Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180 Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 31 Pages pp. 16- 46 Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 16 TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Jamaluddin 1 , Husni 2 , Eddy Purnama 2 1) Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Abstract: Article 24 (1) of the Constitution of 1945 states that the judiciary power is independent to conduct the trial in order to defence the law and justice. Then, Article 40 (1) of the Act Number 48, 2009 regarding the Judiciary Power regulates that in terms of keeping and keeping honor, dignity, and the attitute of the judges, the Judicial Commission has the authority on it. However, there is the fact that there is the offense towards the ethical and behaviorr of judges that can have bad impact on justice seekers. The research reveals that the implementation of judge responsibility in thae First Instance Court as the beholder of judial power is a manifestation from the duty that is as obligation of them working the the judicial field. This is realized in three ways that are moral responsibility, legal responsibility, and professional responsibility. Such responsibility having by judges contains: (a) value of freedom and justice, (b) Transparancy value, (c) the value of cooperation and responsibility and the behaves towards the God and humanbeings, (d) the value obliging the judge to respect the objectivity. The responsibility forms of the judge is realised by imposing punishment for them who violate the ethic code and due to their behaves , they can also be punished by light punishment that is wriiten punishment, medium sanction that is temporary forcibly quit from working, and heavy one that is by firing them forever. The imposition of punishment towards 134 of the judge recommended by the Judicial Commission to the Supreme Court in terms of imposing punishment as violating the ethic code and laws. The constraints faced by the judges in conducting his responsibility in beholding the judicial power are the obstacle in legal aspect or the rules of the statutes that are as the fundamental consideration and judge decision, the constraints of coordination with the law defenders involving in implementation of the judicial power, the constraints of the limitation of human resources of the judges and supporting facilities of its implementation and the understanding of the public view on it. In fact, the judge in its position as law defender is one of determining factors for the success of justice. It is recommended that the judges should consider and decide the case of law violations that exist; hence they can impose the rules based on its proportionality due to the fact that the judges as law defenders has an important role in law enforcement. In addition, the judge as a key in enforcing the law should refer to the law in on their duties without discriminating to whom they are imposing the law. Furthermore, the Supreme Court and the Judicial Commission should make an effort to coordinate in enforcing the law towards the violators in holding the judiciary power including by improving human resources capacity and availing the facilities supporting the judicial process. Keywords: Responsibility and Judge Profession Abstrak: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Namun dalam praktek dalam penyelenggaraannya tetap saja ditemukan adanya pelangaran terhadap kode etik dan perilaku hakim yang dapat merugikan pencari keadilan. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan tanggung jawab hakim dalam lingkup peradilan umum sebagai
31
Embed
TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM SEBAGAI …TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA Jamaluddin1, Husni2, ... Tujuan penulisan tesis...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Ilmu Hukum ISSN 2302-0180
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 31 Pages pp. 16- 46
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 16
TANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DI
INDONESIA
Jamaluddin1, Husni
2, Eddy Purnama
2
1) Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
2) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Abstract: Article 24 (1) of the Constitution of 1945 states that the judiciary power is independent to conduct the trial in order to defence the law and justice. Then, Article 40 (1) of the Act Number 48, 2009 regarding the Judiciary Power regulates that in terms of keeping and keeping honor, dignity, and the attitute of the judges, the Judicial Commission has the authority on it. However, there is the fact that there is the offense towards the ethical and behaviorr of judges that can have bad impact on justice seekers. The research reveals that the implementation of judge responsibility in thae First Instance Court as the beholder of judial power is a manifestation from the duty that is as obligation of them working the the judicial field. This is realized in three ways that are moral responsibility, legal responsibility, and professional responsibility. Such responsibility having by judges contains: (a) value of freedom and justice, (b) Transparancy value, (c) the value of cooperation and responsibility and the behaves towards the God and humanbeings, (d) the value obliging the judge to respect the objectivity. The responsibility forms of the judge is realised by imposing punishment for them who violate the ethic code and due to their behaves , they can also be punished by light punishment that is wriiten punishment, medium sanction that is temporary forcibly quit from working, and heavy one that is by firing them forever. The imposition of punishment towards 134 of the judge recommended by the Judicial Commission to the Supreme Court in terms of imposing punishment as violating the ethic code and laws. The constraints faced by the judges in conducting his responsibility in beholding the judicial power are the obstacle in legal aspect or the rules of the statutes that are as the fundamental consideration and judge decision, the constraints of coordination with the law defenders involving in implementation of the judicial power, the constraints of the limitation of human resources of the judges and supporting facilities of its implementation and the understanding of the public view on it. In fact, the judge in its position as law defender is one of determining factors for the success of justice. It is recommended that the judges should consider and decide the case of law violations that exist; hence they can impose the rules based on its proportionality due to the fact that the judges as law defenders has an important role in law enforcement. In addition, the judge as a key in enforcing the law should refer to the law in on their duties without discriminating to whom they are imposing the law. Furthermore, the Supreme Court and the Judicial Commission should make an effort to coordinate in enforcing the law towards the violators in holding the judiciary power including by improving human resources capacity and availing the facilities supporting the judicial process.
Keywords: Responsibility and Judge Profession
Abstrak: Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Namun dalam praktek dalam penyelenggaraannya tetap saja ditemukan adanya pelangaran terhadap kode etik dan perilaku hakim yang dapat merugikan pencari keadilan. Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan tanggung jawab hakim dalam lingkup peradilan umum sebagai
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
17 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
penyelenggara kekuasaan kehakiman telah berjalan sesuai ketentuan yang berlaku dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tanggung jawab hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan tanggung jawab hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tiga yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum dan tanggung jawab teknis profesi. Tanggung jawab profesi hakim dimaksud mengandung (a) nilai kemerdekaan dan keadilan, (b) nilai keterbukaan, (c) Nilai kerja sama dan tanggungjawabsikap dan tindakankepada Tuhan Yang Maha Esa dan sesama manusia, (d) nilai hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Bentuk tanggung jawab profesi hakim diwujudkan dengan adanya sanksi hukum bagi hakim yang melanggar kode etik dan perilaku berupa sanksi ringan yakni sanksi tertulis, sanksi sedang, diberhentikan sementara, dan sanksi yang terberat adalah diberhentikan tetap atau dipecat. Pemberian sanksi sebagaimana dilakukan terhadap 134 hakim yang direkomendasi Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung agar memberikan sanksi kepada 134 hakim karena melanggar melanggar kode etik dan perilaku hakim. Kendala bagi hakim dalam pelaksanaan tanggung jawab penyelenggaraan kehakiman adalah meliputi kendala di bidang hukum atau ketentuan perundang-undangan yang menajdi dasar pertimbangan dan putusan hakim, kendala koordinasi dengan pihak aparat penegak hukum yang terlibat dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hambatan dari keterbatasan sumberdaya hakim serta sarana atau fasilitas pendukung penyelengaraan kekuasaan kehakiman serta hambatan dari pemahamaan dan budaya hukum masyarakat. Padahal hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum merupakan salah satu faktor yang menentukan pula bagi keberhasilan penegakan hukum. Disarankan kepada hakim agar dalam memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hukum yang terjadi agar dapat menerapkan berbagai ketentuan hukum sesuai dengan tempatnya mengingat hakim sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan yang amat penting dalam keberhasilan upaya penegakan hukum.Disarankan agar Mahkamah Agung dan Komisis Yudisial dapat mengupayakan adanyakoordinasi dalam penegakan hukum terhadap pelaku penyelenggaraan kekuasaan kehakiman termasuk dengan mengupayakan peningkatan sumberdaya hakim dan pengadaan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Kata Kunci: Analisis Yuridis, Narkotika, Pidana Perawatan dan Rehabilitasi
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum.1
Oleh karena itu, negara
diselenggarakan atas dasar hukum, atau
sering juga disebut negara hukum
(rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machstaat). Kekuasaan yang
dimiliki pemerintah timbul setelah adanya
hukum yang mengatur segalanya atas
negara. Sejalan dengan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
1 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang- Dasar 1945 (Pasca
Amandemen ke 4)
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 18
menegakkan hukum dan keadilan.2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. SelanjutnyaPasal 24B ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut tiga
lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan
tersebut sehingga badan ini sering disebut
sebagai lembaga ekstra-yudisial. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
UU Kekuasaan Kehakiman
2Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(1) Dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku
hakim dilakukan pengawasan eksternal
oleh Komisi Yudisial.
(2) Dalam melakukan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Ketentuan tersebut di atas merupakan
sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu
(integrated justice system). Sistem
peradilan terpadu ini sebagai bentuk
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yang merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum.
Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian
halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana
fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
19 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres
III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.3 Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai
hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi
hakim dan Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia terus berlangsung. Ketentuan
terbaru Mahkamah Agung (MA)
menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya
Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun Komisi Yudisial (KY), sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari
ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar
konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Sophian Marthabaya yang dikutip Iskandar
Jamil berpendapat bahwa “Suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi
yang bersangkutan yang akan menjalankan
kode etik tersebut. Namun, sangat tidak etis
apabila kode etik disusun oleh suatu
institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman
untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan
3Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi Hakim,” dalam
Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode
Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Mahkamah
Agung RI, 2006), hal. 3.
pekerjaan tersebut.4
Kode etik suatu profesi dibuat untuk
mengatur perilaku dan sepak terjang individu
profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian
dari agenda reformasi telah menjadi komitmen
pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde
Baru hingga saat ini. Namun demikian,
harapan pencari keadilan terhadap lembaga
peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum
seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang
berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku
pejabat peradilan yang dianggap tercela,
hingga dugaan adanya mafia peradilan
(judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat
terhadap lembaga peradilan. Hal ini juga
terjadi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh
sehingga menarik penulis untuk melakukan
penelaahan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab hakim dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
METODE PENELITIAN
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menegaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum.5
Oleh karena itu, negara
diselenggarakan atas dasar hukum, atau
4Ibid., hal 4 5 Pasal 1 ayat (3) Undang-undang- Dasar 1945 (Pasca
Amandemen ke 4)
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 20
sering juga disebut negara hukum
(rechstaat), tidak atas dasar kekuasaan
belaka (machstaat). Kekuasaan yang
dimiliki pemerintah timbul setelah adanya
hukum yang mengatur segalanya atas
negara. Sejalan dengan ketentuan tersebut,
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut
maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.6
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
6 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. SelanjutnyaPasal 24B ayat (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan tersebut tiga
lembaga negara yang termasuk dalam
lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2),
hanya MA (dan badan peradilan di
bawahnya) dan MK yang merupakan
penyelenggara kekuasaan kehakiman,
sedangkan KY tidak memiliki kewenangan
tersebut sehingga badan ini sering disebut
sebagai lembaga ekstra-yudisial. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1)
UU Kekuasaan Kehakiman
(1) Dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim dilakukan
pengawasan eksternal oleh Komisi
Yudisial.
(2) Dalam melakukan
pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
21 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Ketentuan tersebut di atas merupakan
sebagai upaya untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan terpadu
(integrated justice system). Sistem
peradilan terpadu ini sebagai bentuk
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
yang merupakan kekuasaan yang merdeka
yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum.
Setiap profesi di berbagai bidang
memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk
dijadikan pedoman dalam kehidupan
profesi yang bersangkutan. Demikian
halnya dengan profesi hakim di Indonesia,
di mana terdapat suatu kode etik yang
didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat
universal bagi hakim sebagai pelaksana
fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi
hakim untuk mengatur tata tertib dan
perilaku hakim dalam menjalankan
profesinya.Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan
Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres
III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.7 Seiring
berjalannya waktu, perkembangan berbagai
7Iskandar Kamil, “Kode Etik Profesi Hakim,”
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct),
Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan,
(Mahkamah Agung RI, 2006), hal. 3.
hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi
hakim dan Kode Etik Profesi Hakim
Indonesia terus berlangsung. Ketentuan
terbaru Mahkamah Agung (MA)
menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim
bersamaan dengan disosialisasikannya
Pedoman Etika Perilaku Hakim yang
disusun Komisi Yudisial (KY), sehingga
peristiwa ini menjadi bagian dari
ketidaksepahaman antara MA dan KY.
Berkaitan dengan fenomena yang
tengah berkembang di masyarakat seputar
konflik antara MA dan KY, Hakim Agung
Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Sophian Marthabaya yang dikutip Iskandar
Jamil berpendapat bahwa “Suatu kode etik
berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga
sebuah kode etik harus disusun oleh profesi
yang bersangkutan yang akan menjalankan
kode etik tersebut. Namun, sangat tidak etis
apabila kode etik disusun oleh suatu
institusi di luar profesi yang akan
menjadikan kode etik itu sebagai
pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman
untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri
oleh pihak yang akan menjalankan
pekerjaan tersebut.8
Kode etik suatu profesi dibuat untuk
mengatur perilaku dan sepak terjang individu
profesional dalam menjalankan profesinya.
Penegakan supremasi hukum sebagai bagian
dari agenda reformasi telah menjadi komitmen
pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde
Baru hingga saat ini. Namun demikian,
8Ibid., hal 4
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 22
harapan pencari keadilan terhadap lembaga
peradilan sebagai benteng terakhir untuk
memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat
memuaskan seluruh pihak. Masyarakat
mengkritik bahwa lembaga peradilan belum
seperti yang diharapkan. Lambat menangani
perkara, biaya yang mahal, administrasi yang
berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku
pejabat peradilan yang dianggap tercela,
hingga dugaan adanya mafia peradilan
(judicial corruption) menjadi alasan tidak
percayanya sebagian besar masyarakat
terhadap lembaga peradilan. Hal ini juga
terjadi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh
sehingga menarik penulis untuk melakukan
penelaahan lebih lanjut mengenai tanggung
jawab hakim dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman.
KAJIAN PUSTAKA
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945
Negara Indonesia adalah Negara
Hukum. Penegasan Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan hukum
dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 dan perubahannya yang menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum Konsekuensi dari
penegasan tersebut adalah adanya
perlindungan hak asasi manusia, adanya
kekuasaan kehakiman yang merdeka
dengan menyelenggarakan peradilan yang
bebas dan tidak memihak, serta adanya
legalitas dalam arti hukum dalam segala
bentuknya.
Pada hakikatnya cita-cita untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan mandiri merupakan cita-cita
universal. Hal ini bisa dilihat dalam Basic
Principles On Independence of The
Judiciary, yang diajukan oleh Majelis
Umum PBB (Resolusi 40/32 tanggal 29
Nopember 1985 dan resolusi 40/146
tanggal 13 Desember 1985). Juga bisa
dilihat pada Beijing Statement Of
Principles Of The Independence The Law
Asia Region Of The Judiciary di Manila
tanggal 28 Agustus 1997, dimana
didalamnya ditegaskan bahwa:
1. Kehakiman merupakan institusi nilai
yang tertinggi pada setiap masyarakat;
2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan
bahwa hukum memutuskan sebuah
perkara sepenuhnya atas dasar
pemahaman undang-undang dan
terbebas dari pengaruh dari manapun,
baik langsung maupun tidak langsung,
hakim memiliki yurisdiksi atas segala
isu yang memerlukan keadilan.9
Di Indonesia kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan
Badan Peradilan yang ada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum,
9 Muchsin, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Perubahan UUD 1945”, Makalah, yang
disampaikan sebagai bahan kuliah di Program
Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya tahun 2009.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
23 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
peradilan agama, peradilan TUN, peradilan
militer, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Demikian ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Untuk mendukung terwujudnya kekuasaan
kehakiman yang merdeka telah diadakan
perubahan terhadap UU Nomor 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasan
Kehakiman dan UU Nomor 35 Tahun 1999
tentang perubahan UU Nomor 14 tahun
1970 yang diganti dengan UU Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dan yang terakhir UU Nomor 4 Tahun
2004 tersebut dirubah menjadi UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman.
Salah satu inti dari UU No. 4 tahun
2004 adalah pelaksanaan prinsip satu atap
(one roof system) terhadap lembaga
peradilan baik itu terkait dengan
kelembagaan maupun tehnis administrasi
dan finansial peradilan sebagaimana
ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004. Adapun alasan yang
mengharuskan adanya perubahan atas UU
No. 4 Tahun 204 menjadi UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasan Kehakiman adalah
karena UU No. 4 Tahun 2004 belum
mengatur secara komprehensif tentang
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
perubahan tersebut untuk memperkuat
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan
mewujudkan sistem peradilan yang terpadu
(integrated justice system).
Di samping itu, untuk memenuhi
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU/2006 yang salah satu amarnya
telah membatalkan Pasal 34 UU No. 4
Tahun 2004. Putusan MK tersebut juga
telah membatalkan ketentuan yang terkait
dengan pengawasan hakim dalam UU No.
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.10
Adapun hal-hal penting yang ada
dalam UU No. 48 Tahun 2009, antara lain
sebagai berikut:
1. Mereformulasi dan mereposisi
sistematika UU No. 4 Tahun 2004
terkait dengan pengaturan secara
komprehensif subtansi UU No. 48
Tahun 2009, misalnya adanya bab
tersendiri mengenai asas
penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman;
2. Pengaturan umum mengenai
pengawasan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan mendasarkan
pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
3. Pengaturan umum mengenai
pengangkatan dan pemberhentian
hakim dan hakim konstitusi;
4. Pengaturan mengenai pengadilan
khusus yang mempuyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu
10Pendapat akhir presiden yang diwakili menteri
Hukum dan HAM Andi Matalatta terhadap RUU
tentang Kekuasaan Kehakiman dan RUU badan
peradilan (PU, PA, dan PTUN) di hadapan sidang
paripurna DPR RI tertanggal 29 September 2009,
hal. 4.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 24
lingkungan badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung;
5. Pengaturan mengenai hakim ad hoc
yang bersifat sementara dan memiliki
keahlian serta pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara;
6. Pengaturan umum mengenai arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa di
luar pengadilan;
7. Pengaturan umum mengenai bantuan
umum bagi pencari keadilan yang tidak
mampu dan pengaturan mengenai pos
bantuan hukum pada setiap
pengadilan;
8. Penegasan bahwa hakim dan hakim
konstitusi adalah pejabat negara; dan
9. Pengaturan umum mengenai jaminan
keamanan dan kesejahteraan hakim
dan hakim konstitusi.11
Harapannya dengan disahkannya
beberapa UU baru tersebut tidak ada lagi
tekanan-tekanan terhadap pelaku
kekuasaan kehakiman (hakim) dalam
melaksanakan tugasnya untuk memutus
suatu perkara. Pada akhirnya dengan sistem
seperti itu independensi dan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman menjadi lebih
terjamin. Menurut Muchsin, pada masa lalu
independensi kekuasaan kehakiman dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu
independen normatif dan independen
empiris. Dari dua macam ini dalam
11Ibid., hlm. 5-6
prakteknya saling berkaitan satu sama lain,
sehingga dilapangan muncul beberapa
bentuk independensi sebagai berikut:
1. Secara normatif independen dan
realitanya juga independen. Disini
antara ketentuan yang ada dalam
perundang-undangan dengan
kenyataan yang ada di lapangan
kekuasaan kehakiman sama-sama
independen. Bentuk ini merupakan
bentuk ideal yang seharusnya terjadi
pada sebuah negara hukum.
2. Secara normatif tidak independen dan
realitanya juga tidak independen. Di
Indonesia, model ini pernah terjadi
pada tahun 1964 ketika UU No 19
Tahun 1964 disahkan, dimana pada
pasal 19 nya disebutkan bahwa
presiden dapat turut atau campur
tangan dalam masalah pengadilan dan
realitanya dilapangan hal itu terjadi.
Model ini merupakan terburuk dari
model kekuasaan kehakiman karena
kekuasaan kehakiman tidak merdeka
dan tidak independen.
3. Secara normatif independen, akan
tetapi realitanya tidak independen. Di
Indonesia, model ini pernah terjadi
pada masa orde baru dimana dalam
peraturan perundang-undangan secara
tegas dinyatakan kekuasaan kehakiman
itu merdeka dan independen akan
tetapi pada kenyataan dilapangan para
hakim dan pelaku kekuasaan
kehakiman sering mendapat intervensi
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
25 - Volume 1, No. 1, Agustus 2012
dari eksekutif dan ekstra yudisial
lainnya.12
Jimly Asshiddiqie, yang dikutip
Muchsin mengkonsepsikan independensi
kekuasaan kehakiman dalam 3 (tiga)
pengertian:
1. Structural independence, yaitu
independensi kelembagaan, disini
dapat dilihat dari bagan organisasi
yang terpisah dari organisasi lain
seperti eksekutif dan yudikatif.
2. Functional independence, yaitu
independensi dilihat dari segi jaminan
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan
kehakiman dari intervensi ekstra
yudisial.
3. Financial independence, yaitu
independensi dilihat dari segi
kemandiriannya dalam menentukan
sendiri anggaran yang dapat menjamin
kemandiriannya dalam menjalankan
fungsi.13
Dari ketiga pengertian independen
tersebut, independensi kekuasaan
kehakiman di Indonesia, sesuai dengan
ketentuan UU No. 4 Tahun 2004 dan UU
No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan
Kehakiman, telah mecakup independensi
dalam pengertian structural independence
dan functional independence, cuma untuk
12Muchsin, “Kekuasaan Kehakiman Pasca
Perubahan UUD 1945”, Makalah yang disampaikan
sebagai bahan kuliah di Program Doktor Ilmu
Hukum Untag Surabaya tahun 2009, hlm 5. 13Ibid., hlm 4.
financial independence belum sepenuhnya
independen karena masih tergantung pada
APBN yang notabene ditentukan oleh
eksekutif dan legislatif.
Pembaharuan kekuasaan kehakiman,
menurut Robert B. Seiman, pelaksanaannya
dilapangan terkait oleh tiga komponen
utama, yaitu komponen peraturan
perundang-undangan, komponen aparat
penegak hukumnya, dan komponen
anggota masyarakat.14
Komponen peraturan perundang-
undangan di Indonesia telah diadakan
banyak perubahan, baik itu dalam UUD
1945 yang merupakan konstitusi dasar
negara maupun UU tentang kekuasaan
kehakiman serta UU tentang badan
peradilan (PU, PA dan PTUN). Sedangkan
komponen aparat penegak hukum
merupakan dari pelaksanaan penagakan
hukum. Jika mereka baik, maka bisa
dipastikan hukum akan tegak dengan baik,
demikian juga sebaliknya. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh Taverne
yang dikutip “berilah aku hakim yang
baik, polisi yang baik dan jaksa yang baik,
dengan Undang-Undang yang kurang baik
sekalipun hasilnya akan lebih baik”.15
Sebagaimana diketahui bahwa pada
masa lalu hakim dalam menjalankan
tugasnya banyak mendapatkan tekanan dan
14Ibid., hlm.8. 15 Ahmad Zaenal Fanani, Kekuasaan
Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan
Peradilan Agama (Analisis UU No. 48 Tahun 2009
dan UU No. 50 Tahun 2009), Untag, Surabaya, 2010,
hlm. 9.
Jurnal Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 1, No. 1, Agustus 2012 - 26
godaan baik dari penguasa maupun
masyarakat, namun hal itu semua terpulang
pada pribadi aparat penegak hukum,
apakah memiliki keberanian moral untuk
melawan tekanan dan godaan tersebut
dengan tetap berpegang teguh pada hukum
dan keadilan.16Adapun komponen terakhir
adalah komponen anggota masyarakat.
Komponen ini perlu diberikan sosialisai
dan penyadaran hukum sehingga mereka
patuh terhadap hukum dan selalu bertindak
dalam koridor hukum, serta mampu untuk
melakukan kontrol sosial terhadap aparat
penegak hukum.
Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah
di Beberapa Negara
Apabila ditelaah mengenai organisasi
kekuasaan kehakiman di Negara-negara di
dunia terdapat perbedaan antara satu sama
lain. Perbedaan tersebut terbagi dalam dua
golongan besar sebagaimana dikemukakan
C.F. Strong yang dikutip Faisal A. Rani
bahwa “susunan kekuasaan kehakiman
pada Negara-negara yang tergolong dalam
common law state, dimana berlaku konsep
rule of law, tidak terdapat perbedaan forum
peradilan bagi rakyat biasa dan pejabat
pemerintah. Setiap orang akan diperiksa,
diadili, dan diputus oleh badan peradilan
yang sama, yaitu peradilan umum (the
ordinary court). Sedangkan pada Negara-
negara yang tergolong ke dalam
prerogative state, dibedakan forum
16Ibid.
peradilan antara rakyat biasa dan pejabat
pemerintah. Bagi pejabat pemerintah,
dalam menjalankan tugasnya melakukan
kekeliruan atau kesalahan mempunyai
forum peradilan tersendiri, yaitu peradilan
administrasi Negara”.17
Hal yang sama juga diungkapkan oleh
A. V. Dicey yang juga dikutip Faisal A.
Rani bahwa “adanya perbedaan konsep
antara system the rule of law dan droit
administrative, juga menimbulkan dua
system susunan organisasi peradilan, yaitu
judicial court (common law court) dan
administrative court. Pada Negara yang
menganut sistem droit administrative,
terdapat dua susunan peradilan, yaitu
peradilan umum dan peradilan administrasi.
Sedangkan pada Negara dengan system the
rule of law hanya terdapat satu lingkungan
peradilan, yaitu peradilan umum. Banyak
Negara dengan system common law, seperti
Amerika Serikat dan Inggris, persoalan-
persoalan adminitratif atau pemerintahan
dihadapkan pada peradilan biasa, tidak ada
perbedaan antara rakyat biasa dengan
pejabat pemerintah di forum peradilan,
sesuai dengan salah satu unsur the rule of
law, yaitu equality before the law”.18
Perbedaan antara badan peradilan
umum (the ordinary court) dan badan
peradilan administrasi atau peradilan
khusus (the special court) dalam
perkembangannya tidak dapat lagi dilihat
17Faisal A. Rani, Op.Cit., hlm. 76. 18Ibid., hlm. 77.