75
STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TUNA
MADIDIHANG (THUNNUS ALBACARES) DI TELUK TOMINI
KABUPATEN BOALEMO
SUSTAINABILITY STATUS OF YELLOWFIN TUNA
FISHERIES (THUNNUS ALBACARES) IN TOMINI BAY OF
BOALEMO DISTRICT
ZULKIFLI ARSALAM MOO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
76
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Zulkifli Arsalam MoO
Nomor Mahasiswa : P3300211001
Program Studi : Ilmu Perikanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 11 Oktober 2013
Yang Menyatakan
Zulkifli Arsalam MoO
77
RIWAYAT HIDUP
Zulkifli Arsalam MoO, dilahirkan di Gorontalo pada
tanggal 31 Juli 1986. Anak ketiga dari 3 bersaudara,
anak dari pasangan Drs. Hi. Hamzah MoO, MM. dan Hj.
Sulastri M. Lahabu. Penulis mengawali pendidikan
formal di TK Ki Hajar Dewantoro, dan melanjutkannya
di SDN 29 Kota Utara. Tahun 2001 penulis melanjutkan
masa studi di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren
HUBULO Gorontalo, dan tahun 2003 di SMU Terpadu
Wira Bhakti Gorontalo. Pada tahun 2005, penulis
diterima di Universitas Hasanuddin Makassar melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan sejak itu terdaftar sebagai
mahasiswa pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan
Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Untuk menyelesaikan studi di
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, penulis melaksanakan penelitian dengan
judul “Status Pengelolaan Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) Di Perairan
Teluk Tomini Kota Gorontalo”. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan
magister di Program Studi Ilmu Perikanan (IP) pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin (PPs UNHAS). Selama mengikuti program magister,
penulis telah mengikuti berbagai kegiatan seminar yang berhubungan dengan
pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
78
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas
berkah dan anugerah-Nya jualah sehingga penelitian dan penulisan tesis
ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah
penulis lakukan sejak awal bulan Maret 2013 di perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo.
Dalam penyusunan tulisan ini, sejak penelitian hingga penyusunan
tesis, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun
berkat bimbingan dan petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, baik
moril maupun materil sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Olehnya itu,
dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, MS. dan bapak Dr. Ir. Faisal
Amir, M. Si. masing-masing selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing, atas segala kebaikan, keikhlasan, dan kesabarannya
dalam membimbing dan mengarahkan penulis sejak awal sampai
akhir penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian penelitian dan penulisan tesis ini dengan tepat waktu.
2. Bapak Dr. Ir. Lodewjk S. Tandipayuk, MS., Bapak Prof. Dr. Ir.
Sudirman, M.P., dan Ibu Dr. Ir. Dewi Yanuarita, MS., selaku tim
79
penguji atas saran, arahan, dan masukan demi penyempurnaan
tesis ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI) yang telah
memberikan Beasiswa Unggulan selama satu tahun.
4. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin Makassar atas perkenannya sehingga penulis bisa
kuliah disini.
5. Ketua Program Studi Magister Ilmu Perikanan serta seluruh staf
Program Studi Ilmu Perikanan atas segala pelayanan akademik
yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program
Studi Ilmu Perikanan.
6. Bapak Rusli Badu, S.Pi selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Boalemo serta seluruh
staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo maupun
Kabupaten Boalemo, yang telah memberikan sumbangan tenaga,
pemikiran, informasi, dan data yang diperlukan selama penelitian
berlangsung.
7. Badan statistik Pemerintah Provinsi Gorontalo atas informasi dan
masukannya selama penelitian di Kawasan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo.
8. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana Program
Studi Ilmu Perikanan Angkatan 2011 maupun rekan-rekan di
Laboratorium Konservasi dan Manajemen Sumberdaya Hayati
80
Perairan, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, atas segala ide dan kritikan yang sifatnya
membangun, semoga selalu kompak dalam bingkai persaudaraan
dan ukhuwah islamiyah.
9. Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ayahanda tercinta,
Drs. Hi. Hamzah MoO, M.M., yang telah berjuang dengan sekuat
tenaga agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan tinggi.
Untuk Ibunda tercinta Hj. Sulastri M. Lahabu atas semangat juang
yang diajarkan kepada anak-anaknya.
10. Saudara kandung (kakak) dari penulis, yang tercinta Restu
Hestiyati MoO, SE. AK., dan Dewi Rahmawaty MoO, S. Farm,
M.Sc. Apt., beserta seluruh keluarga besar MoO – Lahabu atas
dorongan moril, materil, doa, dan kasih sayang yang tak putus-
putusnya sehingga meringankan langkah penulis untuk
menghadapi segala kesulitan selama penulis mengikuti pendidikan
di Universitas Hasanuddin. Serta yang tak kalah besar peranannya,
saudari Tri Novitasari, yang telah memberikan support kepada
penulis, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya
selama ini.
Menyadari akan kurang sempurnanya tesis ini dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan dalam membuat tulisan ini, dengan
tulus ikhlas penulis mohon kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan
selanjutnya. Akhirnya tiada harapan selain ridha Allah SWT. atas segala
81
jerih payah dan jasa baik kita semua serta limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya senantiasa tetap tercurah kepada kita sekalian. Amin.
Makassar, November 2013
Zulkifli Arsalam MoO
82
ABSTRAK
ZULKIFLI ARSALAM MOO. Status Keberlanjutan Perikanan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo. Dibimbing oleh Syamsu Alam Ali dan Faisal Amir.
Keberlanjutan perikanan tuna madidihang ditentukan oleh interaksi antara faktor biotik, abiotik, dan manusia sebagai sistem perikanan. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang berdasarkan dimensi biologi sumberdaya ikan, teknologi penangkapan, dan kelembagaan, (2) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang secara multidimensi (3) Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tuna madidihang berbasis ekosistem di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo. Penelitian ini menggunakan teknik RAPFISH, satu teknik analisis kuantitatif yang digunakan untuk menentukan status keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan. Teknik RAPFISH dalam penelitian ini didukung oleh analisis Multi Dimensional Scalling (MDS) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan.
Analisis leverage dan Monte Carlo digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi biologi berada pada status yang berkelanjutan, dimensi teknologi penangkapan berada pada status yang tidak berkelnajutan, dan dimensi kelembagaan dengan status yang berkelanjutan. Dari 19 atribut yang dianalisis, terdapat 6 faktor atau atribut yang sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan atau intervensi terhadap atribut-atribut tersebut untuk meningkatkan indeks dan status keberlanjutan. Nilai keberlanjutan secara keseluruhan (multidimensi) menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan tuna madidihang tergolong kategori buruk.
83
ABSTRACT
ZULKIFLI ARSALAM MOO. Sustainability Status of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Fisheries in Tomini Bay of Boalemo District. Supervised by Syamsu Alam Ali and Faisal Amir.
The sustainability of yellowfin tuna fishery is determined by interaction between biotic factor, abiotic factor, and human being as fishery system. Naturally, management of fishery system cannot be discharged from three dimension which is not dissociated one with another, such as the fishery resources and his ecosystem, dimension of exploiting the fishery resources sake of society economical social, and policy dimension. The aims of this research were: (1) to analyze the sustainability status of tuna fishery according to biological of fish resource, fishing technology, and institutional, (2) to analyze the multidimensional of yellowfin tuna sustainability, (3) to Formulate policy-based alternative of yellowfin tuna with based on ecosystem in Tomini Bay, Boalemo District. RAPFISH, a quantitative analysis technique, is used to asses sustainability status of yellowfin tuna fisheries. RAPFISH technique in this research is supported by several analysis of the Multi Dimensional Scalling (MDS) and the result were stated in the index and sustainability status.
Leverage and Monte Carlo analysis is used to determine the attributes that affect sensitively on the index and sustainability status. The result showed that biological fishery resource dimension in category of sustainable, technology dimension in less sustainable, and institutional dimension in category of sustainable. Out of 19 attributes being analyzed, 6 attributes were affected to the sensitivity of index and sustainability status. It’s must be taken intervention are needed to increase the index and sustainability status. Sustainability’s value of the multidimensional indicate that fisheries management of yellowfin tuna is still considered in poor category.
84
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 8
D. Manfaat Penelitian 8
E. Kerangka Pikir 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 11
A. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 11
B. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem 13
C. Pengembangan Indikator Bagi Pendekatan Ekosistem Untuk
Pengelolaan Perikanan 16
D. Dimensi Biologi 18
1. Status Eksploitasi 20
2. CPUE (Catch Per Unit Effort) 21
3. Rata-rata Ukuran Panjang Cagak (fork length) 24
4. Bobot Ikan 26
5. Range Collapse 26
6. Proporsi Ikan Yuwana (Juvenil) yang ditangkap 27
E. Klasifikasi dan Morfologi 28
F. Dimensi Teknologi Penangkapan 31
1. Kapasitas Mesin 32
2. Modifikasi Alat Penangkapan 33
3. Penangkapan Ikan Yang Ramah Lingkungan 34
4. Teknik Penangkapan 35
5. Tempat Pendaratan 37
85
G. Dimensi Kelembagaan 38
1. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) 39
2. Jumlah Peraturan Pengelolaan Perikanan 40
3. Partisipasi Stakeholders Dalam Penyusunan RPP 41
4. Konflik Kebijakan Pengelolaan Perikanan 42
5. Kepatuhan Terhadap Peraturan Formal Dalam
Pengelolaan Perikanan 42
6. Lembaga Pelaksana Pengelola Perikanan 43
7. Ketersediaan Sarana dan Sumberdaya Manusia (SDM)
Dalam Penegakan Peraturan Perikanan 43
8. Keberadaan Otoritas Tunggal Dalam Pengelolaan
Perikanan 44
H. Metode RAPFISH (Rapid Appraissal for Fisheries) 44
I. Penentuan Status Keberlanjutan 47
J. Metode Proses Hirarki Analitik (PHA) 48
III. METODE PENELITAN 54
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 54
B. Metode Pengumpulan Data 55
C. Prosedur Penelitian 58
D. Analisis Data 59
1. Penentuan Atribut Keberlanjutan 62
2. Analisis Sensitifitas (Leverage Analysis) 69
3. Status Keberlanjutan Dimensi 70
4. Status Keberlanjutan Multidimensi 73
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 75
A. Analisis Keberlanjutan Dimensi Biologi 75
1. Status Ekslpoitasi 76
2. Catch Per Unit Effort (CPUE) 77
3. Rata-rata Ukuran Panjang Cagak 80
4. Bobot Ikan 82
5. Range Collapse 85
6. Proporsi Ikan Yuwana (Juvenil) Yang Ditangkap 86
7. Penilaian Dan Sensitifitas Atribut 86
B. Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi Penangkapan 94
1. Kapasitas Mesin 95
2. Modifikasi Alat Penangkapan 95
3. Penangkapan Ikan Yang Ramah Lingkungan 97
4. Teknik Penangkapan 97
5. Tempat Pendaratan 98
86
C. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 106
1. Partisipasi Stakeholders Dalam Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) 110
2. Konflik Kebijakan Pengelolaan Perikanan 111
3. Lembaga Pelaksana Pengelola Perikanan 112
D. Analisis Status Keberlanjutan Setiap Dimensi 113
E. Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi 114
F. Analisis Monte Carlo 118
V. PENUTUP 125
A. Kesimpulan 125
B. Saran 127
DAFTAR PUSTAKA
87
DAFTAR TABEL
nomor
halaman
1. Skala perbandingan secara berpasangan 51
2. Prosedur penelitian 58
3. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi biologi 65
4. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi teknologi penangkapan 66
5. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi kelembagaan 67
6. Kategori selang nilai indeks keberlanjutan untuk setiap
dimensi yang dikaji 72
7. Status tingkat eksploitasi sumberdaya ikan (tuna
besar) di perairan Teluk Tomini WPP-RI 715 76
8. Interval kelas dan persentase hasil pengukuran
pancang cagak tuna madidihang 80
9. Interval kelas dan persentase bobot total tuna
madidihang 83
10. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
biologi 87
11. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
teknologi penangkapan 100
12. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
kelembagaan 108
13. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan tuna
madidihang 116
14. Nilai statistik dan perbedaan nilai (selisih) indeks
keberlanjutan perikanan tuna madidihang antara
RAPFISH (Multi Dimensional Scalling) dengan
Monte Carlo pada masing-masing dimensi. 122
88
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Data produksi perikanan tuna madidihang (Thunnus
albacares) di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo tahun 2007 sampai 2012 3 2. Kerangka pikir analisis status keberlanjutan dan
strategi pengelolaan perikanan tuna
madidihang (thunnus albacares) melalui
pendekatan ekosistem di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo 10 3. Spesies ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) 29
4. Peta Lokasi Penelitian 55
5. Proses/tahapan aplikasi RAPFISH pada pengelolaan
perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo 61 6. Peta tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa
WPP-RI 77 7. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran panjang cagak (fork length) 82 8. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran bobot ikan 84 9. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi biologi 88 10. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi biologi 89
11. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi teknologi
penangkapan 102 12. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi
teknologi penangkapan 103 13. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi kelembagaan 109 14. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi
kelembagaan 110
89
15. Kite diagram hasil analisis RAPFISH dari masing-
masing nilai indeks keberlanjutan pada setiap
dimensi 113 16. Hasil simulasi Monte Carlo dari setiap dimensi yang
dianalisis 123
90
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Ukuran berat total dan panjang cagak tuna
madidihang yang tertangkap selama penelitian 138
2. Kuesioner RAPFISH 139
3. Proses input data pada teknik RAPFISH 142
4. Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA) 154
5. Foto kegiatan lapangan 156
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuna madidihang (Thunnus albacares) merupakan ikan pelagis
besar dengan distribusi geografis mulai dari daerah tropis sampai sub
tropis. Tuna madidihang tergolong ikan bernilai ekonomis tinggi dan
berperan penting dalam menggerakkan perdagangan perikanan secara
Nasional dan Internasional. Memiliki pangsa pasar ekspor yang luas,
dengan harga yang tinggi sehingga banyak diusahakan oleh nelayan.
Sasaran ekspor tuna madidihang yang terbesar adalah Jepang. Tuna
yang diekspor ke Jepang adalah tuna yang masih segar untuk dibuat
sashimi atau sushi.
Kebutuhan dan permintaan pasar akan ikan ini terus mengalami
peningkatan, menyebabkan intensitas penangkapan meningkat di hampir
seluruh wilayah perairan Indonesia seperti Teluk Tomini, Laut Maluku,
Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau (Kantun, 2012).
Intensitas penangkapan yang semakin meningkat, menyebabkan
tuna madidihang mengalami tekanan penangkapan yang berakibat pada
penurunan produksi. Penurunan produksi dapat terjadi karena tidak
adanya pembatasan akses seperti kelebihan kapasitas, kelebihan
investasi, dan kelebihan penangkapan. Kelebihan kapasitas seperti tidak
2
adanya pembatasan upaya (effort), pembatasan ukuran kapal, bobot
kapal dan kekuatan mesin. Kelebihan investasi yang identik dengan modal
besar akan memberi peluang pengusaha untuk berinvestasi sebesar-
besarnya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Sedangkan untuk
kelebihan penangkapan seperti tidak adanya pembatasan dalam
mengeksploitasi sumberdaya perikanan dalam hal ini adalah overfishing
(ISSF, 2012).
Penurunan produksi tuna madidihang terjadi hampir di seluruh
perairan di belahan dunia. Menurut Nomura (2009), produksi tuna
madidihang dunia mengalami penurunan rata-rata sebesar sebesar
14,33% dari 1.439.503 ton pada tahun 2003 menjadi 1.009.628 ton pada
tahun 2007. Penurunan produksi tuna madidihang terjadi juga di Indonesia
secara drastis dari 163.241 ton pada tahun 2000 menjadi 103.655 ton di
tahun 2007 atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 7,94% per tahun
(Indonesian Fisheries Statistic Index, 2009).
Namun lain halnya yang terjadi di wilayah perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI 715), terjadi peningkatan jumlah
produksi tuna madidihang secara fluktuatif. Data menunjukkan bahwa dari
jumlah produksi di tahun 2007 sebanyak 53,9670 ton meningkat menjadi
844,74 ton pada tahun 2012 (DKP Kabupaten Boalemo, 2013).
3
Gambar 1. Data produksi perikanan tuna madidihang (Thunnus albacares)
di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo tahun 2007 sampai 2012 (Sumber: Data Statisitik Perikanan Tangkap Kabupaten Boalemo, 2013).
Ikan tuna madidihang merupakan komoditas target tangkapan di
perairan Teluk Tomini, walaupun jumlahnya bervariasi di setiap wilayah
serta berfluktuasi secara tahunan. Kawasan Teluk Tomini merupakan
kawasan yang mempunyai nilai ekonomi, sosial dan ekologis yang sangat
berarti bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Salah satu
produksi terbesar di perairan Teluk Tomini adalah ikan pelagis, yang
merupakan komoditi utama dari perikanan laut, dengan produksinya kira-
kira mencapai 68% dari total produksi laut daerah itu, sedangkan 40%
diantaranya adalah sumberdaya perikanan jenis ikan tuna madidihang
(Pemerintah Provinsi Gorontalo, 2009).
Perkembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna madidihang
menunjukkan kecenderungan meningkatnya sumberdaya ikan tuna madidihang
setiap tahun meskipun banyak masalah harus dihadapi dan dipecahkan bagi
53,9670
261,6100
687,2990
514,2830
323,9520
844,7410
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pro
du
ksi (
ton
)
Tahun
4
perkembangan perikanan tadi. Masalah-masalah tersebut pada umumnya
berbentuk kurangnya tenaga kerja yang terampil, prasarana, wahana, dan
pemasaran. Seiring bergulirnya waktu, pertumbuhan populasi manusia dan
perkembangan teknologi penangkapan pun semakin meningkat sehingga
menyebabkan beberapa stok ikan di dunia mengalami overfishing
(Butcher, 1996; Venema, 1997; Lauck et al., 1998 dalam Ali, 2005).
Seperti halnya yang telah terjadi pada tuna madidihang di perairan
Samudera Hindia, utamanya di daerah-daerah penangkapan ikan armada
tuna longline PT. Perikanan Samodra Besar (PT. PSB) Benoa Bali, sudah
terindikasi adanya tangkap lebih (overfishing) atau mendekati titik jenuh.
Ini dibuktikan dengan selama kurun waktu lebih dari satu dasawarsa
terakhir, rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap, laju tangkap (hook
rate) dan hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit Effort, CPUE)
cenderung mengalami penurunan (Kosasih, 2007).
Hal ini didukung pula oleh pendapat ATLI (2006) diacu dalam
Kosasih (2007) yang melaporkan bahwa ekspor tuna dari Benoa
semenjak tahun 2000 hingga 2005 mengalami penurunan. Penurunan
yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 dimana hanya 9.776 ton
tuna yang diekspor dibandingkan pada tahun 2000 yang berjumlah 18.758
ton. Ini merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi kelebihan
tangkap terhadap tuna madidihang dan tuna jenis lainnya. Oleh karena itu
diperlukan suatu konsep manajemen yang tepat, dalam jangka panjang
5
dan dapat menjamin hasil tangkapan yang menguntungkan (sustainable
yield) tetapi kelestarian sumberdaya (spawning stock) tetap terjaga.
Pengelolaan perikanan sangat kompleks atau bersifat multidisiplin.
Dengan demikian, penilaian terhadap kelestarian atau keberlanjutan
sumberdaya perikanan tidak dapat dipetakan pada kriteria tunggal, tetapi
menyangkut berbagai aspek atau multidimensi (Pitcher et al., 2001)
sehingga dibutuhkan solusi untuk mengatasi hal ini. Salah satu model
pengelolaan yang bersifat multidimensi adalah melalui pendekatan
ekosistem.
Dengan mencoba menerapkan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Berbasis Ekosistem dalam pengelolaan adalah salah satu
solusinya. Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan
ini merupakan paradigma baru yang sedang dicoba untuk diterapkan oleh
berbagai negara untuk mengatasi persoalan pengelolaan sumberdaya
perikanan, seperti Amerika Serikat, Australia, Filipina dan lain-lain serta
hasilnya pun menunjukkan respon yang positif pada negara-negara
tersebut (Kartika, 2010).
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai
dengan ekosistem perairan tropis, memiliki karakteristik dinamika
sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan dan
biodiversitasnya yang tinggi. Namun pengelolaan perikanan di Indonesia
masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi (biologi,
teknologi penangkapan, dan kelembagaan). Pendekatan yang dilakukan
6
masih bersifat parsial, belum terintegrasi dalam kerangka dinamika
ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target
pengelolaan.
Pada kenyataannya, pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat
kompleks (complexity), dinamis (dynamic), dan uncertainity (penuh
ketidakpastian) mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum,
dan politik, sehingga dibutuhkan pendekatan secara multidimensi. Dalam
konteks inilah pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries management, EAFM) dianggap menjadi
sangat penting.
Menurut Gracia dan Cochrane (2005), pengelolaan sumberdaya
perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial
budaya, hukum, dan politik. Hal ini dijelaskan oleh FAO (1995), yang
menyatakan bahwa tujuan umum dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan
sosial. Tujuan dari masing-masing aspek tersebut yaitu:
1. Tujuan biologi, untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi /
diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas,
2. Tujuan ekologi, untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan
bagi lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch), serta
sumberdaya lainnya yang terkait,
3. Tujuan ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan nelayan, dan
7
4. Tujuan sosial, untuk memaksimalkan peluang kerja/mata
pencaharian nelayan/masyarakat yang terlibat.
Informasi ilmiah dalam bentuk penelitian sangat dibutuhkan dalam
rangka mempertahankan keberlanjutan sumberdaya perikanan tuna
madidihang. Upaya-upaya yang memungkinkan dilakukan untuk
mengantisipasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan
manajemen pengelolaan yang baik serta penerapan kebijakan
pengelolaan yang dilandasi informasi ilmiah yang ditunjang oleh hasil-hasil
penelitian.
Penelitian yang berhubungan dengan tuna madidihang di Teluk
Tomini Provinsi Gorontalo masih sangat kurang sehingga kebijakan dalam
manajemen pemanfaatan sulit dirumuskan. Untuk memenuhi hal tersebut,
maka penelitian status keberlanjutan sumberdaya perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo
dianggap perlu untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian potensi sumberdaya ikan tuna madidihang dan
kebutuhan masyarakat akan ikan ini di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo,
maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Belum diketahui status keberlanjutan sumberdaya ikan tuna
madidihang berdasarkan dimensi biologi, teknologi penangkapan,
dan kelembagaan di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo.
8
2. Belum diketahui status keberlanjutan secara keseluruhan (multi
dimensi).
3. Belum ada alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tuna
madidihang melalui pendekatan ekosistem di Teluk Tomini.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini
bertujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna
madidihang berdasarkan dimensi biologi, teknologi penangkapan,
dan kelembagaan.
2. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna
madidihang secara keseluruhan (multidimensi).
3. Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tuna
madidihang berbasis ekosistem di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,
diantaranya:
1. Menjadi referensi pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi
dan kabupaten dalam merumuskan kebijakan dan strategi
pengelolaan perikanan ikan tuna secara berkelanjutan.
9
2. Menjadi informasi atau pedoman bagi stakeholder yang terlibat
langsung dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tuna madidihang.
E. Kerangka Pikir
Penilaian status keberlanjutan terhadap kegiatan pemanfaatan
sumberdaya tuna madidihang adalah bagian dari mekanisme umpan balik
untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk membenahi
permasalahan yang terdapat dalam kebijakan pengelolaan atau berfungsi
sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan (decision support
tools).
Prosedur penilaian meliputi analisis terhadap permasalahan-
permasalahan yang mempengaruhi status keberlanjutan pada setiap
dimensi pengelolaan, serta analisis terhadap status dimensi pengelolaan
secara keseluruhan. Adapun kerangka pikir dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
10
Gambar 2. Gambar 2. Kerangka Pikir Analisis Status Keberlanjutan dan Strategi
Pengelolaan Perikanan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) Melalui Pendekatan Ekosistem di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo.
Penentuan skor dan atribut (Modifikasi dari KKP, WWF, PKSPL-IPB, 2012),
telah digunakan oleh Hidayanto et al. (2009), dan Ali et al. (2012)
Perikanan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo
Dimensi Biologi
Dimensi Kelembagaan
Dimensi Teknologi Penangkapan
Status Keberlanjutan Setiap Dimensi
(RAPFISH)
Status Keberlanjutan Secara Keseluruhan / Multidimensi (Metode AHP)
Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tuna Madidihang
Berbasis Ekosistem
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolan berkelanjutan merupakan suatu strategi pengelolaan
yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem
alamiah dan buatan, serta sumberdaya alam yang ada didalamnya.
Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, tetapi merupakan batas yang
luwes yang dapat bergerak sesuai kondisi penguasaan teknologi, sosial,
ekonomi, serta kemampuan biosfer ekosistem untuk menerima dampak
dari kegiatan pengelolaan. Pengelolaan secara berkelanjutan juga
merupakan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah, dimana
kapasitas fungsional ekosistem diupayakan tidak terganggu dan dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia secara berkelanjutan
(Tuwo, 2011).
Pengelolaan perikanan memerlukan keberanian para pengelola
untuk mengambil beberapa keputusan. Namun demikian, sejumlah prinsip
dasar dapat diidentifikasi yang selanjutnya dapat membantu memusatkan
perhatian pada langkah awal bagi pengelola perikanan yang efektif. Suatu
hasil tangkapan yang lestari dapat diperoleh manakala laju eksploitasi
atau penangkapan sedemikian rupa sehingga laju pertumbuhan persis
sepadan dengan hasil tangkapan.
12
Dengan demikian, hasil tangkapan dan populasi dapat
dipertahankan terus-menerus tanpa batas waktu, bila parameter-
parameter lainnya tetap konstan. Namun demikian, kondisi ini tidak selalu
dapat terpenuhi karena faktor yang mempengaruhi dinamika populasi ikan
sangat banyak (Widodo et al., 2005).
Selain itu, Widodo et al. (2005) menjelaskan bahwa keterbatasan
kemampuan sumberdaya hayati untuk pulih secara alami, maka
pemanfaatannya harus didasari pengetahuan mengenai sifat ekologis dan
biologis bagi setiap komponen penyusun sumberdaya. Najamuddin (2004)
menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan
pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan sumberdaya dan
pemanfaatannya dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam
jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang.
Menurut FAO (2003), pengelolaan perikanan terdiri atas 4 (empat)
tujuan umum, yaitu:
1. Tujuan biologi, untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau
diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas,
2. Tujuan ekologi, untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan
bagi lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch), serta
sumberdaya lainnya yang terkait,
3. Tujuan ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan nelayan, dan
4. Tujuan sosial, untuk memaksimalkan peluang kerja atau mata
pencaharian nelayan maupun masyarakat yang terlibat.
13
B. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang
telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan
kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-
Undang No. 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan
perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang
telah disepakati (FAO, 2003).
Charles (2001) berpendapat bahwa secara alamiah, pengelolaan
sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak
terpisahkan satu sama lain yaitu:
1. Dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya.
2. Dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat, dan
3. Dimensi kebijakan perikanan itu sendiri.
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat
ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi
tersebut, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial
14
ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya
kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan
masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang
menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan
(Charles, 2001).
Sumberdaya perikanan bersifat complexity, dynamic, dan
uncertainity (penuh ketidakpastian) mencakup aspek biologi, ekonomi,
sosial budaya, hukum, dan politik sehingga dibutuhkan pendekatan secara
multidimensi. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui
pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (Ecosystem
Approach to Fisheries Management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi
sangat penting (Charles, 2001).
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries
(EAF) sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan
sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan,
keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap
mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang
komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan
melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan
berkelanjutan.
EAFM adalah salah satu pengembangan dari metode TROM
(Target Resource Orientated Management), biasa disebut juga
pendekatan Single-species, dan merupakan sebuah pendekatan
15
konvensional. Metode TROM bersifat parsial karena stok spesies target
menjadi perhatian utama dari pengelolaan, sehingga bentuk upaya
pengelolaan ini masih belum memperhatikan sifat umum dari sumberdaya
perikanan itu sendiri yakni complexity, dynamic, dan uncertainity sehingga
dianggap banyak mengalami kegagalan dalam pengelolaan perikanan
(Charles, 2001).
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain
adalah:
1. Perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak
yang dapat ditoleransi oleh ekosistem.
2. Interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus
dijaga.
3. Perangkat pengelolaan sebaiknya sesuai untuk semua distribusi
sumberdaya ikan.
4. Prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan
pengelolaan perikanan.
5. Tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan
sistem manusia (FAO, 2003).
16
C. Pengembangan Indikator Bagi Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan
Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebuah alat atau
jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan
lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Menurut Hart
Environmental Data (1998) dalam Adrianto et al. (2007), indikator
ditetapkan untuk beberapa tujuan penting yaitu mengukur kemajuan,
menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem, memberikan pembelajaran
kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating), memfokuskan diri
pada aksi.dan mampu menunjukkan keterkaitan antar indikator (showing
linkages).
Selanjutnya, dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator
dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi
beberapa unsur, seperti:
1. Menggambarkan daya dukung ekosistem,
2. Relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen,
3. Mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders,
4. Dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi,
5. Menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen
perikanan (Adrianto et al., 2007).
Sementara itu, menurut Pomeroy et al. (2006) dalam Adrianto et al.
(2007), indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
17
1. Dapat diukur, yaitu mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif
atau kualitatif,
2. Tepat, dalam hal ini didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders,
3. Konsisten, yaitu tidak berubah dari waktu ke waktu,
4. Sensitif, secara proporsional berubah sebagai respon dari
perubahan aktual.
Dalam beberapa kasus, pemilihan indikator terkait dengan tujuan
yang akan dicapai dari monitoring dan evaluasi. Ketika satu indikator
sudah ditentukan, proses berikutnya adalah pemilihan metode untuk
mengukur indikator tersebut. Beberapa syarat penting yang harus
diperhatikan adalah bahwa metode tersebut sebaiknya:
1. Akurat dan reliabel, artinya tingkat kesalahan yang ditimbulkan dari
koleksi data dapat diminimalisir,
2. Biaya efektif, artinya sejauh mana metode ini akan menghasilkan
pengukuran indikator yang baik dengan biaya yang rendah,
3. Kelayakan, artinya apakah ada unsur masyarakat yang dapat
melakukan metode pengukuran indikator, dan
4. Ketepatan, artinya sejauh mana metode yang dipilih sesuai dengan
konteks perencanaan dan pengelolaan perikanan.
18
D. Dimensi Biologi
Potensi sumberdaya ikan meliputi : SDI pelagis besar, SDI pelagis
kecil, sumberdaya udang peneid dan krustasea lainnya, SDI demersal,
sumberdaya moluska dan teripang, sumberdaya cumi-cumi, sumberdaya
benih alam komersial, sumberdaya karang, sumberdaya ikan konsumsi
perairan karang, sumberdaya ikan hias, sumberdaya penyu laut,
sumberdaya mamalia laut, dan sumberdaya rumput laut (Mallawa, 2006).
Sumberdaya perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan
untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan
dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain itu,
produk perikanan adalah bahan makanan penting masyarakat pada
umumnya, sehingga sektor perikanan menjadi salah satu sumber
pendapatan negara disamping menjadi sumber mata pencaharian
sebagain besar masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan
(Nababan et al, 2007).
Sumberdaya perikanan sebagai salah satu sumberdaya alam,
dalam pengelolaannya haruslah dilakukan dengan langkah-langkah yang
efektif dan rasional. Ini disebabkan oleh sumberdaya perikanan
mempunyai sifat khusus yang lebih menyulitkan dalam pengelolaannya
dibandingkan dengan sumberdaya pertanian lainnya. Kekhususan sifat
yang dimiliki oleh sumberdaya perikanan (Dahuri et al., 1996; dalam
Ramli, 2006) yaitu :
19
1. Sumberdaya yang tidak terlihat dan merupakan milik bersama atau
umum (Invisible And Common Properties).
2. Usaha pemanenan atau penangkapannya mengandung resiko
sangat tinggi (Highly Considerable Risk).
3. Produk yang dihasilkan merupakan produk yang cepat atau mudah
busuk (High Perishable).
Sumberdaya perikanan pelagis diduga merupakan salah satu
sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia.
Sumberdaya ini adalah merupakan sumberdaya neritik, karena terutama
penyebarannya adalah di perairan dekat pantai. Di daerah-daerah dimana
terjadi proses kenaikan air (Upwelling), sumberdaya ini dapat membentuk
biomassa yang sangat besar (Csirke, 1998 dalam Widodo et al., 1998).
Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang produksi
tuna madidihang di dunia, dengan panjang garis pantai seluas 95.181 km2
sehingga menempatkannya pada urutan ke empat di dunia setelah
Amerika, Canada, dan Rusia. Dimana Negara-negara tersebut merupakan
negara yang sangat diperhitungkan dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan terutama perikanan tuna.
Panjang garis pantai yang dimiliki Indonesia mengandung berbagai
macam potensi yang patut dikelola dan dikembangkan dengan baik dan
benar. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sebesar 5.258.600
ton dengan bagian terbesar adalah jenis ikan pelagis kecil yang mencapai
sekitar 51,7% (3.235.800 ton per tahun), jenis ikan demersal 28,54%
20
(1.786.400 ton per tahun) dan pelagis besar 19,76% (1.053.500 ton per
tahun) (Dahuri, 2001).
Adapun dalam dimensi biologi, digunakan 6 (enam) atribut, yakni:
1. Status eksploitasi
Di dalam pengelolaan perikanan, status eksploitasi atau biasa
disebut status pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dinilai dari hasil
perbandingan antara produksi aktual dengan potensi hasil maksimum
berkelanjutan yang diperbolehkan sebagai acuan biologis. Acuan yang
dimaksud adalah Hasil maksimum lestari atau Maximum Sustainable Yield
(MSY), digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan (Ali,
2005).
Selain itu, Ali (2005) menjelaskan bahwa konsep MSY adalah
sebuah konsep sederhana sebagai tujuan pengelolaan bahwa hasil atau
produksi (berat ikan) yang didaratkan dalam periode tertentu, tidak
menyebabkan penurunan produksi periode berikutnya, dan hasilnya
dapat bertahan secara terus menerus (berkelanjutan), karena tersedia
cadangan sisa yang dapat memulihkan stok.
Prinsip MSY bahwa di dalam kondisi tidak ada penangkapan akan
terjadi penambahan biomassa (surplus produksi) akibat adanya rekrutmen
dan terjadi pengurangan biomassa akibat kematian alami. Sehingga
terdapat peluang pemanfaatan secara terkendali dari hasil penambahan
biomassa tersebut agar sumberdaya tidak mati percuma secara alami,
21
dan apabila penangkapan dilakukan sama dengan surplus produksi maka
stok dapat diatur dalam suatu keseimbangan baru (Ali, 2005).
Selanjutnya disebutkan bahwa MSY bertujuan untuk melindungi
stok pada tingkat yang aman agar tetap berada pada level yang seimbang
sehingga tidak terjadi penurunan produksi pada berikutnya. MSY ini dapat
berlangsung secara terus menerus jika segala faktor lingkungan lainnya
berjalan dengan baik.
Konsep MSY bertujuan untuk menjaga stok pada level yang
aman sebagai standar pemanfaatan sumberdaya. Konsep ini diterima
secara umum pada tahun 1950 untuk konservasi stok biota perairan
agar tetap pada level yang tinggi sehingga tidak terjadi penurunan
produksi walaupun lingkungan berada dalam kondisi tidak
menguntungkan (King, 1995).
2. Catch Per Unit Effort (CPUE)
Catch per unit effort (CPUE) didefinisikan sebagai laju tangkap
perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time
series, minimal selama lima (5) tahun. Effort atau upaya penangkapan
ikan didefinisikan sebagai jumlah waktu yang dihabiskan untuk
menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Satuan yg lebih cocok untuk
mengukur effort adalah waktu yang benar-benar dihabiskan untuk
mengoperasikan alat penangkapan ikan atau lamanya waktu alat
penangkapan ikan beroperasi aktif di dalam air. Namun, unit yang paling
22
umum digunakan untuk satuan effort adalah trip. Trip merupakan istilah
yang dipergunakan untuk menyatakan satuan waktu yang dipakai dalam
melakukan penangkapan ikan dan kemudian kembali ke pangkalan
(PKSPL, 2012).
Penentuan banyaknya trip penangkapan satu jenis unit
penangkapan ikan dalam setahun adalah dengan memperhitungkan
bahwa dalam satu tahun unit penangkapan tersebut secara total
beroperasi berapa banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah trip
per tahun bagi unit penangkapan ikan di Indonesia adalah faktor kondisi
cuaca dan musim, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), dan
ketersediaan dana operasional/logistik. Semakin panjang series waktu
yang digunakan semakin tajam prediksi yang diperoleh. Cara
perhitungannya adalah dengan cara membagi total hasil tangkapan
dengan total effort standard (Nur, 2011).
CPUE tertinggi diperoleh jika beberapa nelayan menangkap ikan
dalam jumlah banyak dimana penangkapan masih menyisakan ikan yang
cukup untuk bereproduksi, berkembang dan mempertahankan tangkapan
untuk masa yang datang. Situasi seperti ini merupakan salah satu target
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. CPUE menurun apabila ikan
yang tertangkap sudah berkurang dan ikan-ikan berebut untuk
bereproduksi atau berkembang. Situasi ini disebabkan oleh banyaknya
nelayan melakukan penangkapan dalam waktu yang lama atau banyak
23
nelayan yang menggunakan alat tangkap untuk memperoleh ikan paling
banyak dan paling cepat beraktifitas. (PKSPL, 2012).
Sayangnya para nelayan cenderung terus menangkap ikan karena
mereka masih ingin memperoleh pendapatan dan karena harga ikan
meningkat sebab mengalami kelangkaan di pasar. Peningkatan harga ini
biasanya menyebabkan nelayan harus melaut ke area penangkapan yang
baru atau menambah jumlah alat tangkap atau panjang jaring yang
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sama. Pada situasi seperti ini
rata-rata hasil tangkapan per unit usaha (CPUE) menurun dengan cepat
karena nelayan meningkatkan kemampuan menangkap ikan dengan
menambah usaha penangkapan dengan cepat dan mengganti alat
tangkap yang memiliki ukuran mata jaring yang lebih kecil sehingga
mustahil ikan terlepas dari penangkapan dan bisa bereproduksi (Habibi et
al., 2011).
Oleh sebab itu CPUE bisa menurun pada titik dimana nelayan
terpaksa memburu ikan-ikan yang tersisa untuk kehidupannya namun sia-
sia yang dapat membuat persediaan ikan semakin kurang dan hampir
punah hingga tidak dapat menangkap lagi bahkan hal seperti ini bisa
menyebabkan kondisi suatu area akan lebih buruk. Satuan yang
digunakan untuk unit indikator CPUE ialah ton per trip atau dapat pula
dengan menggunakan ton per unit. Satuan upaya (standard effort) yang
paling banyak dipakai didalam analisis CPUE adalah trip penangkapan.
24
Trip merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan
satuan waktu yang dipakai dalam melakukan penangkapan ikan dan
kemudian kembali ke pangkalan (fishing port). Namun demikian,
berhubung trip itu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti
kondisi cuaca dan musim, ketersediaan bahan bakar minyak (BBM), serta
ketersediaan dana operasional/logistik, maka nilai effort yang diperoleh
dari hasil perhitungan dengan unit trip semata antar berbagai alat tangkap
tidak bisa secara langsung dibandingkan untuk analisis, karena satu sama
lain belum tentu sama besaran nilai tripnya (Hamdan, 2007).
3. Rata-rata ukuran panjang cagak (fork length)
Ukuran ikan atau biasa disebut dengan istilah morfometrik
merupakan bentuk pengukuran yang dapat mencakup beberapa bagian,
yaitu panjang total (TL), panjang standar (SL), dan panjang cagak (FL).
Ukuran panjang total (TL) diukur mulai dari bagian terdepan moncong/bibir
(premaxillae) hingga bagian ujung ekor. Panjang standar (SL) diukur mulai
dari bagian terdepan moncong/bibir (premaxillae) hingga pertengahan
pangkal sirip ekor (pangkal sirip ekor bukan berarti sisik terakhir karena
sisik-sisik tersebut biasanya memanjang sampai ke sirip ekor (PKSPL,
2012).
Adapun panjang cagak (fork length) diukur dimulai dari bagian
terdepan mulut ikan hingga percabangan sirip ekor yang membagi sirip
ekor bagian atas dan bagian bawah. Unit yang digunakan pada indikator
25
satuan panjang yaitu dapat berupa centimeter (cm) atau meter (m).
Penggunaan ukuran panjang dalam riset-riset biologi perikanan umumnya
menggunakan ukuran panjang cagak (fork length), baik untuk kegiatan
penelitian maupun penentuan kebijakan perikanan. Penetapan panjang
cagak sebagai ukuran panjang dalam kegiatan penelitian dikarenakan
panjang cagak tidak dipengaruhi oleh perubahan atau kerusakan secara
fisik pada bagian sirip ekor (Gulland, 1983; dalam Wijaya, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Itano (2001),
diperoleh bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad (size at first
maturity) yaitu pada panjang 107,9 cm di perairan Australia di dekat pantai
yang tertangkap dengan pancing ulur (handline). Sedangkan di perairan
yang sama di daerah lepas pantai dengan peneliti yang sama dengan
menggunakan alat tangkap rawai (longline) ditemukan pada panjang 120
cm untuk pertama kali matang gonad.
Ukuran tuna madidihang setelah dewasa bervariasi antara individu
yang tertangkap di dekat pantai dan jauh dari pantai. Tuna madidihang
mencapai status dewasa pada saat panjang cagak mencapai 120 cm
dengan umur sekitar 2 sampai 3 tahun. Selain itu, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Zhu et al. (2008) menyatakan bahwa tuna madidihang
mencapai matang gonad pada ukuran panjang cagak berkisar 100 cm.
Sedangkan Indian Ocean Tuna Commission yang kemudian disingkat
IOTC (2010) menyatakan bahwa tuna madidihang pertama kali matang
gonad pada ukuran panjang cagak 77,80 cm.
26
Data pengukuran panjang cagak yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2013, yang tertuang di
dalam Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)
menunjukkan bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad pada
ukuran panjang cagak mencapai 137,50 cm.
4. Bobot ikan
Perubahan bobot tuna madidihang didasarkan pada perubahan
size. Collete et al. (1983) menyatakan bahwa tuna madidihang mencapai
matang gonad dengan berat total sebesar 20 sampai 30 kg pada umur 2,5
hingga 3 tahun. Sedangkan Marion et al. (2010) menemukan tuna
madidihang pertama kali matang gonad dengan berat total sebesar 25 kg.
Ukuran bobot maupun panjang tuna madidihang saat pertama kali
matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor
lingkungan yang mempengaruhinya terutama ketersediaan makanan.
Oleh karena itu, ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak
selalu sama (Effendie, 2002).
5. Range collapse
Menurut Nur (2011), Range collapse adalah suatu fenomena yang
umum terjadi pada stok ikan jika stok ikan yang bersangkutan mengalami
kondisi overfishing. Secara teknis, range collapse didefinisikan sebagai
pengurangan drastis wilayah/ruang spasial ekosistem laut yang biasanya
27
dihuni oleh stok ikan tertentu. Untuk menentukan ada tidaknya range
collapse ini, maka indikator yang paling mudah adalah melihat apakah
terjadi indikasi terhadap semakin sulitnya mencari lokasi penangkapan
ikan (fishing ground), karena secara spasial, wilayah penangkapan ikan
menjadi semakin jauh dari lokasi fishing ground sebelumnya.
Unit yang digunakan untuk indikator range collapse ialah dilihat
berdasarkan hasil tangkapan per upaya (CPUE) secara temporal dari
tahun ke tahun serta seberapa jauh jarak tempuh (mil atau km) untuk
setiap kali trip penangkapan ikan dibandingkan jarak pada tahun-tahun
sebelumnya (PKSPL, 2012).
6. Proporsi ikan yuwana juvenil yang ditangkap
Ikan yuwana (juvenil) merupakan ukuran suatu tahap dalam
pertumbuhan ikan yang belum masuk kategori ukuran dewasa (mature).
Unit satuan yang digunakan untuk indikator proporsi ikan yuwana yang
ditangkap ialah (ton, kg, dan persen proporsi) yang dibandingkan dengan
biomassa ikan secara keseluruhan dari hasil tangkapan untuk setiap alat
tangkap pada perairan tertentu yang diamati (PKSPL, 2012).
Pengumpulan data untuk indikator proporsi ikan yuwana dapat
dilakukan dengan metode sampling yaitu melihat proporsi ikan
berdasarkan ukuran ikan. Hal tersebut untuk melihat biomasa ikan yang
masih berukuran yuwana yang ditangkap, sehingga dapat diketahui
28
proporsi ikan yuwana terhadap ikan hasil tangkapan dari suatu alat
tangkap.
E. Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Collete et al. (1983), Wild (1989), dan FAO (1997),
klasifikasi ikan tuna madidihang adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Osteichthyes
Sub Class : Actinopterygii
Infraclass : Teleostei
Superorder : Acanthopterygii
Ordo : Perciformes
Sub ordo : Scombroidei
Family : Scombroidae
Super family : Scombrioidea
Sub family : Scombrinae
Genus : Thunnus
Species :Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788)
29
Ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) tergolong ikan
berkualitas baik dan merupakan penghasil devisa dari sumber hayati
perikanan Indonesia (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2005). Menurut
James (1992), secara umum ikan tuna madidihang memiliki bentuk tubuh
kaku dengan sisik-sisik kecil di seluruh tubuhnya, sirip belakangnya kecil
dan tubuhnya panjang.
Tuna madidihang termasuk keluarga Scombroidae, bentuk
tubuhnya memanjang seperti cerutu atau torpedo, berwarna kebiru-biruan
atau biru tua pada sisi belakang dan diatas tubuhnya dengan perut kuning atau
silver, mempunyai dua sirip punggung, sirip depan biasanya pendek dan
terpisah dari sirip belakang, serta mempunyai jari-jari sirip tambahan
(finlet) di belakang sirip punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke
atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak dalam dengan jari-jari
penyokong menutup seluruh ujung hypural (Departemen Pertanian, 1983).
Gambar 3. Spesies ikan tuna madidihang (Thunnus albacares)
(Nakamura, 1991)
30
Spesies tuna terdiri atas tuna sirip kuning (Thunnus albacares),
tuna sirip biru (Thunnus atlanticus), tuna mata besar (Thunnus obesus),
dan tuna abu-abu (Thunnus tonggol). Perbedaan antar spesies terletak
pada bentuk sirip dan warnanya, banyak terdapat di daerah tropis dan sub
tropis, salah satunya terdapat di Pasifik Timur dengan suhu air tempat
ikan ini adalah 5 sampai 130C (dapat sampai 23 0C). Menurut Nakamura
(1991), potensi ikan tuna madidihang di seluruh dunia cukup besar,
dengan tingkat regenerasi cukup tinggi, oleh karenanya tidak perlu
khawatir akan habis meskipun dilakukan penangkapan dalam jumlah
besar.
Satu ekor ikan tuna madidihang saat bertelur bisa menghasilkan
satu juta telur sehingga berjuta-juta ikan tuna madidihang dari ukuran kecil
sampai dewasa. Sebagian besar lautan Indonesia memiliki persyaratan
bagi kehidupan ikan tuna madidihang yaitu perairan Indonesia bagian
Timur (Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Sulawesi), dan perairan yang
berhadapan dengan Samudra Indonesia (Selatan Jawa dan Barat
Sumatera) serta yang berhadapan dengan Samudra Pasifik (Departemen
Pertanian, 1983).
Tuna madidihang mampu membengkokkan siripnya lalu
meluruskan tubuhnya untuk berenang cepat. Ikan ini memakan ikan kecil,
krustacea, pelagis dan epipelagis moluska. Ikan tuna madidihang adalah
makanan laut di seluruh dunia dan ancaman overfishing. Ikan ini enak
31
untuk dimakan. Tuna madidihang merupakan ikan komersial terpenting
kedua dari beberapa jenis tuna. Kapasitas maksimum isi perut pada tuna
madidihang dapat mencapai 7% dari berat tubuhnya. Ikan tuna
madidihang setiap harinya dapat mencerna makanannya 15% dari berat
tubuhnya. Ikan tuna madidihang yang mendiami daerah pantai biasanya
memakan gerombolan ikan hidup, sehingga ikan jenis ini dapat bersifat
kanibal pada saat dewasa (Nakamura, 1991).
F. Dimensi Teknologi Penangkapan
Pengelolaan perikanan khususnya kegiatan produksi perikanan
pada suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
ketersediaan stok, tingkat upaya penangkapan, serta faktor lain termasuk
mortalitas yang bersifat alamiah. Faktor-faktor produksi (tingkat upaya)
yang telah ada merupakan faktor yang pengaruhnya paling besar
(Monintja et al., 1995).
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan
manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus
meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang
lebih baik. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan perlu
diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan perikanan. Adapun
syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan ikan haruslah dapat
menyediakan kesempatan kerja yang banyak, menjamin pendapatan yang
memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan, menjamin jumlah produksi
32
yang tinggi untuk menyediakan protein, mendapatkan jenis ikan komoditi
ekspor atau jenis ikan yang biasa di ekspor serta tidak merusak
kelestarian ikan (Dahuri, 2006).
Adapun dalam penelitian ini, untuk dimensi teknologi penangkapan
digunakan 6 (enam) atribut yang mengacu pada penilaian indikator
pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan yang telah
dimodifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia (KKP RI), World Wild Fund (WWF) Indonesia, dan Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)
pada tahun 2012. Keenam atribut tersebut yaitu kapasitas mesin,
modifikasi alat penangkapan, penangkapan ikan yang ramah lingkungan,
teknik penangkapan, dan tempat pendaratan
1. Kapasitas mesin
Atribut pertama yang dianalisis dalam dimensi teknologi
penangkapan adalah kapasitas mesin atau biasa disebut dengan
kekuatan mesin. Atribut ini digunakan untuk mengukur sejauh mana
efisiensi alat tangkap yang digunakan di lokasi penelitian. Kapasitas mesin
ini merupakan salah satu variabel input dalam pengelolaan perikanan
yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas (Hamdan, 2007).
Aktivitas penangkapan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo masih tergolong tradisional, sehingga untuk mengoperasikan
33
alat tangkap handline, para nelayan menggunakan perahu kayu dengan
kekuatan mesin (PK) dan jumlah hari dalam 1 trip penangkapan yang
relatif singkat (one day fishing). Atribut kapasitas mesin ini merupakan
atribut tambahan dalam dimensi teknologi penangkapan, sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi aktual di lokasi penelitian.
2. Modifikasi alat penangkapan
Modifikasi alat penangkapan ikan didefinisikan sebagai
penggunaan alat tangkap yang tidak sesuai dengan peraturan yang dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan. Penentuan
indikator ini dilakukan karena modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang
tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung
terhadap kelestarian sumberdaya ikan. Umumnya alat tangkap yang
dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan yang telah
ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian. Sebagai
contoh: modifikasi dari alat tangkap trawl yang secara jelas dilarang
penggunaannya di hampir seluruh perairan di Indonesia.
Trawl ini dimodifikasi menjadi alat tangkap tertentu dengan ukuran
yang relatif sedikit lebih kecil dan diberi nama yang berbeda, walaupun
fungsi dan bentuk dasarnya relatif sama, yakni menjadi dogol, arad,
cantrang, dan lampara dasar.
34
3. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan
(sustainable fisheries capture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan
perikanan yang bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian
sumberdaya ikan perlu dikaji penggunaan alat-alat penangkapan ikan
yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan,
daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana
perikanan yang bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible
Fisheries (CCRF).
FAO (1995) menjelaskan bahwa penangkapan ikan ramah
lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampat
negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap tersebut tidak
merusak dasar perairan, tidak berdampak negatif terhadap biodiversity,
target resources dan non target resources. Selain itu, Monintja (2001)
mengemukakan bahwa terdapat 9 (sembilan) kriteria suatu alat tangkap
dikatakan ramah terhadap lingkungan yang sesuai dengan standar CCRF
diantaranya: (1) Mempunyai selektifitas yang tinggi, (2) Tidak merusak
habitat, (3) Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi, (4) Tidak
membahayakan nelayan, (5) Produksi tidak membahayakan konsumen,
(6) By-catch rendah, (7) Dampak ke biodiversty rendah, (8) Tidak
membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, (9) Dapat diterima secara
sosial.
35
Handline (pancing ulur) merupakan alat penangkapan ikan yang
mempunyai prinsip penangkapan dengan memancing ikan target
sehingga terkait dengan mata pancing yang dirangkai dengan tali
menggunakan atau tanpa umpan. Desain dan konstruksi pancing
disesuaikan dengan target ikan tangkapan yang dikehendaki, sehingga
terdapat berbagai bentuk dan ukuran pancing serta sarana apung maupun
alat bantu penangkapan ikan yang digunakan. Menurut International
Standard Statistical Classification on Fishing Gear (ISSCFG) yang
dikeluarkan oleh FAO (Nedelec et al., 1990) handline adalah alat tangkap
yang paling selektif dan ramah terhadap lingkungan, telah memenuhi kriteria
persyaratan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan.
4. Teknik penangkapan
Teknik penangkapan tuna madidihang oleh nelayan setempat
dengan menggunakan pancing ulur (handline) telah lama dioperasikan
khususnya di perairan Teluk Tomini Kabupaten Boalemo. Alasan para
nelayan menggunakan pancing ulur sebagai alat tangkap tuna adalah alat
pancing ini paling sederhana karena hanya terdiri dari tali pancing, mata
pancing, dan umpan. Penangkapan dilakukan di area rumpon pada saat
ikan tuna berada pada kedalaman 100 meter, atau dengan memotong
jalur pergerakan lumba-lumba yang biasa bergerombol dengan tuna untuk
mencari makan (Habibi et al., 2011).
36
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin panjang
tali pancing ulur yang digunakan dalam aktivitas penangkapan, maka
semakin banyak hasil tangkap tuna dalam jumlah ekor dan berat (kg).
Keadaan ini disebabkan sifat ikan-ikan tuna yang masih kecil (<5 kg) biasa
berdiam di lapisan perairan lebih dekat permukaan laut atau ikut bersama
gerombolan ikan cakalang dan tongkol, ikan madidihang berukuran
sedang berdiam pada kedalaman 50 sampai 100 meter dan ikan yang
berukuran besar tertangkap pada perairan yang lebih dalam lagi (Bandjar
et al., 1994).
Teknik penangkapan dengan menggunakan alat bantu
penangkapan seperti penggunaan rumpon yang berlebihan dengan jarak
yang sangat berdekatan, akan mengganggu pola ruaya atau migrasi ikan,
sehingga siklus hidup sumberdaya ikan akan terhalangi atau terpotong,
yang pada akhirnya menyebabkan sumberdaya ikan akan menipis
(depletion) dan bahkan bisa habis atau punah.
Lemahnya penegakan hukum bagi pelaku penangkapan ikan yang
memodifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapannya
serta ditambah lagi minimnya pengetahuan dan kesadaran konsumen
mengenai ukuran yang layak diperdagangkan atau dikonsumsi,
mengakibatkan perkembangannya semakin sulit dikendalikan, sehingga
hal tersebut tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan
yang berkelanjutan dan lestari (Nur, 2011).
37
5. Tempat pendaratan
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) atau biasa disebut Tempat
Pendaratan Ikan (TPI) adalah tempat bertambat dan berlabuhnya perahu
atau kapal perikanan, tempat pendaratan hasil perikanan dan merupakan
lingkungan kerja kegiatan ekonomi perikanan yang meliputi areal perairan
dan daratan, dalam rangka memberikan pelayanan umum dan jasa untuk
memperlancar kegiatan perahu atau kapal perikanan dan usaha perikanan
(Ditjen. Perikanan, 1997).
TPI/PPI berperan sebagai tempat pendaratan dan penanganan
hasil tangkapan, tempat penimbangan, pelelangan dan pengepakan hasil
tangkapan. Menurut Wiyono (2005), pelabuhan perikanan berguna
sebagai sarana penunjang peningkatan produksi, dengan fungsi yang
meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan
2. Tempat berlabuh armada perikanan
3. Tempat pendaratan ikan hasil tangkapan dan masukan dari daerah
lain
4. Tempat untuk memperlancar kegiatan armada perikanan
5. Pusat pemasaran dan ditribusi ikan hasil tangkapan
6. Pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan
7. Pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengambilan data.
38
G. Dimensi Kelembagaan
Atribut kelembagan merupakan ukuran seberapa tepat kebutuhan
finansial teralokasikan, serta seberapa baik kapasitas administrasi dan
organisasi dalam jangka waktu yang panjang. Kedua hal tersebut
merupakan prasyarat bagi terwujudnya keberlanjutan pada dimensi
lainnya, dimana atribut ini diarahkan untuk mengukur kemampuan
manajemen dan kemampuan penegakan aturan (Charles, 2001).
Keberlanjutan kelembagaan adalah suatu kondisi dimana semua
pranata kelembagaan (institutional arrangements) yang terkait dengan
sistem perikanan tangkap (seperti pelabuhan perikanan, pemasok sarana
produksi, pengolah dan pemasar hasil tangkapan, dan lembaga
keuangan) dapat berfungsi secara baik dan benar serta berkelanjutan.
Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya, dengan
prinsip keberpihakan terhadap masyarakat (nelayan) adalah hal yang
utama.
Pengaturan dan pengalokasian sumber daya secara efisien dan
merata akan sangat menentukan keberhasilan program (Dahuri, 2007).
Upaya untuk meningkatkan status keberlanjutan secara keseluruhan tidak
akan dicapai tanpa memberi perhatian pada pemeliharaan dan
peningkatan kebutuhan finansial, serta kapasitas administrasi dan
organisasi dalam jangka panjang. Namun demikian aspek ini seringkali
diabaikan dan lebih berfokus pada aspek biologi, sosial dan ekonomi
(Charles et al., 2002).
39
Dalam kenyataannya, wilayah pesisir menyimpan permasalahan
kelembagaan yang rumit, yaitu masalah konflik pemanfaatan dan
kewenangan, serta masalah ketidakpastian hukum (Bappenas, 2004).
Secara tradisional, sudah menjadi pola umum bahwa dari mana nelayan
memperoleh pinjaman modal usahanya ke situ pula hasil tangkapan
dipasarkan. Lagipula, standar harga yang berubah-ubah ditentukan oleh
pihak pengusaha atau pemberi modal. Kondisi utang yang besar
mempengaruhi standar harga komoditas yang rendah, demikian
sebaliknya.
Hal ini menunjukkan bahwa nelayan lokal tradisional pada
umumnya masih selalu berada pada posisi tawar (bargaining position)
yang lemah, dan ini merupakan salah satu faktor kemiskinan kebanyakan
nelayan di dunia ketiga, termasuk Indonesia (Lampe, 2009). Meskipun
situasi dan kondisi seperti ini disadari masyarakat bahari khususnya
nelayan, namun peminjaman dan berhutang sudah dipahaminya sebagai
mekanisme pemecahan masalah untuk bertahan hidup.
Dalam dimensi kelembagaan, digunakan delapan (8) atribut,
diantaranya:
1. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
Status sumberdaya ikan di beberapa WPP menurut penelitian
Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) di tahun 2007 sudah berada
dalam kondisi overfishing. Kondisi tersebut dipicu oleh kegiatan
40
penangkapan berlebih, praktek illegal fishing dan penggunaan alat
tangkap terlarang yang kesemuanya mengancam keberlanjutan
sumberdaya perikanan. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 yang telah
disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang
perikanan merupakan jaminan bagi pemerintah dalam melakukan tata
kelola perikanan dengan baik.
Hal ini diperkuat juga dengan Undang-undang Nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintah daerah, menginsyaratkan bahwa dibutuhkan
adanya sinergisitas dan keterpaduan dalam pengelolaan antara
pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengatasi ancaman degradasi
sumberdaya perikanan.
Pengelolaan perikanan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah
perikanan yang bertanggungjawab akan membawa perikanan pada titik
kritis yang mengancam keberlanjutan pasokan pangan nasional dan
internasional serta keberlanjutan stok sumberdaya ikan. Untuk itu
dibutuhkan adanya perencanaan yang matang, tepat dan didukung
dengan mekanisme kelembagaan yang benar agar pengelolaan perikanan
berjalan sejalan dengan prinsip perikanan berkelanjutan.
2. Jumlah peraturan pengelolaan perikanan
Jumlah peraturan merupakan salah satu atribut yang dinilai dalam
keberlanjutan dimensi kelembagaan. Pada dasarnya semakin banyak
41
aturan yang dikeluarkan dalam pengelolaan perikanan tuna madidihang,
semakin baik untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan dan
tentunya aturan tersebut harus jelas dan tidak tumpang tindih. Jumlah
peraturan pengelolaan perikanan ini merupakan atribut tambahan dalam
dimensi kelembagaan, yang sebelumnya pernah digunakan oleh Ali, dkk
(2011) Aturan yang dikeluarkan terkait dengan pengelolaan perikanan
tuna madidihang masih sangat terbatas sehingga dirasa perlu
ditambahkan atribut jumlah peraturan pengelolaan perikanan ini.
3. Partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP
Salah satu penilaian indikator keberlanjutan dimensi kelembagaan
dalam pengelolaan perikanan tuna madidihang adalah partisipasi
pemangku kepentingan dalam penyusunan RPP ikan tuna madidihang di
Teluk Tomini. Partisipasi pemangku kepentingan dalam penyusunan RPP
ini melibatkan berbagai pihak yang terkait secara langsung dalam
pengelolaan perikanan. Pemangku kepentingan dalam pengelolaan
perikanan dapat berupa instansi pemerintah, lembaga/organisasi
masyarakat dan per orangan. Kapasitas pemangku kepentingan
menentukan pengelolaan perikanan mulai dari aspek perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan.
Pemangku perikanan (stakeholder) juga dapat berasal dari para
nelayan dan tokoh nelayan, pengusaha loin tuna, pengolah ikan tuna
madidihang, birokrasi pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah daerah,
42
KKP Pusat, DKP Provinsi, DKP Kabupaten dan Kota yang terlibat dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan tuna madidihang, Perguruan Tinggi,
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), dan organisasi masyarakat pesisir.
4. Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Atribut Konflik kebijakan antar instansi dalam pengelolaan
perikanan juga menjadi indikator keberlanjutan dimensi kelembagaan.
Kebijakan pengelolaan perikanan tuna madidihang diharapkan saling
mendukung dengan kebijakan lain, salah satu contohnya adalah
kebijakan pembinaan teknis oleh Dinas Perikanan dan Kelautan sudah
dilakukan seperti dalam kegiatan penangkapan dan didukung oleh
kebijakan permodalan oleh Dinas Koperasi dan lembaga keuangan seperti
perbankan sehingga nelayan memperoleh modal dalam aktivitas
penangkapannya (PKSPL, 2012).
5. Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Pada prinsipnya, terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu
kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dan kelembagaan
sebagai organisasi (Pakpahan, 1989). Menurut Brinkerkoff dan Goldsmitth
(1990) kelembagaan atau institusi merupakan aturan atau prosedur yang
mengarah pada bagaimana masyarakat bertindak dan peranan organisasi
yang telah mendapatkan status tertentu atau legitimasi.
43
Kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid (1972) dalam
Pakpahan (1990) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata di antara
orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap
hak orang lain, dan tanggung jawab.
6. Lembaga pelaksana pengelola perikanan
Selanjutnya atribut lembaga pelaksana pengelola perikanan
merupakan salah satu atribut dalam keberlanjutan dimensi kelembagaan.
Lembaga pelaksana pengelola perikanan tuna madidihang selain pada
tingkat provinsi dan kabupaten, diharapkan ada pula lembaga pelaksana
pengelola pada tingkat kecamatan atau desa agar perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan dalam pengelolaan perikanan dapat
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
7. Ketersediaan sarana dan sumberdaya manusia (SDM) dalam penegakan peraturan perikanan
Ketersediaan sarana dan SDM dalam pengelolaan perikanan
merupakan atribut yang dinilai dalam keberlanjutan dimensi kelembagaan.
Ketersediaan SDM dan sarana prasarana dalam penegakan peraturan
diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal. Keberadaan unsur
penegakan hukum di perairan Teluk Tomini Kabupaten Boalemo seperti
pengawas perikanan, POLAIRUD, dan TNI-AL diupayakan dapat berjalan
optimal dengan didukung oleh sistem koordinasi yang baik antar lembaga
penegak hukum.
44
8. Keberadaaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Atribut yang menjadi salah satu indikator keberlanjutan dalam
dimensi kelembagaan adalah atribut keberadaan otoritas tunggal dalam
pengelolaan perikanan. Atribut otoritas pengelolaan perikanan tuna
madidihang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya single othority
dalam hal perencanaan, pembinaan, dan pengawasan pengelolaan
perikanan. Keberadaan otoritas ini biasanya berada dibawah kendali
pemerintah (KKP, DKP Provinsi atau DKP Kabupaten) namun tetap
melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
Keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi maupun Kabupaten sebagai
otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan sangat tepat jika digunakan
dengan cara yang benar dan bertanggungjawab karena kewenangannya
dalam mengatur dan mengontrol sangat besar.
H. Metode RAPFISH (Rapid Appraissal for Fisheries)
Menurut Hermawan (2006), permasalahan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan mencakup interaksi komponen
sumberdaya alam (ikan) dan sumberdaya manusia (nelayan) sebagai
stakeholder utama dalam mengendalikan ekologi perikanan. Perilaku
nelayan sangat berkait dengan alat tangkap dan kapal (aspek teknologi);
aspek pasar, aspek manajemen, aspek biologi serta upaya pemulihan
kembali sumberdaya.
45
Pitcher et al. (2001) berpendapat bahwa keberlanjutan perikanan
untuk semua aspeknya, dievaluasi untuk mengetahui statusnya pada
suatu periode waktu tertentu. Selanjutnya berdasarkan statusnya,
pengambilan keputusan dan/atau kebijakan untuk mempertahankan
dan/atau mengembangkan status dimaksud dapat secara objektif
dilakukan yaitu dengan cara perbaikan keadaan dari atribut-atribut
keberlanjutan perikanan tersebut.
Menurut Hamdan (2007), keberlanjutan (suistainability) merupakan
kunci kebijakan yang dibutuhkan untuk perikanan di seluruh dunia.
Sampai saat ini masih sulit untuk menghitung perikanan berkelanjutan,
khususnya ketika dihubungkan informasi dari aspek biologi sumberdaya
ikan, habitat dan ekosistem, teknologi penangkapan, dan kelembagaan.
Teknik RAPFISH adalah suatu metode disiplin terkini yang digunakan
untuk mengevaluasi perbandingan perikanan berkelanjutan berdasarkan
jumlah atribut yang banyak tetapi mudah dinilai. Hasil statusnya
menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang disajikan dalam
bentuk skala 0 sampai 100%.
Metode RAPFISH adalah teknik terbaru yang dikembangkan oleh
University of British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk
mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner.
RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi yaitu menempatkan sesuatu
pada urutan atribut yang terukur dengan menggunakan Multi-Dimensional
Scaling (MDS) (Nababan et al., 2007).
46
Untuk memenuhi kriteria data yang relevan dengan pendekatan
aplikasi RAPFISH, maka kegiatan pengumpulan data dilakukan sebagai
berikut:
1. Pengumpulan laporan terkait atau publikasi ilmiah,
2. Pengumpulan data yang sama dari sumber berbeda (klarifikasi
pemutakhiran data),
3. Verifikasi lapangan untuk observasi langsung dan wawancara
konfirmasi (dengan nelayan, pengolah, atau informan kunci lainnya)
dalam rangka meningkatkan akurasi data,
4. Penyiapan kuesioner yang terkait langsung dengan atribut
RAPFISH (Nababan et al., 2007).
Metode RAPFISH pernah digunakan oleh Hidayanto et al. (2009)
untuk mengetahui Analisis Keberlanjutan Perkebunan Kakao Rakyat Di
Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi
Kalimantan Timur dengan menggunakan lima dimensi yaitu dimensi
ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur
dan teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan.
Selain itu, penelitian terbaru tentang RAPFISH dilakukan oleh Ali et
al. (2012) untuk melihat status keberlanjutan pengelolaan perikanan ikan
terbang (Hyrundicthys oxycephalus) melalui pendekatan ekosistem di
wilayah selat Makassar dengan menggunakan enam dimensi yaitu
dimensi biologi, dimensi habitat dan ekosistem, dimensi penangkapan,
dimensi sosial, dimensi ekonomi, dan dimensi kelembagaan.
47
I. Penentuan Status Keberlanjutan
Alder et al. (2000) menyatakan bahwa keberlanjutan telah menjadi
kebijakan kunci yang dibutuhkan dalam seluruh kegiatan perikanan.
Namun demikian evaluasi terhadap keberlanjutan yang membutuhkan
integrasi aspek ekologi dengan aspek sosial dan ekonomi masih sulit
dilakukan. RAPFISH merupakan teknik multidisiplin untuk menentukan
keberlanjutan secara cepat dalam rangka mengevaluasi keberlanjutan
suatu kegiatan perikanan berdasarkan sejumlah atribut yang mudah
diberikan nilai skor. Ordinasi sejumlah atribut dilakukan dengan
menggunakan multi-dimensional scaling (MDS) yang diikuti dengan
scaling dan rotasi.
Teknik RAPFISH berguna untuk membandingkan status perikanan
dan mengevaluasi potensi dampak dari kebijakan. Teknik ini melingkupi
dan mensistematisasi cakupan evaluasi yang lebih luas dibandingkan
dengan pengkajian stok secara konvensional. Teknik ini dapat
merefleksikan pilihan kebijakan yang realistis beserta trade off yang harus
dilakukan bagi tuntutan kondisi ekonomi, sosial, etika, dan ekologi yang
ada. Konsekuensi dari adopsi kebijakan yang dapat menaikkan skor
dibuat secara eksplisit. Keseluruhan proses pemberian skor dilakukan
secara transparan dan bergantung pada asumsi yang sudah jelas tentang
apa yang dianggap baik atau buruk, dimana asumsi tentang baik atau
buruk dapat dimodifikasi bila dianggap tidak sesuai dengan kasus yang
48
dikaji serta anomali pada skor dapat diperbaiki bila terdapat informasi baru
yang lebih akurat (Pitcher et al., 2001).
RAPFISH adalah sebuah teknik multidisiplin berdasarkan statistik
multivariat untuk menganalisis keberlanjutan perikanan (Alder et al.,
2000). Status keberlanjutan merupakan alat untuk membantu manajer,
ilmuwan, nelayan dan masyarakat memvisualisasikan kondisi lingkungan
perairan dan perikanan saat ini serta membantu untuk mendiskusikan isu–
isu pengelolaan yang berkembang (Charles et al., 2002). Status ini
memiliki peran penting dalam monitoring, pengkajian serta pemahaman
kondisi ekosistem, dampak kegiatan manusia, serta efektifitas kebijakan
mencapai tujuan pengelolaan (Rice et al., 2005).
Penyusunan indikator keberlanjutan saat ini lebih berfokus pada
tingkatan makro (macro-indicator) yaitu nasional dan internasional
sehingga diperlukan pengembangan yang intensif pada tingkatan mikro
(micro-indicator) yaitu regional, lokal, komunitas dimana sebuah kegiatan
berlangsung dengan ciri khas masing-masing. Hal ini mengimplikasikan
perlunya perpaduan antara analisis kondisi lokal-spesifik dengan analisis
kondisi yang berlaku umum dalam sistem perikanan (Charles, 2001).
J. Metode Proses Hirarki Analitik (PHA)
Proses Hierarki Analitik (PHA) adalah salah satu metode Multy
Criteria Multy Decision (MCDM) yang dikembangkan oleh Saaty (1993),
merupakan suatu model pendukung keputusan dan sangat populer
49
digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian
penggunaan lahan. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu
hirarki.
Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana
level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria,
dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Kelebihan
dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam
suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan
adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap
memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara
sederhana (Saaty, 1993).
Metode PHA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan
dalam sistem pengambilan keputusan dengan memperhatikan faktor–
faktor persepsi, preferensi, pengalaman dan intuisi. PHA menggabungkan
penilaian–penilaian dan nilai–nilai pribadi ke dalam satu cara yang logis
(Pariakan, 2012). Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat
diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi
suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur
dan sistematis.
50
Saaty (1993) mengemukakan bahwa AHP sering digunakan
sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain
karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang
dipilih, sampai pada sub kriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi
inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh
pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas
pengambilan keputusan.
Hasil perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka
dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan
suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan dengan
dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah
terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar elemen.
Adapun skala perbandingan secara berpasangan dapat dilihat pada Tabel
1.
51
Tabel 1. Skala perbandingan secara berpasangan
Sumber: Saaty (1993)
Tingkat Kepentingan
Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama penting
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain
Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya
Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya
Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangaan yang berdekatan
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan
Kebalikan
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i
52
Untuk definisi kode 1, menunjukkan bahwa antara kedua faktor,
sasaran maupun alternatif yang ditawarkan sama pentingnya (equal
importance), definisi kode 3, menunjukkan faktor, sasaran maupun
alternatif (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibandingkan
dengan alternatif, sasaran maupun faktor (B), definisi kode 5,
menunjukkan faktor, sasaran, maupun alternatif (A) lebih penting (strong
importance) jika dibandingkan dengan faktor, sasaran, maupun alternatif
(B).
Definisi kode 7, menunjukkan faktor, sasaran maupun alternatif (A)
sangat lebih penting (very strong importance) jika dibandingkan dengan
faktor, sasaran, alternatif (B), sedangkan definisi kode 9 menunjukkan
faktor, sasaran, alternatif (A) mutlak lebih penting (extreme importance)
dibandingkan faktor, sasaran, alternatif (B). Kemudian apabila jawaban
yang diperoleh tersebut masih ragu-ragu antara dua skala maka dapat di
ambil nilai tengahnya, misalkan ragu-ragu antara nilai 3 dan 5 maka dapat
dipilih skala 4 dan seterusnya.
Penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap
secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor
yang intangible (yang tidak terukur) ke dalam aturan yang biasa, sehingga
dapat dibandingkan. Adapun tahapan dalam analisis data sebagai berikut
(Saaty, 1993):
53
1. Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan
dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para pakar
yang memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang
relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
2. Penyusunan struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum,
dilanjutkan dengan sub-tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-
alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah.
3. Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap
elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat
diatasnya. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam
PHA berdasarkan “judgement” atau pendapat dari para responden
yang dianggap sebagai “key person“. Mereka dapat terdiri atas: (a)
pengambil keputusan; (b) para pakar; (b) orang yang terlibat dan
memahami permasalahan yang dihadapi.
4. Matriks pendapat individu, formulasinya dilakukan melalui perangkat
lunak Expert Choice 9.5, dalam hal ini mencerminkan nilai
kepentingan.
5. Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi
pendapat cukup tinggi (>0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah
revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi
penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya
penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya.
54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan kurang lebih 3 bulan, yaitu dari bulan Maret
hingga Mei 2013. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, studi
pustaka, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan
penulisan hasil penelitian. Adapun penentuan lokasi dilakukan
berdasarkan pertimbangan lokasi geografis wilayah utama penangkapan
ikan jenis tuna madidihang (Thunnus albacares).
Kegiatan perikanan tangkap di wilayah Teluk Tomini sejauh ini
berada pada daerah penangkapan (fishing ground) yang jaraknya relatif
dekat dari garis pantai dengan trip penangkapan yang relatif pendek.
Fishing base yang digunakan selama penelitian adalah pangkalan nelayan
di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berada di Desa Pentadu Timur,
Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo dengan posisi 122°21'24,1"
Bujur Timur (BT) dan 00°30'35,7" Lintang Utara (LU). Adapun peta lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
55
Gambar 4. Peta lokasi penelitian
B. Metode Pengumpulan Data
Secara umum, data yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui survei
(observasi dan wawancara). Wawancara merupakan teknik pengumpulan
data dalam metode survei yang menggunakan pertanyaan secara lisan
maupun tulisan kepada subjek penelitian (Sekaran, 2006). Dalam
penelitian ini, pertanyaan peneliti dan jawaban responden dalam
penelitian ini dikemukakan secara tertulis melalui suatu kuesioner.
Kuesioner yang diajukan kepada responden dengan menggunakan
daftar pertanyaan yang sifatnya tertutup (close question), yaitu jawaban
kuesioner telah tersedia dan responden tinggal memilih beberapa
56
alternatif dari pilihan jawaban yang telah disediakan. Kuesioner ini
ditanyakan langsung oleh peneliti kepada responden. Melalui hasil
kuesioner dapat diketahui informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini
berupa pilihan alternatif kebijakan dan prioritas-prioritas yang diperlukan
untuk pengelolaan perikanan.
Adapun distribusi responden pada penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan purposive sampling, yakni dengan menghubungi dan
mewawancarai responden yang dianggap memiliki informasi dan
pengetahuan yang luas tentang aktivitas penangkapan dan
perkembangan hasil produksi di perairan Teluk Tomini. Responden terdiri
atas 6 (enam) pakar pengelolaan perikanan tuna madidihang, 4 (empat)
staf Dinas Kelautan dan Perikanan, 9 (sembilan) nelayan dan tokoh
nelayan.
Sedangkan untuk data sekunder adalah data yang tidak dapat
diperoleh dari data primer sehingga perlu studi kepustakaan (desk study).
Teknik pengumpulan data dengan desk study dilakukan untuk
mengumpulkan data ataupun informasi awal dan lanjutan yang berkaitan
dengan studi, untuk memperkaya kerangka konsepsional dan desain
metodologi serta referensi pada saat penyusunan laporan akhir studi.
Teknik desk study merupakan salah satu upaya untuk mempelajari
informasi, data dan laporan yang mempunyai relevansi dengan tujuan
penelitian. Penggalian data dan informasi dalam teknik ini terbagi atas
penelusuran melalui internet dan penelusuran langsung pada lembaga
57
dan instansi terkait pengelolaan perikanan tuna madidihang seperti
Kementerian Kelautan dan Perikanan, institusi penelitian perikanan,
universitas, Dinas Kelautan dan Perikanan Tingkat I dan Tingkat II,
organisasi nelayan, serta instansi lain yang terkait dengan kajian ini baik
instansi pemerintah maupun non pemerintah. Selain itu, data sekunder
serta informasi aktual lainnya dikumpulkan melalui survei yang dilakukan
dengan cara menghimpun informasi secara langsung kepada responden
dengan metode wawancara.
Untuk memenuhi kriteria data yang relevan dengan pendekatan
RAPFISH, maka kegiatan pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
1. Pengumpulan laporan terkait atau publikasi ilmiah
2. Pengumpulan data yang sama dari sumber berbeda (klarifikasi
kemutakhiran data)
3. Verifikasi lapang untuk observasi langsung dan wawancara
konfirmasi dengan nelayan, pengolah, atau informan kunci lainnya
dalam rangka meningkatkan akurasi data.
4. Penyiapan kuesioner yang terkait langsung dengan atribut
RAPFISH.
58
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi tahapan penelitian, peubah yang
digunakan, sumber data, metode analisis yang digunakan serta output
yang diharapkan. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan tersaji pada
Tabel 2.
Tabel 2. Prosedur penelitian
No. Tahapan Peubah Analisis Data Output
1. Identifikasi kondisi atribut
Atribut dimensi biologi, kelembagaan, dan teknologi penangkapan
- Deskriptif - M. Excel 2003
Tabel dan skoring dari tiap atribut
2.
Analisis atribut pada dimensi biologi
- Pengukuran panjang cagak (fork length)
- Pengukuran berat total ikan
- Deskriptif - Pengukuran
langsung - M. Excel 2007
Diagram persentase hasil tangkapan menurut ukuran panjang cagak
Tabel interval kelas dan persentase bobot ikan yang tertangkap
3. Analisis indeks keberlanjutan
Dimensi biologi, teknologi penangkapan, dan kelembagaan
- RAPFISH - Analisis
sensitivitas - Analisis status
Monte Carlo
- Sensitive attribute
- Ordinasi dan Monte Carlo
- Kite diagram
4.
Analisis status keberlanjutan multidimensi
Status keberlanjutan multidimensi
- Program bobot dimensi
- Skala perbandingan
- Kite diagram - Prioritas
pengelolaan
59
D. Analisis Data
Menurut Pitcher et al. (2001), penelitian di bidang perikanan sangat
kompleks atau bersifat multidisiplin, sehingga penilaian terhadap
kelestarian atau keberlanjutan sumberdaya perikanan tidak dipetakan
pada kriteria tunggal, tetapi menyangkut berbagai aspek (multidimensi).
Berdasarkan kondisi permasalahan tersebut, maka penelitian ini
didasarkan pada analisis multivariate. Salah satu aplikasi multivariate
sederhana adalah Multi Dimensional scalling (MDS). Aplikasi MDS untuk
analisis multivariate dalam sektor perikanan telah dibuktikan oleh Alder et
al. (2000) dan hasilnya sangat memuaskan.
Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada teknik Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries
Sustainability) yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of
British Columbia (Kavanagh, 2001) yang telah digunakan oleh Nur (2011);
Thamrin et al. (2007); dan Mamuaya (2008).
Rapfish akan menghasilkan gambaran yang jelas dan
komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya
perikanan di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan
untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan
perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana
disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO,
1995) yang diacu dalam Hermawan (2006) mengikuti struktur pada
Gambar 5.
60
Secara detail, prosedur analisis dengan teknik RAPFISH akan
melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Analisis terhadap data perikanan.
2. Analisis data pengamatan lapangan dan studi literatur.
3. Melakukan skoring aspek keberlanjutan perikanan.
4. Melakukan analisis Multi-Dimensional Scaling (MDS) dengan
menggunakan program Microsoft Excel untuk menentukan ordinasi
dan nilai stress.
5. Melakukan rotasi untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi
bad dan good.
6. Melakukan analisis sensitivitas (leverage analysis) dan Monte Carlo
analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.
Adapun proses/tahapan aplikasi RAPFISH pada pengelolaan
perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo dapat
dilihat pada Gambar 5.
61
Gambar 5. Proses/tahapan aplikasi RAPFISH pada pengelolaan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo
Di dalam penelitian ini, dilakukan beberapa tahapan dengan
mengacu pada prosedur RAPFISH yaitu: (1) Penentuan atribut; (2)
Analisis sensitifitas; (3) Status keberlanjutan dimensi pengelolaan; (4)
Status keberlanjutan multidimensi.
Mulai
Review atribut dalam beberapa kategori dan
kriteria
Identifikasi dan pendefinisian perikanan berdasarkan kriteria yang ditentukan
Penyusunan nilai skor dan nilai tengah, bad dan good
Ordinasi MDS untuk tiap atribut, rotasi plot ordinasi bad dan good
dalam garis horizontal
Simulasi Monte Carlo untuk mengecek akurasi data
Analisis leverage untuk mengidentifikasi
atribut yang menjadi faktor pengungkit
Penilaian Keberlanjutan
62
1) Penentuan atribut keberlanjutan
Charles (2001) menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam
praktek penilaian status keberlanjutan dari sebuah sistem yang akan dikaji
adalah bagaimana menyiapkan indikator atau atribut keberlanjutan yang
sesuai dengan kebutuhan. Kriteria umum penentuan atribut setiap dimensi
adalah dari kemudahannya untuk diberi skor secara objektif, serta
memiliki titik ekstrim keberlanjutan yang dapat dinyatakan secara
sederhana sebagai baik atau buruk. Atribut yang dipilih dalam satu
dimensi harus merefleksikan keberlanjutan dari dimensi tersebut serta
dapat dimodifikasi dengan atribut lain jika informasinya telah tersedia.
Dengan demikian dibutuhkan informasi substansial, survei yang
independen, serta model kompleks untuk estimasi titik referensi yang
merepresentasikan pengelolaan yang obyektif untuk perikanan tangkap
(Pitcher et al., 2001).
Paradigma pembangunan perikanan dalam perkembangannya
telah mengalami evolusi dari paradigma konservasi yang menekankan
aspek biologi ke paradigma rasionalisasi yang menenkankan aspek
ekonomi, dan selanjutnya berubah ke paradigma yang memberi
penekanan pada aspek sosial atau komunitas. Dalam konteks
pembangunan berkelanjutan pada sektor perikanan ketiga paradigma
tersebut di atas tetap relevan untuk digunakan dengan cara
mengakomodasikan berbagai aspek paradigma tersebut dalam
pengelolaan yang diterapkan (Charles, 2001).
63
Analisis keberlanjutan dengan teknik RAPFISH ini dimulai dengan
mereview, mengidentifikasi dan mendefinisikan atribut perikanan yang
digunakan (Tabel 2 sampai dengan Tabel 5). Kriteria umum penentuan
atribut setiap dimensi adalah kemudahan untuk diberi skor secara objektif,
serta titik ekstrim keberlanjutannya dapat dinyatakan secara sederhana
sebagai baik atau buruk. Atribut yang dipilih harus merefleksikan
keberlanjutan setiap dimensi dan dapat dimodifikasi dengan atribut lain
jika informasinya telah tersedia (Pitcher et al., 2001).
Dimensi dan atribut penelitian yang digunakan dalam penilaian
kriteria keberlanjutan perikanan tuna madidihang adalah modifikasi
manual modul Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM)
dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), World Wildlife Fund
(WWF) dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)
Institut Pertanian Bogor (IPB) (2012), Nur (2011) dan pengamatan awal di
lokasi penelitian (Tabel 3 sampai dengan Tabel 5). Namun pada penelitian
ini hanya menggunakan tiga dimensi yaitu dimensi biologi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan untuk melihat pemanfaatan sumberdaya,
teknik penangkapan ikan dan aturan dalam pengelolaan perikanan,
sehingga mencapai pembangunan perikanan secara berkelanjutan.
Atribut yang digunakan pada dimensi biologi untuk jenis tuna
madidihang (Thunnus albacares) yaitu status eksploitasi, Catch Per Unit
Effort (CPUE), rata-rata ukuran panjang cagak ikan, berat ikan, range
collapse, dan proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap. Adapun
64
atribut yang digunakan pada dimensi teknologi penangkapan yaitu
kapasitas mesin, modifikasi alat penangkapan, penangkapan ikan yang
ramah lingkungan, teknik penangkapan, dan tempat pendaratan.
Sedangkan atribut yang digunakan pada dimensi kelembagaan
yaitu partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP, keberadaan otoritas
tunggal dalam pengelolaan perikanan, konflik kebijakan pengelolaan
perikanan, jumlah peraturan, rencana pengelolaan perikanan,
ketersediaan sarana dan SDM dalam penegakan peraturan, kepatuhan
terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan, dan lembaga
pelaksana pengelola perikanan. Adapun indikator/atribut dalam analisis
RAPFISH untuk masing-masing dimensi yang dianalisis dapat dilihat pada
Tabel 3 sampai Tabel 5.
65
Tabel 3. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk dimensi biologi.
No. Indikator /
Atribut Penjelasan
Metodologi Pengumpulan
data Kriteria dan Sumber
1. Status eksploitasi
Status pemanfaatan sumberdaya berdasarkan MSY (Maximum Suistanable Yield)
Data sekunder dan data primer
1 : Over exploited 2 : Fully exploited 3 : Moderate / non exploited (FAO, 1999; Hermawan, 2006; Nur, 2011; Ali et al., 2012)
2. CPUE Hasil tangkapan persatuan upaya (trip / kapal)
Data sekunder dan wawancara
1 : Penurunan CPUE >1000 kg/unit
2 : Penurunan CPUE 250-1000 kg/unit
3: Penurunan CPUE <250 kg/unit
(Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Boalemo, 2013)
3. Rata-rata ukuran panjang cagak ikan
Perubahan ukuran panjang ikan (FL)
Data primer
1 : < 77 Cm 2 : 77 - 100 Cm 3 : > 100 Cm (Collete et al., 1983; Itano, 2001; Marion et al., 2010)
4. Berat ikan Perubahan size Data primer
1 : Size < 20 kg 2 : Size 20 - 40 kg 3 : Size > 40 kg (Collete et al., 1983; Marion et al., 2010)
5. Range collapse SDI semakin jauh ditemukan
Survey dan wawancara
1 : Fishing ground sangat jauh 2 : Fishing ground jauh 3 : Fishing ground dekat (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
6. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap
Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).
Data primer dan wawancara
1 : Banyak sekali (> 60%)
2 : Banyak (30 - 60%)
3 : Sedikit (<30%) (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
66
Tabel 4. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk dimensi teknologi penangkapan.
No. Indikator /
Atribut Penjelasan
Metodologi Pengumpulan
data Kriteria dan Sumber
1. Kapasitas mesin
Kemampuan mesin untuk menggerakkan perahu
Survey dan wawancara
1 : > 9 PK 2 : 7 - 9 PK 3 : < 7 PK (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Boalemo, 2013)
2. Modifikasi alat penangkapan
Perubahan alat tangkap untuk peningkatan kapasitas
Survey dan wawancara
1 : Ada perubahan untuk meningkatkan kapasitas alat
2 : Tidak ada perubahan perkapasitas alat
(Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
3.
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Aktivitas penangkapan yang tidak merusak lingkungan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ramah lingkungan 2 :Ramah lingkungan (Ali et al., 2012)
4. Teknik penangkapan
Pola penangkapan ikan
Survey dan wawancara
1 : Rumpon 2 : Berburu (tidak
menggunakan rumpon) (Nur, 2011; DKP Boalemo, 2013)
5. Tempat pendaratan
Lokasi pendaratan hasil tangkapan
Survey dan wawancara
1 : Kampung nelayan 2 : TPI Kecamatan (Ali et al., 2012)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
67
Tabel 5. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk dimensi kelembagaan.
No. Indikator /
Atribut Penjelasan
Metodologi Pengumpulan
data Kriteria dan Sumber
1.
Keberadaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Single otoritas akan meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelolaan perikanan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ada single otoritas 2 : Lebih dari satu otoritas 3 : Ada single otoritas
Nur (2011) Ali et al., (2012)
2.
Partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP
Tingkat partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP perikanan
Wawancara dan observasi
1 : Tidak ada 2 : Ada tapi tidak efektif 3 : Ada dan efektif (Ali et al., 2012)
3. Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Konflik kebijakan antar lembaga
Survey, wawancara, dan observasi
1 : Kebijakan yang saling bertentangan 2 : Kebijakan tidak saling mendukung 3 : Kebijakan saling mendukung (Ali et al., 2012)
4. Jumlah peraturan pengelolaan perikanan
Sejauh mana pertambahan aturan main
Wawancara dan observasi
1 : 0-1 peraturan 2 : 2-3 peraturan 3 : > 3 peraturan (Ali et al., 2012)
5. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidak ada RPP
Wawancara dan observasi
1 : Belum ada RPP 2 : Ada RPP tapi belum dijalankan 3 : Ada RPP dan telah dijalankan (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
6.
Ketersediaan sarana dan SDM dalam penegakan peraturan
Apakah ada sarana dan SDM yang mendukung penegakan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ada sarana dan SDM 2 : Ada sarana dan SDM tapi tidak
berjalan efektif 3 : Ada sarana dan SDM serta ada
penindakan (Ali et al., 2012)
7.
Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan formal
Data sekunder
1 : > 20 kali terjadi pelanggaran hukum 2 : 5-20 kali terjadi pelanggaran hukum 3 : < 5 kali terjadi pelanggaran hukum (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
8. Lembaga pelaksana pengelola
Keberadaan lembaga pada tiap tingkatan pengelolaan
Wawancara dan observasi
1 : Tingkat Nasional 2 : Tingkat Provinsi dan kabupaten 3 : Tingkat lokal/desa (Nur, 2011, Ali et al., 2012)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
Berdasarkan data yang dikumpulkan sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, pengolahan dan analisisnya akan dikerjakan dengan
mengikuti prosedur RAPFISH, baik untuk penilaian dan pendugaan
68
parameter biologi, maupun penentuan status keberlanjutan perikanan dari
aspek teknologi penangkapan dan kelembagaan, serta untuk
implementasi pengembangan pengelolaan perikanan tuna madidihang
yang berkelanjutan. Secara singkat, analisis RAPFISH digunakan untuk
menentukan status keberlanjutan dari ketiga aspek tersebut di atas,
sedangkan untuk menggambarkan kondisi aktual perikanan tuna
madidihang dari masing-masing aspek tersebut, data diolah dengan
menggunakan analisis deskriptif.
Pendekatan deskriptif ini, bertujuan membuat deskripsi atau
penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta
dan sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir,
1983). Penggambaran tersebut meliputi pengamatan langsung di lokasi
penelitian dan semua informasi statistik mengenai atribut-atribut
keberlanjutan perikanan dalam aspek biologi, teknologi penangkapan, dan
kelembagaan.
Setelah itu dilakukan penilaian (scoring) perikanan yang dianalisis.
Dalam melakukan penilaian (scoring), didasarkan pada ketentuan yang
sudah ditetapkan dalam teknik RAPFISH. Data hasil skoring selanjutnya
diproses dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak (Software)
RAPFISH yang dipautkan (add-ins) pada Microsoft Excel. Sesuai
masukan hasil skor atribut yang tersusun dalam matriks Rap Scores
dalam bentuk lembaran kerja perangkat lunak Microsoft Excel, maka
69
proses pengolahan data selanjutnya berlangsung dalam perangkat lunak
tersebut.
Dalam perangkat lunak (Software) RAPFISH, pengolahan terjadi
dalam Microsoft Excel 2003 guna mengoperasikan multi-dimensional
scalling (MDS), analisis leverage (JackKnife), dan analisis Monte Carlo.
sebagaimana diajukan Kavanagh et al. (2004), analisis multi dimensional
diterapkan untuk mentransformasikan skor dari keseluruhan atribut
keberlanjutan perikanan menurut dimensinya pada ordinasi diantara 0
(buruk) dan 100 (baik).
ketepatan transformasi tersebut dikontrol oleh statistik stres dan
koefisien determinasi. Selain itu, untuk mengetahui pengaruh kesalahan
pembuatan skor atribut, mengetahui pengaruh variasi pemberian skor,
mengetahui stabilitas proses analisis MDS yang dilakukan berulang, dan
mengetahui kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data),
dilakukan analisis Monte Carlo.
2) Analisis sensitifitas (Leverage Analysis)
Untuk melihat atribut yang memberikan pengaruh terhadap indeks
keberlanjutan dilakukan analisis sensitifitas (leverage analysis). Atribut
paling sensitif akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam
bentuk perubahan akar nilai tengah kuadrat (Root Mean Square, RMS)
yaitu pada sumbu X (skala keberlanjutan). Semakin besar nilai perubahan
70
RMS semakin besar peranan atribut tersebut, sehingga semakin sensitif
dalam pembentukan nilai keberlanjutan pada skala keberlanjutan.
Dimana:
Xred = Hasil ordinasi dengan reduksi atribut
Xflip = Hasil ordinasi tanpa reduksi atribut
N = Jumlah atribut
3) Status keberlanjutan dimensi
Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan
perikanan tuna madidihang. Atribut masing-masing dimensi serta kriteria
baik dan buruk mengacu kepada konsep yang digunakan Pitcher et al.
(2001), Rapfish group (2006) dan Allahyari (2010) serta pendapat dari
para pakar dan stakeholders yang terkait dengan sistem yang dikaji. Nilai
indeks dan status keberlanjutan dalam penelitian ini dikelompokkan ke
dalam empat kategori status keberlanjutan (Tabel 2). Setiap atribut
diperkirakan skornya, yaitu skor maksimum 2 untuk kondisi baik (good)
dan 0 untuk jelek (bad) dan di antaranya untuk keadaan di antara baik dan
buruk.
Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk
menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem
yang dikaji relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi
.............. (1)
71
statistik MDS. Pemilihan MDS dalam analisis RAPFISH dilakukan
mengingat metode multi-variate analysis yang lain, seperti faktor analysis
dan Multi-Attribute Utility Theory (MAUT), terbukti tidak melahirkan hasil
yang stabil (Pitcher et al., 2001).
Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati di petakan ke dalam
ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan
ada sedekat mungkin dari titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek
yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya,
objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang
berjauhan. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan
pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi dapat ditulis
sebagai berikut:
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS
kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik
i ke titik j dengan titik asal (dij) sebagaimana persamaan berikut :
.............. (2)
.............. (3)
72
Dimana:
dij = Jarak Euclidian
= Intersept
= Slope/sudut kemiringan
= Error
đ = Disparitas
Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0%
sampai yang terbaik (good) 100%.
Tabel 6. Kategori selang nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi yang dikaji
No. Selang Nilai Indeks Kategori
1. x < 25 Sangat buruk
2. 26 < x < 50 Buruk
3. 51 < x < 74 Baik
4. x > 75 Sangat Baik
Sumber: Nababan et al. (2007)
Status keberlanjutan setiap dimensi divisualisasikan dalam bentuk
diagram layang-layang (kite diagram) yang menggambarkan keberlanjutan
dari masing-masing dimensi. Agar status keberlanjutan secara
keseluruhan dapat dinilai, dilakukan pembobotan terhadap masing-masing
dimensi dengan menggunakan pendapat minimal tiga (3) orang pakar
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Hasil pembobotan kemudian dianalisis dengan menggunakan
Program Penentuan Bobot Dimensi menggunakan Microsoft Excel sesuai
Budiharsono (2007). Program penentuan bobot dimensi ini merupakan
73
gabungan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari
Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan pembobotan geomean,
menggunakan program Expert choice 9.5.
4) Status keberlanjutan multidimensi
Secara keseluruhan, keluaran analisis RAPFISH yaitu status
keberlanjutan perikanan ditinjau dari berbagai dimensi ini nantinya
merupakan dasar untuk analisis selanjutnya dengan menggunakan
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menyusun kegiatan
yang terencana dalam pengembangan pengelolaan selanjutnya dan
mengacu pada atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi status
perikanan pada masing-masing aspek yang dianalisis (Nababan, 2007).
Setelah diperoleh nilai dari masing-masing indeks keberlanjutan,
kemudian nilai tersebut dikalikan dengan bobot tertimbang setiap dimensi
dari hasil analisis AHP, kemudian total dari hasil perkalian indeks
keberlanjutan dimensi dengan bobot tertimbang menunjukkan nilai status
pengelolaan secara keseluruhan (multidimensi).
Nilai dari status keberlanjutan perikanan tuna madidihang secara
keseluruhan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu (1) Apabila nilai
indeks < 50, berarti status pengelolaan buruk; (2) Apabila nilai indeks 50
sampai 75, berarti status pengelolaan baik; dan (3) Apabila nilai indeks >
75, berarti status pengelolaan sangat baik (Budiharsono, 2007).
74
Metode AHP digunakan untuk menggambarkan upaya apa yang
dibutuhkan/dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dan
untuk mengetahui tingkat keterkaitannya, sehingga dapat membuat
perkiraan untuk masa depan dalam merumuskan strategi pengelolaan
perikanan yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya ikan, habitat dan
ekosistem, pranata aturan teknologi penangkapan ikan, dan pranata sosial
(Kartika, 2010).
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Keberlanjutan Dimensi Biologi
Keberlanjutan biologi sumberdaya ikan adalah suatu kondisi
dimana kualitas dan kesehatan ikan yang hidup dalam suatu ekosistem
perairan terpelihara dengan baik, dapat tumbuh dan berkembang biak
secara optimal, dan tingkat penangkapan sumberdaya ikan tidak
melampaui kemampuan pulihnya (renewable capacity) sehingga hasil
tangkapan secara keseluruhan pada berbagai tingkatan pemerintahan dan
negara dapat berlangsung secara berkelanjutan (Dahuri 2006).
Tuna madidihang adalah jenis ikan yang memiliki fekunditas tinggi
dan dapat memijah sepanjang tahun yang menyebabkan populasinya
tidak rentan terhadap peningkatan laju aktifitas penangkapan. Namun
demikian, karena data yang dibutuhkan untuk menduga status eksploitasi
cakalang dari seluruh wilayah penangkapan Teluk Tomini hingga saat ini
belum cukup tersedia, maka monitoring ketat terhadap tren stoknya perlu
dilakukan (IOTC, 2011). Atribut pada dimensi ini berkaitan dengan kondisi
biologi populasi tuna madidihang di perairan Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo.
76
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi biologi terdiri dari 6 (enam) atribut, antara lain:
(1) status eksploitasi, (2) Catch Per Unit Effort (CPUE), (3) rata-rata
ukuran panjang cagak (fork length), (4) bobot ikan, (5) range collapse, dan
(6) proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap.
1. Status eksploitasi
Kondisi sumberdaya ikan tuna madidihang di wilayah perairan
Teluk Tomini yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia (WPP-RI 715) telah ditetapkan oleh pemerintah
sebagai sumberdaya yang telah mengalami fully exploited berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Kep.45/Men/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di WPP
Negara RI.
Adapun status eksploitasi sumberdaya ikan tuna madidihang
berdasarkan kelompok sumberdaya ikan (tuna besar) di WPP-RI 715
dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Status tingkat eksploitasi sumberdaya ikan (tuna besar) di perairan Teluk Tomini WPP-RI 715.
No. Kelompok sumberdaya ikan (tuna besar)
Status eksploitasi
1. Cakalang (Katsuwonus pelamis) Moderate
2. Madidihang (Thunnus albacares) Fully exploited
3. Mata besar (Thunnus obesus) Over exploited
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.45/Men/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di WPP Negara RI.
77
Selanjutnya berdasarkan lampiran 2 dari Surat Keputusan tersebut,
menunjukkan bahwa status eksploitasi ikan tuna madidihang di WPP-RI
715 berada dalam status fully exploited yang diberi warna kuning. Peta
tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa WPP-RI tersaji pada
Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Peta tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa WPP-RI.
2. Catch Per Unit Effort (CPUE)
Hasil tangkapan per-satuan upaya (Catch Per-Unit Effort, CPUE)
adalah salah satu indeks kelimpahan stok dan merupakan suatu indikator
bagi status pemanfaatan sumberdaya ikan dan indikator keberlanjutan
perikanan tuna madidihang. CPUE yang cenderung naik merupakan
gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumberdaya ikan masih dapat
dikembangkan. Hal ini diperoleh jika beberapa nelayan menangkap ikan
78
dalam jumlah banyak dimana penangkapan masih menyisakan ikan yang
cukup untuk bereproduksi, berkembang dan mempertahankan tangkapan
untuk masa yang akan datang, sehingga situasi seperti ini merupakan
salah satu target pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Adapun CPUE yang cenderung menurun merupakan indikasi bahwa
tingkat eksploitasi sumberdaya ikan apabila terus dibiarkan akan mengarah
kepada suatu keadaan yang disebut over exploited (Badrudin et al., 2010).
Penurunan ini terjadi apabila ikan yang tertangkap sudah berkurang dan
ikan-ikan berebut untuk bereproduksi/berkembang. Situasi ini disebabkan
oleh banyaknya nelayan melakukan penangkapan dalam waktu yang lama
atau banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap untuk memperoleh
ikan paling banyak.
Selain itu para nelayan cenderung terus menangkap ikan karena
mereka masih ingin memperoleh keuntungan besar seiring harga ikan yang
meningkat oleh karena kelangkaan ikan di pasar. Peningkatan harga ini
biasanya menyebabkan nelayan harus melaut ke area penangkapan yang
baru atau menambah jumlah alat tangkap atau ukuran mata pancing yang
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sama. Pada situasi seperti ini,
rata-rata hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) menurun dengan cepat
karena nelayan meningkatkan kemampuan menangkap ikan dengan
menambah usaha penangkapan.
79
Ditambah lagi dengan ulah beberapa nelayan yang mengganti alat
tangkap yang memiliki ukuran mata pancing lebih kecil sehingga mustahil
ikan terlepas dari penangkapan dan bisa bereproduksi. Oleh sebab itu
CPUE bisa menurun pada titik dimana nelayan terpaksa memburu ikan-
ikan yang tersisa untuk kehidupannya namun sia-sia sehingga dapat
membuat persediaan ikan semakin kurang hingga tidak dapat menangkap
lagi bahkan hal seperti ini bisa menyebabkan kondisi suatu area akan lebih
buruk.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan
Kepala dinas Kelautan dan Perikanan Bidang Penangkapan Kabupaten
Boalemo dan beberapa nelayan tuna handline beserta pengusaha loin tuna
yang dalam hal ini bertindak sebagai pengumpul, maka diperoleh
perkembangan CPUE yang relatif menurun. Penurunan ini terjadi hingga
mencapai 250 sampai 1000 kg/trip. Menurunnya persediaan ikan
disebabkan banyaknya nelayan yang memakai alat tangkap dengan
menargetkan jenis ikan yang belum dewasa, tidak selektifnya/efektifnya
alat tangkap, dan menurunnya daya dukung lingkungan (karang, lamun,
dan bakau). Jika banyak nelayan melakukan penangkapan terlalu lama
dengan menggunakan teknik yang tidak berkelanjutan maka akan terjadi
penurunan hasil tangkapan setiap tahunnya.
Hal ini menggambarkan penangkapan yang berlebihan sehingga
menyebabkan CPUE akan menurun. Penangkapan berlebih terjadi karena
tidak ada manajemen yang mengontrol tindakan nelayan yang
80
memaksimalkan tangkapan setiap individu tanpa mempertimbangkan
keberlanjutan sumberdaya milik bersama tersebut. Hasil tangkapan lebih
banyak didapatkan pada musim timur (Juni sampai November)
dibandingkan hasil tangkapan pada musim barat (Desember sampai Mei).
Puncak penangkapan terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober setiap
tahunnya.
3. Rata-rata ukuran panjang cagak
Atribut rata-rata ukuran ikan dinilai melalui adanya perubahan rata-
rata ukuran ikan dengan menggunakan panjang. Hasil pengukuran yang
dilakukan mendapatkan rataan panjang cagak 119 cm dengan kisaran
92,1 cm hingga 170,2 cm (Lampiran 1). Adapun interval kelas dan
persentase hasil pengukuran pancang cagak tuna madidihang tersaji pada
Tabel 8 berikut:
Tabel 8. Interval kelas dan persentase hasil pengukuran pancang cagak tuna madidihang
No. Interval kelas (cm) Persentase (%)
1. 92 sampai 102 25
2. 103 sampai 113 14
3. 114 sampai 124 39
4. 125 sampai 135 3
5. 136 sampai 146 0
6. 147 sampai 157 14
7. 158 sampai 168 3
8. 169 sampai 179 3
Jumlah 100
Sumber: Data primer (2013)
81
Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk
ukuran panjang cagak tuna madidihang berada pada interval kelas 114
cm sampai 124 cm dengan jumlah persentase sebesar 39%. Merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Itano (2001) yang menyatakan
bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad (size at first maturity)
pada ukuran panjang cagak mencapai 107,9 cm, maka dalam penelitian
ini diperoleh 25% sampling yang belum mencapai umur dewasa (maturity)
dan hanya 14% dari sampling yang masih berada pada fase pertama kali
matang gonad (size at first maturity). Sementara 61% diantaranya telah
melewati tahap tersebut sehingga diasumsikan telah bereproduksi
sebelum tertangkap. Hasil pengukuran tersebut juga menjelaskan bahwa
kehadiran kelompok ikan muda atau ragam rekruitmen dalam hasil
tangkapan nelayan handline relatif kecil. Berikut ini adalah diagram yang
menunjukkan persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran panjang cagak (fork length) yang tersaji dalam Gambar 7.
82
Gambar 7. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut ukuran panjang cagak (fork length). 4. Bobot ikan
Berdasarkan jumlah hasil tangkapan nelayan handline selama
penelitian, didapatkan ukuran terbesar bobot ikan tersebut adalah 67,3 kg
dengan ukuran terkecilnya adalah 14,6 kg. Rataan jumlah tangkapan tuna
madidihang dari ukuran terkecil hingga ukuran terbesar adalah 38,25 kg
(Lampiran 1). Interval kelas dan persentase bobot total tuna madidihang
dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:
25%
14%
39%
3%
0%
14%
3%
3%
92 - 102 cm
103 - 113 cm
114 - 124 cm
125 - 135 cm
136 - 146 cm
147 - 157 cm
158 - 168 cm
169 - 179 cm
83
Tabel 9. Interval kelas dan persentase bobot total tuna madidihang
No. Interval kelas (kg) Persentase (%)
1. 14 sampai 24 22
2. 25 sampai 35 33
3. 36 sampai 46 11
4. 47 sampai 57 11
5. 58 sampai 68 22
Jumlah 100
Sumber: Data primer (2013)
Dari Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk
ukuran bobot total tuna madidihang berada pada interval kelas 25 sampai
35 kg dengan jumlah persentase sebesar 35%. Berangkat dari hasil
penelitan yang pernah dilakukan oleh Marion et al. (2010) yang
menyatakan bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad pada
ukuran bobot total mencapai 25 kg, maka dalam penelitian ini diperoleh
22% sampling yang belum mencapai umur dewasa (maturity) dan hanya
33% dari sampling yang masih berada pada fase pertama kali matang
gonad (size at first maturity). Berikut ini adalah diagram yang
menunjukkan persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran bobot total tuna madidihang yang tersaji dalam Gambar 8.
84
Gambar 8. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut ukuran
bobot ikan.
Dari Gambar 8 di atas memperlihatkan bahwa terdapat 44%
sampling yang telah melewati fase pertama kali matang gonad dengan
asumsi bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad pada ukuran
bobot total mencapai 25 kg sesuai dengan pendapat Marion et al. (2010).
Persentase ini menunjukkan bahwa tuna madidihang yang tertangkap
oleh nelayan handline umumnya telah berumur dewasa dan telah
melewati tahap pemijahan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa staf Dinas
Kelautan dan Perikanan bersama para nelayan setempat di Kabupaten
Boalemo, selama periode 5 tahun terakhir yakni dari tahun 2007 hingga
tahun 2012 tidak ditemui perubahan ukuran ikan tangkapan nelayan
handline walaupun sepanjang tahun mengalami fluktuasi jumlah produksi.
22%
33% 11%
11%
22%
14 - 24 kg
25 - 35 kg
36 - 46 kg
47 - 57 kg
58 - 68 kg
85
5. Range collapse
Penentuan skor atribut range collapse dilakukan dengan
mewawancarai nelayan setempat. Tujuan dari indikator ini untuk melihat
dampak yang ditimbulkan terhadap sumberdaya ikan akibat peningkatan
tekanan penangkapan ikan (fishing pressure). Sumberdaya ikan yang
telah mengalami range collapse akan semakin sulit untuk ditangkap
karena telah terjadi penyusutan secara spasial dari biomassa stok ikan
yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview)
dengan Kepala Bidang Penangkapan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Boalemo bersama nelayan setempat, diperoleh bahwa range
collapse area penangkapan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo telah jauh dari fishing ground. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sebagian besar nelayan dari Boalemo (Botumoito) yang telah pindah
daerah penangkapan hingga perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah,
mendekati perairan pulau Una-una, dan pulau Togean.
Perpindahan daerah penangkapan ini sudah terjadi sejak tahun
1998. Sedangkan pada tahun 2012 hingga 2013, diperkirakan sekitar 100-
150 nelayan handline dari Boalemo menuju perairan Dolong Sulawesi
Tengah. Perpindahan ini disebabkan karena hasil yang diperoleh jika
menangkap di Teluk Tomini Boalemo sangat rendah dibanding jika
menangkap di perairan Una-una.
86
6. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menurut ukuran
panjang dan bobot ikan tuna madidihang, secara keselurahan diperoleh
sebesar 75% ikan tuna madidihang yang tertangkap dengan handline
adalah matang gonad atau sedang mijah dan hanya sebagian kecil ikan
muda yang tertangkap yakni sebesar 25%.
Besarnya jumlah ikan matang gonad dan ikan mijah yang
tertangkap membuktikan bahwa penangkapan tuna madidihang
bertepatan dengan musim pemijahan atau ikan sedang bergerak atau
sudah berada di daerah pemijahan.
7. Penilaian dan sensitivitas atribut
Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut,
kisaran hasil pembobotan untuk masing-masing kriteria adalah 1 sampai
3. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi biologi
dapat dilihat pada Tabel 10.
87
Tabel 10. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi biologi.
No. Atribut Kriteria Skor
1. Status eksploitasi
1.Over exploited 2.Fully exploited 3.Moderate / non-exploited
2
2. Catch Per Unit Effort (CPUE)
1.Penurunan CPUE >1000 kg/trip
2.Penurunan CPUE 250-1000 kg/trip
3.Penurunan CPUE <250 kg/trip
2
3. Rata-rata ukuran panjang cagak
1.<77 cm 2.77-100 cm 3.>100 cm
3
4. Bobot ikan
1.Size <20 kg 2.Size 20-40 kg 3.Size >40 kg
2
5. Range Collapse
1.Fishing ground sangat jauh 2.Fishing ground jauh 3.Fishing ground dekat
2
6. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap
1.Banyak sekali (>61%) 2.Banyak(30-60%) 3.Sedikit (<30%)
3
Sumber: Data primer (2013)
Tabel 10 menunjukkan realitas data berupa skor-skor berdasarkan
kondisi lapangan masing-masing atribut pada dimensi biologi. Jumlah
atribut pada dimensi biologi dianalisis pada 6 atribut. Untuk data status
eksploitasi, catch per unit effort, rata-rata ukuran panjang ikan, dan bobot
ikan diperoleh melalui data primer sedangkan range collapse dan proporsi
ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap diperoleh dari data sekunder.
Selanjutnya Nilai skor hasil pembobotan pada dimensi biologi seperti yang
tercantum pada Tabel 9 kemudian dianalisis menggunakan metode
RAPFISH.
88
Hasil analisis dari dimensi biologi tuna madidihang di perairan
Teluk Tomini Kabupaten Boalemo dapat dilihat pada Gambar 7. Garis
horizontal pada Gambar tersebut menunjukkan status keberlanjutan
perikanan tuna madidihang sesuai dengan kategori selang indeks
keberlanjutan pada Tabel 6. Analisis ordinasi pada dimensi biologi
menggambarkan keberlanjutan perikanan tuna madidihang yang dalam
penelitian ini mempunyai 6 atribut. Adapun posisi status keberlanjutan
perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo pada
dimensi biologi dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di Teluk
Tomini Kabupaten Boalemo pada dimensi biologi. Gambar 9 menunjukkan ordinasi atribut pada dimensi biologi.
Ordinasi RAPFISH ini Menggambarkan posisi keberlanjutan perikanan
tuna madidihang di lokasi penelitian dengan nilai indeks keberlanjutannya
58,9612
DOWN
UP
BAD GOOD
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Fisheries Sustainability
Oth
er D
istin
gish
ing
Feat
ures
Real Fisheries
References
Anchors
89
adalah sebesar 58,9612. Hal ini menjelaskan bahwa berdasarkan kategori
indeks keberlanjutan, dimensi biologi ikan di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo berada pada kategori baik dengan indeks keberlanjutannya lebih
besar dari 50.
Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi biologi dari analsis
menggunakan perangkat lunak RAPFISH mengenai kondisi dan status
perikanan tuna madidihang, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage
(pengungkit). Kegunaannya adalah untuk mengetahui atribut yang sensitif
terhadap indeks kondisi dan status perikanan tuna madidihang.
Perhitungan leverage ini didasarkan pada perbedaan standard error
antara skor dengan atribut atau sebaliknya skor dengan tidak adanya
atribut. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi biologi ditunjukkan
dalam Gambar 10.
Gambar 10. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi biologi.
2,3152
2,9109
6,0447
3,5647
2,3250
3,0898
0 1 2 3 4 5 6 7
Status Eksploitasi
Catch Per Unit Effort (CPUE)
Rata-rata ukuran panjang
ikan
Bobot ikan
Range Collapse
Proporsi ikan yuwana
(juvenil) yang ditangkap
Att
rib
ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
90
Analisis sensitivitas (leverage analysis) pada dasarnya untuk
melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan biologi
sumberdaya ikan apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga
bisa dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan biologi sumberdaya ikan
akibat dikeluarkannya satu atribut tersebut.
Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa atribut yang menjadi
pengungkit utama (leverage attribute) dimensi biologi yaitu:
1) Rata-rata ukuran panjang ikan
Atribut pertama yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan
perikanan tuna madidihang adalah rata-rata ukuran panjang ikan (fork
length) dengan nilai root mean square (akar nilai tengah kuadrat) sebesar
6,0447. Perubahan sedikit saja pada atribut ini akan berdampak besar
terhadap status keberlanjutan pada dimensi biologi. Hal ini dapat dilihat
dari nilai Root Mean Square (akar nilai tengah kuadrat) yang tersaji pada
Gambar 10. Untuk memonitor kondisi kesehatan stok ikan, selain indikator
status eksploitasi diperlukan pula pengamatan terhadap ukuran ikan baik
dari rata-rata ukuran panjang cagak maupun bobot tubuh, dimana
penurunan keduanya bisa menjadi indikasi adanya tekanan terhadap
populasi yang mengancam kelestariannya (Trippel, 1995).
Kondisi sensitivitas yang demikian menggambarkan bahwa perlu
ada kebijakan yang berbasis biologi sumberdaya ikan untuk merespons
terjadinya perubahan penurunan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini
sangat mendasar mengingat penurunan ukuran ikan merupakan salah
91
satu indikasi penting bahwa telah terjadi penurunan stok ikan tuna
madidihang. Selain itu, leverage attribute pada dimensi biologi
sumberdaya ikan ini menunjukkan bahwa perlu adanya regulasi yang
menegaskan bahwa rata-rata ukuran panjang ikan yang dapat
dieksploitasi oleh nelayan setempat adalah tuna madidihang dengan
ukuran panjang cagak tidak kurang dari 107,9 cm sesuai dengan
pendapat Itano (2001) yang menyatakan bahwa tuna madidihang pertama
kali matang gonad pada panjang cagak 107,9 cm.
2) Bobot ikan
Atribut yang paling mempengaruhi penentuan indeks dari dimensi
biologi selanjutnya adalah bobot ikan dengan nilai root mean square
sebesar 3,5647. Munculnya bobot ikan sebagi atribut yang sensitif dan
harus diperhatikan karena apabila aktivitas penangkapan dibiarkan terus
menerus tanpa mempertimbangkan ukuran tubuh ikan target tangkapan,
maka kerusakan sumberdaya tidak akan dapat dicegah karena bisa saja
bahwa tuna madidihang yang tertangkap adalah tuna yang belum dewasa
dan belum sempat memijah sehingga proses penambahan stok melalui
pembiakan (recruitment) terhenti. Di sisi lain, proses pertumbuhan
(growth) yang merupakan bagian dari recruitment juga terhenti, sehingga
pada akhirnya akan mengarah pada penurunan stok secara keseluruhan
(stock depletion) tidak dapat dihindari.
92
3) Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap
Atribut sensitif ketiga pada dimensi biologi yaitu proporsi ikan
yuwana (juvenil yang ditangkap) dengan nilai root mean square sebesar
3,0898. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan, untuk jenis
tuna madidihang berukuran panjang minimal 92,1 cm maksimal 170,2 cm
dengan bobot tubuh minimal 14,6 kg dan maksimal 67,3 kg, maka secara
keseluruhan diperoleh proporsi ikan pertama kali matang gonad atau telah
mijah sebesar 75% dari total tuna madidihang yang tertangkap selama
penelitian (Lampiran 1). Dengan kata lain hanya 25% ikan muda yang
tertangkap. Hal ini sesuai dengan pendapat Marion et al. (2010) dan Itano
(2001) yang menyatakan bahwa tuna madidihang pertama kali matang
gonad pada panjang 107,9 cm dengan bobot tubuh sebesar 25 kg.
Sehingga data pengukuran panjang dan bobot di lokasi penelitian
menunjukkan bahwa stok tuna madidihang dalam kondisi stabil dengan
jumlah kelompok ikan muda dalam tangkapan yang relatif kecil.
Dengan mencermati atribut yang paling mempengaruhi penentuan
indeks dari dimensi biologi yaitu rata-rata ukuran panjang cagak, bobot
ikan, dan proporsi ikan yuwana (juvenil yang ditangkap) seperti diuraikan
di atas, maka alternatif kebijakan juga harus mengakomodir status
keberlanjutan dan faktor yang paling berpengaruh dalam keberlanjutan
perikanan tuna madidihang di lokasi penelitian. Kebijakan yang terkait
dengan atribut tersebut adalah peningkatan selektivitas alat tangkap yang
digunakan dan ini harus mendapat perhatian dari pembuat kebijakan di
93
Kabupaten Boalemo dimana alat tangkap yang dioperasikan seperti
handline dengan mata pancing kecil merupakan alat tangkap yang tidak
selektif karena dapat menangkap jenis tuna madidihang berbagai ukuran
yang bisa saja tuna yang tertangkap tersebut belum sempat memijah atau
belum matang gonad.
Penggunaan alat tangkap yang selektif selain bermanfaat bagi
pengelolaan sumberdaya perikanan, juga bermanfaat secara ekonomi
karena dengan menggunakan alat tangkap yang selektif diharapkan akan
diperoleh ukuran ikan sesuai dengan kebutuhan pasar dan mengurangi
resiko ikan tidak laku di pasar. Dengan demikian ikan yang berhasil
ditangkap juga merupakan ikan yang bernilai lebih tinggi walaupun
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan tidak dilakukan upaya
peningkatan selektivitas alat tangkap yang banyak menghasilkan ikan
dengan kualitas rendah.
Selain itu, hasil tangkap tuna bergantung pada panjang tali pancing
ulur yang digunakan dalam aktivitas penangkapan. Semakin panjang tali
pancing ulur, maka semakin besar hasil tangkapan tuna madidihang yang
akan diperoleh, baik dari jumlah maupun bobot (kg). Hal ini sesuai dengan
pendapat Bandjar et al. (1994) yang mengemukakan bahwa penggunaan
tali pancing ulur yang lebih panjang pada perairan lebih dalam dapat
menangkap tuna madidihang yang berukuran besar. Selain itu Banjar, dkk
menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan tuna madidihang dengan
ukuran besar, maka penangkapan dilakukan di kedalaman lebih dari 100
94
meter dengan menggunakan panjang tali pancing ulur sedalam lebih dari
74 meter.
Untuk menindaklanjuti hal tersebut, maka pemerintah provinsi
maupun kabupaten dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan
diharapkan dapat mensosialisasikan penggunaan tali pancing ulur yang
lebih panjang (>74 meter) dengan kedalaman perairan >100 meter agar
tuna madidihang yang tertangkap berukuran besar dan memiliki nilai jual
tinggi, sehingga dapat mensejahterakan masayarakat nelayan tanpa
merusak ekosistem yang ada.
B. Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi Penangkapan
Operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik apabila
teknologi penangkapan ikan yang digunakan ramah terhadap lingkungan.
Atribut pada dimensi teknologi mencerminkan derajat pemanfaatan
sumberdaya perikanan tangkap dengan menggunakan penangkapan
tertentu. Teknologi yang baik adalah teknologi yang dapat mendukung
berlangsungnya kegiatan produksi sektor perikanan tangkap dalam jangka
panjang dan berkesinambungan (Hartono et al., 2005).
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi teknologi penangkapan terdiri dari 5 (lima)
atribut, antara lain: (1) kapasitas mesin, (2) modifikasi alat penangkapan,
(3) penangkapan ikan yang ramah lingkungan, (4) teknik penangkapan,
dan (5) tempat pendaratan.
95
1. Kapasitas mesin
Untuk menunjang aktifitas penangkapan, para nelayan
menggunakan perahu untuk melaut dan menampung ikan target yang
tertangkap. Dalam hal ini, metode penangkapan tuna madidihang yang
dilakukan di lokasi penelitian masih bersifat tradisional. Metode tersebut
telah digunakan sejak awal oleh nelayan handline dan masih tetap
dipertahankan hingga saat ini. Metode penangkapan ini memiliki daya
tampung yang kecil sehingga dampaknya terhadap lingkungan perairan
dianggap kecil.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview)
dengan Kepala Bidang Penangkapan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Boalemo bersama nelayan setempat, diperoleh bahwa dalam
upaya penangkapan tuna madidihang di perairan Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo (Botumoito) para nelayan menggunakan perahu katinting yang
berukuran panjang maksimal 7 meter dan lebar 50 cm dengan kapasitas
mesin terendah 5 PK dan tertinggi adalah 13 PK. Namun secara umum,
para nelayan tuna madidihang menggunakan perahu dengan kapasitas
mesin 13 PK.
2. Modifikasi alat penangkapan
Alat tangkap yang dianalisis di perairan Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo adalah handline atau biasa disebut dengan pancing ulur. Atribut
ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan untuk
96
meningkatkan kapasitas alat tangkap yang dimaksud. Berdasarkan hasil
wawancara dengan para nelayan tuna madidihang di lokasi penelitian,
maka diperoleh adanya perubahan ataupun modifikasi alat penangkapan
dengan menggunakan layang-layang untuk menarik perhatian ikan target.
Layang-layang ini digunakan oleh para nelayan untuk menangkap
tuna madidihang di luar rumpon. Hal ini disebabkan karena tidak semua
ikan tuna madidihang bermain di sekitar rumpon yang telah dipasang
sebelumnya. Ditambah lagi kebanyakan rumpon yang dipasang oleh para
nelayan telah dilingkari dengan jaring untuk menangkap ikan-ikan kecil
seperti layang ataupun cakalang, sehingga makanan ikan tuna tidak
tersedia dan menyebabkan rantai makanan terputus. Faktor inilah yang
menyebabkan para nelayan lebih banyak menangkap ikan tuna
madidihang dengan menggunakan bantuan layang-layang.
Teknik penangkapan ini telah banyak digunakan di perairan Teluk
Tomini Kabupaten Boalemo khususnya untuk menangkap ikan tuna
madidihang. Cara kerja penggunaan layang-layang ini bersifat sederhana
namun membutuhkan kemahiran nelayan dalam menerbangkannya.
Layang-layang diikatkan pada seutas tali yang panjang dan di ujung
bagian belakang dari layang-layang ini dipasangi tali yang lain berukuran
panjang yang menjorok ke permukaan laut.
Di ujung tali tersebut dipasangi kantung plastik berisi umpan tiruan
seperti cumi-cumi. Biasanya pula nelayan mengikatkan kantung plastik
yang berisi potongan kecil cumi-cumi sehingga tali yang menjorok ke laut
97
naik turun mengikuti kemana layang-layang itu terbang. Hal ini
dimaksudkan agar kantung plastik yang terisi umpan tesebut menari-nari
di atas permukaan laut, dan menarik perhatian tuna madidihang sebagai
target tangkapan.
3. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Atribut penangkapan ikan yang ramah lingkungan dimaksudkan
untuk mengetahui penggunaan jenis alat tangkap yang tidak memberikan
dampat negatif terhadap lingkungan, yaitu sejauh mana alat tangkap
tersebut tidak merusak dasar perairan, tidak berdampak negatif terhadap
biodiversity, target resources dan non target resources.
Penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan
merupakan suatu keharusan dan perlu segera diterapkan untuk menjamin
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Pemerintah pusat
dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo maupun
Kabupaten setempat didorong untuk memihak pada kepentingan
berkelanjutan dalam pembangunan perikanan, yakni kebijakan yang pro-
green atau pro-sustainability.
4. Teknik penangkapan
Berdasarkan hasil observasi langsung di lokasi penelitian, maka
diperoleh bahwa para nelayan tuna madidihang di Teluk tomini Kabupaten
Boalemo melakukan teknik penangkapan dengan menggunakan alat
98
bantu rumpon. Selain itu hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Boalemo menjelaskan bahwa teknik penangkapan
ini telah lama digunakan oleh para nelayan setempat dan diakui dapat
meningkatkan hasil produksi penangkapan. Dengan bantuan rumpon,
para nelayan akan lebih mudah untuk mendapatkan lokasi pemancingan
yang ada ikannya.
Penggunaan alat bantu rumpon diatur dengan Peraturan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011.
Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan merupakan
alternatif yang ditempuh oleh nelayan di lokasi penelitian untuk merubah
pola penangkapan berburu yang membutuhkan biaya bahan bakar yang
lebih besar termasuk untuk pengadaan umpan hidup yang menjadi salah
satu masalah dalam perikanan tangkap tuna handline.
5. Tempat pendaratan
Tempat pendaratan hasil tangkapan yang menyebar di berbagai
tempat selain pangkalan pendaratan ikan akan menyulitkan perhitungan
jumlah hasil tangkapan dari suatu wilayah perairan, serta akan
meningkatkan biaya operasional dan bahan bakar nelayan. Oleh karena
itu pendaratan hasil tangkapan tuna handline yang tidak terpusat di
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tilamuta, akan mempersulit proses
pencatatan, pengumpulan data hasil tangkapan bahkan dapat
meningkatkan biaya operasional.
99
Para nelayan tuna madidihang di lokasi penelitian lebih banyak
mendaratkan hasil tangkapannya di kampung nelayan atau kepada
pengumpul tuna untuk dilakukan proses pemotongan ikan menjadi loin.
Hal ini dikarenakan anggapan para nelayan bahwa nilai jual hasil tangkap
tuna bila didaratkan di kampung nelayan (pengumpul) memiliki harga yang
relatif tinggi dibandingkan jika didaratkan di TPI setempat. Berdasarkan
hal tersebut maka kategori untuk pendaratan ikan yang belum terpusat di
TPI Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo dinilai kurang tepat
sehingga dibutuhkan kerjasama antar seluruh stakeholders yang terkait di
dalamnya.
Setelah menentukan beberapa atribut dalam dimensi teknologi
penangkaan, maka tahapan selanjutnya adalah penyusunan skor
(scoring) atau biasa disebut pembobotan. Penyusunan skor ini
berdasarkan acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun
judgement dari penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah.
Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut, kisaran
hasil pembobotan (scoring) untuk masing-masing kriteria adalah 1 sampai
3. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi teknologi
penangkapan disajikan dalam Tabel 11.
100
Tabel 11. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi teknologi penangkapan.
No. Atribut Kriteria Nilai Skor
1. Kapasitas mesin
1.>9 PK 2.7-9 PK 3.5-7 PK
1
2. Modifikasi alat penangkapan
1.Ada perubahan untuk meningkatkan kapasitas alat
2.Tidak ada perubahan perkapasitas alat
1
3.
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
1.Tidak ramah lingkungan 2.Ramah lingkungan
2
4. Teknik penangkapan
1.Rumpon 2.Berburu
1
5. Tempat pendaratan
1.Kampung nelayan 2.TPI Kecamatan
1
Sumber: Data primer (2013)
Tabel 11 menunjukkan realitas data berupa skor-skor berdasarkan
kondisi lapangan masing-masing atribut pada dimensi teknologi
penangkapan. Jumlah atribut pada dimensi teknologi penangkapan
dianalisis pada 5 atribut. Nilai skor pada dimensi teknologi penangkapan
seperti yang tercantum pada Tabel 11 di atas kemudian dimasukkan ke
dalam program microsoft excel dengan template teknologi penangkapan
yang telah dipersiapkan sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh
nilai Multi-Dimensional scaling dari RAPFISH yang lebih dikenal dengan
indeks keberlanjutan kegiatan perikanan secara teknologi.
indeks keberlanjutan perikanan tuna madidihang pada metode
RAPFISH diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good
(baik) dalam selang 0 sampai 100. Untuk memudahkan dalam penentuan
101
status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu dengan membagi empat selang 0
sampai 100 tersebut.
Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0 sampai 25
dalam status sangat buruk, selang 26 sampai 50 dalam status buruk,
selang 51 sampai 75 dalam status baik dan selang 76 sampai 100 dalam
status sangat baik. Pembagian selang yang menggambarkan status
indeks keberlanjutan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Analisis ordinasi pada dimensi teknologi penangkapan
menggambarkan keberlanjutan dari teknologi penangkapan itu sendiri
yang dalam penelitian ini mempunyai 5 atribut. Garis horizontal
menunjukkan status keberlanjutan perikanan tuna madidihang sesuai
dengan kategori selang indeks keberlanjutan yang telah diuraikan di atas.
Adapun posisi status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di Teluk
Tomini Kabupaten Boalemo pada dimensi teknologi penangkapan dapat
dilihat pada Gambar 11.
102
Gambar 11. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di
Teluk Tomini Kabupaten Boalemo pada dimensi teknologi penangkapan.
Gambar 11 menunjukkan ordinasi atribut pada dimensi teknologi
penangkapan. Ordinasi RAPFISH ini menggambarkan posisi
keberlanjutan perikanan tuna madidihang di lokasi penelitian dengan nilai
indeks keberlanjutannya adalah sebesar 19,1719. Hal ini menjelaskan
bahwa berdasarkan kategori indeks keberlanjutan, dimensi teknologi
penangkapan di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo berada pada kategori
status keberlanjutan sangat buruk dengan indeks keberlanjutannya kurang
dari 25.
19,1719
DOWN
UP
BAD GOOD
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Fisheries Sustainability
Oth
er
Dis
tin
gis
hin
g F
eatu
res
Real Fisheries
References
Anchors
103
Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi teknologi
penangkapan dari analisis menggunakan perangkat lunak RAPFISH
mengenai kondisi dan status perikanan tuna madidihang, selanjutnya
dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Kegunaannya adalah
untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap indeks kondisi dan status
perikanan tuna madidihang. Perhitungan leverage ini didasarkan pada
perbedaan standard error antara skor dengan atribut atau sebaliknya skor
dengan tidak adanya atribut. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage
attributes) RAPFISH untuk dimensi teknologi penangkapan ditunjukkan
pada Gambar 12.
Gambar 12. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi teknologi
penangkapan.
4.8327
8.4950
19.4467
7.2246
5.5153
0 5 10 15 20 25
Kapasitas mesin
modifikasi alat
penangkapan
penangkapan ikan
yang ramah lingkungan
teknik penangkapan
Tempat pendaratan
Att
rib
ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
104
Analisis sensitivitas (leverage analysis) pada dasarnya untuk
melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan teknologi
penangkapan apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa
dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan teknologi penangkapan akibat
dikeluarkannya satu atribut tersebut. Pada Gambar 12 menunjukkan
bahwa atribut yang menjadi pengungkit utama (leverage attribute) dimensi
teknologi penangkapan yaitu:
1. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan merupakan atribut
pertama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan perikanan tuna
madidihang berdasarkan nilai root mean square yakni sebesar 19,4467.
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan diupayakan untuk menjaga
lingkungan dan tidak merusak ekosistem yang ada. Hal ini perlu dijaga
demi keberlanjutan perikanan tangkap di perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo. Penggunaan pancing ulur (handline) sebagai alat
tangkap tuna merupakan salah satu pilihan yang tepat karena
pengoperasiannya yang mudah diaplikasikan dan dapat diterima oleh
masyarakat nelayan pada umumnya.
2. Modifikasi alat penangkapan
Atribut kedua yang memberikan pengaruh terhadap penentuan
indeks dari dimensi teknologi penangkapan adalah modifikasi alat
penangkapan dengan nilai root mean square sebesar 8,4950. Munculnya
modifikasi alat penangkapan sebagai atribut yang sensitif karena
105
berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan para nelayan
handline tuna madidihang, diperoleh adanya perubahan untuk
meningkatkan kapasitas alat tangkap seperti penggunaan mata pancing
yang lebih kecil sehingga dapat menangkap jenis tuna madidihang dalam
berbagai ukuran.
Hal ini tentu saja harus diperhatikan dan dihindari agar tidak terjadi
aktivitas penangkapan yang berlebihan dan secara tidak langsung dapat
menjamin ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan tersebut.
Berdasarkan indikator yang dimaksud, maka perlu langkah-langkah untuk
mempertahankan dan meningkatkan upaya-upaya dalam mencegah
terjadinya modifikasi alat penangkapan untuk peningkatan kapasitas.
3. Teknik penangkapan
Atribut selanjutnya yang sensitif dan perlu mendapatkan perhatian
pada dimensi teknologi penangkapan adalah teknik penangkapan dengan
nilai root mean square sebesar 7,2246. Atribut ini sangatlah penting dalam
hal meningkatkan produksi hasil tangkapan. Atribut teknik penangkapan
dimaksudkan untuk mengetahui cara ataupun teknik yang dilakukan
nelayan setempat dalam mengeksploitasi ikan target. Teknik
penangkapan yang dilakukan adalah dengan penggunaan rumpon untuk
mengumpulkan ikan sekaligus dijadikan nelayan sebagai fishing ground.
Daerah penangkapan pancing ulur selama pengambilan data
berada pada posisi geografi 00016’57,9” LU dan 122038’14,3” BT sampai
00011’42,0” LU dan 122024’47,9” BT. Kedalaman perairan dan panjang tali
106
pancing yang digunakan pada alat tangkap handline sangat
mempengaruhi bobot dan ukuran jenis ikan tuna madidihang. Semakin
dalam areal penangkapan dan panjang tali pancing yang digunakan, maka
semakin besar jumlah dan ukuran (kg) ikan target (Bandjar dkk, 1994).
Kegiatan penangkapan pancing ulur menggunakan rumpon sebagai alat
bantu penangkapan ikan. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa
secara geografis daerah penangkapan tuna handline adalah posisi
rumpon.
Kendala yang dihadapi oleh para nelayan tuna madidihang di
perairan Teluk Tomini Kabupaten Boalemo adalah rumpon yang ada telah
dilingkari jaring untuk menjaring ikan-ikan kecil yang berada di sekitar
rumpon. Ini tentu saja membuat rantai makanan tuna madidihang terputus
dan menyebabkan mereka mencari makan di luar rumpon sehingga sulit
untuk ditangkap.
C. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan
Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah ini
dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya United
Nation Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Selanjutnya Food and
Agriculture Organization menetapkan standar acuan bagi pengelolaan
107
perikanan secara bertanggungjawab pada tahun 1995 melalui penerapan
Code of Conduct for Responsible Fisheries.
Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap
tingkat keberlanjutan pada dimensi kelembagaan terdiri dari 8 (delapan)
atribut, antara lain: (1) rencana pengelolaan perikanan, (2) jumlah
peraturan pengelolaan perikanan, (3) partisipasi stakeholder dalam
penyusunan RPP, (4) konflik kebijakan pengeloaan perikanan, (5)
kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan, (6)
lembaga pelaksana pengelolaan perikanan, (7) ketersediaan sarana SDM
dalam penegakan peraturan perikanan, dan (8) keberadaan otoritas
tunggal dalam pengelolaan perikanan.
Atribut pada dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari
derajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan
perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung di
dalamnya. Semakin baik derajat pengaturan yang dilakukan maka
semakin dapat menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan dapat berjalan
dalam jangka panjang dan berkelanjutan.
Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut,
kisaran hasil pembobotan untuk masing-masing kriteria adalah 1 sampai
3. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi kelembagaan
disajikan dalam Tabel 12.
108
Tabel 12. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi kelembagaan.
No. Atribut Kriteria Nilai Skor
1. Rencana Pengelolaan Perikanan
1. Belum ada RPP 2. Ada RPP tapi belum dijalankan 3. Ada RPP dan telah dijalankan
2
2. Jumlah Peraturan Pengelolaan Perikanan
1. 0-1 peraturan 2. 2-3 peraturan 3. >3 peraturan
1
3. Partisipasi Stakeholder Dalam Penyusunan RPP
1. Tidak ada 2. Ada tapi tidak efektif 3. Ada dan efektif
1
4. Konflik Kebijakan Pengelolaan Perikanan
1. Kebijakan yang saling bertentangan 2. Kebijakan tidak saling mendukung 3. Kebijakan saling mendukung
3
5. Kepatuhan Terhadap Peraturan Formal Dalam Pengelolaan Perikanan
1. Frekuensi pelanggaran >10 kasus pertahun
2. Frekuensi pelanggaran 5-10 kasus pertahun
3. Frekuensi pelanggaran < 5 kasus pertahun
2
6. Lembaga Pelaksana Pengelola Perikanan
1. Tingkat nasional 2. Tingkat provinsi dan kabupaten 3. Tingkat lokal / desa
3
7. Ketersediaan Sarana dan SDM Dalam Penegakan Peraturan Perikanan
1. Tidak ada sarana dan SDM 2. Ada sarana dan SDM tapi tidak
berjalan efektif 3. Ada sarana dan SDM serta ada
penindakan
2
8. Keberadaan Otoritas Tunggal Dalam Pengelolaan Perikanan
1. Tidak ada otoritas 2. Lebih dari satu otoritas 3. Ada otoritas
3
Sumber: Data primer (2013)
Nilai skor pada dimensi kelembagaan seperti yang tercantum pada
Tabel 12 di atas kemudian dianalisis dengan metode RAPFISH. Hasil
yang diperoleh dengan metode RAPFISH pada dimensi kelembagaan
109
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan tuna
madidihang secara kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis dengan
menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa nilai indeks
dimensi kelembagaan sebesar 49,6791. Kondisi demikian menjelaskan
bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi
kelembagaan di perairan Teluk Tomini Kabupaten Boalemo berada pada
kategori buruk (kurang berkelanjutan).
Adapun posisi status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di
Teluk Tomini Kabupaten Gorontalo pada dimensi kelembagaan dapat
dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna madidihang di
Teluk Tomini Kabupaten Gorontalo pada dimensi kelembagaan.
54,9074
DOWN
UP
BAD GOOD
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Fisheries Sustainability
Oth
er D
isti
ng
ish
ing
Fea
ture
s
Real Fisheries
References
Anchors
110
Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi kelembagaan,
selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis
dari atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi
kelembagaan ditunjukkan pada Gambar 14 berikut:
Gambar 14. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi kelembagaan.
Pada Gambar 14 tersebut di atas menunjukkan bahwa atribut yang
menjadi pengungkit utama (leverage attribute) dimensi kelembagaan
yaitu:
1. Partisipasi stakeholder dalam penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
Atribut sensitif pertama pada dimensi kelembagaan yaitu partisipasi
stakeholder dalam penyusunan RPP ikan tuna madidihang dengan nilai
root mean square sebesar 7,8154. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas
3,9100
6,4014
7,8154
7,3255
1,7807
6,6900
0,9438
4,3731
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rencana Pengelolaan Perikanan
Jumlah Peraturan Pengelolaan Perikanan
Partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP
Konflik Kebijakan Pengelolaan perikanan
Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan
perikanan
Lembaga pelaksana pengelola perikanan
Ketersediaan sarana dan SDM dalam Penegakan peraturan
perikanan
Keberadaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Att
rib
ute
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
111
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Boalemo menjelaskan bahwa
penyusunan RPP ikan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo belum ada. Hal ini disebabkan oleh Kabupaten tersebut
tergolong Kabupaten baru yang terbentuk di Provinsi Gorontalo dan masih
banyak permasalahan sektor perikanan yang harus dicapai secepatnya.
Untuk itu upaya penyusunan rencana pengelolaan perikanan perlu
secepatnya dilakukan. Mengingat hal ini sangat penting bagi
kelangsungan hidup nelayan khususnya para nelayan tuna madidihang di
lokasi penelitian yang pencarian hidupnya bergantung sepenuhnya
terhadap sumberdaya laut. Untuk itu, partisipasi masyarakat
(stakeholders) dalam upaya penyusunan RPP sangat diharapkan karena
terkait dengan penyusunan konsep aturan main dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan. Setiap langkah penyusunan RPP haruslah
melibatkan para stakeholders.
2. Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Atribut yang menjadi faktor pengungkit kedua pada dimensi
kelembagaan dengan nilai root mean square tertinggi sebesar 8,1702
adalah konflik kebijakan pengelolaan perikanan. Atribut ini menjelaskan
bahwa apakah kebijakan perikanan di perairan Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo mengindikasikan kebijakan yang saling bertentangan atau
sebaliknya yaitu saling mendukung dengan kebijakan lain seperti
kebijakan jalur transportasi laut, kebijakan dan strategi pembangunan
112
sektor kelautan, kebijakan pertahanan dan keamanan, dan kebijakan
ekonomi nasional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Boalemo, diperoleh kebijakan yang saling
mendukung antara satu kebijakan instansi dengan instansi lainnya. Hal ini
perlu dipelihara keberadaannya agar seluruh aktivitas yang menunjang
pembangunan sumberdaya perikanan dapat lebih ditingkatkan dan
berkelanjutan.
3. Lembaga pelaksana pengelola perikanan
Atribut lembaga pelaksana pengelola perikanan merupakan atribut
pengungkit selanjutnya dalam keberlanjutan dimensi kelembagaan.
Lembaga pelaksana pengelola perikanan tuna madidihang masih pada
tingkat provinsi dan kabupaten belum ada lembaga pelaksana pengelola
pada tingkat kecamatan atau desa atau lembaga pengelolan yang
diberikan kepada pihak swasta.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan staf Dinas
Kelautan dan Perikanan, maka diperoleh bahwa di perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo terdapat suatu lembaga ataupun kelompok yang
dibentuk oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dan dipilih
langsung oleh elemen masyarakat sebagai stakeholder di daerah
penelitian. Kelompok tersebut biasa disebut dengan Kelompok
Masyarakat Pengawas Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
113
(POKMASWAS-SDKP). Kelompok ini bertugas untuk mengawasi
sekaligus melaksanakan pengelolaan perikanan, dimana kegiatan
tersebut dibawah pengawasan langsung Dinas Kelautan dan Perikanan.
D. Analisis Status Keberlanjutan Setiap Dimensi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diperoleh nilai-
nilai keberlanjutan setiap dimensi pengelolaan perikanan tuna
madidihang. Hasil analisis RAPFISH dari masing-masing nilai indeks
keberlanjutan pada setiap dimensi tersaji melalui kite diagram yang dapat
dilihat pada Gambar 15 berikut:
Gambar 15. Kite diagram hasil analisis RAPFISH dari masing-masing nilai
indeks keberlanjutan pada setiap dimensi
58,9612
19,1719
54,9074
Biologi
Teknologi penangkapanKelembagaan
114
Gambar 15 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan tertinggi
adalah dimensi biologi sebesar 58,9612 yang termasuk kategori status
keberlanjutan baik. Selanjutnya adalah dimensi kelembagaan dengan nilai
indeks keberlanjutannya sebesar 54,9074 dan termasuk kategori status
keberlanjutan baik. Berikutnya adalah dimensi teknologi penangkapan
yang dalam penelitian ini merupakan indeks keberlanjutan terendah
dengan nilai sebesar 19,1719 sehingga dikategorikan status keberlanjutan
sangat buruk.
Penentuan kategori status keberlanjutan untuk setiap dimensi yang
dikaji mengacu pada kategori selang nilai indeks keberlanjutan
berdasarkan pendapat Nababan et al. (2007). Selain itu, Gambar 15 di
atas memperlihatkan bahwa dari ketiga dimensi yang dianalisis pada
penelitian ini, maka dimensi yang perlu mendapat perhatian untuk diambil
langkah-langkah perbaikan adalah dimensi teknologi penangkapan.
E. Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi
Indeks keberlanjutan setiap dimensi belum menggambarkan status
keberlanjutan dari kegiatan secara keseluruhan. Untuk itu nilai indeks
setiap dimensi perlu digabungkan untuk menentukan nilai status
keberlanjutan multidimensi. Penggabungan dilakukan dengan mengalikan
nilai indeks dari hasil perhitungan (existing condition) dengan hasil
perhitungan bobot dari masing-masing dimensi berdasarkan penilaian
115
enam (6) orang ahli pengelolaan sumberdaya perairan (need
assessment), dengan hasil seperti berikut:
116
Tabel 13. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan tuna madidihang
Atribut eC Bobot
gabungan Bobot
tertimbang Aspek
keberlanjutan Jumlah
nilai R1 R2 R3 R4 R5 R6
Biologi 0,4290 0,4550 0,4050 0,6000 0,5400 0,4550 0,4762 0,5123 58,9612 30,2067
Teknologi penangkapan 0,4290 0,4550 0,1140 0,2000 0,2970 0,4550 0,2905 0,3126 19,1719 5,9931
Kelembagaan 0,1430 0,0910 0,4810 0,2000 0,1630 0,0910 0,1627 0,1751 54,9074 9,6136
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 133,0405 45,8134
Sumber: Data primer (2013)
117
Hasil pembobotan menempatkan dimensi biologi dan teknologi
penangkapan pada urutan teratas diikuti oleh dimensi kelembagaan.
Berdasarkan jumlah nilai tersebut maka didapatkan nilai indeks
multidimensi (existing condition) sebesar 45,8134 atau secara
keseluruhan pengelolaan perikanan tuna madidihang di perairan Teluk
Tomini Kabupaten Boalemo masih tergolong kategori buruk walaupun
satu diantara dimensi yang dianalisis lainnya sudah tergolong
keberlanjutannya baik yaitu dimensi biologi. Hal ini mengindikasikan
bahwa untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan secara
menyeluruh diperlukan penataan terhadap berbagai atribut yang
sensitivitasnya tinggi khususnya pada dimensi teknologi penangkapan.
Penentuan status keberlanjutan perikanan tuna madidihang secara
keseluruhan mengacu pada pendapat Budiharsono (2007) yang
mengelompokkan status keberlanjutan perikanan tuna madidihang ke
dalam tiga kategori, yaitu: (1) Apabila nilai indeks < 50, berarti status
pengelolaan buruk; (2) Apabila nilai indeks 50 sampai 75, berarti status
pengelolaan baik; dan (3) Apabila nilai indeks > 75, berarti status
pengelolaan sangat baik
Selain itu, nilai indeks keberlanjutan multidimensi ini menunjukkan
bahwa pengelolaan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo belum mendapat perhatian serius. Hal ini bisa saja
terjadi mengingat belum adanya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
tuna madidihang di lokasi penelitian seperti yang telah disusun dalam
118
berbagai tahapan seminar dan lokakarya, namun memang belum
disahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kurangnya
jenis regulasi baik secara nasional, provinsi, maupun lokal terhadap
penangkapan baby tuna (tuna yang belum memijah), belum diterapkannya
sistem perizinan sebagai alat pengendalian upaya penangkapan yang
berlebihan, dan lain-lain.
Berdasarkan nilai bobot gabungan yang diperoleh (Tabel 13),
maka yang perlu diperhatikan dan diintervensi dalam meningkatkan
status pengelolaan perikanan tuna madidihang yang saat ini masih berada
dalam kondisi buruk adalah perbaikan teknologi penangkapan. Strategi
perbaikan pada dimensi teknologi penangkapan yaitu mempertahankan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu handline tuna, dan
mencegah modifikasi alat tangkap yang dapat menangkap ikan jenis tuna
dengan berbagai ukuran. Adapun perbaikan pada dimensi kelembagaan
yaitu meningkatkan partisipasi stakeholder dalam penyusunan rencana
pengelolaan perikanan tuna madidihang, dan menyediakan sarana dan
prasarana sumberdaya manusia dalam penegakan peraturan perikanan.
F. Analisis Monte Carlo
Prosedur dalam ordinasi RAPFISH yang terakhir adalah analisis
Monte Carlo. Menurut Kavanagh et al. (2004) tujuan dari analisis ini
adalah untuk mengetahui pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut,
pengaruh variasi pemberian skor, stabilitas proses analisis Multi-
119
Dimensional Scalling (MDS) yang dilakukan berulang, dan kesalahan
pemasukan atau hilangnya data (missing data). Untuk Menggambarkan
keabsahan RAPFISH secara statistik dengan pengukuran nilai stress atau
yang dilambangkan dengan S dan r-squared (squared correlation) dari
masing masing atribut. Menurut prosedur MDS yang diacu dalam Fauzi et
al. (2002) adalah jika nilai S semakin rendah menunjukkan kondisi fit
(goodness of fit) dimana S < 25%, sedangkan r-squared harus mendekati
100%.
Analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai status indeks
keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo pada selang kepercayaan >90 persen untuk masing-
masing dimensi tidak banyak perbedaan dengan analisis MDS. Nilai
stress yang diperoleh pada setiap dimensi yaitu dimensi biologi sebesar
0,1546, dimensi teknologi penangkapan sebesar 0,1516, dan
kelembagaan sebesar 0,1366.
Nilai stress untuk ketiga dimensi yang dianalisis adalah kurang dari
0,20 yang menunjukkan hasil analisis yang baik. Nilai stress
menggambarkan goodness of fit dalam Multi-Dimensional Scaling (MDS)
yaitu ukuran ketepatan suatu konfigurasi dapat mencerminkan data
aslinya. Nilai stress yang rendah mencerminkan kategori goodness of fit
yang sempurna, dengan batas tertinggi menurut Kruskal et al. (1979)
dalam Kavanagh et al. (2004) adalah maksimal sebesar 0,20.
120
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
diasumsikan bahwa nilai stress sudah memenuhi kondisi fit karena S
<20%. Selain itu Nilai kuadrat korelasi (R2) untuk semua dimensi diatas
90% yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan (koefisien
determinasi) terhadap hasil analisis multidimensi untuk penilaian status
keberlanjutan perikanan tuna madidihang dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan.
Hasil estimasi proporsi ragam data dapat terjelaskan oleh teknik
analisis ini secara memadai, dimana nilai R2 yang diinginkan adalah >80%
(Kavanagh, 2001). Pada penelitian ini, nilai dari koefisien determinasi
(selang kepercayaan) atau R2 yang diberikan sudah cukup tinggi untuk
masing-masing dimensi yang dianalisis yaitu dimensi biologi 93,89%,
teknologi penangkapan sebesar 91,52%, dan kelembagaan sebesar
94,79%. Selanjutnya beberapa nilai statistik pada masing-masing dimensi
dan selisih nilai antara MDS dan Monte Carlo dapat dilihat pada Tabel 14.
121
Tabel 14. Nilai statistik dan perbedaan nilai (selisih) indeks keberlanjutan perikanan tuna madidihang antara RAPFISH (Multi Dimensional scalling) dengan Monte Carlo pada masing-masing dimensi.
No. Dimensi Keberlanjutan
Atribut Statistik Indeks
Keberlanjutan MDS (%)
Indeks Keberlanjutan
Monte Carlo (%)
Perbedaan Nilai
(selisih) MDS dan
Monte Carlo
Stress r-squared
(R2) Stress
(%) r-squared
(%)
1. Biologi 0,1546 0,9389 15,46 93,89 58,9612 58,1036 0,8576
2. Teknologi penangkapan 0,1516 0,9152 15,16 91,52 19,1719 19,1936 0,0217
3. Kelembagaan 0,1366 0,9479 13,66 94,79 54,9074 54,9678 0,0604
Sumber: Data primer (2013)
122
Menurut Kavanagh (2001), kesalahan dalam analisis Monte Carlo
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dampak kesalahan skoring
akibat minimnya informasi, dampak dari keragaman dalam skoring
akibat perbedaan penilaian, kesalahan dalam menginput data dan
tingginya nilai stress yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
terjadi kesalahan dalam analisis Monte Carlo pada metode RAPFISH.
Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biolgi, teknologi penangkapan,
dan kelembagaan dapat dilihat masing-masing pada Gambar 16a, 16b,
dan 16c. Berdasarkan hasil analisis RAPFISH diperoleh nilai stress
berkisar antara 0,13 sampai 0,15 dan nilai determinasi (R2) antara 0,91
sampai 0,94. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biologi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 16 berikut:
123
a. b.
c
Gambar 16. Hasil simulasi Monte Carlo dari setiap dimensi yang dianalisis
124
Analisis Monte Carlo dilakukan untuk melihat tingkat gangguan
(perturbation) terhadap nilai ordinasi sehingga dapat diketahui seberapa
jauh hasil analisis dapat dipercaya (Purnomo, 2002). Kestabilan dapat
dilihat dari pencaran (scatter) plot, dimana semakin jauh pencaran plot
setiap atribut dari nilai ordinasi maka tingkat gangguannya dianggap
besar.
Dengan menggunakan pengulangan (repeat) dihasilkan grafik
Monte Carlo untuk semua dimensi yang menunjukkan pencaran plot
berjarak dekat satu sama lain serta terfokus (berhimpitan) pada nilai
ordinasi setiap dimensi. Dengan demikian kestabilan data atribut dalam
analisis yang dilakukan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo masuk dalam kategori
tinggi dengan tingkat gangguan yang kecil.
Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biologi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar
15a, 15b, dan 15c menjelaskan bahwa indeks keberlanjutan perikanan
tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo dengan
menggunakan teknik RAPFISH mempunyai hasil yang berkumpul di satu
titik walaupun dengan pola yang menyebar pada masing-masing dimensi.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang
untuk masing-masing dimensi yaitu untuk dimensi biologi sebesar
58,9612 yang termasuk kategori status keberlanjutan baik, dimensi
kelembagaan dengan nilai indeks keberlanjutannya sebesar
54,9074 yang termasuk kategori status keberlanjutan baik, dan
dimensi teknologi penangkapan yang nilai indeks keberlanjutannya
sebesar 15,0913 termasuk kategori status keberlanjutan sangat
buruk.
2. Nilai status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang
secara keseluruhan (multidimensi) adalah sebesar 45,8134 atau
secara umum status pengelolaan perikanan tuna madidihang di
Teluk Tomini Kabupaten Boalemo masih tergolong kategori buruk.
Pengelolaan yang perlu mendapat perhatian lebih adalah pada
dimensi teknologi penangkapan.
3. Untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan tuna madidihang,
maka direkomendasikan tiga strategi pengelolaan perikanan tuna
126
madidihang yang dapat dijadikan sebagai alternatif kebijakan
berdasarkan leverage attribute (atribut pengungkit) dari masing-
masing dimensi yang dianalisis, yaitu:
- Dari perspektif biologi, perlu dilakukan instrumen kebijakan
untuk mempertahankan rata-rata ukuran panjang ikan yang
tertangkap dengan cara mengeluarkan peraturan mengenai
ukuran minimum panjang cagak tuna madidihang yang boleh
dieksploitasi adalah lebih besar dari 107 cm. Selain itu perlu
adanya pengawasan mengenai proporsi ikan yuwana (juvenile)
yang ditangkap untuk memberikan kesempatan tuna
madidihang memijah (menghasilkan keturunan) minimal telah
melakukan pemijahan satu kali sehingga keberlanjutan tuna
madidihang dapat terjaga dan secara tidak langsung dapat
mengurangi jumlah hasil tangkapan yang tidak laku di pasar.
- Strategi perbaikan teknologi penangkapan antara lain adalah:
(a). Menjaga dan memelihara penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem sumberdaya
(b). Mencegah terjadinya modifikasi alat penangkapan untuk
peningkatan kapasitas (c). Mempertahankan penggunaan
pancing tuna handline dengan panjang tali pancing ulur lebih
dari 74 meter di perairan lebih dalam (kedalaman >100 meter)
yang dapat meningkatkan jumlah dan ukuran (kg) ikan target
tangkapan.
127
- Strategi perbaikan pada dimensi kelembagaan antara lain: (a).
Menjalin kerjasama antar seluruh stakeholders pemanfaat
sumberdaya perikanan termasuk kerjasama antar daerah yang
berbatasan langsung dengan perairan Teluk Tomini agar
efektivitas pengelolaan perikanan dapat lebih ditingkatkan (b).
Membuat segera instrumen kebijakan untuk mengatasi keadaan
sumberdaya perikanan yang sudah mengalami tangkap lebih
(over exploited) di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo agar
sumberdaya perikanan ini tidak habis dalam jangka pendek
namun tetap berkelanjutan dalam jangka panjang.
B. Saran
1. Untuk mempertahankan dan meningkatkan status keberlanjutan ke
depan, perlu dilakukan intervensi (perbaikan) terhadap atribut yang
berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan.
2. Perlu diprioritaskan perbaikan atribut pada dimensi keberlanjutan
yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih rendah, yaitu
pada dimensi teknologi penangkapan. Sedangkan untuk dimensi
biologi dan kelembagaan berdasarkan existing condition, nilai
indeks keberlanjutannya ke depan dapat dipertahankan atau lebih
ditingkatkan.
3. Perbaikan terhadap atribut-atribut sebaiknya tidak hanya dilakukan
pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status
128
keberlanjutan, tetapi juga atribut-atribut yang tidak sensitif agar
status keberlanjutan perikanan tuna madidihang dapat ditingkatkan
mendekati nilai indeks keberlanjutan 100 persen. Tentunya dengan
pertimbangan kemampuan finansial, waktu, dan tenaga.
129
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto dan Luky. 2007. Konsepsi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K., and Ferriss. 2000. How
Good is Good ?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. In D. Pauly and T.J. Pitcher (Editors). Methods for Evaluating The Impacts on North Atlantic Ecosystem. Fisheries Center Report. Fisheries Center, Univ. Of British Columbia, Vancouver.
Ali, S.A. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan terbang
(Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Ali, S.A., Januarita, D., Hade, A.R., Kudsiah, H. 2012. Strategi
Pengelolaan Perikanan Ikan Terbang Melalui Pendekatan Ekosistem di Selat Makassar (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat). Laporan Akhir Penelitian Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Allahyari, M.S. 2010. Social Suistainability assessment of fisheries
cooperative in guilan province, Iran. J. of fisheries and aquatic science.
Anonim. 2009. Panjang Garis Pantai Indonesia Terbaru.
http://seputarberita.blogspot.com/2009/03/panjang-garis-pantai-indonesia-terbaru.html.
[ATLI] Asosiasi Tuna Longline Indonesia. 2006. Laporan Tahunan ATLI
1997-2005. Benoa. Bali. Bandjar, H., Bahar, S. 1994. Pengaruh Perbedaan Panjang Tali Pancing
Ulur Dan Posisi Mengkaitkan Kail Pada Umpan Hidup Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) Di Perairan Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 85: 30-39.
Badrudin, Aisyah, dan Wiadnyana, N.N. 2010. Indeks Kelimpahan Stok
dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal di WPP Laut Jawa. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta.
130
BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta.
Budiharsono, S. 2007. Penentuan status dan faktor pengungkit
PEL.Direktorat Perekonomian Daerah. Bappenas. Jakarta. Brill, R. 1994. A Review of Temperature And Oxygen Tolerance Studies of
Tunas Pertinent To Fisheries Oceanography, Movements Models And Stock Assessments. Fish. Ocean., 3 (3): 204-216.
Brinkerhoff, D.W., Arthur, A., and Goldsmith. 1990. Institusional
Suatainability in Agriculture and Rural Development: A Global Perspective. Praeger Publisher. New York. USA.
Charles, A.T. 2001. Suistainable Fishery System. Blackwell Science. UK. Charles, A.T., Boyd H., Lavers, A., and Benjamin, C. 2002. Measuring
sustainable development application of the genuine progress index to nova scotia. Management Science/Environmental Studies. Saint Mary’s University. Halifax.
Collette, B.B., and Nauen, C.E. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2.
Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish.Synop., (125) Vol. 2: 137 p.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2006. Perencanaan pembangunan wilayah pesisir:
mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi pemerataan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Makalah. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 1994. Petunjuk Teknis
Pengelolaan Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
[DKP] Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2005. Laporan Statistik
Perikanan. Jakarta.
131
[DKP] Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2005. Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Teluk Tomini. Jakarta.
[DIT-POLAIR] Direktorat Kepolisian Perairan. 2013. Penanganan Tindak
Pidana Illegal Fishing DIT Polair Polda Gorontalo. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo.
[EAFM] Ecosystem Approach to Fisheries Management-Indonesia. 2013. Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Kementerian Kelutan dan Perikanan. http://www.eafm-indonesia.net. [Diakses: 05 Oktober 2013].
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Fauzi, A., dan Anna, S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: aplikasi pendekatan Rapfish (studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Pesisir & Lautan 4(3):43-55. Jakarta.
FAO. 1995. The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO of The
United Nations. Rome. FAO. 1997. Review of The State of World Fishery Resources: Marine
Fisheries. Marine Resources Service, Fishery Resources Division, Fisheries Department, FAO, Rome, Italy.
FAO. 1999a. RAPFISH: A Rapid Appraisal Technique For Fisheries, And
Its Application To The Code Of Conduct For Responsible Fisheries. Rome: FAO.
FAO. 1999b. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture
Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. FAO of The United Nations. Rome.
FAO. 2003. Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Paper. Francis, R.C. 1992. Dolphins And The Tuna Industry. National Academy
Press. Washington, D.C. Gracia, S.M., and Cochrane, K.L. 2005. Ecosystem Approach to Fisheries:
A Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences (62).
132
Habibi, A., Ariyogagautama, D., dan Sugiyanta. 2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan dan Penanganan. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil. Best Management Practices. WWF-Indonesia. 27 hal.
Hamdan. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap
Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hartono, T.T., Kodiran, T., Iqbal, M.A., dan Koeshendrajana, S. 2005.
Pengembangan teknik rapid appraisal for fisheries (RAPFISH) untuk penentuan indikator kinerja perikanan tangkap berkelanjutan di Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan 6(1):65-76.
Hidayanto, M., Supiandi, S., Yahya, S., dan Amien, L.I. 2009. Analisis
Keberlanjutan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 27 No. 2. 213-229.
Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil
(Kasus Perikanan Pantai Di Serang Dan Tegal). Disertasi.Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indonesian Fisheries Statistic Indext. 2009. Ministry of Marine Affairs
Fisheries. Japan International Corporation Agency. IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2010. Report of the Twelve
Session of the IOTC. Working Party of Tropical Tunas. Victoria, Seychelles.
ISSF. 2012. Status of the World Fisheries for Tuna. ISSF Technical
Report. Official Statutes Rules and Regulations. Munchen. 181-294p. Itano, D.G. 2001. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus
albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pacific Ocean Yellowfin Research Group - SCTB 14 Noumea. New Caledonia, 9-16th. 12 pp.
James, L., and Sumich. 1992. An Introduction to The Biology of Marine
Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher. Kantun, W. 2012. Kondisi Stok, Hubungan Kekerabatan dan Keragaman
Genetik Tuna Madidihang (Thunnus albacares) Pada Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 713 (Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone). Universitas Hasanuddin. Makassar.
133
Kartika, S. 2010. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem di Pantura Barat Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Kavanagh, P. 2001. RAPFISH software description (for Microsoft Excel).
Rapid apraisal for fisheries project. Fisheries Centre UBC. Vancouver.
Kavanagh, P., and Pitcher, T.J. 2004. Implementing Microsoft Excel
Software Des Eruption (For Microsoft Excel). University of British columbia, Fisheries Centre. Vancouver.
King, M. 1995. Fisheries Biology. Assessment and Management. Fishing
News Books. London. USA. 341p. [KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011.
Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta.
Kosasih, 2007. Strategi Pengembangan Perikanan Tuna Longline
Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Studi Kasus di Benoa Bali). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Lampe, M. 2009. Wawasan Sosial Budaya Bahari (WSBB). Unit
Pelaksana Teknik Mata Kuliah Dasar Umum Universitas Hasanuddin.
Mallawa, A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan
Berbasis Masyarakat. Universitas Hasanuddin Makassar. Marion, G., Furtado, J., Proano, L., Musalli, M., Blanca, M. 2010.
Overfishing and the Case of the Atlantic Blue Fin Tuna. International Seminar on Sustainable Technology Development. 11-18 Juny 2010. Universitat Politecnica de Catalunya. 1-15p.
Monintja, D.R., dan Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian
rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial selatan Jawa dan utara Sulawesi. Laporan penelitian. FPIK Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nababan, B.O., Yesi, D.S., dan Maman, H. 2007. Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil Di Kabupaten Tegal Jawa Tengah (Teknik Pendekatan RAPFISH). Jurnal Kebijakan dan Riset sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2 (2): 137-158.
134
Najamuddin. 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus sp) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Nakamura, H. 1991. Ditemukan Tujuh Jenis Ikan Tuna. Dalam Bali Pos 12
April 1991. Hal 10. Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and Migration. Fishing News
(books) Ltd. London. 76p. Nasir, M. 1983. Metode Penelitian. Edisi Keempat, Ghalia Indonesia,
Jakarta. Nedelec, C., and Prado, J. 1990. Definition and Clasification of Fishing
Gears Categories. FAO FISEHRIES TECHNICAL PAPER. 222 Rev.1. FAO Fisheries Industries Division. Rome. 92p.
Nur, A. 2011. Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) Di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan, Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nomura, I. 2009. Fishery and Aquaculture Statistics. Food And Agriculture
Organization of The United Nations Rome. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial;
Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas. Evolusi Kelembagaan Pedesaan Di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Pakpahan, A. 1990. The Problem of Sawah-Land Convertion to Non-
Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture. 1(2):101-108.
Pariakan, A. 2012. Analisis Kesesuaian Perairan dan Pengembangan
Budidaya Kappaphycus alvarezii di Wilayah Klaster Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Unhas. Makassar
Pitcher, T.J., and Preikshot, D. 2001. RAPFISH, A Rapid Appraisal
Technique for Fisheries, and Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. J. Fisheries Research 49: p255-270.
135
[PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2012. Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purnomo, E. 2002. Sistem Analisis. Andi Offset. Yogyakarta. Ramli, R. 2006. Studi Tentang Potensi dan Tingkat Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan Pelagis di Perairan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Makassar.
Realino, B., Teja, A., Wibawa, A., Zahruddin, D., Asmi, M., dan Napitu. 2006. Pola Spasial Dan Temporal Kesuburan Perairan Permukaan Laut di Indonesia. Balai Riset dan Observasi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jembrana. Bali.
Rice, J.C., and Rochet, M.J. 2005. A framework for selecting a suite of indicators for fisheries management. ICES J. of Mar Sc 62:516-527.
Saaty, T.L. 1993. Proses Hirarki Analitik Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia atas Kerjasama Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) dengan PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Schmid, A. 1972. Analytical Institutional Economics: Challenging Problems
in the Economics of Resources for a New Environment. American Journal of Agricultural Economics. Vol. 54 no. 5 pp.893-909. American Agricultural Economics Association.
Sekaran, U. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jilid 2. Edisi 4.
Salemba Empat. Jakarta. Thamrin., Sutjahjo S., Herison C. & Sabiham S. (2007). Analisis
Keberlanjutan Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat–Malaysia Untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jurnal Agro Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. 25(2): 103-124.
Trippel, E.A. 1995. Age at maturity as a stress indicator in fisheries. J.
BioScience 45(11):759-771. Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan
Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya.
136
Unar, M., Tambunan, T.M., Malangyudo, S., Ilyas, S., Mulia, M., Supanto, Uktolseja, Y., dan Ayodhya. 1982. Perikanan Tuna dan Cakalang di Indonesia. Balai penelitian dan pengembangan Perikanan. 124 hal.
Vaaz, K. F. 1952. Hasil Ikan Daerah Khatulistiwa B.P Th. III (9-10) Widodo, J. 2005. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut-LIPI. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijaya, H. 2012. Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares,
Bonnatere 1788) Dengan Alat Tangkap Pancing Tonda Dan Pengelolaannya Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu Sukabumi. Program Studi Magister Ilmu Kelautan. Universitas Indonesia. Depok.
Widjojo, S. 1966. Perikanan Mayang di Teluk Jakarta sekitar Kepulauan
Seribu. Lap. Praktek Mayor. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Wild, A. 1989. A Review Of The Biology And Fisheries For Yellowfin Tuna,
Thunnus albacares, In The Eastern Pacific Ocean. Inter-American Tropical Tuna Commision La Jolla. California.
Zhu, G., Xu, L., Zhou, Y., and Song, L. 2008. Reproductive biology of
yellowfin tuna T. albacares in the west-central Indian Ocean. Journal of Ocean University of China (English Edition) 7: 327-332.
137
L A M P I R A N
138
Lampiran 1. Ukuran berat total dan panjang cagak tuna madidihang yang tertangkap selama penelitian
No. Berat total (kg) Panjang cagak (cm)
1. 28,6 111,3 2. 14,6 92,1 3. 31,9 110 4. 35,7 115,8 5. 26 105,3 6. 18,1 92,1 7. 44,7 120 8. 30 118,4 9. 17,8 101,7
10. 63,1 170,2 11. 41,33 98,1 12. 63,4 118,6 13. 52,4 119,4 14. 32,5 122,8 15. 18,1 92,8 16. 29,7 110,3 17. 61 152,1 18. 49,3 124,6 19. 40,3 110,7 20. 54 120,6 21. 49 125,1 22. 16,9 92,4 23. 29,1 118,6 24. 61 152 25. 67,1 156,2 26. 17,2 100 27. 60,4 150,6 28. 35 115,7 29. 37,4 117,3 30. 67,3 158,6 31. 27,1 115 32. 29,5 118,6 33. 16,8 93,7 34. 65,2 154,7 35. 27,1 116,4 36. 18,4 92,4
Rata - rata 38,25 119,01 Min. 14,6 92,1 Max. 67,3 170,2
Sumber: Data penelitian (2013)
139
139
Lampiran 2. Kuesioner RAPFISH Nama Responden : Jenis Kelamin : Umur : Status Nelayan / Pemerintah : Hari / Tanggal : Kabupaten / Kecamatan / Desa : Dimensi Biologi No. Indikator / Atribut Penjelasan Maks. Min. Kriteria Nilai
1. Status eksploitasi Status pemanfaatan sumberdaya berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)
3 1
1 : Over exploited 2 : Fully exploited 3 : Moderate / non exploited
2. CPUE Hasil tangkapan persatuan upaya (trip / kapal / perahu) 3 1
1 : Penurunan CPUE >1000 kg/trip 2 : Penurunan CPUE 250-1000 kg/trip 3: Penurunan CPUE <250 kg/trip
3. Rata-rata ukuran panjang ikan Perubahan ukuran panjang ikan (Fork Length) 3 1
1 : < 77 Cm 2 : 77 - 100 Cm 3 : > 100 Cm
4. Bobot ikan Perubahan size 3 1
1 : Size < 20 kg 2 : Size 20 - 40 kg 3 : Size > 40 kg
5. Range collapse Sumberdaya ikan semakin jauh ditemukan 3 1
1 : Fishing ground sangat jauh 2 : Fishing ground jauh 3 : Fishing ground dekat
6. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).
3 1 1 : Banyak sekali (> 60%) 2 : Banyak (30 - 60%) 3 : Sedikit (<30%)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
140
140
Dimensi Teknologi Penangkapan No. Indikator / Atribut Penjelasan Maks. Min. Kriteria Nilai
1. Kapasitas mesin Kemampuan mesin untuk menggerakkan perahu
3 1
1 : >9 PK 2 : 7 - 9 PK 3 : 5 - 7 PK
2. Modifikasi alat penangkapan
Perubahan alat tangkap untuk peningkatan kapasitas
2 1
1 : Ada perubahan untuk meningkatkan kapasitasalat
2 : Tidak ada perubahan perkapasitas alat
3. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Aktivitas penangkapan yang tidak merusak lingkungan
2 1 1 : Tidak ramah lingkungan
2 : Ramah lingkungan
4. Teknik penangkapan
Pola penangkapan ikan 2 1
1 : Rumpon 2 : Berburu (tidak menggunakan
rumpon)
5. Tempat pendaratan
Lokasi pendaratan hasil tangkapan
2 1 1 : Kampung nelayan 2 : TPI Kecamatan
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
141
141
Dimensi Kelembagaan No. Indikator / Atribut Penjelasan Maks. Min. Kriteria Nilai
1. Keberadaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Single otoritas akan meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelolaan perikanan
3 1
1 : Tidak ada 2 : Ada tapi tidak efektif 3 : Ada dan efektif
2. Partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP
Tingkat partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP perikanan
3 1
1 : Kebijakan yang saling bertentangan 2 : Kebijakan tidak saling mendukung 3 : Kebijakan saling mendukung
3. Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Konflik kebijakan antar lembaga 3 1
1 : 0-1 peraturan 2 : 2-3 peraturan 3 : > 3 peraturan
4. Jumlah peraturan pengelolaan perikanan
Sejauh mana pertambahan aturan main 3 1
1 : Belum ada RPP 2 : Ada RPP tapi belum dijalankan 3 : Ada RPP dan telah dijalankan
5. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidak ada RPP 3 1
1 : Tidak ada sarana dan SDM 2 : Ada sarana dan SDM tapi tidak
berjalan efektif 3 : Ada sarana dan SDM serta ada
penindakan
6. Ketersediaan sarana dan SDM dalam penegakan peraturan
Apakah ada sarana dan SDM yang mendukung penegakan
3 1
1 : > 20 kali terjadi pelanggaran hukum 2 : 5-20 kali terjadi pelanggaran hukum 3 : < 5 kali terjadi pelanggaran hukum
7. Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan formal
3 1
1 : Tingkat Nasional 2 : Tingkat Provinsi dan kabupaten 3 : Tingkat lokal/desa
8. Lembaga pelaksana pengelola
Keberadaan lembaga pada tiap tingkatan pengelolaan
3 1 1 : Tidak ada 2 : Ada tapi tidak efektif 3 : Ada dan efektif
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
142
142
Lampiran 3. Proses input data pada teknik RAPFISH
Gambar 17. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi biologi dari sel D2 sampai dengan I2.
143
143
Gambar 18. Hasil analisis RAPFISH dimensi biologi
144
144
Gambar 19. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi biologi
145
145
Gambar 20. Hasil analisis Monte Carlo dimensi biologi
146
146
Gambar 21. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi teknologi penangkapan dari sel D2
sampai dengan I2.
147
147
Gambar 22. Hasil analisis RAPFISH dimensi teknologi penangkapan
148
148
Gambar 23. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi teknologi penangkapan
149
149
Gambar 24. Hasil analisis Monte Carlo dimensi teknologi penangkapan
150
150
Gambar 25. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi kelembagaan dari sel D2 sampai
dengan K2.
151
151
Gambar 26. Hasil analisis RAPFISH dimensi kelembagaan
152
152
Gambar 27. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi kelembagaan
153
153
Gambar 28. Hasil analisis Monte Carlo dimensi kelembagaan
154
154
Lampiran 4. Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA)
IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Pekerjaan :
Pendidikan Terakhir :
Umur : Tahun
Jenis Kelamin :
PETUNJUK PENGISISAN
Berilah tanda lingkar (O) pada kolom skala Faktor (A) atau pada kolom skala Faktor (B) yang sesuai dengan pendapat anda. Definisi Kode : 1: kedua Faktor sama penting (equal importance) 2: Jika ragu-ragu antara skala 1 dan 3 3: Faktor (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding dengan Faktor (B) 4: Jika ragu-ragu antara skala 3 dan 5 5: Faktor (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan Faktor (B) 6: Jika ragu-ragu antara skala 5 dan 7 7: Faktor (A) sangat lebih penting (very strong importance) dibanding dengan Faktor (B) 8: Jika ragu-ragu antara skala 7 dan 9 9: Faktor (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding dengan Faktor (B)
155
155
DAFTAR PERTANYAAN
PENDAPAT RESPONDEN
Kriteria A STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA MADIDIHANG Kriteria B
Biologi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Teknologi Penangkapan
Biologi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelembagaan
Teknologi Penangkapan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelembagaan
156
156
Lampiran 5. Foto kegiatan lapangan
1. Kegiatan wawancara di Desa Tutulo Kecamatan Botumoito Kabupaten Boalemo.
Gambar 1. Wawancara peneliti dengan staf Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Boalemo
Gambar 2. Wawancara peneliti dengan tokoh nelayan
157
157
Gambar 3. Wawancara dengan tokoh nelayan
Gambar 4. Wawancara peneliti dengan penampung tuna madidihang
158
158
2. Perahu nelayan handline tuna Kabupaten Boalemo
Gambar 5. Perahu nelayan tuna madidihang