ULASAN JURNAL ILMIAH FARMASETIKA II
LAKTOSA SEBAGAI BAHAN PENGISI TABLET
dalam
Optimasi Formulasi Tablet Ekstrak Daun Kemangi (Ocimum sanctum L.) dengan
Campuran Avicel PH 101 dan Laktosa secara SLD (Simplex Lattice Design)
Disusun oleh:
Kelompok I Kelas A
Debby Syaray
Eka Erningsih
Eva Apriliyana Rizki
Laudawati
Lisa Apriyanti
Priskilla Paetong
FARMASETIKA II
AKADEMI FARMASI SAMARINDA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menunjang
peningkatan sumber daya alam juga sumber daya manusia termasuk dalam bidang
pengobatan. Dahulu, pengobatan dilakukan secara tradisional dengan
menggunakan bahan-bahan alami berupa tanaman maupun hewan yang dianggap
berkhasiat. Pengolahan bahan-bahan tersebut agar dapat memberikan efek terapi
dilakukan secara sederhana yaitu menumbuk, merebus, atau teknik lainnya
berdasarkan pengalaman seseorang.
Tumbuhan khususnya di Indonesia merupakan jenis makhluk hidup yang
memiliki tingkat diversitas paling tinggi dengan pola penyebaran yang bervariasi
tergantung ekologi daerahnya dan dalam jumlah yang banyak.
Dalam bidang tanaman obat, Indonesia dikenal sebagai salah satu dari 7
negara yang keanekaragaman hayatinya terbesar kedua setelah Brazil, tentu sangat
potensial dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman obat
kita sendiri. Lebih dari 1000 spesies tumbuhan dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur
molekul dan aktivitas biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi yang
sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat berbagai penyakit. Beberapa upaya
dilakukan untuk meramu obat tradisional sehingga dapat dikonsumsi dalam
bentuk produk olahan siap pakai (Radji, 2005).
Masyarakat Indonesia telah lama memanfaatkan tanaman obat sebagai obat
tradisional. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
(Dirjen POM, 2000). Penggunaan obat tradisional sebagai upaya kesehatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif cenderung meningkat. Hal ini
dikarenakan adanya isu back to nature dan kepercayaan masyarakat terhadap
kelebihan obat tradisional dibandingkan dengan obat modern, antara lain efek
sampingnya relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat, adanya efek
komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional/komponen
bioaktif tanaman obat, pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek
farmakologi, serta obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik
dan degeneratif.
Salah satu tanaman obat yang ada di Indonesia adalah kemangi (Ocimum
sanctum Linn.). Tanaman kemangi mudah didapatkan, tersebar hampir di seluruh
Indonesia, dan dapat tumbuh secara liar atau pun dibudidayakan. Daun kemangi
banyak digunakan sebagai sayur mentah (lalapan), peluruh air susu ibu, obat
penurun panas, memperbaiki pencernaan, encok, urat saraf, sariawan, panu,
radang telinga, perut kotor, muntah-muntah, mual, peluruh kentut, peluruh haid
setelah bersalin, borok, memperbaiki fungsi lambung (Batlibang, 1987;
Syamsuhidayat, 1991; Sudarsono, 2002).
Kini, inovasi dalam pembuatan produk siap pakai dari tanaman obat kian
beragam sesuai dengan kebutuhan konsumen yang memakainya. Ada yang berupa
jamu, pil, sirup atau sediaan farmasi lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk
mempermudah pemakaian tanaman obat agar dapat dikonsumsi secara praktis.
Berkenaan dengan hal ini, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh jurnal
ilmiah yang berjudul “Optimasi Formulasi Tablet Ekstrak Daun Kemangi
(Ocimum sanctum L.) dengan Campuran Avicel PH 101 dan Laktosa secara SLD
(Simplex Lattice Design)”.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, dalam jurnal ilmiah tersebut,
peneliti memilih sediaan tablet sebagai alternatif dalam meramu daun kemangi
menjadi obat penurun panas. Alasannya terkait dengan penggunaannya yang lebih
efisien, dapat diubah-ubah dan praktis untuk pengobatan. Untuk itu, peneliti
mencoba mencari formulasi tablet yang baik bagi daun kemangi agar bisa menjadi
produk farmasi layak pakai.
Tablet merupakan sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Artinya tablet terdiri dari satu atau lebih zat aktif dibantu
dengan bahan eksipien. Bahan eksipien yang digunakan pada jurnal ilmiah ini
adalah laktosa dan avicel. Namun, penulis hanya akan membahas lebih luas
tentang laktosa sebagai bahan pengisi. Sedangkan avicel menjadi bahan
pendukung untuk laktosa.
Lewat ulasan jurnal ilmiah ini, diharapkan agar masyarakat khususnya
tenaga teknis kefarmasian dapat mengetahui secara rinci bagaimana mengolah
tanaman obat menjadi bentuk sediaan farmasi sesuai kebutuhan konsumen. Selain
itu, ulasan ini juga dimaksudkan sebagai tolak ukur bagi pengolahan tanaman obat
lainnya sehingga tak hanya bertumpu pada satu paradigma bahwa tanaman obat
hanya dibuat secara tradisional. Akan tetapi, tanaman obat dapat digunakan secara
mudah dengan bentuk yang lebih baik, sederhana juga praktis. Selanjutnya,
diperlukan penelitian-penelitian lebih mendetail untuk menganalisis apakah
tanaman obat tersebut layak dibuat dalam bentuk sediaan obat lainnya.
BAB II
ISI
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai optimasi formulasi tablet
kemangi secara rinci. Terlebih dahulu mengenal hal-hal yang perlu diketahui
berkenaan pada formulasi tablet ini seperti pada jurnal ilmiah di atas. Dalam
jurnal ilmiah tersebut, zat aktif yang hendak dijadikan tablet berasal dari daun
kemangi, di mana daun kemangi diduga sebagai obat penurun panas. Oleh
peneliti, daun kemangi yang digunakan berupa ekstrak kental dengan bantuan
etanol 70 % melalui metode soxhletasi. Berikut penjelasan mengenai daun
kemangi, ekstrak dan metode ektraksi yang digunakan dalam proses pembuatan
tablet kemangi.
Kemangi merupakan salah satu tanaman berkhasiat yang tidak hanya
tumbuh di Indonesia tetapi juga di India, Taiwan, Cina, dan Asia Tenggara.
Kemangi disebut juga tulsi, tulasi, holy basil, sacred basil.
Menurut taksonominya, kemangi diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Tubiflorae
Suku : Labiatae
Marga : Ocimum
Jenis : Ocimum sanctum L. (Syamsuhidayat, 1991).
Deskripsi tanaman kemangi adalah sebagai berikut : Perawakan : herba
tegak atau semak, tajuk membulat, bercabang banyak, sangat harum, tinggi 0,3-
1,5 meter. Batang : batang pokok tidak jelas, bercabang banyak, hijau sering
keunguan, berambut atau tidak. Daun : tunggal, berhadapan, tangkai daun 0,25-3
cm, helaian daun, bulat telur–elip–memanjang, ujung meruncing-runcing, atau
tumpul, pangkal bangun pasak sampai membulat, di kedua permukaan berambut
halus, berbinti-bintik kelenjar rapat 0,75-7,5 x 0,5-2,75 cm, tepi daun : bergerigi
lemah-bergelombang-rata. Bunga: susunan majemuk berkarang atau tandan,
terminal, 2,5-14 cm, di ketiak daun ujung, daun pelindung elip atau bulat telur,
panjang 0,5-1 cm. Kelopak : 5, berlekatan berbentuk bibir, 1 membentuk bibir
atas, bentuk bulat telur 2-3,5 mm, 1 bibir bawah membentuk 4 gigi, sisi luar
berambut kelenjar, ungu atau hijau. Mahkota : berbibir 3 bibir atas 2 bibir bawah,
panjang tabung 1,5-2 mm, cuping mahkota 3-5 mm, putih. Benang sari: 4, tersisip
di dasar mahkota, 2 panjang. Putik : kepala putik bercabang dua, tidak sama.
Buah: kelopak ikut menyusun buah, buah tegak dan tertekan, ujung bentuk kait
melingkar, panjang kelopak buah 6-9 mm. Biji: tipe keras, coklat tua, gundul,
waktu dibasahi segera membengkak (Sudarsono, 2002).
Kemangi mengandung tanin (4,6%), flavonoid, steroid/triterpenoid, minyak
atsiri (2%), asam heksauronat, pentosa, xilosa, asam metil homoanisat,
molludistin serta asam ursolat.
Pada jurnal ilmiah ini, peneliti menduga senyawa flavonoida dalam daun
kemangi yang berperan penting dalam formulasi tablet penurun panas. Senyawa
flavonoida adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di
alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan
sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.
Flavonoida mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom
karbon, di mana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3)
sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Flavonoidnya terdiri dari flavon
epigenin, luteolin, flavon-O-glikosida apigenin 7-O-glukoronida, luteolin 7-O-
glukoronida, flavon C-glukosida orientin, vicenin, cirsilineol, cirsimaritin,
isothymusin, isothymonin (Depkes, 1995).
Kemangi mempunyai beragam khasiat antara lain : analgesik, antiamnesik,
dan nootropik, anthelmintik, anti bakterial, anti katarak, anti fertilitas, anti
hiperlipidemi, anti inflamasi, anti lipidperoksidatif, anti oksidan, anti stress, anti
thyroid, antitusif, anti ulkus, kemoprotektif, imunomodulator, radioprotektif,
aktivitas hipoglikemik, aktivitas hipotensif, dan anti kanker. Penggunaan Ocimum
sanctum yang sudah didukung oleh preliminary data klinik adalah untuk
pengobatan diabetes. Namun perlu diingat pula bahwa obat bahan alam yang
dianggap aman oleh masyarakat juga perlu diwaspadai. Hal ini dikarenakan setiap
bahan atau zat memiliki potensi bersifat toksik tergantung takarannya dalam tubuh
serta sulitnya standarisasi obat tradisional. Mengingat pemanfaatan daun kemangi
yang beragam tetapi masih berdasarkan pengalaman secara turun-temurun, maka
masih perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai khasiat dan efek samping
yang ditimbulkan.
Untuk membuat daun kemangi menjadi tablet, peneliti memilih menjadikan
lebih dulu daun kemangi dalam bentuk ekstrak. Apa itu ekstrak ? Ekstrak adalah
sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati
atau hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Anonim, 1995). Ekstrak
kental (extractum spissum) merupakan sediaan liat dalam keadaan dingin dan
tidak dapat dituang.
Metode pembuatan ekstrak dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat
dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode
ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Ansel et
al., 1995).
Cara sokhletasi dapat dilakukan dengan meletakkan bahan yang akan
diekstraksi dalam sebuah kantung ekstraksi di bagian dalam alat ekstraksi dan
gelas yang bekerja secara kontinyu (perkolator). Wadah gelas yang mengandung
kantung diletakkan di antara labu penyulingan dengan pendingin aliran balik dan
dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang
menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik melalui pipa,
berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan yang diekstraksi dan menarik
keluar bahan yang diekstraksi larutan berkumpul di dalam wadah gelas dan
setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan ke dalam labu.
Dengan demikian, zat yang terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni
berikutnya (Voigt, 1984).
Tablet itu sendiri adalah sediaan padat, dibuat secara kempa - cetak
berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat mengandung satu jenis
obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. Bahan tambahan yang
digunakan dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, bahan pengembang, bahan
pengikat, bahan pelican, bahan pembasah atau bahan lain yang cocok. Menurut FI
edisi IV, tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi (Syamsuni, 2007).
Adanya formulasi pada sediaan tablet bertujuan antara lain :
1. Tujuan utama memformulasi dan mendesain tablet adalah suatu proses
ketika formulator memastikan agar jumlah zat aktif yang benar mencapai
tempat yang benar dalam tubuh, dihantarkan dalam jangka waktu yang
memadai, sedangkan keutuhan kimia zat aktif terlindung sampai ke tempat
yang diinginkan. Hal ini akan berbeda tergantung pada tujuan zat aktif yang
dipersyaratkan untuk digunakan efek lokalnya.
2. Formulasi tablet digunakan untuk memodifikasi kerja zat aktif dalam hal
kecepatan (temporal) atau keruangan (spatial). Pada modifikasi temporal,
kecepatan pelepasan zat aktif dikendalikan untuk memberikan karateristik
pelepasan yang dipersyaratkan (misalnya bentuk sediaan lepas kontinu/lepas
diperlambat). Pada modifikasi keruangan, zat aktif dapat diformulasikan
dalam suatu cara agar mempermudah transpor ke tempat tertentu dalam
tubuh sebelum dilepaskan (misalnya tablet enterik).
3. Formulasi tablet didesain untuk memberikan suatu zat aktif yang dapat
diterima oleh pasien dan sesuai bagi dokter penulis resep. Dalam hal ini,
pilihan jenis bentuk sediaan yang paling utama adalah tablet atau kapsul.
4. Dari sudut produksi farmasetik, hal penting yang harus diperhatikan adalah
bentuk sediaan dapat dibuat dengan mudah, ekonomis, dan reprodusibel.
Hasilnya harus bagus (Siregar, 2010).
Pada jurnal ilmiah ini, penulis akan lebih mengulas tentang zat pengisi
berupa laktosa. Lalu, kaitan antara laktosa dan avicel PH 101 sebagai kombinasi
zat pengisi juga hubungannya dengan beberapa eksipien lainnya untuk
mendapatkan optimasi formulasi tablet kemangi yang memenuhi persyaratan
sebagai tablet yang baik dan layak digunakan.
Zat pengisi atau pengencer adalah suatu zat inert secara farmakologis yang
ditambahkan ke dalam suatu formulasi sediaan tablet bertujuan untuk penyesuaian
bobot, ukuran tablet sesuai yang dipersyaratkan, untuk membantu kemudahan
dalam pembuatan tablet, dan meningkatkan mutu sediaan tablet.
Bahan pengisi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1. Harus non toksik dan dapat memenuhi peraturan-peraturan dari negara di
mana produk akan dipasarkan.
2. Harus tersedia dalam jumlah yang cukup di semua negara tempat produk itu
dibuat.
3. Harganya harus cukup murah.
4. Tidak boleh saling berkontraindikasi (misalnya sukrosa) atau karena
komponen (misalnya natrium) dalam tiap segmen atau bagian dari populasi.
5. Secara fisiologis harus inert/netral.
6. Harus stabil secara fisik dan kimia, baik dalam kombinasi dengan berbagai
obat atau komponen tablet lain.
7. Harus bebas dari segala jenis mikroba.
8. Harus color compatible (tidak boleh mengganggu warna).
9. Bila obat itu termasuk sebagai makanan (produk-produk vitamin tertentu),
pengisi dan bahan pembantu lainnnya harus mendapat persetujuan sebagai
bahan aditif pada makanan.
10. Tidak boleh mengganggu bioavailabilitas obat (Lachman, 1994).
Penulis menduga bahwa peneliti menggunakan laktosa hidrat. Laktosa
hidrat merupakan pengisi yang paling luas digunakan dalam formulasi sediaan
tablet. Zat ini menunjukkan stabilitas yang baik dalam gabungan dengan
kebanyakan zat aktif hidrat ataupun anhidrat. Laktosa hidrat mengandung kira-
kira 5 % air kristal. Bentuk hidrat biasanya digunakan dalam sistem granulasi
basah dan granulasi kering (Siregar, 2010). Selain itu, untuk metode granulasi
basah, lebih baik menggunakan laktosa hidrat, karena meski laktosa anhidrat tidak
bereaksi dengan pereaksi Maillard (dengan zat aktif mengandung amina dengan
adanya logam stearat), bentuk anhidrat dapat menyerap lembab.
Formula laktosa biasanya menunjukkan kecepatan pelepasan zat aktif
dengan baik, mudah dikeringkan (dalam penampan atau alat pengering lapis
mengalir (PLM) atau fluidized bed dryers atau (FBD)), dan tidak peka terhadap
variasi moderat dalam kekerasan tablet dalam pengempaan (Siregar, 2010).
Laktosa merupakan eksipien yang baik sekali digunakan dalam tablet yang
mengandung zat aktif berkonsentrasi kecil karena mudah melakukan
pencampuran yang homogen. Harga laktosa lebih murah daripada bahan pengisi
lainnya (Siregar, 2010).
Laktosa merupakan suatu gula reduksi yang dapat bereaksi dengan senyawa
amin untuk menghasilkan reaksi khas kecoklatan Maillard. Laktosa juga akan
berubah menjadi coklat dengan adanya senyawa alkali berupa lubrikan alkali.
Laktosa juga tidak dapat bergabung (inkompatibel) dengan asam askorbat,
salisilamida, pirilamin maleat, dan fenilefrin hidroklorida (Siregar, 2010).
Secara kimia laktosa terdiri atas dua bentuk isomer, α dan β. α-laktosa
monohidrat tersedia komersial sebagai serbuk tak berasa dalam suatu rentang
ukuran partikel 200-400 mesh (Siregar, 2010).
Ada dua jenis laktosa yaitu yang berukuran mesh 60-80 (kasar) dan mesh
80-100 (biasa). Umumnya formulasi memakai laktosa menunjukkan laju
penglepasan obat yang baik, granulnya cepat kering, dan waktu hancurnya tidak
terlalu peka terhadap perubahan pada kekerasan tablet (Lachman, 1994).
Laktosa adalah gula yang diperoleh dari susu. Dalam bentuk anhidrat atau
mengandung satu molekul air hidrat. Konsentrasi laktosa yang digunakan dalam
formulasi adalah 65% - 85%. Laktosa merupakan serbuk atau masa hablur, keras,
putih, atau putih krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis, stabil di udara, tetapi
mudah menyerap bau. Mudah larut dalam air dan lebih mudah larut dalam air
mendidih, praktis tidak larut dalam kloroform, etanol dan eter (Kibbe, 2000).
Laktosa dalam formulasi tablet berfungsi sebagai bahan pengisi yang baik
karena dapat memadatkan massa granul dalam granulasi basah atau metode
kempa langsung (Edge et al., 2006). Laktosa adalah bahan yang bersifat
kompresibel, sifat alirnya kurang baik, dapat menyerap kelembaban dari udara
sehingga kemungkinan dapat berpengaruh pada sifat fisik tablet (Sulaiman, 2007).
Avicel PH 101 dalam bentuk serbuk digunakan secara luas dalam
pembuatan tablet kempa langsung dan menunjukkan kekerasan dan friabilitas
yang baik. Sifat mengalirnya baik dan sifat-sifat pencetakan langsungnya bagus
sekali. Avicel itu merupakan pengisi yang relatif mahal jika dibandingkan dengan
laktosa. Avicel biasanya tidak digunakan tunggal dalam tablet sebagai pengisi
utama kecuali formulasi membutuhkan khusus sifat-sifat ikatan Avicel. Avicel
mampu menahan (memegang) lebih dari 50 % zat aktif. Sebagai pengisi, avicel
memberikan banyak kemungkinan menarik untuk pengendalian kecepatan
pelepasan zat aktif jika dikombinasi laktosa, amilum, dan kalsium fosfat dibasik.
Pada granulasi basah, avicel menghasilkan tablet keras dengan tekanan
kempa yang rendah pada pengempaan tablet. Zat ini menghasilkan pembasahan
yang cepat dan merata karena adanya wicking acting sehingga cairan
penggranulasi terdistribusi di seluruh onggokan serbuk.
Menurut peneliti, avicel memiliki sifat alir yang kurang baik sedangkan
laktosa memiliki sifat alir yang baik sehingga untuk menutupi kekurangan dari
avicel dikombinasikan dengan laktosa. Dalam literatur lain dikatakan bahwa
laktosa lah yang memiliki sifat alir yang kurang baik daripada avicel. Bila
diperhatikan, peneliti merujuk pada ukuran partikel antara laktosa dan avicel PH
101, di mana avicel PH 101 dalam bentuk serbuk berukuran kecil sedangkan
laktosa denga ukuran yang lebih besar juga berupa granul sehingga dapat
mempermudah proses granulasi basah terlaksana. Selain itu alasan pemilihan
laktosa sebagai kombinasi dari avicel karena laktosa mmiliki harga relatif murah,
lebih mudah larut dalam air dibandingkan avicel. Akan tetapi laktosa dapat larut
dengan bantuan disintegran. Dalam hal ini avicel juga bersifat sebagai disintegran
atau penghancur. Sebagai tambahan dengan adanya avicel pada formulasi tablet
kemangi mampu menahan atau memegang lebih dari 50% zat aktif atau sifat
mengikat yang baik. Lalu kecepatan pelepasan zat aktif dapat dikendalikan
dengan baik apabila laktosa dikombinasikan dengan avicel.
Berikut ini karakteristik dari avicel (mikrokristalin selulosa) :
1) Insoluble, non-reaktif, aliran kurang baik, kapasitas pegang 50%.
2) Menghasilkan tablet yang keras dengan tekanan kecil (kompresibilitas baik)
dan friabilitas tablet rendah, waktu stabilitas panjang.
3) Menghasilkan pembasahan yang cepat dan rata sehingga mendistribusikan
cairan penggranul ke seluruh massa serbuk; menghasilkan distribusi warna
dan obat yang merata.
4) Bertindak sebagai pembantu mengikat, menghasilkan granul yang keras
dengan sedikit fines.
5) Bisa bersifat pengikat kering, disintegran, lubrikan dan glidan.
6) Penggunaannya membutuhkan lubrikan; penggunaannya dapat dikombinasi
dengan laktosa, manitol, starch, kalsium sulfat.
7) Membantu mengatasi zat-zat yang jika overwetting (terlalu basah) menjadi
seperti “clay” yang sukar digranulasi dan ketika kering granulnya menjadi
keras dan resisten terhadap disintegrasi. Contoh: kaolin, kalsium karbonat.
8) Avicel dalam GB memperbaiki ikatan pada pengempaan, mengurangi
capping dan friabilitas tablet.
9) Avicel membantu obat larut dengan air agar homogen, mencegah migrasi
pewarna larut air dan membantu agar evaporasi cepat dan seragam.
10) Untuk obat dengan dosis kecil, Avicel digunakan sebagai pengisi dan
pengikat tambahan.
11) 60% avicel PH 101 dan 40% amilum sebagai pasta 10% membuat massa
lembab mudah digranulasi, membentuk granul yang kuat pada pengeringan
dengan sedikit fine daripada pasta yang hanya terbuat dari amilum.
12) Bentuk PH 101: serbuk, PH 102: granul, PH 103: serbuk.
Sedangkan bahan pengikat yang digunakan adalah gelatin. Gelatin
merupakan pengikat yang baik dan memberikan tablet dengan kekerasan mirip
dari yang dihasilkan akasia atau tragakan. Bahan ini digunakan pada konsentrasi
5-10% sebanyak 1-5% dari formula. Gelatin ini sendiri sudah jarang digunakan,
digantikan PVP, MC cenderung menghasilkan tablet yang keras dan memerlukan
disintegran yang aktif. Kelebihan dari gelatin ini adalah dapat digunakan untuk
senyawa yang sulit diikat sedangkan kelemahan dari bahan ini adalah rentan
bakteri dan jamur. Jika masih diperlukan pengikat yang lebih kuat, dapat
digunakan larutan gelatin dalam air 2-10%, yang dibuat dengan menghidrasi
gelatin dalam air dingin selama beberapa jam/semalam kemudian dipanaskan
sampai mendidih, larutan gelatin harus dipertahankan hangat sampai digunakan
karena akan menjadi gel pada pendinginan.
Bahan pelicin (lubrikan) digunakan magnesium stearat. Magnesium stearat
merupakan campuran magnesium dengan asam organik solid yang mengandung
magnesium stearat dan magnesium palmitat (C32H62MgO4). Magnesium stearat
digunakan sebagai bahan pelicin (lubrikan) dalam kapsul dan tablet dengan
konsentrasi 0,25% - 5,0% w/w. Pemerian: serbuk CH2OH-CH2OH-OH-OH-H-H,
halus, licin, putih, dan mudah melekat pada kulit, bau lemah khas. Kelarutan
praktis tidak larut dalam air, etanol (95%) P dan dalam eter P, sukar larut dalam
benzen dan etanol (95%) (Rowe et al., 2003).
Magnesium stearat merupakan senyawa magnesium dengan campuran
asam-asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari
magnesium stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan.
Magnesium stearat berupa serbuk halus, putih dan voluminus; bau lemah khas;
mudah melekat di kulit; bebas dari butiran. Magnesium stearat tidak larut dalam
air, dalam etanol, dan dalam eter (Anonim, 1995).
Magnesium stearat umumnya digunakan pada sediaan kosmetik, makanan,
dan formula farmasetik. Magnesium stearat berfungsi sebagai bahan pelicin pada
pembuatan kapsul dan tablet dengan konsentrasi antara 0,25%-5,0% serta
digunakan sebagai bahan pembawa dalam krim. Magnesium stearat berupa
serbuk, bercahaya, berbau dan berasa seperti asam stearat. Serbuk magnesium
stearat berminyak jika dipegang dan mudah melekat di kulit. Magnesium stearat
kurang larut dalam benzen hangat dan etanol hangat (95%) (Allen dan Luner,
2006).
Nama lain aerosil adalah silium dioksida. Terdispersi tinggi, memiliki luas
permukaan spesifik yang tinggi dan terbukti sangat menguntungkan sebagai bahan
pengatur aliran. Aerosil dapat mengatasi lengketnya partikel satu sama lainnya
sehingga mengurangi gesekan antar partikel. Selain itu, aerosil mampu mengikat
lembab, melalui gugus sianolnya (menyerap air 40 % dari massanya) dan sebagai
serbuk masih mampu mempertahankan daya alirnya yang baik (Voigt, 1984).
Explotab® merupakan serbuk bebas mengalir mengandung sodium Na 2,8
% sampai 4,2 %, pH antara 5,8 dan 7,5 mengandung natrium klorida tidak lebih
dari 0,002 %, berwarna putih tidak berbau, tidak berasa sebagai salah satu merk
dagang natrium amilum glicolate: Explotab. Penggunaannya dalam pembuatan
tablet sebagai bahan penghancur yang lebih murah dari karboksimetilselulosa,
digunakan dengan konsentrasi rendah yaitu 1-8 % dilaporkan 4 % optimum
(Banker and Anderson, 1994).
Explotab® merupakan derivat dari amilum kentang. Nama lain dari
Explotab® adalah sodium starch glycolat, merupakan serbuk putih yang free
flowing. Explotab® merupakan salah satu superdisintegrant yang efektif
digunakan dalam pembuatan tablet secara granulasi maupun cetak langsung.
Bahan penghancur ini sangat baik karena kemampuan mengembangnya yang
cukup besar sehingga dapat membantu proses pecahnya tablet (Edge dan Miller,
2006).
Sodium starch glycolate adalah garam dari carboxymethylcelulose eter pati
yang sangat halus, putih, dan tidak berbau. Sodium starch glycolate digunakan
dalam farmaseutikal oral sebagai bahan penghancur dalam formula kapsul dan
tablet. Konsentrasi dalam formula antara 2–8% dengan konsentrasi optimal 4%
meskipun dalam banyak formula menggunakan konsentrasi 2% sudah cukup
memadai. Kelarutan: praktis tidak larut dalam air dan tidak dapat dicairkan pada
pelarut organik. Sodium starch glycolate memiliki berat molekul 500.000-
11.000.000, terdiri dari granul bulat atau lonjong dengan diameter 30–100 μm
(Kibbe, 2000).
Dalam jurnal ilmiah, metode yang digunakan dalam pembuatan tablet
adalah granulasi basah. Granulasi basah adalah proses menambahkan cairan pada
suatu serbuk atau campuran serbuk dalam suatu wadah yang dilengkapi dengan
pengadukan yang akan menghasilkan aglomerasi atau granul (Siregar, 2010).
Metode pembuatan tablet secara granulasi basah bisa diketahui dari
pernyataan di bawah ini.
Zat berkhasiat, zat pengisi, dan zat penghancur itu dicampur sampai
homogen, lalu dibasahi dengan bahan pengikat, bila perlu ditambahkan bahan
pewarna. Setelah itu, diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam lemari
pengering (oven) pada suhu 40 °C-50 °C, setelah dikeringkan lalu diayak lagi
untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan
bahan pelicin dan dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet.
Sedangkan pada jurnal ilmiah, tata cara pembuatan tablet kemangi dengan
granulasi basah dapat diamati seperti di bawah ini.
Ekstrak daun kemangi yang telah dikeringkan dengan aerosil, ditambah
Avicel PH 101 dan laktosa dengan jumlah konsentrasi yang berbeda, diaduk
hingga homogen. Larutan gelatin 10 % ( gelatin dilarutkan dengan aquadest )
ditambahkan sampai terbentuk massa yang siap digranulasi. Massa granul diayak
dengan ayakan no. 16, hasilnya dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 °C-50
°C. Setelah kering, granul diayak kembali dengan ayakan no. 18, kemudian
dilakukan uji sifat fisik meliputi susut pengeringan granul, kecepatan alir, daya
serap air dan kompaktibilitas. Setelah diketahui sifat fisik granul optimum maka
dicetak menjadi tablet dan dilakukan uji sifat fisik meliputi keseragaman bobot,
kekerasan, kerapuhan dan waktu hancur.
Alasan formulator memilih menggunakan metode granulasi basah karena
penggunaannya yang luas di masa lampau dan metode masih terus berlaku untuk
produk yang sudah mantap karena untuk satu alasan dan lainnya, metode ini tidak
dapat diganti dengan kempa langsung. Selain itu, untuk memastikan keseragaman
kandungan tablet dengan mendispersikan dosis kecil zat aktif dan/atau zat
tambahan pewarna dengan melarutkannya dalam pengikat cair. Prosedur ini
menghasilkan distribusi zat terlarut lebih baik dan seragam.
Adapun keuntungan dan keterbatasan granulasi basah dapat dilihat pada
tabel di bawah, sebagai berikut.
Keuntungan Keterbatasan
- Sifat-sifat mengalir lebih baik
(diperbaiki)
- Pemadatan
- Karateristik pengempan diperbaiki
- Distribusi zat pewarna dan zat aktif
yang larut lebih baik/jika
- Tahapan multiproses lebih rumit
dan membuat validasi dan
pengendalian sulit
- Waktu, ruangan, dan peralatan
yang digunakan memerlukan biaya
yang mahal
ditambahkan dalam larutan pengikat
- Debu berkurang
- Pencegahan pemisahan campuran
serbuk
- Permukaan hidrofobik menjadi
lebih hidrofilik
- Stabilitas menjadi perhatian untuk
zat aktif peka lembap atau
termolabil
- Kehilangan bahan selama berbagai
tahapan proses
Berbagai tahap (unit proses) dalam pembuatan tablet metode granulasi
basah adalah sebagai berikut.
1. Zat aktif dan eksipien masing-masing dihaluskan terlebih dahulu dalam
mesin penggiling, misalnya menggunakan mesin “tornado mill”.
2. a. Pencampuran zat aktif, zat pengisi, sebagian zat disintegran dalam
mesin pencampur misalnya “planetary mixer” atau “twin-shell
blender”.
b. Pencampuran zat aktif, zat pengisi, zat pengikat kering/sebagian zat
disintegran (penambahan pengikat kering) dalam mesin “planetary
mixer” atau “twin-shell blender”.
3. a. Penyiapan cairan penggranulasi basah, larutan musilago, atau suspensi,
atau larutan gel, dll.
b. Penyiapan air, alkohol atau hidroalkohol untuk mengaktifkan pengikat
kering.
4. Pembuatan massa granulasi basah dengan cairan penggranulasi dalam mesin
seperti “sigma blade mixer”.
5. Massa lembap dibentuk menjadi granul dengan mengekstruksi melalui
mesin “oscillating granulator” dengan lempeng penyaring 6-12 mesh atau
melalui mesin “fitz mill” dilengkapi dengan lempeng penyaring besi yang
diperforasi.
6. Granul lembap dikeringkan di atas penampan dalam oven pada suhu 50 °C-
60 °C atau dalam pengering lapis mengalir (fluid bed dryer).
7. Granul yang telah kering diekstruksi dalam mesin “oscillating granulator”
dengan lempeng penyaring 18-20 mesh atau dengan mesin “fitz mill”
dengan lempeng penyaring 18-20 mesh.
8. Granul ditapis melalui penyaring 18-20 mesh, kemudian dipindahkan ke
mesin “twin-shell blender” atau mesin pencampur kubik dan dicampur
dengan disintegran, glidan, dan lubrikan. (Lubrikan dan glidan diayak
terlebih dahulu dengan pengayak 200 mesh).
9. Massa kempa (butir viii) dikempa menjadi tablet.
Berbagai sifat atau keuntungan dan keterbatasan eksipien dalam metode
granulasi basah tertera dalam tabel di bawah ini.
Karateristik Pengisi Laktosa Monohidrat (Hidrat)
Laktosa Monohidrat (Hidrat)
- Tidak dapat dikempa langsung sehingga digunakan dalam formulasi
granulasi basah
- Menghasilkan tablet keras
- Kekerasan tablet cenderung meningkat pada penyimpanan
- Waktu disintegrasi tidak dipengaruhi oleh kekerasan tablet
- Dapat larut, tetapi diperlukan suatu disintegran
- Pelepasan zat aktif biasanya tidak dipengaruhi oleh zat ini
- Tidak reaktif, kecuali perubahan warna jika diformulasi dengan zat amin dan
basa
- Mengandung lembap kira-kira 5 % sehingga kemungkinan merupakan
sumber ketidakstabilan dengan zat aktif peka lembap
- Mampu alirnya buruk
- Tidak mahal
Optimasi model simplex lattice design (SLD)
Optimasi adalah suatu metode atau desain eksperimental untuk
memudahkan dalam penyusunan dan interpretasi data secara matematis
(Armstrong and James, 1986). SLD adalah salah satu metode analisis statistik
untuk melakukan optimasi yang digunakan untuk optimasi campuran: antar bahan
dalam sediaan padat, semi padat atau pemilihan pelarut. Simplex lattice design
merupakan desain untuk optimasi campuran pada berbagai perbedaan jumlah
komposisi bahan yang dinyatakan dalam berapa bagian dan jumlah totalnya dibuat
tetap yaitu sama dengan satu bagian.
Prosedur dari simplex lattice design meliputi penyiapan variasi kombinasi
dari bahan tambahan yang akan dioptimasi. Hasil kombinasi formulasi dari
simplex lattice design dapat digunakan untuk menetapkan respon yang optimal
dari variasi kombinasi bahan tambahan, sehingga dapat digunakan untuk
memproduksi suatu sediaan yang memenuhi persyaratan.
Persamaan yang digunakan adalah Y= a( A )+ b( B)+ ab( A )(B )........................ (1)
Keterangan :
Y = respon ( hasil percobaan )
(A),(B) = kadar komponen dimana (A) + (B) = 1
a,b,ab = koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan untuk
mendapatkan nilai koefisien, bila digunakan 2 faktor
diperlukan 3 macam percobaan yaitu menggunakan 100%A,
100%B dan campuran 50%A dan 50%B.
Granul adalah gumpalan-gumpalan dari partikel-partikel yang lebih kecil.
Ukuran biasanya berkisar antara ayakan nomor 4-12, walaupun demikian granul
dari macam-macam ukuran lubang ayakan mungkin dapat dibuat tergantung pada
tujuan pemakaian (Ansel, 1995).
Sifat fisik granul yaitu :
1. Sifat alir
Pada umumnya serbuk dikatakan mempunyai sifat yang baik jika 100 gram
serbuk yang diuji mempunyai waktu alir ≤ 10 detik atau mempunyai
kecepatan alir 10 gram/detik. Sifat alir suatu zat padat (partikel atau granul)
dapat diketahui dengan 3 cara, yaitu dengan pengukuran secara langsung
(kecepatan alir) dan pengukuran secara tidak langsung (sudut diam dan
pengetapan).
2. Waktu alir
Waktu alir merupakan waktu yang digunakan untuk mengalir dari sejumlah
granul atau serbuk pada alat yang dipakai. Mudah tidaknya granul mengalir
dipengaruhi oleh bentuk granul, sifat permukaan granul, density, dan
kelembapan granul (Fassihi dan Kanfer, 1986). Menurut Guyot Cit. Fudholi
(1983), untuk 100 g granul atau serbuk dengan waktu alir lebih dari 10 detik
akan mengalami kesulitan dalam penabletan.
Pada jurnal ilmiah, penentuan profil sifat fisik granul dilakukan dengan 3 uji
yakni uji kecepatan alir, uji kompaktibilitas, dan uji daya serap air.
Uji sifat alir atau kecepatan alir massa komponen tablet ataupun
campurannya penting untuk keseragaman pengisian massa tablet ke dalam ruang
kompresi/die ataupun untuk homogenitas massa tabletnya. Pada grafik,
digambarkan bahwa intensitas kecepatan alir semakin meningkat ketika berada
pada level 100 % laktosa. Artinya, kadar laktosa dengan sifat alir yang baik juga
interaksinya terhadap komponen tablet memberikan pengaruh cukup besar dalam
formulasi optimum tablet kemangi yaitu memperbaiki sifat alir granul sehingga
akan diperoleh tablet dengan keseragaman massa dan dosis yang baik.
Kompaktibilitas adalah kemampuan bahan untuk membentuk massa yang
kompak setelah diberi tekanan. Uji dilakukan dengan menguji kekerasan tablet
hasil pengempaan suatu bahan dengan volume dan tekanan tertentu.
Kompaktibilitas merupakan parameter untuk mengetahui kekerasan dan
kerapuhan suatu tablet. Suatu tablet dikehendaki memiliki kekuatan yang cukup
keras sehingga dapat tahan terhadap guncangan selama proses pengangkutan dan
penyimpanan hingga saat digunakan pasien. Semakin besar tekanan yang
diberikan semakin keras suatu tablet. Hasil profil yang diperoleh dari kurva
hubungan antara kompaktibilitas dengan formula, dapat diketahui bahwa tablet
yang dibuat dengan formula 100% avicel PH 101 mempunyai kompaktibilitas
yang lebih baik daripada tablet yang dibuat dengan formula 100% laktosa.
Interaksi antara kedua bahan yaitu 50% avicel PH 101 dengan 50% laktosa akan
menurunkan kompaktibilitas tablet. Dari sini dapat disimpulkan bahwa semakin
besar kadar laktosa dalam tablet akan semakin mengurangi kompaktibilitas, dan
adanya avicel PH 101 akan memperbaiki sifat kompaktibilitas tablet.
Kompaktibilitas sangat erat kaitannya dengan kemudahan suatu serbuk untuk
dikempa sehingga dapat menghasilkan tablet yang keras.
Daya serap bahan terhadap air dinyatakan dalam kecepatan/kapasitas
penyerapan air. Kecepatan dan jumlah air yang diserap di antaranya berpengaruh
pada kelembaban massa tablet dan proses hancurnya tablet dalam tubuh. Daya
serap air berkaitan dengan disintegrasi tablet, disintegrasi tablet tidak dapat terjadi
jika air tidak masuk ke dalam tablet, di mana tergantung pada kompresi dan
kemampuan penyerapan air dari material yang dipakai. Air dapat berpenetrasi ke
dalam pori- pori tablet karena adanya aksi kapiler. Bahan penghancur tablet mulai
berfungsi di antaranya melalui proses pengembangan, reaksi kimia maupun secara
enzimatis setelah air masuk ke dalam tablet. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi daya serap air, semakin cepat tablet tersebut hancur di dalam
cairan lambung, sehingga obat lebih mudah dan lebih cepat untuk diabsorbsi.
Hasil percobaan membuktikan bahwa penggunaan avicel PH 101 sebagai
disintegran, memberikan pengaruh lebih besar daya serap airnya dibandingkan
laktosa.
Selanjutnya, peneliti mencanangkan penentuan profil formula optimum, di
mana granul ekstrak daun kemangi dari campuran avicel PH 101 dan laktosa
dengan perbandingan 90 % : 10 %, mempunyai respon total tertinggi sehingga
dianggap perbandingan ini merupakan campuran yang optimum pada pembuatan
tablet kemangi.
Sifat fisik tablet
a. Keseragaman bobot tablet
Jumlah bahan yang dimasukkan ke dalam cetakan yang akan dicetak
menentukan berat tablet yang dihasilkan. Volume bahan yang diisikan
(granul dan serbuk) yang mungkin masuk ke dalam cetakan harus
disesuaikan dengan beberapa tablet yang telah lebih dahulu dicetak supaya
tercapai berat tablet yang diharapkan (Ansel et al., 1995). Keseragaman
bobot tablet ditentukan berdasarkan banyaknya penyimpangan bobot tiap
tablet terhadap bobot rata-rata dari semua tablet sesuai syarat yang
ditentukan dalam Farmakope Indonesia.
b. Kekerasan tablet
Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu serta tahan
atas kerapuhan agar dapat bertahan terdapat berbagai guncangan mekanik
pada saat pembuatan, pengepakan dan pengiriman (Lieberman et al., 1994).
Kekerasan digunakan sebagai parameter tekanan mekanik seperti guncangan
dari tekanan pengempaan.
Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet
dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi
keretakan tablet selama pembungkusan, pengangkutan dan pemakaian.
Kekerasan ini dapat dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan
(Banker and Anderson, 1986). Penambahan kekerasan akan menghasilkan
tablet yang kurang rapuh, sehingga bila terlalu keras akan mengakibatkan
sukar hancur. Kekerasan tablet yang baik berkisar antara 4-6 kg (Parrott,
1971).
Pada penelitian dalam jurnal ilmiah di atas, kombinasi avicel PH 101
90 % dan laktosa 10 % memberikan kekerasan yang baik. Avicel PH 101
sebagai bagian yang besar dalam kombinasi mampu memberikan kekuatan
antar partikel yang sangat kuat sehingga tablet yang dihasilkan menjadi
kompak.
c. Kerapuhan tablet
Kerapuhan adalah parameter lain dari ketahanan tablet dalam pengikisan
dan guncangan. Besaran yang dipakai adalah persen bobot yang hilang
selama pengujian dengan alat friabilator. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kerapuhan antara lain banyaknya kandungan serbuk (fines). Kerapuhan di
atas 1,0% menunjukkan tablet yang rapuh dan dianggap kurang baik
(Parrott, 1971). Kerapuhan tablet memenuhi syarat bila kerapuhan kurang
dari 0,8% (Banker dkk, 1986).
d. Waktu hancur tablet
Supaya komponen obat sepenuhnya tersedia untuk diapsorbsi dalam
saluran pencernaan, maka tablet harus hancur dan melepaskan obatnya ke
dalam cairan tubuh untuk dilarutkan (Ansel et al., 1995). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap waktu hancur antara lain bahan pengisi, jumlah dan
jenis bahan pengikat, bahan penghancur serta tekanan kompresi (Fonner et
al., 1981). Waktu hancur tablet tergantung pada sifat fisika dan kimia granul
serta kekerasan dan porositas tablet. Kecuali dinyatakan lain waktu hancur
suatu tablet tidak lebih dari 15 menit (Anonim, 1979).
Peneliti menyimpulkan bahwa dengan adanya avicel PH 101 sebagai
penghancur, mampu menyerap air dengan baik sehingga perlawanan
terhadap kekuatan ikatan antar partikel semakin besar. Akibatnya tablet
akan cepat hancur.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain :
1. Penggunaan kombinasi bahan pengisi antara avicel PH 101 dan laktosa
dengan perbandingan 90 % : 10 % merupakan perbandingan konsentrasi
yang optimum bagi formulasi tablet ekstrak kemangi.
2. Pembuatan tablet ekstrak kemangi menggunakan metode granulasi basah.
3. Metode penentuan optimasi formulasi tablet dengan ekstrak kemangi
menggunakan SLD (Simple Lattice Design).
4. Penentuan profil sifat fisik granul dari ekstrak kemangi dilakukan dengan 3
uji yaitu uji kecepatan alir, kompaktibilitas, dan daya serap air
5. Uji sifat fisik tablet ekstrak kemangi di antaranya keseragaman bobot tablet,
kekerasan tablet, kerapuhan tablet, dan waktu hancur tablet.
b. Saran
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut juga studi literatur secara
kondusif dimaksudkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman
yang lebih baik khususnya dalam formulasi tablet dengan bahan lainnya. Selain
itu, perlu adanya sikap kehati-hatian dan teliti untuk mendukung penelitian
dengan hasil yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia Edisi Ketiga, DEPKES RI : Jakarta.
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi Keempat, DEPKES RI : Jakarta.
Ansel, H. C, 1995, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Ed. IV, UI Press : Jakarta.
Armstrong, N. A, 1986, Tableting in Pharmaceutics the Science of Dosage Form
Design, ELBS : Hongkong.
Badan Litbang Kehutanan, 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Yayasan
Sarana Wana Jaya : Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Materia Medika Indonesia Jilid
VI, Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional, 2000, Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik
Obat Tradisional Edisi 1, Departemen Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
Fassihi, A.R; Kanfer, I; 1986, Effect of Compressibility and Powder Flow
Properties on Tablet Weight Variation : Drug Development and Industrial
Pharmacy, Twelvefifth Edition, Marcel Dekker : New York.
Kibbe, Arthur H, 2000, Handbook of Pharmaceutical Excipient, The
Pharmaceutical Association : New York.
Kuncahyo, Ilham, 2010, Petunjuk Praktikum Formulasi dan Teknologi Sediaan
Padat, Fakultas Farmasi, Universitas Setia Budi : Surakarta.
Lachman, Leon; Lieberman; et all, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri
Edisi Ketiga, UI Press : Jakarta.
Parrot, E. L, 1971, Pharmaceutical Statistics, Practical and Clinical Applications
3rd Ed, Marcel Dekker Inc : New York.
Radji, Maksum, 2005, Peranan Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam
Pengembangan Obat Herbal, Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II, No.3 :
Departemen Farmasi, FMIPA-UI : Jakarta.
Rowe, R.C; Sheskey, P.J and Owen, S.C, 2003, Handbook of Pharmaceutical
Excipient. Pharmaceutical Press : America.
Siregar M. Sc.,Apt, Prof. Dr. Charles J.P, 2010, Teknologi Farmasi Sediaan
Tablet Dasar-Dasar Praktis, EGC : Jakarta.
Sudarsono, et all, 2002, Tumbuhan Obat II (Hasil Penelitian, Sifat-Sifat, dan
Penggunaannya), Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada :
Yogyakarta.
Sulaiman, T.N.S dan Rina Kuswahyuning, 2007, Sediaan Cair Semi Padat,
Laboratorium Teknologi Formulasi Fakultas Farmasi Gadjah Mada
University : Yogyakarta.
Syamsuhidayat SS, dan Hutapea JR, 1991, Inventaris Tanaman Obat
Indonesia I, Departemen Kesehatan RI : Jakarta.
Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, EGC : Jakarta.
Voight, R, 1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V, Gadjah Mada
University Press : Yogyakarta.
Widyapranata, Rika, et all, 2010, Optimasi Formulasi Tablet Ekstrak Daun
Kemangi (Ocimum sanctum L.) dengan Campuran Avicel PH 101 dan
Laktosa secara SLD (Simplex Lattice Design), Universitas Setia Budi :
Surakarta.