Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 31 Pages pp. 16- 46
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 16
TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI
INDONESIA
Jamaluddin1, Husni
2, Eddy Purnama
2
1) Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Abstract: Article 24 (1) of the Constitution of 1945 states that the judiciary power is independent to conduct the trial in order to defence the law and justice. Then, Article 40 (1) of the Act Number 48, 2009 regarding the Judiciary Power regulates that in terms of keeping and keeping honor, dignity, and the attitute of the judges, the Judicial Commission has the authority on it. However, there is the fact that there is the offense towards the ethical and behaviorr of judges that can have bad impact on justice seekers. The research reveals that the implementation of judge responsibility in thae First Instance Court as the beholder of judial power is a manifestation from the duty that is as obligation of them working the the judicial field. This is realized in three ways that are moral responsibility, legal responsibility, and professional responsibility. Such responsibility having by judges contains: (a) value of freedom and justice, (b) Transparancy value, (c) the value of cooperation and responsibility and the behaves towards the God and humanbeings, (d) the value obliging the judge to respect the objectivity. The responsibility forms of the judge is realised by imposing punishment for them who violate the ethic code and due to their behaves , they can also be punished by light punishment that is wriiten punishment, medium sanction that is temporary forcibly quit from working, and heavy one that is by firing them forever. The imposition of punishment towards 134 of the judge recommended by the Judicial Commission to the Supreme Court in terms of imposing punishment as violating the ethic code and laws. The constraints faced by the judges in conducting his responsibility in beholding the judicial power are the obstacle in legal aspect or the rules of the statutes that are as the fundamental consideration and judge decision, the constraints of coordination with the law defenders involving in implementation of the judicial power, the constraints of the limitation of human resources of the judges and supporting facilities of its implementation and the understanding of the public view on it. In fact, the judge in its position as law defender is one of determining factors for the success of justice. It is recommended that the judges should consider and decide the case of law violations that exist; hence they can impose the rules based on its proportionality due to the fact that the judges as law defenders has an important role in law enforcement. In addition, the judge as a key in enforcing the law should refer to the law in on their duties without discriminating to whom they are imposing the law. Furthermore, the Supreme Court and the Judicial Commission should make an effort to coordinate in enforcing the law towards the violators in holding the judiciary power including by improving human resources capacity and availing the facilities supporting the judicial process.
Keywords: Responsibility and Judge Profession
Abstrak: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Namun dalam praktek dalam penyelenggaraannya tetap saja ditemukan adanya pelangaran terhadap kode etik dan perilaku hakim yang dapat merugikan pencari keadilan. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan tanggung jawab hakim dalam lingkup peradilan umum sebagai
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
17 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
penyelenggara kekuasaan kehakiman telah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tanggung jawab hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan tanggung jawab hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tiga yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab profesi hakim dimaksud mengandung (a) nilai kemerdekaan dan keadilan, (b) nilai keterbukaan, (c) Nilai kerja sama dan tanggungjawabsikap dan tindakankepada Tuhan Yang Maha Esa dan sesama manusia, (d) nilai hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Bentuk tanggung jawab profesi hakim diwujudkan dengan adanya sanksi hukum bagi hakim yang melanggar kode etik dan perilaku berupa sanksi ringan yakni sanksi tertulis, sanksi sedang, diberhentikan sementara, dan sanksi yang terberat adalah diberhentikan tetap atau dipecat. Pemberian sanksi sebagaimana dilakukan terhadap 134 hakim yang direkomendasi Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung agar memberikan sanksi kepada 134 hakim karena melanggar melanggar kode etik dan perilaku hakim. Kendala bagi hakim dalam pelaksanaan tanggung jawab penyelenggaraan kehakiman adalah meliputi kendala di bidang hukum atau ketentuan perundang-undangan yang menajdi dasar pertimbangan dan putusan hakim, kendala koordinasi dengan pihak aparat penegak hukum yang terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hambatan dari keterbatasan sumberdaya hakim serta sarana atau fasilitas pendukung penyelengaraan kekuasaan kehakiman serta hambatan dari pemahamaan dan budaya hukum masyarakat. Padahal hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum merupakan salah satu faktor yang menentukan pula bagi keberhasilan penegakan hukum. Disarankan kepada hakim agar dalam memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hukum yang terjadi agar dapat menerapkan berbagai ketentuan hukum sesuai dengan tempatnya mengingat hakim sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan yang amat penting dalam keberhasilan upaya penegakan hukum.Disarankan agar Mahkamah Agung dan Komisis Yudisial dapat mengupayakan adanyakoordinasi dalam penegakan hukum terhadap pelaku penyelenggaraan kekuasaan kehakiman termasuk dengan mengupayakan peningkatan sumberdaya hakim dan pengadaan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Kata Kunci: Analisis Yuridis, Narkotika, Pidana Perawatan dan Rehabilitasi
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum.1
Oleh karena itu, negara
diselenggarakan atas dasar hukum, atau
sering juga disebut negara hukum
(rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machstaat). Kekuasaan yang
dimiliki pemerintah timbul setelah adanya
hukum yang mengatur segalanya atas
negara. Sejalan dengan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
1 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang- Dasar 1945 (Pasca
Amandemen ke 4)
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 18
menegakkan hukum dan keadilan.2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. SelanjutnyaPasal 24B ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut tiga
lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan
tersebut sehingga badan ini sering disebut
sebagai lembaga ekstra-yudisial. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
UU Kekuasaan Kehakiman
2Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(1) Dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dilakukan pengawasan eksternal
oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Ketentuan tersebut di atas merupakan
sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu
(integrated justice system). Sistem
peradilan terpadu ini sebagai bentuk
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yang merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum.
Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian
halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana
fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
19 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres
III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.3 Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai
hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi
hakim dan Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia terus berlangsung. Ketentuan
terbaru Mahkamah Agung (MA)
menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya
Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun Komisi Yudisial (KY), sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari
ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar
konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Sophian Marthabaya yang dikutip Iskandar
Jamil berpendapat bahwa “Suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi
yang bersangkutan yang akan menjalankan
kode etik tersebut. Namun, sangat tidak etis
apabila kode etik disusun oleh suatu
institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman
untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan
3Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi Hakim,” dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode
Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Mahkamah
Agung RI, 2006), hal. 3.
pekerjaan tersebut.4
Kode etik suatu profesi dibuat untuk
mengatur perilaku dan sepak terjang individu
profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian
dari agenda reformasi telah menjadi komitmen
pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde
Baru hingga saat ini. Namun demikian,
harapan pencari keadilan terhadap lembaga
peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum
seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang
berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku
pejabat peradilan yang dianggap tercela,
hingga dugaan adanya mafia peradilan
(judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat
terhadap lembaga peradilan. Hal ini juga
terjadi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh
sehingga menarik penulis untuk melakukan
penelaahan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab hakim dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
METODE PENELITIAN
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum.5
Oleh karena itu, negara
diselenggarakan atas dasar hukum, atau
4Ibid., hal 4 5 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang- Dasar 1945 (Pasca
Amandemen ke 4)
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 20
sering juga disebut negara hukum
(rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machstaat). Kekuasaan yang
dimiliki pemerintah timbul setelah adanya
hukum yang mengatur segalanya atas
negara. Sejalan dengan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.6
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
6 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. SelanjutnyaPasal 24B ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut tiga
lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan
tersebut sehingga badan ini sering disebut
sebagai lembaga ekstra-yudisial. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
UU Kekuasaan Kehakiman
(1) Dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dilakukan
pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial.
(2) Dalam melakukan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
21 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Ketentuan tersebut di atas merupakan
sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu
(integrated justice system). Sistem
peradilan terpadu ini sebagai bentuk
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yang merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum.
Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian
halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana
fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan
perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres
III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.7 Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai
7Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi Hakim,”
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct),
Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan,
(Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 3.
hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi
hakim dan Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia terus berlangsung. Ketentuan
terbaru Mahkamah Agung (MA)
menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya
Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun Komisi Yudisial (KY), sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari
ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar
konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Sophian Marthabaya yang dikutip Iskandar
Jamil berpendapat bahwa “Suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi
yang bersangkutan yang akan menjalankan
kode etik tersebut. Namun, sangat tidak etis
apabila kode etik disusun oleh suatu
institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman
untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan
pekerjaan tersebut.8
Kode etik suatu profesi dibuat untuk
mengatur perilaku dan sepak terjang individu
profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian
dari agenda reformasi telah menjadi komitmen
pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde
Baru hingga saat ini. Namun demikian,
8Ibid., hal 4
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 22
harapan pencari keadilan terhadap lembaga
peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum
seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang
berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku
pejabat peradilan yang dianggap tercela,
hingga dugaan adanya mafia peradilan
(judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat
terhadap lembaga peradilan. Hal ini juga
terjadi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh
sehingga menarik penulis untuk melakukan
penelaahan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab hakim dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
KAJIAN PUSTAKA
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945
Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Penegasan Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan hukum
dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 dan perubahannya yang menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum Konsekuensi dari
penegasan tersebut adalah adanya
perlindungan hak asasi manusia, adanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka
dengan menyelenggarakan peradilan yang
bebas dan tidak memihak, serta adanya
legalitas dalam arti hukum dalam segala
bentuknya.
Pada hakikatnya cita-cita untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan mandiri merupakan cita-cita
universal. Hal ini bisa dilihat dalam Basic
Principles On Independence of The
Judiciary, yang diajukan oleh Majelis
Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29
Nopember 1985 dan resolusi 40/146
tanggal 13 Desember 1985). Juga bisa
dilihat pada Beijing Statement Of
Principles Of The Independence The Law
Asia Region Of The Judiciary di Manila
tanggal 28 Agustus 1997, dimana
didalamnya ditegaskan bahwa:
1. Kehakiman merupakan institusi nilai
yang tertinggi pada setiap masyarakat;
2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan
bahwa hukum memutuskan sebuah
perkara sepenuhnya atas dasar
pemahaman undang-undang dan
terbebas dari pengaruh dari manapun,
baik langsung maupun tidak langsung,
hakim memiliki yurisdiksi atas segala
isu yang memerlukan keadilan.9
Di Indonesia kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan yang ada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum,
9 Muchsin, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Perubahan UUD 1945”, Makalah, yang
disampaikan sebagai bahan kuliah di Program
Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun 2009.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
23 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
peradilan agama, peradilan TUN, peradilan
militer, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Demikian ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Untuk mendukung terwujudnya kekuasaan
kehakiman yang merdeka telah diadakan
perubahan terhadap UU Nomor 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasan
Kehakiman dan UU Nomor 35 Tahun 1999
tentang perubahan UU Nomor 14 tahun
1970 yang diganti dengan UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dan yang terakhir UU Nomor 4 Tahun
2004 tersebut dirubah menjadi UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman.
Salah satu inti dari UU No. 4 tahun
2004 adalah pelaksanaan prinsip satu atap
(one roof system) terhadap lembaga
peradilan baik itu terkait dengan
kelembagaan maupun tehnis administrasi
dan finansial peradilan sebagaimana
ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004. Adapun alasan yang
mengharuskan adanya perubahan atas UU
No. 4 Tahun 204 menjadi UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman adalah
karena UU No. 4 Tahun 2004 belum
mengatur secara komprehensif tentang
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
perubahan tersebut untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan yang terpadu
(integrated justice system).
Di samping itu, untuk memenuhi
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU/2006 yang salah satu amarnya
telah membatalkan Pasal 34 UU No. 4
Tahun 2004. Putusan MK tersebut juga
telah membatalkan ketentuan yang terkait
dengan pengawasan hakim dalam UU No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.10
Adapun hal-hal penting yang ada
dalam UU No. 48 Tahun 2009, antara lain
sebagai berikut:
1. Mereformulasi dan mereposisi
sistematika UU No. 4 Tahun 2004
terkait dengan pengaturan secara
komprehensif subtansi UU No. 48
Tahun 2009, misalnya adanya bab
tersendiri mengenai asas
penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman;
2. Pengaturan umum mengenai
pengawasan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan mendasarkan
pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
3. Pengaturan umum mengenai
pengangkatan dan pemberhentian
hakim dan hakim konstitusi;
4. Pengaturan mengenai pengadilan
khusus yang mempuyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu
10Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri
Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap RUU
tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan
peradilan (PU, PA, dan PTUN) di hadapan sidang
paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009,
hal. 4.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 24
lingkungan badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung;
5. Pengaturan mengenai hakim ad hoc
yang bersifat sementara dan memiliki
keahlian serta pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara;
6. Pengaturan umum mengenai arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan;
7. Pengaturan umum mengenai bantuan
umum bagi pencari keadilan yang tidak
mampu dan pengaturan mengenai pos
bantuan hukum pada setiap
pengadilan;
8. Penegasan bahwa hakim dan hakim
konstitusi adalah pejabat negara; dan
9. Pengaturan umum mengenai jaminan
keamanan dan kesejahteraan hakim
dan hakim konstitusi.11
Harapannya dengan disahkannya
beberapa UU baru tersebut tidak ada lagi
tekanan-tekanan terhadap pelaku
kekuasaan kehakiman (hakim) dalam
melaksanakan tugasnya untuk memutus
suatu perkara. Pada akhirnya dengan sistem
seperti itu independensi dan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman menjadi lebih
terjamin. Menurut Muchsin, pada masa lalu
independensi kekuasaan kehakiman dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu
independen normatif dan independen
empiris. Dari dua macam ini dalam
11Ibid., hlm. 5-6
prakteknya saling berkaitan satu sama lain,
sehingga dilapangan muncul beberapa
bentuk independensi sebagai berikut:
1. Secara normatif independen dan
realitanya juga independen. Disini
antara ketentuan yang ada dalam
perundang-undangan dengan
kenyataan yang ada di lapangan
kekuasaan kehakiman sama-sama
independen. Bentuk ini merupakan
bentuk ideal yang seharusnya terjadi
pada sebuah negara hukum.
2. Secara normatif tidak independen dan
realitanya juga tidak independen. Di
Indonesia, model ini pernah terjadi
pada tahun 1964 ketika UU No 19
Tahun 1964 disahkan, dimana pada
pasal 19 nya disebutkan bahwa
presiden dapat turut atau campur
tangan dalam masalah pengadilan dan
realitanya dilapangan hal itu terjadi.
Model ini merupakan terburuk dari
model kekuasaan kehakiman karena
kekuasaan kehakiman tidak merdeka
dan tidak independen.
3. Secara normatif independen, akan
tetapi realitanya tidak independen. Di
Indonesia, model ini pernah terjadi
pada masa orde baru dimana dalam
peraturan perundang-undangan secara
tegas dinyatakan kekuasaan kehakiman
itu merdeka dan independen akan
tetapi pada kenyataan dilapangan para
hakim dan pelaku kekuasaan
kehakiman sering mendapat intervensi
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
25 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
dari eksekutif dan ekstra yudisial
lainnya.12
Jimly Asshiddiqie, yang dikutip
Muchsin mengkonsepsikan independensi
kekuasaan kehakiman dalam 3 (tiga)
pengertian:
1. Structural independence, yaitu
independensi kelembagaan, disini
dapat dilihat dari bagan organisasi
yang terpisah dari organisasi lain
seperti eksekutif dan yudikatif.
2. Functional independence, yaitu
independensi dilihat dari segi jaminan
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan
kehakiman dari intervensi ekstra
yudisial.
3. Financial independence, yaitu
independensi dilihat dari segi
kemandiriannya dalam menentukan
sendiri anggaran yang dapat menjamin
kemandiriannya dalam menjalankan
fungsi.13
Dari ketiga pengertian independen
tersebut, independensi kekuasaan
kehakiman di Indonesia, sesuai dengan
ketentuan UU No. 4 Tahun 2004 dan UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan
Kehakiman, telah mecakup independensi
dalam pengertian structural independence
dan functional independence, cuma untuk
12Muchsin, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Perubahan UUD 1945”, Makalah yang disampaikan
sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu
Hukum Untag Surabaya tahun 2009, hlm 5. 13Ibid., hlm 4.
financial independence belum sepenuhnya
independen karena masih tergantung pada
APBN yang notabene ditentukan oleh
eksekutif dan legislatif.
Pembaharuan kekuasaan kehakiman,
menurut Robert B. Seiman, pelaksanaannya
dilapangan terkait oleh tiga komponen
utama, yaitu komponen peraturan
perundang-undangan, komponen aparat
penegak hukumnya, dan komponen
anggota masyarakat.14
Komponen peraturan perundang-
undangan di Indonesia telah diadakan
banyak perubahan, baik itu dalam UUD
1945 yang merupakan konstitusi dasar
negara maupun UU tentang kekuasaan
kehakiman serta UU tentang badan
peradilan (PU, PA dan PTUN). Sedangkan
komponen aparat penegak hukum
merupakan dari pelaksanaan penagakan
hukum. Jika mereka baik, maka bisa
dipastikan hukum akan tegak dengan baik,
demikian juga sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Taverne
yang dikutip “berilah aku hakim yang
baik, polisi yang baik dan jaksa yang baik,
dengan Undang-Undang yang kurang baik
sekalipun hasilnya akan lebih baik”.15
Sebagaimana diketahui bahwa pada
masa lalu hakim dalam menjalankan
tugasnya banyak mendapatkan tekanan dan
14Ibid., hlm.8. 15 Ahmad Zaenal Fanani, Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan
Peradilan Agama (Analisis UU No. 48 Tahun 2009
dan UU No. 50 Tahun 2009), Untag, Surabaya, 2010,
hlm. 9.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 26
godaan baik dari penguasa maupun
masyarakat, namun hal itu semua terpulang
pada pribadi aparat penegak hukum,
apakah memiliki keberanian moral untuk
melawan tekanan dan godaan tersebut
dengan tetap berpegang teguh pada hukum
dan keadilan.16Adapun komponen terakhir
adalah komponen anggota masyarakat.
Komponen ini perlu diberikan sosialisai
dan penyadaran hukum sehingga mereka
patuh terhadap hukum dan selalu bertindak
dalam koridor hukum, serta mampu untuk
melakukan kontrol sosial terhadap aparat
penegak hukum.
Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah
di Beberapa Negara
Apabila ditelaah mengenai organisasi
kekuasaan kehakiman di Negara-negara di
dunia terdapat perbedaan antara satu sama
lain. Perbedaan tersebut terbagi dalam dua
golongan besar sebagaimana dikemukakan
C.F. Strong yang dikutip Faisal A. Rani
bahwa “susunan kekuasaan kehakiman
pada Negara-negara yang tergolong dalam
common law state, dimana berlaku konsep
rule of law, tidak terdapat perbedaan forum
peradilan bagi rakyat biasa dan pejabat
pemerintah. Setiap orang akan diperiksa,
diadili, dan diputus oleh badan peradilan
yang sama, yaitu peradilan umum (the
ordinary court). Sedangkan pada Negara-
negara yang tergolong ke dalam
prerogative state, dibedakan forum
16Ibid.
peradilan antara rakyat biasa dan pejabat
pemerintah. Bagi pejabat pemerintah,
dalam menjalankan tugasnya melakukan
kekeliruan atau kesalahan mempunyai
forum peradilan tersendiri, yaitu peradilan
administrasi Negara”.17
Hal yang sama juga diungkapkan oleh
A. V. Dicey yang juga dikutip Faisal A.
Rani bahwa “adanya perbedaan konsep
antara system the rule of law dan droit
administrative, juga menimbulkan dua
system susunan organisasi peradilan, yaitu
judicial court (common law court) dan
administrative court. Pada Negara yang
menganut sistem droit administrative,
terdapat dua susunan peradilan, yaitu
peradilan umum dan peradilan administrasi.
Sedangkan pada Negara dengan system the
rule of law hanya terdapat satu lingkungan
peradilan, yaitu peradilan umum. Banyak
Negara dengan system common law, seperti
Amerika Serikat dan Inggris, persoalan-
persoalan adminitratif atau pemerintahan
dihadapkan pada peradilan biasa, tidak ada
perbedaan antara rakyat biasa dengan
pejabat pemerintah di forum peradilan,
sesuai dengan salah satu unsur the rule of
law, yaitu equality before the law”.18
Perbedaan antara badan peradilan
umum (the ordinary court) dan badan
peradilan administrasi atau peradilan
khusus (the special court) dalam
perkembangannya tidak dapat lagi dilihat
17Faisal A. Rani, Op.Cit., hlm. 76. 18Ibid., hlm. 77.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
27 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
dalam bentuk aslinya. Artinya bahwa
kehadiran peradilan khusus di suatu Negara,
tidak semata-mata berdasarkan konsep
droit administrative, bahkan Negara-negara
dengan system common law membentuk
badan peradilan khusus.
Perbedaan susunan kekuasaan kehakiman
juga terjadi karena bentuk Negara, misalnya
pada bentuk Negara federasi dan negara
kesatuan. Susunan kekuasaan kehakiman pada
Negara yang berbentuk federal tercermin pada
susunan organisasi dan yurisdiksi badan
peradilan, seperti di Amerika Serikat, dimana
Amerika Serikat sebagai Negara yang
berbentuk federal, tentu mempunyai sistem
pemerintahan federal dan sistem negera-
negara bagian. Dengan demikian doktrin
pemisahan kekuasaan berlaku pada dua
tingkatan, pada tingkat nasional (federal)
wewenang pemerintah federal dibagi antara
tiga cabang kekuasaan yang berbeda, dan pada
tingkatan lainnya kekuasaan dibagi antara
pemerintah federal dan Negara-negara bagian.
Akibat dari susunan kekuasaan Negara yang
ditetapkan dalam konstitusi, susunan
organisasi kekuasaan kehakiman (badan
peradilan) di Amerika Serikat, diatur dalam
suatu system ganda (dual court system), yaitu
sistem badan peradilan federal dan sistem
masing-masing Negara bagian. Ketika
konstitusi Amerika Serikat dirancang pada
tahun 1787 pada Negara-negara bagian sudah
berkembang suatu sistem Negara bagian
masing-masing.19
Sedangkan susunan
19Ibid.hal 78.
organisasi kekuasaan kehakiman pada bentuk
Negara kesatuan, tercermin dalam bentuk
susunan organisasi kekuasaan kehakiman
Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM
SEBAGAI PENYELENGGRA
KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM
PRAKTEK
Pelaksanaan Tanggung Jawab Hakim
dalam Lingkup Peradilan Umum
Sebagai Penyelenggara Kekuasaan
Kehakiman
Penegakan supremasi hukum
berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan serta penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia secara
universal.Menurut sistem pemerintahan
Indonesia yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasar kepada
kekuasaan belaka (machtsstaat), dan
prinsip penyelenggaraan peradilan yang
menetapkan “Pengadilan adalah benteng
terakhir penegakan hukum dan keadilan”
belum memberikan hasil maksimal.
Pengadilan yang didambakan dapat
memberikan putusan yang mengakhiri
kemelut masyarakat, justeru menetapkan
putusan yang memicu bentrokan dalam
masyarakat. Demikian pula, pengadilan
masih sering menempatkan dirinya sebagai
“pemelihara dan pelindung” kepentingan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 28
kekuasaan dan penguasa.Pengadilan
merupakan bagian dari Mahkamah Agung,
di mana di tataran negara Indonesia,
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi
negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan pemegang
kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara.
Mahkamah Agung Republik Indonesia
dalam melaksanakan visi dan misinya
adalah untuk mewujudkan supremasi
hukum melalui kekuasaan kehakiman yang
mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan
kepercayaan publik, profesional dan
memberikan pelayanan hukum yang
berkualitas, etis, terjangkau dan biaya
rendah bagi masyarakat serta mampu
menjawab panggilan pelayanan
publik.Pengadilan, sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman merupakan salah
satu unsur penting dalam sebuah negara
hukum (rechtsstaat) yang harus memenuhi
kriteria mandiri (independen), netral (tidak
berpihak), dan kompeten yang dapat
menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Oleh karena itu, posisi profesi hakim
sebagai aktor utama lembaga peradilan
menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat
segala kewenangan yang dimilikinya, di
mana hakim dapat mengubah,
mengalihkan, atau bahkan mencabut hak
dan kebebasan warga negara, dan semua itu
dilakukan dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan. Besarnya
kewenangan dan tingginya tanggung jawab
hakim ditunjukkan melalui putusan
pengadilan yang selalu diucapkan dengan
irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jadi dalam
hal ini kewajiban hakim dalam
menegakkan keadilan tidak hanya
dipertanggungjawabkan kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang
Maha Esa.20
Jadi setiap profesi di berbagai
bidang termasuk profesi hakim memiliki
nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan
pedoman dalam kehidupan profesi yang
bersangkutan. Demikian halnya dengan
profesi hakim di Indonesia, di mana
terdapat suatu kode etik yang didasarkan
pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia
serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi
hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif.
Apabila dilihat dari profesi hakim
sebagai penyelenggara kekuasaan
kehakiman terdapat tiga unsur pokok,yaitu
:
1. Tugas, yaitu kewajiban dan
kewenangan atau kekuasaan yang
harus dilaksanakan untuk kemudian
diperinci lebih lanjut tentang cara
melaksanakannya.
2. Aparat, yaitu pelaksana tugas tersebut
20 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
29 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
yang terdiri atas komponen pelaksana,
pendukung, dan penunjang.
3. Lembaga, yaitu wadah (struktur dan
organisasi) beserta sarana dan
prasarana tempat para aparat
melaksanakan tugasnya.21
Bagi seorang aparat penegak hukum
seperti halnya hakim, mendapat suatu tugas
berarti memperoleh sebuah tanggung jawab
yang terkait tiga hal, yaitu (1) mendapat
kepercayaan untuk dapat mengemban
tugas, (2) merupakan suatu kehormatan
sebagai pengemban tugas, dan (3)
merupakan suatu amanat yang harus dijaga
dan dijalankan.
Tanggung jawab dapat dibedakan atas
tiga jenis, yaitu tanggung jawab moral,
tanggung jawab hukum, dan tanggung
jawab teknis profesi. Tanggung jawab
moral adalah tanggung jawab sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kehidupan
profesi yang bersangkutan, baik bersifat
pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi
suatu lembaga yang merupakan wadah para
aparat bersangkutan. Sementara tanggung
jawab hukum diartikan sebagai tanggung
jawab yang menjadi beban aparat untuk
dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak
melanggar rambu-rambu hukum.
Sedangkan tanggung jawab teknis profesi
merupakan tuntutan bagi aparat untuk
21 Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi
Hakim,” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan,
(Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 1.
melaksanakan tugasnya secara profesional
sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku
dalam bidang profesi yang bersangkutan,
baik bersifat umum maupun ketentuan
khusus dalam lembaganya.
Apabila ditelaah dari tanggung jawab
moral hakim, maka hal ini dihadapkan pada
tujuan akhir profesi hakim adalah
ditegakkannya keadilan. Cita hukum
keadilan yang terapat dalam das sollen
(kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan
alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat
dalam etika profesi. Salah satu etika profesi
yang telah lama menjadi pedoman profesi
ini sejak masa awal perkembangan hukum
dalam peradaban manusia adalah The Four
Commandments for Judges dari Socrates.
Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat,
yaitu (1)To hear corteously (mendengar
dengan sopan dan beradab), (2) To answer
wisely (menjawab dengan arif dan
bijaksana), (3) To consider soberly
(mempertimbangkan tanpa terpengaruh
apapun) dan (4)To decide impartially
(memutus tidak berat sebelah).22
Hal ini dibenarkan oleh beberapa
hakim yang diwawancarai bahwa tanggung
jawab profesi hakim dalam pelaksanaannya
adalah selalu berhadapan dengan
penegakan hukum dan keadilan. Dalam
kenyataan kedua hal tersebut sering kali
22Wildan Suyuthi, “Etika Profesi, Kode Etik,
dan Hakim dalam Pandangan Agama” dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode
Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2006.hlm. 28.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 30
menjadi dilema bagi hakim dalam
mempertimbangkan suatu putusan, di mana
disatu sisi hakim harus melakukan suatu
upaya penegakan hukum tetapi di sisi lain
harus melihat rasa keadilan yang harus
dihormati dalam masyarakat. Penegakan
hukum yang harus dilakukan terkadang
melukai rasa keadilan dalam masyarakat.23
Secara umum, yang harus dilakukan
hakim terhadap pihak ketiga yang menjadi
pencari keadilan dalam persidangan adalah
(1) Bersikap dan bertindak menurut garis-
garis yang ditentukan dalam hukum acara
yang berlaku, (2) Tidak dibenarkan
bersikap yang menunjukkan memihak atau
bersimpati atau antipati terhadap pihak-
pihak yang berperkara, (3) Harus bersikap
sopan, tegas, dan bijaksana dalam
memimpin sidang, baik dalam ucapan
maupun perbuatan, (4) Harus menjaga
kewibawaan dan kekhidmatan persidangan;
dan (5) Bersungguh-sungguh mencari
kebenaran dan keadilan.Sementara itu,
terhadap profesinya sendiri, seorang hakim
juga harus menjaga perilakunya, baik
kepada atasan, sesama rekan, maupun
bawahan. Terhadap atasan, seorang hakim
harus bersikap:
1. Taat kepada pimpinan;
2. Menjaankan tugas-tugas yang telah
digariskan dengan jujur dan ikhlas;
3. Berusaha memberi saran-saran yang
membangun;
23 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
4. Mempunyai kesanggupan untuk
mengeluarkan serta mengemukakan
pendapat tanpa meningalkan norma-
norma kedinasan; dan
5. Tidak dibenarkan mengadakan resolusi
terhadap atasan dalam bentuk
apapun.24
Terhadap sesama rekan, hakim
haruslah memelihara dan memupuk
hubungan kerja sama yang baik antar
sesama rekan, memiliki rasa setia kawan,
tenggang rasa, dan saling menghargai
antarsesama rekan, memiliki kesadaran,
kesetiaan, penghargaan terhadap korps
hakim; dan menjaga nama baik dan
martabat rekan-rekan, baik di dalam
maupun di luar kedinasan. Begitu pula
terhadap bawahan/pegawai, setiap hakim
selayaknya bersikap:
1. Harus mempunyai sifat kepemimpinan;
2. Membimbing bawahan untuk
mempertinggi kecakapan;
3. Harus mempunyai sikap sebagai
seorang bapak/ibu yang baik;
4. Memelihara sikap kekeluargaan antara
bawahan dengan hakim; dan
5. Memberi contoh kedisiplinan.
Rasa tanggung jawab moral profesi
hakim juga harus ditunjukan dari sikap
hakim di luar kedinasan. Oleh karena itu, di
luar kedinasannya berprofesi di pengadilan,
24 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
31 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
hakim juga harus senantiasa menjaga sikap
dan perilakunya. Terhadap diri pribadi,
seorang hakim harus: memiliki kesehatan
jasmani dan rohani, berkelakuan baik dan
tidak tercela, tidak menyalahgunakan
wewenang untuk kepentingan pribadi
maupun golongan, menjauhkan diri dari
perbuatan-perbuatan asusila dan kelakuan
yang dicela oleh masyarakat dan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan yang
merendahkan martabat hakim.Selain
tanggung jawab moral di atas, hakim juga
memilik tanggung jawab secara hukum
khususnya apabila dikaitkan dengan
beberapa peraturan perundang-undangan
yang memiliki kaitan dengan hakim dan
peradilan mencantumkan dan mengatur
pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum
profesi hakim. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mencantumkan beberapa tanggung jawab
profesi yang harus ditaati oleh hakim,
yaitu:
a. Bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat
b. Bahwa dalam mempertimbangkan
berat ringannya pidana, hakim wajib
memperhatikan pula sifat yang baik
dan jahat dari terdakwa
c. Bahwa hakim wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami isteri meskipun telah
bercerai, dengan ketua, salah seorang
Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau
Panitera
Pada tanggung jawab teknis profesi,
penilaian terhadap sesuai atau tidaknya
tindakan yang dilakukan oleh hakim
dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal
yang paling diutamakan. Selain itu,
penilaian terhadap kinerja dan
profesionalisme hakim dalam menjalankan
tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap
hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya
sebagai profesional di bidang hukum, baik
di dalam maupun di luar kedinasan, secara
materi dan formil. Oleh karena itu, adalah
suatu hal yang mutlak bagi para hakim
untuk memahami secara mendalam aturan-
aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidakmampuan hakim
dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal
dengan istilah unprofessional conduct
dianggap sebagai pelanggaran yang harus
dijatuhi sanksi.
Berdasarkan uraian di atas, dalam
pelaksanaan tanggung jawab hakim dalam
lingkup peradilan umum sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman,
hakim adalah sebagai aktor utama
penyelenggara kekuasaan kehakiman.
Profesi hakim dianggap sebagai pembawa
keadilan, dimana orang yang sedang
berkonflik mempercayakan hidupnya
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 32
kepada seorang hakim untuk menentukan
nasibnya menghendaki seorang hakim
haruslah memiliki sosok yang dianggap
hamper mendekati orang yang sempurna.
Walaupun demikian semua tindak tanduk
hakim jelas lah harus dibatasi dan diawasi
karena kodrat sang hakim yang juga
sebagai manusia biasa. Keberadaan kode
etik dari profesi hakim memegang peranan
sebagai rel yang mengarahkan seorang
hakim dalam berkelakuan baik dalam
menjalankan tugas sehari-hari di
pengadilan dan ketika dia berada di luar
pengadilan.
Hakim memiliki kedudukan dan
peranan yang penting demi tegaknya
negara hukum. Oleh karena itu, terdapat
beberapa nilai yang dianut dan wajib
dihormati oleh penyandang profesi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini
diartikan sebagai sifat atau kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, lahir maupun batin. Bagi manusia,
nilai dijadikan landasan, alasan, atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah
laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-
nilai yang terkandung dalam pelaksanaan
tanggung jawab hakim adalah sebagai
berikut:
1. Profesi hakim merupakan profesi yang
merdeka
2. Nilai keadilan juga tercermin dari
kewajiban hakim untuk
menyelenggarakan peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan dan
dalam mengadilitidak boleh membeda-
bedakan orang dan wajib menghormati
asas praduga tak bersalah,
bertanggungjawabsecara horizontal
kepada sesama manusia dan secara
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. Hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukumnya tidak ada atau
kurang jelas.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja
sama dan kewibawaan korps.
5. Hakim harus senantiasa
mempertanggungjawabkan segala
sikap dan tindakannya.
6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai
obyektivitas.
Sebagai aktor utama lembaga peradilan,
posisi, dan peran hakim menjadi sangat
penting, terlebih dengan segala
kewenangan yang dimilikinya. Melalui
putusannya, seorang hakim dapat
mengalihkan hak kepemilikan seseorang,
mencabut kebebasan warga negara,
menyatakan tidak sah tindakan sewenang-
wenang pemerintah terhadap masyarakat,
sampai dengan memerintahkan
penghilangan hak hidup seseorang.
Semua kewenangan yang dimiliki oleh
hakim harus dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak
membeda-bedakan orang seperti diatur
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
33 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
dalam lafal sumpah seorang hakim, di
mana setiap orang sama kedudukannya di
depan hukum dan hakim. Namun demikian
terhadap hakim yang dalam pelaksanaan
tugasnya juga tidak terlepas dari
penyelewengan dan pelanggaran terhadap
kedudukan yang disandang oleh seorang
hakim. Penyelewengan dan pelanggaran
tersebut akan berdampak pada citra dirinya
hakim di mata masyarakat. Oleh karena itu
diperlukan adanya penerapan sanksi
terhadap pelanggaran dimaksud yang
diawali dengan adanya pengaduan
masyarakat.
Berdasarkan data pada Komisis
Yudisial diketahui bahwa pengaduan
masyarakat yang masuk ke Komisis
Yudisial terhadap perilaku hakim sejak
2005 hingga 2011 sebanyak 13 ribu lebih
laporan, namun laporan yang diregistrasi
sebanyak 3.179 laporan karena banyak
laporan yang tidak memenuhi syarat. Dari
3.179 laporan yang diregistrasi, hanya 273
laporan yang ditindaklanjuti oleh Komisis
Yudisial dan sebanyak 477 hakim dipanggil
untuk dimintai klarifikasi. Hasilnya,
sebanyak 134 hakim direkomendasikan
untuk mendapat sanksi karena melanggar
kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan
18 hakim di antaranya direkomendasikan
untuk diberhentikan tetap atau dipecat.25
Muzayyin mengatakan sebagian besar
25 Metro TV, Komisi Yudisial
Rekomendasikan 134 Hakim Dihukum
http://www.metrotvnews.com., Diakses, Februari
2012
pengaduan masyarakat yang masuk ke
Komisi Yudisial adalah laporan
ketidakpuasan terhadap putusan majelis
hakim, dan Komisi Yudisial memiliki
kewenangan untuk memeriksa cara hakim
menjatuhkan putusan. Komisi Yudisial
tidak punya kewenangan untuk memeriksa
hasil putusan hakim, namun Komisi
Yudisial memeriksa cara hakim untuk
menjatuhkan putusan itu berdasarkan kode
etik dan pedoman perilaku hakim.
Berdasarkan penelaahan pada berbagai
media diketahui bahwa Komisi Yudisial
(KY) dalam periode 2005 hingga 2011
telah memberikan rekomendasi kepada
Mahkamah Agung agar memberikan sanksi
kepada 134 hakim karena melanggar
melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Sanksi tersebut dapat berupa sanksi ringan
yakni sanksi tertulis, sanksi sedang,
diberhentikan sementara, dan sanksi yang
terberat adalah diberhentikan tetap atau
dipecat.26
Menurut Muzayyin Mahbub, dari 134
hakim yang direkomendasi untuk mendapat
sanksi tersebut, sebanyak 18 hakim
direkomendasikan untuk dipecat karena
terbukti melanggar kode etik dan perilaku
hakim, serta pelanggaran yang tergolong
berat, sedangkan sisanya direkomendasikan
untuk teguran tertulis. Rekomendasi
pemecatan hakim diserahkan kepada MA
dan sebanyak 7 hakim yang sudah
26 Muzayyin Mahbub, Sekretaris Jenderal
Komisi Yudisial, dialog interaktif
http://www.metrotvnews.com/Diakses Februari 2012
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 34
ditindaklanjuti, sedangkan sisanya masih
dalam proses di Mahkamah Agung.27
Muzayyin Mahbub, juga mengakui
bahwa pihaknya tidak dapat membuka
identitas hakim-hakim yang
direkomendasikan untuk diberhentikan
karena etikanya harus tertutup, termasuk
pemeriksaan hakim yang bermasalah
karena KY tidak memiliki kewenangan
untuk mempublikasikan hakim-hakim yang
sedang diperiksa. Demikian pula halnya
dengan pemeriksaan hakim yang
menangani kasus Antasari Azhar, Komisis
Yudisial tidak pernah membuka pada
publik pemeriksaan hakim yang menangani
kasus Antasari Azhar diketahui media dari
pengacara Antasari. Namun demikian
apabila telah masuk tahap pemeriksaan di
tingkat majelis kehormatan hakim di
Mahkamah Agung, maka proses di sana
sudah terbuka dan dapat diketahui oleh
publik.
Berdasarkan hal tersebut di atas
jelaslah bahwa terhadap hakim dalam
pelaksanaan tanggung jawabnya sebagai
penyelengggaran kekuasaan kehakiman
juga dibatasi dengan adanya lembaga
pengawas yaitu Komisi Kehormatan
Profesi Hakim yang berwenang
memberikan pertimbangan dan sanksi bagi
hakim yang melakukan pelanggaran kode
etik sebagai tindak lanjut fungsi
pengawasan. Selain itu, juga terdapat
Komisi Yudisial sebagai Lembaga
27Ibid.
Pengawas Eksternal.
Kendala yang Dihadapi dalam
Pelaksanaan Tanggung Jawab Hakim
sebagai Penyelengggaran Kekuasaan
Kehakiman
Pelaksanaan tanggung jawab hakim
sebagai penyelengggaran kekuasaan
kehakiman dalam setiap perkara perkara
yang ditanganinya akan dilihat, diakui atau
dibenarkan telah terjadi peristiwa tersebut.
Hakim melakukan pembuktian dengan alat-
alat bukti dalam mendapatkan kepastian
peristiwa tersebut dikualifisir termasuk
dalam hubungan hukum apa atau yang
mana. Hakim akan mencari ketentuan-
ketentuan yang dapat diterapkan pada
peristiwa hukum yang bersangkutan.28
Jadi,
Hakim akan menerapkan hukum terhadap
peristiwa dan menilainya serta pada
gilirannya menetapkan hukumnya kepada
peristiwa yang bersangkutan, barang tentu
ia memberikan keadilan sesuai dengan
penilaiannya. Eksistensi Keadilan
memerlukan peranan Hakim dalam
penerapannya. Konkretisasi keadilan hanya
mungkin bilamana Hakim memahami
kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.
Namun demikian dalam pelaksanaan
tanggung jawab hakim sebagai
penyelengggaran kekuasaan kehakiman
juga tidak terlepas dari adanya berbagai
kendala. Hal ini disebabkan karena Hakim
28 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
35 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
dalam mengaktualisasi ide keadilan
memerlukan situasi yang kondusif, baik
yang berasal dari faktor eksternal maupun
internal dari dalam diri seorang Hakim.
Jika ditelusuri, faktor yang mempengaruhi
hakim penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dalam mentransformasikan ide
keadilan, antara lain adanya jaminan
terhadap kebebasan peradilan/Hakim,
kualitas profesionalisme Hakim dan
penghayatan etika profesi Hakim. Faktor
pertama merupakan faktor eksternal,
sedangkan dua faktor terakhir merupakan
faktor internal. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada uraian berikut:29
Jaminan Kebebasan Peradilan
(Indepedency of Judiciary)
Kebebasan peradilan sudah menjadi
keharusan bagi tegaknya negara hukum
(rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak
memihak dalam memutus sengketa, dan
dalam situasi yang kondusif tersebut,
Hakim akan leluasa untuk
mentransformasikan ide-ide dalam
pertimbangan-pertimbangan putusan. Di
Indonesia jaminan terhadap indepedency of
judiciary telah dipancangkan sebagai
pondasi dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945
yang dipertegas dalam penjelasan
dimaksud “Kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinyaterlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah,
29 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
berhubung dengan itu harus diadakan
jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para Hakim”. Hal tersebut
dipertegas lagi dalam penjelasan Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman yang
mengatakan “Kekuasaan kehakiman yang
merdeka ini mengandung pengertian di
dalamnya kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak kekuasaan
negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan,
directiva atau rekomendasi yang datang
dari pihak ekstra yudisiil kecuali dalam hal-
hal yang diijinkan oleh Undang-Undang”.
Kekuasaan kehakiman yang mandiri
mempunyai dua tujuan. Pertama agar
melakukan fungsi dan kewenangan
peradilan secara jujur, dan adil, kedua, agar
kekuasaan kehakiman mampu berperan
melakukan pengawasan terhadap semua
tindakan penguasa. Sedangkan konsekuensi
dari kekuasaan kehakiman yang merdeka
adalah :
1) Supremasi hukum, di mana setiap
penyelesaian sengketa harus sesuai
dengan proses yang ditentukan hukum
berdasarkan asas perlakuan yang sama
di depan hukum dan perlindungan
yang sama didepan hukum;
2) Peradilan sebagai katup penekan
(pressure valve), Lembaga peradilan
diberi wewenang sebagai katup
penekan atas setiap pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh siapapun
dan pihak manapun tanpa kecuali dan
pelanggaran itu meliputi segala bentuk
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 36
perbuatan yang tidak konstitusional,
ketertiban umum dan kepatutan.
3) Peradilan sebagai tempat terakhir (the
last resort) dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan menempatkan
peradilan sebagai tempat terakhir.
4) Peradilan sebagai pelaksana penegakan
hukum.
5) Peradilan dibenarkan bertindak “tidak
demokratis secara fundamental” karena
tidak memerlukan akses dari siapapun,
tidak memerlukan negosiasi dari pihak
manapun dan tidak memerlukan
“kompromi” dari pihak yang
berperkara.
Terdapat kesepakatan umum dalam
komunitas Pengadilan di dunia bahwa
lembaga peradilan diharapkan untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pengadilan memberikan keadilan
individu dalam kasus individual.
b. Pengadilan beroperasi secara
transparan.
c. Pengadilan menyediakan suatu forum
yang tidak memihak dalam
meyelesaikan sengketa hukum.
d. Pengadilan melindungi warga dari
penggunaan kekuasaan pemerintah
yang sewenang-wenang.
e. Pengadilan melindungi yang lemah.
f. Pengadilan membuat dan merawat
catatan formal tentang putusan dan
status hukum.
Kualitas Profesionalisme Hakim
Setiap Hakim dituntut untuk
melaksanakan tugasnya secara profesional,
yakni kemampuan dan ketrampilan Hakim
untuk melaksanakan efesiensi dan
efektifitas putusan. Baik dari segi
penerapan hukumnya, maupun kemampuan
mempertimbangkan putusan berdasarkan
nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, serta
kemampuan memprediksi reaksi dan
dampak sosial atas putusan yang telah
dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah
satu sisi dari mata uang “profesi”,
disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap
profesi mempunyai dua aspek, yakni
profesionalisme sebagai keahlian teknis
dan etika profesi sebagai dasar moralita.
Profesionalisme mempunyai peranan yang
penting, lebih-lebih Hakim mengemban
tanggung jawab dan kewajiban yuridis
yang terkait dengan jabatannya. Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman
mewajibkan Hakim “.....tidak boleh
menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”.
Dalam upaya mewujudkan
profesionalisme Hakim, maka seyogyanya
para Hakim memiliki penguasaan ilmu
yang mendalam dan wawasan yang luas,
yang tercermin dalam bobot dan untuk
putusan yang dijatuhkan dengan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
37 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
kemampuan untuk mengetahui, memahami
dan menghayati hukum yang berlaku serta
mempunyai keberanian menjatuhkan
keputusan berdasarkan hukum dan keadilan.
Penghayatan Etika Profesi Hakim,
Dalam hal ini Etika profesi Hakim
adalah asas-asas moralita yang mendasari
profesi Hakim. Bermakna sebagai
pegangan dalam bersikap dan bertindak
selama mengemban dan menjalankan
jabatan Hakim, baik di dalam maupun di
luar kedinasan. Ikatan Hakim Indonesia
(IKAHI) telah merumuskan kode
kehormatan Hakim Indonesia dalam bentuk
Panca Dharma Hakim, yang merupakan
suatu bentuk pengawasan terhadap
anggotanya.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah
bahwa sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, hakim berwenang menetukan
hukum dan keadilan bagi setiap individu
yang berperkara. Hakim harus memberikan
keadilan kepada setiap pihak dan proses
penyelesainnya tidak memihak walaupun
dalam kenyataannya sebagian budaya
masyarakat cenderung menolak putusan
(perdata) dan pelaksanaan putusan
(eksekusi) memerlukan upaya paksa.
Putusan Hakim wujudnya terdiri dari
susunan kata (bahasa) yang sebenarnya
mengandung kegiatan berfikir yuridik dari
pembuatnya (Hakim). Ia akan
mengkonstatir, mensistimatir serta
menyimpulkan. Kegiatan ini nampak
teraplikasi dalam pemenuhan suatu
peraturan hukum yang akan diterapkan
pada kumpulan peristiwa yang
dikemukakan para pihak, ataupun dalam
pola pikir pertimbangan (motivasi),
sehingga antara pertimbangan hukum dan
keputusannya (amar) mempunyai suatu
rangkaian yang logis. Tetapi yang tidak
kalah pentingnya, secara konseptual
putusan harus memberikan keadilan
individu dalam setiap kasus (perkara).
Namun demikian, kenyataan hakim
dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dalam bentuk putusan hakim
yang merupakan wujud tanggung jawab
dalam mentransformasikan ide keadilan
juga menemui berbagai kendala. Kendala
yang dihadapi hakim dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan
penegakan hukum. Dari hasil wawancara
dengan ketua dan Hakim Pengadilan
Negeri Banda Aceh, dapat dikemukakan
beberapa kendala dan hambatan yang
dihadapi hakim dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu :
1. Hambatan dari segi ketentuan hukum.
Dalam hal ini yang dimaksud
adalah dalam hal penyusunan
ketentuan perundang-undangan,
maksudnyabahwa undang-undang
harus dibuat dengan mengikuti asas-
asas berlakunya undang-undang,
seperti misalnya undang-undang tidak
berlaku surut, undang-undang yang
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 38
bersifat khusus mengesampingkan
undang-undang yang bersifat umum;
undang-undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula;
undang-undang yang berlaku
belakangan membatalkan undang-
undang yang berlaku terdahulu;
undang-undang tidak dapat diganggu
gugat.
Demikian pula pembuatan undang-
undang haruslah memenuhi syarat
filosofis/idologis, syarat yuridis dan
syarat sosiologis, maksudnya undang-
undang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ideologi negara,
dan undang-undang dibuat haruslah
menurut ketentuan yang mengatur
kewenangan pembuatan undang-
undang sebagaimana diatur dalam
Konstitusi negara, serta undang-
undang dibuat haruslah sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat di
mana undang-undang tersebut
diberlakukan. Hambatan dan kendala
dari undang-undang ini timbul akibat
ketentuan undang-undang yang dibuat
sering mengalami perubahan sehingga
mempengaruhi putusan yang telah dan
akan diambil hakim terhadap suatu
permasalahan hukum baik perdata
maupun pidana.
2. Hambatan dari aparat penegak
hukum
Dalam hal ini menyangkut
keterkaitan dan koordinasi dengan
pihak-pihak yang secara langsung
berkaitan dengan bidang penegakan
hukum yang mencakup law
enforcement dan peace maintenance.
Penegak hukum harus menjalankan
tugasnya dengan baik sesuai dengan
peranannya masing-masing yang telah
diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Dalam menjalankan tugas
tersebut dilakukan dengan
mengutamakan keadilan dan
profesionalisme, sehingga menjadi
panutan masyarakat serta dipercaya
oleh semua pihak termasuk semua
anggota masyarakat. Dalam hal ini
kendala terjadi akibat kurangnya
koordinasi antara sesama aparat
penegak hukum lain dalam
penyelenggaraan proses peradilan.
3. Hambatan dari keterbatasan
sumberdaya hakim serta sarana atau
fasilitas pendukung penyelengaraan
kekuasaan kehakiman.
Sarana atau fasilitas`tersebut
mencakup tenaga manusia yang
terdidik dan terampil termasuk tenaga
hakim yang masih sangat terbatas,
organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan
sebagainya. Ketersediaan sarana dan
fasilitas yang memadai merupakan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
39 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
suatu keharusan bagi keberhasilan
penegakan hukum. Hal ini juga terjadi
di Pengadilan Negeri Banda Aceh, di
mana jumlah perkara yang ditangani
tidak sebanding dengan jumlah hakim
yang ada dan mampu menangani
perkara dimaksud. Walaupun jumlah
hakim memadai namun kualitas ndan
profesionalitasnya yang terbatas juga
mempengaruhi kinerja hakim lainnya.
4. Hambatan dari masyarakat pencari
keadilan
Hambatan dari masyarakat adalah
menayngkut persepsi dan budaya
masyarakat di wilayah hukum di mana
pengadilan dan hukum tersebut berlaku
atau diterapkan. Maksudnya warga
masyarakat harus mengetahui dan
memahami hukum yang berlaku, serta
mentaati hukum yang berlaku dengan
penuh kesadaran akan penting dan
perlunya hukum bagi kehidupan
masyarakat. Demikian pula dengan
budaya sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Dalam hal ini kebudayaan mencakup
nilai-nilai yang mendasari hukum yang
berlaku, nilai-nilai mana merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai
apa yang dianggap baik sehingga
dianut, dan apa yang dianggap buruk
sehingga dihindari.
Dalam hal ini di masyarakat sering
terjadi apabila budaya masyarakat
cenderung menolak putusan (perdata)
dan pelaksanaan putusan (eksekusi)
memerlukan adanya upaya paksa.
Dari beberapa hal yang diuraikan
diatas jelaslah bahwa kendala bagi
hakim dalam pelaksanaan tanggung
jawab penyelenggaraan kehakiman
adalah meliputi kendala di bidang
hukum atau ketentuan perundang-
undangan yang menajdi dasar
pertimbangan dan putusan hakim,
kendala koordinasi dengan pihak
aparat penegak hukum yang terlibat
dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman, hambatan dari
keterbatasan sumberdaya hakim serta
sarana atau fasilitas pendukung
penyelengaraan kekuasaan kehakiman
serta hambatan dari pemahamaan dan
budaya hukum masyarakat.
Dengan demikian, berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa hakim
dalam kedudukannya sebagai penegak
hukum merupakan salah satu faktor
yang menentukan pula bagi
keberhasilan penegakan hukum. Oleh
karenanya sebagai penegak hukum,
Hakim merupakan pejabat kunci
keberhasilan penegakan hukum,
maksudnya penentu bagi penjatuhan
sanksi terhadap pelanggar hukum
dengan tidak membedakan status
pelaku. Inilah sebagai kunci hukum
benar-benar ditegakkan dengan tidak
pandang bulu. Oleh karenanya dalam
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 40
menjatuhkan putusan atas suatu
perkara, Hakim harus benar-benar
menemukan suatu kebenaran akan
peristiwanya sehingga dapat
menentukan sanksi yang dijatuhkan
bersamaan putusan yang dijatuhkan
pula. Dengan dijatuhkannya putusan
berarti suatu bentuk keadilan harus
terwujud diantara berbagai pihak
terutama yang terlibat suatu perkara
yang bersangkutan, dikarenakan setiap
putusan Hakim pasti berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Putusan Hakim yang buat hakim
mempertaruhkan citra Hakim di mata
masyarakat, di mana putusan yang
tidak menimbulkan rasa keadilan akan
memunculkan cemoohan bagi Hakim,
meskipun dengan dalih berdasarkan
bukti-bukti yang diajukan beserta
keyakinannya Hakim sudah maksimal
memeriksa perkara yang bersangkutan.
Sering Hakim lupa dalam memeriksa
suatu perkara, dianggapnya perkara
tersebut adalah perkara-perkara yang
sama saja satu dengan yang lain.
Dalam hal ini Hakim sering memeriksa
suatu perkara secara individual dengan
mengacu pada perkara-perkara yang
sejenis yang telah diputuskan oleh
Hakim yang lalu karena putusannya itu
dianggapnya sebagai yuriprudensi.
Namun Hakim yang demikian
sebenarnya telah melupakan bahwa
situasi sosial telah berubah. Kondisi
sosial masyarakat mengalami
perubahan seiring dengan
berkembangnya kebutuhan masyarakat
akan pemenuhan hidup sehari-hari.
Perubahan sosial berpengaruh pula
pada pola hidup dan sikap tindak setiap
anggota masyarakat, dan yang paling
utama kadang hukum tertinggal dari
perubahan masyarakat. Oleh karenanya
tidaklah mudah untuk menentukan
bahwa suatu perkara yang sejenis yang
telah diputus dianggap sama dengan
perkara yang sedang diperiksa. Hakim
sering mengabaikan keadilan yang
diharapkan ada saat menghadapi
perkara. Bahkan kadang dengan dalih
“benar atau salah” Hakim melupakan
rasa keadilan yang diinginkan oleh
pihak-pihak yang terlibat perkara yang
bersangkutan. Apalagi Hakim
dihadapkan pada aneka macam hukum
(hukum adat) yang tersebar di banyak
suku di negeri ini. Jiwa berani
memutus perkara dengan adil masih
kurang mewarnai hati nurani Hakim.
Hal ini seringnya terjadi suatu putusan
Hakim diprotes oleh sebagian rakyat
yang merasa Hakim kurang adil dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan,
seperti kasus pengrusakan Pengadilan
Negeri Larantuka Nusa Tenggara
Timur oleh massa karena tidak puas
akan putusan Hakim, berbagai kasus
lainnya yang selama ini berkembang
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
41 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
sehingga menimbulkan persepsi yang
tidak baik bagi profesi hakim sebagai
pemegang dan penyelenggara
kekuasaan kehakiman.30
Dalam kaitannya dengan
penegakan hukum, keberhasilan
penegakan hukum sangat terkait
dengan penerapan serasi antara nilai-
nilai yang berkembang dan diyakini
kebenarannya oleh masyarakat dengan
kaidah serta dengan perilaku nyata
manusia. Oleh karenanya agar hukum
berfungsi dengan baik, maka
diperlukan adanya untuk mengatasi
keempat kendala tersebut di atas di
atas saling berkaitan serta merupakan
inti dari sistem penegakan hukum.
Dengan demikian perilaku Hakim
dalam menjatuhkan putusan juga
haruslah memperhatikan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat.
Dengan beragamnya adat istiadat suku
bangsa yang ada di Indonesia, Hakim
harus cermat dalam memahami setiap
kasus yang diperiksanya. Untuk itu
putusan yang dijatuhkan merupakan
putusan “kasuistis” yang tidak dapat
disamakan dengan kasus-kasus yang
mirip dan sudah pernah terjadi.
Apalagi menyangkut kasus pidana,
kecermatan dan wawasan yang luas
akan nilai-nilai adat yang berkembang
dalam masyarakat menjadi keharusan
30Tempo Interaktif, 15 November 2003 dan
berbagai kasus lainnya hasil analisis dari informasi
berbagai media.
bagi seorang Hakim agar citranya tidak
tercoreng di mata masyarakat, lebih-
lebih soal kehati-hatian dan non
diskriminan serta tidak melakukan
“jual-beli” perkara menjadi harga mati
yang harus dilakukan oleh seorang
Hakim.
Lebih lanjut dapat pula dijelaskan
bahwa timbulnya kendala dalam
penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman dan penyalahgunaan
wewenang di lembaga peradilan
disebabkan oleh banyak faktor, antara
lain adalah tidak efektifnya
pengawasan internal yang diterapkan
di badan peradilan baik di tingkat
daerah maupun nasional. Lemahnya
pengawasan internal tersebut dapat
praktek selama ini disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:31
1. Kualitas dan integritas pengawas yang
tidak memadai;
2. Proses pemeriksaan disiplin yang
tidak transparan;
3. Belum adanya kemudahan bagi
masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau
proses serta hasilnya (ketiadaan
akses);
4. Semangat membela sesama korps
(esprit de corps) yang mengakibatkan
penjatuhan hukuman tidak seimbang
dengan perbuatan. Setiap upaya untuk
31 Hasil Wawancara dengan Ketua dan
Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Agustus –
September 2011
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 42
memperbaiki suatu kondisi yang buruk
pasti akan mendapat reaksi dari pihak
yang mendapatkan keuntungan dari
kondisi yang buruk itu; dan
5. Tidak adanya kehendak yang kuat dari
pimpinan lembaga penegak hukum
untuk menindaklanjuti hasil
pengawasan.
Hal-hal yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa tidak efektifnya
fungsi pengawasan internal badan peradilan
pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu adanya semangat membela
sesama korps (esprit de corps) dan tidak
adanya kehendak yang sungguh-sungguh
dari pimpinan badan peradilan untuk
menindaklanjuti hasil pengawasan internal
terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi
hakim yang terbukti melakukan
pelanggaran hukum dan kode etik untuk
mendapat “pengampunan” dari pimpinan
badan peradilan yang bersangkutan akan
semakin terbuka. Oleh karena itu,
kehadiran suatu lembaga khusus yang
menjalankan fungsi pengawasan eksternal
terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
Selain itu, lemahnya penegakan hukum
terhadap aparatur yang terkait dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
juga disebabkan oleh kinerja aparat
penegak hukum lainnya seperti, kepolisian,
kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) yang belum menunjukkan
sikap yang profesional dan integritas moral
yang tinggi. Kondisi sarana dan prasarana
hukum yang sangat diperlukan oleh aparat
penegak hukum juga masih jauh dari
memadai sehingga sangat mempengaruhi
pelaksanaan penegakan hukum untuk
berperan secara optimal dan sesuai dengan
rasa keadilan di dalam masyarakat. Untuk
meningkatkan pemberdayaan terhadap
lembaga peradilan dan lembaga penegak
hukum lainnya, peningkatan kualitas dan
kemampuan aparat penegak hukum yang
lebih profesional, berintegritas,
berkepribadian dan bermoral tinggi perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan sistem
perekrutan dan promosi aparat penegak
hukum, pendidikan dan pelatihan, serta
mekanisme pengawasan yang lebih
memberikan peran serta yang besar kepada
masyarakat terhadap perilaku aparat
penegak hukum. Upaya lain adalah dengan
mengupayakan peningkatan kesejahteraan
aparat penegak hukum yang sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagai
bagian dari upaya penegakan supremasi
hukum, secara kelembagaan posisi
kepolisian dan kejaksaan yang belum
mandiri menjadi penyebab tidak
berjalannya penegakan hukum yang efektif,
konsisten, dan berkeadilan.
Krisis kepercayaan masyarakat
terhadap hukum disebabkan, antara lain,
karena masih banyaknya kasus korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) dan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
yang belum tuntas penyelesaiannya secara
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
43 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
hukum. Dalam rangka memulihkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap
hukum, upaya yang akan dilakukan adalah
dengan menginventarisasi dan
menindaklanjuti secara hukum berbagai
kasus KKN dan HAM. Upaya lain yang
akan ditempuh adalah dengan melakukan
pemberdayaan terhadap aparat penegak
hukum, khususnya aparat kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Demikian juga dengan pemberian bantuan
hukum kepada masyarakat yang tidak
mampu merupakan salah satu prioritas
untuk dilaksanakan dalam pembangunan
hukum.
Adanya kekerasan horizontal dan
vertikal pada dasarnya disebabkan
melemahnya penerapan nilai-nilai budaya
dan kesadaran hukum masyarakat yang
mengakibatkan rendahnya kepatuhan
masyarakat terhadap hukum dan timbulnya
berbagai tindakan penyalahgunaan
kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang.
Demikian juga kurangnya sosialisasi
peraturan perundang-undangan baik
sebelum maupun sesudah ditetapkan baik
kepada masyarakat umum maupun kepada
penyelenggara negara untuk menciptakan
persamaan persepsi, seringkali
menimbulkan kesalahpahaman antara
masyarakat dengan penyelenggara negara
termasuk aparat penegak hukum. Upaya
yang akan dilakukan adalah dengan
meningkatkan pemahaman dan penyadaran
hukum di semua lapisan masyarakat
terhadap pentingnya hak-hak dan
kewajiban masing-masing individu yang
pada akhirnya diharapkan akan membentuk
budaya hukum yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pelaksanaan tanggung jawab hakim
dalam lingkup peradilan umum sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman
adalah manifestasi dari tugas yang menjadi
kewajiban sebagai aparatur negara di
bidang yudikatif. Hal ini diwujudkan dalam
tiga yaitu tanggung jawab moral, tanggung
jawab hukum dan tanggung jawab teknis
profesi. Tanggung jawab profesi hakim
dimaksud mengandung (a) nilai
kemerdekaan dan keadilan, (b) nilai
keterbukaan, (c) Nilai kerja sama dan
tanggungjawab sikap dan tindakan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan sesama manusia,
(d) nilai hakim wajib menjunjung tinggi
nilai obyektivitas. Bentuk tanggung jawab
profesi hakim diwwujudkan dengan adanya
sanksi hukum bagi hakim yang melanggar
kode etik dan perilaku dapat dikenakan
sanksi berupa sanksi ringan yakni sanksi
tertulis, sanksi sedang, diberhentikan
sementara, dan sanksi yang terberat adalah
diberhentikan tetap atau dipecat. Pemberian
sanksi sebagaimana dilakukan terhadap 134
hakim yang direkomendasi Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung agar
memberikan sanksi kepada 134 hakim
karena melanggar melanggar kode etik dan
perilaku hakim.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 44
Kendala bagi hakim dalam pelaksanaan
tanggung jawab penyelenggaraan kehakiman
adalah meliputi kendala di bidang hukum atau
ketentuan perundang-undangan yang menajdi
dasar pertimbangan dan putusan hakim,
kendala koordinasi dengan pihak aparat
penegak hukum yang terlibat dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
hambatan dari keterbatasan sumberdaya hakim
serta sarana atau fasilitas pendukung
penyelengaraan kekuasaan kehakiman serta
hambatan dari pemahamaan dan budaya
hukum masyarakat. Padahal hakim dalam
kedudukannya sebagai penegak hukum
merupakan salah satu faktor yang menentukan
pula bagi keberhasilan penegakan hukum.
Saran
Disarankan kepada hakim agar dalam
memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hukum yang terjadi agar dapat
menerapkan berbagai ketentuan hukum
sesuai dengan tempatnya mengingat hakim
sebagai penegak hukum mempunyai
kedudukan yang amat penting dalam
keberhasilan upaya penegakan
hukum.Disarankan kepada hakim dengan
kedudukannya sebagai kunci dalam upaya
penegakan hukum agar dalam
pelaksanaannya berpedoman pada
ketentuan hukum tanpa pandang bulu
artinya tidak memandang terhadap
siapapun dan apapun objeknya.
Disarankan agar Mahkamah Agung dan
Komisis Yudisial agar dapat mengupayakan
adanya koordinasi dalam penegakan hukum
terhadap pelaku penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman termasuk dengan mengupayakan
peningkatan sumberdaya hakim dan
pengadaan sarana dan prasarana pendukung
lainnya. Disarankan pembuat perundang-
undangan agar dalam pembuatan suatu
ketentuan yang terkait dengan penegakan
hukum tidak gegabah karena dapat
mempengaruhi upaya penegakan hukum bila
nantinya diterapkan nantinya diterapkan dalam
masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks
Ahsin Thohari, A., Komisi Yudisial dan
Reformasi Peradilan, Elsam, 2004.
Dicey, A.V., Introduction to Study of The Law of
The Constitution, Ninth Edition,
Macmillan And Co, Limited ST. Martin’s
Street, London, 1952.
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat
(Analisis Terhadap Pemerintahan
Indonesia dan Perbandingannya dengan
Negara-Negara Lain), Nusamedia,
Bandung, 2007
Faisal A. Rani, Fungsi dan Kedudukan
Makamah Agung Sebagai Penyelenggara
Kekuasaan kehakiman yang sesuai dengan
Paham Negara Hukum, Syiah Kuala
University Press, Banda Aceh, 2009.
Fudiman, Membedah Konsep Kedaulatan
Rakyat dari Pancasila dan UUD 1945,
BPK Penabur, Jakarta, 2006
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat
dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,
1994.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil,
Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum,
Pradnya Pramita, Jakarta, 1996.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
45 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.
Notohamidjojo, O., Makna Negara Hukum Bagi
Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum
Bagi Pembaharuan Masyarakat di
Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta,
1970.
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di
Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang
Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya,
1972.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka,, Jakarta, 1966.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1997
Sjachran Basyah, Tiga Tulisan tentang Hukum,
Armico, Bandung, 1986.
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi
Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta, 2001.
Soerjono Soekanto Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003.
Tahir Azhary, M., Negara Hukum, Bulan
Bintang, Jakarta, 1992.
Tasrif, S., “Kemandirian Kekuasaan
Kehakiman” dalam Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut
dan Luhut M.P. Pangaribuan, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta 1989.
Von Schmid, J.J., Pemikiran Tentang Negara
dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988.
Wildan Suyuthi, “Etika Profesi, Kode Etik, dan
Hakim dalam Pandangan Agama,” dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2006.
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209)
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 36, Lembaran
Negara Nomor 3258)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Peradilan Umum
Disertasi
Bintan Regen Saragih, Peranan DPR-GR
Periode 1965-1971 Dalam Menegakkan
Kehidupan Ketatanegaraan yang
Konstitusional Berdasarkan UUD 1945,
Disertasi, Unpad, Bandung, 1991.
Hamid S. Attamimi, A., Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara;
Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi,
Fakultas Pascasarjana UI, 1990.
Makalah/Jurnal
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia
Edisi IV, Universitas Parahyangan,
Bandung, 2000.
Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi Hakim,”
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of
Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2006.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 46
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan, Menuju
Independensi Kekuasaan Kehakiman,
Indonesian Center for Environmental Law
(ICEL) dan Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan (LeIP),
Jakarta, 1999.
Mahkamah Agung, Pembukaan Pedoman
Perilaku Hakim, MA RI, Jakarta, 2006.
Marbun, S.F., Negara Hukum dan Kekuasaan
Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997.
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang,
Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun.
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan,
Makalah, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1998.
Internet
Annonimous, Teori Negara hukum,
http://wahy.multiply.com/Diakses Maret
2011
Kelik Pramundya, Teori Kedaulatan,
http://click-
gtg.blogspot.com/2009/03/teori-
kedaulatan.html, Diakses Oktober 2010.
Sonny Pungus, Teori Kewenangan,
http://sonny-tobelo.blogspot.com/html
Diakses Maret 2011