BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bergulirnya masa ke masa tidak pernah memakan sosok Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof dan teolog muslim besar yang berpengaruh terhadap dunia pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran Beliau sangat perlu diketahui pada zaman sekarang ini yang semakin kompleks sebagai solusi untuk mengapai “ketenaganan diri”. Beradasarkan latar belakang tersebut, maka kami berusaha sebisa mungkin untuk membuat makalah ini, sebagai wujud keperdulian kami untuk masyarakat dan sebagai bukti pengamalan ilmu yang kami dapat. Selain itu, ini juga sebagai tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak dan Tasawuf. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil? 2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali? 3. Apa saja karya-karya yang pernah dikarang oleh Imam Al-Ghazali? 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya masa ke masa tidak pernah memakan
sosok Imam Al-Ghazali sebagai seorang filosof dan
teolog muslim besar yang berpengaruh terhadap dunia
pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran Beliau sangat
perlu diketahui pada zaman sekarang ini yang semakin
kompleks sebagai solusi untuk mengapai “ketenaganan
diri”.
Beradasarkan latar belakang tersebut, maka kami
berusaha sebisa mungkin untuk membuat makalah ini,
sebagai wujud keperdulian kami untuk masyarakat dan
sebagai bukti pengamalan ilmu yang kami dapat. Selain
itu, ini juga sebagai tanggung jawab kami dalam
memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak dan Tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil?
2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali?
3. Apa saja karya-karya yang pernah dikarang oleh
Imam Al-Ghazali?
1
4. Apa pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
terhadap dunia Islam?
C. Maksud dan Tujuan Penulisan
1. Mengetahui riwayat hidup Imam Al-Ghazali
2. Mengetahui pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali
3. Mengetahui karya-karya yang pernah dikarang oleh
Imam Al-Ghazali
4. Mengetahui pengaruh pemikiran-pemikiran Imam Al-
Ghazali terhadap dunia Isam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat hidup Imam AGhazali
Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-
Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil yang
terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik
Islam Irak pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-Arsalan pada
singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14
2
Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah
desa dekat Thus. Thus adalah salah satu di antara
kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman
dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa,
tetapi termasyhur karena hubungannya dengan penyair
terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada tahun
1020 M.
Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim
Persia, yang dikenal sebagai algazel di dunia Barat
pada abad pertengahan. Ia berkuniah Abu Hamid karena
salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-
Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang
bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan,
Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i
menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.
Beliau hidup miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali
gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena ayah Ghazali
hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri
dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan
3
selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang
ulama. Amat disayangkan ajal tidak memberikan
kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan
anaknya sesuai do’a yang ia panjatkan. Namun, cita-
cita ayah Ghazali terbukti dengan keberhasilan Imam
Al-Ghazali menjadi filosof dan teolog muslim
terkemuka pada zamannya.
Awal mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah
ketika sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini
ada dua versi:
1. Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada
saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang
sufi, dengan bertujuan untuk dididik dan dibimbing
dengan baik.
2. Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya
Ahmad kepada seorang sufi, untuk didik dan
dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang
senang menuntut ilmu. Karenanya, tidak heran sejak
4
masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah
guru di kota kelahirannya. Di antara guru-gurunya
pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-
Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di
Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang
penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid
Imam Al-Haramaîn Al-Juwaini yang merupakan guru besar
di Madrasah An-Nizhâmiyah Nisyapur. Al-Ghazali
belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika,
sufisme dan ilmu-ilmu alam.1
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar
biasa, Al-Juwaini kemudian memberinya gelar Bahrûm
Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali
kemudian meninggalkan Naisabur setelah Imam Al
Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M).
Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al-Mâlik di kota
Mu’askar. Ia mendapat penghormatan dan penghargaan
1 Ahmad Syadani, Filsafat Umum (Bandung: PustakaSetia. 1997), hlm. 178.
5
yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu selama 6
tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di
sebuah Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan
dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad, selain
mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan
terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah,
Ismâiliyyah, golongan filsafat dan lain-lain. Setelah
mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam
dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota
kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan
tersebut, bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan
duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian
tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam
hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan
batinnya mulai muncul, ‘Inikah ilmu pengetahuan yang
sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi Allah?,
Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan
6
mereguk madu dunia sampai ke dasar gelasnya.
Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati
sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan
olahan akal benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya
dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di
Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan
tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk
beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus,
yakni jalan sufi. Ia tidak lagi mengandalkan akal
semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang
dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang
bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari Damaskus
ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di
Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan
mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke
hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H
(1111 M) dalam usia 52-53 tahun dengan meninggalkan
7
beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang mengatakan
bahwa beliau meninggal usia 54/55 tahun.2
B. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali
1. Filsafat Al-Ghazali
Sebagaimana kecenderungan umum pemikir filsafat
yang selalu bergerak di antara manusia, alam, dan
Tuhan, maka hampir seluruh pemikiran Islam terpusat
pada masalah usaha manusia memahami dirinya
sendiri, alam sekitarnya dan kemudian Tuhan.
Manusialah di antara makhluk yang paling mampu
menganalisis dirinya sendiri. Suatu kemampuan yang
tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia termasuk
malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.
Usaha manusia untuk mengerti tidak hanya
berhenti pada objek dirinya sendiri, akan tetapi
bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia segala
2 Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam(Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hlm. 67.
8
sesuatu yang ‘ada’, termasuk mencoba mengerti
Tuhan.
Dalam tradisi pemikiran Islam, dunia dan alam
semesta ini justru diciptakan karena Allah mencipta
manusia. Manusia yang menjadikan alam dunia ini
mempunyai makna dan berfungsi. Untuk maksud
tersebut Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin
dan khalifah di muka bumi.
Namun segera sebuah pertanyaan dapat diajukan
mengenai siapa manusia itu sesungguhnya. Pertanyaan
tersebut merupakan pertanyaan yang cukup pelik
untuk dijawab. Akan tetapi tingkat kesadaran
manusia terhadap eksistensinya sendiri yang
bertaraf lebih tinggi daripada makhluk Tuhan
lainnya telah menuntun manusia menjawab pertanyaan
di atas dengan jawaban-jawaban yang hampir
mendekati kebenaran.
Kehampiran terhadap penemuan kebenaran di atas
menyebabkan manusia sangat bersemangat untuk
mencapainya. Akan tetapi, pengalaman sejarah
9
menunjukkan bahwa ternyata sepanjang sejarah itu
sendiri manusia belum selesai dan mencapai apa yang
dicarinya. Di sinilah manusia selalu terdorong
untuk bersikap kreatif dan kritis namun juga
menyebabkan sebagian orang bersikap skeptis dan
pesimistis.
Di samping sikap tersebut di atas, sebagian
lain kemudian menyebutkan bahwa kebenaran
pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan akhir-akhir
ini sebagian mereka menyebutkan bahwa apa yang
disebut dengan kebenaran ilmiah haruslah berupa suatu
proposisi yang menimbulkan keraguan. Akankan
demikian pemikiran Islam dan Imam Al-Ghazali? Yang
pasti berbeda adalah keyakinan mereka terhadap
adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap
pemikir muslim mengarahkan kegiatan pemikiran
mereka.3
3 Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuan JalanKebebasan (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 71-73.
10
Berdasarkan pandangan tentang alam dan manusia,
Imam Al-Ghazali menempatkan roh dalam kerangka
metodologi untuk memperoleh dan memahami kebenaran
Islam. Oleh karena itu Imam Al-Ghazali memandangan
bahwa penempatan roh dalam struktur kepribadian dan
tindakan adalah merupakan problem utama konsistensi
manusia terhadap hakikat keberadaannya.
Bagi Imam Al-Ghazali, hanya menempatkan roh
sebagai substansi eksistensi secara fungsional,
manusia akan memiliki kekuatan dan keberanian untuk
bersedia menyerah secara mutlak kepada kebenaran.
Hal itu disebabkan hanya roh yang memilki kebebasan
sebagai landasan mengatasi dunia objektif yang
dimensional. Hanya roh yang memiliki kemampuan
membebaskan diri dari keterbatasan penguasaan
terhadap objek duniawi dalam arti yang kesekarangan
yang kedekatan serta pendek. Dengan demikian maka
hanya roh yang memiliki peluang untuk memahami dan
mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan dan
11
kebahagian. Inilah salah satu pemikiran Imam Al-
Ghazali dalam berfilsafat.
2. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf
sunni yaitu berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
serta ditambah dengan doktrin Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang
mengutamakan pendidikan moral yang dapat dilihat
dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din,
Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-
Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-
Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia
sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan
wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang
ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya:
12
a. Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang
ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar
pada sir-qolb dan roh. Pada saat sir, qalb dan
roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi
cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia
Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi
(kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya
kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya
hanyalah Allah, di sini sampailah ia ke tingkat
ma’rifat.
b. Pandangan Al-Ghazali tentang As-As’adah
Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan
yang paling tinggi adalah melihat Allah
(ru’yatullah), di dalam kitab Kimiya As-Sa’adah,
ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu
sesuai dengan watak (tabiat). Sedangkan watak
sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya; nikmatnya
13
mata terletak pada ketika melihat gambar yang
bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak
ketika mendengar suara merdu.
Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak
percaya pada kebenaran semua (oxioma atau sangat
mendasar) yang akhirnya melahirkan skeptik.4 Dia
pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya,
sebagai berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan
pengetahuan, dan siapa yang menyangka bahwa kasyf
(pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang
demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari
seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat
disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-
4 Ahmad Mustofa., Filsafat Islam (Bandung: CV PustakaSetia, 2007), hlm. 224.
14
Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.5 Ungkapan ini
ada setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam
dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang
tinggi di Madrasah Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M
dan pergi bertapa di salah satu menara Masjid Umawi
di Damaskus.
Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf
yang berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri
dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan
karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang
benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil