya dengan cirri-ciri maloklusi yang lain.
7. Handicapping Labio-Lingual Deviation Index (HLD)
HLD Index disusun oleh draker pada tahun 1960, dengan maksud
untuk diajukan sebagai cara penilaian yang obyektif bagi epidemologi
maloklusi. Ciri – cirri maloklusi yang dinilai pada metode ini ialah meliputi
9 macam ciri maloklusi yang dapat menentukan adanya cacat muka
(physical handicap). Macam ciri maloklusi yang dinilai cara memberi skor
sebagai berikut :
Macam ciri maloklusi skor HLD
1. celah langit (cleft palate) skor 15 …………
2. penyimpangan traumatic yang berat skor 15 …………
3. jarak gigit (dalam mm) …………
4. tumpang gigit (dalam mm) …………
5. protrusi mandibula x 5 …………
6. gigitan terbuka (dalam mm) x 4 …………
7. erupsi ectopic,hanya gigi depan,tiap gigi x 3 …………
8. gigi berjejal anterior skor 5 …………
9. penyimpangan labio-lingual (dalam mm) ………….
Jumlah : ………….
Menurut draker (1960), skor 13 atau lebih sudah termasuk physical
handicap. Draker menyatakan bahwa metode ini sederhana, objektif dan
reproducible, penilaian maloklusi dapat dilakukan langsung pada subyek
yang diteliti atau pada model gigi tanpa menggunakan alat khusus, dan
dapat dipakai untuk menentukan cut off point bagi program kesehatan yang
telah ditentukan, sehingga dapat disesuaikan dengan perubahan dana yang
tersedia tanpa mengesampingkan objektivitas penelitian.
Apabila indeks ini diterapkan dengan sempurna, secara
epidemiologi akan dapat memisahkan kelainan Handicapping Labio-Lingual
Deviation dari sampel yang diteliti. Dengan demikian akan memudahkan
tim pelayanan kesehatan gigi dalam melaksanakan programnya. Menurut
Draker Handicapping malocclusion sukar ditentukan sebab ada sejumlah
kemungkinan variasi yang tidak terbatas dari maloklusi terutama variasi
individual tentang handicap.
Untuk menilai handicapping malocclusion dibutuhkan suatu alat
penilai semacam indeks yang dapat menunjukkan ada atau tidak adanya
handicap dan untuk mengukur keparahannya. Jadi bukan suatu pengetahuan
spesialisasi. Handcap ialah suatu keadaan yang dapat diamati. Jadi indeks
untuk menilai handicap semacam HLD index sebaiknya berdasarkan pada
penggunaan oleh dokter gigi kesehatan ,asyarakat bukan oleh spesialis
ortodonti.
8. Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN)
Salah satu indeks yang menjadi acuan dalam perawatan ortodonti
adalah Index of Orthodontic Treatment Need (IOTN). IOTN merupakan
sebuah sistem skoring untuk maloklusi, dikembangkan oleh Brook & Shaw
(1989). IOTN berfungsi sebagai indeks untuk mengukur kebutuhan
perawatan, dapat juga dipakai untuk mengukur keberhasilan perawatan.
Indeks ini terdiri dari dua buah komponen yaitu Dental Health Component
(DHC) dan Aesthetic Component (AC). Dalam penggunaannya, Dental
Health Component dipergunakan terlebih dahulu, baru kemudian Aesthetic
Component (AC)
Dental Health Component diajukan untuk mengatasi subyektifitas
pengukuran dengan batas ambang yang jelas; tingkatan derajat DHC
menunjukkan berapa besar prioritas untuk perawatan, dengan perincian
sebagai berikut:
skor 1-2: tidak perlu perawatan/perawatan ringan
skor 3: perawatan borderline/sedang
skor 4-5: sangat memerlukan perawatan.
Untuk membantu pengukuran DHC digunakan penggaris plastik
yang transparan dimana pada penggaris tersebut berisi semua informasi
yang diperlukan.
Gambar 8. Penggaris IOTN
Aesthetic Component terdiri dari 10 foto berwarna yang
menunjukkan tingkatan derajat yang berbeda dari penampilan estetik
susunan geligi. Dengan mengacu pada gambar ini, derajat penampilan
estetik gigi dari pasien dapat dinilai dalam salah satu tingkatan derajat
tertentu. Tingkat 1 menunjukkan susunan gigi yang paling menarik dari
sudut estetik geligi, sedangkan tingkat 10 menunjukkan susunan geligi yang
paling tidak tidak menarik. Dengan demikian skor ini merupakan refleksi
dari kelainan estetik susunan geligi.
Gambar 9. Komponen estetik IOTN
Tingkatan derajat keparahan dari Aesthetic Component adalah
sebagai berikut:
skor 1-4: tidak perlu perawatan/perawatan ringan
skor 5-7: perawatan borderline/sedang
skor 8-10: sangat memerlukan perawatan
Skor akhir didapatkan dari rerata Dental Health Component dan
Aesthetic Component tetapi Dental Health Component saja lebih sering
digunakan. Aesthetic Component dianggap terlalu subyektif terutama bila
digunakan untuk memeriksa maloklusi kelas III atau gigitan terbuka anterior
karena foto-foto yang ada mencerminkan maloklusi kelas I dan kelas II.
9. PAR Index
Komponen yang diperiksa beserta bobotnya adalah:
berdesakan yang ditunjukkan adanya pergeseran titik kontak (bobot 1)
relasi gigi posterior dalam jurusan sagital, transversal dan vertikal
(bobot 1)
jarak gigit (bobot 6)
tumpang gigit (bobot 2)
pergeseran garis median (bobot 4)
Skoring ditentukan dengan penggaris khusus yang dibuat untuk
indeks ini dan dilakukan pada model sebelum dan sesudah perawatan. Skor
akhir merupakan akumulasi dari tiap komponen yang diskor.
Penggolongan keparahan maloklusi berdasar skor adalah sebagai
berikut:
0 : oklusi ideal
1-16 : maloklusi ringan
17-32 : maloklusi sedang
33-48 : maloklusi parah
>48 : maloklusi sangat parah
Besarnya skor awal (sebelum perawatan) menunjukkan keparahan
maloklusi. Perbedaan skor sebelum dan sesudah perawatan menunjukkan
besarnya keberhasilan perawatan perawatan. Perbedaan skor dinyatakan
dalam persen dan suatu standar keberhasilan perawatan yang baik adalah
apabila terjadi penurunan skor lebih besar daripada 30% atau apabila
dinyatakan dalam angka perbedaan skor adalah lebih besar dari 22.
Kekurangan pernyataan keberhasilan perawatan dengan persen adalah
apabila skor awal kecil sehingga tidak mencerminkan adanya perubahan
yang nyata sesudah perawatan.
10. ICON
Menurut Daniels dan Richmond (2000) indeks ini dapat dikatakan
sebagai gabungan antara IOTN dan PAR Indeks. Komponen-komponen
tertentu diskor dengan pembobotan sebagai berikut :
- Aesthetic component IOTN (bobot 7)
- Adanya berdesakan di rahang atas (bobot 5)
- Gigitan silang (bobot 5)
- Tumpang gigit (bobot 4)
- Relasi gigi posterior kiri dan kanan (bobot 3)
Skor total awal yang diperoleh merupakan gambaran kompleksitas
dan kebutuhan perawatan. Skor diatas 43 menunjukkan adanya kebutuhan
perawatan dapat dibaca sebagai berikut:
- Mudah < 29
- Ringan 29-50
- Moderat 51-63
- Sukar 64-77
- Sangat Sukar >77
Setelah selesai perawatan, kasus tersebut diskor lagi dan perbedaan
skor sebelum dan sesudah perawatan menunjukkan hasil perawatan yang
dinyatakan dengan rumus:
derajad perbaikan = skor sebelum perawatan – (4 x skor sesudah perawatan)
Keberhasilan perawatan digolongkan sebagai berikut:
Terjadi perubahan besar > - 1
Sangat berubah -25 sampai -1
Cukup berubah -53 sampai -26
Sedikit berubah -85 sampai -54
Tidak berubah sama sekali < -85
Kekurangan dari indeks ini adalah Aesthetic component IOTN
diberi bobot terbesar sehingga tidak banyak digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Angle EH. Classification of malocclusion. Dental Cosmos. 1899; 41: 248-64.
2. Bisara SE. Textbook of ortodontics. Philadelphia:W.B Sounders Company;
2001. p.101.
3. Dewanto H. Aspek-aspek epidemologi maloklusi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press; 1993.p.135-50;167-75.
4. Dika, Deddy Desmar dkk. Penggunaan Index of Orthodontic Treatment Need
(IOTN) sebagai Evaluasi Hasil Perawatan dengan Peranti Lepasan.
Orthodontic Dental Journal Vol. 2 No. 1 Januari – Juni 2011: 45-48.
5. Farella M, Michelotti A, Iodice G. Unilateral Posterior crossbite is not
associated with TMJ clicking in young adolescents. . J of Dental Res [serial
online] 2007. Jan; 86: [internet]. Available from:
http://jdr.sagepub.com/content/86/2/1337.
Accessed April 14th, 2012.
6. Finn SB. Clinical Pedodontics. 4th ed. Birmingham: WB Saunders Co; 2003.
7. Foster TD. Buku ajar ortodonsi edisi III. Jakarta: EGC. 1993. p.32-39.
8. Harty FJ. Kamus Kedokteran gigi. Alih bahasa: Narlan S. Jakarta: EGC;
1995. p.189.
9. Mavreas D, Athanasiou A.E. Factors affecting the duration of orthodontic
treatment: a systematic review. European journal of Orthodontics. Inggris:
2008.
10. Mc Donald RE, Avery. Dentistry for child and adolescent. 7thed. St Louis:
Mosby; 1994.
11. Mc Namara JA, Brudon WL. Orthodontics and orthopedic treatment in the
mixed dentition. Michigan: Needham Press Inc; 1995.
12. Need dan demand serta akibat dari maloklusi pada siswa SMU Negeri 1
Binjai. [internet]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18207/4/Chapter%20II.pdf.
Accessed Dec 20th, 2011.
13. Oktavia D. Hubungan maloklusi dengan kualitas hidup remaja di kota Medan
tahun 2007. Dentika Dent J ; 2009 :14(2): 115.
14. Proffit WR. Fields HW. Contemporary orthodontics 2nd ed.St. Louis (MO):
Mosby; 1993. p.4.
15. Pudyani PR. Perbandingan lebar lengkung basal dan lengkung gigi rahang
atas pada maloklusi klas II divii 1 dan oklusi normal remaja keturunan Cina
di Kodya Yogyakarta. MIKG.2004; IV (12): 340.
16. Raharjo, Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar. Surabaya : Airlangga University
Press.
17. Rahardjo P. Diagnosis ortodonsi. Surabaya: Airlangga University; 2008.
p.79-91.
18. Rahardjo P. Ortodonsi Dasar. Surabaya: Airlangga University; 2008. p.126-
134.
19. Suminy D, Zen Y. Hubungan antara maloklusi dan hambatan saluran
pernapasan Kedokteran Gigi Scientific Journal in Dentistry; FKG Trisakti;
2007; 22(1): 32-3.
20. Widodo A, Kisnawati. Penggunaan inclined bite plane sebagai piranti awal
untuk koreksi anterior crossbite. M.I Kedokteran Gigi Scientific Journal in
Dentistry; FKG Trisakti; 2007; 20 (60).
21. Yohana W. Perawatan ortodontik pada geligi campuran. Bandung: 2008.
top related