BAB I
SKENARIO 3
BERDEBAR-DEBAR DAN MAKIN KURUS
Seorang pasien Ny. SS 26 th diantar suaminya datang ke anda ketika sedang bertugas di
poliklinik, dengan keluhan mata merah, nerocoh, silau bila melihat sinar, melihat dobel, terutama
bila mata melirik dan atau nyeri bila mata digerakkan. Berdeebar sejak 4 bulan yang lalu.
Keluhan lainnya adalah tidak tahan cuaca panas dan lebih suka cuaca dingin. Dalam 3 bulan
terakhir pasien mengeluh berat badan turun sebanyak 5 kg padahal nafsu makannya baik.
Keluhan lain adalah mudah letih saat aktivitas ringan dan timbul benjolan tidak nyeri di leher
depan sejak 1 tahun. Pada pemeriksaan didapatkan mata menonjol, pembengkakan kelopak mata,
pembatasan gerakan mata. Penderita mempunyai kebiasaan merokok sehari 10 batang.
1
BAB II
KATA KUNCI
1. Mata merah, nerocoh, silau bila melihat sinar
mata merah di sebabkan karena ada keradangan pada konjungtiva akibat virus atau
bakteri. Nerocoh disebabkan oleh cairan air mata yang terus menerus keluar seperti
akibat terkena debu. Melihat silau karena tidak tahan cahaya terang
2. Melihat dobel
Mata seolah olah dapat melihat benda ganda . sebenarnya benda itu cuman satu.
3. Nyeri
Nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila kita
mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Nyeri dapat terasa sakit, panas,
gemetar, kesemutan seperti terbakar, tertusuk, atau ditikam.
4. Berdebar
Berdebar yang dirasakan pasien diakibatkan karena meningkatnya kekuatan
jantung akibat meningkatnya metabolisme jaringan sehingga mempercepat kebutuhan
oksigen dan memperbanyak pelepasan produk akhir metabolisme dari jaringan. Efek ini
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah di sebagian besar jaringan tubuh sehingga
meningkatkan aliran darah. Oleh karena itu curah jantung juga ikut meningkat sehingga
jantung mengkompensasi dengan meningkatkan kontraksinya, sehingga timbul
takikardiatau berdebar yang dapat dirasakan oleh pasien
5. Tidak tahan cuaca panas
Dikarenakan oleh tubuh pasien sendiri yang merasa panas, yang disebabkan
karena meningkatnya metabolisme tubuh pasien, seperti metabolisme karbohidrat, lemak,
protein, dan lain-lain. Karena itu laju metabolisme basal meningkat. Selian itu, karena
meningkatnya kecepatan aliran darah di kulit karena kebutuhan pembungan panas oleh
tubuh meningkat
6. Berat badan turun padahal nafsu makan baik
2
Dikarenakan metabolisme dalam tubuh sangat meningkat sehingga mempunyai nafsu
makan tinggi , tetapi berat badan tetap menurun karena tidak diikuti oleh pertambahan
kalori.
7. Mudah letih saat aktivitas
Hal ini disebabkan karena beberapa kemungkinan, bisa karena kelemahan otot-otot akibat
meningkatnya katabolisme protein yang berlebihan. Sehingga walaupun aktivitasnya
ringan, otot tetap tidak bisa berkontraksi
8. Benjolan tidak nyeri di leher
Benjolan di leher depan biasanya terjadi akibat pembesaran kelenjar tyroid.
9. Mata menonjol
mata menonjol keluar, karena bertambahnya otot, lemak, dan air di belakang bola mata.
Penyebab kelainan ini adalah proses otoimun, semacam reaksi radang, atau alergi
terhadap mata. Selain menonjol keluar, mata juga menjadi begkak, merah, tidak bisa
tertutup, melotot, nyeri, akhirnya penghlihatan menurun, bahkan buta karena saraf
matanya rusak.
3
BAB III
MINIMUM PROBLEM
1. Apa yang menyebabkan mata merah merah, nerocoh, dan silau bila melihat sinar?
2. Apa yang menyebabkan berdebar-debar, tidak tahan cuaca panas, berat badan menurun
tapi nafsu makan baik ?
3. Apa yang menyebabkan mata menonjol, nyeri bila digerakkan, dan dapat melihat dobel?
4. Bagaimana cara mendiagnosis pasti untuk hipertyroidnya?
Jawaban:
1. Terjadi komplikasi eksofthalmos karena kelopak mata tidak dapat menutup dengan baik
dan dapat terjadi kerusakan kornea dan konjungtivitis.Kornea sebagai permukaan terluar
mata terekspos dunia luar. Padahal, normalnya kornea selalu terlindungi kelopak mata.
Kondisi itu tentu berbahaya, sebab, kornea bisa mengalami peradangan. Salah satu
tandanya yaitu mata merah. Jika ophthalmopathy tidak segera ditangani, ada
kemungkinan kornea mata pecah. Dampaknya, pasien mengalami kebutaan.
2. vasodilatasi pembuluh darah di sebagian besar jaringan tubuh sehingga meningkatkan
aliran darah. Oleh karena itu curah jantung juga ikut meningkat sehingga jantung
mengkompensasi dengan meningkatkan kontraksinya, sehingga timbul takikardi. Karena
pasien mengalami hipermetabolisme sehingga suhu tubuhnya sudah merasa panas. Berat
badan menurun karena terjadi hipermetabolisme sehingga dibutuhkan energi yang banyak
, sehingga nafsu makan tetap baik tetapi tidak ada masukan kalori yang masuk dalam
tubuh. Gejala –gejala tersebut adalah klinis dari hypertyroid
3. mata menonjol keluar, karena bertambahnya otot, lemak, dan air di belakang bola mata.
Penyebab kelainan ini adalah proses otoimun, semacam reaksi radang, atau alergi
terhadap mata. Selain menonjol keluar, mata juga menjadi begkak, merah, tidak bisa
tertutup, melotot, nyeri, akhirnya penghlihatan menurun, dan juga penglihatan dapat
menjadi dobel bahkan buta karena saraf matanya rusak.
4. Untuk mendiagnosa dilakukan pemeriksaan laboraturium dengan memeriksa T3, T4, dan
TSH.
4
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 ANATOMI KELENJAR THYROID
Thyroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah
kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar thyroid terdiri dari dua buah lobus yang
simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal yang besar.
Antara kedua lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya terdapat lobus
piramidalis yang bertumbuh ke cranial, dapat mencapai os hyoideum. Pada umumnya lobus
piramidalis berada di sebelah kiri linea mediana.
Setiap lobus kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh
fascia propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia
pretrachealis yang membentuk false capsule.
Kelenjar thyroid berada di bagian anterior leher, di sebelah ventral bagian caudal
larynx dan bagian cranial trachea, terletak berhadapan dengan vertebra C 5-7 dan vertebra Th
1. Kedua lobus bersama-sama dengan isthmus memberi bentuk huruf “U”. Ditutupi oleh m.
sternohyoideus dan m.sternothyroideus. Ujung cranial lobus mencapai linea obliqua
cartilaginis thyreoideae, ujung inferior meluas sampai cincin trachea 5-6. Isthmus difiksasi
pada cincin trachea 2,3 dan 4. Kelenjar thyroid juga difiksasi pada trachea dan pada tepi
cranial cartilago cricoidea oleh penebalan fascia pretrachealis yang dinamakan ligament of
5
Berry. Fiksasi-fiksasi tersebut menyebabkan kelenjar thyroid ikut bergerak pada saat proses
menelan berlangsung.
Topografi Kelenjar Thyroid
Topografi kelenjar thyroid adalah sebagai berikut:
• Di sebelah anterior terdapat m. infrahyoideus, yaitu m. sternohyoideus, m.
sternothyroideus, m. thyrohyoideus dan m. omohyoideus.
• Di sebelah medial terdapat larynx, pharynx, trachea dan oesophagus, lebih ke bagian
profunda terdapat nervus laryngeus superior ramus externus dan di antara oesophagus
dan trachea berjalan nervus laryngeus recurrens. Nervus laryngeus superior dan nervus
laryngeus recurrens merupakan percabangan dari nervus vagus. Pada regio colli, nervus
vagus mempercabangkan ramus meningealis, ramus auricularis, ramus pharyngealis,
nervus laryngeus superior, ramus cardiacus superior, ramus cardiacus inferior, nervus
laryngeus reccurens dan ramus untuk sinus caroticus dan carotid body.
• Di sebelah postero-lateral terletak carotid sheath yang membungkus a. caroticus
communis, a. caroticus internus, vena jugularis interna dan nervus vagus. Carotid sheath
terbentuk dari fascia colli media, berbentuk lembaran pada sisi arteri dan menjadi tipis
pada sisi vena jugularis interna. Carotid sheath mengadakan perlekatan pada tepi foramen
caroticum, meluas ke caudal mencapai arcus aortae. Fascia colli media juga membentuk
6
fascia pretrachealis yang berada di bagian profunda otot-otot infrahyoideus. Pada tepi
kelenjar thyroid, fascia itu terbelah dua dan membungkus kelenjar thyroid tetapi tidak
melekat pada kelenjar tersebut, kecuali pada bagian di antara isthmus dan cincin trachea.
4.2 HiISTOLOGIS KELENJAR TIROID
Kelenjar thyroid hampir seluruhnya terdiri atas kista-kista bulat yang disebut
folikel. Folikel adalah unit struktural dan unit fungsional, terdiri atas epitel selapis kubis yang
mengelilingi suatu ruangan yang berisi koloid. Folikel-folikel bervariasi ukurannya dari
diameter sekitar 50 μm sampai 1 mm dan yang terbesar tampak secara makroskopis. Folikel
dikelilingi oleh membrana basalis yang tipis dan jaringan ikat interstisial membentuk jala-
jala retikulin sekeliling membrana basalis.
Sel-sel folikular biasanya berbentuk kubis, tetapi tingginya berbeda-beda,
tergantung pada keadaan fungsional kelenjar itu. Jika thyroid secara relatif tidak aktif, sel-
selnya hampir gepeng. Sedangkan dalam keadaan kelenjar sangat aktif, sel-sel akan
berbentuk kolumnar. Namun keadaan fungsional kelenjar tidaklah harus secara ekslusif
berdasarkan pada tingginya epitel.
Sel-sel folikular semuanya membatasi lumen dan mempunyai inti bulat dengan
warna agak pucat. Di ruang interfolikular, terdapat fibroblast yang tersebar dan serat-serat
kolagen yang tipis. Selain itu, terdapat sejumlah besar kapilar tipe fenestrata yang sering
berhubungan langsung dengan lamina basalis folikel.
Ultrastruktur sel-sel folikular memperlihatkan semua ciri-ciri sel yang pada saat yang
sama membuat, mengekskresikan, menyerap dan mencerna protein. Bagian basal sel-sel ini
penuh dengan retikulum endoplasma kasar. Inti umumnya bulat dan terletak di pusat sel.
7
Kompleks Golgi terdapat pada kutub apikal. Di daerah ini terdapat banyak lisosom dan
beberapa fagosom besar. Membran sel kutub apikal memiliki mikrovili. Mitokondria,
retikulum endoplasma kasar dan ribosom tersebar di seluruh sitoplasma. Sel-sel C terletak di
antara membrana basalis dan sel-sel folikular. Berbentuk lonjong, lebih besar dan lebih pucat
daripada sel folikular dan juga berisi inti lebih besar dan lebih pucat.
4.3 FISIOLOGI KELENJAR THYROID
Biosintesis Hormon Thyroid
Iodium adalah adalah bahan dasar yang sangat penting dalam biosintesis hormon
thyroid. Iodium yang dikonsumsi diubah menjadi iodida kemudian diabsorbsi. Kelenjar
thyroid mengkonsentrasikan iodida dengan mentransport aktif iodida dari sirkulasi ke dalam
koloid. Mekanisme transport tersebut dikenal dengan “ iodide trapping mechanism”. Na+ dan
I- ditransport dengan mekanisme cotransport ke dalam sel thyroid, kemudian Na+ dipompa
ke interstisial oleh Na+-K+ATPase.
Di dalam kelenjar thyroid, iodida mengalami oksidasi menjadi iodium. Iodium
kemudian berikatan dengan molekul tirosin yang melekat ke tiroglobulin. Tiroglobulin
adalah molekul glikoprotein yang disintesis oleh retikulum endoplasma dan kompleks Golgi
sel-sel thyroid. Setiap molekul tiroglobulin mengandung 140 asam amino tirosin.
Enzim yang berperan dalam oksidasi dan pengikatan iodida adalah thyroid
peroksidase. Senyawa yang terbentuk adalah monoiodotirosin (MIT) dan diodotirosin (DIT).
Dua molekul DIT kemudian mengalami suatu kondensasi oksidatif membentuk
tetraiodotironin (T4). Triiodotironin (T3) mungkin terbentuk melalui kondensasi MIT dengan
DIT. Sejumlah kecil reverse triiodotironin (rT3) juga terbentuk, mungkin melalui kondensasi
DIT dengan MIT. Dalam thyroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa beriodium
adalah 23 % MIT, 33 % DIT, 35 % T4 dan 7 % T3. RT3 dan komponen lain terdapat hanya
dalam jumlah yang sangat sedikit.
Sekresi Hormon Thyroid
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus
koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan tiroglobulin
terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT dibebaskan ke dalam
8
sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati membran sel dan dilepaskan ke dalam
sirkulasi.
MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah karena iodiumnya sudah
dibebasakan sebagai akibat dari kerja intraselular iodotirosin dehalogenase. Hasil dari reaksi
enzimatik ini adalah iodium dan tirosin. Iodium digunakan kembali oleh kelenjar dan secara
normal menyediakan iodium dua kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pompa
iodium.
Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu:
globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG), prealbumin pengikat tiroksin
(thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding
albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut
dan hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas. 1, 2, 12
Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel. Hormon
yang bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih
banyak dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran.1, 2, 12
Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG merupakan protein pengikat yang paling spesifik.
Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini
dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke
jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas metabolik
triiodotironin lebih besar.
Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin total dalam
sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil kontrasepsi, hepatitis,
sirosis primer kandung empedu dan karsinoma hepatoselular dapat mengakibatkan
peningkatan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya
pada sindrom nefrotik, pemberian glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik
dapat menyebabkan penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein.12
Hormon-hormon thyroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang penting
adalah deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30 %
lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau persenyawaan
sulfat. Akibat deiodinasi, 80 % T4 dapat diubah menjadi 3,5,3’-triiodotironin, sedangkan 20 9
% sisanya diubah menjadi reverse 3,3’,5’-triiodotironin (rT3) yang merupakan hormon
metabolik yang tidak aktif.
Mekanisme Kerja Hormon Thyroid
Mekanisme kerja hormon thyroid ada yang bersifat genomik melalui pengaturan ekspresi
gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel, membran dan mitokondria.
Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai berikut, hormon thyroid
yang tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan
dengan reseptor thyroid (TR). T3 dan T4 masing-masing berikatan dengan reseptor tersebut,
tetapi ikatannya tidak sama erat. T3 terikat lebih erat daripada T4.1,12
Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA melalui jari-jari “zinc” dan
meningkatkan atau pada beberapa keadaan menurunkan ekspresi berbagai gen yang
mengkode enzim yang mengatur fungsi sel.
Ada dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor α pada kromosom 17 dan gen reseptor β
pada kromosom 3. Dengan ikatan alternatif, setiap gen membentuk paling tidak dua mRNA
yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua protein reseptor yang berbeda. TRβ2 hanya
ditemukan di otak, sedangkan TRα1, TRα2 dan TRβ1 tersebar secara luas. TRα2 berbeda
dari ketiga reseptor yang lain, yaitu tidak mengikat T3 dan fungsinya belum diketahui.
Reseptor thyroid (TR) berikatan dengan DNA sebagai monomer, homodimer dan
heterodimer bersama dengan reseptor inti yang lain.
Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat dan 3-5 kali lebih kuat daripada
T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma kurang erat, tetapi terikat
lebih erat pada reseptor hormon thyroid.
Efek Hormon Thyroid
Secara umum efek hormon thyroid adalah meningkatkan aktifitas metabolisme pada
hampir semua jaringan dan organ tubuh, karena perangsangan konsumsi oksigen semua sel-
sel tubuh. Kecepatan tumbuh pada anak-anak meningkat, aktifitas beberapa kelenjar endokrin
terangsang dan aktifitas mental lebih cepat.
• Efek Kalorigenik Hormon thyroid
T4 dan T3 meningkatkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang
metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus, kelenjar
limfe, limpa dan hipofisis anterior. Beberapa efek kalorigenik hormon thyroid disebabkan 10
oleh metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon ini. Di samping itu hormon
thyroid meningkatkan aktivitas Na+-K+ATPase yang terikat pada membran di banyak
jaringan.
Bila pada orang dewasa taraf metabolisme ditingkatkan oleh T4 dan T3, maka akan
terjadi peningkatan ekskresi nitrogen. Bila masukan makanan tidak ditingkatkan pada
kondisi tersebut, maka protein endogen dan simpanan lemak akan diuraikan yang
berakibat pada penurunan berat badan.1, 2
• Efek Hormon Thyroid pada Sistem Saraf
Hormon thyroid memiliki efek yang kuat pada perkembangan otak. Bagian SSP yang
paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan ganglia basalis. Di samping itu, kokhlea
juga dipengaruhi. Akibatnya, defisiensi hormon thyroid yang terjadi selama masa
perkembangan akan menyebabkan retardasi mental, kekakuan motorik dan ketulian.
Hormon thyroid juga menimbulkan efek pada refleks. Waktu reaksi refleks regang
menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan memanjang pada hipotiroidisme. Pada
hipertiroidisme, terjadi tremor halus pada otot. Tremor tersebut mungkin disebabkan
karena peningkatan aktivitas pada daerah-daerah medula spinalis yang mengatur tonus
otot.
• Efek Hormon Thyroid pada Jantung
Hormon thyroid memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian disebabkan karena
kerja langsung T3 pada miosit, dan sebagian melalui interaksi dengan katekolamin dan
sistem saraf simpatis. Hormon thyroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-
adrenergik pada jantung, sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap efek inotropik
dan kronotropik katekolamin. Hormon-hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang
ditemukan pada otot jantung. Pada pengobatan dengan hormon thyroid, terjadi
peningkatan kadar myosin heavy chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan
kontraksi otot jantung.
• Efek Hormon Thyroid pada Otot Rangka
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot (miopati
tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan katabolisme
protein. Hormon thyroid mempengaruhi ekspresi gen-gen myosin heavy chain (MHC)
11
baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun , efek yang ditimbulkan bersifat
kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum jelas.
• Efek Hormon Thyroid dalam Sintesis Protein
Peranan hormon thyroid dalam peningkatan sintesis protein dapat dijelaskan sebagai
berikut: (1) Hormon thyroid memasuki inti sel, kemudian berikatan dengan reseptor
hormon thyroid. (2) Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA dan
meningkatkan transkripsi mRNA serta sintesis protein.
• Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Karbohidrat
Hormon thyroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk
ambilan glukosa yang cepat oleh sel-sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan
glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari traktus gastrointestinalis dan
juga meningkatkan sekresi insulin dengan efek sekunder yang dihasilkan atas
metabolisme karbohidrat.
• Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Kolesterol
Hormon thyroid menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol plasma
turun sebelum kecepatan metabolisme meningkat, yang menunjukkan bahwa efek ini
tidak bergantung pada stimulasi konsumsi O2. Penurunan konsentrasi kolesterol plasma
disebabkan oleh peningkatan pembentukan reseptor LDL di hati, yang menyebabkan
peningkatan penyingkiran kolesterol oleh hati dari sirkulasi.
• Efek Hormon Thyroid pada Pertumbuhan
Hormon thyroid penting untuk pertumbuhan dan pematangan tulang yang normal. Pada
anak dengan hipotiroid, pertumbuhan tulang melambat dan penutupan epifisis tertunda.
Tanpa adanya hormon thyroid, sekresi hormon pertumbuhan juga terhambat, dan hormon
thyroid memperkuat efek hormon pertumbuhan pada jaringan.
Pengaturan Sekresi Hormon Thyroid
Fungsi thyroid diatur terutama oleh kadar TSH hipofisis dalam darah. Efek spesifik TSH
pada kelenjar thyroid adalah:
1. Meningkatkan proteolisis tiroglobulin dalam folikel
2. Meningkatkan aktifitas pompa iodida
3. Meningkatkan iodinasi tirosin12
4. Meningkatkan ukuran dan aktifitas sel-sel thyroid
5. Meningkatkan jumlah sel-sel thyroid.
Sekresi TSH meningkat oleh hormon hipotalamus, thyrotropin releasing hormone (TRH)
yang disekresi oleh ujung-ujung saraf pada eminensia media hipotalamus. TRH mempunyai
efek langsung pada sel kelenjar hipofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TRHnya.
Salah satu rangsang yang paling dikenal untuk meningkatkan kecepatan sekresi TSH oleh
hipofisis anterior adalah pemaparan dengan hawa dingin. Berbagai reaksi emosi juga dapat
mempengaruhi pengeluaran TRH dan TSH sehingga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi sekresi hormon thyroid.
Peningkatan hormon thyroid dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH oleh
hipofisis anterior. Bila kecepatan sekresi hormon thyroid meningkat sekitar 1,75 kali dari
normal, maka kecepatan sekresi TSH akan turun sampai nol. Penekanan sekresi TSH akibat
peningkatan sekresi hormon thyroid terjadi melalui dua jalan, yaitu efek langsung pada
hipofisis anterior sendiri dan efek yang lebih lemah yang bekerja melalui hipotalamus.
4.4 ANATOMI DAN FISIOLOGI MATA
Bentuk mata hampir bulat berdiameter ± 2,5 cm. Bola mata terletak dalam bantalan lemak, pada
sebelah depan dilindungi oleh kelopak mata dan ditempat lain oleh tulang orbita. Mata terdiri
dari :
Dinding mata : kornea dan sklera Selaput khoroid, korpus soliaris, retina, dan pupil
Media refrakta : kornea, acqeous humor, lensa, vitreous humor
Jaringan nervosa : sel-sel saraf pada retina dan serat saraf yang menjalar melalui sel ini
Fisiologi
Kornea merupakan selaput yang tembus cahaya, didalamnya terdapat iris dan pupil. Iris
berfungsi mengatur bukaan pupil secara otomatis sesuai jumlah cahaya yg masuk.
Pupil berfungsi mengatur cahaya yang masuk, dlm keadaan gelap pupil akan midriasis
dan miosis dalam keadaan terang .
Lensa mata menerima cahaya dari pupil dan meneruskannya ke retina. Fungsinya untuk
mengatur fokus cahaya sehingga jatuh tepat di retina.
Humor aqueous dan vitreous bekerja sama dgn lensa untuk membiaskan cahaya sehingga
tepat jatuh pada fovea.13
Retina, bagian yg tersusun atas sel-sel saraf dan serat-seratnya.
4.5 HISTOLOGI MATA
1. Sklera
5/6 posterior lapisan luar mata
Bentuknya opak & warnanya putih.
Vaskuler (terutama pd limbus) & beberapa serat saraf siliaris
Simpai tenon serat kolagen halus, menghubungkan sklera dengan episklera.
Ruang tenon memungkinkan bola mata bergerak ke segala arah.
Antara sklera & koroid lamina suprakoroid (lapisan tipis jaringan ikat, banyak melanosit,
fibroblas & serat elastin)
Lamina cribrosa : bagian posterior ditembus serat2 saraf optik
Terdiri atas : jaringan ikat padat kolagen dan fibroblast
2. Kornea
1/6 anterior bola mata.
Avaskuler, jernih, transparan, tembus cahaya
Kornea asli t.a (dari depan ke belakang):
1. Epitel
5-6 lapis epitel skuamous kompleks non keratin
Banyak akhiran saraf bebas
Permukaan kornea: ruang berisi lap. tipis air mata pra- kornea lap. pelindung yang terdiri
atas lipid & protein
Fungsi : mempertahankan kejernihan kornea
2. Membrana Bowman
Tebal 7-12 µm
Serat2 kolagen bersilangan acak & aseluler
Fungsi: membantu stabilitas & kekuatan kornea
3. Stroma/substansia propria
90% massa kornea
berkas kolagen
fibroblast (+) berbentuk stelat, gepeng, & ramping (spt kupu2)14
4. Membrana Descemet
struktur homogen, tebal 5-4 µm
filamen kolagen halus
5. Endotel
epitel selapis gepeng/kuboid rendah
Aktif menstransport & membuat protein u/ sekresi
Fungsi: pembuatan & pemeliharaan m. Descemet, mempertahankan kejernihan kornea.
3. Koroid
Sangat vaskuler n Terdiri atas :
1. Epikoroid/lamina suprakoroidal ? CT longgar dg >> melanosit
2. Lapisan pembuluh darah
lapisan paling tebal
massa pembuluh arteri & vena yg lebih besar, dalam CT longgar
mengandung >> melanosit
3. Koriokapiler
terdiri dari kapiler
Fungsi: nutrisi retina
4. Lamina elastika (Membran Bruch)
antara koriokapiler dengan retina
Terdiri atas membran hialin tipis (3-4 mm)
Meluas dari diskus optikus/papila optikus sampai ora serrata
4. Iris
n Permukaan anterior tidak teratur & kasar n Lapisan2 (dari anterior-posterior)
Lapisan sel pigmen
Jaringan ikat
Jaringan ikat longgar
Permukaan posterior : 2 lapis epitel
Di lap posterior terdapat otot polos :
M. sfingter pupil : tersusun melintang konsentris, parasimpatis (N. III), u/ konstriksi
pupil.
15
M. dilator pupil : tersusun radier, simpatis (ganglion servikalis posterior), untuk dilatasi
pupil. n melanosit untuk menentukan warna mata & mencegah berkas cahaya yang
mengganggu pembentukan bayangan. n Makin banyak pigmen, makin gelap n albino
pigmen (-) , warna iris merah muda karena pantulan cahaya dari pembuluh darah iris.
5. Lensa
3 Komponen : Simpai/kapsul lensa :
Membungkus lensa (10- 20 mm)
Serat zonula melekat pd struktur ini. n Epitel subkapsular :
lapisan anterior, terdiri atas selapis sel kuboid.
Serat lensa
Berasal dr sel epitel subkapsular
Produksi serat seumur hidup mkn lama produksinya
Lensa avaskuler, nutrisi dr humor aqueus & korpus vitreus
Lensa ditahan o/ zonula
akomodasi memfokuskan obyek penglihatan dgn cara mengubah kelengkungan lensa.
Peningkatan usia elasitisitas lensa sukar berakomodasi presbiopia
6. Korpus vitreous
Terdapat pd ruang mata di belakang lensa
Merupakan gel transparan yg terdiri atas: air (± 99%), kolagen & glikosaminoglikan yg
berhidrasi berat, yg unsur utamanya adalah asam hialuronat.
7. Retina
Berasal dr penonjolan ke luar forebrain (vesikel otak)
lapis luar epitel pigmen
melekat erat pd koroid
lapis dlm retina neural/saraf
tidak melekat pada koroid
mudah terlepas :“ablatio retina”
melapisi koroid dari papila optik di posterior sampai ora serrata di anterior
Terdapat cekungan dangkal : fovea sentralis, terletak ± 2,5 mm ke arah temporal papila
optic daerah penglihatan terjelas
Sekeliling fovea tdpt daerah yg dikenal sbg bintik kuning (makula lutea) 16
Papila optik tdk terdapat fotoreseptor (bintik buta) Lapisan retina ( dari luar ke dalam)
1. Epitel pigmen
2. Lapisan batang & kerucut
3. Membran limitans eksterna (neuron pertama)
4. Lapisan nuklear luar
5. Lapisan pleksiform luar
6. Lapisan nuklear dlm (neuron kedua)
7. Lapisan pleksiform luar
8. Lapisan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf (neuron ketiga)
10. Membran limitans interna
17
4.6 PATOFISIOLOGI
Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah penurunan produksi hormon thyroid. Hal ini mengakibatkan
penurunan aktifitas metabolik, konstipasi, letargi, reaksi mental melambat dan peningkatan
simpanan lemak. Pada orang dewasa, kondisi ini menyebabkan miksedema, yang ditandai
dengan adanya akumulasi air dan musin di bawah kulit, sehingga terlihat penampakan
edema. Sedangkan pada anak kecil, hipotiroidisme mengakibatkan retardasi mental dan fisik.
Jika kadar yodium di dalam kelenjar gondok kurang, dipastikan seseorang akan mengidap
penyakit gondok.
1. Tiroiditis Hasimoto’s
Ini adalah kondisi autoimun di mana terdapat kerusakan kelenjar tiroid oleh sistem
kekebalan tubuh sendiri. Sebagai kelenjar menjadi lebih rusak, kurang mampu membuat
persediaan yang memadai hormon tiroid.
2. Penyakit Graves
Sistem kekebalan menghasilkan satu protein, yang disebut tiroid stimulating
imunoglobulin (TSI). Seperti dengan TSH, TSI merangsang kelenjar tiroid untuk
memperbesar memproduksi sebuah gondok.
3. Multinodular Gondok
Individu dengan gangguan ini memiliki satu atau lebih nodul di dalam kelenjar tiroid
yang menyebabkan pembesaran. Hal ini sering terdeteksi sebagai nodular pada kelenjar
perasaan pemeriksaan fisik. Pasien dapat hadir dengan nodul tunggal yang besar dengan
nodul kecil di kelenjar, atau mungkin tampil sebagai nodul beberapa ketika pertama kali
terdeteksi.
4. Kanker Tiroid
Thyroid dapat ditemukan dalam nodul tiroid meskipun kurang dari 5 persen dari nodul
adalah kanker. Sebuah gondok tanpa nodul bukan merupakan resiko terhadap kanker.
5. Kehamilan
Sebuah hormon yang disekresi selama kehamilan Chorionic manusia (gonadotropin)
dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.
18
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah terjadinya produksi hormon thyroid yang berlebihan. Hal ini
mengakibatkan aktifitas metabolik meningkat, berat badan menurun, gelisah, tremor, diare,
frekuensi jantung meningkat dan pada hipertiroidisme berlebihan gejalanya adalah toksisitas
hormon. Hipertiroidisme berlebihan dapat menyebabkan goiter eksoftalmik (penyakit Grave).
Gejalanya berupa pembengkakan jaringan di bawah kantong mata, sehingga bola mata
menonjol.
Klasifikasi Goiter
1. Goiter kongenital
Hampir selalu ada pada bayi hipertiroid kongenital, biasanya tidak besar dan sering terjadi
pada ibu yang memiliki riwayat penyakit graves.
2. Goiter endemik dan kretinisme
Biasa terjadi pada daerah geografis dimana detistensi yodium berat, dekompensasi dan
hipotiroidisme dapat timbul karenanya, goiter endemik ini jarang terjadi pada populasi
yang tinggal disepanjang laut.
3. Goiter sporadis
Goiter yang terjadi oleh berbagai sebab diantaranya tiroiditis fositik yang terjadi lazim
pada saudara kandung, dimulai pada awal kehidupan dan kemungkinan bersama dengan
hipertiroidisme yang merupakan petunjuk penting untuk diagnosa. Digolongkan menjadi 3
(tiga) bagian yaitu :
a. Goiter yodium
Goiter akibat pemberian yodium biasanya keras dan membesar secara difus, dan pada
beberapa keadaan, hipotirodisme dapat berkembang.
b. Goiter sederhana (Goiter kollot)
Yang tidak diketahui asalnya. Pada pasien bistokgis tiroid tampak normal atau
menunjukan berbagai ukuran follikel, koloid dan epitel pipih.
c. Goiter multinodular
Goiter keras dengan permukaan berlobulasi dan tunggal atau banyak nodulus yang
dapat diraba, mungkin terjadi perdarahan, perubahan kistik dan fibrosis.
4. Goiter intratrakea
19
Tiroid intralumen terletak dibawah mukosa trakhea dan sering berlanjut dengan tiroid
ekstratrakea yang terletak secara normal.
Klasifikasi Goiter menurut WHO :
1. Stadium O – A: tidak ada goiter.
2. Stadium O – B: goiter terdeteksi dari palpasi tetapi tidak terlihat walaupun leher
terekstensi penuh.
3. Stadium I : goiter palpasi dan terlihat hanya jika leher terekstensi penuh.
4. Stadium II: goiter terlihat pada leher dalam Potersi.
5. Stadium III : goiter yang besar terlihat dari Darun.
Grave Oftalmopati
Dalam terminologi yang sederhana Grave’s oftalmopati merupakan reaksi antibodi-
mediasi terhadap reseptor TSH dengan modulasi fibroblast orbitadari limfosit sel-T. Limfosit sel-
T diyakini bereaksi terhadap sel folikular tiroid dengan epitop antigen diruang retroorbita.
Grave’s oftalmopati berhubungan dengan antibodi yang bereaksi silang dengan antigen
TSH-R yang terdapat pada fibroblast. Fibroblast dipercayai sebagai sel target dan efektor dalam .
Fibroblast sangat sensitive terhadap stimulasi dari sitokin dan protein larut lainnya, serta
immunoglobulin yang dilepaskan pada saat terjadinya reaksi imun sitokin ini akan merangsang
fibroblast untuk menghasilkan glikosaminoglikan. Produksi berlebihan dari glikosaminoglikan
dalam orbita inilah secara garis menyebabkan manifestasi klinik dari grave’s oftalmopati.
Glikosaminoglikan ini merupakan makromolekul hidrofilik yang bersifat menarik cairan
(osmotik) dan terakumulasi di jaringan penyambung dari lemak dan otot orbita. Akumulasi ini
menyebabkan pembesaran otot ekstraokuler dan lemak sekitar menyebabkan proptosis, fibrosis
serat otot, selanjutnya menyebabkan atrofi jaringan.
Pada beberapa pasien dengan Grave’s oftalmopati serum yang mengandung antibodi
thyrotropin reseptor juga mengandung antibodi yang menstimulasi sintesis kolagen pada
fibroblast di kulit. Ditemukan juga IgG pada serum pasien yang menstimulasi proliferasi
myoblast ekstraokular sesuai konsentrasi dalam serum. Penelitian ini memperkirakan bahwa
antibodi selain antibodi thyrotropin reseptor mungkin mempunyai efek langsung pada fungsi
orbita.
20
Pada pemeriksaan histologi dapat dilihat perubahan yang terjadi berupa
1.Inflamasi otot ekstraokuler
Ditandai oleh infiltrasi sel pleomorfik sehubungan dengan peningkatan sekresi
glikosaminoglikan dan penarikan cairan secara osmotik, sehingga otot menjadi lebih besar ( pada
sebagian kasus, terbatas pada otot tertentu terutama musculus rectus inferior atau medialis ),
kadang hingga 8 kali ukuran normal dan dapat menekan saraf optik. Selanjutnya degenerasi serat
otot akhirnya menyebabkan fibrosis, yang menimbulkan efek tambahan pada otot yang terkait,
menghasilkan miopati dan diplopia.
2. Infiltrasi sel inflamasi
Terdapat induksi lipogenesis oleh fibroblast dan preadiposit, yang menyebabkan penumpukan
lemak dan juga berperan memperbesar volume orbita.
4.7 PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN
Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan) Menurut American society for Study of
Goiter membagi :
1.Struma Non Toxic Diffusa
2.Struma Non Toxic Nodusa
3.Stuma Toxic Diffusa
4.Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum diketahui.
Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
21
1.Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang
kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d
dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2.Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid
autoimun
3.Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang
mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari
tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4.Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
5.Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna
2.Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi :
a.Defisiensi Iodium
b.Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
c.Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan
pelepasan hormon tiroid.
d.Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap
hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
e.Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon
tiroid.
f.Terpapar radiasi
g.Penyakit deposisi
h.Resistensi hormon tiroid
i.Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
j.Silent thyroiditis
k.Agen-agen infeksi22
l.Suppuratif Akut : bacterial
m.Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
n.Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi :
a.Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
b.Aktivasi reseptor TSH
c.Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
d.Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth
factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang merupakan penyakit
autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya
STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran ini
disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme disebut
struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama ditemukan di
daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mlai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Struma multinodosa
terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa
hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma nodosa tidak mengalami
keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal
tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-
angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun
sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan,
sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral.
23
Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea
pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya
terjadi dispnea dengan stridor inspirator.
4.8 PEMERIKSAAN KELENJAR TIROID
Cara pemeriksaan penderita dengan kelainan tyroid dalah setelah dilakukan
inspeksikemudian dilanjutkan dengan palpasi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien,
kemudiandengan kedua tangan pemeriksa dari arah belakang meraba kelenjar tyroid. Dengan
lembutujung jari kedua tangan anda harus terletak di daerah kelenjar, dengan trakea
memisahkankedua tangan tersebut seperti pada gambar.
Penderita juga diminta menelan ludahnya agar pada saat menelan tersebut dapat
dinilaiapakah benjolan yang ada bergerak atau tidak. Kemudian lakukan penilaian mengenai
ukuran, bentuk,kepadatan / konsistensi dan adakah nyeri tekan.Untuk dapat melakukan
penilai yang lebih tepat, dari masing-masing lobus dan kutub kelenjar tyroid, tariklah m.
sternocleidomastoideus, kemudian raba lobus atau nodule dengan tangan yang lain.Jika kutub
bawah tidak dapat diraba, mungkin kutub tersebut berada di belakang sternum dan dapat
dibukyikan dengan perkusi. Dapat juga melakukan auskultasi pada tyroid yang membesar,
untuk mengetahui adakan bruits pada kelenjar yang merupakan suatu keadaan vaskularisasi
yang bertambah. Auskultasidilakukan dari arah depan. Bising atau getaran tyroid hampir
selalu patogomonik untuk penyakin graves.
24
Pemeriksaan Tirotoksikosis
Indeks klinis Wayne
25
4.9 ANAMNESA
1. Nama : Ny. Santi
2. Umur : 25 tahun
3. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
4. Status : Menikah
5. Alamat : Dukuh kupang 25 surabaya
6. Keluhan Utama : berdebar sejak 4 bulan lalu
7. Riwayat Penyakit sekarang : -
8. Riwayat Penyakit Dahulu : benjolan di leher, makin lama makin membesar, belum
diobati akibat tidak nyeri
9. Riwayat Penyakit Keluarga : -
10. Riwayat Sosial : menikah 1 tahun belum memiliki keturunan
11. Riwayat pengobatan : pernahn ke klinik umum karena mudah letih, sehingga
dibaeri vitamin
4.10 GEJALA KLINIS
A. Gejala Klinis
Keadaan Umum : composmentis
Kesadaran : GCS 456
TB : 160cm
BB : 50 kg
BMI : dibawah normal
Vital Sign
o Tekanan Darah : 140/60 mmHg
o Nadi : 108 X/menit
o RR : 26 X/menit
o Suhu : 37,2οC
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kepala:
( anemia/ikterik/cyanosis/dyspneu ) : ( - / - / - / -)
Mata : exoptalmus
26
Lidah,Hidung dan Telinga : - /tak ada perdarahan/ tak ada perdarahan
Rambut : Berwarna hitam
Pemeriksaan leher : Benjolan difus di leher depan,
bergerak saat menelan,ada bunyi fluit
Pemeriksaan dada : jantung tidak membesar
Suara jantung normal, bising (-)
Paru normal,
Pemeriksaan Abdomen : Tak ada jejas, Bissing usus normal
Pemeriksaan ekstremitas : Telapak tangan hangat dan lembab, jari
tremor halus
C. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Hb 12,3 (N) ; Leukosit 7800 (N)
GDP : 130 (N)
Kolesterol total: 125 (N)
TG : 120
T3 : 3,4 () N:1,3 – 2,9
T4 : 22 () N:4,5 – 12,5
TSH : 0,003 () N: 0,3-5
SGPT, SGOT : normal
Radiologi
USG kelenjar tiroid : struma solid dengan hipervaskularisasi
Thyroid scaning : pembesaran kelenjar tiroid dengan hiperaktivitas homogen
27
BAB V
HIPOTESIS AWAL (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)
Oftalmopati Grave.
Fistula Sinus Kavernosus
Ulkus Kornea
Selulitis Orbita
28
BAB VI
ANALISIS DARI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
6.1 GRAVE DISEASE (DENGAN OPHTHALMOPATHY)
Penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut
penyakit Morbus Basedow atau Parry disease. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia
dekade 3 dan 4 terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada segala umur.
Istilah “Grave Disease Ophthalmopathy” dipakai bila kelainan mata pada Grave
Disease dijumpai pada penderita eutiroidisme atau pada penderita yang tidak pernah
menderita hipertiroidisme. Sebagian kecil penderita ini dikemudian hari akan menderita
hipertiroidisme.
GEJALA KLINIS
Trias Morbus Basedow :
Struma difus
Hipertiroid
Eksoftalmos
Gejala klinis ophthalmopathy :
Kemosis dan iritasi konjuktival
Eksoftalmus
Penonjolan kelopak mata
Edema periorbital
Retraksi kelopak mata atas
Oftalmoplegia
Dan gejala klinis lainnya :
Berkeringat berlebihan
Tremor tangan
Menurunnya toleransi terhadap panas
29
Penurunan berat badan dengan nafsu makan yang baik
Ketidakstabilan emosi
Gongguan menstruasi, berupa amenore
Polidefekasi
Pemeriksaan fisik
Akral : hangat, namun terjadi peningkatan produksi keringat terutama di telapak
tangan
Kepala : pada mata terjadi eksoftalmus; iritasi conjungtiva; edema periorbital
Leher : terdapat pembesaran kelenjar tiroid difus, lunak, dan tidak nyeri. Bila di
auskultasi terdengar thyroid bruit
Thorax : tachypnea, tachycardia, murmur, hyperdynamic precordium, terdengar suara
S3 dan S4, ectopic beats, irregular heart rate and rhythm
Abdomen : peningkatan bising usus
Extremitas : edema
Neuron : tremor tangan (biasanya bilateral) ; hiperreflexia
Psikis : insomnia, anxietas, depresi
Pemeriksaan penunjang
TSI (thyroid stimulating immunoglobulins) biasa meningkat pada penderita tiroiditis
autoimun
USG
X-Ray
Pemeriksaan hormon tiroid (T3 dan T4) dan TSH (tiroid stimulating hormon)
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil
laboratorium berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari
tiroid stimulating hormone (TSH). Free T4 dan free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda,
sambil TSH memberikan negative feedback. Peningkatan ikatan protein iodium mungkin dapat
terdeteksi. Struma yang besar kadang terlihat pada foto rontgen. Tiroid stimulating antibodi
mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.
30
6.2 FISTULA SINUS KAVERNOSUS
Fistula dapat terbentuk pada sinus kavernosus antara arteri karotis atau arteri dura dan
sinus kavernosus (fistula karotis-sinus kavernosus). Hal ini menyebabkan vena terpajan pada
tekanan intravaskular yang tinggi. Mata mengalami proptosis dan vena konjungtiva
mengalami dilatasi. Pembersaran otot-otot ekstraokular mengurangi pergerakan mata dan
tekanan pada vena drainase mata yang meningkat menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular. Teknik radiologi intervensi dapat digunakan untuk menutup fistula dengan
mengembolisasi dan menyumbat segmen vaskular yang mengalami gangguan.
Vena – vena orbita mungkin mengalami dilatasi (varises orbita) menyebabkan proptosis
intermiten ketika tekanan vena meningkat.
Pada bayi dapat timbul hemangioma kapiler sebagai lesi ekstensif orbita dan kulit
sekitarnya. Untungnya kebanyakan hemangioma mengalami resolusi spontan pada 5 tahun
pertama usia anak. Terpai diindikasikan jika ukuran atau posisi hemangioma tersebut
menutupi akses visual dan terdapat resiko terjadinya ambliopia. Penyuntikan steroid lokal
biasanya dapat mengecilkan ukuran lesi.
6.3 ULKUS KORNEA
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan dan ganguan
penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan gangguan penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya
bila diagnosis penyebabnya ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai
Ulkus kornea dapat terjadi akibat adanya trauma pada oleh benda asing, dan dengan air
mata atau penyakit yang menyebabkan masuknya bakteri atau jamur ke dalam kornea sehingga
menimbulkan infeksi atau peradangan. Ulkus kornea merupakan luka terbuka pada kornea.
Keadaan ini menimbulkan nyeri, menurunkan kejernihan penglihatan dan kemungkinan erosi
kornea.
Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya infiltrat
supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea dapat terjadi dari epitel
sampai stroma. Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang tepat dan cepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa descematokel, perforasi,
endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan menimbulkan kekeruhan
kornea dan merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia31
ETIOLOGI
a. Infeksi
Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering.
Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus,
Cephalosporium, dan spesies mikosis fungoides.
Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai. Bentuk khas
dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah
akan menimbulkan ulkus. Acanthamoeba.
b. Noninfeksi
Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film
air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan
epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada
keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea
terpulas dengan flurosein.
Defisiensi vitamin A
Obat-obatan
Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
Pajanan (exposure)
Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
Granulomatosa wagener
Rheumathoid arthritis
. MANIFESTASI KLINIS32
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa :
Gejala Subjektif
Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
Sekret mukopurulen
Merasa ada benda asing di mata
Pandangan kabur
Mata berair
Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Silau
Nyeri
Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada perifer
kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
IX. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
klinis dengan menggunakan slit lamp dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien penting
pada penyakit kornea, sering dapat diungkapkan adanya riwayat trauma, benda asing, abrasi,
adanya riwayat penyakit kornea yang bermanfaat, misalnya keratitis akibat infeksi virus herpes
simplek yang sering kambuh. Hendaknya pula ditanyakan riwayat pemakaian obat topikal oleh
pasien seperti kortikosteroid yang merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, virus
terutama keratitis herpes simplek. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit sistemik
seperti diabetes, AIDS, keganasan, selain oleh terapi imunosupresi khusus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan gejala obyektif berupa adanya injeksi siliar, kornea
edema, terdapat infiltrat, hilangnya jaringan kornea. Pada kasus berat dapat terjadi iritis yang
disertai dengan hipopion.
33
6.4 SELULITIS ORBITA
Definisi
Selulitis orbita adalah peradangan supuratif jaringan ikat jarang intraorbita di belakang
septum orbita.Selulitis orbita jarang merupakan penyakit primer rongga orbita. Biasanya
disebabkan oleh kelainan pada sinusparanasal dan yang terutama adalah sinus etmoid. Selulitis
orbita dapat mengakibatkan kebutaan, sehingga diperlukan pengobatan segera. Pada anak-anak,
selulitis orbitalis biasanya berasal dari infeksi sinus dandisebabkan oleh bakteri Haemophilus
influenzae. Bayi dan anak-anak yang berumur dibawah 6-7 tahun tampaknya sangat rentan
terhadap infeksi oleh Haemophilus influenzae.
Epidemiologi
Peningkatan insiden selulitis orbita terjadi di musim dingin, baik nasional maupun
internasional, karenapeningkatan insiden sinusitis dalam cuaca. Ada mencatat peningkatan
frekuensi selulitis orbita pada masyarakatdisebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus yang
resisten methicillin.
Etiologi dan Patofisiologi
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif yang menyerang jaringan ikat di sekitar
mata,dan kebanyakan disebabkan oleh beberapa jenis bakteri normal yang hidup di kulit, jamur,
sarkoid, daninfeksi ini biasa berasal dari infeksi dari wajah secara lokal seperti trauma kelopak
mata, gigitan hewanatau serangga, konjungtivitis, kalazion serta sinusitis paranasal yang
penyebarannya melalui pembuluhdarah (bakteremia) dan bersamaan dengan trauma yang
kotor.Pada anak-anak infeksi selulitis sering disebabkan oleh karena sinusitis etmoidalis
yangmengenai anak antara umur 2-10 tahun. Ada Beberapa bakteri penyebab, diantaranya :
a. Haemophilus influenzae
b. Staphylococcus aureus
c. Streptococcus pneumoniae
d. Streptococcus pyogenes
34
MANIFESTASI KLINIS
Selulitis orbita jarang merupakan penyakit primer rongga orbita. Biasanya disebabkan oleh
kelainan pada sinus paranasal dan yang terutama adalah sinus etmoid. Gejalanya berupa:
Demam, biasanya sampai 38,9° Celsius atau lebih
Kelopak mata atas dan bawah membengkak dan nyeri
Kelopak mata tampak mengkilat dan berwarna merah atau ungu
Bayi atau anak tampak sakit
Jika mata digerakkan, akan timbul nyeri
Penglihatan menurun (karena kelopak mata membengkak menutupi mata)
Mata menonjol
Merasa tidak enak badan
Gerakan mata menjadi terbatasDiagnosis selulitis orbita ditegakkan
berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan lainnya.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah :
-Pemeriksaan darah lengkap
-Pembiakan dan tes sensitivitias darah
-Pungsi lumbal (pada kasus yang sangat berat)
-Rontgen sinus dan orbita
-CT scan atau MRI sinus dan orbita
-Pembiakan kotoran mata
-Pembiakan lendir hidung
-Pembiakan lendir tenggorokan.
Penyakit selulitis orbita bisa dicegah melalui imunisasi vaksin HiB untuk mencegah terjadinya
infeksi Haemophilus pada anak-anak. Evaluasi yang tepat dan pengobatan dini pada infeksi sinus
maupungigi bisa mencegah penyebaran infeksi ke mata.
35
BAB VII
HIPOTESIS AKHIR
Diagnosis
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan yang di lakukan, kami dapat menentukan
diagnosa yakni bahwa pasien tersebut mengalami Oftalmopati Grave.
Oftalmopati Grave merupakan suatu komplikasi dari penyakit Grave disease. Grave
oftalmopati disebut juga Tyroid Associated Ophtalmopaty (TAO), penyakit mata tiroid, dan
penyakit Basedow’s (bahasa Jerman), orbitopaty dystiroid . Adalah gangguan inflamasi
autoimmune dengan pencetus yang berkesinambungan. Dengan gambran khas karakteristiknya
satu atau lebih gambaran berikut yaitu retraksi kelopak mata, keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata (lid lag), proptosis, myopati ekstraokuler, restriksi dan neuropaty optik
progresif. Orbitopaty yang diikaitkan dengan tiroid secara dasar dijelaskan sebagai bagian dari
trias penekanan penyakit grave dimana termasuk tanda orbita tersebut, hipertiroidisme dan
mixedema pretibial secara tipikal dihubungkan dengan hipertiroid. TAO bisa juga terjadi dengan
Tiroiditis Hashimoto.
Menurut kriteria NOSPEC penderita ini termasuk Kelas V
Kelainan mata kelas ini ditandai oleh kelainan pada kornea berupa kornea kering, keratitis dan
ulserasi, sampai perforasi. Kelainan kornea disebabkan oleh trias retraksi palpebra superior, tidak
dapat mengangkat bola mata dan eksoftalmus.
36
BAB VIII
MEKANISME DIAGNOSIS
ANAMNESA
37
Keluhan Utama Mata merah
Riwayat Penyakit Sekarang
- Berdebar - debar saat istirahat dan saat aktivitas sejak 4 bulan lalu
- Tidak disertai nyeri dada dan sesak napas
- Tidak tahan cuaca panas dan lebih suka cuaca dingin
- Dalam 3 bulan terakhir, berat badan turun 5kg, padahal nafsu
makan baik.
- Mudah letih saat aktivitas ringan sejak 1bulan terakhir
- Timbul benjolan tidak nyeri di leher depan sejak 1 tahun
- Tangan selalu basah dan sering gemetar (tremor)
- Mengeluh kepalanya pusing
Riwayat Penyakit Dahulu
Setahun lalu muncul benjolan tidak nyeri di leher depan dan
secara perlahan bertambah besar .
Karena tidak nyeri benjolan dianggap hal biasa dan tidak
pernah diperiksa ke dokter.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada menderita penyakit yang sama
Riwayat Obat
Gambaran :
- Tidak tahu sejak kapan- Merah dan nrocoh- Nyeri bila digerakkan- Bertambah nyeri saat
beraktifitas berat- Silau bila melihat sinar- Penglihatan seperti dobel
Sesekali ke klinik umum dekat rumah karena mudah letih, hanya diberi vitamin
PEMERIKSAAN FISIK
38
Inspeksi: paru dalam
batas normal dan jantung
tak membesar
Palpasi: takikardi
Auskultasi: suara
jantung normal tanpa ada
Abdomen:
Tidak ada kelainan
4.Ekstremitas
Hiperrefleksia (+) ,
telapak tangan hangat
dan lembab, jari-jari
Keadaan Umum Baik
Vital Sign
Kesadaran :
Komposmentis
Tensi: 140/60 mmHg
Nadi: 108 x /menit
RR: 26x / menit
1. Kepala Leher
Mata :
- eksoptalmus
pada kedua mata
- hiperemia
- okular motility
(+)
- palpebra lid lag
(+)/(+)
- erosi kornea
O/D (+)/(+)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
39
Darah Lengkap
- Hb 12,3 g/dl
- Leukosit 7800 mm3
- HCT/PCV meningkat
- Trombosit normal
- Indeks Eritrosit normal
OFTALMOPATI GRAVES
Radiologi
USG kelenjar tiroid :
struma solid dengan
hipervaskularisasi
Thyroid scanning
pembesaran kelenjar tiroid
dengan hiperaktivitas
homogen.
Kimia darah
Gula darah puasa 130 mg/dl
Total Cholesterol 125 mg/dl
Triglyceride 120mg/dl
Tes fungsi hati dan ginjal dalam batas
normal
Total T4 27 µg/dl (Normal : 4,5 -12,5
µg/dl)
Total T3 4,5 µg/dl (Normal : 1,3 – 2,9
µg/dl)
TSH < 0,003 IU/L (Normal : 0,3 – 5,0
BAB IX
STRATEGI MENYELESAIKAN MASALAH
9.1.PENATALAKSANAAN
A. HIPERTIROID
Tujuan terapi hipertiroidisme adalah mengurangi sekresi kelenjar tiroid. Sasaran terapi dengan menekan
produksi hormon tiroid atau merusak jaringan kelenjar (dengan yodium radioaktif atau pengangkatan
kelenjar).
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan:
1. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per hari baik
dari makanan maupun dari suplemen.
2. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg berat badan) per hari untuk mengatasi
proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur.
3. Olah raga secara teratur.
4. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.
Terapi Farmakologis
Ada 4 golongan penghambat sintesis hormon tiroid, yaitu Antitiroid (menghambat sintesis tiroid secara langsung),
Penghambat ion (memblok mekanisme transporiodida), Iodium konsentrasi tinggi (mengurangi sintesis dan pengeluaran
hormon darikelenjarnya), Iodium radioaktif (merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi)
a) Antitiroid
b) Penghambat Transpor Ion Iodida
c) Iodida
d) Iodium Radioaktif
Tindakan Operatif
-Isthmulobectomy : mengangkat isthmus
-Lobectomy : mengangkat 1 lobus, bila subtotal sisa 3gram
-Tiroidectomy total : mengangkat semua kelenjar tiroid
-Tiroidectomy subtotal bilateral : mengangkat sebagianlobus kanan dan lobus kiri
-RND (Radical Neck Dissection) : mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher sisi yang
bersangkutandengan menyertakan N. accesorius, V. jugularis externa& interna, M. sternocleidomastoideus, dan
M.omohyoideus serta kelenjar ludah submandibularis.
40
B. GRAVE OPHTHALMOPHATY
Pada semua pasien dengan ophthalmopathy, faktor-faktor yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko perkembangan penyakit mata harus dihilangkan atau dikendalikan. Misalnya, pasien
yang merokok harus didorong untuk berhenti.Meskipun data dari randomized trials kurang, dalam sebuah
studi observasional,berhenti merokok berhubungan dengan penurunan resiko exophthalmos dandiplopia pada
pasien dengan Graves 'disease.
Disfungsi tiroid (hipertiroidisme dan hipotiroidisme) harus dikoreksi .Dalamprospective observational study,
restorasi euthyroidism dengan obat antitiroidberhubungan dengan perbaikan dari Graves'
ophthalmopathy. Dalamrandomized trials, terapi radioiodine untuk Graves' hipertiroidisme menyebabkan
perkembangan pada ophthalmopathy pada 15% pasien, Sedangkan obat antitiroid tidak mempengaruhi
proses alami dari Graves ophthalmopathy. Merokok termasuk faktor resiko dari perkembangan Graves’
ophthalmopathy setelah terapi radioiodine, hipertiroidisme berat ( serum triiodothyronine concentration,
≥5 nmol per liter), kadart hyrotropin-reseptor antibodi tinggi, dan hipotiroidisme yang tidak
terkontrolsetelah terapi radioiodine.
Dalam dua randomized trials, pengobatan bersamaanpasien risiko tinggi dengan prednison oral (dosis awal
0,3 hingga 0,5 mg perkilogram berat badan, diberikan 1 sampai 3 hari setelah terapi radioiodine, taperingof
dosis sampai 3 bulan kemudian) mencegah perkembangan dan memperbaiki Graves’ ophthalmopathy yang sudah
ada. Pengobatan profilaksis dengan glukokortikoid mungkin cocok bagi sebagian besarpasien dengan
Graves' ophthalmopathy yang hipertiroidisme, diobati dengan terapiradioiodine, termasuk pasien dengan
aktif ophthalmopathy atau faktor risiko sepertiyang telah dijelaskan diatas.
Dalam prospective observational study , pasien yangtelah menerima levothyroxine (biasanya
dosis awal : 50μg per hari) segera setelah2 minggu terapi radioiodine memiliki penurunan yang bermakna
terhadap resikoperkembangan Graves’ ophthalmopathy , dibandingkan dengan pasien yang tidaksegera
diobati dengan levothyroxine sampai didapatkan hipotiroidism.Tidak jelasapakah pasien hipertiroidisme
dengan Graves’ ophthalmopathy harus diobati dengan obat antitiroid atau dengan pengobatan ablatif
(seperti, tiroidektomi, radioiodine,atau keduanya).Pengobatan khusus untuk
Graves’ ophthalmopathy sangat bergantung pada tingkatkeparahan penyakit. Mild Graves’
ophthalmopathy biasanya tidak memerlukan terapiapapun kecuali untuk daerah mata (misalnya, pelumas,
salep, lensa gelap, danprisma untuk mengurangi diplopia) untuk mengontrol gejala-gejala yang ringan.
Dalam beberapa kasus, kualitas hidup pasien sangat terganggu karenadiperlukan pengobatan untuk
Graves’ ophthalmopathy yang parah..Regular follow-up setiap 3 sampai 6 bulan secara rutin, karena
perkembangan dari ophthalmopathyringan ke moderate sampai berat terjadi pada sekitar 25% pasien.
41
a. Terapi Glukokortikoid
Pasien dengan ancaman dysthyroid optik neuropati memerlukan pengobatan segera, biasanya
dengan glukokortikoid dosis tinggi intravena atau oral. Meskipun tidak ada jadwal pengobatan, umumnya
dosis awal 1 g metilprednisolon intravenaselama 3 hari berturut-turut. Terapi selanjutnya tergantung dari
responpenderita. Jika tidak ada atau hanya sedikit perbaikan yang terjadi setelah 1 sampai2 minggu,
pasien harus segera menjalani surgical orbital decompression.
Pada small randomized trial, tidak ada perbedaan yang signifikan pada hasil antara
decompression sebagai terapi utama dan initial treatment dengan glucocorticoids intravena diikuti dengan
prednisone oral. Glucocorticoids juga digunakan untuk moderat-to severe dan aktif ophthalmopathy.
Dalam percobaan dengan placebo sebagai kontrol, randomized trial, glukokortikoidintravena
(Empat siklus metilprednisolon, 500 mg / hari selama 3 hari berturut-turut dengan interval 4 minggu)
efektif dalam mengobati inflamasi dan pergerakanokular pada lima dari enam pasien (83%) dibandingkan
dengan satu dari sembilanpasien (11%) yang menerima placebo.
Glukokortikoid oral dosis tinggi (misalnya,prednisolon 40 mg atau lebih pada awalnya) juga biasa
digunakan, dosis ini kemudian secara bertahap dikurangi sampai dihentikan setelah 4 sampai 6 bulan.Rata-
rata memberikan respon sebanyak 63% yang dilaporkan dari beberapa kasusyang diobati dengan
glukokortikoid oral.Dua randomized trials Menunjukkan bahwa terapi intravena memberikan hasil yang
lebih memuaskan dibandingkan dengan terapi oral (88% vs 63% pada study pertama dan 77% vs 51% pada
study lainnnya), dan lebih baik ditoleransi, dengan penurunan risiko perkembangan cushingoid.
Namun, jarang kasus kerusakan hati yang parah dan akut(Termasuk empat yang fatal) telah
dilaporkan dengan penggunaan dosis yangsangat tinggi. Dengan demikian, terapi intravena harus
diberikan denganpengawasan yang ketat (terutama fungsi hati) di pusat-pusat khusus. Tidak
adakonsensus mengenai dosis optimal dan jadwal pemberian, tetapi regimen yangumum digunakan terdiri dari
12 minggu infus metilprednisolon dengan dosiskumulatif 4,5 g (500 mg / minggu selama 6 minggu, kemudian 250 mg /
mingguselama 6 minggu).Dosis ini jauh lebih rendah daripada yang digunakansebelumnya,
untukmeminimalkan risiko hepatotoksik, penggunaan melebihi 8 g tidakdianjurkan.Oral glukokortikoid
merupakan alternative pilihan yang rasional, terutama pada pasiendengan penyakit hati. Disamping
kelainan hati, pasien harus dievaluasi untuk efeksamping lain dari pengobatan glukokortikoid (misalnya,
peningkatan tekanan darah,hiperglikemia, kelainan elektrolit, efek lambung, dan infeksi).
b. Orbital Radioterapi
Iradiasi orbital dapat menjadi tambahan terapi yang berguna, terutama ketikamotilitas mata
terganggu. Dalam kasus serial, sekitar 60% pasien memiliki responyang baik terhadap iradiasi orbital,
meskipun pasien dengan keadaan tertentu,termasuk exophthalmos, retraksi kelopak mata, danperubahan
42
jaringan lunak, cenderung memiliki respon yang buruk terhadapterapi. Dosis umum radiasi kumulatif
adalah 20 Gy per mata, yang diberikandalam 10 sesi selama 2 minggu, tetapi dosis kumulatif yang lebih
rendah (10 Gy)mungkin memiliki efektifitas yang sama. Dalamrandomized trial membandingkaniradiasi
orbital dengan oral glukokortikoid, didapatkan efektifitas yang serupa dengan dua pendekatan (sekitar
50%) .
Data dari randomized trials menunjukkan bahwa kombinasi pengobatan radioterapi dan
glukokortikoid oral lebih efektif dibandingkan pengobatan tunggal, tidak juga diketahui bagaimana
panduangyang benar tentang terapi glukokortikoid intravena. Orbital iradiasi harus dihindaripada pasien
yang berusia kurang dari 35 tahun (karena efek karsinogenik jangkapanjang) dan pada pasien dengan
retinopati diabetes atau hipertensi berat (Karena kemungkinan adanya kerusakan tambahan pada
retina) .Untuk pengetahuan,tidak ada kasus radiasi-induced tumor yang telah dilaporkan pada pasien
yangdiobati dengan radioterapi orbital untuk Graves' ophthalmopathy.Kemungkinan lain Pengobatan
farmakologis Randomized trials belum menunjukkan manfaat analog somatostatin (octreotide
danlanreotide)untuk Graves’ ophthalmopathy.
Ada juga beberapa data untuk mendukungpenggunaan intravena immune globulin untuk kondisi
ini.Walaupun siklosporinterbukti kurang efektif dibandingkan glukokortikoid oral dalam randomized
trial,dapat membantu mengurangi dosis glucocorticoid.Data awal menunjukkanbahwa obat imunomodulasi
seperti rituximab atauinhibitors of tumor necrosisfactor α mungkin bermanfaat pada Graves’
ophthalmopathy. Dalam open-label study,efek rituximab pada pasien dengan Graves’ ophthalmopathy
sama dengan yangdiamati dalam kontrol yang diobati dengan glucocorticoids intravena.
c. Operasi
Dekompresi orbital diperlukan untuk ancaman dysthyroid optik neuropati jikaglukokortikoid
dosis tinggi tidak dapat memperbaiki kondisi ini dalam 1 sampai 2minggu. Jika penglihatan terancam
karena kerusakan kornea yangmengancam (yang biasanya terkait dengan exophthalmos berat
danlogophthalmos), dan penutupan kelopak mata tidak rapat, peningkatan substansial,dekompresi orbital
diindikasikan untuk improve exposure keratopathy. Orbitaloperasi (termasuk operasi otot mata untuk
memperbaiki disfungsi otot extraokulardan operasi kelopak mata untuk memperbaiki retraksi kelopak
mata) dapatmengurangi pengrusakan yang disebabkan oleh Graves’ ophthalmopathy. Operasisebaiknya
dilakukan setelah ophthalmopathy tidak aktif untuk setidaknya 6bulan.
Dekompresi orbital dapat dilakukan dengan berbagai teknik bedah yangdijelaskan di bagian lain. Jika
beberapa prosedur bedah diperlukan untuk secarastabil menonaktifkan
43
Graves’ ophthalmopathy, dekompresi orbita harus dilakukanpertama kali, diikuti operasi
strabismus, dan terakhir operasi kelopak mata. Seperti operasi rehabilitatif dapat dilakukan dalam kasus-
kasus Graves'ophthalmopathy yang lama.
Penggunaan terapi radioiodine yang tepat untuk tatalaksana hipertiroidisme pada pasien dengan
Graves' ophthalmopathy masih belum jelas. Beberapa ahlimerekomendasikan bahwa obat antitiroid dapat
digunakan sebagai first line terapipada pasien dengan aktif ophthalmopathy, penggunaan terapi
radioiodine,digunakan hanya pada Graves’ ophthalmopathy tidak aktif dan jika terapi obatantitiroid gagal.
Hasil randomized trial membandingkan total ablasi tiroid(tiroidektomi diikuti dengan radioiodine terapi)
dengan near total tiroidektomi pada pasien dengan mild-to-moderate Graves’ ophthalmopathy yang diterapi
denganglukokortikoid intravena menyimpulkan bahwa hasil ablasi total lebih baik,meskipun perbedaan
antara kelompok klinis tidak mencolok.
Pada pasien yang telah menerima terapi radioiodine, profilaksis glukokortikoid oralbiasanya
direkomendasikan, tetapi waktu inisiasi dan dosis optimal dan durasi tidakpasti. Efektifitas pengobatan
profilaksis selama kurang dari 3 bulan dengan dosisyang lebih rendah dari prednison dan lebih lama,
terapi dosis yang lebih tinggimemberikan hasil yang mirip.Meskipun terdapat bukti yang mendukung
penggunaan intravena daripadaglukokortikoid oral untuk active Graves’ ophthalmopathy, namun
regimenglukokortikoid yang optimal masih belum jelas. Tidak jelas apakah penambahanorbital iradiasi
pada terapi glukokortikoid intravena meningkatkan hasil lebih dariterapi tunggal glukokortikoid.
Randomized trials gagal membandingkan pengobatandini dengan obat yang bekerja pada mekanisme
patogenesis penyakit (sepertirituximab) dengan terapi standar saat ini
44
BAB X
PROGNOSIS & KOMPLIKASI
PROGNOSIS
Pada penderita tanpa komplikasi, penyakit berjalan natural secara benigna selama sekitar
1 tahun. Faktor yang menyebabkan prognosis buruk berupa orbitopati yang berat dan progresif
adalah pria, umur diatas 50 tahun, onset gejala yang cepat, perokok, diabetes, hiperlipidemia,
penyakit vaskuler perifer.
KOMPLIKASI
1. Korneal eksposure
Pada Grave’s opthalmopati sering terjadi adanya korneal eksposure akibat dari adanya proptosis atau
retraksi palpebra menyebabkan palpebra tidak dapat menutup dengan baik 2
2. Strabismus
Strabismus sering ditemukan dan bersifat hypotropia karena keterlibatan otot ekstraokuler yang
tersering adalah m.rektus inferior dan medialis.
3. Tekanan nervus optik
Karena terjadi inflamasi pada otot ekstraokular menyebabkan otot menjadi lebih besar sehingga dapat
menekan nervus optik.
TANDA RUJUKAN PASIEN
Pasien Grave’s disease memiliki kecenderungan mengalami gangguan pada
sistemkardiovaskularnya. Gagal jantung, tachyarrhytmia, dan atrial fibrilasi memerlukan
penanganan intensif. Selain itu keadaan thyroid storm juga memerlukan penanganan segera.
CARA PENYAMPAIAN PROGNOSA PADA PASIEN
Menyampaikan bahwa pasien menderita suatu penyakit autoimun (penyakit dari
dalamtubuh sendiri), menyampaikan bahwa penyakit pasien ini dapat diusahakan untuk
disembuhkan, beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan obat anti-tiroid
karena pasien menderita penyakit yang membuat hormone tiroidnya meningkat didalamdarah,
45
untuk mengatasi penyakit ini adakalanya pasien membutuhkan tindakan operasiapabila dengan
obat terapi tidak berhasil, bila demikian, oprasi harus dipersiapkan denganmatang, baik dari
kesiapan pasien dan juga dokter, dan juga harus sesuai dengan prosedur oprasi untuk
mengihindari kemungkinan terjadinya Tyroid Storm saat melakukan tindakanoperasi.\
PERAN PASIEN/KELUARGA UNTUK PENYEMBUHAN
Dukungan motivasi yang diberikan keluarga sangat penting bagi penderita
hipertiroid.Komplikasi yang mungkin juga dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik
(thyroidstorm). Hal ini dapat berkernbang secara spontan pada pasien hipertiroid yang
menjalaniterapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang
tidak terdiagnosis. Disini peran keluarga sangat penting dimana dengan support kepada
pasienkarena gangguan dengan komplikasi yang lain akan sangat berpengaruh terhadap psikis
penderita.
46
DAFTAR PUSTAKA
Djokomoeljanto, R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed: V. 2009. Hal : 1996-1999
Guyton , Arthur C, Hall. 2007. Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC
Halim, Johannes , Dr. 1989. Atlas Praktikum Histologi. Jakarta : EGC
McKenzie JM, Zakaria M and Bonnys M: Graves’ Disease. Med Clin N Amer 1975; 59: 1172-
92.
Brown J : Autoimmune Thyroid Disease – Graves and Hashimoto’s. Ann Intern Med 1978; 88:
379-91.
Tanzil M : Pengelolaan Komplikasi Mata Pada Penyakit Graves. Laporan Satu Kasus MKIB4
(1) 1984.
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/08/05/kenali-tanda-tanda-hipertiroid-dan-cegahlah-
segera/
http://www.totalkesehatananda.com/hipertiroid3.html
47