75 STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TUNA MADIDIHANG (THUNNUS ALBACARES) DI TELUK TOMINI KABUPATEN BOALEMO SUSTAINABILITY STATUS OF YELLOWFIN TUNA FISHERIES (THUNNUS ALBACARES) IN TOMINI BAY OF BOALEMO DISTRICT ZULKIFLI ARSALAM MOO PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
174
Embed
STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TUNA MADIDIHANG …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/YWQ0... · Pengelolaan Perikanan 16 D. Dimensi Biologi 18 1. Status
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
75
STATUS KEBERLANJUTAN PERIKANAN TUNA
MADIDIHANG (THUNNUS ALBACARES) DI TELUK TOMINI
KABUPATEN BOALEMO
SUSTAINABILITY STATUS OF YELLOWFIN TUNA
FISHERIES (THUNNUS ALBACARES) IN TOMINI BAY OF
BOALEMO DISTRICT
ZULKIFLI ARSALAM MOO
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
76
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Zulkifli Arsalam MoO
Nomor Mahasiswa : P3300211001
Program Studi : Ilmu Perikanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 11 Oktober 2013
Yang Menyatakan
Zulkifli Arsalam MoO
77
RIWAYAT HIDUP
Zulkifli Arsalam MoO, dilahirkan di Gorontalo pada
tanggal 31 Juli 1986. Anak ketiga dari 3 bersaudara,
anak dari pasangan Drs. Hi. Hamzah MoO, MM. dan Hj.
Sulastri M. Lahabu. Penulis mengawali pendidikan
formal di TK Ki Hajar Dewantoro, dan melanjutkannya
di SDN 29 Kota Utara. Tahun 2001 penulis melanjutkan
masa studi di Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren
HUBULO Gorontalo, dan tahun 2003 di SMU Terpadu
Wira Bhakti Gorontalo. Pada tahun 2005, penulis
diterima di Universitas Hasanuddin Makassar melalui
jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan sejak itu terdaftar sebagai
mahasiswa pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan
Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Untuk menyelesaikan studi di
Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, penulis melaksanakan penelitian dengan
judul “Status Pengelolaan Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) Di Perairan
Teluk Tomini Kota Gorontalo”. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan
magister di Program Studi Ilmu Perikanan (IP) pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin (PPs UNHAS). Selama mengikuti program magister,
penulis telah mengikuti berbagai kegiatan seminar yang berhubungan dengan
pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
78
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas
berkah dan anugerah-Nya jualah sehingga penelitian dan penulisan tesis
ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah
penulis lakukan sejak awal bulan Maret 2013 di perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo.
Dalam penyusunan tulisan ini, sejak penelitian hingga penyusunan
tesis, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi, namun
berkat bimbingan dan petunjuk serta dorongan dari berbagai pihak, baik
moril maupun materil sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Olehnya itu,
dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, MS. dan bapak Dr. Ir. Faisal
Amir, M. Si. masing-masing selaku ketua dan anggota komisi
pembimbing, atas segala kebaikan, keikhlasan, dan kesabarannya
dalam membimbing dan mengarahkan penulis sejak awal sampai
akhir penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian penelitian dan penulisan tesis ini dengan tepat waktu.
2. Bapak Dr. Ir. Lodewjk S. Tandipayuk, MS., Bapak Prof. Dr. Ir.
Sudirman, M.P., dan Ibu Dr. Ir. Dewi Yanuarita, MS., selaku tim
79
penguji atas saran, arahan, dan masukan demi penyempurnaan
tesis ini.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI) yang telah
memberikan Beasiswa Unggulan selama satu tahun.
4. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas
Hasanuddin Makassar atas perkenannya sehingga penulis bisa
kuliah disini.
5. Ketua Program Studi Magister Ilmu Perikanan serta seluruh staf
Program Studi Ilmu Perikanan atas segala pelayanan akademik
yang bersahabat selama penulis mengikuti perkuliahan di Program
Studi Ilmu Perikanan.
6. Bapak Rusli Badu, S.Pi selaku Kepala Bidang Perikanan Tangkap
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Boalemo serta seluruh
staf Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo maupun
Kabupaten Boalemo, yang telah memberikan sumbangan tenaga,
pemikiran, informasi, dan data yang diperlukan selama penelitian
berlangsung.
7. Badan statistik Pemerintah Provinsi Gorontalo atas informasi dan
masukannya selama penelitian di Kawasan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo.
8. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pascasarjana Program
Studi Ilmu Perikanan Angkatan 2011 maupun rekan-rekan di
Laboratorium Konservasi dan Manajemen Sumberdaya Hayati
80
Perairan, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu, atas segala ide dan kritikan yang sifatnya
membangun, semoga selalu kompak dalam bingkai persaudaraan
dan ukhuwah islamiyah.
9. Khusus kepada “Pahlawanku” dan “Teladanku”, Ayahanda tercinta,
Drs. Hi. Hamzah MoO, M.M., yang telah berjuang dengan sekuat
tenaga agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan tinggi.
Untuk Ibunda tercinta Hj. Sulastri M. Lahabu atas semangat juang
yang diajarkan kepada anak-anaknya.
10. Saudara kandung (kakak) dari penulis, yang tercinta Restu
Hestiyati MoO, SE. AK., dan Dewi Rahmawaty MoO, S. Farm,
M.Sc. Apt., beserta seluruh keluarga besar MoO – Lahabu atas
dorongan moril, materil, doa, dan kasih sayang yang tak putus-
putusnya sehingga meringankan langkah penulis untuk
menghadapi segala kesulitan selama penulis mengikuti pendidikan
di Universitas Hasanuddin. Serta yang tak kalah besar peranannya,
saudari Tri Novitasari, yang telah memberikan support kepada
penulis, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya
selama ini.
Menyadari akan kurang sempurnanya tesis ini dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan dalam membuat tulisan ini, dengan
tulus ikhlas penulis mohon kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan
selanjutnya. Akhirnya tiada harapan selain ridha Allah SWT. atas segala
81
jerih payah dan jasa baik kita semua serta limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya senantiasa tetap tercurah kepada kita sekalian. Amin.
Makassar, November 2013
Zulkifli Arsalam MoO
82
ABSTRAK
ZULKIFLI ARSALAM MOO. Status Keberlanjutan Perikanan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo. Dibimbing oleh Syamsu Alam Ali dan Faisal Amir.
Keberlanjutan perikanan tuna madidihang ditentukan oleh interaksi antara faktor biotik, abiotik, dan manusia sebagai sistem perikanan. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang berdasarkan dimensi biologi sumberdaya ikan, teknologi penangkapan, dan kelembagaan, (2) Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang secara multidimensi (3) Merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tuna madidihang berbasis ekosistem di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo. Penelitian ini menggunakan teknik RAPFISH, satu teknik analisis kuantitatif yang digunakan untuk menentukan status keberlanjutan suatu sumberdaya perikanan. Teknik RAPFISH dalam penelitian ini didukung oleh analisis Multi Dimensional Scalling (MDS) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan.
Analisis leverage dan Monte Carlo digunakan untuk mengetahui atribut-atribut yang sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi biologi berada pada status yang berkelanjutan, dimensi teknologi penangkapan berada pada status yang tidak berkelnajutan, dan dimensi kelembagaan dengan status yang berkelanjutan. Dari 19 atribut yang dianalisis, terdapat 6 faktor atau atribut yang sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan atau intervensi terhadap atribut-atribut tersebut untuk meningkatkan indeks dan status keberlanjutan. Nilai keberlanjutan secara keseluruhan (multidimensi) menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan tuna madidihang tergolong kategori buruk.
83
ABSTRACT
ZULKIFLI ARSALAM MOO. Sustainability Status of Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Fisheries in Tomini Bay of Boalemo District. Supervised by Syamsu Alam Ali and Faisal Amir.
The sustainability of yellowfin tuna fishery is determined by interaction between biotic factor, abiotic factor, and human being as fishery system. Naturally, management of fishery system cannot be discharged from three dimension which is not dissociated one with another, such as the fishery resources and his ecosystem, dimension of exploiting the fishery resources sake of society economical social, and policy dimension. The aims of this research were: (1) to analyze the sustainability status of tuna fishery according to biological of fish resource, fishing technology, and institutional, (2) to analyze the multidimensional of yellowfin tuna sustainability, (3) to Formulate policy-based alternative of yellowfin tuna with based on ecosystem in Tomini Bay, Boalemo District. RAPFISH, a quantitative analysis technique, is used to asses sustainability status of yellowfin tuna fisheries. RAPFISH technique in this research is supported by several analysis of the Multi Dimensional Scalling (MDS) and the result were stated in the index and sustainability status.
Leverage and Monte Carlo analysis is used to determine the attributes that affect sensitively on the index and sustainability status. The result showed that biological fishery resource dimension in category of sustainable, technology dimension in less sustainable, and institutional dimension in category of sustainable. Out of 19 attributes being analyzed, 6 attributes were affected to the sensitivity of index and sustainability status. It’s must be taken intervention are needed to increase the index and sustainability status. Sustainability’s value of the multidimensional indicate that fisheries management of yellowfin tuna is still considered in poor category.
84
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA v
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xi
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 8
D. Manfaat Penelitian 8
E. Kerangka Pikir 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 11
A. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 11
B. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem 13
C. Pengembangan Indikator Bagi Pendekatan Ekosistem Untuk
Pengelolaan Perikanan 16
D. Dimensi Biologi 18
1. Status Eksploitasi 20
2. CPUE (Catch Per Unit Effort) 21
3. Rata-rata Ukuran Panjang Cagak (fork length) 24
4. Bobot Ikan 26
5. Range Collapse 26
6. Proporsi Ikan Yuwana (Juvenil) yang ditangkap 27
E. Klasifikasi dan Morfologi 28
F. Dimensi Teknologi Penangkapan 31
1. Kapasitas Mesin 32
2. Modifikasi Alat Penangkapan 33
3. Penangkapan Ikan Yang Ramah Lingkungan 34
4. Teknik Penangkapan 35
5. Tempat Pendaratan 37
85
G. Dimensi Kelembagaan 38
1. Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) 39
2. Jumlah Peraturan Pengelolaan Perikanan 40
3. Partisipasi Stakeholders Dalam Penyusunan RPP 41
4. Konflik Kebijakan Pengelolaan Perikanan 42
5. Kepatuhan Terhadap Peraturan Formal Dalam
Pengelolaan Perikanan 42
6. Lembaga Pelaksana Pengelola Perikanan 43
7. Ketersediaan Sarana dan Sumberdaya Manusia (SDM)
Dalam Penegakan Peraturan Perikanan 43
8. Keberadaan Otoritas Tunggal Dalam Pengelolaan
Perikanan 44
H. Metode RAPFISH (Rapid Appraissal for Fisheries) 44
I. Penentuan Status Keberlanjutan 47
J. Metode Proses Hirarki Analitik (PHA) 48
III. METODE PENELITAN 54
A. Waktu dan Lokasi Penelitian 54
B. Metode Pengumpulan Data 55
C. Prosedur Penelitian 58
D. Analisis Data 59
1. Penentuan Atribut Keberlanjutan 62
2. Analisis Sensitifitas (Leverage Analysis) 69
3. Status Keberlanjutan Dimensi 70
4. Status Keberlanjutan Multidimensi 73
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 75
A. Analisis Keberlanjutan Dimensi Biologi 75
1. Status Ekslpoitasi 76
2. Catch Per Unit Effort (CPUE) 77
3. Rata-rata Ukuran Panjang Cagak 80
4. Bobot Ikan 82
5. Range Collapse 85
6. Proporsi Ikan Yuwana (Juvenil) Yang Ditangkap 86
7. Penilaian Dan Sensitifitas Atribut 86
B. Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi Penangkapan 94
1. Kapasitas Mesin 95
2. Modifikasi Alat Penangkapan 95
3. Penangkapan Ikan Yang Ramah Lingkungan 97
4. Teknik Penangkapan 97
5. Tempat Pendaratan 98
86
C. Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 106
1. Partisipasi Stakeholders Dalam Penyusunan Rencana
Pengelolaan Perikanan (RPP) 110
2. Konflik Kebijakan Pengelolaan Perikanan 111
3. Lembaga Pelaksana Pengelola Perikanan 112
D. Analisis Status Keberlanjutan Setiap Dimensi 113
E. Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi 114
F. Analisis Monte Carlo 118
V. PENUTUP 125
A. Kesimpulan 125
B. Saran 127
DAFTAR PUSTAKA
87
DAFTAR TABEL
nomor
halaman
1. Skala perbandingan secara berpasangan 51
2. Prosedur penelitian 58
3. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi biologi 65
4. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi teknologi penangkapan 66
5. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk
dimensi kelembagaan 67
6. Kategori selang nilai indeks keberlanjutan untuk setiap
dimensi yang dikaji 72
7. Status tingkat eksploitasi sumberdaya ikan (tuna
besar) di perairan Teluk Tomini WPP-RI 715 76
8. Interval kelas dan persentase hasil pengukuran
pancang cagak tuna madidihang 80
9. Interval kelas dan persentase bobot total tuna
madidihang 83
10. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
biologi 87
11. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
teknologi penangkapan 100
12. Hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi
kelembagaan 108
13. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan tuna
madidihang 116
14. Nilai statistik dan perbedaan nilai (selisih) indeks
keberlanjutan perikanan tuna madidihang antara
RAPFISH (Multi Dimensional Scalling) dengan
Monte Carlo pada masing-masing dimensi. 122
88
DAFTAR GAMBAR
nomor halaman
1. Data produksi perikanan tuna madidihang (Thunnus
albacares) di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo tahun 2007 sampai 2012 3 2. Kerangka pikir analisis status keberlanjutan dan
strategi pengelolaan perikanan tuna
madidihang (thunnus albacares) melalui
pendekatan ekosistem di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo 10 3. Spesies ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) 29
4. Peta Lokasi Penelitian 55
5. Proses/tahapan aplikasi RAPFISH pada pengelolaan
perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo 61 6. Peta tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa
WPP-RI 77 7. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran panjang cagak (fork length) 82 8. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran bobot ikan 84 9. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi biologi 88 10. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi biologi 89
11. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi teknologi
penangkapan 102 12. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi
teknologi penangkapan 103 13. Posisi status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo pada dimensi kelembagaan 109 14. Hasil analisis faktor pengungkit pada dimensi
kelembagaan 110
89
15. Kite diagram hasil analisis RAPFISH dari masing-
masing nilai indeks keberlanjutan pada setiap
dimensi 113 16. Hasil simulasi Monte Carlo dari setiap dimensi yang
dianalisis 123
90
DAFTAR LAMPIRAN
nomor halaman
1. Ukuran berat total dan panjang cagak tuna
madidihang yang tertangkap selama penelitian 138
2. Kuesioner RAPFISH 139
3. Proses input data pada teknik RAPFISH 142
4. Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA) 154
5. Foto kegiatan lapangan 156
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuna madidihang (Thunnus albacares) merupakan ikan pelagis
besar dengan distribusi geografis mulai dari daerah tropis sampai sub
tropis. Tuna madidihang tergolong ikan bernilai ekonomis tinggi dan
berperan penting dalam menggerakkan perdagangan perikanan secara
Nasional dan Internasional. Memiliki pangsa pasar ekspor yang luas,
dengan harga yang tinggi sehingga banyak diusahakan oleh nelayan.
Sasaran ekspor tuna madidihang yang terbesar adalah Jepang. Tuna
yang diekspor ke Jepang adalah tuna yang masih segar untuk dibuat
sashimi atau sushi.
Kebutuhan dan permintaan pasar akan ikan ini terus mengalami
peningkatan, menyebabkan intensitas penangkapan meningkat di hampir
seluruh wilayah perairan Indonesia seperti Teluk Tomini, Laut Maluku,
Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau (Kantun, 2012).
Intensitas penangkapan yang semakin meningkat, menyebabkan
tuna madidihang mengalami tekanan penangkapan yang berakibat pada
penurunan produksi. Penurunan produksi dapat terjadi karena tidak
adanya pembatasan akses seperti kelebihan kapasitas, kelebihan
investasi, dan kelebihan penangkapan. Kelebihan kapasitas seperti tidak
2
adanya pembatasan upaya (effort), pembatasan ukuran kapal, bobot
kapal dan kekuatan mesin. Kelebihan investasi yang identik dengan modal
besar akan memberi peluang pengusaha untuk berinvestasi sebesar-
besarnya dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Sedangkan untuk
kelebihan penangkapan seperti tidak adanya pembatasan dalam
mengeksploitasi sumberdaya perikanan dalam hal ini adalah overfishing
(ISSF, 2012).
Penurunan produksi tuna madidihang terjadi hampir di seluruh
perairan di belahan dunia. Menurut Nomura (2009), produksi tuna
madidihang dunia mengalami penurunan rata-rata sebesar sebesar
14,33% dari 1.439.503 ton pada tahun 2003 menjadi 1.009.628 ton pada
tahun 2007. Penurunan produksi tuna madidihang terjadi juga di Indonesia
secara drastis dari 163.241 ton pada tahun 2000 menjadi 103.655 ton di
tahun 2007 atau mengalami penurunan rata-rata sebesar 7,94% per tahun
(Indonesian Fisheries Statistic Index, 2009).
Namun lain halnya yang terjadi di wilayah perairan Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI 715), terjadi peningkatan jumlah
produksi tuna madidihang secara fluktuatif. Data menunjukkan bahwa dari
jumlah produksi di tahun 2007 sebanyak 53,9670 ton meningkat menjadi
844,74 ton pada tahun 2012 (DKP Kabupaten Boalemo, 2013).
3
Gambar 1. Data produksi perikanan tuna madidihang (Thunnus albacares)
di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo tahun 2007 sampai 2012 (Sumber: Data Statisitik Perikanan Tangkap Kabupaten Boalemo, 2013).
Ikan tuna madidihang merupakan komoditas target tangkapan di
perairan Teluk Tomini, walaupun jumlahnya bervariasi di setiap wilayah
serta berfluktuasi secara tahunan. Kawasan Teluk Tomini merupakan
kawasan yang mempunyai nilai ekonomi, sosial dan ekologis yang sangat
berarti bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Salah satu
produksi terbesar di perairan Teluk Tomini adalah ikan pelagis, yang
merupakan komoditi utama dari perikanan laut, dengan produksinya kira-
kira mencapai 68% dari total produksi laut daerah itu, sedangkan 40%
diantaranya adalah sumberdaya perikanan jenis ikan tuna madidihang
(Pemerintah Provinsi Gorontalo, 2009).
Perkembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna madidihang
menunjukkan kecenderungan meningkatnya sumberdaya ikan tuna madidihang
setiap tahun meskipun banyak masalah harus dihadapi dan dipecahkan bagi
53,9670
261,6100
687,2990
514,2830
323,9520
844,7410
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pro
du
ksi (
ton
)
Tahun
4
perkembangan perikanan tadi. Masalah-masalah tersebut pada umumnya
berbentuk kurangnya tenaga kerja yang terampil, prasarana, wahana, dan
pemasaran. Seiring bergulirnya waktu, pertumbuhan populasi manusia dan
perkembangan teknologi penangkapan pun semakin meningkat sehingga
menyebabkan beberapa stok ikan di dunia mengalami overfishing
(Butcher, 1996; Venema, 1997; Lauck et al., 1998 dalam Ali, 2005).
Seperti halnya yang telah terjadi pada tuna madidihang di perairan
Samudera Hindia, utamanya di daerah-daerah penangkapan ikan armada
tuna longline PT. Perikanan Samodra Besar (PT. PSB) Benoa Bali, sudah
terindikasi adanya tangkap lebih (overfishing) atau mendekati titik jenuh.
Ini dibuktikan dengan selama kurun waktu lebih dari satu dasawarsa
terakhir, rata-rata berat ikan tuna yang tertangkap, laju tangkap (hook
rate) dan hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit Effort, CPUE)
cenderung mengalami penurunan (Kosasih, 2007).
Hal ini didukung pula oleh pendapat ATLI (2006) diacu dalam
Kosasih (2007) yang melaporkan bahwa ekspor tuna dari Benoa
semenjak tahun 2000 hingga 2005 mengalami penurunan. Penurunan
yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2005 dimana hanya 9.776 ton
tuna yang diekspor dibandingkan pada tahun 2000 yang berjumlah 18.758
ton. Ini merupakan salah satu indikator bahwa telah terjadi kelebihan
tangkap terhadap tuna madidihang dan tuna jenis lainnya. Oleh karena itu
diperlukan suatu konsep manajemen yang tepat, dalam jangka panjang
5
dan dapat menjamin hasil tangkapan yang menguntungkan (sustainable
yield) tetapi kelestarian sumberdaya (spawning stock) tetap terjaga.
Pengelolaan perikanan sangat kompleks atau bersifat multidisiplin.
Dengan demikian, penilaian terhadap kelestarian atau keberlanjutan
sumberdaya perikanan tidak dapat dipetakan pada kriteria tunggal, tetapi
menyangkut berbagai aspek atau multidimensi (Pitcher et al., 2001)
sehingga dibutuhkan solusi untuk mengatasi hal ini. Salah satu model
pengelolaan yang bersifat multidimensi adalah melalui pendekatan
ekosistem.
Dengan mencoba menerapkan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan Berbasis Ekosistem dalam pengelolaan adalah salah satu
solusinya. Hal ini dikarenakan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan
ini merupakan paradigma baru yang sedang dicoba untuk diterapkan oleh
berbagai negara untuk mengatasi persoalan pengelolaan sumberdaya
perikanan, seperti Amerika Serikat, Australia, Filipina dan lain-lain serta
hasilnya pun menunjukkan respon yang positif pada negara-negara
tersebut (Kartika, 2010).
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai
dengan ekosistem perairan tropis, memiliki karakteristik dinamika
sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan dan
biodiversitasnya yang tinggi. Namun pengelolaan perikanan di Indonesia
masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi (biologi,
teknologi penangkapan, dan kelembagaan). Pendekatan yang dilakukan
6
masih bersifat parsial, belum terintegrasi dalam kerangka dinamika
ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target
pengelolaan.
Pada kenyataannya, pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat
kompleks (complexity), dinamis (dynamic), dan uncertainity (penuh
ketidakpastian) mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum,
dan politik, sehingga dibutuhkan pendekatan secara multidimensi. Dalam
konteks inilah pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries management, EAFM) dianggap menjadi
sangat penting.
Menurut Gracia dan Cochrane (2005), pengelolaan sumberdaya
perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial
budaya, hukum, dan politik. Hal ini dijelaskan oleh FAO (1995), yang
menyatakan bahwa tujuan umum dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan meliputi 4 (empat) aspek yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan
sosial. Tujuan dari masing-masing aspek tersebut yaitu:
1. Tujuan biologi, untuk menjaga sumberdaya ikan pada kondisi /
diatas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas,
2. Tujuan ekologi, untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan
bagi lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch), serta
sumberdaya lainnya yang terkait,
3. Tujuan ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan nelayan, dan
7
4. Tujuan sosial, untuk memaksimalkan peluang kerja/mata
pencaharian nelayan/masyarakat yang terlibat.
Informasi ilmiah dalam bentuk penelitian sangat dibutuhkan dalam
Perubahan alat tangkap untuk peningkatan kapasitas
Survey dan wawancara
1 : Ada perubahan untuk meningkatkan kapasitas alat
2 : Tidak ada perubahan perkapasitas alat
(Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
3.
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan
Aktivitas penangkapan yang tidak merusak lingkungan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ramah lingkungan 2 :Ramah lingkungan (Ali et al., 2012)
4. Teknik penangkapan
Pola penangkapan ikan
Survey dan wawancara
1 : Rumpon 2 : Berburu (tidak
menggunakan rumpon) (Nur, 2011; DKP Boalemo, 2013)
5. Tempat pendaratan
Lokasi pendaratan hasil tangkapan
Survey dan wawancara
1 : Kampung nelayan 2 : TPI Kecamatan (Ali et al., 2012)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
67
Tabel 5. Indikator/atribut dalam analisis RAPFISH untuk dimensi kelembagaan.
No. Indikator /
Atribut Penjelasan
Metodologi Pengumpulan
data Kriteria dan Sumber
1.
Keberadaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Single otoritas akan meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelolaan perikanan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ada single otoritas 2 : Lebih dari satu otoritas 3 : Ada single otoritas
Nur (2011) Ali et al., (2012)
2.
Partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP
Tingkat partisipasi stakeholder dalam penyusunan RPP perikanan
Wawancara dan observasi
1 : Tidak ada 2 : Ada tapi tidak efektif 3 : Ada dan efektif (Ali et al., 2012)
3. Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Konflik kebijakan antar lembaga
Survey, wawancara, dan observasi
1 : Kebijakan yang saling bertentangan 2 : Kebijakan tidak saling mendukung 3 : Kebijakan saling mendukung (Ali et al., 2012)
4. Jumlah peraturan pengelolaan perikanan
Sejauh mana pertambahan aturan main
Wawancara dan observasi
1 : 0-1 peraturan 2 : 2-3 peraturan 3 : > 3 peraturan (Ali et al., 2012)
5. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidak ada RPP
Wawancara dan observasi
1 : Belum ada RPP 2 : Ada RPP tapi belum dijalankan 3 : Ada RPP dan telah dijalankan (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
6.
Ketersediaan sarana dan SDM dalam penegakan peraturan
Apakah ada sarana dan SDM yang mendukung penegakan
Survey dan wawancara
1 : Tidak ada sarana dan SDM 2 : Ada sarana dan SDM tapi tidak
berjalan efektif 3 : Ada sarana dan SDM serta ada
penindakan (Ali et al., 2012)
7.
Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan formal
Data sekunder
1 : > 20 kali terjadi pelanggaran hukum 2 : 5-20 kali terjadi pelanggaran hukum 3 : < 5 kali terjadi pelanggaran hukum (Penilaian indikator pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan)
8. Lembaga pelaksana pengelola
Keberadaan lembaga pada tiap tingkatan pengelolaan
Wawancara dan observasi
1 : Tingkat Nasional 2 : Tingkat Provinsi dan kabupaten 3 : Tingkat lokal/desa (Nur, 2011, Ali et al., 2012)
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
Berdasarkan data yang dikumpulkan sebagaimana dikemukakan
sebelumnya, pengolahan dan analisisnya akan dikerjakan dengan
mengikuti prosedur RAPFISH, baik untuk penilaian dan pendugaan
68
parameter biologi, maupun penentuan status keberlanjutan perikanan dari
aspek teknologi penangkapan dan kelembagaan, serta untuk
implementasi pengembangan pengelolaan perikanan tuna madidihang
yang berkelanjutan. Secara singkat, analisis RAPFISH digunakan untuk
menentukan status keberlanjutan dari ketiga aspek tersebut di atas,
sedangkan untuk menggambarkan kondisi aktual perikanan tuna
madidihang dari masing-masing aspek tersebut, data diolah dengan
menggunakan analisis deskriptif.
Pendekatan deskriptif ini, bertujuan membuat deskripsi atau
penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta
dan sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nasir,
1983). Penggambaran tersebut meliputi pengamatan langsung di lokasi
penelitian dan semua informasi statistik mengenai atribut-atribut
keberlanjutan perikanan dalam aspek biologi, teknologi penangkapan, dan
kelembagaan.
Setelah itu dilakukan penilaian (scoring) perikanan yang dianalisis.
Dalam melakukan penilaian (scoring), didasarkan pada ketentuan yang
sudah ditetapkan dalam teknik RAPFISH. Data hasil skoring selanjutnya
diproses dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak (Software)
RAPFISH yang dipautkan (add-ins) pada Microsoft Excel. Sesuai
masukan hasil skor atribut yang tersusun dalam matriks Rap Scores
dalam bentuk lembaran kerja perangkat lunak Microsoft Excel, maka
69
proses pengolahan data selanjutnya berlangsung dalam perangkat lunak
tersebut.
Dalam perangkat lunak (Software) RAPFISH, pengolahan terjadi
dalam Microsoft Excel 2003 guna mengoperasikan multi-dimensional
scalling (MDS), analisis leverage (JackKnife), dan analisis Monte Carlo.
sebagaimana diajukan Kavanagh et al. (2004), analisis multi dimensional
diterapkan untuk mentransformasikan skor dari keseluruhan atribut
keberlanjutan perikanan menurut dimensinya pada ordinasi diantara 0
(buruk) dan 100 (baik).
ketepatan transformasi tersebut dikontrol oleh statistik stres dan
koefisien determinasi. Selain itu, untuk mengetahui pengaruh kesalahan
pembuatan skor atribut, mengetahui pengaruh variasi pemberian skor,
mengetahui stabilitas proses analisis MDS yang dilakukan berulang, dan
mengetahui kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data),
dilakukan analisis Monte Carlo.
2) Analisis sensitifitas (Leverage Analysis)
Untuk melihat atribut yang memberikan pengaruh terhadap indeks
keberlanjutan dilakukan analisis sensitifitas (leverage analysis). Atribut
paling sensitif akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam
bentuk perubahan akar nilai tengah kuadrat (Root Mean Square, RMS)
yaitu pada sumbu X (skala keberlanjutan). Semakin besar nilai perubahan
70
RMS semakin besar peranan atribut tersebut, sehingga semakin sensitif
dalam pembentukan nilai keberlanjutan pada skala keberlanjutan.
Dimana:
Xred = Hasil ordinasi dengan reduksi atribut
Xflip = Hasil ordinasi tanpa reduksi atribut
N = Jumlah atribut
3) Status keberlanjutan dimensi
Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan
perikanan tuna madidihang. Atribut masing-masing dimensi serta kriteria
baik dan buruk mengacu kepada konsep yang digunakan Pitcher et al.
(2001), Rapfish group (2006) dan Allahyari (2010) serta pendapat dari
para pakar dan stakeholders yang terkait dengan sistem yang dikaji. Nilai
indeks dan status keberlanjutan dalam penelitian ini dikelompokkan ke
dalam empat kategori status keberlanjutan (Tabel 2). Setiap atribut
diperkirakan skornya, yaitu skor maksimum 2 untuk kondisi baik (good)
dan 0 untuk jelek (bad) dan di antaranya untuk keadaan di antara baik dan
buruk.
Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk
menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem
yang dikaji relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi
.............. (1)
71
statistik MDS. Pemilihan MDS dalam analisis RAPFISH dilakukan
mengingat metode multi-variate analysis yang lain, seperti faktor analysis
dan Multi-Attribute Utility Theory (MAUT), terbukti tidak melahirkan hasil
yang stabil (Pitcher et al., 2001).
Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati di petakan ke dalam
ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan
ada sedekat mungkin dari titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek
yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya,
objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang
berjauhan. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan
pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi dapat ditulis
sebagai berikut:
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS
kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik
i ke titik j dengan titik asal (dij) sebagaimana persamaan berikut :
.............. (2)
.............. (3)
72
Dimana:
dij = Jarak Euclidian
= Intersept
= Slope/sudut kemiringan
= Error
đ = Disparitas
Skor perkiraan setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0%
sampai yang terbaik (good) 100%.
Tabel 6. Kategori selang nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi yang dikaji
No. Selang Nilai Indeks Kategori
1. x < 25 Sangat buruk
2. 26 < x < 50 Buruk
3. 51 < x < 74 Baik
4. x > 75 Sangat Baik
Sumber: Nababan et al. (2007)
Status keberlanjutan setiap dimensi divisualisasikan dalam bentuk
diagram layang-layang (kite diagram) yang menggambarkan keberlanjutan
dari masing-masing dimensi. Agar status keberlanjutan secara
keseluruhan dapat dinilai, dilakukan pembobotan terhadap masing-masing
dimensi dengan menggunakan pendapat minimal tiga (3) orang pakar
pengelolaan sumberdaya perikanan.
Hasil pembobotan kemudian dianalisis dengan menggunakan
Program Penentuan Bobot Dimensi menggunakan Microsoft Excel sesuai
Budiharsono (2007). Program penentuan bobot dimensi ini merupakan
73
gabungan metode perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dari
Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan pembobotan geomean,
menggunakan program Expert choice 9.5.
4) Status keberlanjutan multidimensi
Secara keseluruhan, keluaran analisis RAPFISH yaitu status
keberlanjutan perikanan ditinjau dari berbagai dimensi ini nantinya
merupakan dasar untuk analisis selanjutnya dengan menggunakan
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menyusun kegiatan
yang terencana dalam pengembangan pengelolaan selanjutnya dan
mengacu pada atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi status
perikanan pada masing-masing aspek yang dianalisis (Nababan, 2007).
Setelah diperoleh nilai dari masing-masing indeks keberlanjutan,
kemudian nilai tersebut dikalikan dengan bobot tertimbang setiap dimensi
dari hasil analisis AHP, kemudian total dari hasil perkalian indeks
keberlanjutan dimensi dengan bobot tertimbang menunjukkan nilai status
pengelolaan secara keseluruhan (multidimensi).
Nilai dari status keberlanjutan perikanan tuna madidihang secara
keseluruhan dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu (1) Apabila nilai
indeks < 50, berarti status pengelolaan buruk; (2) Apabila nilai indeks 50
sampai 75, berarti status pengelolaan baik; dan (3) Apabila nilai indeks >
75, berarti status pengelolaan sangat baik (Budiharsono, 2007).
74
Metode AHP digunakan untuk menggambarkan upaya apa yang
dibutuhkan/dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan perikanan dan
untuk mengetahui tingkat keterkaitannya, sehingga dapat membuat
perkiraan untuk masa depan dalam merumuskan strategi pengelolaan
perikanan yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya ikan, habitat dan
ekosistem, pranata aturan teknologi penangkapan ikan, dan pranata sosial
(Kartika, 2010).
75
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Keberlanjutan Dimensi Biologi
Keberlanjutan biologi sumberdaya ikan adalah suatu kondisi
dimana kualitas dan kesehatan ikan yang hidup dalam suatu ekosistem
perairan terpelihara dengan baik, dapat tumbuh dan berkembang biak
secara optimal, dan tingkat penangkapan sumberdaya ikan tidak
melampaui kemampuan pulihnya (renewable capacity) sehingga hasil
tangkapan secara keseluruhan pada berbagai tingkatan pemerintahan dan
negara dapat berlangsung secara berkelanjutan (Dahuri 2006).
Tuna madidihang adalah jenis ikan yang memiliki fekunditas tinggi
dan dapat memijah sepanjang tahun yang menyebabkan populasinya
tidak rentan terhadap peningkatan laju aktifitas penangkapan. Namun
demikian, karena data yang dibutuhkan untuk menduga status eksploitasi
cakalang dari seluruh wilayah penangkapan Teluk Tomini hingga saat ini
belum cukup tersedia, maka monitoring ketat terhadap tren stoknya perlu
dilakukan (IOTC, 2011). Atribut pada dimensi ini berkaitan dengan kondisi
biologi populasi tuna madidihang di perairan Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo.
76
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi biologi terdiri dari 6 (enam) atribut, antara lain:
(1) status eksploitasi, (2) Catch Per Unit Effort (CPUE), (3) rata-rata
ukuran panjang cagak (fork length), (4) bobot ikan, (5) range collapse, dan
(6) proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap.
1. Status eksploitasi
Kondisi sumberdaya ikan tuna madidihang di wilayah perairan
Teluk Tomini yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia (WPP-RI 715) telah ditetapkan oleh pemerintah
sebagai sumberdaya yang telah mengalami fully exploited berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
Kep.45/Men/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di WPP
Negara RI.
Adapun status eksploitasi sumberdaya ikan tuna madidihang
berdasarkan kelompok sumberdaya ikan (tuna besar) di WPP-RI 715
dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:
Tabel 7. Status tingkat eksploitasi sumberdaya ikan (tuna besar) di perairan Teluk Tomini WPP-RI 715.
No. Kelompok sumberdaya ikan (tuna besar)
Status eksploitasi
1. Cakalang (Katsuwonus pelamis) Moderate
2. Madidihang (Thunnus albacares) Fully exploited
3. Mata besar (Thunnus obesus) Over exploited
Sumber: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Kep.45/Men/2011 tentang estimasi potensi sumberdaya ikan di WPP Negara RI.
77
Selanjutnya berdasarkan lampiran 2 dari Surat Keputusan tersebut,
menunjukkan bahwa status eksploitasi ikan tuna madidihang di WPP-RI
715 berada dalam status fully exploited yang diberi warna kuning. Peta
tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa WPP-RI tersaji pada
Gambar 6 berikut:
Gambar 6. Peta tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di beberapa WPP-RI.
2. Catch Per Unit Effort (CPUE)
Hasil tangkapan per-satuan upaya (Catch Per-Unit Effort, CPUE)
adalah salah satu indeks kelimpahan stok dan merupakan suatu indikator
bagi status pemanfaatan sumberdaya ikan dan indikator keberlanjutan
perikanan tuna madidihang. CPUE yang cenderung naik merupakan
gambaran bahwa tingkat eksploitasi sumberdaya ikan masih dapat
dikembangkan. Hal ini diperoleh jika beberapa nelayan menangkap ikan
78
dalam jumlah banyak dimana penangkapan masih menyisakan ikan yang
cukup untuk bereproduksi, berkembang dan mempertahankan tangkapan
untuk masa yang akan datang, sehingga situasi seperti ini merupakan
salah satu target pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
Adapun CPUE yang cenderung menurun merupakan indikasi bahwa
tingkat eksploitasi sumberdaya ikan apabila terus dibiarkan akan mengarah
kepada suatu keadaan yang disebut over exploited (Badrudin et al., 2010).
Penurunan ini terjadi apabila ikan yang tertangkap sudah berkurang dan
ikan-ikan berebut untuk bereproduksi/berkembang. Situasi ini disebabkan
oleh banyaknya nelayan melakukan penangkapan dalam waktu yang lama
atau banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap untuk memperoleh
ikan paling banyak.
Selain itu para nelayan cenderung terus menangkap ikan karena
mereka masih ingin memperoleh keuntungan besar seiring harga ikan yang
meningkat oleh karena kelangkaan ikan di pasar. Peningkatan harga ini
biasanya menyebabkan nelayan harus melaut ke area penangkapan yang
baru atau menambah jumlah alat tangkap atau ukuran mata pancing yang
diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sama. Pada situasi seperti ini,
rata-rata hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) menurun dengan cepat
karena nelayan meningkatkan kemampuan menangkap ikan dengan
menambah usaha penangkapan.
79
Ditambah lagi dengan ulah beberapa nelayan yang mengganti alat
tangkap yang memiliki ukuran mata pancing lebih kecil sehingga mustahil
ikan terlepas dari penangkapan dan bisa bereproduksi. Oleh sebab itu
CPUE bisa menurun pada titik dimana nelayan terpaksa memburu ikan-
ikan yang tersisa untuk kehidupannya namun sia-sia sehingga dapat
membuat persediaan ikan semakin kurang hingga tidak dapat menangkap
lagi bahkan hal seperti ini bisa menyebabkan kondisi suatu area akan lebih
buruk.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview) dengan
Kepala dinas Kelautan dan Perikanan Bidang Penangkapan Kabupaten
Boalemo dan beberapa nelayan tuna handline beserta pengusaha loin tuna
yang dalam hal ini bertindak sebagai pengumpul, maka diperoleh
perkembangan CPUE yang relatif menurun. Penurunan ini terjadi hingga
mencapai 250 sampai 1000 kg/trip. Menurunnya persediaan ikan
disebabkan banyaknya nelayan yang memakai alat tangkap dengan
menargetkan jenis ikan yang belum dewasa, tidak selektifnya/efektifnya
alat tangkap, dan menurunnya daya dukung lingkungan (karang, lamun,
dan bakau). Jika banyak nelayan melakukan penangkapan terlalu lama
dengan menggunakan teknik yang tidak berkelanjutan maka akan terjadi
penurunan hasil tangkapan setiap tahunnya.
Hal ini menggambarkan penangkapan yang berlebihan sehingga
menyebabkan CPUE akan menurun. Penangkapan berlebih terjadi karena
tidak ada manajemen yang mengontrol tindakan nelayan yang
80
memaksimalkan tangkapan setiap individu tanpa mempertimbangkan
keberlanjutan sumberdaya milik bersama tersebut. Hasil tangkapan lebih
banyak didapatkan pada musim timur (Juni sampai November)
dibandingkan hasil tangkapan pada musim barat (Desember sampai Mei).
Puncak penangkapan terjadi pada bulan Agustus sampai Oktober setiap
tahunnya.
3. Rata-rata ukuran panjang cagak
Atribut rata-rata ukuran ikan dinilai melalui adanya perubahan rata-
rata ukuran ikan dengan menggunakan panjang. Hasil pengukuran yang
dilakukan mendapatkan rataan panjang cagak 119 cm dengan kisaran
92,1 cm hingga 170,2 cm (Lampiran 1). Adapun interval kelas dan
persentase hasil pengukuran pancang cagak tuna madidihang tersaji pada
Tabel 8 berikut:
Tabel 8. Interval kelas dan persentase hasil pengukuran pancang cagak tuna madidihang
No. Interval kelas (cm) Persentase (%)
1. 92 sampai 102 25
2. 103 sampai 113 14
3. 114 sampai 124 39
4. 125 sampai 135 3
5. 136 sampai 146 0
6. 147 sampai 157 14
7. 158 sampai 168 3
8. 169 sampai 179 3
Jumlah 100
Sumber: Data primer (2013)
81
Tabel 8 diatas menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk
ukuran panjang cagak tuna madidihang berada pada interval kelas 114
cm sampai 124 cm dengan jumlah persentase sebesar 39%. Merujuk
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Itano (2001) yang menyatakan
bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad (size at first maturity)
pada ukuran panjang cagak mencapai 107,9 cm, maka dalam penelitian
ini diperoleh 25% sampling yang belum mencapai umur dewasa (maturity)
dan hanya 14% dari sampling yang masih berada pada fase pertama kali
matang gonad (size at first maturity). Sementara 61% diantaranya telah
melewati tahap tersebut sehingga diasumsikan telah bereproduksi
sebelum tertangkap. Hasil pengukuran tersebut juga menjelaskan bahwa
kehadiran kelompok ikan muda atau ragam rekruitmen dalam hasil
tangkapan nelayan handline relatif kecil. Berikut ini adalah diagram yang
menunjukkan persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran panjang cagak (fork length) yang tersaji dalam Gambar 7.
82
Gambar 7. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut ukuran panjang cagak (fork length). 4. Bobot ikan
Berdasarkan jumlah hasil tangkapan nelayan handline selama
penelitian, didapatkan ukuran terbesar bobot ikan tersebut adalah 67,3 kg
dengan ukuran terkecilnya adalah 14,6 kg. Rataan jumlah tangkapan tuna
madidihang dari ukuran terkecil hingga ukuran terbesar adalah 38,25 kg
(Lampiran 1). Interval kelas dan persentase bobot total tuna madidihang
dapat dilihat pada Tabel 9 berikut:
25%
14%
39%
3%
0%
14%
3%
3%
92 - 102 cm
103 - 113 cm
114 - 124 cm
125 - 135 cm
136 - 146 cm
147 - 157 cm
158 - 168 cm
169 - 179 cm
83
Tabel 9. Interval kelas dan persentase bobot total tuna madidihang
No. Interval kelas (kg) Persentase (%)
1. 14 sampai 24 22
2. 25 sampai 35 33
3. 36 sampai 46 11
4. 47 sampai 57 11
5. 58 sampai 68 22
Jumlah 100
Sumber: Data primer (2013)
Dari Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa persentase tertinggi untuk
ukuran bobot total tuna madidihang berada pada interval kelas 25 sampai
35 kg dengan jumlah persentase sebesar 35%. Berangkat dari hasil
penelitan yang pernah dilakukan oleh Marion et al. (2010) yang
menyatakan bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad pada
ukuran bobot total mencapai 25 kg, maka dalam penelitian ini diperoleh
22% sampling yang belum mencapai umur dewasa (maturity) dan hanya
33% dari sampling yang masih berada pada fase pertama kali matang
gonad (size at first maturity). Berikut ini adalah diagram yang
menunjukkan persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut
ukuran bobot total tuna madidihang yang tersaji dalam Gambar 8.
84
Gambar 8. Persentase hasil tangkapan tuna madidihang menurut ukuran
bobot ikan.
Dari Gambar 8 di atas memperlihatkan bahwa terdapat 44%
sampling yang telah melewati fase pertama kali matang gonad dengan
asumsi bahwa tuna madidihang pertama kali matang gonad pada ukuran
bobot total mencapai 25 kg sesuai dengan pendapat Marion et al. (2010).
Persentase ini menunjukkan bahwa tuna madidihang yang tertangkap
oleh nelayan handline umumnya telah berumur dewasa dan telah
melewati tahap pemijahan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa staf Dinas
Kelautan dan Perikanan bersama para nelayan setempat di Kabupaten
Boalemo, selama periode 5 tahun terakhir yakni dari tahun 2007 hingga
tahun 2012 tidak ditemui perubahan ukuran ikan tangkapan nelayan
handline walaupun sepanjang tahun mengalami fluktuasi jumlah produksi.
22%
33% 11%
11%
22%
14 - 24 kg
25 - 35 kg
36 - 46 kg
47 - 57 kg
58 - 68 kg
85
5. Range collapse
Penentuan skor atribut range collapse dilakukan dengan
mewawancarai nelayan setempat. Tujuan dari indikator ini untuk melihat
dampak yang ditimbulkan terhadap sumberdaya ikan akibat peningkatan
tekanan penangkapan ikan (fishing pressure). Sumberdaya ikan yang
telah mengalami range collapse akan semakin sulit untuk ditangkap
karena telah terjadi penyusutan secara spasial dari biomassa stok ikan
yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam (indepth interview)
dengan Kepala Bidang Penangkapan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Boalemo bersama nelayan setempat, diperoleh bahwa range
collapse area penangkapan tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten
Boalemo telah jauh dari fishing ground. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sebagian besar nelayan dari Boalemo (Botumoito) yang telah pindah
daerah penangkapan hingga perbatasan Provinsi Sulawesi Tengah,
mendekati perairan pulau Una-una, dan pulau Togean.
Perpindahan daerah penangkapan ini sudah terjadi sejak tahun
1998. Sedangkan pada tahun 2012 hingga 2013, diperkirakan sekitar 100-
150 nelayan handline dari Boalemo menuju perairan Dolong Sulawesi
Tengah. Perpindahan ini disebabkan karena hasil yang diperoleh jika
menangkap di Teluk Tomini Boalemo sangat rendah dibanding jika
menangkap di perairan Una-una.
86
6. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menurut ukuran
panjang dan bobot ikan tuna madidihang, secara keselurahan diperoleh
sebesar 75% ikan tuna madidihang yang tertangkap dengan handline
adalah matang gonad atau sedang mijah dan hanya sebagian kecil ikan
muda yang tertangkap yakni sebesar 25%.
Besarnya jumlah ikan matang gonad dan ikan mijah yang
tertangkap membuktikan bahwa penangkapan tuna madidihang
bertepatan dengan musim pemijahan atau ikan sedang bergerak atau
sudah berada di daerah pemijahan.
7. Penilaian dan sensitivitas atribut
Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut,
kisaran hasil pembobotan untuk masing-masing kriteria adalah 1 sampai
3. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi biologi
dapat dilihat pada Tabel 10.
87
Tabel 10. Nilai skor hasil pembobotan dari setiap atribut untuk dimensi biologi.
Hasil pembobotan menempatkan dimensi biologi dan teknologi
penangkapan pada urutan teratas diikuti oleh dimensi kelembagaan.
Berdasarkan jumlah nilai tersebut maka didapatkan nilai indeks
multidimensi (existing condition) sebesar 45,8134 atau secara
keseluruhan pengelolaan perikanan tuna madidihang di perairan Teluk
Tomini Kabupaten Boalemo masih tergolong kategori buruk walaupun
satu diantara dimensi yang dianalisis lainnya sudah tergolong
keberlanjutannya baik yaitu dimensi biologi. Hal ini mengindikasikan
bahwa untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan secara
menyeluruh diperlukan penataan terhadap berbagai atribut yang
sensitivitasnya tinggi khususnya pada dimensi teknologi penangkapan.
Penentuan status keberlanjutan perikanan tuna madidihang secara
keseluruhan mengacu pada pendapat Budiharsono (2007) yang
mengelompokkan status keberlanjutan perikanan tuna madidihang ke
dalam tiga kategori, yaitu: (1) Apabila nilai indeks < 50, berarti status
pengelolaan buruk; (2) Apabila nilai indeks 50 sampai 75, berarti status
pengelolaan baik; dan (3) Apabila nilai indeks > 75, berarti status
pengelolaan sangat baik
Selain itu, nilai indeks keberlanjutan multidimensi ini menunjukkan
bahwa pengelolaan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo belum mendapat perhatian serius. Hal ini bisa saja
terjadi mengingat belum adanya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
tuna madidihang di lokasi penelitian seperti yang telah disusun dalam
118
berbagai tahapan seminar dan lokakarya, namun memang belum
disahkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kurangnya
jenis regulasi baik secara nasional, provinsi, maupun lokal terhadap
penangkapan baby tuna (tuna yang belum memijah), belum diterapkannya
sistem perizinan sebagai alat pengendalian upaya penangkapan yang
berlebihan, dan lain-lain.
Berdasarkan nilai bobot gabungan yang diperoleh (Tabel 13),
maka yang perlu diperhatikan dan diintervensi dalam meningkatkan
status pengelolaan perikanan tuna madidihang yang saat ini masih berada
dalam kondisi buruk adalah perbaikan teknologi penangkapan. Strategi
perbaikan pada dimensi teknologi penangkapan yaitu mempertahankan
penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu handline tuna, dan
mencegah modifikasi alat tangkap yang dapat menangkap ikan jenis tuna
dengan berbagai ukuran. Adapun perbaikan pada dimensi kelembagaan
yaitu meningkatkan partisipasi stakeholder dalam penyusunan rencana
pengelolaan perikanan tuna madidihang, dan menyediakan sarana dan
prasarana sumberdaya manusia dalam penegakan peraturan perikanan.
F. Analisis Monte Carlo
Prosedur dalam ordinasi RAPFISH yang terakhir adalah analisis
Monte Carlo. Menurut Kavanagh et al. (2004) tujuan dari analisis ini
adalah untuk mengetahui pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut,
pengaruh variasi pemberian skor, stabilitas proses analisis Multi-
119
Dimensional Scalling (MDS) yang dilakukan berulang, dan kesalahan
pemasukan atau hilangnya data (missing data). Untuk Menggambarkan
keabsahan RAPFISH secara statistik dengan pengukuran nilai stress atau
yang dilambangkan dengan S dan r-squared (squared correlation) dari
masing masing atribut. Menurut prosedur MDS yang diacu dalam Fauzi et
al. (2002) adalah jika nilai S semakin rendah menunjukkan kondisi fit
(goodness of fit) dimana S < 25%, sedangkan r-squared harus mendekati
100%.
Analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai status indeks
keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang di Teluk Tomini
Kabupaten Boalemo pada selang kepercayaan >90 persen untuk masing-
masing dimensi tidak banyak perbedaan dengan analisis MDS. Nilai
stress yang diperoleh pada setiap dimensi yaitu dimensi biologi sebesar
0,1546, dimensi teknologi penangkapan sebesar 0,1516, dan
kelembagaan sebesar 0,1366.
Nilai stress untuk ketiga dimensi yang dianalisis adalah kurang dari
0,20 yang menunjukkan hasil analisis yang baik. Nilai stress
menggambarkan goodness of fit dalam Multi-Dimensional Scaling (MDS)
yaitu ukuran ketepatan suatu konfigurasi dapat mencerminkan data
aslinya. Nilai stress yang rendah mencerminkan kategori goodness of fit
yang sempurna, dengan batas tertinggi menurut Kruskal et al. (1979)
dalam Kavanagh et al. (2004) adalah maksimal sebesar 0,20.
120
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
diasumsikan bahwa nilai stress sudah memenuhi kondisi fit karena S
<20%. Selain itu Nilai kuadrat korelasi (R2) untuk semua dimensi diatas
90% yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan (koefisien
determinasi) terhadap hasil analisis multidimensi untuk penilaian status
keberlanjutan perikanan tuna madidihang dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan.
Hasil estimasi proporsi ragam data dapat terjelaskan oleh teknik
analisis ini secara memadai, dimana nilai R2 yang diinginkan adalah >80%
(Kavanagh, 2001). Pada penelitian ini, nilai dari koefisien determinasi
(selang kepercayaan) atau R2 yang diberikan sudah cukup tinggi untuk
masing-masing dimensi yang dianalisis yaitu dimensi biologi 93,89%,
teknologi penangkapan sebesar 91,52%, dan kelembagaan sebesar
94,79%. Selanjutnya beberapa nilai statistik pada masing-masing dimensi
dan selisih nilai antara MDS dan Monte Carlo dapat dilihat pada Tabel 14.
121
Tabel 14. Nilai statistik dan perbedaan nilai (selisih) indeks keberlanjutan perikanan tuna madidihang antara RAPFISH (Multi Dimensional scalling) dengan Monte Carlo pada masing-masing dimensi.
Menurut Kavanagh (2001), kesalahan dalam analisis Monte Carlo
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dampak kesalahan skoring
akibat minimnya informasi, dampak dari keragaman dalam skoring
akibat perbedaan penilaian, kesalahan dalam menginput data dan
tingginya nilai stress yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
terjadi kesalahan dalam analisis Monte Carlo pada metode RAPFISH.
Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biolgi, teknologi penangkapan,
dan kelembagaan dapat dilihat masing-masing pada Gambar 16a, 16b,
dan 16c. Berdasarkan hasil analisis RAPFISH diperoleh nilai stress
berkisar antara 0,13 sampai 0,15 dan nilai determinasi (R2) antara 0,91
sampai 0,94. Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biologi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 16 berikut:
123
a. b.
c
Gambar 16. Hasil simulasi Monte Carlo dari setiap dimensi yang dianalisis
124
Analisis Monte Carlo dilakukan untuk melihat tingkat gangguan
(perturbation) terhadap nilai ordinasi sehingga dapat diketahui seberapa
jauh hasil analisis dapat dipercaya (Purnomo, 2002). Kestabilan dapat
dilihat dari pencaran (scatter) plot, dimana semakin jauh pencaran plot
setiap atribut dari nilai ordinasi maka tingkat gangguannya dianggap
besar.
Dengan menggunakan pengulangan (repeat) dihasilkan grafik
Monte Carlo untuk semua dimensi yang menunjukkan pencaran plot
berjarak dekat satu sama lain serta terfokus (berhimpitan) pada nilai
ordinasi setiap dimensi. Dengan demikian kestabilan data atribut dalam
analisis yang dilakukan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tuna
madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo masuk dalam kategori
tinggi dengan tingkat gangguan yang kecil.
Hasil simulasi Monte Carlo untuk dimensi biologi, teknologi
penangkapan, dan kelembagaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar
15a, 15b, dan 15c menjelaskan bahwa indeks keberlanjutan perikanan
tuna madidihang di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo dengan
menggunakan teknik RAPFISH mempunyai hasil yang berkumpul di satu
titik walaupun dengan pola yang menyebar pada masing-masing dimensi.
125
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Nilai status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang
untuk masing-masing dimensi yaitu untuk dimensi biologi sebesar
58,9612 yang termasuk kategori status keberlanjutan baik, dimensi
kelembagaan dengan nilai indeks keberlanjutannya sebesar
54,9074 yang termasuk kategori status keberlanjutan baik, dan
dimensi teknologi penangkapan yang nilai indeks keberlanjutannya
sebesar 15,0913 termasuk kategori status keberlanjutan sangat
buruk.
2. Nilai status keberlanjutan pengelolaan perikanan tuna madidihang
secara keseluruhan (multidimensi) adalah sebesar 45,8134 atau
secara umum status pengelolaan perikanan tuna madidihang di
Teluk Tomini Kabupaten Boalemo masih tergolong kategori buruk.
Pengelolaan yang perlu mendapat perhatian lebih adalah pada
dimensi teknologi penangkapan.
3. Untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan tuna madidihang,
maka direkomendasikan tiga strategi pengelolaan perikanan tuna
126
madidihang yang dapat dijadikan sebagai alternatif kebijakan
berdasarkan leverage attribute (atribut pengungkit) dari masing-
masing dimensi yang dianalisis, yaitu:
- Dari perspektif biologi, perlu dilakukan instrumen kebijakan
untuk mempertahankan rata-rata ukuran panjang ikan yang
tertangkap dengan cara mengeluarkan peraturan mengenai
ukuran minimum panjang cagak tuna madidihang yang boleh
dieksploitasi adalah lebih besar dari 107 cm. Selain itu perlu
adanya pengawasan mengenai proporsi ikan yuwana (juvenile)
yang ditangkap untuk memberikan kesempatan tuna
madidihang memijah (menghasilkan keturunan) minimal telah
melakukan pemijahan satu kali sehingga keberlanjutan tuna
madidihang dapat terjaga dan secara tidak langsung dapat
mengurangi jumlah hasil tangkapan yang tidak laku di pasar.
- Strategi perbaikan teknologi penangkapan antara lain adalah:
(a). Menjaga dan memelihara penggunaan alat tangkap yang
ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem sumberdaya
(b). Mencegah terjadinya modifikasi alat penangkapan untuk
peningkatan kapasitas (c). Mempertahankan penggunaan
pancing tuna handline dengan panjang tali pancing ulur lebih
dari 74 meter di perairan lebih dalam (kedalaman >100 meter)
yang dapat meningkatkan jumlah dan ukuran (kg) ikan target
tangkapan.
127
- Strategi perbaikan pada dimensi kelembagaan antara lain: (a).
Menjalin kerjasama antar seluruh stakeholders pemanfaat
sumberdaya perikanan termasuk kerjasama antar daerah yang
berbatasan langsung dengan perairan Teluk Tomini agar
efektivitas pengelolaan perikanan dapat lebih ditingkatkan (b).
Membuat segera instrumen kebijakan untuk mengatasi keadaan
sumberdaya perikanan yang sudah mengalami tangkap lebih
(over exploited) di Teluk Tomini Kabupaten Boalemo agar
sumberdaya perikanan ini tidak habis dalam jangka pendek
namun tetap berkelanjutan dalam jangka panjang.
B. Saran
1. Untuk mempertahankan dan meningkatkan status keberlanjutan ke
depan, perlu dilakukan intervensi (perbaikan) terhadap atribut yang
berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan.
2. Perlu diprioritaskan perbaikan atribut pada dimensi keberlanjutan
yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih rendah, yaitu
pada dimensi teknologi penangkapan. Sedangkan untuk dimensi
biologi dan kelembagaan berdasarkan existing condition, nilai
indeks keberlanjutannya ke depan dapat dipertahankan atau lebih
ditingkatkan.
3. Perbaikan terhadap atribut-atribut sebaiknya tidak hanya dilakukan
pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status
128
keberlanjutan, tetapi juga atribut-atribut yang tidak sensitif agar
status keberlanjutan perikanan tuna madidihang dapat ditingkatkan
mendekati nilai indeks keberlanjutan 100 persen. Tentunya dengan
pertimbangan kemampuan finansial, waktu, dan tenaga.
129
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto dan Luky. 2007. Konsepsi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschner, K., and Ferriss. 2000. How
Good is Good ?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. In D. Pauly and T.J. Pitcher (Editors). Methods for Evaluating The Impacts on North Atlantic Ecosystem. Fisheries Center Report. Fisheries Center, Univ. Of British Columbia, Vancouver.
Ali, S.A. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan terbang
(Hirundichthys oxycephalus Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Ali, S.A., Januarita, D., Hade, A.R., Kudsiah, H. 2012. Strategi
Pengelolaan Perikanan Ikan Terbang Melalui Pendekatan Ekosistem di Selat Makassar (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat). Laporan Akhir Penelitian Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Allahyari, M.S. 2010. Social Suistainability assessment of fisheries
cooperative in guilan province, Iran. J. of fisheries and aquatic science.
Anonim. 2009. Panjang Garis Pantai Indonesia Terbaru.
[ATLI] Asosiasi Tuna Longline Indonesia. 2006. Laporan Tahunan ATLI
1997-2005. Benoa. Bali. Bandjar, H., Bahar, S. 1994. Pengaruh Perbedaan Panjang Tali Pancing
Ulur Dan Posisi Mengkaitkan Kail Pada Umpan Hidup Terhadap Hasil Tangkapan Tuna Madidihang (Thunnus albacares) Di Perairan Banda. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 85: 30-39.
Badrudin, Aisyah, dan Wiadnyana, N.N. 2010. Indeks Kelimpahan Stok
dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal di WPP Laut Jawa. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Jakarta.
BAPPENAS. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta.
Budiharsono, S. 2007. Penentuan status dan faktor pengungkit
PEL.Direktorat Perekonomian Daerah. Bappenas. Jakarta. Brill, R. 1994. A Review of Temperature And Oxygen Tolerance Studies of
Tunas Pertinent To Fisheries Oceanography, Movements Models And Stock Assessments. Fish. Ocean., 3 (3): 204-216.
Brinkerhoff, D.W., Arthur, A., and Goldsmith. 1990. Institusional
Suatainability in Agriculture and Rural Development: A Global Perspective. Praeger Publisher. New York. USA.
Charles, A.T. 2001. Suistainable Fishery System. Blackwell Science. UK. Charles, A.T., Boyd H., Lavers, A., and Benjamin, C. 2002. Measuring
sustainable development application of the genuine progress index to nova scotia. Management Science/Environmental Studies. Saint Mary’s University. Halifax.
Collette, B.B., and Nauen, C.E. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2.
Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Fish.Synop., (125) Vol. 2: 137 p.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R. 2006. Perencanaan pembangunan wilayah pesisir:
mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi pemerataan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Makalah. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 1994. Petunjuk Teknis
Pengelolaan Pelabuhan Perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
[DKP] Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2005. Laporan Statistik
Perikanan. Jakarta.
131
[DKP] Departemen Kelautan Dan Perikanan. 2005. Rencana Strategis Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Teluk Tomini. Jakarta.
Pidana Illegal Fishing DIT Polair Polda Gorontalo. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Gorontalo.
[EAFM] Ecosystem Approach to Fisheries Management-Indonesia. 2013. Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan. Kementerian Kelutan dan Perikanan. http://www.eafm-indonesia.net. [Diakses: 05 Oktober 2013].
Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.
Fauzi, A., dan Anna, S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: aplikasi pendekatan Rapfish (studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Pesisir & Lautan 4(3):43-55. Jakarta.
FAO. 1995. The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO of The
United Nations. Rome. FAO. 1997. Review of The State of World Fishery Resources: Marine
Habibi, A., Ariyogagautama, D., dan Sugiyanta. 2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan dan Penanganan. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil. Best Management Practices. WWF-Indonesia. 27 hal.
Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hartono, T.T., Kodiran, T., Iqbal, M.A., dan Koeshendrajana, S. 2005.
Pengembangan teknik rapid appraisal for fisheries (RAPFISH) untuk penentuan indikator kinerja perikanan tangkap berkelanjutan di Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan 6(1):65-76.
Hidayanto, M., Supiandi, S., Yahya, S., dan Amien, L.I. 2009. Analisis
Keberlanjutan Perkebunan Kakao Rakyat Di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 27 No. 2. 213-229.
Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil
(Kasus Perikanan Pantai Di Serang Dan Tegal). Disertasi.Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indonesian Fisheries Statistic Indext. 2009. Ministry of Marine Affairs
Fisheries. Japan International Corporation Agency. IOTC (Indian Ocean Tuna Commission). 2010. Report of the Twelve
Session of the IOTC. Working Party of Tropical Tunas. Victoria, Seychelles.
ISSF. 2012. Status of the World Fisheries for Tuna. ISSF Technical
Report. Official Statutes Rules and Regulations. Munchen. 181-294p. Itano, D.G. 2001. The Reproductive Biology of Yellowfin Tuna (Thunnus
albacares) in Hawaiian Waters and the Western Tropical Pacific Ocean Yellowfin Research Group - SCTB 14 Noumea. New Caledonia, 9-16th. 12 pp.
James, L., and Sumich. 1992. An Introduction to The Biology of Marine
Life. Fifth Edition. Wm. C. Brown Publisher. Kantun, W. 2012. Kondisi Stok, Hubungan Kekerabatan dan Keragaman
Genetik Tuna Madidihang (Thunnus albacares) Pada Wilayah Pengelolaan Perikanan RI 713 (Selat Makassar, Laut Flores, dan Teluk Bone). Universitas Hasanuddin. Makassar.
133
Kartika, S. 2010. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis Ekosistem di Pantura Barat Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Semarang.
Kavanagh, P. 2001. RAPFISH software description (for Microsoft Excel).
Rapid apraisal for fisheries project. Fisheries Centre UBC. Vancouver.
Kavanagh, P., and Pitcher, T.J. 2004. Implementing Microsoft Excel
Software Des Eruption (For Microsoft Excel). University of British columbia, Fisheries Centre. Vancouver.
King, M. 1995. Fisheries Biology. Assessment and Management. Fishing
News Books. London. USA. 341p. [KKP-RI] Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2011.
Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta.
Kosasih, 2007. Strategi Pengembangan Perikanan Tuna Longline
Anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Studi Kasus di Benoa Bali). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Lampe, M. 2009. Wawasan Sosial Budaya Bahari (WSBB). Unit
Pelaksana Teknik Mata Kuliah Dasar Umum Universitas Hasanuddin.
Mallawa, A. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan
Berbasis Masyarakat. Universitas Hasanuddin Makassar. Marion, G., Furtado, J., Proano, L., Musalli, M., Blanca, M. 2010.
Overfishing and the Case of the Atlantic Blue Fin Tuna. International Seminar on Sustainable Technology Development. 11-18 Juny 2010. Universitat Politecnica de Catalunya. 1-15p.
Monintja, D.R., dan Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian
rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial selatan Jawa dan utara Sulawesi. Laporan penelitian. FPIK Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nababan, B.O., Yesi, D.S., dan Maman, H. 2007. Analisis Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil Di Kabupaten Tegal Jawa Tengah (Teknik Pendekatan RAPFISH). Jurnal Kebijakan dan Riset sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 2 (2): 137-158.
134
Najamuddin. 2004. Kajian Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Layang (Decapterus sp) Berkelanjutan di Perairan Selat Makassar. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin. Makassar. Disertasi. Tidak dipublikasikan.
Nakamura, H. 1991. Ditemukan Tujuh Jenis Ikan Tuna. Dalam Bali Pos 12
April 1991. Hal 10. Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and Migration. Fishing News
(books) Ltd. London. 76p. Nasir, M. 1983. Metode Penelitian. Edisi Keempat, Ghalia Indonesia,
Jakarta. Nedelec, C., and Prado, J. 1990. Definition and Clasification of Fishing
Nur, A. 2011. Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) Di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan, Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nomura, I. 2009. Fishery and Aquaculture Statistics. Food And Agriculture
Organization of The United Nations Rome. Pakpahan, A. 1989. Kerangka Analitik Untuk Penelitian Rekayasa Sosial;
Perspektif Ekonomi Institusi. Prosiding Patanas. Evolusi Kelembagaan Pedesaan Di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.
Pakpahan, A. 1990. The Problem of Sawah-Land Convertion to Non-
Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture. 1(2):101-108.
Pariakan, A. 2012. Analisis Kesesuaian Perairan dan Pengembangan
Budidaya Kappaphycus alvarezii di Wilayah Klaster Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Unhas. Makassar
Pitcher, T.J., and Preikshot, D. 2001. RAPFISH, A Rapid Appraisal
Technique for Fisheries, and Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. J. Fisheries Research 49: p255-270.
135
[PKSPL] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2012. Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem Untuk Pengelolaan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purnomo, E. 2002. Sistem Analisis. Andi Offset. Yogyakarta. Ramli, R. 2006. Studi Tentang Potensi dan Tingkat Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan Pelagis di Perairan Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Makassar.
Realino, B., Teja, A., Wibawa, A., Zahruddin, D., Asmi, M., dan Napitu. 2006. Pola Spasial Dan Temporal Kesuburan Perairan Permukaan Laut di Indonesia. Balai Riset dan Observasi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jembrana. Bali.
Rice, J.C., and Rochet, M.J. 2005. A framework for selecting a suite of indicators for fisheries management. ICES J. of Mar Sc 62:516-527.
Saaty, T.L. 1993. Proses Hirarki Analitik Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. Diterbitkan dalam Bahasa Indonesia atas Kerjasama Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) dengan PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Schmid, A. 1972. Analytical Institutional Economics: Challenging Problems
in the Economics of Resources for a New Environment. American Journal of Agricultural Economics. Vol. 54 no. 5 pp.893-909. American Agricultural Economics Association.
Sekaran, U. 2006. Metodologi Penelitian Untuk Bisnis. Jilid 2. Edisi 4.
Salemba Empat. Jakarta. Thamrin., Sutjahjo S., Herison C. & Sabiham S. (2007). Analisis
Keberlanjutan Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat–Malaysia Untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Jurnal Agro Ekonomi. Institut Pertanian Bogor. 25(2): 103-124.
Trippel, E.A. 1995. Age at maturity as a stress indicator in fisheries. J.
BioScience 45(11):759-771. Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan
Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya.
136
Unar, M., Tambunan, T.M., Malangyudo, S., Ilyas, S., Mulia, M., Supanto, Uktolseja, Y., dan Ayodhya. 1982. Perikanan Tuna dan Cakalang di Indonesia. Balai penelitian dan pengembangan Perikanan. 124 hal.
Vaaz, K. F. 1952. Hasil Ikan Daerah Khatulistiwa B.P Th. III (9-10) Widodo, J. 2005. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di
Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut-LIPI. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wijaya, H. 2012. Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacares,
Bonnatere 1788) Dengan Alat Tangkap Pancing Tonda Dan Pengelolaannya Di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu Sukabumi. Program Studi Magister Ilmu Kelautan. Universitas Indonesia. Depok.
Widjojo, S. 1966. Perikanan Mayang di Teluk Jakarta sekitar Kepulauan
Seribu. Lap. Praktek Mayor. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Wild, A. 1989. A Review Of The Biology And Fisheries For Yellowfin Tuna,
Thunnus albacares, In The Eastern Pacific Ocean. Inter-American Tropical Tuna Commision La Jolla. California.
Zhu, G., Xu, L., Zhou, Y., and Song, L. 2008. Reproductive biology of
yellowfin tuna T. albacares in the west-central Indian Ocean. Journal of Ocean University of China (English Edition) 7: 327-332.
137
L A M P I R A N
138
Lampiran 1. Ukuran berat total dan panjang cagak tuna madidihang yang tertangkap selama penelitian
Rata - rata 38,25 119,01 Min. 14,6 92,1 Max. 67,3 170,2
Sumber: Data penelitian (2013)
139
139
Lampiran 2. Kuesioner RAPFISH Nama Responden : Jenis Kelamin : Umur : Status Nelayan / Pemerintah : Hari / Tanggal : Kabupaten / Kecamatan / Desa : Dimensi Biologi No. Indikator / Atribut Penjelasan Maks. Min. Kriteria Nilai
1. Status eksploitasi Status pemanfaatan sumberdaya berdasarkan MSY (Maximum Sustainable Yield)
3 1
1 : Over exploited 2 : Fully exploited 3 : Moderate / non exploited
2. CPUE Hasil tangkapan persatuan upaya (trip / kapal / perahu) 3 1
1 : Belum ada RPP 2 : Ada RPP tapi belum dijalankan 3 : Ada RPP dan telah dijalankan
5. Rencana pengelolaan perikanan
Ada atau tidak ada RPP 3 1
1 : Tidak ada sarana dan SDM 2 : Ada sarana dan SDM tapi tidak
berjalan efektif 3 : Ada sarana dan SDM serta ada
penindakan
6. Ketersediaan sarana dan SDM dalam penegakan peraturan
Apakah ada sarana dan SDM yang mendukung penegakan
3 1
1 : > 20 kali terjadi pelanggaran hukum 2 : 5-20 kali terjadi pelanggaran hukum 3 : < 5 kali terjadi pelanggaran hukum
7. Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan formal
3 1
1 : Tingkat Nasional 2 : Tingkat Provinsi dan kabupaten 3 : Tingkat lokal/desa
8. Lembaga pelaksana pengelola
Keberadaan lembaga pada tiap tingkatan pengelolaan
3 1 1 : Tidak ada 2 : Ada tapi tidak efektif 3 : Ada dan efektif
Sumber: Modifikasi KKP-RI, WWF Indonesia, PKSPL-IPB (2012).
142
142
Lampiran 3. Proses input data pada teknik RAPFISH
Gambar 17. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi biologi dari sel D2 sampai dengan I2.
143
143
Gambar 18. Hasil analisis RAPFISH dimensi biologi
144
144
Gambar 19. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi biologi
145
145
Gambar 20. Hasil analisis Monte Carlo dimensi biologi
146
146
Gambar 21. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi teknologi penangkapan dari sel D2
sampai dengan I2.
147
147
Gambar 22. Hasil analisis RAPFISH dimensi teknologi penangkapan
148
148
Gambar 23. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi teknologi penangkapan
149
149
Gambar 24. Hasil analisis Monte Carlo dimensi teknologi penangkapan
150
150
Gambar 25. Worksheet setelah nilai median dimasukkan ke dalam baris dimensi kelembagaan dari sel D2 sampai
dengan K2.
151
151
Gambar 26. Hasil analisis RAPFISH dimensi kelembagaan
152
152
Gambar 27. Hasil analisis faktor pengungkit dimensi kelembagaan
153
153
Gambar 28. Hasil analisis Monte Carlo dimensi kelembagaan
154
154
Lampiran 4. Kuesioner Proses Hirarki Analitik (PHA)
IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Pekerjaan :
Pendidikan Terakhir :
Umur : Tahun
Jenis Kelamin :
PETUNJUK PENGISISAN
Berilah tanda lingkar (O) pada kolom skala Faktor (A) atau pada kolom skala Faktor (B) yang sesuai dengan pendapat anda. Definisi Kode : 1: kedua Faktor sama penting (equal importance) 2: Jika ragu-ragu antara skala 1 dan 3 3: Faktor (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding dengan Faktor (B) 4: Jika ragu-ragu antara skala 3 dan 5 5: Faktor (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan Faktor (B) 6: Jika ragu-ragu antara skala 5 dan 7 7: Faktor (A) sangat lebih penting (very strong importance) dibanding dengan Faktor (B) 8: Jika ragu-ragu antara skala 7 dan 9 9: Faktor (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding dengan Faktor (B)
155
155
DAFTAR PERTANYAAN
PENDAPAT RESPONDEN
Kriteria A STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA MADIDIHANG Kriteria B