BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya masa ke masa tidak pernah memakan
sosok Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof dan
teolog muslim besar yang berpengaruh terhadap dunia
pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran Beliau sangat
perlu diketahui pada zaman sekarang ini yang semakin
kompleks sebagai solusi untuk mengapai “ketenaganan
diri”.
Beradasarkan latar belakang tersebut, maka kami
berusaha sebisa mungkin untuk membuat makalah ini,
sebagai wujud keperdulian kami untuk masyarakat dan
sebagai bukti pengamalan ilmu yang kami dapat. Selain
itu, ini juga sebagai tanggung jawab kami dalam
memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak dan Tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali?
3. Apa saja karya-karya yang pernah dikarang oleh
Imam Al-Ghazali?
1
4. Apa pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
terhadap dunia Islam?
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
1. Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali
2. Mengetahui pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
3. Mengetahui karya-karya yang pernah dikarang oleh
Imam Al-Ghazali
4. Mengetahui pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-
Ghazali terhadap dunia Isam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Imam AGhazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-
Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang
terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada
singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14
2
Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah
desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara
kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman
dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa,
tetapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair
terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun
1020 M.
Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim
Persia, yang dikenal sebagai algazel di dunia Barat
pada abad pertengahan. Ia berkuniah Abu Hamid karena
salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-
Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang
bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan,
Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i
menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau hidup miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali
gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ayah Ghazali
hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan
3
selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang
ulama. Amat disayangkan ajal tidak memberikan
kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan
anaknya sesuai do’a yang ia panjatkan. Namun, cita-
cita ayah Ghazali terbukti dengan keberhasilan Imam
Al-Ghazali menjadi filosof dan teolog muslim
terkemuka pada zamannya.
Awal mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah
ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini
ada dua versi:
1. Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada
saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang
sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbing
dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya
Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan
dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang
senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak
4
masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah
guru di kota kelahirannya. Di antara guru-gurunya
pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-
Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di
Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang
penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid
Imam Al-Haramaîn Al-Juwaini yang merupakan guru besar
di Madrasah An-Nizhâmiyah Nisyapur. Al-Ghazali
belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika,
sufisme dan ilmu-ilmu alam.1
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar
biasa, Al-Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm
Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali
kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al
Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M).
Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al-Mâlik di kota
Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan
1 Ahmad Syadani, Filsafat Umum (Bandung: PustakaSetia. 1997), hlm. 178.
5
yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6
tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di
sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah,
Ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah
mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota
kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan
tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan
duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian
tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam
hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan
batinnya mulai muncul, ‘Inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?,
Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan
6
mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati
sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan
olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya
dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di
Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan
tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk
beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus,
yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal
semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang
dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang
bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus
ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan
mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke
hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 52-53 tahun dengan meninggalkan
7
beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan
bahwa beliau meninggal usia 54/55 tahun.2
B. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
1. Filsafat Al-Ghazali
Sebagaimana kecenderungan umum pemikir filsafat
yang selalu bergerak di antara manusia, alam, dan
Tuhan, maka hampir seluruh pemikiran Islam terpusat
pada masalah usaha manusia memahami dirinya
sendiri, alam sekitarnya dan kemudian Tuhan.
Manusialah di antara makhluk yang paling mampu
menganalisis dirinya sendiri. Suatu kemampuan yang
tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia termasuk
malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.
Usaha manusia untuk mengerti tidak hanya
berhenti pada objek dirinya sendiri, akan tetapi
bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia segala
2 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam(Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm. 67.
8
sesuatu yang ‘ada’, termasuk mencoba mengerti
Tuhan.
Dalam tradisi pemikiran Islam, dunia dan alam
semesta ini justru diciptakan karena Allah mencipta
manusia. Manusia yang menjadikan alam dunia ini
mempunyai makna dan berfungsi. Untuk maksud
tersebut Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin
dan khalifah di muka bumi.
Namun segera sebuah pertanyaan dapat diajukan
mengenai siapa manusia itu sesungguhnya. Pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan yang cukup pelik
untuk dijawab. Akan tetapi tingkat kesadaran
manusia terhadap eksistensinya sendiri yang
bertaraf lebih tinggi daripada makhluk Tuhan
lainnya telah menuntun manusia menjawab pertanyaan
di atas dengan jawaban-jawaban yang hampir
mendekati kebenaran.
Kehampiran terhadap penemuan kebenaran di atas
menyebabkan manusia sangat bersemangat untuk
mencapainya. Akan tetapi, pengalaman sejarah
9
menunjukkan bahwa ternyata sepanjang sejarah itu
sendiri manusia belum selesai dan mencapai apa yang
dicarinya. Di sinilah manusia selalu terdorong
untuk bersikap kreatif dan kritis namun juga
menyebabkan sebagian orang bersikap skeptis dan
pesimistis.
Di samping sikap tersebut di atas, sebagian
lain kemudian menyebutkan bahwa kebenaran
pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan akhir-akhir
ini sebagian mereka menyebutkan bahwa apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah haruslah berupa suatu
proposisi yang menimbulkan keraguan. Akankan
demikian pemikiran Islam dan Imam Al-Ghazali? Yang
pasti berbeda adalah keyakinan mereka terhadap
adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap
pemikir muslim mengarahkan kegiatan pemikiran
mereka.3
3 Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuan JalanKebebasan (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 71-73.
10
Berdasarkan pandangan tentang alam dan manusia,
Imam Al-Ghazali menempatkan roh dalam kerangka
metodologi untuk memperoleh dan memahami kebenaran
Islam. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali memandangan
bahwa penempatan roh dalam struktur kepribadian dan
tindakan adalah merupakan problem utama konsistensi
manusia terhadap hakikat keberadaannya.
Bagi Imam Al-Ghazali, hanya menempatkan roh
sebagai substansi eksistensi secara fungsional,
manusia akan memiliki kekuatan dan keberanian untuk
bersedia menyerah secara mutlak kepada kebenaran.
Hal itu disebabkan hanya roh yang memilki kebebasan
sebagai landasan mengatasi dunia objektif yang
dimensional. Hanya roh yang memiliki kemampuan
membebaskan diri dari keterbatasan penguasaan
terhadap objek duniawi dalam arti yang kesekarangan
yang kedekatan serta pendek. Dengan demikian maka
hanya roh yang memiliki peluang untuk memahami dan
mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan dan
11
kebahagian. Inilah salah satu pemikiran Imam Al-
Ghazali dalam berfilsafat.
2. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf
sunni yaitu berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
serta ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral yang dapat dilihat
dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din,
Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-
Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-
Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan
wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang
ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya:
12
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang
ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar
pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan
roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi
cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi
(kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya
kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya
hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan
yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah), di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah,
ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak
sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya
13
mata terletak pada ketika melihat gambar yang
bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak
ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak
percaya pada kebenaran semua (oxioma atau sangat
mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.4 Dia
pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya,
sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan
pengetahuan, dan siapa yang menyangka bahwa kasyf
(pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang
demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari
seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat
disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-
4 Ahmad Mustofa., Filsafat Islam (Bandung: CV PustakaSetia, 2007), hlm. 224.
14
Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.5 Ungkapan ini
ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam
dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang
tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M
dan pergi bertapa di salah satu menara Masjid Umawi
di Damaskus.
Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf
yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri
dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan
karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang
benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil
argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tasawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/Akhlak Imam Al-Ghazali
Akhlak sebagai bidang studi pada saat ini,
sangat diperlukan di dalam proses sosialisasi.
Hubungan manusia kepada ‘Alam pada kenyataannya
5 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme (Jakarta: BulanBintang, 1978), hlm. 31.
15
kurang dapat dikatakan bagus. Kerusakan-kerusakan
yang ada pada dunia ini, semuanya itu bermula dari
ulahnya manusia yang kurang bertanggung jawab. Maka
mengkaji secara mendalam “Akhlak” sangat diperlukan
sebagai pedoman dalam bersosialisasi dengan ‘alam
secara baik.
Menurut Al-Ghazali, akhlâq adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah dan
gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan
antara Imam Al-Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi,
bahwa akhlâq harus dimulai dengan pengetahuan
tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena
ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan
sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan
filosof lainnya, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi
tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an-nafs al-
bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani
16
(an-nafs as-sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an-nafs
an-nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan yang tidak
akan hancur. Al-Ghazali juga membuat tabulasi
kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu
kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari
ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk mencapai jalan
tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif
bagi terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan
syari’at berfungsi efektif untuk terciptanya posisi
tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al-Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash-
shirât al-mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus
daripada sehelai rambut dan lebih tajam daripada
mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat
dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salah satu karya
Al-Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat
etikanya. Maka, dapat dikatakan bahwa filsafat
etika Al-Ghazali adalah Tashawuf Al-Ghazal, yang
17
bertujuan pokok: Maksudnya bahwa manusia semampunya
meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti
pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta
sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti sabar,
jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu
dan daya pengendalian amarah. Dan jalan untuk
mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta
latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-
amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah
menahan diri dari mencintai dunia wujud dan
mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah
SWT.
Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada
dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan dan
pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana
prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada
Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan
18
muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al-Ghazali ada
dua, yaitu kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui
kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika
mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan
itu sendiri (ma’rifatullâh disertai musyâhadah al-
qalb).6
C. Karya-karya Imam Al-Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik
Yunani maupun dari pendapat-pendapat filosof Islam,
Al-Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang tidak
kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, Al-Ghazali menyerang argumen
filosof Yunani dan Islam dalam beberapa persoalan. Di
antaranya, Al-Ghazali menyerang dalil Aristoteles
tentang azalinya alam dan pendapat para filosof yang
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian
alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja.
6 Magniz Franz Suseno, Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 33.
19
Ia pun menentang argumen para filosof yang mengatakan
kepastian hukum sebab akibat semata-mata, mustahil
adanya penyelewengan.7
Al-Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul
Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap
agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan
kaum filosof. Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan
yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli
pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya
ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap
pemikiran umat Islam:8
- Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof),
karangan pertama yang berisi masalah-masalah
filsafat.
7 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 68.
8 A. Heris Hermawan dan Yaya Sunarya, Filsafat(Bandung: CV Insan Mandiri, 2011) hlm. 91-92.
20
- Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para
filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda
keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali mengecam
filsafat para filosof dengan keras.
- Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
- Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa
tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi
panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
- Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari
kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam
pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya
terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai
Tuhan.
- Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang
rasional).
- Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak),
pembahasan akhlâq tashawuf.
21
- Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada
Tuhan).
- Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
- Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
- Al Mustasyfa (yang terpilih).
- Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
- Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
D. Pengaruh Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
Pencaplokan Al-Quds dan daerah-daerah lainnya
oleh Tentara Salib bukannya membuat para sultan sadar
akan penderitaan dan bahaya yang ada, malah
memperburuknya dengan hanya memikirkan masalah
kesenangan dan nafsu pribadi. Mereka memperkaya diri
dengan tingginya pungutan pajak yang menyengsarakan
rakyat. Mereka bangga serta lalai oleh gelimang
kemewahan harta yang sebagiannya diperoleh dengan
cara yang dzalim.
Rakyat mengalami kesengsaraan, ketakutan serta
kelaparan yang dahsyat. Hingga ada yang harus memakan
22
daging bangkai saudaranya sendiri yang mati.
Akibatnya, muncul para kanibal dari Sudan yang biasa
mencari korban orang-orang yang masih hidup. Mereka
membantai dan memakannya ramai-ramai.
Inilah sekelumit gambaran kemerosotan kondisi
umat Islam saat itu. Tapi kita tak bisa serta merta
menyalahkan para sultan saja. Ada ketidakberesan
dalam mayoritas umat, ada arus penyimpangan kolektif
yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah
ditinggalkan oleh tiga generasi emas terdahulu (as-
salafus-shalih). Penyimpangan yang merambah semua
kalangan, baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya
dan rakyat jelata.
Ajaibnya, 77 tahun kemudian, tampillah
Shalahuddin al-Ayyubi yang memimpin pasukannya
merebut Hitthin sebagai pembuka jalan untuk merebut
Palestina. Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi ini adalah
sosok utusan langit yang datang begitu saja untuk
menyelamatkan umat? Apakah dia adalah seorang
23
pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan
mengandalkan kesaktiannya?
Tentu tidak. Ada jarak lebih hampir satu abad
antara jatuhnya Al-Quds ke tangan Tentara Salib
hingga kembali ke tangan umat Islam. Tentu ada upaya
sangat keras yang digerilyakan para ulama di masa
jeda itu untuk memulihkan kondisi umat yang
pesakitan.
Sepanjang masa keterpurukan itu, sekitar 50-an
tahun, ada karya serta peran signifikan sejumlah
ulama dan tokoh umat Islam dalam merekonstruksi umat.
Seperti Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Syaikh Abdul Qadir
Al-Jaylani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dan sederetan
nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan
radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat.
Mereka berhasil mengikis virus-virus yang
menggerogoti imunitas internal umat. Rusaknya kondisi
umat saat itu adalah akibat dari sakitnya pemikiran,
salah satu sebabnya adalah pola pemikiran tasawuf dan
filsafat yang menyimpang. Perselisihan mazhab yang
24
anarkis terjadi di mana-mana, sering terjadi tawuran
antar pengikut mazhab yang mengakibatkan kerusakan,
perpecahan dan anarkisme sosial-politik menjadi-jadi,
kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat
merentang sangat tajam.
Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak
terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena
perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk
kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek
politik umat, tidak banyak tokoh yang memiliki
kelayakan untuk menjadi pemimpin. Perpecahan,
perseteruan, dan kudeta politik merupakan hal yang
lumrah.
Intelejen musuh jelas mengetahui keadaan ini dan
memanfaatkannya, mereka menyerang dan membantai kaum
Muslimin yang sebelumnya sudah koyak dengan adanya
perpecahan sektarian. Secara internal (pemikiran,
sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak
memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa
diberikan untuk umat di sekitar Al-Quds ketika itu.
25
Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat
pasca serangan tentara Salib dilakukan oleh beberapa
tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan
oleh Nizham Al-Muluk, menteri dari Bani Saljuq yang
menjabat selama 30 tahun. Tetapi tidak efektif,
selain karena ia dibunuh, juga karena tidak memulai
dari akar penyakit, yakni sekarat pemikiran.
Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama;
pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan
benda atau materi (asy-ya’). Masyarakat mengalami
kesehatan jika individu dan materi berporos pada
pemikiran yang benar. Mata rantai lakon manusia
bermula dari niat, lalu pemikiran dan kemauan,
kemudian menjelma menjadi tindakan.
Maka, setelah niat dan keyakinan, kesehatan
pemikiran adalah modal dasar menuju perubahan dan
kesehatan sosial. Iniah yang kemudian ditelateni para
ulama ketika itu dalam memulihkan kondisi umat.
Salah satu simpul utama ulama yang mencoba
memulihkan kondisi ini adalah Imam Al-Ghazali (hidup
26
tahun 450-505 H) yang dengan akhlak, ilmu dan
kecerdasannya, mampu menyatukan perpecahan madzhab
yang terjadi. Ia menyadarkan para tokoh dan penganut
madzhab, serta mengembalikan kondisi menjadi lebih
baik. Selain usaha dan ilmu yang beliau ajarkan,
curahan kecerdasannya menghasilkan karya-karya yang
dengan izin Allah menyadarkan para penguasa, filosof,
sufi sesat, serta kelompok ulama su’ atau ulama duniawi
yang dengan ilmunya hanya bertujuan mencari simpati
penguasa, harta, serta jabatan.
Fase pertama, gerakan ishlah (reformasi) yang
dipelopori oleh Imam Al-Ghazali ini menggunakan
metode baru untuk melakukan rekonstruksi umat. Beliau
mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh
syubuhat, memfokuskan pada upaya pembenahan diri
untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran,
kemudian kembali ke tengah masyarakat dan memulai
proses ishlah.
Gerakan Imam Al-Ghazali ini tidak menyentuh
secara langsung jihad untuk membebaskan Al-Quds,
27
tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk
mengatasi kepecundangan mental dari tubuh umat, yakni
dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai
langkah awalnya. Selanjutnya Imam Al-Ghazali
melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-
ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga
masyarakat pada umumnya. Imam Al-Ghazali juga
mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat
masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.
Pada fase kedua, pengaruh Imam Al-Ghazali
diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani (hidup
tahun 470-561 H) dengan madrasah dan gerakan
reformasinya. Pada saat Imam Al-Ghazali meninggal,
Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani sudah berusia 35 tahun.
Pengaruh Imam Al-Ghazali sangat nampak dalam berbagai
tulisan Al-Jaylani. Aspek ishlah yang beliau tekankan
pun sama seperti yang ditekankan oleh Imam Al-
Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu.
Pada fase ini, persebaran madrasah ishlah menjadi
kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti
28
madrasah Abdul Qadir Al-Jilani) menjadi pusat
pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini
tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur
ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak
di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat.
Maka dari sinilah rantai Islah mulai solid dengan
munculnya tokoh-tokoh ‘penguasa’ yang sadar akan
pentingnya Islah, seperti Sultan Nuruddin Zanki yang
beretnik Turki, lalu diteruskan oleh putra angkatnya
yang beretnik Kurdi, Shalahuddin Al-Ayyubi.
Ketika Nuruddin Zanki dan Shalahudin AlAyyubi
melakukan reformasi sosial politik, banyak alumni-
alumni madrasah ishlah yang sudah tercerahkan mengisi
posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung
dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga
sudah memiliki kesiapan untuk menyongsong reformasi.
Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi
mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad
militer untuk mengembalikan Al-Quds, pada tahun 569
H, di bawah komando Al-Ayyubi, umat Islam berhasil
29
meraih kemenangan besar dengan menebas tuntas kaum
Salib yang menguasai Palestina dan merebut kembali
Masjidil Aqsha.
Dalam buku Hakadza Dzaharu Jil Shalahiddin wa Hakadza
‘Aadat al Quds susunan Dr. Majid Irsan Al-Kilani,
kemenangan itu digambarkan sebagai berikut;
“…Pertempuran pun berkecamuk dengan begitu
sengitnya. Pasukan Muslim menyerbu dengan gigih demi
meraih balasan surga dan mati syahid. Akhirnya mereka
berhasil memasuki kota suci Baitul Maqdis dengan
penuh gema takbir ‘Allahu Akbar!’ dan tahlil ‘Laa
Ilaaha Illa Allaah!’ Gelombang pasukan Muslim
bergerak dengan pasti menuju Masjid Al-Aqsha yang
telah bebas lalu membersihkannya dari segala noda dan
kotoran yang ditinggalkan oleh kaum Salib.
Saat kaum muslimin melaksanakan Shalat Jum’at
pertama, masjid begitu sesak dan mereka tidak kuasa
menahan cucuran air mata karena haru. Shalahuddin Al-
Ayyubi meminta Ibn Az-Zaki As-Syafi’i (pengikut
madzhab Imam Syafi’i) untuk menyampaikan khutbah
30
Jum’at, beliau membuka khutbahnya dengan mengutip
firman Allah swt.:
“Maka orang-orang yang dzolim itu dimusnahkan
sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam.” (Surah Al-An’am: 45)
Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Shalahuddin
memohon kepada Ibn Naja’ Al-Qadiri Al-Hambali (murid
Syaikh Abdul Qadir Al-Jaylani serta pengikut madzhab
Imam Ahmad bin Hanbal) untuk menyampaikan mau’idzah
(wejangan) penyemangat umat, dan saat itu, banyaklah
orang yang tidak sanggup menahan cucuran air mata
mereka…”
Kemenangan umat Islam dalam pimpinan Shalahuddin
Al-Ayyubi ini tentu mengejutkan, karena sebelumnya
masyarakat terjangkiti berbagai penyakit akut. Mulai
dari disorientasi pendidikan, fanatisme golongan,
filsafat materialisme, kesenjangan ekonomi, kerapuhan
politik, kebusukan moral, dan banyak lagi penyakit
sosial yang bisa disebutkan. Semua bentuk penyakit
tersebut berakar dari pola pikir keliru yang
31
terlanjur menggurita di tengah masyarakat, parahnya,
terinstitusikan dalam lembaga-lembaga resmi.
Para ulama, mulai dari Al-Ghazali hingga Al-
Jaylani, berikhtiar memperbaiki itu. Perubahan sosial
tidak bisa terjadi dalam hitungan hari, butuh
bertahun-tahun untuk mengupayakannya. Butuh lebih
dari 50 tahun jaringan ulama mengobati penyakit umat
di masa kelam umat Islam.
Ada lima pola yang dipraktekkan Imam Al-Ghazali
dalam rentang sejarah masa kelam tersebut untuk
melahirkan reformasi pemikiran umat, yakni;
Pertama, identifikasi akar penyakit. Ada suatu
upaya pencerahan terhadap pola pikir, karena sehat
atau sakitnya suatu masyarakat berdasarkan atas
kondisi pemikiran yang dianutnya. Kerancuan filsafat,
keterpisahan tasawuf dan fiqh, fanatisme mazhab,
adalah contoh dampak negatif pemikiran yang
dipulihkan Imam Al-Ghazali
Kedua, adanya evaluasi terhadap aspek pendidikan.
Apa yang diupayakan Al-Ghazali, lalu kemudian
32
dilanjutkan Al-Jaylani, bermula dari ranah pendidikan
umat secara kultural dan komplit. Pembinaan moral
umat tanpa tendensi politik kekuasaan. Melalui bentuk
‘sekolah formal’ semisal Nidzamiyah ala Ghazali atau
Madrasah Abdul Qadir Jaylani
Ketiga, mengoptimalkan potensi spiritual. Pemapanan
mental spiritual sangat nampak pada perjuangan Al-
Ghazali maupun Al-Jaylani, sebagaimana terbaca dalam
karya mereka. Bukan kebatinan, melainkan olah rasa
yang tetap terkoneksi dengan jangkar syariat dan
kemudi akal.
Keempat, gerakan kolektif. Sadar bahwa perubahan
masyarakat tak bisa dilakukan sendirian, Imam Al-
Ghazali mengkader murid-muridnya untuk melestarikan
ide-ide reformasinya. Berlanjut ke Al-Jaylani,
madrasah-madrasah yang ia dirikan di berbagai titik
kota besar dan pelosok desa menjadi corong ide
reformasi yang ampuh. Gerakan yang kemudian lahir
adalah kombinasi berbagai unsur masyarakat yang
33
tercerahkan berkat upaya puluhan tahun madrasah-
madrasah tersebut.
Kelima, kesadaran teritorial. Persatuan umat yang
diupayakan Zanki dan Al-Ayyubi tidak sekedar berdasar
keyakinan sebagai umat Islam, tetapi juga kehormatan
sebagai sebuah bangsa.
Jika kita mampu membaca ‘tingkah polah’ sejarah
ini, maka kita bisa menakar posisi tokoh di tengah
kancah sejarah kapanpun dimanapun. Kita bisa pula
menentukan bagaimana bersikap terhadap zaman dan
keadaan. Kita juga tidak akan terburu-buru memanen
hasil. Kita tidak pula gampang pesimis dengan kondisi
yang tak kunjung berubah. Karena yang terpenting
adalah perubahan radikal terhadap paradigma dan pola
pikir. Lalu selanjutnya, melakukan perubahan
struktural di tengah masyarakat.
Panen ada masanya. Imam Al-Ghazali tidak
mengalami masa kemenangan umat atas Al-Quds, namun
kegemilangan yang terjadi saat itu adalah andil benih
yang pernah ditanamnya.
34
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
35
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-
Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang
terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada
singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14
Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah
desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara
kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman
dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa,
tetapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair
terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun
1020 M.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah
ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini
ada dua versi: ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali
kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil,
Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut
ilmu. Al Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm
36
Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun
Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan
duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul
dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi
kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil
mengisolir diri untuk beribadah dan mengambil jalan
sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun
505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul
Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap
agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan
kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir
dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al
Falâsifah, Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm,
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl, Al
Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al
‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad,
37
Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm dan
Mizan Al ‘Amal.
B. Saran
Semakin bergumulnya dunia sekarang ini, maka
perlu adanya sebuah suplement untuk mengapai
ketenangan diri. Hal tersebut dapat kita capai salah
satunya dengan memamahi pemikiran-pemikiran Imam Al-
Ghazali. Pemikiran-pemikiran Beliau niscaya dapat
menajadi solusi dalam menjawab permasalahan-
permasalahan yang semakin kompleks ini.
DAFTAR PUSTAKA
Qayyum, Abdul. 1983. Surat-surat Al-Ghazali. Bandung: Mizan.
38
Iroelizzta. 2012. “Makalah tentang Imam Al-Ghazali”
dalam
http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/14/makalah-
tentang-imam-al-ghazali/ diakses tanggal 22
November 2014 pukul 10:14 WIB.
Mulkhan, Abdul Munir. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan
Kebebasan. Jakarta: Bumi Aksara.
Congt, Tong Sam. “Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Ghazali
dalam
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-
tasawuf/ajaran-ajaran-tasawuf-ghazali/ diakses
tanggal 23 November 2014 pukul 14:17 WIB.
Haq, Zia Ul. 2014. “Reformasi ala Imam Al-Ghazali”
dalam www.santrijagad.org/2014/09/reformasi-ala-
imam-ghazali.html?m=1 diakses tanggal 23 November
2014 pukul 14:29 WIB.
Syadani, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka
Setia.
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam
Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
39