Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-
vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit,
dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks.
read more>>>
B. Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1
kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels,
2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi
terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam
yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000
populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand,
prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan
hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di
Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE
di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan
low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
C. Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa
penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya
berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek
patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini
akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan
penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear
(ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di
dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik
pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik
untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga
ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear
dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding
pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks
imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan
melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada
fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE.
Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang
memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap
protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis
perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang
mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.
2. Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti
hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol
aritmia jantung). Penyakit diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik
(termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus
obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi
antinuklear secara bertahap.
3. Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus
eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari
jaringan pasien.
4. Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE
pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat
pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen
yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya
autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami
defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik,
karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.
Tabel 1. Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lainAntibodi Insidensi Antigen Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak spesifik
Anti-Sm 30% Ribonukleoprotein (Ag Smith) Spesifik untuk SLEAnti-RNP 40% Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit
jaringan ikat campuranAnti-histon 70% Histon Positif pada 95% kasus SLE
yang diinduksi obatAnti-Ro(SS-A) 30% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom
Sjögren dan nefritisAnti-LA(SS-B) 10% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom
SjögrenAnti-sentromer <5% Sentromer Berkaitan dengan sindrom
CRESTAnti-Sci 70 <5% Topoisomerase DNA Berkaitan dengan sklerosis
sistemikAnti-Jo 1 <5% tRNA sintetase Berkaitan dengan
polimiositisAntibodi lainAntikardiopilin 50% Fosfolipid Berkaitan dengan thrombosis,
aborsi spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
Antieritrosit 60% Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang)Antitrombosit ? Antigen permukaan trombosit TrombositopeniaAntilimfosit 70% Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel TAntineuronal 60% Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf pusat
1Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien
D. Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic
akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon
dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam
bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam
sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu
yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala
umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang
disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE
pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali
mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.
E. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
Artralgia
Artritis (sinovitis)
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Rasa nyeri ketika bergerak
Rasa kaku pada pagi hari.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk
membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi
adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah
autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE
menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan
penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang
spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
Antibody anti – DNA
Antibody anti – SM
Antibody anti – RNP
Antibody anti – Ro
Antibody anti – La
Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan
positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Diagnostik HasilLED Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya inflamasiKadar komplemen Menurun pada penyakit aktifHitung darah lengkap Hitung hemoglobin dan trombosit rendahUrinalisis Proteinuria dan hematuriaBiopsy kulit Perubahan histology yang sesuai dengan lupusANA Positif pada sebagian besar kasusAutoantibody lain :anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La
Hasil bervariasi pada individu
G. Penatalaksanaan
Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat
disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit.
Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala
penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan
pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan
rawat inap.
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit
yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan
umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat
tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid,
seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan
kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang
berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari
hubungan antara stress dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan
prospek kesehatan mereka. Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode
istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti
peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam
membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat
member dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan
ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan
memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup
dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.
H. KomplikasiKomplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi
diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.
Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai
pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
DAFTAR PUSTAKA
Chandrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi / penulis, Parakrama
Chandarsoma, Clive R. Taylor; alih bahasa, Roem Soedoko … [et al] ; editor edisi
bahasa Indonesia, Dewi Asih Mahanani … [et al]. edisi 2. Jakarta : EGC
http://nursingbegin.com/askep-sle/, dikutip pada tanggal 7 Maret 2012
http://susenbopeas.blogspot.com/2009/08/lupus-eritematosus-sistemik.html, dikutip tanggal 8
Maret 2012
Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES).
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-
lupus-eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S.
Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha …[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti
Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Available at :
http//www.tempo.co.id/medika/arsip
Odapus, Orang dengan Penderita Lupus. Available at : http//www.indosiar.com
Reaksi:
0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Minggu, 18 Maret 2012
Systemic Lupus Erythematosus
5:22:00 PM Diposkan oleh Anisa Tri Utami
A. Definisi
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-
vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit,
dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks.
read more>>>
B. Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1
kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels,
2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi
terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam
yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000
populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand,
prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan
hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di
Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE
di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan
low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
C. Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa
penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya
berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek
patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini
akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan
penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear
(ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di
dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik
pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik
untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga
ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear
dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding
pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks
imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan
melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada
fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE.
Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang
memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap
protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis
perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang
mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.
2. Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti
hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol
aritmia jantung). Penyakit diinduksi - obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik
(termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus
obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi
antinuklear secara bertahap.
3. Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus
eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari
jaringan pasien.
4. Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE
pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat
pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen
yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya
autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami
defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik,
karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.
Tabel 1. Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lainAntibodi Insidensi Antigen Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak
spesifikAnti-Sm 30% Ribonukleoprotein (Ag Smith) Spesifik untuk SLEAnti-RNP 40% Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit
jaringan ikat campuranAnti-histon 70% Histon Positif pada 95% kasus SLE
yang diinduksi obatAnti-Ro(SS-A) 30% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom
Sjögren dan nefritisAnti-LA(SS-B) 10% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom
SjögrenAnti-sentromer <5% Sentromer Berkaitan dengan sindrom
CRESTAnti-Sci 70 <5% Topoisomerase DNA Berkaitan dengan sklerosis
sistemikAnti-Jo 1 <5% tRNA sintetase Berkaitan dengan
polimiositisAntibodi lainAntikardiopilin 50% Fosfolipid Berkaitan dengan thrombosis,
aborsi spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
Antieritrosit 60% Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang)Antitrombosit ? Antigen permukaan trombosit TrombositopeniaAntilimfosit 70% Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel TAntineuronal 60% Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf pusat
1Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien
D. Patofisiologi
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic
akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang
terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon
dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam
bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam
sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu
yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti
kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala
umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat
badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang
disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE
pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali
mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.
E. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
Artralgia
Artritis (sinovitis)
Pembengkakan sendi
Nyeri tekan
Rasa nyeri ketika bergerak
Rasa kaku pada pagi hari.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk
membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi
adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah
autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE
menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan
penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang
spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
Antibody anti – DNA
Antibody anti – SM
Antibody anti – RNP
Antibody anti – Ro
Antibody anti – La
Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan
positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Diagnostik HasilLED Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya inflamasiKadar komplemen Menurun pada penyakit aktifHitung darah lengkap Hitung hemoglobin dan trombosit rendahUrinalisis Proteinuria dan hematuriaBiopsy kulit Perubahan histology yang sesuai dengan lupusANA Positif pada sebagian besar kasusAutoantibody lain :anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La
Hasil bervariasi pada individu
G. Penatalaksanaan
Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat
disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit.
Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala
penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan
pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan
rawat inap.
Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai are klinik karena sifat penyakit
yang homogeny. Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan
umum, dermatologi, ortopedik, dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat
tiga komponen asuhan keperawatan yang utama.
1. Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid,
seperti hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan
kuesioner pengkajian kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang
berguna mengenai pemburukan atau kekambuhan gejala.
2. Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari
hubungan antara stress dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan
prospek kesehatan mereka. Advis tentang keseimbangan antara aktivitas dan periode
istirahat, pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti
peningkatan keletihan, nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam
membantu pasien mengembangkan strategi koping dan menjamin masalah
diperhatikan dengan baik.
3. Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat
member dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan
ketrampilan konseling ahli. Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan
memungkinkan kepatuhan dan kendali personal yang lebih baik terhadap gaya hidup
dan penatalaksanaan regimen bagi mereka.
H. KomplikasiKomplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi
diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap
sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute.
Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.
Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai
pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
DAFTAR PUSTAKA
Chandrasoma, Parakrama. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi / penulis, Parakrama
Chandarsoma, Clive R. Taylor; alih bahasa, Roem Soedoko … [et al] ; editor edisi
bahasa Indonesia, Dewi Asih Mahanani … [et al]. edisi 2. Jakarta : EGC
http://nursingbegin.com/askep-sle/, dikutip pada tanggal 7 Maret 2012
http://susenbopeas.blogspot.com/2009/08/lupus-eritematosus-sistemik.html, dikutip tanggal 8
Maret 2012
Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES).
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-erytematosus-sle-atau-
lupus-eritematosus-sistemik-les/, dikutip tanggal 3 Maret 2012
Kneale, Julia D. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma/ editor Julia D Kneale, Ptere S.
Davis; alih bahasa, Egi Komara Yudha …[et al]; editor edisi bahasa Indonesia, Tuti
Hadiningsih, Sari Isnaeni, Ni Putu Indri Mahayuni. Edisi 2. Jakarta : EGC
Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik. Available at :
http//www.tempo.co.id/medika/arsip
Odapus, Orang dengan Penderita Lupus. Available at : http//www.indosiar.com
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakitcollagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.B. EpidemiologiSLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada Polynesiansebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.C. EtiologiPenyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifaktor, mencakup :a. Genetikb. Infeksic. Lingkungand. Stresse. Cahaya mataharif. Faktor Resiko : hormon; imunitas; obatAda sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear (ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering menurun pada fase aktif SLE.Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE. Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit,
leukosit, dan trombosit, yang mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.2. Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia jantung). Penyakit diinduksi – obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara bertahap.3. Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari jaringan pasien.4. Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4) juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR.
Tabel Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lainAntibodi Insidensi Antigen Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda adalah spesifik untuk SLE; anti-DNA untai-tunggal tidak spesifik
Anti-Sm 30% Ribonukleoprotein (Ag Smith)
Spesifik untuk SLE
Anti-RNP 40% Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit jaringan ikat campuran
Anti-histon 70% Histon Positif pada 95% kasus SLE yang diinduksi obat
Anti-Ro(SS-A) 30% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom Sjögren dan nefritis
Anti-LA(SS-B) 10% Ribonukleprotein Berkaitan dengan sindrom Sjögren
Anti-sentromer <5% Sentromer Berkaitan dengan sindrom CREST
Anti-Sci 70 <5% Topoisomerase DNA Berkaitan dengan sklerosis sistemik
Anti-Jo 1 <5% tRNA sintetase Berkaitan dengan polimiositis
Antibodi lainAntikardiopilin 50% Fosfolipid Berkaitan dengan
thrombosis, aborsi spontan; antkoagulan lupus; VDRL positif palsu
Antieritrosit 60% Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang)
Antitrombosit ? Antigen permukaan trombosit TrombositopeniaAntilimfosit 70% Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel TAntineuronal 60% Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf
pusat1Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasienD. PatofisiologiPenyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan.Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris.E. Manifestasi Klinik
Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah artralgia, dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien mengeluh lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam pegal linu seluruh tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang menonjol. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula sebagai eritema papul atau plak bersisik. Dapat pula terjadi kelaian darah berupa anemia hemoditik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, gastrointestinal, gangguan saraf dan kelainan psikatrik.Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:· Artralgia· Artritis (sinovitis)· Pembengkakan sendi· Nyeri tekan· Rasa nyeri ketika bergerak· Rasa kaku pada pagi hari.F. Pemeriksaan DiagnostikDiagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:· Antibody anti – DNA· Antibody anti – SM· Antibody anti – RNP· Antibody anti – Ro· Antibody anti – LaTidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah ini.
Pemeriksaan Diagnostik HasilLED Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya
inflamasiKadar komplemen Menurun pada penyakit aktifHitung darah lengkap Hitung hemoglobin dan trombosit rendahUrinalisis Proteinuria dan hematuriaBiopsy kulit Perubahan histology yang sesuai dengan lupusANA Positif pada sebagian besar kasusAutoantibody lain :anti – DNA, anti – SM, anti – RNP, anti – Ro, dan anti – La
Hasil bervariasi pada individu
G. PenatalaksanaanPengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit. Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan rawat inap. ml pada tiap lesi.
Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim kortikosteroid. Bercak lebih besar resisten, kadang memerlukan pengobatan selama beberapa bulan dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau dengan obat imunosupresan seperti digunakan untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Krim steroid yang kuat sebaliknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-2 kali/hari. Sampai bercak menghilang jika bercak sudah mulai kurang bisa digunakan krim steroid yang lebih ringan.Salep cortison yang dioleskan pada lesi sering kali dapat memperbaiki keadaan dan memperlambat perkembangan penyakit. Suntikan cortison yang dioleskan pada dalam lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan bisanya lebih efektif dari pada salep.Lupus discoid tidak disebabkan oleh malaria, tetapi obat anti malaria ( cloroquine, hydroxcloroquine ) memiliki daya anti peradangan yang ampuh bagi sebagian besar kasus lupus discoid.H. KomplikasiKomplikasi lupus eritematosus sistemik1. Serangan pada Ginjala) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).2. Serangan pada Jantung dan Parua) Pleuritisb) Pericarditisc) Efusi pleurad) Efusi pericarde) Radang otot jantung atau Miocarditisf) Gagal jantungg) Perdarahan paru (batuk darah).3. Serangan Sistem Sarafa) Sistem saraf pusat· Cognitive dysfunction· Sakit kepala pada lupus· Sindrom anti-phospholipid· Sindrom otak· Fibromyalgia.b) Sistem saraf tepi· Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kakic) Sistem saraf otonom· Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.4. Serangan pada Kulit· Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi diskoid· Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuhc) Lesi non spesifik- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.5. Serangan pada Sendi dan Otot- Radang sendi pada lupus- Radang otot pada lupus6. Serangan pada Mata7. Serangan pada Darah· Anemia· Trombositopenia· Gangguan pembekuan· Limfositopenia8. Serangan pada Hati