Systemic Lupus Erytematosus Lydia Margaretha 10-2010-136 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat. Email: [email protected]Pendahuluan Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multi sistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Systemic Lupus Erytematosus
Lydia Margaretha
10-2010-136
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Anamnesis merupakan wawancara medis yang merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien atau secara tidak langsung. Tujuan dari
anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang bersangkutan.
Informasi yang dimaksud adalah data medis organobiologis, psikososial, dan lingkungan
pasien, selain itu tujuan yang tidak kalah penting adalah membina hubungan dokter pasien
yuang profesional dan optimal.1
Data anamnesis terdiri atas beberapa kelompok data penting:
1. Identitas pasien
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat pribadi, sosial-ekonomi-budaya
Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering berkaitan
dengan masalah klinik maupun gangguang sistem organ tertentu.
Keluhan utama pasien datang ialah pasien mengatakan merasa lemah sejak 3 bulan
yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang pasien ialah pasien mengatakan sejak 2 bulan lalu sering
mengalami nyeri pada jari-jari kedua tangan serta kaku pagi hari. Rambut pasien juga terasa
banyak rontok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali
memerah bila sebentar saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai paying saat
aktivitas di luar ruangan. Berat badan tidak menurun dan badan terasa hangat hilang timbul.
Pemeriksaan Fisik
Status :
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut nadi : 82x/menit
Frekuensi nafas : 18x/menit
Suhu : 37⁰C
2
Kepala dan leher :
Mata : konjungtiva anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Kel. Getah Bening : tidak tampak membesar
Organ lain :
Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Status lokasi :
Manus dextra : phalanx proksimal digiti II-IV; nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-)
Manus sinistra : phalanx proksimal digiti II-IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-)
Pemeriksaan Laboratorium2
Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan darah yang dilakukan ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, penetapan
nilai hematokrit, pemeriksaan laju endap darah, dan menghitung jumlah masing-masing sel
darah (leukosit, eritrosit,trombosit). Laju endap darah pada SLE biasanya meningkat. Ini
adalah uji non spesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit. Pemeriksaan urin juga dilakukan untuk mengetahui adanya protein,
leukosit, maupun eritrosit dalam urin penderita. Uji ini dapat membantu dalam menentukan
adanya komplikasi ginjal dan memantau perkembangan penyakit ini.
Pemeriksaan kimia darah
Pemeriksaan kimia darah yang dilakukan ialah seperti pemeriksaan SGOT, SPGT,
kolesterol, kreatinin, asam urat, dan ureum.
Anti ds-DNA
Batas normal : 70 – 200 IU/mL
Negatif : < 70 IU/mL
Positif : > 200 IU/mL
3
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Uji faktor LE
Uji laboratorium yang sudah dipakai sebelumnya dan yang terkadang masih dipakai
sampai sekarang adalah uji faktor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit
pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan
IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. Sel LE mudah
dikenali, sel LE merupakan suatu neutrofil yang mengandung materi homogen, yaitu badan
LE. Inti sel ini terdorong ke salah satu sisi dan menipis. Sel LE dapat juga ditemukan pada
gangguan sistemik lainnya dari penyakit reumatik yang juga diperantarai oleh imunitas.
Antinuclear antibodies (ANA)
Normal: nol
ANA digunakan untuk mendiagnosis SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel. ANA cukup
sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE.
Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan penyakit
reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga
jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain,
tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith
(anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La).
4
Frekuensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada SLE:
Anemia 60%
Leukopenia 45%
Trombocytopenia 30%
False test for syphilis 25%
Lupus anticoagulant 7%
Anti-cardiolipin antibody 25%
Direct coomb test positive 30%
Proteinuria 30%
Hematuria 30%
Hypocomplementemia 60%
ANA 95-100%
Anti-native DNA 50%
Anti-Sm 20%
Pemeriksaan Radiologi2
Foto Toraks
Menilai kualitas foto :
Kekuatan penyinaran : Periksa apakah ada foto dewasa korpus vertebra torakal I-IV tampak
jelas, sedangkan korpus vertebra torakal V ke bawah tidak tampak jelas. Pada foto anak-anak
seluruh korpus vertebra pada daerah dada tampak jelas.
Sentrasi foto : Periksa apakah prosesus spinosus korpus vertebra terletak di tengah.
Jarak antara ujung medial kedua klavikula dengan prosus spinosus harus sama.
Proyeksi dan posisi : Bagian objek yang lebih dekat dengan kaset film tampak lebih jelas
daripada gambaran tulang iga posterior, demikian pula sebaliknya. Foto proyeksi AP
biasanya dilakukan pada pasien dalam posisi berbaring.
Derajat inspirasi : Pada inspirasi yang cukup, hemidiafragma setinggi iga anterior
keenam/tujuh atau tulang iga posterior kesembilan.
5
Tabel 1. Diagnosis yang mungkin berdasarkan gambaran radiologis foto toraks
No. Gambaran RadiologisKemungkinan
Diagnosis
1
Gambaran bercak-bercak atau linier yang radiolusen. Gambaran khas mungkin terlihat Gambaran udara (lusen) berbentuk kipas, meluas sepanjang serat m. pektoralis di apeks paru.
Emfisema Subkutis
2
Garis pleura akan bergeser menjauhi dinding dada, berupa garis halus radioopak paralel dengan dinding toraks. Pada bagian lateral dari garis ini tampak gambaran vaskular paru menghilang.
Pneumotoraks
3Parenkim paru kolaps (radioopak homogen), diafragma datar atau inverted, sela iga melebar, dan struktur mediastinum bergeser ke kontralateral.
Tension Pneumotoraks
4Pada posisi tegak tampak garis mendatar karena adanya udara di atas cairan (air fluid level). Hidropneumotoraks
5Posisi tegak tampak sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine tampak gambaran ground glass di bagian dorsal paru.
Hematotoraks
6Bercak-bercak non segmental radioopak pada lokasi trauma dengan opasitas muncul dalam 6 jam pasca trauma dan berangsur menghilang setelah 2-10 hari.
Kontusio Paru
7
Radiolusen linier dan vertikal di mediastinum posterior, pada mediastinum terdapat garis radiolusen paralel di antara mediastinum dengan kontur jantung, dan dapat disertai dengan emfisema subkutis di dalam servikal.
Pneumomediastinum
8
Posisi tegak: sinus kostofrenikus tumpul. Posisi supine: kontur diafragma kabur, sinus kostofrenikus lateral tumpul dan hemitoraks paru-paru lebih opak dibanding paru-paru yang normal, dan gambaran air bronchogram hilang. Lateral dekubitus: dilakukan bila ada keraguan dan akan terlihat adanya cairan yang terkumpul di sepanjang dinding lateral dada.
Efusi Pleura
9
Pada fase dini tampak kranialisasi, perihiler kabur, peribronchial cuffing, dan kesuraman pada basal paru. Pada fase lanjut tampak garis Kerley A dan B, bat wing dan infiltrat alveolar.
Edema Paru
EPIDEMIOLOGI3
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di
dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai
populasi yang berbeda-beda bervarias antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering
6
ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat
juga tendensi familial. Factor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun
(masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.
Pada lupus erimatosus yang disebabkan oleh obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah,
yaitu 3:2.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar
1 kasus per 10.000 populasi pada tahun 2006. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah
1 :1000 pada tahun 1998. Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai
prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada
orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus
per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di Indonesia
sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan
jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya
selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat
setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang,
penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang
meninggal dunia.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah
sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode
yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus
SLE, selama periode 5 tahun (1972-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang
dirawat (insiden sebesar 15 per 10.000 perawatan), antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insiden
rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang
berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA, dan kriteria
ARA yang telah diperbaiki.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di
Medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insiden sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.
7
ETIOLOGI3
Faktor genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigot (25%) dibandingkan dengan
kembar dizigot (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan
dengan control sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu,
menguatkan dugaan bahwa faktor genetic berperan dalam patogenesis SLE.
Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit. Pada sebagian kecil
pasien (< 5%), hanya gen tunggal yang bertanggung jawab. Sebagai contoh, pasien dengan
defisiensi homozigot dari komponen awal komplemen mempunyai resiko terkena SLE atau
penyakit yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi, pada sebagian besar pasien
memerlukan keterlibatan banyak gen. diperkiran paling sedikit ada empat susceptibility genes
yang terlibat perkembangan penyakit.
Elemen genetik yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia
ialah gen dari kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi
menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human
leucocyte antigen) kelas II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE umumnya ditemukan
pada etnik yang berbeda, dengan resiko relative terjadinya penyakit berkisar 2 sampai 5. Gen
HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibody tertentu, seperti anti-Sm (small
nuclear ribonuclearm protein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nuclear ribonuclear protein), dan
anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen C2 dan C4,
memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A
null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai resiko tinggi berkembang
menjadi SLE. Selain itu, SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s, dan C2.
Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena
berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri
(self antigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan diri
system imun, maka autoimunitas mungkin terjadi.
Selain itu, banyak gen MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE,
termasuk gen yang mengkode mannose binding protein (MBP), TNFα, reseptor sel T,
interleukin 6 (IL-6), CR1, immunoglobulin Gm dan Km allotypes, FcãRIIIA, dan heat shock
8
protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multiple sebagai resiko
berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.
Faktor hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan pertama
kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.
Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada kedua jenis kelamin,
dimana peningkatan hidroksilasi 16ã lebih kuat dari estrone mengakibatkan peningkatan yang
bermakna konsentrasi 16ã hidroksiestrone. Metabolit 16ã lebih kuat dan merupakan
feminizing estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma
yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dedihdroepiandosteron (DHEA), dan
dehidroepiandostestorteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini mungkin disebabkan oleh
peningkatan oksidasi testosterone pada C 17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan.
Konsentrasi androgen berkorelasi negative dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron
plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinizing hormone (LH) ditemukan pada
beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi, estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormone
androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab
terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesterone didapatkan lebih rendah pada
penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.
Prolaktin (PRL) adalah hormone yang terutama berasal dari kelenjar hipofise anterior
diketahui menstimulasi respon imun humoral dan seluler, yang diduga berperan dalam
pathogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel system imun juga mampu mensisntesis
PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin, dan
autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel
hemopoietik CD 34+, dan sel dendritik presentasi antigen.
Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam pathogenesis SLE adalah leptin.
Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh
Garcia-Gonzale dkk mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan
dengan control sehat.
9
Faktor lingkungan
Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin merupakan predisposisiuntuk SLE,
tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa factor eksogen dan
lingkungan. Agen infeksi, seperti virus Epstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi virus
dalam kemiripan molecular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun;
toksin atau obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari self antigen dan
agen fisik atau kimia, seperti sinar UV dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel
dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi
individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas dan adanya
periode bergantian antara remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.
Radiasi UV dapat mencetuskan dan mengekserbasi ruang fotosensitifitas pada SLE.
Juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan
terbentuknya autoantibody. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosis manusia
yang menghasilkan bleps nuclear dan auto antigen sitoplasmik pada permukaan sel.
Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan post menopause dan untuk
kepentingan kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada timus pre pubertas non imun
mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa estrogenic selama
kehidupan fetus dapat menimbulkan resiko immunologic yang potensial. Paparan dietil
besterol pre natal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan
investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga berhubungan dengan
sedikit peningkatan resiko berkembangnya SLE. Estrogen lingkungan dan gangguan endokrin
mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu yang peka.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Makanan
seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi
respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE. Selain itu infeksi virus
dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit
nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE.
10
PATOFISIOLOGI3,4
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena
adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA
bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA
dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan
dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan
mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang
patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin,
molekul CD 40, CTLA-4.
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1
berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan
membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10
yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga
mengganggu cell-mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa
berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2
yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun.
Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (HSP90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan
HSP 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya
respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan
subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+. Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan
11
menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibody. Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama
kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi
tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,
komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan
dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan.
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun
pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga
fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA
dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2,
C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi
fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya .
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi
apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh
makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta
kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran
sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan
CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit
melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
12
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan sitokin
antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi yang
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin
proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE
juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2.
GAMBARAN KLINIS3,4
Gejala konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan, seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednisone.
Apabila kelelahan disebabkan karena penyakit SLE, maka diperlukan pemeriksaan penunjag
lainnya, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Adapula keluhan penurunan berat badan pada
sebagian penderita dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Penurunan berat badan ini terjadi akibat menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejal
gastrointestinal. Selain itu, demam sebagai salah satu gejala konstitusonal sulit dibedakan
dari sebab lain, seperti infeksi, karena suhu tubuh lebih dari 40⁰C tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis. Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
Manifestasi musculoskeletal
Keluhan musculoskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai
pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi
(artalgia), atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan
ini seringkali dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Untuk itu perlu dibedakan dengan arthritis rheumatoid dimana
pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung
beberapa menit dan sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan ialah kemungkinan adanya
koinsidensi penyakit autoimun kain seperti arthritis rheumatoid, polymyositis, scleroderma,
atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis SLE.
13
Manifestasi kulit
Lesi muco-cutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa reaksi
fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneus lupus eritematosus (SCLE), lupus
profundus/paniculitis, lesi vascular berupa eritemaperiunual, livedo reticularis, fenomena
raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwarna putih perak dan dapat pula
berupa bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau
depigmentasi bibir. Manifestasi pada kulit yang berupa ruam eritematosa dapat timbul pada
wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari SLE memiliki ruam khas
berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul
alopesia (rambut rontok), yang kadang-kadang dapat menjadi berat. Rambut biasanya dapat
tumbuh kembali tanpa masalah. Juga terdapat ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring.
Fenomena raynaud’s timbul pada sekitar 40% pasien SLE. Beberapa kasus sangat berat
sehingga dapat terjadi gangrene pada jari. Vaskulitis dapat menyerang semua ukuran arteria
dan vena.
Manifestasi paru
Berbagai manifestasi klinis paru-paru dapat terjadi, baik berupa radang interstitial
parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau
shrinking lung syndrome.
Pneumonitis dapat terjadi secara akut maupun kronik. Pada keadaan akut perlu
dibedakan dengan pneumonia bacterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan invasive
atau bilas bhronkoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan
dijumpai ronkhi basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada
alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan
yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE ini dan memerlukan
penanganan yang teapat, dimana tidak hanya penggunaan steroid, namun dengan tindakan
pengobatan lain, seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.
14
Manifestasi kardiologis
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri subternal, friction
rub, gambaran siluete sign foto dada, ataupun melalui gambaran EKG. Apabila adanya
aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali, bahkan takikardi yang tidak jelas
penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi
sebagai angina pectoris, infark miokard, atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin
banyak dijumpai pada penderita SLE usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta
penggunaan steroid jangka panjang.
Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga
sering dijumpai pada SLE. Vegetasi pada katub jantung merupakan akumulasi dari komponen
imun, sel mononuclear, jaringan nekrosis, jaringan parut, hematoxylin bodies, fibrin dan
thrombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan
diastolik.
Manifestasi renal
Keterlibatan ginjal terjadi pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah
5 tahun menderita SLE. Rasio wanita:pria dengan kelainan ini ialah 10:1 dengan puncak
insidensi antara usia 20-30 tahun.
Gejala keterlibatan renal tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma
nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau semi +3 semi kwantitatif,
adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit, atau gabungan serta pyuria (>5/LPB)
tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya
keterlibatan ginjal pada penderita SLE. Akan tetapi, melalui biopsi ginjal akan diperoleh data
yang lebih akurat untuk menilai keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi
keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi enam klas.
Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan gambaran
klinis, laboratorik, klasifikasi patologis. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan
kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan utamanya adalah mempertahankan fungsi
15
ginjal. Namun demikian, adanya proteinuria, pyuria serta buruknya bersihan kreatinin dapat
diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal.
Manifestasi gastrointestinal
Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric vasculitis,
inflamatory bowel disease (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati.
Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam
keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan
pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispepsia yang dijumpai lebih
kurang 50% penderita SLE, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai
glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini.
Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang
dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi. Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu
mendapat perhatian yang besar karena, walaupun jarang dapat mengakibatkan perforasi usus
halus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal
bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan.
Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar 8% penderita SLE. Keluhan ditandai adanya
nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang dijumpai pada SLE, disertai dengan
peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali adan LDH. Kelainan ini berkaitan
dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.
Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan apabila seorang wanita muda dengan poliartritis
dan mendapatkan salisilat dan didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transamninase
ini akan kembalu normal apabila SLE dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan.
Manifestasi neuropsikiatrik
Pembuktian keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses
penegakkan diagnosis. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan
serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA, atau
IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein, atau penurunan kadar glukosa.
16
Keterlibatan susunan syaraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis,
Gejala konstitusional: lelah, anoreksia, demam, berat badan turun. Poliartritis simetris, kaku di pagi hari, artritis erosif, deformitas, nodul reumatoid. Gejala ekstraartikuler: nodul subkutan, vaskulitis, perikarditis, pleuritis, skleratis, neuropati perifer, anemia, osteoporosis generalisata, sindrom felty.
Faktor reumatoid positif, LED meningkat, leukosit meningkat sampai 15.000-20.000/mm3 Tes CRP positif.
Pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, erosi tulang pada tepi sendi, dan penurunan densitas sendi.
19
Artritis pirai (Gout)
Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus sendi MTP I, hiperurisemia, pada saat bangun pagi terasa sakit hebat dan tidak dapat berjalan. Nyeri bengkak pada sendi, terasa hangat, merah, dengan gejala demam, menggigil, dan lelah.
Terdapat kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi atau tophus yang terbukti mengandung kristal urat.
Pembengkakan jaringan lunak dengan klasifikasi tophus yang khas, peradangan dan efusi sendi, punch out lession pada permukaan sendi tanpa ada gambaran osteoporotik.
Osteoartritis
Nyeri sendi, hambatan gerak sendi, kaku pagi hari, deformitas, krepitasi, nyeri dan kaku tulang belakang sehingga terjadi keterbatasan gerak (ROM), Nodus Heberden, pembesaran sendi interphalanx.
LED meningkat karena sinovitis, tetapi biasanya pemeriksaan darah tepi (HB, leukosit, LED) dalam batas normal. Tes ANA, Reumatid Factor, dan komplemen dalam batas normal.
Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan densitas sendi (sklerosis) tulang sub kondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, perubahan struktur anatomi sendi.
PENATALAKSANAAN3,4,7
Aspek penting dari pencegahan SLE adalah menghindari terkena sinar ultraviolet
(UV). Bagaimana sinar matahari dapat menimbulkan serangan SLE masih belum dimengerti
dengan sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang terkena sinar ultraviolet secara
normal akan bersifat antigenic dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena sinar.
Pasien SLE harus dianjurkan memakai paying, topi, dan baju lengan panjang apabila ke luar
rumah. Tabir surya dengan faktor proteksi 15 harus dipakai untuk menahan sinar ultraviolet.
Sebagian besar sunscreen topical berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung
PABA dan esternya, benzofenon, salisilat, dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet
A dan B. Sunscreen ini harus segera dipakai setelah mandi atau bila berkeringat.
Glukokortikoid local, seperti krem, salep, atau injeksi dapat dipertimbangkan pada dermatitis
lupus. Pemilihan preparat topical harus hati-hati karena glukokortikoid topical, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan artrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaan preparat local berkekuatan rendah dan
20
tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Sedangkan, untuk kulit badan dan lengan, dapat
digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat, dan
triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan, glukokortikoid berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid topical berkekuatan tinggi harus dibatasi,
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan kekuatan yang lebih rendah.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik. NSAID
dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam
arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim
yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk
melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada
mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal. Efek samping
penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan,
dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan menurun
hingga 50%.
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek
samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE
dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang
digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain
dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan
efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak
direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan
seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul.
Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan demam,
artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g sehari. Selain itu dosis
rendah aspirin (60–80 mg sehari selama kehamilan minggu ke-13–26) yang dikombinasikan
21
dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE yang mengalami kehamilan dengan
sindrom antifosfolipid antibodi melalui hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian
aspirin dapat dilakukan bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk
mengurangi efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna
sebesar 80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi
metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam jaringan
dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein plasma. t1/2 aspirin 15 –
20 menit. Aspirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk metabolit salisilat, hanya 1% dari
dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin tidak terhidrolisis melalui urin.
NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat
prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di
dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi
garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi
natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat
menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia. Oleh karena itu penggunaan NSAID
sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat
merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa
prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung. Dengan menghambat
prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh
asam lambung dan menyebabkan ulserasi. Karena efek samping tersebut di atas maka
pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif.