POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM
DALAM PELAKSANAAN IBADAH
DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
ANIFATUL KIFTIYAH NIM 072111055
PROGRAM STUDI KONSENTRASI ILMU FALAK
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
SEMARANG 2011
ii
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
Jl. Tugurejo No. A2 Rt 02/Rw 01 Tugurejo
Tugu Semarang
Drs. Slamet Hambali, M.Si
Jl. Candi Permata II / 180 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdri. Anifatul Kiftiyah
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama
ini saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : Anifatul Kiftiyah
NIM : 072111055
Judul Skripsi : Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Mei 2011
Pembimbing I
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Pembimbing II
Drs. H. Slamet Hambali, M.Si
NIP. 19540805 198003 1 004
iii
PENGESAHAN
Nama : Anifatul Kiftiyah
N I M : 072111055
Fakultas/Jurusan : Syari’ah / Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Ilmu Falak
Judul : Posisi Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah
di Keraton Ngayogyakarta hadiningrat
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :
20 Juni 2011
dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan
studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh
gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang, 20 Juni 2011
Dewan Penguji,
Ketua Sidang,
Moh.Khasan, M. Ag
NIP. 19741212 200312 1004
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Penguji I,
Dr. Ali Imron, M. Ag
NIP. 19730730 200312 1003
Penguji II,
H, Ahmad Izzuddin, M. Ag
NIP. 19720512 199903 1003
Pembimbing I,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Pembimbing II,
Drs. H. Slamet Hambali, M.Si
NIP. 19540805 198003 1002
iv
Motto
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu
Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang,
agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala
sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
(Q.S. al-Isra: 12)
Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang
yang bertaqwa terhadap dosa mereka, akan tetapi kewajiban
mereka telah mengingatkan mereka agar mereka bertaqwa.
)Q.S al-An’am: 69)
v
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk:
Bapak dan ibu tersayang
(Mastur dan Suparti), yang dengan sabar dan ikhlas mendidik anknya sampai
saat ini dan seterusnya, yang selalu mengingatkan untuk memberi yang terbaik
dengan cara yang terbaik pula.
Adik-adik ku tersayang (Muhammad Habib Firmansyah dan Ahyi Hidayatullah
Kavi).
Serta guru-guru tercinta semoga ilmu yang diberikan menjadi barokah dan
senantiasa bermanfaat di dunia dan akhirat.
Serta untuk oarang-orang tersayang (keluarga serta sahabat-sahabat yang
selalu ada) yang turut serta mendoakan untuk menjadi lebih baik.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan, demikian juga skripsi ini
tidak berisi pikiran orang lain kecuali referensi
dan informasi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2011
Deklarator
Anifatul Kiftiyah
NIM:72111055
vii
ABSTRAK
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal adanya Penanggalan
Jawa Islam. Hanya beberapa kelompok masyarakat Jawa saja yang masih
menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dari beberapa kelompok tersebut banyak
yang masih menggunakan sistem hisab Aboge. Akan tetapi Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem Asapon. Hal menarik
bagi penulis yang akan penulis teliti adalah tentang posisi penggunaan
Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam hal yang
berkaitan dengan penentuan ibadah. Sebagaimana yang kita tahu masalah yang
berkaitan dengan penentuan waktu-waktu untuk pelaksanaan ibadah merupakan
masalah yang sangatlah krusial.
Dalam penelitian ini, persoalan yang dibahas adalah: 1. Bagaimanakah
sistem penanggalan Jawa Islam yang di pakai oleh Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat?, 2. Bagaimana posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam
pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dibutuhkan
metode penelitian yang bersifat lapangan (Field Research) dengan pendekatan
ilmu falak. Data primer berupa hasil wawancara kepada ahli hisab Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi, berupa
catatan atau tulisan. Analisis dilakukan bersamaan dengan penyajian data
berdasarkan pendekatan penelitian, dengan metode analisis deskriptif. Tujuan dari
analisis deskriptif sendiri untuk memberikan deskripsi mengenai subjek yang
diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Analisis ini digunakan
untuk mengetahui Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta.
Temuan dari hasil skripsi ini adalah pertama, dalam perhitungan
penanggalan Jawa Islam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih
menggunakan cara perhitungan manual dengan rumus sederhana (sistem
aritmatik). Sehingga untuk menentukan tanggal, bulan, dan tahun pihak hisab
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus mengetahui urutan penanggalan
sebelumnya. Kedua, terjadi pergeseran penggunaan penanggalan Jawa Islam
antara sebelum kemerdekaan RI dengan setelah kemerdekaan RI. Saat ini
penggunaan penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam hal penetapan waktu ibadah lebih mengikuti ketetapan pemerintah, akan
tetapi dalam penetapan upacara adat istiadat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
masih tetap menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan.
Kata kunci : Penanggalan, Jawa Islam, Keraton Ngayogyakarta.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa
Islam Dalam Pelaksanaan Ibadah Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang
seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis
sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian,
pengorbanan, nasehat dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis
ungkapkan dalam untaian kata-kata.
2. PD. Pontren Kementrian Agama RI, yang telah memberi kesempatan
mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.
3. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).
ix
4. Drs. H. Eman Sulaeman, MH., selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak
(KIF) yang pertama, beserta staf-staf-nya, yang telah bersusah payah
memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-
teman KIF lainnya mulai dari pertama kita belajar di Semarang sampai saat
ini. Arja’ Imroni, M.Ag, selaku ketua prodi Konsentrasi Ilmu Falak yang ke
dua, yang turut serta membimbing kami saat ini dengan penuh kesabaran.
5. KH. Sirodj Chudlori, dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, selaku Kyai, serta
pembimbing penulis selama di Semarang, serta keluarga besar PP. Daarun
Naajah.
6. Eman Sulaeman, M.H., selaku pembimbing I dan dosen wali, serta Drs.
Slamet Hambali, M.Si, selaku pembimbing II dalam penulisan skripsi ini,
yang telah memberikan masukan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
7. Para abdi dalem Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta khususnya bapak KRT.
Rintaiswara yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data serta
informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi.
8. Keluarga besar Amanatul Ummah yang telah mendidik selama 6 tahun dalam
menimba ilmu.
9. Sayful Mujab dan Tedi Kholiludin atas segala bantuan dan pengarahannya.
10. Mamas, thank’s for everything (yang tidak bisa disebutin satu persatu).
11. Buat temen-temen Genk-Star tersayang (Cepot, Yuyun, Bekong, Ipeh, Yoyo’,
Katrok, Adah band, Faroh, Aro, Mannan, Rifa’, Entink, tahrir, Mbah Ansor,
Faqih, Hasdul, Encep, Raymon, Mas Camcul, Maryantul, Jaelani, Ibor, Opil,
Oki, Hasan, Mahyo, Usro’, Anis, Inung.). Manis pahit perjalanan kita adalah
x
sebuah proses pendewasaan. Sahabat-sahabat terdekat (Katrok, Yoyo’, Cepot)
dan Semarang family (Mannan, Bekong, Yuyun) yang udah baik banget dan
udah jadi yang terbaik.
12. Sobat-sobat D’najira dan ade’-ade’ KIF yang udah ngasih banyak kebaikan.
Khususnya Litle family in badriyah room (kitri, yuyun, latipong, aina, nita)
temen tidur bareng, temen bercerita kesana kemari.
13. Temen-temen HIMMAH Jogja ”Himpunan Mahasiswa Amanatul Ummah
Jogjakarta” (fita, ana, ziqi, syauqi, dkk), temen-temen UIN Sunan Kalijaga
(Arip, Lang) yang udah ngasih hotel gratis selama penelitian.
14. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis
selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
Tidak ada ucapan yang dapat penulis kemukakan disini atas jasa-jasa mereka,
kecuali sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di
atas selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt.
Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna
namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan
yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.
Semarang, 12 Juni 2011
Penulis
Anifatul Kiftiyah
NIM. 072111055
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... v
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. vi
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................. vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ............................................................... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 11
C. Tujuan Penulisan ................................................................... 11
D. Telaah Pustaka ...................................................................... 12
E. Metodologi Penelitian .......................................................... 14
F. Sistematika Penulisan............................................................ 18
BAB II : TINJAUAN UMUN TENTANG SISTEM PENANGGALAN
JAWA ISLAM
A. Sistem Penanggalan ............................................................. 20
1. Metode Hisab ................................................................ 21
2. Metode Rukyah ............................................................... 22
xii
B. Penanggalan Hijriyah ........................................................... 25
1. Hisab Urfi ........................................................................ 25
2. Hisab Haqiqi.................................................................... 27
2.1. Hisab Haqiqi Taqribi ................................................ 28
2.2. Hisab Haqiqi Bi Tahqiqi .......................................... 29
2.3. Hisab Haqiqi Kontemporer ..................................... 30
C. Penanggalan Jawa Islam ....................................................... 38
BAB III : TINJAUAN UMUM TERHADAP POSISI PENGGUNAAN
SISTEM PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM
PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT.
A. Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ....................... 45
1. Awalnya, Mataram Islam ................................................ 45
2. Kasultanan Yogyakarta .................................................. 48
B. Sejarah Penanggalan Jawa Islam .......................................... 50
C. Pengertian dan Macam-macam Ibadah ............................... 52
D. Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat ........................................................................... 56
E. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan
Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat .................... 67
xiii
BAB IV : ANALISIS POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN
JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI
KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT.
A. Analisis Sistem Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat .................................................. 71
B. Analisis Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat ............................................................................ 79
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 91
1. Sistem Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat ........................................... 91
2. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat ............................................ 91
B. Saran ...................................................................................... 92
C. Penutup ................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Mengetahui banyaknya sistem perhitungan awal bulan dalam tahun
Hijriyah, Jawa dan Masehi termasuk salah satu persoalan yang penting untuk
dipelajari karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Terutama dibidang
agama dalam penentuan hari-hari besar agama Islam maupun agama-agama
lainnya. Pentingnya perhitungan awal bulan ini karena masyarakat masih
menggunakan penetapan awal bulan sebagai acuan ibadah secara Syar’i.
Penanggalan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tanpa
adanya penanggalan akan terasa hambar, karena masyarakat akan kesulitan
dalam menentukan kegiatan yang akan mereka lakukan, terutama dalam hal
yang berkaitan dengan waktu. Penanggalan ini telah ada sejak dulu kala, mulai
dari bentuk dan sistem yang sederhana kemudian terus berkembang menjadi
lebih baik dan praktis.
Adanya penanggalan ini kita bisa mengetahui hari, tanggal, bulan dan
tahun. Karena penanggalan merupakan manifestasi dari satuan waktu, yang
satuan-satuan tersebut dinotasikan dalam ukuran hari, tanggal, bulan, tahun
dan sebagainya.
2
Di negara Indonesia terdapat tiga penanggalan yang sudah mengakar
kuat dengan pola kehidupan masyarakat. Penanggalan tersebut adalah
penanggalan Masehi1 (Syamsiyah), penanggalan Hijriyah
2 (Kamariah), dan
penanggalan Jawa3. Penanggalan Masehi biasanya banyak digunakan
masyarakat pada umumnya. Sedangkan penanggalan Hijriyah biasanya
digunakan oleh umat Islam untuk menentukan waktu-waktu ibadah.
Sedangkan penanggalan Jawa hanya digunakan oleh masyarakat Jawa tertentu.
Satu tahun Masehi (masa perjalanan semu Matahari dari titik aries4
hingga kembali ke titik aries lagi) adalah 365,25 hari. Untuk mengatasi angka
pecahan 0,25 hari maka dibuatlah tahun pendek yang disebut dengan tahun
basitoh, dan tahun panjang yang disebut kabisat. Tahun pendek umurnya 365
hari, sedangkan umur tahun panjang 366 hari. Urutan 1, 2, 3, adalah tahun
pendek (basitoh), sedangkan urutan 4 adalah tahun panjang (kabisat)5.
Sedangkan satu tahun Hijriyah rata-rata adalah 354 11/30 hari. Tahun
pendek berumur 354 hari, dan tahun panjang berumur 355 hari. Dalam setiap
30 tahun terdiri dari 11 tahun panjang dan 19 tahun pendek. Tahun-tahun
1 Dinamakan tahun syamsiyah karena perhitungannya dihitung menurut lamanya Bumi
mengeliningi Matahari dalam satu kali putaran. Tahun ini dinamakan juga tahun miladiyah. Zul
Efendi, Ilmu Falak, Bukit Tinggi: STAIN Bukit Tinggi, 2002, hlm. 67. Dalam bukunya Susiknan
Azhari, tahun ini disebut juga tahun tropis, yaitu periode revolusi Bumi lamanya 365 hari 5 jam 48
menit 46 detik. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007, cet. 2 hlm. 17 2 Dinamakan tahun Kamariah karena perhitungannya berdasarkan gerak Bulan
mengelilingi Bumi selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 03 detik atau masanya satu bulan
Kamariah. ibid., hlm.75-76 3 Tahun Jawa di sebut juga tahun Aji Saka, sebab permulaan perhitungannya di mulai
seorang raja dari keturunan Aji Saka, pada tahun 78 M. Slamet Hambali, Almanak Sepanjang
Masa,Semarang: IAIN Walisongo, 2009, hlm. 7 4 Dua buah titik perpotongan ekliptika dan equator sekitar tanggal 21 maret. P. Simamora
, Ilmu Falak (KOSMOGRAFI), Jakarta: CV. Pedjuang Bangsa, 1985, hlm. 13. 5 Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak Cara Praktis Menghitung Waktu Shalat Arah Kiblat
Dan Awal Bulan, Sidoarjo: Aqaba, 2009, cet. 4, hlm. 49
3
panjang (kabisat) ada pada urutan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26,
dan 29.6
Dalam satu tahun terdapat 12 bulan baik tahun Syamsiyah, Kamariah
maupun tahun Jawa, sebagaimana Firman Allah swt:
Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langit dan bumi,
diantaranya terdapat empat bulan haram …". ( al Taubah 36)7
Untuk bulan pada tahun Syamsiyah, jumlah harinya sudah dapat
diketahui secara pasti yaitu 30 atau 31 hari setiap bulannya kecuali untuk
bulan Februari jumlah harinya adalah 28 hari untuk tahun basitoh dan 29 hari
untuk tahun kabisat. Sedangkan untuk tahun Kamariah jumlah hari dalam tiap
bulannya sama dengan satu synodic8 sehingga selama satu tahun jumlah hari
dalam satu bulan akan bergantian antara 29 atau 30 hari, sehingga
penentuannya memerlukan perhitungan yang jelas.
Secara fiqh terdapat dua metode dalam penentuan awal bulan
Kamariah yakni dengan cara hisab dan rukyah, akan tetapi di negara Indonesia
6 Ibid., hlm. 53.
7 Depag RI, al- Qur’an dan Terjemahnya A-Jumanatu ‘Ali,Bandung: CV Penerbit J-ART,
2005, hlm. 193. 8 Synodic atau dalam istilah falak Ijtima’ adalah durasi yang dibutuhkan oleh Bulan
berada dalam suatu fase Bulan baru ke fase Bulan baru berikutnya. Adapun waktu yang
dibutuhkan adalah 29,530588 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Lihat dalam Susiknan
Azhari Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 29.
4
terdapat beberapa metode yakni, Rukyah fi Wilayatul Hukmi, Rukyah Global,
dan Imkanurukyah, Hisab, Kejawen (Aboge, Asapon).9
Rukyah adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit
di langit (ufuk)10
sebelah barat setelah matahari terbenam menjelang awal
bulan Kamariah, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan
Dzhulhijjah, untuk menentukan Bulan baru itu dimulai.11
Metode rukyah ini
berlandaskan dengan hadits Nabi SAW:
:حدثىا عبداهلل به مسلمة عه ما لك عه وافع عه عبد اهلل به عمر رضي اهلل عىهما
وال تفطروا, ال تصىمىا حتى تروا الهال ل : ان رسىل اهلل صلعم ذكر رمضا ن فقال
حتى تروي فان غم عليكم فاقدروا ل
Artinya : “telah diceritakan Abdulah bin Maslamah dari Malik dari Nafi’
dari Abdullah bin Umar R.A.: sesungguhnya Rasullullah SAW
telah menyebutkan bulan ramadln maka bersabda: maka
jangan kamu berpuasa kecuali telah melihat hilal (bulan) dan
(kelak) janganlah kamu berbuka kecuali setelah melihatnya.
Jika kalian di tutupi mendung maka sempurnakanlah. 12
9 Direktorat Pendidikan dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen
Agama RI, Kumpulan Materi Pelatihan Ketrampilan Khusus Bidang Hisab-Rukyat, dalam
makalah Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia, Masjid Agung Jawa Tengah, 2007.
Dalam power pointnya rukyah global disebut juga rukyah Internasional. 10
Ufuk atau horison merupakan garis batas pandangan manusia. Semakin tinggi letak
seseorang semakin luas pandangan yang bisa dilihat. Untuk itu tempat yang paling ideal untuk
melakukan pengamatan Hilal adalah tempat yang tinggi di pinggir laut lepas. Farid Ruskanda, 100
Masalah Hisab & Rukyah, Gema Insani Press: Jakarta, 1996, hlm. 22-23 11
Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: buana Pustaka,
2004, hlm. 173 12
Muhammad Abdul Aziz al-Halidi,1996, Irsyadus Syariy, jilid 4 , Beirut: Darl al-Kotob
al-Alamiyah, hlm. 458.
5
Untuk Rukyah fi Wilayatil Hukmi sendiri adalah rukyah sejauh wilayah
hukum, sehingga dibagian manapun dari Sabang sampai Merauke rukyah
dilakukan, hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.13
Sedangkan Rukyah Internasional14
merupakan rukyah ditujukan pada
seluruh umat Islam di dunia. Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan
batas-batas daerah kekuasaan.15
Sedangkan Imkanurrukyah adalah metode
dalam penentuan awal bulan Kamariah yang dipakai pemerintah untuk
menghilangkan perbedaan.16
Adapun hisab sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti
menghitung. Dalam ilmu falak yang dimaksud dengan hisab adalah suatu
metode yang digunakan untuk mengetahui hilal. Dalam literatur-literatur
klasik ilmu hisab juga sering disebut dengan ilmu Falak.17
Metode hisab ini melandaskan pada firman Allah.
Artinya : ”Dialah yang menjadikan matahari bersinar, bulan bersinar dan
ditetapkannya manzilah manzilah bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan diperhitungkan”
(Q.S Yunus: 5)18
13
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 6 14
Rukyah internasional ini disebut juga dengan rukyah global. Lihat Ahmad Izzuddin
dalam power point Kumpulan Materi Pelatihan Ketrampilan Kuhusus Bidang Hisab-rukyat di
Masjid Agung Jawa Tengah 2007. 15
Ibid,. hlm. 86. 16
Ibid., hlm. xvi. 17
Fakhrudin ar-Razi, At-tafsir al-Kabir, Beirut dar al-Fikr, 1398 H juz 5, p. 479, lihat
Susiknan Azhari , Ilmu Falak, Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007. Cet. 2. hlm. 97-98. 18
Depag RI, al- Qur’an dan Terjemahnya A-Jumanatu ‘Ali, op.cit., hlm. 209.
6
Kaidah yang digunakan dalam ilmu hisab adalah kaidah eksakta,
yaitu dalam menjelaskan kaidah-kaidah Ilmu Hisab modern menggunakan
pendekatan Spherical Trigonometry yaitu ilmu ukur segitiga bola yang
menggunakan data-data hasil observasi. Oleh karena itu, data-data yang
digunakan oleh ilmu hisab modern dapat dikontrol dan dikendalikan oleh
setiap saat dengan hasil observasi. Atas dasar inilah, banyak kalangan
mengatakan bahwa ilmu hisab ini memberikan hasil yang gath’i (pasti) dan
meyakinkan. 19
Perkembangan selanjutnya, hisab terbagi menjadi beberapa kelompok
sehingga kemudian dikenal istilah Hisab Urfi20
dan Hisab Hakiki21
. Yang
termasuk dalam hisab urfi adalah hisab penanggalan Jawa Islam. Sedangkan
istilah Hisab Haqiqi dikalsifikasikan menjadi Hisab Haqiqi Taqribi, Hisab
Haqiqi bil Tahqiqi dan Hisab Haqiqi Kontemporer.22
19
Depag RI. Almanak Hisab Rukyat Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam, 1981, hlm. 15. 20
Hisab Urfi adalah perhitungan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada umur-umur
Bulan secara konvensional, untuk Bulan-bulan ganjil berumur 30 dan bulan-bulan genap berumur
29 hari kecuali pada tahu kabisat untuk bulan yang ke 12 menjadi 30 hari. Setiap satu daur (30
tahun) terdapat 11 tahun kabisat (panjang = 355 hari)bdan 19 tahun basitah (pendek = 354 hari).
Tahun-tahun kabisat jatuh ke 2, 5, 7, 10, 13, 15 (16), 18, 21, 24, 26, dan 29. Selain dari urutan
tersebut merupakan tahun basitah. Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat,
Yogyakarta: Ramadhan press, 2009, hlm. 79 21
Hisab haqiqi adalah hisab yang didasarkan pada perdaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya. Menurut sistem ini umur Bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan melainkan
bergantung posisi Hilal setiap Bulan. Sehingga umur Bulan bisa jadi berturut -turut 29 hari atau 30
hari bahkan boleh jadi bergantian, ibid. 22
Makalah disampaikan dalam seminar Nasional sehari hisab rukyah di Tugu Bogor Jawa
Barat pada tanggal 27 April 1992.
7
Hisab Haqiqi Taqribi, kelompok ini menggunakan data Bulan dan
Matahari berdasarkan data dan table Ulugh Bek23
dengan proses perhitungan
yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara penambahan,
pengurangan, perkalian, dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur
segitiga bola.24
Hisab Haqiqi bi Tahqiqi,yaitu dengan cara menghitung atau
menentukan posisi Matahari, Bulan dan titik simpul orbit Bulan dengan orbit
Matahari dalam sistem koordinat ekliptika. Artinya sistem ini menggunakan
tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan diperhitungkan relatif lebih rumit, serta
mamakai ilmu ukur segitiga bola.25
Hisab Haqiqi Kontemporer, metode ini menggunakan hasil penelitian
terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan, sistem
koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan teknologi dan
sains. Cara hitung lebih mudah dengan bantuan alat teknologi yang
berkembang. Rumus-rumusnyapun lebih disederhanakan.26
Akibat dari pengelompokan-pengelompokan dalam sistem hisab tidak
jarang terjadi perbedaan perhitungan antara kelompok yang satu dengan yang
lain sehingga di antara sesama madzhab hisabpun sering terjadi perbedaan
dalam penentuan awal bulan Kamariah, hal ini karena metode yang digunakan
23
Ahli astronomi yang lahir di Salatin (1393 M) dan meninggal di Iskandaria (1449)
dengan obsevatoriumnya ia berhasil menyusun tabel data astronomi yang banyak digunakan pada
perkembanga ilmu falak masa-masa selanjutnya. Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu
Falak,Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm. 117 24
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha,Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 7-8. 25
Ibid. 26
Ibid.
8
dalam menghitung menggunakan metode yang berbeda pula. Termasuk dalam
perhitungan penanggalan Jawa Islam yang termasuk dalam hisab urfi.
Sedangkan hisab kejawen lebih dikenal dengan penanggalan Jawa
Islam yang mempunyai arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari,
tanggal, keagamaan, akan tetapi menjadi dasar dan ada hubungannya dengan
yang disebut petangan jawi. Yakni perhitungan baik buruk yang dilukiskan
dalam lambang dan watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, pranatamangsa,
wuku, dan lain-lainya.27
Penanggalan Jawa Islam ini merupakan penggabungan antara
penanggalan Jawa Saka dan penanggalan Hijriyah. Nama hari dalam
Penanggalan Jawa Islam berasal dari kata-kata Arab yakni Ahad, Isnain,
Tsalasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabtu. Nama-nama itu dipakai sejak
pergantian penanggalan Jawa Saka menjadi penanggalan Jawa Islam yang
nama ilmiahnya Anno Javanico. Pergantian penanggalan itu mulai 1 Sura
tahun alip 1555 J yang jatuh pada 1 Muharram 1043 H, sama dengan 8 Juli
1633 M. Penanggalan tersebut merupakan bukti akulturasi agama Islam dan
kebudayaan Jawa yang luar biasa.28
Sebagaimana telah diketahui, sistem penanggalan Jawa Islam pada
masa lampau dikenal adanya pembagian enaman (Sadwara), limaan
(Pancawara) hari yang tertera dalam prasasti dan masih berlaku pada masa
27
Suwardi Endraswar, Budaya Jawa,Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005, hlm. 151.
Dikutip dari Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Atas Penentuan Poso dan
Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah, Semarang: Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2006, hlm. 15 28
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006, hlm. 237
9
sekarang di Bali. Sedangkan dalam sistem pancawara pada Jawa modern
masih mengenal istilah: Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.29
Penanggalan Saka mengikuti sistem Solair atau Syamsiyah, perjalanan
Bumi mengitari Matahari, sedangkan penanggalan Sultan Agung mengikuti
sistem Lunair atau Kamariah, yakni perjalanan Bulan mengitari Bumi seperti
penanggalan Hijriyah.30
Sebagaimana sebuah penanggalan, bahwa penanggalan Jawa Islam
merupakan salah satu hasil warisan dan budaya asli bangsa Indonesia. Dan
saat ini pun mulai hilang dan luntur. Karena sudah jarang lagi masyarakat
yang menganutnya. Akan tetapi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih
menggunakan penanggalan Jawa Islam.31
Yang sampai saat ini masih
dipegangi oleh mayoritas umat Islam Jawa sebagaimana di kalangan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam menentukan hari-hari besar seperti acara
Maulud Nabi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Grebegan), di Keraton
Cirebon (Punjung Jimat), penentuan satu Suro, Poso dan hari raya (awal-akhir
Poso dan Riyoyo). Pemakaian prinsip Asapon ini memang sudah semestinya,
karena menurut perhitungan yang berlaku adalah pemikiran Asapon, bukan
pemikiran-pemikiran sebelumnya seperti Aboge, Ajumgi atau Akawon yang
semestinya sudah dinasah (diganti).32
29
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban, Jakarta: PT Logos Wancana Ilmu,
1998, hlm. 274-275. 30
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, op. cit., hlm. 242 31
Terbukti masih adanya penanggalan yang bercorak Jawa yang masih digunakan dan di
cetak oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. 32
Mengenai alasan harus adanya penggantianya prinsip dapat dilhat dalam Slamet
Hambali, Almanak Sepanjang Masa, op.cit., hlm 7-9.
10
Suku Jawa sendiri adalah kelompok etnis terbesar di Asia Tenggara.
Etnik ini berjumlah sekitar empat puluh persen dari dua ratus juta penduduk
Indonesia. Kebanyakan dari mereka adalah pemeluk agama Islam.33
Adapun
pusat dari peradaban Jawa ini terletak di Jawa Tengah yang berpusat di
Surakarta dan Yogyakarta yang biasa disebut dengan Kejawen.34
Banyak orang Jawa yang sangat mencintai peradaban mereka sendiri.
Seringkali mereka melihatnya sebagai intisari kebudayaan mereka. Mereka
gemar sekali menjelaskan praktik-praktik keagamaan yang berhubungan
dengan adat-istiadat, perhitungan hari, dan hal-hal sejenisnya. Untuk
memahami apa yang terjadi, kita harus menyelami latar belakang pemikiran
Jawa. Termasuk pemikiran mereka tentang penanggalan Jawa Islam yang
masih mereka gunakan sampai saat ini.
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal adanya
Penanggalan Jawa Islam. Hanya beberapa kelompok masyarakat Jawa saja
yang masih menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dari beberapa kelompok
tersebut banyak yang masih menggunakan sistem hisab Aboge. Akan tetapi
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem Asapon.
Hal menarik bagi penulis yang akan penulis teliti adalah tentang posisi
penggunaan Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam hal yang berkaitan dengan penentuan ibadah. Sebagaimana yang kita
tahu masalah yang berkaitan dengan penentuan waktu-waktu untuk
pelaksanaan ibadah sangatlah krusial.
33
Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Yogyakarta :PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2001, hlm. 9 34
Ibid, hlm. 11.
11
Oleh karena itu yang menjadi alasan penulis dalam penelitian ini
adalah sejauh ini Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih menggunakan
sistem penanggalan Jawa Islam. Dengan alasan di atas, maka penulis
terdorong untuk mengadakan penelitian tentang posisi penggunaan
penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat khususnya
dalam bidang agama dengan judul “POSISI PENGGUNAAN
PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH
DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT.”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis kemukakan
pokok masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah sistem penanggalan Jawa Islam yang dipakai oleh
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?
2. Bagaimana posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam
pelaksanaan ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dan manfaat dari adanya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sistem perhitungan penanggalan Jawa Islam yang
dipakai di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
2. Untuk mengetahui posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam
pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
12
D. TELAAH PUSTAKA
Sejauh penelusuran penulis sudah ada beberapa buku yang membahas
tentang sistem penanggalan Jawa Islam. Lebih khususnya lagi dalam buku-
buku falak dan penelitian hisab rukyah. Dalam skripsi Ahmad Syifa’ul Anam
Studi tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab Khulasoh alWafiyah
dengan metode hakiki bi tahqiq yang menguraikan bagaimana hisab awal
bulan dengan metode kitab Khulasoh al-Wafiyah.35
Dalam penelitian Ahmad Izzuddin tentang pemikiran Hisab Rukyah
Muhammad Mas Mansur al-Batawi dalam kitab Sullamun Nayyirain.36
pemikiran Zubaer Umar al-Jaelany dalam kitab Kulasatul Wafiyah37
.
Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil dalam kitab Fath al-Rauf al-Mannan.38
Dalam dua penelitian ini membahas tentang pemikiran studi tokoh, jadi jelas
hal yang dibahas tentang pemikiran yang terkait dengan tokoh tersebut.
Kemudian Skripsi Ahmad Izzuddin Analisis Kritis Tentang Hisab Awal Bulan
Qamariyah dalam Kitab Sullamun Nayyirain yang menguraikan hisab awal
bulan menurut kitab Sullamun Nayyirain.39
35
A.Syifaul Anam, Studi tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab Khulasoh
alWafiyah dengan metode haqiqi bi tahqiq,Skripsi Sarjana fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, 2001,t.d 36
Ahmad Izzuddin, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional(Studi Atas Pemikiran
Muhammad Mas Manshu al-Batawi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2004. 37
Ahmad Izzuddin, Zubaer Umar Al-Jaelany Dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah Di
Indonesia, Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2002. 38
Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi Atas Kitab Fath al-Rauf
al-Mannan), Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2005. 39
Ahmad Izzuddin, Analisis kritis tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab
Sullamun Nayyirain, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang,1997,td.
13
Selain itu Ahmad Izzuddin dalam penelitiannya Fiqh Hisab Rukyah
Kejawen Studi Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa
Kenteng Ambarawa Jawa Tengah 40
, penelitian yang ketiga ini berisi tentang
hisab jawa semacam Aboge dan Asapon yang lebih ditekan kan kepada
penelitian di dusun Golak, desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah.
Dalam skripsi Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan
Kamariah Sistem Aboge di Desa Kracak Kecamatan Ajibaranag Kabupaten
Banyumas Jawa Tengah,41
M, Rizal Zakaria, Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Penggunaan Kalender Jawa Islam Aboge Sebagai Ancer-Ancer
Rukyah Dalam Penentuan 1 Syawal 1430 H Aliran Thoriqoh Naqsabandiyah
Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang.42
Penulis juga berpedoman terhadap penelitian yang dilakukan oleh
Slamet Hambali tentang penentuan Poso dan Riyoyo di Keraton Yogyakarta
“Melacak Metode Penentuan Poso Dan Riyoyo Kalangan Keraton
Yogyakarta”. Disana menjelaskan tentang bagaimana cara Keraton
Yogyakarta menentukan Poso dan Riyoyo yang masih berpedoman terhadap
penanggalan Jawa Islam.43
40
Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Penentuan Poso dan
RiyoyoMasyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah , Semarang: Fakultas
Syari’ah IAIN Walisongo, 2006. 41
Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge di Desa
Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, Semarang: IAIN Walisongo,
2010, td. 42
M. Rizal Zakaria, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Kalender Jawa Islam
Aboge Sebagai Ancer-ancer Rukyah dalam Penentuan 1 Syawal 1430 H Aliran Thoriqoh
Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010, td. 43
Penelitian Slamet Hambali, Melacak Metode Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan
Keraton Yogyakarta.
14
Dari beberapa tulisan di atas hanya membahas tentang sistem
penanggalan Jawa beserta sejarah pergantian dari penanggalan Jawa asli ke
sistem penanggalan Jawa Islam. Dalam kajian pustaka tersebut menurut
penulis belum ada tulisan yang membahas masalah bagaimana sistem serta
posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
E. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research)44
yang berupaya mengungkap permasalahan penggunaan penanggalan
Jawa Islam dalam hal ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang
disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.45
Mengutip
Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
44
Penelitian lapangan adalah penelitian yang mempelajari secara intensif latar belakang,
status terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti individu,
mazhab, lembaga, atau komunitas. Dan merupakan penyelidikan mendalam mengenai suatu unit
sosial sedemikian rupa sehingga menghasilakan gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan
lengakap mengenai unit sosial tersebut. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007, hlm. 8. 45
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996,
hlm. 29. Sementara Hadawi dan Mimi Martin mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan
sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk
simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam
bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan
statistik / matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996, hlm. 174.
15
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.46
2. Metode pengumpulan data
a. Wawancara
Wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab dengan
lisan pula. Ciri utama dari interview adalah adanya kontak langsung
dengan tatap muka antara pencari informasi (interviewer) dan sumber
informasi (interviewe).47
Dalam metode interview ini, penulis mengadakan wawancara
dengan petugas keraton ndalem (abdi dalem) untuk mendapatkan
informasi sehubungan dengan penelitian ini. Dengan mewawancarai
ahli hisab keraton bapak KRT. Rintaiswara
b. Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari
sumber non manusia. Sumber ini terdiri atas dokumen atau rekaman.48
Didalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki
benda-benda tertulis seperti buku-buku Karaton Ngayugyakarta
Hadiningrat Pusat Budaya Jawa,, dan lain sebagainya. Teknik ini
digunakan untuk memperoleh data tentang keadaan disekitar Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
46
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Rosdakarya, 2002,
hlm. 3. 47
Ibid., hlm. 165. 48
Syamsuddin, Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 108.
16
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan, ada dua jenis data yang
menjadi sumber penelitian ini, yakni data primer dan sekunder.
1) Sumber Data Primer
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan sumber data
primer untuk memperoleh data-data dalam penyusunan proposal, seperti
buku-buku atau kitab-kitab yang berkaitan erat dengan rumusan masalah
yang dibahas dalam proposal ini. Karena data primer merupakan sumber
informasi yang mempunyai wewenang serta tanggung jawab terhadap
pengumpulan ataupun penyimpanan data. Sumber primer dalam penelitian
ini adalah data hasil wawancara dengan ahli hisab keraton bapak KRT.
Rintaiswara.
2) Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber informasi yang secara tidak langsung
mempunyai wewenang dan tanggung jawab terhadap informasi yang ada
padanya.49
Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya menggunakan sumber data
primer saja. Akan tetapi sumber data sekunder juga dibutuhkan untuk
melengkapi data-data serta keakurasian penelitian ini. Merupakan sumber
data pendukung yang digunakan untuk memperkuat sumber utama.
Sehingga akan lebih valid dalam menemukan kesimpulan.
49
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, op. cit.,hlm. 43
17
3. Metode analisis
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.50
Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini
menggunakan metode analisis deskriptif yakni suatu metode penelitian
yang dimaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau
kejadian-kejadian.51
Metode ini digunakan untuk menggambarkan
konsep sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang
terkandung dalam konsep tersebut.
Setelah data terkumpul, data kemudian diolah dan dilakukan
analisis data Metode yang digunakan dalam menganalisis adalah metode
analisis deskriptif. Tujuan dari analisis deskriptif sendiri untuk
memberikan deskripsi mengenai subjek yang diteliti dan tidak
dimaksudkan untuk pengujian hipotesis.52
Sebuah usaha untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan secara umum dan
menginterpretasikan mengenai apa yang ada tentang kondisi, pendapat
yang sedang berlangsung serta akibat yang terjadi atau kecenderungan
yang tengah berkembang. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
posisi penggunaan sistem penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan
ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
50
Lexy J. Moeloeng, ibid., 103. 51
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
18. 52
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, op. cit., hlm. 126
18
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam pengajuan proposal ini penulis akan membahas masalah-
masalah sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian.
Sebelumnya penulis sajikan sistematika sesuai dengan urutan pembahasannya,
melalui tahap-tahap berikut ini.
BAB I: Pendahuluan
Akan membahas mengenai pendahuluan yang didalamnya berisi
tentang judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Tinjauan Umun tentang Penanggalan Jawa Islam
Menjelaskan mengenai tinjauan umum tentang Sistem Penanggalan
Jawa Islam. Dalam bab ini berisi tentang sistem penanggalan, Penanggalan
Hijriyah dan Penanggalan Jawa Islam. Menjelaskan tentang definisi serta
cara perhitungan dari penanggalan Hijriyah dan penanggalan Jawa Islam.
BAB III: Tinjauan Umum Terhadap Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan
Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menjelaskan mengenai tinjauan umum terhadap Posisi Penggunaan
Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Meliputi, Sejarah Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, Sejarah penanggalan Jawa Islam, Sistem Penanggalan Jawa
Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Posisi Penggunaan
Penanggalan Jawa Islam dalam pelaksanaan ibadah di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagaimana cara perhitungan serta seberapa
19
besar peran Penanggalan Jawa Islam ini dalam pelaksanaan ibadah terkait
dengan Posisi penggunaannya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
BAB IV: Analisis Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menjelaskan mengenai analisis terhadap Posisi Penggunaan
Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pemaparan tentang pemikiran penulis untuk menganalisis Sistem
Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat serta Posisi Penggunaan Sistem Penanggalan
Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
BAB V Penutup
Menjelaskan mengenai Penutup, bab ini merupakan bab penutup
skripsi yang meliputi: kesimpulan, saran-saran dan penutup.
20
BAB II
TINJAUAN UMUN TENTANG SISTEM PENANGGALAN JAWA ISLAM
A. Sistem Penanggalan
Penanggalan atau yang biasanya disebut juga dengan kalender
adalah sebuah sistem pengorganisasian dari satuan-satuan waktu, untuk
tujuan penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang.
Penanggalan berkaitan erat dengan peradaban manusia, karena
penanggalan mempunyai peran penting dalam penentuan waktu berburu,
bertani, bermigrasi, peribadatan, serta perayaan-perayaan. Peran penting
penanggalan ini lebih dirasakan oleh umat-umat dahulu. Walaupun
demikian, penanggalan tidak kurang penting peranannya bagi umat
sekarang.1
Penentuan penanggalan pada penanggalan Islam adalah berdasar
atas penampakan al-hilal (bulan baru atau sabit pertama setelah terjadinya
ijtima’)2 sesaat sesudah Matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya
bulan Kamariah, walau tidak dijelaskan di dalam al-Hadis maupun al--
Qur'an, nampaknya karena adanya kemudahan dalam menentukan awal
bulan, serta kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk
1 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 115
2 Ijtima’ juga disebut Iqtiran, yaitu antar Bumi dan Bulan berada pada bujur astronomi,
(Dawairu al-Buruj) yang sama, dalam istilah astronomi disebut konjungsi, para ahli hisab
dijadikan pedoman untuk menentukan Bulan baru (Kamariah), Badan Hisab Rukyah Depag RI,
Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm.
219.
21
(fase) Bulan3. Hal ini berbeda dari penanggalan Syamsiyah yang
menekankan pada konsistensi terhadap perubahan musim, tanpa
memperhatikan tanda perubahan hariannya.4
Untuk itu dalam penentuan waktu-waktu ibadah ini, khususnya
dalam penentuan awal bulan Kamariah dibagi menjadi 2 kelompok:
1) Metode Hisab
Dalam bahasa Inggris kata hisab disebut Arithmatic yaitu ilmu
pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.5
Kata ’hisab’ secara istilah adalah perhitungan benda-benda langit
untuk mengetahui kedudukan suatu benda yang diinginkan. Dalam
penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan
Kamariah, yang dimaksud adalah untuk menentukan kedudukan
Matahari atau Bulan. Sehingga, kedudukan Matahari dan Bulan
tersebut dapat diketahui pada saat-saat tertentu, seperti pada saat
terbenamnya Matahari.6
Kata Hisab dalam al-Qur’an yang mempunyai arti ilmu hisab
terdapat dalam surat Yunus ayat 5, yang berbunyi :
3 Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab
Ittifaq Dzatil Bain, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007, hlm. 2. 4 Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = Januari (31), Februari (59/60), Maret
(90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni (181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244),
September (273/274), Oktober (304/305), Nopember (334/335), Desember (365/366) lihat: Sayful
Mujab, op.cit., hlm. 2 5 Badan Hisab Rukyah Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 14. 6 Maskufa, Ilmu Falak, Jakarta: GP Press, 2009, hlm. 148.
22
Artinya :“ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu)”(Q.S Yunus: 5).7
2) Metode rukyah
Kegiatan merukyat merupakan komponen yang sangat penting
pula dalam perhitungan awal bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan
merukyah merupakan konsep syari’ yang diajarkan Nabi Muhammad
kepada umatnya. Kegiatan ini pula merupakan observasi praktis
berupa pengamatan untuk terciptanya hasil yang ingin dicapai dalam
kegiatan perhitungan awal bulan Hijriyah atau Kamariah. Kegiatan ini
pula bisa dijadikan kegiatan untuk mengoreksi perhitungan atau hisab
yang dipakai8.
Istilah rukyah dilihat dari metodenya berati melihat atau
mengamati al-hilal dengan mata ataupun dengan alat bantu seperti
teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru
Kamariah.9 Apabila al-hilal berhasil di lihat maka malam itu dan
keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru.
Sedangkan apabila al-hilal tidak berhasil dilihat karena gangguan
7 Ibid, hlm. 306.
8 Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab
Ittifaq Dzatil Bain, op. cit., hlm.9-10. 9 Abd. Salam Nawawi, Algoritma Hisab Ephimeris, Semarang: Pendidikan dan Pelatihan
Nasional Pelaksanaan Rukyah Nahdotul Ulama, 2006, hlm. 130.
23
cuaca maka tanggal satu Bulan baru ditetapkan pada malam hari
berikutnya atau Bulan di-istikmal-kan (digenapkan) 30 hari.
Bulan-bulan yang menjadi sorotan oleh metode rukyah ini adalah
dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah. Dua
Bulan pertama berkaitan dengan puasa dan hari raya Idul Fitri, yang
ketiga berkaitan dengan ibadah Haji. Keberhasilan dalam pelaksanaan
rukyat sendiri sangatlah bergantung pada kondisi ufuk saat Matahari
terbenam dan ketajaman mata perukyah.
Diketahui pula bahwa perbedaan dalam menentukan awal bulan
Kamariah juga terjadi karena perbedaan memahami konsep permulaan
melihat hilal. Disinilah kemudian muncul berbagai aliran mengenai
penentuan awal bulan.
Dalam al-Qur’an dijelaskan beberapa petunjuk yang dijadikan
landasan hisab rukyah untuk penentuan awal bulan Kamariah. Dasar
hukum tersebut adalah:
1. Dasar hukum al-Qur’an antara lain :
al-Baqarah : 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; (Q.S. al-Baqarah : 189).
24
al-Baqarah ayat 185
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.(Q.S. al-Baqarah:185 )
Surat al-Isra ayat 12
Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu
Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya
kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan
segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Q.S. al-Isra:
12)
2. Dasar hukum dari hadis antara lain:
رة حذثنا آدم حذثنا شعبت حذثنا محمذ بن زاد قال سمعت أبا ىر
و وسلم أو قال قال أبو صلى اللو عل اللو عنو قول قال النب رض
و وسلم صوموا لرؤتو وأفطروا لرؤتو فإن غب القاسم صلى اللو عل
كم فأكملوا عذة شعبان ثلاثن )رواه البخاري(عل
Artinya: Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah
bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata saya
menedengar Abu Hurairah dia berkata Nabi Saw bersabda atau
berkata Abu Qosim Saw berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
25
berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh awan
terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari. 10
Dalam melakukan rukyat, perbedaan pamahaman matlak masih
menjadi permasalahan fenomenal. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa hasil rukyat disuatu tempat berlaku untuk seluruh dunia.
Pemahaman ini karena menganggap khitab dalam hadis-hadis hisab
rukyat ditujukan kepada seluruh dunia Islam. Kelompok ini terkenal
dengan Rukyat Global/ Internasional, di Indonesia seperti Hizbut
Tahrir dan Hizbullah. Pendapat lain menayatakan bahwa hasil rukyat
berlaku bagi suatu wilayah kehakiman yang menetapkan hasil hisab
tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan istilah Ru’yat fi al-Wilayah al-
Hukmi.11
B. Penanggalan Hijriyah
1) Hisab urfi
Urfi diambil dari kata العرف yang berarti العادة المرعت yaitu:
Convensi atau kebiasaan yang dipelihara12
. Hisab urfi adalah
perhitungan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada umur-
umur bulan secara konvensional, untuk bulan-bulan ganjil berumur
30 dan bulan-bulan genap berumur 29 hari kecuali pada tahun
kabisat untuk bulan yang ke 12 menjadi 30 hari. Setiap satu daur
(30 tahun) terdapat 11 tahun kabisat (panjang = 355 hari)bdan 19
10 Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, edisi ke-2, zus. 6, hlm. 481, hadis ke- 1776
11 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah Dalam
Penentuan Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha), Jakarta: Erlangga, 2007, hlm. 87. 12
Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1984, Cet. I, hlm. 920.
26
tahun basitah (pendek = 354 hari). Tahun-tahun kabisat jatuh ke 2,
5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Selain dari urutan tersebut
merupakan tahun basitah Sistem ini tidak berbeda dengan
penanggalan masehi. Bilangan hari pada tiap bulan berjumlah tetap
kecuali pada tahun-tahun tertentu yang jumlahnya lebih panjang
satu hari.13
Adapun contoh cara perhitungan hisab urfi untuk
mencari 1 Muharram 1431 H sebagai berikut:14
210 / 1431 = 6, 8142857114
1260–
30 / 171
150 –
21
Setelah itu pertemukan antara angka 21 dengan 150 pada
tabel halaman 212 maka hasilnya sebagai hari. Pertemuan antara
150 dengan 21 adalah angka 5. Sedangkan dalam kitab al-
Khulasotul Wafiyah hitungan hari dimulai dengan hari Ahad. Maka
hasil perhitungan hisab urfi diatas bahwasannya 1 Muharram jatuh
pada hari Kamis.15
Sistem penanggalan hisab urfi senantiasa menggunakan
bilangan tetap yang tidak pernah berubah. Oleh karena itu, kadang
hasil perhitungannya berbeda dengan hasil dari perhitungan hisab
haqiqi dan kadang berbeda pula dengan penampakan Bulan (hilal).
13
Muhyidin Khazin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta: Ramadhan
press, 2009, hlm. 79 14
Zubair Umar Al-Jaelani, al-Khulashatul Wafiyah, Surakarta : Melati, tt., hlm. 12. 15
Ibid. hlm. 105
27
Perlu diketahui bahwa hisab ini tidak hanya dipakai di negara
Indonesia saja. Akan tetapi sudah digunakan di seluruh dunia Islam
dalam kurun waktu yang sangat panjang. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat
jika digunakan untuk menentukan awal bulan Hijriyah. Hal ini
dikarenakan rata-rata peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan
bentuk hilal (new moon) pada awal bulan.16
2) Hisab haqiqi
Hisab haqiqi adalah perhitungan hisab berdasarkan
perhitungan matematik dan astronomis akan tetapi tingkat
perhitungannya juga bermacam-macam masih berupa pendekatan-
pendekatan kasar, sampai yang sangat teliti. Dari yang hanya
menggunakan tabel-tabel dan melakukan hitungan-hitungan
interpolasi dan ekstarpolasi sederhana, sampai kepada perhitungan
yang komplek dengan bantuan komputer berdasarkan perhitungan
trigonometri bola. Dari yang dasar perhitungannya menggunakan
kitab klasik sampai yang mengacu kepada astronomi modern.
Perhitungan astronomi ini pada umumnya menetapkan hilal
dianggap sebagai wujud (syah) berdasarkan pada kriteria dasar
yang sangat penting ijtima’ harus terjadi sebelum Matahari
tenggelam.17
16
Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia, Studi Atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), 2002, hlm. 24. 17
Tono Saksono, Mengkompromikan Hisab Rukyat, Amythas Publicita, Center For
Islamic Studies: Jakarta, tt., hlm. 144-145
28
2.1. Hisab haqiqi taqribi
Mengenai sejarah hisab Taqribi sendiri, pada tanggal 27 april
1992 di Tugu Bogor, dihasilkan kesepakatan paling tidak ada tiga
klasifikasi pemikiran hisab di Indonesia yakni Hisab Haqiqi
Taqribi, Hisab Haqiqi Tahqiqi, dan Hisab Haqiqi Kontemporer.
Dalam pertemuan ini juga disepakati bahwasanya kitab Fath al-
Rauf al-Mannan merupakan sebuah karya monumental oleh Abdul
Jalil yang dikategorikan sebagai hisab taqribi.18
Dalam mencari ketinggian hilal, menurut sistem hisab ini
dihitung dari titik pusat Bumi, bukan dari permukaan Bumi.
Berpedoman pada gerak rata-rata Bulan, yakni setiap harinya
Bulan bergerak ke arah timur rata-rata 12 derajat. Sehingga
operasional hisab ini adalah dengan memperhitungkan selisih
waktu ijtima' (konjungsi) dengan waktu Matahari terbenam
kemudian dibagi dua19
. Sebagai konsekuensinya adalah apabila
ijtima' terjadi sebelum Matahari terbenam, maka praktis Bulan
(hilal) sudah di atas ufuq ketika Matahari terbenam. Hisab ini
masih belum dapat memberikan informasi tentang azimuth Bulan
maupun Matahari20
.
Mengenai kitab-kitab yang juga termasuk klasifikasi hisab
haqiqi taqriby adalah; adalah al-Sulam al-Nayirain (Muhammad
18
Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Ruyah Abdul Jalil (Study Atas Kitab Fath al-Rauf
al-Mannan, Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2005, hlm. 38. 19
Ibid. 20
Sek.Jen PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah Falakiyah
PBNU, 2006. Hlm. 49
29
Manshur), Tadzkiroh al-Ikhwan (Dahlan Semarang), Qawaid al-
Falakiyah (Abdul Fatah), Assyamsu Wal Qomar (Anwar Katsir),
Syams al-Hilal jilid 2 (Noor Ahmad), Fath al-Rauf al-Mannan,,
dan sebagainya.21
2. 2. Hisab haqiqi bi tahqiqi
Hisab Haqiqi bi Tahqiqi adalah hisab awal bulan yang
perhitungannya berdasarkan gerak Bulan dan Matahari yang
sebenarnya, sehingga hasil perhitungannya cukup akurat. Saat
melakukan perhitungan kertinggian hilal manggunakan data
deklinasi dan sudut waktu Bulan serta harga lintang tempat
observer yang diselesaikan menggunakan rumus ilmu ukur segitiga
bola atau Spherical trigonometri.
Dalam menghitung ketinggian hilal, sistem hisab ini
memperhatikan posisi observer (Lintang tempat maupun Bujur
tempatnya), deklinasi22
Bulan dan sudut waktu Bulan atau
asensiorecta. Bahkan lebih lanjut diperhitungkan pula pengaruh
refraksi (pembiasan sinar)23
, paralaks (beda lihat), dip (kerendahan
ufuq) dan semi diameter Bulan. Hisab Haqiqi bi al-Tahqiq ini
mampu memberikan informasi tentang waktu terbenamnya
21
Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Ruyah Abdul Jalil (Study Atas Kitab Fath Al-Rauf
Al-Mannan), op,cit., hlm. 79. 22
Deklinasi atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan “Mail” adalah jarak benda
langit sepanjang lingkaran yang dihitung dari equator sampai benda langit tersebut. Lihat dalam
bab “Mail” dalam Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm.
51. 23
Refraksi yang dalam bahasa arab disebut dengan “Daqo’iqul Ikhtilaf” adalah
perbedaan antara tinggi suatu benda langit yang terlihat dengan tinggi benda langit yang
sebenarnyasebagai akibat adanya pembiasan / pembelokan sinar. Lihat dalam bab “Daqa’iqul
Ikhtilaf” dalam: ibid, hlm. 19.
30
Matahari setelah terjadi ijtima', ketinggian hilal, azimuth Matahari
maupun Bulan untuk suatu tempat observasi.24
Buku-buku yang termasuk kategori hisab ini adalah Badi’atul
Misal (Makshum bin Ali), Khulasatul Wafiyah (Zubair Umar al-
Jailani), dan Nurul Anwar (Noor Ahmad SS)25
2. 3. Hisab haqiqi kontemporer
Pemikiran dalam hisab ini menggunakan terobosan dalam
dunia falak yang memanfaatkan software berupa program-program
aplikasi komputer yang secara umum digunakan dalam dunia
astronomi. program-program tersebut disusun menggunakan acuan
rumus-rumus algoritma yang rumit.
Untuk sistem hisab generasi ke tiga dari sistem hisab haqiqi,
dan kelima dari sistem hisab secara umum. Pada dasarnya
memiliki kemiripan dengan sistem hisab Haqiqi bi al-Tahqiq,
yaitu sama-sama telah memakai hisab yang perhitungannya
berdasarkan data astronomis yang diolah dengan spherical
trigonometri (ilmu ukur segi tiga bola) dengan koreksi-koreksi
gerak Bulan dan Matahari yang sangat teliti26
.
Hisab kontemporer merupakan perkembangan lanjut atau
penyempurnaan dari hisab tahqiqi. Gerak Bulan yang banyak
dipengaruhi oleh gravitasi benda-benda langit sangat diperhatikan,
24
Sayful Mujab, op. cit, hlm. 9-10. 25
Ahmad Izzuddin, Pemikiran Hisab Ruyah Abdul Jalil (Study Atas Kitab Fath Al-Rauf
Al-Mannan), op,cit., hlm. 80 26
Sayful Mujab, op. cit., hlm 9-10..
31
sehingga begitu banyak koreksi-koreksi gerak Bulan yang
dilakukan untuk mendapatkan posisi Bulan yang sebenarnya.
Adapun rumus untuk menghitung ketinggian hilal pada dasarnya
sama dengan hisab tahqiqi, hanya saja pada hisab kontemporer ini
diberikan koreksi lanjut, yaitu Parallaks (dikurangkan),
semidiameter Bulan (ditambahkan), dan kerendahan ufuk
(ditambahkan), sehingga hasil yang diperoleh adalah posisi hilal
yang sebenarnya menurut pandangan mata di permukaan bumi.
Buku-buku yang termasuk kategori hisab kontemporer adalah,
Ephimaris Hisab Rukyat, Almanak Nautika, dan Jeean Meus, dan
hisab yeng terprogram dalam komputer.27
Cara perhitungan hisab awal bulan Kamariah dengan
menggunakan sistem ephemeris sebagai berikut: seumpama
menghisab awal bulan Syawal 1426 H untuk markaz Parangtritis
dengan data astronomis : lintang Parangtritis : -8o 01’ LS, bujur
Parangtritis : 110o 17’ BT. Langkah-langkah yang harus ditempuh :
1. Menghitung perkiraan Akhir Ramadhan 1426 H
29 Ramadhan 1431 H dengan markaz Parangtritis Yogyakarta.
1430/30 28
= 47 Daur
47 daur x 1063129
= 499657 hari
20 th = (20x 354) + 730
= 7087 hari
27
Ibid., hlm. 80-81 28
1 siklus dalam tahun Hijriyah yakni 30 tahun dengan 19 tahun bashitoh dan 11 tahun
kabisat. 29
Jumlah hari dalam 1 siklus tahun Hijriyah ( 30 tahun ) yakni 354 x 19 di tambah 355 x
11.
32
8 bl = (30x4) + (29x4)31
= 265 hari32
= 507009 hari
Tafawut (Angg M – H) = 227012 hari 33
502 DM (502 X 146134
) = 73402135
hari : 1461
= 733422 hari
Sisa = 599 hari : 365
1 th (1 x 365) = 365 hari
234 hari
Anggaran Consili dan Gregorius (10 + 3 + 3 ) = 16 hari36
= 250 hari : 30,4
8 (Agustus) jumlah akhir = 243 hari
7 hari
Menurut Hisab Urfi 29 Ramadhan 1431 H bertepatan tanggal 7 September
2010 M.
30
Ditambah 6 hari karena dalam 15 th terdapat 6 tahun kabisat. Untuk mengetahui jumlah
tahun kabisatnya, angka tahun di bagi 30 jika sisanya terdapat angka 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24,
26, dan 29. Umur bulan Dzulhijjah untuk tahun kasibat 30 hari. 31
Jumlah hari dalam tahun Hijriyah : Muharam 30 hari, Shafar 59 hari, R. Awal 89 hari, R
Akhir 118 hari, J. Awal 148 hari, J. Akhir 177 hari, Rajab 207 hari, Sya’ban 236 hari, Ramadan
266 hari, Syawal 295 hari, Dulqa’dah 325 hari dan Dulhijjah 354 / 355 hari. 32
Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = januari (30), Februari (59/60), Maret
(90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni( 181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244), Sept
(273/274), Okt (304/305), Nop (334/335), Des (365/366) 33
Ini jumlah hari dari penentuan 1 Muharram 1 H yakni 15 Juli 622 M ( 155 tahun kabisat,
466 tahun bashitah ( 226820 hari ) + 181 (bulan juli) + 15 hari. 34
Jumlah hari dalam 1 siklus tahun Masehi ( 1 kabisat 366 hari dan 3 tahun bashitah 365
hari ). Dalam melihat sisa yang melebihi umur dalam setahun Miladi harus memperhatikan tahun
basithah atau tahun kabisah. 35
Dari data 734021 hari, bisa digunakan untuk mencari hari dan pasaran dengan cara jika
untuk mencari hari dengan dibagi 7 dengan sisa berapa ? dihitung dari hari Jum’at, sedangkan
untuk pasaran dibagi 5 dengan sisa berapa ? dihitung dari pasaran legi. Contoh untuk 734021
dibagi 7, 104. 860 sisa 0.860x7 (6) berarti hari Rabo, sedangkan pasaran dibagi 5 sisa 4 berarti
Wage, jadi untuk 29 Ramadan 1426 H jatuh pada hari Rabo Wage. 36
Koreksi pertama, loncatan sebanyak 10 hari yang ditetapkan oleh Paus Gregorius XIII
yang terjadi pada bulan Oktober 1582 M oleh Paus Gregorius XIII dinyatakan sebagai tanggal 15
Oktober 1582 M, berarti selisih 10 hari.
Koreksi kedua, pada kalender Yulian semua tahun berumur 366 hari, sedangkan kalender
Gregorius XIII tahun yang berumur 366 adalah tahun yang dapat dibagi 4 (kabisah) sedangkan
yang tidak dapat dibagi 4 berumur 365 (basithah), ketentuan ini berlaku mulai tahun 1582 M.
Bilangan abad: 16 (1600), 17 (1700), 18 (1800), 19 (1900), dan 20 (2000), sampai tahun 2005 ada
3 abad yang tidak bisa dibagi 4, yakni 17, 18, 19.
33
2. Mencari saat Ijtima’ akhir Ramadhan 1426 H
Ijtima’ akhir Ramadhan 1431H menurut perkiraan Hisab Urfi terjadi pada:
Fraction Illumination ( cahaya Bulan ) terkecil dari Ephemeris 2010 pada
bulan Agustus, ternyata tidak pada tanggal 7. Akan tetapi pada tanggal 8
September 2010 M.
Sedangkan Ecliptic Longitude Matahari ( EL ) dan Apparent Longitude Bulan
( AL ) pada jam tersebut yang cocok, yaitu yang pertama AL harus lebih kecil
dari EL dan yang kedua AL harus lebih besar dari EL.
a. FIB terkecil pada tanggal 8 September 2010 adalah 0,00163 dalam table
terjadi pada jam 10 GMT
b. ELM37
( Thul al-syamsi ) pada jam 10 GMT = 165 o 39’ 27”
c. ELM38
( Thul al-syamsi ) pada jam 11GMT = 165 o 41’ 52”
d. ALB39
( Thul al-qamar ) pada jam 10 GMT = 165 o 20’ 55”
e. ALB40
( Thul al-qamar ) pada jam 10 GMT = 165 o 59’ 11”
3. Kemudian lakukan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:
IJTIMA’ = J1 + ((EL
1 – AL
1) ((AL
2 – AL
1) – (EL
2 – EL
1)))
= 10 + ((165 o 39’ 27” - 165
o 20’ 55”) : ((165
o 59’ 11” - 165
o
20’ 55”) - (165 o 41’ 52”- 165
o 39’ 27” )))
= 10. 54. 23 + 7
= 17. 54. 23
Jadi Ijtima’ terjadi pada jam 17 j 54
m 23
d pada tanggal 8 September
2010 M.
4. Menghitung posisi dan keadaan hilal akhir Ramadan 1426 H
a) Menentukan terbenam Matahari di Parangtritis Yogyakarat pada akhir
Ramadhan 1431 H./ 8 September 2010 M. dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
37
Ecliptic Longitude Matahari / Bujur Matahari / Taqwim / Thul syamsi: Jarak matahari
dari titik aries diukur sepanjang lingkaran ekliptika. 38
Ecliptic Longitude Matahari / Bujur Matahari / Taqwim / Thul syamsi: Jarak matahari
dari titik aries diukur sepanjang lingkaran ekliptika. 39
Apparent Longitude Bulan / Bujur Bulan / Taqwim / Thul qamar: Jarak bulan dari titik
aries diukur sepanjang lingkaran ekliptika 40
Apparent Longitude Bulan / Bujur Bulan / Taqwim / Thul qamar: Jarak bulan dari titik
aries diukur sepanjang lingkaran ekliptika
34
1. Hitung tinggi Matahari saat terbenam ( h0 ) dengan rumus:
h0 = - ( ku + ref + sd )
ku adalah kerendahan ufuk dapat diperoleh dengan rumus:
- ku = 00 1’.76 h
= 00 1’.76 3 m
= 00 3’ 2,9”
- ref = 00 34’(refraksi/pembiasan tertinggi saat ghurub)
- sd = 00 16’semi diameter Matahari rata-rata.
h0 = - ( ku + ref + sd )
= - (00 3’ 2,9” + 0
0 34’ + 0
0 16’)
= - 00 59’ 2,9”
2. Deklinasi Matahari ( 0 ) dan equation of time ( e ) pada tanggal akhir
Ramadhan 1431 H./ 8 September 2010 M dalam data Ephemeris saat
ghurub di Parangtritis Yogyakarta dengan prakiraan Maghrib kurang
lebih pk. 18 WIB ( 11 GMT ), diperoleh:
0 = 50 38’ 22”
e = 00j 2
m 15
d.
3. Tentukan sudut waktu Matahari ( t0 ) prakiraan ( Taqribi ) saat
terbenam dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 cos x cos 0 - tan
x tan 0 .
= sin - 00 59’ 2,9” cos -8
0 01’ cos 5
0 38’ 22” – tan-8
0
01’ x tan 50 38’ 22”
t0 = 880 12’ 15,3”
= +5j 52
m 49,02
d
4. Terbenam Matahari
= pk. 12 + (5j 52
m 49,02
d)
= pk. 17. 56. 53 WH – e + ( BTd –BT
x )
= pk. 17. 56. 53 – (00j 2
m 15
d.) + ( 105
0-110
0 17’ )/15
= pk. 17.29.26,02 WIB
= pk. 17.29.26 WIB ( pembulatan).
35
5. Menentukan deklinasi Matahari ( 0 ) dan equation of time ( e ) pada
tanggal akhir Ramadhan 1431 H./ 8 September 2010 M dalam data
Ephemeris saat ghurub di Parangtritis Yogyakarta yang sesungguhnya (
haqiqi ), yaitu pk. 17.29.26 WIB dengan melakukan interpolasi sebagai
berikut:
6. Deklinasi Matahari ( 0 ) pk. 17.29.26 WIB. dengan rumus :
0 = 01 + k (0
2 -0
1 )
01 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 5
0 39’ 18”
02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 5
0 38’ 22”
k ( selisih waktu ) = 00j 29
m 26
d
0 = 50 39’ 18” + 00
j 29
m 26
d x (5
0 38’
22”- 50 39’ 18”)
= 50 38’ 50,53”
7. Equation of Time ( e ) pk. 17.29.26 WIB. dengan rumus:
e = e1 + k (e
2 - e
1 )
e1 ( pk. 17 WIB/10GMT ) = 00
j 2
m 15
d
e2 ( pk. 18 WIB/11GMT ) = 00
j 2
m 16
d
k ( selisih waktu ) = 00j 29
m 26
d
e = 00j 2
m 15
d + 00
j 29
m 26
d x (00
j 2
m 16
d
- 00j 2
m 15
d)
= 00j 2
m 15,49
d
8. Sudut waktu Matahari ( t0 ) sesungguhnya ( Haqiqi ), saat terbenam
dengan rumus:
Cos t0 = sin h0 cos x cos 0 - tan
x tan 0 .
= sin- 00 59’ 2,9” cos -8
0 01’ cos 5
0 38’ 50,53”–
tan -80 01’ x tan 5
0 38’ 50,53”
t0 = 880 12’ 11,19”
= +5j 52
m 48,75”
36
9. Terbenam Matahari
= pk. 12 + (5j 52
m 48,75”)
= pk. 17.52.48,75. WH – e + ( BTd –BT
x )
= pk. 17.52.48,75. – (00j 2
m 15,49
d) + ( 105
0-110
0 17’ )
= pk. 17. 29. 25,26 WIB
= pk. 17. 29. 25 WIB ( pembulatan)
b) Menghitung Azimuth Matahari ( Az0 ) saat ghurub pk. 17. 29. 25 WIB (
pk. 10. 29. 25 ) dengan rumus:
Cotan A0 = tan 0 cos x : sin t0 – sin
x : tan t0.
= tan 50 38’ 50,53” x cos-8
0 01’ sin 88
0 12’ 11,19”–
sin -80 01’ tan 88
0 12’ 11,19”
A0 = 840 99’ 24,12” ( SB )
Az0 = 3600 - A0
= 3600 - 84
0 99’ 24,12”
= 2750 50’ 35,8
c) Menentukan Right Ascension Matahari ( ARA0 ) pk. 17. 29. 25 WIB ( pk.
10. 29. 25 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA0 = ARA01 + k ( ARA0
2 – ARA0
1 )
ARA01
( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 1660 47’ 49”
ARA02 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 166
0 50’ 04”
k ( selisih waktu ) = 00j 29
m 26
d
ARA0 = 1660 47’ 49” + 00
j 29
m 26
d x (166
0 50’ 04”- 166
0 47’ 49”)
= 1660 48’ 55,1”
d) Menentukan Right Acsension Bulan ( ARA ) pk. 17. 29. 25 WIB ( pk. 10.
29. 25 GMT ) dengan rumus interpolasi sebagai berikut:
ARA = ARA1 + k ( ARA
2 – ARA
1 )
ARA1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 164
0 43’ 58”
ARA2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 165
0 18’ 39”
k ( selisih waktu ) = 00j 29
m 26
d
ARA = 1640 43’ 58” + 00
j 29
m 26
d x (165
0 18’ 39”–164
0 43’ 58”)
37
= 1650 0’ 58,27”
e) Menentukan Sudut Waktu Bulan ( t ) pk. 17. 29.25 WIB ( pk. 10. 29.25
GMT ) dengan rumus sebagai berikut:
t = ARA0 + t0 - ARA
= 1660 48’ 55,1”+ 88
0 12’ 11,19” - 165
0 0’ 58,27”
= 900 0’ 8,02”
f) Menentukan deklinasi Bulan ( ) pk. 17. 29.25 WIB ( pk. 10. 29.25 GMT
) dengan menggunakan rumus interpolasi sebagai berikut:
= 1 + k (2 -1 )
1 ( pk. 17 WIB/10 GMT ) = 10 31’ 45”
2 ( pk. 18 WIB/11 GMT ) = 10 15’ 47”
k ( selisih waktu ) = 00j 29
m 25
d
= 10 31’ 45”+ 00
j 29
m 25
d x (1
0 15’ 47”- 1
0 31’ 45”)
= 10 23’ 55,71”
g) Menentukan Tinggi Bulan Haqiqi ( h’ ) dengan menggunakan rumus:
Sin h = sin x sin + cos
x cos cos t
Sin h = sin -80 01’ x sin 1
0 23’ 55,71”+ cos -8
0 01’ x cos 1
0 23’
55,71”x cos 900 0’ 8,02”
h = -00 11’ 50,16” ( tinggi hilal haqiqi )
h) Kesimpulan
Ijtima’ = Rabu, 8 September 2010 M.
Waktu = Pkl. 17. 54. 23 WIB.
Matahari Terbenam = Pk. 17. 29. 25 WIB
Azimut Matahari = 2750 50’ 35,8”
Tinggi Hilal Haqiqi = -00 11’ 50,16”
Deklinasi Matahari = 50 38’ 50,53”
Deklinasi Bulan = 10 23’ 55,71”
Dari Perhitungan Yang Telah Dilakukan:
- Pada hari Rabu, 8 September 2010 M posisi hilal sudah di atas
ufuk ( h haqiqi -00 11’ 50,16” )
38
- Maka menurut Madzhab Hisab dan Imkanur Rukyat, 1 Ramadhan
tahun 1431 H jatuh pada hari tersebut yaitu pada hari Rabu, 8
September 2010 M.
- Sedangkan menurut madzhab rukyah, masih menurunggu hasil
pengamatan/observasi yang dilakukan di lapangan.
C. Penanggalan Jawa Islam
Sebelum adanya sistem penanggalan Jawa Islam. Di Jawa sudah
memiliki penanggalan sendiri yaitu sistem penanggalan Jawa yang
disebut juga dengan penanggalan Saka, selain itu disebut juga dengan
penanggalan Saliwahana. Sebutan ini berasal dari India bagian selatan,
Saliwahana yang berhasil mengalahkan kaum Saka. Tetapi, sumber lain
menyebutkan bahwa justru kaum Saka dibawah pimpinan Raja Kaniskha I
yang memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada
bulan Maret tahun 78 M.41
Pada tarikh Jawa I, sebelum tahun 78 M terdapat nama-nama bulan
di Jawa yang tertulis dalam prasasti-prasasti yang berdasarkan agama
Hindu dengan bahasa Sansekerta. Adapun nama-nama bulan itu adalah
Srawana, Bhadrapada, Aswina, Kartika, Margasira, Pusya, Mukha,
Phalguna, Caitra, Waishaka, Jyestha, dan Asahda. 42
Pranotomongso berasal dari kata pranata yang berarti aturan dan
mangsa yang berarti musim, jadi secara bahasa pranatamangsa adalah
pengaturan musim. Secara istilah pranatamangsa adalah suatu penanggalan
41
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi
Hijriyah dan Jawa),2009,. hlm. 10. 42
Tjokorda Rai Sudharta, et al, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), Balai
Pustaka: Jakarta, 2008., hlm. 20
39
yang berkaitan dengan musim menurut pemahaman suku Jawa, khususnya
dari kalangan petani dan nelayan. Pemahaman yang mirip seperti ini juga
dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia, seperti suku Sunda dan suku
Bali (dikenal sebagai Kerta Masa), atau dibeberapa tradisi Eropa, seperti
pada bangsa Jerman (dikenal sebagai Bauernkalendar, atau "penanggalan
untuk petani")43
Sedangkan pengertian pranotomongso itu sendiri adalah aturan
waktu atau musim yang dipakai sebagai pedoman bercocok tanam bagi
para petani berdasarkan pada gejala naluriah alam dan mencoba
memahami asal-usul dan bagaimana uraian satu-persatu kejadian cuaca
dalam setahun. Penanggalan Pranotomongso ini didasarkan pada
penanggalan Syamsiyah.44
Pada mulanya, Pranotomongso hanya mempunyai 10 mongso.
Sesudah mongso kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat
dimulainya mongso yang pertama (Kasa atau Kartika) yakni tanggal 22
Juni. Masa menunggu itu cukup lama, sehingga akhirnya ditetapkan
sebagai mongso yang kesebelas (Destha atau Padawana) dan mongso
yang kedua belas (Sadha atau Asuji). Sehingga satu tahun menjadi genap
12 mongso. Hari pertama mongso kesatu dimulai pada 22 Juni.45
43
http://wikipedia.pranatamangsa.com diambil pada tanggal 10 Juni 2009. 44
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, op. cit., hlm. 65-66. 45
Purwadi, Sejarah Sultan Agung Harmoni Antara Agama Dengan Negara, Yogyakarta:
Media Abadi, 2004, hlm. 117, bandingkan dengan Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen
Studi Atas Penentuan Poso dan Riyoyo Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa
Tengah, 2006. hlm. 15-16.
40
Nama-nama tahun Masehi, Jawa, Bali, pranotomongso dan Arab adalah:46
.
Masehi India/jawa
I Jawa III Bali Arab Jawa II
Januari Mukha Kapitu Kapitu Safar Sapar
Februari Palghuna Kawolu Kawulu Rabiulawal Maulud
Maret Caitra Kasongo Kasanga Rabiulakhir Bakdomulud
April Waishaka Kasadasa Kasada Jumadilawal Jumadilawala
Mei Jyestha Jesta Jesta Jumadilakhir Jumadilakhir
Juni Asadha Sada Sada Rajab Rajab
Juli Srawana Koso Kasa Syaban Ruwah
Agustus Bhadrapa Karo Karo Ramadahan Puasa
September Aswina Kalmia Kalmia Syawal Sawal
Oktober Kartika Kapat Kapat Julkaidah Dulkaidah
November Margasirsa Kalima Kalima Julhijah Besar
Desember Pusya Kaenam Keenam Muharam Suro
Cara perhitungan penanggalan ini tidak terlalu sulit. Cukup
mengurutkannya dengan tanggalan Masehi pada tanggal dan bulan yang
sudah ditentukan. Jika kita melihat fenomena alam saat ini maka
penanggalan pranotomongso tidak relevan lagi dijadikan sebagai acuan.
Seiring berjalannya ilmu pengetahuan maka pada tahun 1555 Jawa
terjadi pergantian penanggalan dari penanggalan Jawa Saka menjadi
penanggalan Jawa Islam. Perubahan penanggalan Jawa Saka menjadi Jawa
Islam diprakarsai oleh Sultan Agung.
46
Tjokorda Rai Sudharta, et al, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), op. cit.,,
hlm. 21.
41
Tahun Jawa Islam ditetapkan berlakunya oleh Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang bertahta di Mataram pada 1 Syura 1555 tahun
Jawa bertepatan dengan tahun 1043 H dan juga tahun 1633 M. Tahun
Jawa pada awalnya adalah tahun Aji Saka, permulaan tahun Saka dihitung
mulai dari penobatan Prabu Saliwahana (Aji Saka) sebagai raja India pada
hari Sabtu 14 Maret tahun 78 Masehi. Sehingga tahun Saka dengan tahun
Masehi selisih 78 tahun.47
Penanggalan Aji Saka diasimilasikan dengan Hijriyah, jika pada
awalnya tahun Saka berdasarkan peredaran Matahari, oleh Sultan Agung
diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran Bulan,
sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Saka tersabut.48 Namun
demikan tahun Jawa bukanlah tahun Hijriyah, tahun Jawa hanya
disesuaikan dengan tahun Hijriyah oleh Sultan Agung yang saat itu
beragama Islam. Selain itu, jika kita melihat penetapannya sebenarnya
tahun Jawa usianya lebih muda dibandingkan dengan tahun Hijriyah, tapi
karena tahun Hijriyah meneruskan tahun Jawa maka seolah-olah tahun
Jawa lebih dahulu daripada tahun Hijriyah.
Adapun dalam tahun Jawa mempunyai beberapa ketentuan yaitu:49
a. Setiap 15 windu atau 12050
tahun meliputi 15 x 2835 hari = 42525 hari.
47
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, op.cit, hlm. 116 48
Penelitian Slamet Hambali, Melacak Pemikiran Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan
Kraton Yogyakarta, tt., hlm. 43 49
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi,
Hijriyah Dan Jawa ), op. cit., hlm. 50 50
120 : 15 = 8 tahun = 1 windu = 2835 hari.
42
b. Satu kebulatan masa tahun Hijriyah adalah 30 tahun menurut ketetapan
umum, meliputi 30 x 354 + 11 hari = 10631 hari.
c. Setiap 120 tahun meliputi 4x 10631 hari 42524 hari.
Dari perhitungan di atas bahwa setelah 120 tahun maka akan
terpaut 1 hari dari tahun Hijriyah, maka setiap 120 tahun maka harus di
samakan kembali keduanya dengan jalan mengganti tahun kabisat menjadi
tahun basithoh. Pergantian selama 120 tahun ini disebut dengan wuku.51
Adapun cara perhitungan Penanggalan Jawa Islam adalah:52
Tahun Saka sekarang adalah = 1431 + 512 = 1943 J
1. Tentukan tahun Jawa (tahun Hijriyah + 51253
tahun)
2. Tahun Jawa di bagi 854
3. Sisa pembagian apabila
a. 0/8; 6: berarti tahun Ba, 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon
b. 1; 7: berarti tahun Wawu, 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage
c. 2; 8: berarti tahun Jim Akhir, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon
d. 3; 1: berarti tahun Alip, 1 Suro jaruh pada jatuh Selasa Pon
e. 4; 2: berarti tahun Ehe, 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Paing
f. 5; 3: berarti tahun Jim Awal, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
g. 6; 4: berarti tahun Ye, 1 suro jatuh pada hari Senin Legi
h. 7; 5: berarti tahun Dal, 1 suro jatuh pada hari Sabtu Legi
Setelah diperoleh hari dan pasaran pada tanggal 1 Suro, maka
untuk tanggal-tanggal pada bulan-bulan berikutnya tinggal menambahkan
perbedaan hari dan pasaran antara tanggal 1 Suro dan pada tanggal-tanggal
bulan berikutnya itu.
51
Ibid. 52
Ibid,. hlm. 52 53
Selisih pergantian tahun saka 1555 dengan tahun 1043 H (1555-1043) 54
Tahun jawa dibagi dalam satu masa yang meliputi 8 tahun yang dinamakan windu
yang pada setiap tahunnya berbeda, adapun namanya adalah: Alif ( ا) , Ehe (ه) , Jim awal ( ج ), Ye Dal ,( ز ) ( ج) Jim akhir ,( و) Wawu ,( ب ) Be ,( (د
43
Rumus Arti rumus
Rom ji ji Muharram Kamis Pahing
Par lu ji Sapar Sabtu Pahing
Uwalpatmo R. Awal Ahad Legi
Uhir ne mo R. Akhir Selasa Legi
Diwaltupat J. Awal Rabo Kliwon
Dihir ro pat J. Akhir Jum’at Kliwon
Jab lu lu Rojab Sabtu Wage
Ban mo lu Sya’ban Senin Wage
Donnemro Romadlon Selasa Pon
Wal ji ro Syawal Kamis Pon
Dahroji Dzulqo’dah Jum’at pahing
Jah pat ji Dzulhijjah Ahad Pahing
Penggunaan tabel diatas dalam penentuan tahun Jawa adalah
dengan menyesuaikan tanggal 1 Muharram sebagai patokan perhitungan.
Seandainya dalam perhitungan 1 Muharram jatuh pada hari Senin Legi,
maka hari dan pasaran ini dijadikan sebagai patokan untuk bulan-bulan
berikutnya dengan jumlah hari 30 dan 29 dalam satu bulan.
Contoh pada tanggal 1 Syawal 1944 Jawa.55
8/1944 (242
16
34
32
22
16
6 (tahun Ye)
Tanggal 1 Muharram 1944 J adalah tahun Ye hari Senin pasaran Legi.
Cara menentukan tanggal 1 Syawal 1944 tahun Ye adalah hari
Senin Legi dijadikan patokan perhitungan. Maka 1 Syawal jatuh pada hari
Senin Pahing.
55
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi,
Hijriyah Dan Jawa ), op.cit., hlm. 53
44
Perlu diketahui dalam penanggalan Jawa Islam, tahun Dal
dianggap mempunyai keistimewaan. Selama tahun Jawa Islam, setiap
tanggal 12 bulan Mulud tahun Dal, jatuh pada hari Senin Pon. Agar
tanggal 12 Mulud tahun Dal tetap jatuh pada hari Senin Pon, maka tahun
Je dan tahun Dal yang sebenarnya tahun panjang (wuntu) dijadikan tahun
pendek. Jumlah hari dalam tahun dal tidak urut seperti tahun Jawa Islam
yang lainnya, yaitu 30, 30, 29, 29, 29, 29, 30, 29, 30, 29, 30, 30.56
Nama-nama bulan Hijriyah dan bulan bulan Jawa Islam beserta
dengan jumlah harinya.
1. Muharam atau Suro 30 30
2. Safar atau Sapar 29 59
3. Robi’ul Awal atau Mulud 30 89
4. Robi’ul Akhir atau Ba’da Mulud 29 118
5. Jumadil Awal atau Badi Awal 30 148
6. Jumadil Akhir atau Badi Akhir 29 177
7. Rajab atau Rejeb 30 207
8. Sya’ban atau Ruwah 29 236
9. Ramadhan atau Poso 30 266
10. Syawal atau Bodo 29 296
11. Dzulqa’dah atau Apit 30 325
12. Dzulhijjah atau Besar 29/30 354/355
56
Kangjeng Pangeran Karya Tjakraningrat, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi
Adammakna, Ngayogyakarta: CV. Buana Raya 1990, hlm. 35
45
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP POSISI PENGGUNAAN
PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI
KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
A. Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
1). Awalnya, Mataram Islam
Daerah Yogyakarta merupakan daerah yang sistem
pemerintahannya masih menganut sistem kerajaan. Sebagian besar
wilayah Yogyakarta berada dibawah kekuasaan Kasultanan dan sebagian
kecil berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pakualaman. Sri Sultan adalah
raja Yogyakarta, sedangkan Sri Paku Alam juga merupakan raja kecil. Sri
Sultan (waktu itu Hamengku Buwono IX) dan Sri Paku Alam (waktu itu
Paku Alam VIII) merupakan dwitunggal pemimpin yang berkuasa penuh
atas rakyat Yogyakarta.1
Awal dari sejarah ini dimulai dari sebuah kerajaan besar Mataram
Islam. Kelahiran Mataram Islam mempunyai keterkaitan dengan kerajaan
Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya2
1 Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimawaan Yogya
meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010, hlm. 4 2 Pada waktu Sultan Trenggana telah wafat, R. Jaka Tingkir menjadikan dirinya sebagai
raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya dengan pusat kerajaan Pajang (peristiwa ini ditandai dengan
candrasengkala: “Tri lunga panca bumi”). Seluruh pusaka yang berada di kerajaan dipindahkan ke
Pajang. Tidak ada seorangpun yang berani melawan tindakan ini. Hal tersebut dikarenakan
kesaktian yang dimiliki Sultan Hadiwijaya. Soewito. S, Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram),
Delanggu, 19970, hlm. 226.
46
(1546 M – 1586 M), Joko Tingkir3 atau Mas Karebet harus berperang
melawan Arya Panansang4 Adipati Jipang. Akhirnya Joko Tingkir
memenangkan peperangan berkat bantuan Danang Sutawijaya. Namun,
kemenangan itu berkat strategi yang diberikan oleh ayahanda Danang
Sutawijaya, yang bernama Ki Ageng Pemanahan.5
Setelah kemenangan itu, Joko Tingkir memberi hadiah kepada Ki
Ageng Pemanahan berupa tanah Mentaok, di daerah sekitar Kota Gede
Yogyakarta. Pada awalnya, Ki Ageng Pemanahan membangun daerah
Mentaok itu menjadi sebuah kota baru yang bernama Mataram Islam.
Akan tetapi setelah wafatnya Ki Ageng Pemanahan anaknya yang bernama
Danang Sutawijaya menjadikan Mataram Islam sebagai kerajaan baru.
Akhirnya Danang Sutawijaya menjadi raja pertama Mataram Islam dengan
gelar Panembahan Senopati (1584 M – 1601 M).6
Mataram Islam mencapai puncaknya pada jaman raja Sultan
Agung Hanyokrokusumo (1613 M – 1646 M). Sementara itu kerajaan
Pajang merosot setelah Sultan Hadiwijaya wafat, Daerah kekuasaan
Mataram Islam mencakup P. Jawa, P. Madura, dan daerah Sukadana di
3 Jaka tingkir merupakan keturunan dari Brawijaya lewat jalur Adipati Andayaningrat
yang kawin dengan salah seorang putri Brawijaya. Sementara pendiri Mataram, Sutawijaya, adalah
keturunan Brawijaya melalui jalur Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, anak Brawijaya hasil
perkawinan dengan “Putri Negro” (mungkin dari papua). Bisa jadi genealogi para raja Jawa
tersebut hanyalah klaim atau rekayasa sebagai penulis babad untuk menunjukkan keabsahan
mereka sebagai penguasa polotik di Tanah Jawa di mata masyarakat. Somanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003, hlm. 119 4 Arya panansang marupakan murid dari Sunan Kudus. Saat itu Sunan Kudus mempunyai
tiga orang murid, yaitu Arya Penanasang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Arya Penansang
merupakan murid kesayangan dari Sunan Kudus. Baca dalam buku W.L. Olthof (penyusun), Alih
Bahasa: H.R. Sumarsono, Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647,
Yogyakarta: Narasi, 2007, cet. 1. Hlm. 62. 5 Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimawaan Yogya
meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan,. op. cit.., hlm. 4 6 Ibid.
47
Kalimantan Barat. Untuk P. Jawa hanya Banten dan Batavia yang gagal
direbut karena dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie)7
Namun, penetrasi penjajah di bumi pertiwi pada akhirnya
memerosotkan kekuatan Mataram Islam. Pengganti Sultan Agung yang
bernama Hamangkurat I (1647 M – 1677 M) bahkan bersahabat dengan
VOC. Anaknya Hamangkurat II (1677 M – 1703 M) bahkan menyerahkan
Semarang kepada VOC. Namun demikian, Hamangkurat II sempat
berperang melawan VOC sehingga Kapten Tack terbunuh. Meskipun
penggantinya kemudian Hamangkurat III (1703 M – 1708 M) lebih
menentang VOC, Mataram Islam tetap semakin merosot. 8
Akhirnya, Mataram Islam menyerah kepada Penjajah Belanda
semasa pemerintahan Paku Buwono II (1727 M – 1749 M). Pada mulanya,
PB II menyerahkan Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, dan Madura.
Kemudian Demak dan Pasuruan juga diserahkan pada 1743 M. Belanda
kemudian menguasai pelayaran orang Jawa yang berpusat di Tegal,
Pekalongan, Kendal, Tuban, dan Juwana. Sebelum mangkat PB II
menyerahkan seluruh Mataram Islam kepada Belanda.9
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Ibid.
48
2). Kasultanan Yogyakarta
Akan tetapi, Pangeran Mangkubumi10
tidak menyetujui sikap
lemah Paku Buwono II tersebut. Pada 19 Mei 1746 M, pangeran
Mangkubumi pergi dari istana bersama 3 pangeran lainnya (P. Wijil, P.
Krapyak, dan P. Hadiwijoyo) mereka bergabung dengan Raden Mas Said
(Pangeran Sambernyawa) untuk berperang melawan Belanda. Pada 1750
M, mereka mengepung ibu kota Mataram yang telah dikuasai Belanda itu
dari 4 penjuru. Pada 1752 M, sebagian besar wilayah Mataram berhasil
mereka kuasai kembali. 11
Pada tanggal 23 September 1754 M, Belanda bernegosiasi dengan
P. Mangkubumi dan berjanji memberi setengah dari Kerajaan Mataram.
Akhirnya, dibuatlah Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755 M). Perjanjian
Giyanti berisi ketetapan bahwa Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua.
Setengahnya, yaitu Kasultanan Yogyakarta diberikan kepada P.
Mangkubumi. Setengahnya lagi, yaitu Kasunanan Surakarta diberikan
kepada Paku Buwono III.12
Perjanjian Giyanti (1755 M) merupakan titik awal berdirinya
Kerajaan Kasultanan Yogyakarta. Setelah memperoleh wilayah
Yogyakarta (setengah Kerajaan Mataram), Pangeran Mangkubumi
mendirikan Kasultanan Yogyakarta dan mengukuhkan dirinya sebagai
10
Pangeran Mangkubumi adalah adik Sri Susuhan Paku Buwono II, yang lahir dari Mas
AyunTejawati, selir dari sri Susuhan Amangkurat Jawi. Mas Ayu Tejawati ini semula dianggap
mendapat wahyu akan menurunkan Raja-raja di tanah Jawa. Ki Sabdacarakatama, Sejarah
Keraton Yogyakarta, Yogyakarta:Narasi, 2008, cet. 1, hlm. 85 11
Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo Catatan Perjalanan Keistimawaan Yogya
meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan, op. cit., hlm. 6. 12
Ibid.
49
raja baru dengan nama Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I). gelar
lengkapnya adalah Sampeyan ing Ngalaga Kanjeng Sultan Hamengku
Buwono Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panata Gama
Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I ing Nagari Ngayogyokarto
Hadiningrat Mataram.13
Keraton Yogyakarta dibangun pada masa pemerintahan Sultan HB
I, yaitu pada 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682. Lambang Keraton
berupa dua naga yang saling melilit yang merupakan simbol tahun
pendirian Keraton Yogyakarta. Setiap angka mengandung arti. Tahun
1682 M di baca dari belakang (2 = dwi, 8 = naga, 1 = tunggal ).
Ungkapan dwi naga rasa tunggal dapat dibaca menjadi dwi nagara
satunggal yang artinya adalah “dua Negara dalam satu kesatuan”.
Mempunyai makna, sekalipun Mataram Islam telah terpecah menjadi dua
kerajaan, akan tetapi tetap satu.14
Keraton Yogyakarta yang bangunannya menempati kawasan
seluas 14.000 meter persegi mempunyai arti yang sangat penting.15
1) Keraton merupakan simbol eksistensi Kerajaan Mataram yang
kejayaannya masyhur di jaman dulu.
2) Keraton atau keratuan (ke-ratu-an) atau dalam bahasa Jawa
kedhaton,adalah tempat tinggal sang raja. Kalau rakyat ingin
menghadap raja, mereka harus datang ke keraton.
13
Ibid. 14
Ibid. 15
Ibid.
50
3) Keraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah kekuasaan
kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris
trimandala praja. Lapisan paling dalam merupakan pusat kerajaan
disebut nagara. Merupakan ibukota kerajaan. Pusat nagara adalah
keraton itu sendiri. Lapisan kedua disebut wilayah nagaragung, yaitu
daerah-daerah yang berada sekitar kota (ommanlanden). Lapisan
ketiga disebut wilayah monconagara, yaitu daerah-daerah yang jauh
(buiten-gawesten).
4) Keraton adalah pusat kebudayaan Jawa. Di keraton inilah
kebudayaan Jawa dikembangkan, ditularkan, dan diwariskan.
Keraton mempunyai ahli-ahli budaya dan para pujangga.
5) Keraton adalah pusat kerohaniaan (spiritualitas). Raja adalah
seorang Panata Gama atau Khalifatullah, yaitu seorang pemimpin
agama. Keraton Yogyakarta juga merupakan pusat kekuatan magis
yang terhubung dengan garis lurus mistis dengan kekuatan spiritual
Gunung Merapi di sebelah utara dan kekuatan spiritual Samudra
Hindia (Kerajaan Nyai Roro Kidul) di sebelah selatan.
B. Sejarah Penanggalan Jawa Islam
Interaksi antara masyarakat Jawa dengan masyarakat India yang
berlangsung lama menjadikan transformasi keilmuan yang diserap
masyarakat Jawa dalam hal penanggalan membentuk karakteristik
penanggalan Saka.
51
Tentu saja untuk menggantikan dari penanggalan Jawa Saka
menjadi penanggalan Jawa Islam tidaklah mudah, sebab sistem
penanggalan Saka – Hindu sudah sangat mendarah daging di kalangan
masyarakat Jawa.
Terdapat catatan sejarah bahwa Sunan Giri II16
mengarang kitab
ilmu falak yang disesuaikan dengan alam dan jalan pikiran di Jawa
berhasil menemukan formula pengislaman penanggalan Saka – Hindu.
Dijumpai di museum Radya Pustaka Solo suatu kitab ilmu falak yang
digubah oleh Pujangga Ranggawarsita berdasarkan hasil-hasil pemikiran
Sunan Giri II dengan nama kitab atau Serat Widya Praddana. Isi dari
kitab ini adalah ilmu falak sebagai ilmu astronomi dan memuat
penanggalan atau almanak yang berlaku bagi orang Jawa yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmu falak Islam.17
Puluhan tahun
berikutnya setelah formula ini cukup tersosialisasikan, Sultan Agung
Hanyokrokusumo, penguasa Mataram berinisiatif untuk menggunakannya
secara resmi.
Penanggalan Jawa Islam ini merupakan penggabungan antara
penanggalan Jawa Saka dan penanggalan Hijriyah. Nama hari dalam
Penanggalan Jawa Islam berasal dari kata-kata Arab yakni Ahad, Isnain,
Tsalasa, Arba’a, Khamis, Jum’at, Sabtu. Nama-nama itu dipakai sejak
16
Sunan Giri II disebut juga dengan Sunan Dalem yang bernama Zainal Abidin. Lihat
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 222. Lihat juga
pada http://kompasiana.com. Diambil tanggal 5 Mei 2011. 17
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo,
Bandung: Mizan, 1995, hlm. 144
52
pergantian Penanggalan Jawa Saka menjadi Penanggalan Jawa Islam
yang nama ilmiahnya Anno Javanico. Pergantian penanggalan itu mulai 1
Sura tahun alip 1555 J yang jatuh pada 1 Muharram 1043 H, sama dengan
8 Juli 1633 M. Penanggalan tersebut merupakan bukti akulturasi agama
Islam dan kebudayaan Jawa yang luar biasa.18
Tindakan Sultan Agung ini tidak hanya bertujuan untuk
memperluas pengaruh agama Islam, akan tetapi didorong pula oleh
adanya kepentingan politiknya waktu itu. Dengan mengubah penanggalan
Jawa Saka menjadi penanggalan Jawa Islam, Sultan Agung mempunyai
tujuan untuk memusatkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik pada
dirinya untuk memimpin kerajaan.19
C. Pengertian dan Macam-macan Ibadah
Al-Ubudiyah berasal dari Al-Khudlu’ (tunduk atau rendah diri)
serta Adz-Dzil (memperhinakan diri). Kemudian At-Ta’bid (penyembahan)
adalam bermakna At-Tadzlil (perendahan diri atau penghinaan diri). Dan
sama artinya dengan Ta’abud (penghambaan), mempunyai persamaan arti
dengan At-Tanasuk (pengabdian).20
Secara bahasa, ibadah berarti taat, tunduk, menurut, mengikuti dan
do‟a. Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Quran dalam QS.
Yaasin ayat 60:21
18
M. Hariwijaya, Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006, hlm. 237 19
Purwadi, Sejarah Sultan Agung, Harmoni antara Agama dengan Negara, Yogyakarta:
Media Abadi, 2004. hlm. 117. 20
Yusuf Qardlawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, Surabaya: Central Media, 1993, hlm. 29. 21
Ahmad Thib Raya, Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 137.
53
Artinya: Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani
Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi kamu",
Menurut ulama‟ fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yng
bertujuan memperoleh keridlaan Allah SWT dan mendambakan pahala
dari-Nya di akhirat. Menurut ulama tauhid ibadah adalah meng-Esakan
Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta
menundukkdn jiwa setunduk-tunduknya kepada Allah SWT. Pengertian
ini berdasarkan firman Allah QS an-nisa‟ ayat 36:22
Artinya: sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun
Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya terdapat lima macam,
yaitu:23
1) Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan seperti berdzikir, berdoa,
tahmid, dan membaca Al-Quran.
2) Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya,
seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus
jenazah.
22
Ibid. hlm. 137-138. 23
Ibid., hlm. 138-139
54
3) Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud
perbuatannya seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
4) Ibadah yang tata cara dan pelaksanaanya berbentuk menahan diri
seperti puasa, iktikaf, dan ihram.
5) Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang
yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan
seseorang yang berutang kepadanya.
Secara garis besar ibadah terbagi menjadi dua macam:24
1) Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdah (ibadah yang
mempunyai ketentuan yang pasti), yakni ibadah yang ketentuan dan
pelaksanaannya telah ditetapkan oleh nash dan merupakan sari
ibadah kepada Allah SWT seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2) Ibadah „ammah (umum), yaitu semua perbuatan yang mendatangkan
kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang ikhlas. Seperti minum,
makan, dan bekerja mencari nafkah. Dengan kata lain semua
kebaikan bisa dikatakan ibadah „ammah jika dilandasi dengan niat
semata-mata karena Allah SWT.
Kata ibadah yang dimaksud dalam penelitian penulis adalah
ibadah mahdah yaitu ibadah yang berkaitan dengan dengan penetapan
waktu-waktu pelaksanaan puasa Ramadlan, penetapan hari raya Idul Fitri,
serta penetapan hari raya Idul Adha. Karena pada dasarnya dalam
penetapan ketiga ibadah tersebut berkaitan dengan penetapan awal bulan
24
Ibid., hlm. 142-143
55
Kamariah. Ketiga bulan tersebut yakni Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah
merupakan bulan-bulan yang menjadi sorotan dalam penetapan
penanggalan Hijriyah.
Tidak hanya dalam penanggalan Hijriyah, akan tetapi dalam
penanggalan Jawa Islam, bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah juga
merupakan bulan-bulan yang menjadi sorotan dalam penetapannya,
bahkan bulan Rabiul Awal menjadi bulan yang penting . Karena dalam
setiap bulan Ramadlan masyarakat Islam Jawa ikut melaksanakan puasa
Ramadlan, sedangkan dalam setiap bulan Syawal, Dzulhijjah, dan pada
bulan Rabiul Awal terdapat perayaan Grebeg yang dilaksanakan oleh
masyarakat Yogyakarta pada ketiga bulan tersebut.
D. Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Penanggalan Jawa Islam atau yang disebut juga sebagai
penanggalan Sultan Agung hampir sama dengan penanggalan Hijriyah.
Dalam satu tahun menurut perhitungan Penanggalan Jawa Islam terdiri
dari 354 3/8 hari. Siklusnya 8 tahun, siklus ini dinamakan windu. Dalam 8
tahun terdapat 3 tahun kabisat yang umurnya 355 hari, yaitu tahun ke 2,
tahun ke 5, tahun ke 8.25
Letak antara bashitoh dan kabisat dalam penanggalan Jawa Islam
ini terletak pada bulan ke 12 yang mana bulan kabisat berjumlah 30 hari
sedangkan basithoh 29 hari.
25
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara, Senin, 04 Oktober 2010, bertempat di
Widyabudaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
56
Selain Sultan Agung mengubah sistem penanggalan dari Solar
sistem ke Lunar sistem, Sultan Agung juga menyesuaikan nama bulan
dan hari. Yang semula menggunakan bahasa Sansekerta menjadi bahasa
Arab atau mirip bahasa Arab. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh
penanggalan Islam dalam penanggalan Jawa.
Nama-nama bulan dalam Penanggalan Jawa Islam merupakan
nama-nama bulan yang terdapat dalam penanggalan Hijriyah yang
disesuaikan dengan logat Jawa atau disesuaikan dengan peristiwa-
peristiwa yang terjadi pada sekitar bulan tersebut. Umur bulan-bulan
tersebut merupakan bilangan yang pasti yang tidak bisa diganti-ganti,
yaitu 30 dan 29. Satu siklus tahun Jawa terdapat 8 tahun. Masing-masing
urutan tahun tersebut mempunyai nama-nama tersendiri dengan
menggunakan huruf Hijaiyah yang pengucapannya disesuaikan dengan
logat Jawa. Adapun nama-namanya yaitu tahun Alip (أ) , Ehe (ه),
Jimawal (ج ألول), Je (ز), Dal (د), Be (ب), Wawu (و), Jimakhir (ج ألخر). 3
tahun kabisat yang umurnya 355 hari dalam satu windu adalah tahun
Ehe yang merupakan tahun ke 2, Dal merupakan tahun ke 5, dan
Jimakhir merupakan tahun ke 8. Ketiga tahun ini dinamakan tahun
panjang disebut dengan wuntu sedangkan yang lainnya dinamakan tahun
pendek disebut dengan wastu.26
26
Ibid.
57
Dalam penanggalan Jawa Islam terdapat beberapa pelengkap yang
masih digunakan oleh masyarakat Jawa sampai saat ini. Adapun
pelengkap-pelengkap tersebut adalah Pancawara, yaitu siklus hari 5
yaitu Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage yang dikenal juga dengan
Pasaran. Sadwara, hitungan hari enam, Tungle, Aryang, Warukung,
Paningron, Uwas dan Mawulu, disebut juga dengan Paringkelan.
Saptawara, yaitu sikkus hari yang tujuh, Ngahad, Senen, Selasa, Rebo,
Kemis, Jemuah, Setu. Astawara, yaitu hitungan hari yang delapan, Sri,
Indra, Guru, Yama, Rudra, Brama, Kala, Uma. Disebut juga dengan
Padewan. Nawawara yaitu hari yang sembilan, Dangu, Jagur, Gigis,
Karangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung, Dadi, disebut juga dengan
Padangon. Wuku, yaitu nama satuan waktu yang 30, setiap wuku usianya
7 hari. Terdapat 30 wuku, hal ini berpengaruh pada nasib pada bayi yang
lahir pada wuku tersebut. Urutannya yaitu, Shinta, Landep, Wukir,
Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi,
Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud,
Pahang, Kuruwelut, Marakoh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye,
Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut,
Watugunung.27
Setiap 120 tahun perbedaan antara penanggalan Hijriyah dan
penanggalan Jawa Islam selisih 1 hari. Maka agar tidak terjadi
pergeseran, penanggalan Jawa Islam diajukan 1 hari. Waktu ini
27
Ibid, bisa dilihat dalam buku karangan KRT. Rintaiswara, KHP Widyabudaya, Karaton
Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa, 2004.
58
dinamakan 1 kurup. Oleh karena itu dalam penanggalan Jawa Islam
terdapat tahun Ajumgi (Alip Jumuah Legi), Amiswon (Alip Kamis
Kliwon), Aboge (Alip Rabo Wage), Asapon (Alip Selasa Pon).28
Cara penghitungan penanggalan Jawa Islam di Keraton
Hadiningrat Ngayogyakarta menggunakan sistem perhitugan aritmatik
yaitu dengan perhitungan sederhana yang masih menggunakan angka
baku dengan cara mengurutkan tahun-tahun Jawa sesuai dengan urutan
yang telah penulis sebutkan diatas. 29
Otoritas dalam pemindahan perhitungan kurup tergantung dari
kebijakan masing-masing keraton. Sedangkan di Keraton Hadiningrat
Ngayogyakarta yang mempunyai otoritas untuk merubah Aboge ke
Asapon adalah para pujangga yang berada di Keraton Hadiningrat
Ngayogyakarta yang dinamakan Tepaskapujanggan yang saat ini
dinamakan Widyabudaya. 30
Dibawah ini adalah daftar hari dan pasaran tanggal 1 tiap bulan
dalam kurun waktu kurup Selasa Pon atau Asapon.31
1. Tahun Alip: 2. Tahun Ehe
Bulan Hari dan Pasaran
Bulan Hari dan Pasaran
1 Sura Selasa Pon 1 Sura Setu Pahing
1 Sapar Kamis Pon 1 Sapar Senin Pahing
1 Mulud Jumat Pahing 1 Mulud Selasa Legi
1 Bakdamulud Ahad Pahing 1 Bakdamulud Kamis Legi
1 Madilawal Senin Legi 1 Madilawal Jumat Kliwon
28
Ibid. 29
Ibid. 30
Wawancara dengan KRT Rintaiswara, Senin, 13 Maret 2011. 31
KRT. Rintaiswara, KHP Widyabudaya, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat
Budaya Jawa, op. cit.
59
1 Madilakir Rebo Legi 1 Madilakir Ahad Kliwon
1 Rejeb Kamis Kliwon 1 Rejeb Senin Wage
1 Ruwah Setu Kliwon 1 Ruwah Rabu Wage
1 Pasa Ahad Wage 1 Pasa Kamis Pon
1 Sawal Selasa Wage 1 Sawal Saptu Pon
1 Dulkaidah Rebo Pon 1 Dulkaidah Ahad Pahing
1 Besar Jumat Pon 1 Besar Selasa Pahing
3. Tahun Jimawal 4. Tahun Je
Bulan Hari dan Pasaran
Bulan Hari dan Pasaran
1 Sura Kamis Pahing 1 Sura Senin Legi
1 Sapar Saptu Pahing 1 Sapar Rebo Legi
1 Mulud Ahad Legi 1 Mulud Kamis Kliwon
1 Bakdamulud Selasa Legi 1 Bakdamulud Saptu Kliwon
1 Madilawal Rabu Kliwon 1 Madilawal Ahad Wage
1 Madilakir Jumat Kliwon 1 Madilakir Selasa Wage
1 Rejeb Sabtu Wage 1 Rejeb Rabu Pon
1 Ruwah Senin Wage 1 Ruwah Jumat Pon
1 Pasa Selasa Pon 1 Pasa Sabtu Pahing
1 Sawal Kamis Pon 1 Sawal Senin Pahing
1 Dulkaidah Jumat Pahing 1 Dulkaidah Selasa Legi
1 Besar Ahad Pahing 1 Besar Kamis Legi
5. Tahun Dal 6. Tahun Be
Bulan Hari dan Pasaran
Bulan Hari dan Pasaran
1 Sura Jumat Kliwon 1 Sura Rabu Kliwon
1 Sapar Ahad Kliwon 1 Sapar Jumat Kliwon
1 Mulud Senin Wage 1 Mulud Sabtu Wage
1 Bakdamulud Rabu Wage 1 Bakdamulud Senin Wage
1 Madilawal Kamis Pon 1 Madilawal Selasa Pon
1 Madilakir Sebtu Pon 1 Madilakir Kamis Pon
1 Rejeb Ahad Pahing 1 Rejeb Jumat Pahing
1 Ruwah Selasa Pahing 1 Ruwah Ahad Pahing
1 Pasa Rabu Legi 1 Pasa Senin Legi
1 Sawal Jumat Legi 1 Sawal Rabu Legi
1 Dulkaidah Sabtu Kliwon 1 Dulkaidah Kamis Kliwon
1 Besar Senin Kliwon 1 Besar Sabtu Kliwon
60
7. Tahun Wawu: 8. Tahun Jimakir:
Bulan Hari dan Pasaran
Bulan Hari dan Pasaran
1 Sura Ahad Wage 1 Sura Kamis Pon
1 Sapar Selasa Wage 1 Sapar Sabtu Pon
1 Mulud Rabu Pon 1 Mulud Ahad Pahing
1 Bakdamulud Jumat Pon 1 Bakdamulud Selasa Pahing
1 Madilawal Sabtu Pahing 1 Madilawal Rabu Legi
1 Madilakir Senin Pahing 1 Madilakir Jumat Legi
1 Rejeb Selasa Legi 1 Rejeb Sabtu Kliwon
1 Ruwah Kamis Legi 1 Ruwah Senin Kliwon
1 Pasa Jumat Kliwon 1 Pasa Selasa Wage
1 Sawal Ahad Kliwon 1 Sawal Kamis Wage
1 Dulkaidah Senin Wage 1 Dulkaidah Jumat Pon
1 Besar Rabu Wage 1 Besar Ahad Pon
Sampai sekarang berlangsung 4 kurup yaitu Jemuah Legi/Ajumgi
1555 – 1627 J (1633-1703 M), Kurup Kamis Kliwon/ Amiswon 1672 –
1747 J (1703-1819), Kurup Rebo Wage/ Aboge 1747 – 1867 J (1819-1936
M) dan Kurup Selasa Pon / Asapon 1867 – 1987 J (1936-2056 M). Untuk
Kurup Selasa Pon / Asapon sekarang sudah dapat dipastikan atau
dihitung tanggal 1 Sura tiap tahunnya sebagai berikut:32
Tahun Alip : Selasa Pon
Tahun Jimawal : Kamis Pahing
Tahun Je : Senen Legi
Tahun Dal : Jumat Kliwon
Tahun Wawu : Ngahad Wage
Tahun Jimakir : Kamis Pon
Tahun Ehe : Setu Pahing
Tahun Be : Rabu Kliwon
Awal penanggalan Jawa Islam ditetapkan 1 Muharram tahun Alip
jatuh pada hari Jumat pasaran Legi yang disebut dengan Ajumgi, karena
disetiap 120 tahun tahun Jawa akan tertinggal 1 hari oleh karena itu
32
KRT. Rintaiswara, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa. KHP
Widyabudaya. op. cit.
61
penanggalan ini sudah mengadakan 3 kali perubahan. Terdapat perbedaan
dalam beberapa referensi. Dalam buku Almanak Djamilah, Kitab
Primbon Qomarrulsyamsi Adammakna, dan Almanak Hisab Rukyat.
Ketiga rincian di atas dapat dilihat perbedaan pada ketetapan pergantian
tahunnya yaitu:
No. Tahun
Kurup
Almanak
Djamilijah33
Kitab
Primbon34
Almanak
Hisab Rukyat35
1. Ajumgi 1555 – 1674 1555-1674 1555 – 1627
2. Amiswon 1675 – 1748 1675-1746 1627 – 1747
3. Aboge 1749 – 1866 1747-1866 1747 – 1867
4. Asapon 1867 – 1986 1867-1986 1867 – 1987
Data diatas memiliki perbedaan tahun dalam pergantian kurup.
Dalam Almanak Djamilah dan Kitab Primbon Qomarrulsyamsi
Adammakna pada kurup Ajumgi 1 kurup 120 tahun. Sedangkan pada
Almanak Hisab rukyat kurup Ajumgi hanya 72 tahun. Namun data
pergantian kurup yang digunakan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
sama dengan data pergantian kurup yang terdapat pada Almanak Hisab
Rukyat.36
33
Saadoeddin Djambek, Almanak Djamilijah, Djakarta, 1959, hlm. 20. 34
Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat, et al, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi
Adammakna, op. cit., hlm. 34-35. Lihat juga Muh. Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta:
Siaran, 1957, hlm. 13. 35
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta : Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 46. 36
Wawancara dengan KRT Rintaiswara, Senin, 13 Maret 2011. op. cit.
62
Menurut KRT. Rintaiswara, B. A. alasan kurup Ajumgi belum
genap 120 tahun adalah jika dilihat dari pergantian dimulainya
penanggalan Jawa Islam dengan penanggalan Hijriyah adalah tahun 1555
J sama dengan 1043 H sudah melampaui 11 kurup yang berakhir pada
tahun 1115 H sama dengan 1627 J. Jadi kurup Ajumgi sudah melampaui 6
windu (48 tahun) sebelum tahun 1555 J / 1043 H. Namun karena pada
waktu itu penanggalan Jawa Islam belum dicetuskan oleh Kangjeng
Sinuhun Sultan Agung maka 48 tahun tidak dimasukkan dalam hitungan
1 kurup penanggalan Jawa Islam. Oleh karena itu kurup Ajumgi hanya 72
tahun karena pada saat dicetuskannya penanggalan Jawa Islam ini sudah
berjalan 48 tahun.37
Selain penanggalan Jawa Islam terdapat juga penanggalan
pranotomongso yang pada mulanya sudah tidak digunakan lagi akan
tetapi oleh Susuhunan Solo pada tahun 1855 Tarikh Jawa I dihidupkan
kembali dengan nama-nama mengambil kata-kata setempat dan sekaligus
dicocokan dengan penanggalan Masehi, yaitu berdasarkan keadaan
alam.38
Adapun nama-nama pranotomongso adalah: 39
1) Kasa : 41 hari, jatuh pada tanggal 22 Juni sampai dengan tanggal 1
Agustus, Sotya murcasaka embanan adalah watak dari musim ini, yang
37
Tertulis dalam arsip Widyabudaya wawancara H.Sudarmadi dengan KRT. Rintaiswara,
B. A., pada tanggal 8 Desember 2009. 38
Tjokorda Rai Sudharta, et al, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), Balai
Pustaka: Jakarta, 2008, hlm. 21. 39
KRT Rintaiswara, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa, op. cit.
63
artinya ratna jatuh dari tatahan, dedaunan berguguran. Pada saat ini
musim daun-daun gugur dan pohon-pohon menjadi gundul.
2) Karo : 23 hari, jatuh pada tanggal 2 Agustus sampai tanggal 24 Agustus,
Bantala rengka adalah watak dari musim ini yang artinya banyak tanah
kekeringan. Musim tanah jadi gersang dan retak-retak.
3) Katiga : 24 hari, jatuh pada tanggal 25 Agustus sampai tanggal 17
September, Suta manut ing bapa adalah watak dari musim ini yang artinya
ubi, gembili mulai tumbuh. Musim pucuk tanaman menjalar pada
rambatan.
4) Kapat : 25 hari, jatuh pada tanggal 18 September sampai tanggal 12
Oktober, Waspa kumembeng jroning kalbu adalah watak dari musim ini
yang artinya sumber air mati. Musim sumber-sumber jadi kering. Jatuh
pada musim labuh. Pada masa ini kemarau berakhir.
5) Kalimo : 27 hari, jatuh pada tanggal 13 Oktober sampai tanggal 8
November, Pancuran emas sumawur ing jagad watak dari musim ini
yang artinya sumber air mulai hidup. Mulai musim hujan. Gejala pertama
mangsa ini adalah turunnya hujan yang tidak begitu deras.
6) Kanem : 43 hari, jatuh pada tanggal 9 November sampai tanggal 21
Desember, Rasa mulya kasucian watak dari musim ini yang artinya
pepohonan berbuah. Musim pohon-pohon mulai berbuah. Mangsa ini
berada pada musim hujan.
7) Kapitu : 43 hari, jatuh pada tanggal 22 Desember sampai tanggal 2
Pebruari, Wisa kenter ing maruta watak dari musim ini yang artinya
64
banyak penyakit, musim hujan. Pada mangsa ini Matahari ada di zenit
garis balik selatan bumi (22 Desember). Musim ini dikenal juga sebagai
musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan adanya banji
8) Kawolu : 27 hari, jatuh pada tanggal 3 Pebruari sampai pada tanggal 28/29
Pebruari, Anjrah jroning kayu watak dari musim ini yang artinya banyak
banjir. Musim bertiupnya angin yang mengandung penyakit. Musim ini
dikenal juga sebagai musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan
adanya banjir.
9) Kasongo : 25 hari, jatuh pada tanggal 1 Maret sampai tanggal 25 Maret,
Wedharing wacana mulya watak dari musim ini yang artinya banyak hujan
guntur, hewan gareng berbunyi, gangsir genthir. Musim jangkrik, gasir,
gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan).
10) Kasepuluh : 24 hari, jatuh pada tanggal 26 Maret sampai tanggal 18 April,
Gedhong minep jroning kalbu watak dari musim ini yang artinya musim
hewan hamil, burung bertelur. Musim binatang-binatang hamil. Gejala
yang muncul adalah awal perkembangbiakan atau masa di mana binatang
bertelur dan berabak. Pada masa ini orang mudah lesu dan pusing karena
sebentar lagi mau musim kemarau.
11) Dhesto : 23 hari, jatuh pada tanggal 19 April sampai tanggal 11 Mei, Sotya
sinarawadi watak dari musim ini yang artinya burung-burung menyapa
anaknya. Musim burung-burung menyuapi anaknya pada musim panen.
Kesuburan seakan diasah lagi, kendati kemarau sudah diambang mata.
65
12) Sadha : 41 hari, jatuh pada tanggal 12 Mei sampai tanggal 21 Juni, Tirta
sah saking sasana watak dari musim ini yang artinya musim dingin kering,
pohon dadap berbunga. Musim dingin, orang jarang berkeringat karena
teramat dingin. Jatuh pada musim terang. Hujan mulai sungguh habis dan
kemarau mulai tiba. Masa ini juga termasuk mangsa yang panjang, yaitu
selama 41 hari.
Jumlah hari pada pronotomongso adalah 365/366 hari. Hal ini
sama dengan jumlah hari pada penanggalan Masehi. Yang membedakan
adalah jumlah hari pada tiap musimnya. Akibat adanya revolusi Bumi
maka terjadi pergantian musim disetiap tahunnya. Dalam pranotomongso
pergantian musim didasarkan pada posisi Matahari yang mana posisi
Matahari dan Bumi senantiasa berubah sepanjang tahun.
Adanya pergantian musim tergantung pada banyaknya (lamanya)
sinar Matahari. Posisi Matahari dan Bumi senantiasa berubah sepanjang
tahun. Dan pada bulan Juni dan Desember Matahari berada pada posisi
terjauh pada equator. Perbedaan posisi Matahari terhadap bola langit
menyebabkan sudut arah pancar sinar Matahari terhadap equator barubah-
ubah. Perubahan dan perbedaan posisi Matahari menyebabkan adanya
sudut deklinasi, yaitu kemiringan arah sinar Matahari yang jatuh di
permukaan Bumi terhadap akuator Bumi. Deklinasi Matahari naik 00
66
(sekitar 21 Maret) ke deklinasi tertinggi 23°27 sekitar 21 Juni. Sedangkan
pada 21 Desember adalah deklinasi selatan tertinggi
- 23°27 disebut.40
Akan tetapi karena Indonesia merupakan negara yang bermusim
tropis yang hanya mempunyai dua musim saja, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Jika dilihat dari musim-musim pronotomongso maka
mulai dari mongso Kasa sampai dengan kapat menunjukkan musim
kemarau, sedangkan untuk mongso Kalimo menunjukkan musim
pergantian musim kemarau ke musim hujan, mongso Kanem sampai
kasanga menunjukkan musim hujan, mongso Kasepuluh sampai destha
menunjukkan pergantian musim hujan ke musim kemarau, dan mongso
Sadha menunjukkan musim kemarau.
E. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan
Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Meskipun penanggalan Hijriyah dan penanggalan Jawa Islam
mempunyai dasar penanggalan yang sama yaitu berdasarkan pada
penampakan Bulan, akan tetapi penanggalan Jawa Islam bukanlah
penanggalan Hijriyah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari
(Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage), Windu, dan Wuku (Pawukon)
merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam
penanggalan Hijriyah dan Masehi.
40
W. M. Smart, Textbook on Spherical Astronomi, revisied by R.M. Green, Cambridge
University Prees: Cambridge London New York New Rochelle Melbourne Sydney, Sixt Edition,
1997, hlm. 150.
67
Hal diatas sebagaimana penulis paparkan menunjukkan
bahwasannya penanggalan Jawa Islam tidak lepas dari unsur budaya
Jawa. Akan tetapi penanggalan Jawa Islam ini juga tidak terpaku kepada
kebudayaan Jawa. Penanggalan ini merupakan penggabungan antara
penanggalan Jawa dan penanggalan Hijriyah.
Sebagaimana sebuah penanggalan, secara garis besar penanggalan
Jawa Islam ini berfungsi sebagai penunjuk hari, bulan, dan tahun. Akan
tetapi keistimewaan dari penanggalan ini khususnya bagi Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat adalah untuk menentukan upacara-upacara
ritual adat istiadat yang masih sering dirayakan oleh Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Baik upacara adat yang biasa ataupun
upacara adat yang bersifat keagamaan.41
Zaman dahulu pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan
Demak (1412 M), kerajaan Pajang (1546 M), kerajaan Mataram Islam
(1584 M), sejak dicetuskannya penanggalan Jawa Islam kerajaan-
kerajaan tersebut menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai
penetapan acuan ibadah mereka, namun seiring berjalannya waktu
pendidikan semakin berkembang. Pada tahun 1912 saat pemerintahan Sri
Sultan HB VII Gusti Raden Mas Murtedjo dengan gelar Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
VII terdapat wacana bahwasannya KH. Ahmad Dahlan selaku penghulu
keraton memberi usulan bahwasannya penanggalan Jawa Islam ini
41
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Senin, 27 Desember 2010
68
disesuaikan dengan penanggalan Hijriyah supaya bisa dijadikan patokan
dalam penentuan waktu ibadah penetapan awal bulan Hijriyah khususnya
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Dengan sangat bijak Sri Sultan menjawab bahwasannya jika pada
saat hari raya ingin mengacu terhadap penanggalan Hijriyah dalam
pelaksanaannya maka Sri Sultan tidak melarang. Akan tetapi pada saat
perayaan Grebeg Sri Sultan tetap mengacu terhadap penanggalan Jawa
Islam sebagai penetapan waktu perayaan.42
Pada waktu itu hal ini hanya sebatas wacana. Sampai akhirnya
pada tahun 1945 Indonesia merdeka dan menjadi NKRI. Saat itulah
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mulai mengikuti penanggalan
Hijriyah untuk penentuan waktu-waktu ibadah yang berhubungan dengan
penentuan awal bulah Hijriyah. Pada tahun 1945 tidak dirayakan Grebeg
karena pada saat itu sedang terjadi kekacauan di negara Indonesia.43
Alasan bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
penanggalan Hijriyah dalam penentuan ibadah awal bulan Hijriyah yang
ditetapkan oleh pemerintah karena karena Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat sudah melebur dengan pemerintah RI semenjak kemerdekaan
RI 1945.
Jika pada saat ini Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap
bertahan menggunakan penanggalan Jawa Islam dalam penetapan ibadah
awal bulan Hijriyah, maka dikhawatirkan akan “bingung kawulone” yaitu
42
Ibid . 43
Ibid
69
akan terjadi kebingungan dan kekacauan dimasyarakat. Akan tetapi
ketetapan pemerintah ini tidak berpengeruh terhadap upacara-upacara
adat istiadat yang dirayakan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.44
Misalnya, 1 Muharram jatuh pada hari Selasa Wage versi
pemerintah RI dan Departemen Agama, akan tetapi versi penanggalan
Jawa Islam jatuh pada hari Rabu. Dalam perayaan 1 Muharram Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tetap mengikuti ketetapan pemerintah. Akan
tetapi dalam perayaan Grebeg Mulud mereka tetap berpedoman pada
penanggalan Jawa Islam.45
Begitu juga dalam perayaan Grebeg Sawal. Jika terjadi perbedaan
antara penanggalan Jawa Islam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dengan penanggalan Hijriyah, maka dalam pelaksanaan 1 Syawal keraton
Yogyakarta mengikuti ketetapan pemerintah. Akan tetapi dalam
pelaksanaan Grebeg Sawal mereka tetap menggunakan hitungan
penanggalan Jawa Islam.
Berbeda dengan perayaan Ngabekten. Dalam perayaan Ngabekten
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat lebih luwes dalam memperingatinya.
Karena perayaan Ngabekten berhubungan dengan ketetapan 1 Syawal
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika pemerintah menetapkan 1
Syawal pada hari Rabu sedangkan dalam penanggalan Jawa Islam 1
44
Ibid. 45
Ibid.
70
Syawal pada hari Kamis maka perayaan Ngabekten dilaksanakan pada
hari Rabu tidak pada hari Kamis.46
Banyak unsur dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
memiliki arti. Tidak hanya dari sejarah, letak tempat keraton, ataupun dari
segi bangunannya. Akan tetapi upacara-upacara adat istiadat pun
memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta. Acara Grebeg
misalnya. Grebeg dilakukan 3 kali dalam setahun. Yaitu Grebeg Mulud
yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW, Grebeg Sawal yang diadakan untuk memperingati hari raya Idul
Fitri, dan Grebeg Besar yang diadakan untuk memeperingati hari raya
Idul Adha.
Oleh karena itulah pada penetapan upacara adat istiadat Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tetap berpedoman terhadap penanggalan
Jawa Islam, tidak mengikuti penanggalan Hiriyah yang telah ditetapkan
oleh pemerintah RI. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih
senantiasa mempertahankan budaya yang mereka miliki.
46
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Kamis, 14 April 2011.
71
BAB IV
ANALISIS POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM
DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT
A. Analisis Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Penanggalan Jawa Islam atau yang disebut juga dengan penanggalan
Sultan Agung yang masih dipakai oleh sebagian masyarakat Yogyakarta
merupakan warisan tersendiri bagi umat Islam khususnya bagi para
masyarakat Jawa Islam.
Penanggalan Jawa Islam terdiri dari 354 hari 9 jam. Selisih antara
penanggalan Hijriyah dengan Jawa adalah:
Untuk tahun Jawa = 354 3/8 hari
Untuk tahun Hijriyah = 354 11/30 hari
Selisih dalam satu tahun = 354 3/8 – 354 11/30 =
= 354 45/120 – 354 44/120 = 1/120 hari.
Tahun Jawa Islam = 120 X 354 3/8 = 42525 hari
Tahun Hijriyah = 120 X 354 11/30 = 42524 hari
Sehingga dalam masa 120 tahun tertinggal 1 hari.
72
Penanggalan Jawa Islam mempunyai siklus 8 tahun yang dinamakan
windu. Dalam 8 tahun terdapat 3 tahun kabisat yang umurnya 355 hari, yaitu
tahun ke 2, tahun ke 5, tahun ke 8. Adapun rumusannya sebagai berikut: 1
Tahun Hijriyah Tahun Jawa Islam Hari- Jam Tahun
1 7 0 hari 9 jam Basithoh
2 8 0 hari 18 jam Kabisat
32 1 1 hari 3 jam Basithoh
4 2 1 hari 12 jam Kabisat
5 3 1 hari 21 jam Basithoh
6 4 2 hari 6 jam Basithoh
7 5 2 hari 15 jam Kabisat
8 6 2 hari 24 jam/
3 hari 0 jam Basithoh
1) “tahun Hijriyah” dan “tahun Jawa Islam”:
Penanggalan Jawa Islam tidak lepas dari penanggalan Hijriyah,
karena Sultan Agung menginduk kepada penanggalan Hijriyah. Jika
dihitung dari pembagian tahun Hijriyah dibagi dengan 1 siklus Jawa Islam
maka:
1043 : 83 = 130, 375 Sisa 3 maka pada saat itu tahun 1043 Hijriyah
merupakan tahun ke 3 Jawa dalam 1 siklus tahun Jawa Islam.
1Wawancara dengan Sayful Mujab, Dosen Falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang
merupakan putra dari KH. Noor Ahmad ahli falak Jepara. Pada hari Jumat, tanggal 31 Desember
2010. 2Tahun ke tiga ini adalah tahun ke 3 hijriyah dengan konsep pembagian 1 siklus Jawa
Islam yang menjadi tahun pertama Jawa Islam, oleh karena itu tahun ini dinamakan tahun Alip (أ) 3 Dibagi dengan 8 (konsep siklus dalam penanggalan Jawa Islam) untuk menyamakan
antara tahun Hijriyah dengan tahun Jawa Islam.
73
Tahun ke 3 ini adalah tahun pertama Jawa Islam kemudian
dinamakan tahun Alip (أ) pada penanggalan Jawa Islam.
Pada tahun ke 3 Hijriyah dengan konsep siklus 8 windu inilah
Sultan Agung menetapkan awal penanggalan Jawa Islam. Oleh karena itu
pada tahun ke 3 Hijriyah dengan konsep siklus 8 tahun (1 windu)
dijadikan patokan pertama dalam penanggalan Jawa Islam. Tahun ke 3
Hijriyah adalah tahun ke 1 Jawa Islam.
2) “hari – jam”:
Pada penanggalan Jawa Islam selama satu tahun sekitar 354 3/8
hari, 3/8 hari sama dengan 9 jam. Jika dalam penambahan lebih dari 24
maka dikurangi dengan 24 dan menambah 1 hari. Misalnya:
0 + 9 jam = 9 jam
9 + 9 jam = 18 jam
18 + 9 jam = 27 jam, 27 jam sama dengan 1 hari 3 jam.
1 hari 3 jam + 9 jam = 1 hari 12 jam
3) ”tahun”:
Untuk mengetahui tahun kabisat atau tahun basithoh dengan cara
jumlah jam yang mendekati atau lebih dari 12 jam (0,5 hari) dalam hari
yang sama, jika lebih dan mendekati maka tahun tersebut adalah tahun
kabisat. Dari tabel perhitungan diatas yang mendekati angka 12 adalah
terletak pada tahun Hijriyah ke 2 (0 hari 18 jam) maka kabisat, ke 4 (1 hari
12 jam) maka kabisat, dan ke 7 (2 hari 15 jam) maka kabisat.
74
Dalam penetapan nama-nama tahun yang digunakan dalam tahun
ataupun bulan Jawa tidak terlepas dari unsur bahasa Arab. Tepatnya adalah
bahasa Arab yang dijawakan.
Adapun perhitungan untuk menentukan nama-nama kurup dalam
penanggalan Jawa Islam adalah: 4
Tahun Jawa
Islam Tahun Nama tahun
Nama
Kurup
7 Basithoh 4 + 6 (و) = 7 – 10 ,10 hari = 3 (ج) Wawu (و)
8 Kabisat 5 + 3 (ج) = 8 Jimakhir (ج أخر)
1 Basithoh 4 + 1 (أ) = (ه) 5 Aliph (أ)
2 Kabisat 5 + 5 (ه) = 7 10 ,10 hari = 3 (ج) Ehe (ه)
3 Basithoh 4 + 3 (ج) = (ز) 7 Jimawal (ج أول)
4 Basithoh 4 + 7 (ز) = 7 – 11 ,11 hari = 4 (د) Je (ز)
5 Kabisat 5 + 4 (د) = 7 – 9 ,9 hari = 2 (ب) Dal (د)
6 Basithoh 4 + 2 (ب) = (و) 6 Be (ب)
Keterangan:
1) Dalam penanggalan Jawa Islam terdapat tahun kabisat dan bashitoh. Tahun
kabisat berjumlah 355 hari sedangkan tahun basithoh berjumlah 354 hari.
Penentuan angka untuk tahun kabisat dan bashitoh adalah:
354: 7 hari = sisa 4 (maka basithoh)
355: 7 hari = sisa 5 (maka kabisat)
2) Perhitungan dimulai pada tahun ke 3. Sebagaimana telah dijelaskan
penulis di atas bahwa tahun ke 3 Hijriyah adalah tahun pertama saat
ditetapkannya penanggalan Jawa Islam oleh Sultan Agung. Pada tahun ke
4 Wawancara dengan Sayful Mujab. op. cit.
75
3 Hijriyah adalah tahun basithoh maka angkanya adalah 4 sedangkan
untuk kabisat adalah 5. Dan huruf pertama adalah أ) ) maka ditambahkan 1.
3) 45) dalam abjadiah ,(ه) 5 =(أ)1 + بجد۱ )
6, angka 5 adalah huruf ه, setelah itu
angka 57 ,karena hari hanya mencapai 7, maka 10 – 7 hari= 3 ,10 = (ه) 5 +
angka 3 adalah huruf (ج). Huruf yang dipakai untuk menamakan tahun
Jawa Islam adalah huruf-huruf yang digunakan untuk menambah tahun
kabisat atau bashitoh. Oleh karena itu tahun pertama adalah tahun (أ) dan
tahun ke dua adalah tahun (ه).
Keahlian yang dimiliki Sultan Agung dalam mengubah sistem
penanggalan Jawa menjadi sistem penanggalan Jawa Islam tidak lepas dari
unsur budaya Jawa yang mempunyai nilai tersendiri bagi masyarakat Jawa.
Dalam penanggalan ini Sultan Agung mengkomparasi antara perhitungan
Jawa dengan perhitungan Hijriyah.
Sampai saat ini penanggalan Jawa Islam masih digunakan di beberapa
daerah, salah satunya adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sistem
perhitungan penanggalan Jawa Islam yang berlaku di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat sudah menggunakan sistem perhitungan Asapon. Berbeda dengan
sistem perhitungan yang masih digunakan di tempat lain, yang masih
mempertahankan Aboge dalam perhitungannya. Salah satunya di kabupaten
Banyumas.
5 Angka ini adalah angka tahun kabisat.
6بجد هوزحطى كلمن سعفص قر شت ثخذ ضظغ ۱ , Muhammad al-faqir bin Abdul Hamid bin
Muhammad Dairi al-batawi, Sulamun Nayirain, Jakarta: Madrasah al- Khoiriyah al- Mansyuriyah,
1925. 7 Angka ini adalah angka tahun bashitoh.
76
Di daerah Banyumas ini masih menggunakan sistem perhitungan
Aboge dengan dasar kitab “Turki” kitab ini bukanlah kitab yang berasal dari
Turki ataupun menggunakan bahasa Turki, yang dimaksud adalah “tuture si
kaki” (perkataan nenek moyang mereka).8
Selain di Banyumas di daerah Ambarawa Jawa Tengah tepatnya di
desa Kenteng dusun Golak juga masih menggunakan sistem perhitungan
Aboge. Dimana yang dijadikan sebagai acuan adalah buku induk Primbon
Djawa Sabda Guru Kahimpun Dening SPH Handanamangkara. Dengan
merujuk pada buku hisab rukyah ini, bahwasannya dasar dari sistem hisab ini
banyak mengandung petangan jawi.9
Aliran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah
Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang juga termasuk masyarakat yang
masih mengikuti sistem perhitungan Aboge. Akan tetapi ada perbedaan
dengan aliran ini. Mereka menggunakan Aboge hanya sebagai ancer-ancer
rukyah dalam penetapan awal bulan.10
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem
perhitungan Asapon. Hal ini menunjukkan bahwa Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat sudah mengikuti reformasi dari penanggalan Jawa Islam. Karena
jika dirunut sampai tahun ini, sistem perhitungan sudah seharusnya
8 Tahrir Fauzi, Studi Analisis Penetapanawal Bulan Kamariah Sistem Aboge Di Desa
Kracak Kecamatan Ajibaranag, Semarang: IAIN Walisongo, 2010, hlm. 52. 9Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Atas Penentuan Poso Dan Riyoo
Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah, op. cit., hlm. 35. 10
M, Rizal Zakaria, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Kalender Jawa Islam
Aboge Sebagai Ancer-Ancer Rukyah Dalam Penentuan 1 Syawal 1430 H Aliran Thoriqoh
Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadidah Al-Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang,
Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010, hlm. V.
77
menggunakan sistem Asapon. Oleh karena itu Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat bisa dijadikan acuan bagi masyarakat yang masih mengikuti
sistem penanggalan Jawa Islam dalam menentukan awal bulan Kamariah.
Namun bukan berarti apa yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas
dan penganut aliran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah Dusun Kapas Klopo
Peterongan Jombang ini salah. Mereka mempunyai dasar masing-masing
dalam hisab Jawa Islam yang mereka anut.
Dalam sistematika perhitungan penanggalan Jawa Islam, Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tidak mempunyai cara perhitungan khusus dalam
penentuannya. Seperti cara perhitungan yang penulis cantumkan dalam bab II.
Bab II telah dijelaskan cara perhitungan penanggalan Jawa Islam dengan
menggunakan rumus tertentu. Perhitungan penanggalan Jawa Islam yang
tertera dalam bab II perhitungan penanggalan Jawa Islam tersebut mempunyai
komposisi yang lengkap karena tidak hanya bisa menghitung tanggal 1 Suro
akan tetapi bisa digunakan untuk menghitung bulan-bulan lain beserta hari dan
pasarannya. Sedangkan metode yang digunakan oleh Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat masih secara manual yaitu dengan menggunakan hisab aritmatik
dengan cara mengurutkan dari tahun-tahun sebelumnya. Pada dasarnya kedua
metode perhitungan penanggalan Jawa Islam tersebut sama benarnya. Akan
tetapi perlu dilakukan revisi dalam perhitungan yang tercantum dalam bab II.
Hal yang perlu direvisi adalah dalam penentuan tahun Dal. Dalam
perhitungan sistem Asapon saat ini tahun Dal sama dengan tahun-tahun
lainnya. Tidak ada lagi keistimewaan dalam tahun Dal sebagaimana dalam
78
Kitab Primboan Qamarulsyamsi Adammakna11
yang menyebutkan tahun dal
mempunyai keistimewaan dengan jumlah hari 30, 30, 29, 29, 29, 29, 30, 29,
30, 29, 30, 30 dalam tiap bulannya. Hal tersebut bisa dilihat dalam bab II
halaman 42 menjelaskan bahwasannya tahun Dal 1 Suro jatuh pada hari Sabtu
Legi dan dalam halaman 44 menjelaskan bahwa jumlah hari pada tiap
bulannya berbeda yaitu 30, 30, 29, 29, 29, 29, 30, 29, 30, 29, 30, 30, akan
tetapi pada bab III halaman 61 disebutkan bahwa tahun 1 Suro pada tahun Dal
jatuh pada hari Jumat Kliwon. Selain itu jumlah hari dalam setiap bulan pada
tahun Dal tidak lagi memiliki perbedaan dengan tahun-tahun yang lainnya.
Di Indonesia terdapat beberapa cara penentuan awal bulan yakni
dengan metode hisab dan rukyat. Adanya perbedaan cara perhitungan inilah
yang menyebabkan sering terjadinya perbedaan. Namun dalam penetapan
penanggalan Jawa Islam tidak mengalami sengketa dalam penentuan awal
bulan seperti dalam penetapan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah.
Secara astronomis, penanggalan Jawa Islam tergolong mathematical
calendar, sedangkan penanggalan Hijriyah tergolong dalam astronomical
calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem
penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari
fenomena alam. Penanggalan Masehi juga tergolong mathematical calendar.
Adapun astronomical calendar merupakan perhitungan penanggalan
11
Kangjeng Pangeran Karya Tjakraningrat, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi Adammakna,
op. cit., hlm. 35
79
berdasarkan fenomena alam seperti penanggalan Hijriyah dan penanggalan
Cina.12
B. Analisis Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan
Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kultur masyarakat Jawa tidak terlepas dari kultur Hindu-Budha.
Sebelum datangnya agama Islam ke tanah Jawa, agama Hindu-Budha sudah
dulu hadir di tanah Jawa. Sebagaian besar kultur dari masyarakat Jawa
merupakan warisan dari Hindu-Budha. Sampai masuknya agama Islam yang
dibawa oleh para pedagang ke tanah Jawa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha
masih melekat dalam masyarakat Jawa.
Sampai akhirnya pengaruh Islam mulai mendominasi masyarakat Jawa
di Nusantara. Seiring dengan itu, simbol-simbol kebudayaan Hindu-Budha
sedikit demi sedikit diganti dengan simbol-simbol kebudayaan Islam. Proses
perubahan itu biasanya tidak secara drastis. Simbol-simbol lama tetap dipakai,
namun esensinya diislamkan. Contohnya pertunjukan wayang. Wayang tetap
digunakan sebagai media, namun ceritanya diubah dan dimodifikasi agar
sesuai dengan pesan-pesan Islam. Ajaran-ajaran Islam pun banyak yang
dikemas dalam tembang-tembang khas Jawa. Begitulah cara yang dipakai oleh
para pendakwah Islam waktu itu. Konon, Sunan Kali Jaga adalah salah satu
yang paling sering menggunakan cara-cara seperti itu.
12
http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm ditulis oleh Hendro
Setyanto, Asisten di Observatorium Bosscha, Departemen Astronomi-ITB Lembang, Forum
Kajian Ilmu Falak "ZENITH". Pada tanggal 3 Mei 2010
80
Sebagaimana kita ketahui agama Islam mengajarkan agar para
pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu. Sebagian
pelaksanaan kegiatan ritualistik masyarakat Jawa Islam masih bercampur
dengan pengaruh budaya Hindu-Budha. Seperti dalam pelaksanaan slametan
untuk mendo’akan orang yang telah meninggal, selapanan untuk bayi, upacara
pernikahan, dan lain sebagainya.
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-
upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari
keberadaannya dalam perut ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa sampai
dengan saat kematiannya, atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan
aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah, khususnya bagi para
petani, pedagang, nelayan, dan upacara-upacara yang berhubungan dengan
tempat tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai keperluan,
membangun dan meresmikan tempat tinggal, pindah rumah, dan sebagaimana.
Upacara-upacara itu ditujukan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.13
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan salah satu keraton
yang masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaannya. Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat masih sering melakukan ritual-ritual atau upacara-
upacara adat yang mereka percayai. Dalam menentukan upacara adat istiadat
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki penanggalan yang disebut
dengan penanggalan Jawa Islam atau penanggalan Sultan Agung. Penanggalan
inilah yang dijadikan patokan dalam penentuan ritual-ritual atau upacara-
13
Abdul Jamil, et al, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gramedia: Yogyakarta, 2000, hlm.
131.
81
upacara adat mereka. Mereka memiliki ketetapan atau perhitungan tersendiri
dalam penanggalan Jawa Islam ini. Meskipun terkadang terdapat perbedaan
dengan perhitungan penanggalan Hijriyah yang telah ditetapkan oleh
pemerintah RI.
Sebagaimana telah dipaparkan penulis dalam bab III, penggunaan
penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengalami
pergeseran antara sebelum kemerdekaan RI yaitu pada zaman masih
berdirinya kerajaan-kerajaan dengan setelah kemerdekaan RI. Pada kerajaan-
kerajaan Islam penanggalan Jawa Islam mempunyai dua peran penting.
Penanggalan Jawa Islam tidak hanya digunakan dalam penetapan upacara-
upacara adat istiadat akan tetapi penanggalan Jawa Islam juga berfungsi
sebagai penentuan waktu-waktu ibadah dalam penetapan awal bulan
Kamariah. Pada tahun 1912 M terdapat wacana dari KH. Ahmad Dahlan untuk
menetapkan penanggalan Jawa Islam sebagai pedoman mutlak waktu ibadah
yang berhubungan dengan penetapan awal bulan Kamariah, namun hal itu
hanya menjadi sebuah wacana saja. Sampai akhirnya pada tahun 1945 M
Indonesia merdeka dan pada saat itulah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
melebur dengan NKRI.
Tidak hanya dalam sistem pemerintahan akan tetapi dalam penetapan
ibadah yang berkaitan dengan penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah mengikuti ketetapan
pemerintah RI. Hal demikian karena Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
tetap patuh terhadap keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam
82
penentuan awal bulan Kamariah. Sebagaimana yang tertulis dalam ayat al-
Quran surat an-Nisa’ 59 yang menganjurkan untuk ta’at kepada ulil amri:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Menurut penulis terjadinya pergeseran dalam penggunaan penanggalan
Jawa Islam karena pemerintah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak ingin
masyarakatnya terpecah belah karena keyakinan yang berbeda dalam
menentukan waktu-waktu ibadah. Meleburnya Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan RI dalam penetapan ibadah juga mempunyai tujuan yang
positif. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak menginginkan adanya
kebingungan dan kekacauan masyarakat Yogyakarta. Dengan demikian
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap berusaha menjaga keselarasan dan
keharmonisan antara pemerintah RI, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan
masyarakat Yogyakarta.
Meskipun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengikuti penanggalan
Hijriyah akan tetapi dalam penetapan upacara adat istiadat mereka tetap
menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan. Sekalipun terjadi
83
perbedaan dalam perhitungan, masyarakat Yogyakarta, khususnya abdi dalem
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih tetap berpedoman terhadap
penanggalan Jawa Islam. Karena sebagian masyarakat Yogyakarta dan para
abdi dalem percaya dengan perhitungan yang mereka gunakan dalam
menentukan hari-hari upacara adat istiadat yang masih mereka rayakan.
Pemaparan di atas terlihat jelas bahwa penanggalan Jawa Islam ini
kurang berperan dalam penentuan-penentuan ibadah awal bulan Kamariah.
Meskipun Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai perhitungan
penanggalan sendiri, akan tetapi perhitungan dan penetapan itu tidak
digunakan secara umum. Adanya dua pemetaan dalam penggunaan
penanggalan ini merupakan suatu kebijaksanaan pihak Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Alasan tersebut tidak hanya karena meleburnya Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dengan RI. Akan tetapi dalam penentuan waktu
ibadah yang berhubungan dengan penentuan awal bulan Kamariah mencakup
skala besar, tidak hanya meliputi masyarakat Yogyakarta saja. Sedangkan
untuk penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam perayaan ritual dan upacara
adat istiadat hanya mencakup skala kecil. Dalam hal ini penanggalan Jawa
Islam hanya diikuti oleh masyarakat sekitar Yogyakarta.
Seperti yang pernah ditulis oleh Slamet Hambali bahwasannya di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibedakan antara tradisi dengan ibadah.
Ketika dalam penentuan tradisi dasarnya adalah penanggalan Jawa Islam, akan
tetapi dalam pelaksanaan ibadah tetap mengikuti pemerintah. Hal itu yang
84
menjadikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memilah-milah antara agama
dan budaya14
Dua hal yang menjadi alasan dalam memberlakukan penanggalan Jawa
Islam, yaitu:15
1) Mempertahankan unsur kebudayaan asli Jawa dengan adanya Pakuwon
dan sebangsanya yang diperlukan dalam memperingati hari kelahiran
orang Jawa, untuk mengetahui bagaimana watak manusia dan
memprediksi nasib atau peruntungan menurut primbon Jawa. Karena
kebudayaan Jawa perlu dijaga dan dilestarikan. Termasuk dalam
penanggalan Jawa Islam, karena saat ini tidak banyak lagi orang yang
mempelajari penanggalan Jawa Islam.
2) Menyelaraskan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Arab. Sistem
pananggalan Tahun Jawa Islam yang hampir sama dengan penanggalan
Hijriyah akan memudahkan masyarakat Islam di Jawa untuk menjalankan
ibadahnya. Masyarakat Jawa akan lebih menerima penyatuan dua unsur
budaya antara kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Arab dari pada
mengganti kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Arab secara keseluruhan.
Berlakunya penanggalan Jawa Islam sampai saat ini adalah bertujuan
untuk tetap melestarikan unsur kebudayaan yang masih dimiliki oleh Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Karena kita tahu bahwasannya penanggalan Jawa
Islam merupakan salah satu unsur budaya yang harus tetap dijaga
14
Slamet Hambali, Penentuan Poso Dan Riyoyo Di Kalangan Keraton Yogyakarta, op.
cit., hlm. 61-62. 15
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi
Hijriyah dan Jawa) , 2009, hlm. 45
85
keeksistensiannya. Terutama jika melihat fungsi dari penanggalan Jawa Islam
sebagai penentu waktu upacara adat istiadat di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Jika diamati, bahwasannya perayaan upacara adat istiadat di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai hubungan yang erat dengan hal-hal
keagamaan. Adat istiadat yang mereka punya tidak murni adat istiadat Jawa.
Akan tetapi sebagian perayaan upacara adat istiadat yang dimiliki oleh
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki unsur agama didalamnya.
Adapun macam-macam perayaan upacara adat istiadat yang dilakukan oleh
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat:
1) Siraman Pusaka
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai rasa hormat dan penghargaan
kepada benda-benda pusaka dengan cara membersihkan serta
menempatkan pada tempat yang selayaknya. Hal ini dalam rangka
menjaga keawetan dan kharisma yang ada pada pusaka-pusaka tersebut.
Upacara siraman pusaka berlangsung selama 2 haripada bulan Suro
tiap tahun yaitu pada hari Selasa Kliwon dan Rebo Legi atau Jumat
Kliwon dan Sabtu Legi.
2) Upacara Labuhan
Upacara adat dengan cara melarung atau meletakan barang-barang
tertentu di tempat tertentu yang memiliki kaitan sejarah dengan kereton
Yogyakarta Hadiningrat, sebagai wujud rasa syukur dan permohonan
selamat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tempat-tempat tertentu tersebut adalah Parangkusumo
/Pemancingan Bantul, Gunung merapi Sleman, Gunung lawu
Karanganyar, Dlepih Kahyangan Wonogiri.
3) Upacara Grebeg
Upacara ini adalah upacara untuk memperingati hari besar Islam
dengan prosesi gunungan dilaksanakan satu tahun 3 kali, yakni Grebeg
Mulud, Grebeg Sawal, dan Grebeg Besar. Pelaksanaanya berdasarkan
perhitungan kalender Jawa Sultan Agung. Yaitu pada 12 Mulud, 1 Sawal,
dan 10 Besar.
Tiga hari menjelang hari H (Grebeg) diadakan upacara “numplak”
wajik di pantai Pareden Kemagangan yaitu upacara memulai membuat
gunungan yang diawali dengan dibunyikannya kothekan atau gejog lesung
untuk penolak bala.
86
Upacara paling besar adalah pada Grebeg Mulud. Karena didahului
dengan perayaan Sekaten dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.
Dalam Grebeg Mulud dikeluarkan 5 gunungan, khusus tahun Dal
ditambah dengan Gunungan Brama atau Gunungan Kutug karena
mengeluarkan asap. Grebeg Sawal 1 gunungan lanang dan pada Grebeg
Besar dikeluarkan 5 gunungan.
4) Upacara Ngabekten
Merupakan upacara Sawalan atau Halal bi Halal di dalam keraton.
Saat acara ini para abdidalem dari berbagai tingkat dan pangkat
menghadap Sri Sultan dan menghaturkan sembah sungkem dengan laku
dhodhok mencium lutut Ngarsa Dalem.
5) Upacara Pisowanan Grebeg Dal
Pada gerebeg Dal yang berlangsung sekali pada satu windu keraton
Yogyakarta menyelenggarakan Pisowanan Grebeg Dal. Dalam Pisowanan
ini Ngarsa Dalem lenggah sisiwaka di bangsal kencana menghadap ke
timur disertai dengan pusaka-pusaka utama keraton Yogyakarta.
6) Upacara Jumenengan Dalem
Upacara ini merupakan prosesi mulai bertahtanya seorang Sultan
baru. Dilaksanakan di Bangsal Witana Sitihinggil dengan segala
kelengkapan kebesaran keraton.
7) Upacara Wisudan Pangeran
Kenaikan pangkat bagi para putra putri raja dari remaja ke dewasa
menjelang nikah. Seorang putra raja yang semula bergelar BRM, naik
menjadi GBPH lalu KGPH. Upacara ini dilakukan di Bangsal Kencana.
8) Upacara Perkawinan Putra-putri Raja
Dilaksanakan upacara panggih diteruskan pondhongan di tratag
Bangsal Kencana, didahului acara edan-edanan untuk mengusir roh jahat.
Ijab kobul dilakukan di masjid Panepen. Upacara pernikahan ini baku gaya
Mataraman.
9) Upacara Lain.
Upacara adat yang berkaitan dengan kehidupan pribadi raja,
keluarga dan masyarakat Jawa pada umumnya yaitu tingkeb, puputan,
selapanan, tedhak siti, tarapan (putri), khitanan, tinggalan (hari kelahiran)
dan lain-lain.
Upacara adat yang berkaitan dengan kematian yaitu nyurtanah, tiga
hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun,
seribu hari, khoul, dan lain-lain. 16
16
KRT. Rintaiswara, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa, op. cit.,
hlm. 18-32
87
Acuan penetapan waktu untuk upacara adat istiadat diatas adalah
penanggalan Jawa Islam. Misalnya dalam perayaan Grebeg Mulud, jika
terjadi perbedaan dengan ketetapan yang diberikan oleh pemerintah, pihak
keraton tetap melaksanakan Grebeg Mulud sesuai dengan perhitungan dalam
penanggalan Jawa Islam.
Beberapa upacara adat istiadat diatas terdapat beberapa acara adat yang
berhubungan dengan perayaan-perayaan ibadah umat Islam. Seperti perayaan
Grebeg yang dilakukan sebanyak 3 kali. Yakni Grebeg Mulud, Grebeg Sawal,
dan Grebeg Besar. Dan dari ketiga Grebeg tersebut Grebeg yang paling besar
adalah Grebeg Mulud yang dimaksudkan untuk memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal. Khususnya pada tahun
Dal yang terjadi 8 tahun sekali. Pada tahun Dal perhitungan bulan dibedakan
dengan tahun-tahun yang lainnya. Hal ini untuk tetap menjaga bahwasannya
kelahiran Nabi Muhammad tetap jatuh pada waktu yang sama. Karena jika
diruntut kebelakang, kelahiran Nabi Muhammad tepat pada tahun Dal.
Sedangkan Grebeg Sawal terjadi pada tanggal 1 Syawal. Saat itu umat
Islam sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Untuk Grebeg Besar terjadi pada
tanggal 10 Dzulhijjah. Pada saat itu orang-orang Islam sedang merayakan hari
raya Idul Adha dengan menyembelih kurban.
Selain itu ada upacara Ngabekten, yang dilakukan pada bulan sawal.
Seperti halnya umat muslim yang lainnya. Di dalam keraton juga mengadakan
Halal bi Halal antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk para adbdi dalem
88
melakukan sungkem kepada Sri Sultan. Hal ini dimaksudkan untuk meminta
maaf dan saling memaafkan satu sama lainnya.
Penentuan upacara Ngabekten berbeda dengan penentuan upacara-
upacara adat lainnya. Jika dalam penentuan upacara-upacara adat lainnya
menggunakan penanggalan Jawa Islam, dalam penentuan upacara Ngabekten
mengikuti penanggalan Hijriyah. Hal ini karena upacara Ngabekten adalah
upacara Sungkeman yang biasanya dilakukan pada tanggal 1 Syawal setelah
sholat Idul Fitri. Oleh karena itu dalam penentuan pelaksanaan perayaan
upacara Ngabekten lebih luwes dari pada pelaksanaan perayaan upacara adat
istiadat lainnya.
Bisa dilihat bahwa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak hanya
menjunjung tinggi adat istiadat kebudayaan Jawa semata, akan tetapi adat
istiadat yang berhubungan dengan ibadah khususnya yang berhubungan
dengan penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ikut
dilestarikan sampai saat ini.
Adanya pemetaan dalam penggunaan penanggalan ini menunjukkan
bahwa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mampu membedakan antara
kebutuhan masyarakat Yogyakarta dengan kebutuhan umat Islam pada
umumnya. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sifat hati-hati dalam
hal penentuan pelaksanaan ibadah yang dijalani oleh abdi dalem Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat dan masyarakat Yogyakarta. Dalam pelaksanaan
ibadah mereka mengikuti ketetapan pemerintah yang telah dihisab dengan
sistem hisab kontemporer disertai dengan metode Imkanurukyah. Akan tetapi
89
masyarakat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai ruang gerak
dalam melaksanakan upacara-upacara adat istiadat di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan
waktu pelaksanaan perayaan upacara adat istiadat.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak sembarangan dalam
penentuan waktu-waktu pelaksanaan ibadah dan perayaan upacara adat
istiadat. Bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat antara pelaksanaan ibadah
dan pelaksanaan upacara adat istiadat merupakan hal yang sama penting.
Kebijakan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam penentuan waktu
ibadah dengan menggunakan penanggalan Hijriyah dan penentuan waktu adat
istiadat menggunakan penanggalan Jawa Islam mempunyai banyak manfaat.
Pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak memiliki sifat egois dengan
tetap menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan dalam menentukan
waktu pelaksanaan ibadah awal bulan Kamariah. Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat masih mengikuti ketetapan pemerintah dalam penentuan ibadah
awal bulan Kamariah.
Keputusan dalam pemetaan penggunaan penanggalan Jawa Islam di
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan keputusan yang sangat tepat.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat bisa merangkul kedua-duanya antara
kepentingan pelaksanaan adat istiadat dengan kepentingan pelaksanaan
ibadah. Tidak ada permasalahan baik dalam hal penentuan pelaksanaan ibadah
awal bulan Kamariah ataupun dalam hal penentuan pelaksanaan upacara adat
90
istiadat. Masyarakat Yogyakarta bebas memilih atau mengikuti waktu-waktu
pelaksanaan ibadah mereka khususnya dalam penetapan awal bulan Kamariah.
Sebagai sebuah sistem penanggalan, penanggalan Jawa Islam
merupakan salah satu produk budaya bangsa Indonesia. Sistem penanggalan
Jawa Islam tersebut, seperti halnya budaya Jawa lainnya, karena semakin
berkembangnya ilmu pengetahuan yang lebih modern dan lebih akurat maka
secara perlahan penanggalan Jawa Islam ini mulai hilang dari peredaran.
Untunglah masih ada tradisi Grebeg yang masih melekat dan masih dirayakan
upacara-upacara dalam memperingatinya di masyarakat Jawa yang diperingati
secara rutin oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan dan analisis di atas penulis/peneliti,
dapat menyimpulkan bahwa:
1) Dalam penetapan awal bulan Kamariah, Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat saat ini menggunakan sistem hisab
Asapon yang sudah semestinya digunakan saat ini, bukan
menggunakan sistem Aboge lagi. Dalam cara perhitungan
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menggunakan sistem
perhitungan aritmatik. Sehingga untuk menentukan awal bulan
atau setidaknya dalam pembuatan penanggalan Jawa Islam ahli
hisab keraton harus tahu penanggalan sebelumnya.
2) Terdapat dua pemetaan dalam penggunaan penanggalan Jawa
Islam. Pada saat sebelum kemerdekaan RI penggunaan Jawa
Islam masih digunakan sebagai penentu pelaksanaan ibadah
awal bulan Kamariah dan penentu pelaksanaan upacara adat
istiadat, akan tetapi penggunaan penanggalan Jawa Islam lebih
berperan terhadap penentuan pelaksanaan upacara adat istiadat.
Setelah kemerdekaan RI penggunaan penanggalan Jawa Islam
mengalami pergeseran, penanggalan Jawa Islam hanya dipakai
sebagai penentu upacara adat istiadat di Keraton
92
Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam penentuan pelaksanaan
ibadah awal bulan Kamariah Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat mengikuti ketetapan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah RI. Kalau pun terdapat perbedaan perhitungan,
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap mengikuti ketetapan
pemerintah dalam penentuan waktu-waktu ibadah khususnya
dalam penentuan awal bulan Kamariah.
B. Saran-saran
1) Pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap permasalahan hisab
rukyah yang terjadi di Indonesia. Pemerintah sekiranya dapat
memberikan sosialisasi tentang penentuan awal bulan Kamariah
kepada masyarakat yang saat ini masih mengikuti perhitungan
Jawa Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah, khususnya
bulan-bulan ibadah, yakni Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
2) Kiranya ada pertukarana wacana terhadap masyarakat yang masih
menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dalam hal ini alangkah
baiknya jika pihak keraton turut serta mempublikasikan kepada
masyarakat yang masih berpedoman terhadap penanggalan Jawa
Islam, bahwasanya saat ini sistem perhitungan sudah menggunakan
perhitungan Asapon. Bukan menggunakan sistem Aboge lagi.
Setidaknya terhadap daerah-daerah terdekat. Hal ini bisa dilakukan
salah satunya dengan cara pihak keraton bekerja sama dengan BHR
setempat.
93
3) Penanggalan Jawa Islam merupakan salah satu warisan kekayaan
intelektual masyarakat Jawa, sehingga harus tetap dilestarikan.
Karena pada saat ini tidak banyak orang yang tahu dan
mempelajari sistem penanggalan Jawa Islam.
4) Ilmu Falak ilmu termasuk ilmu yang langka karena tidak banyak
orang yang mempelajari dan menguasainya. Ilmu falak juga ilmu
yang sangat penting, karena berkaitan dengan waktu-waktu ibadah
baik tentang kiblat, gerhana, dan awal bulan Kamariah. Oleh
karena itu hendaknya ilmu ini tetap dijaga eksistensinya dengan
melakukan pengembangan dan pembelajaran baik bersifat personal
maupun institusi pendidikan formal dan informal. Karena telah kita
ketahui bahwa ilmu ini memiliki peranan sangat penting terhadap
syari’at agama Islam.
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT. penulis ucapkan sebagai
ungkapan rasa syukur karena telah menyelesaikan skripsi ini. Meskipun
telah berupaya dengan optimal, penulis yakin masih ada kekurangan dan
kelemahan skripsi ini dari berbagai sisi. Namun demikian penulis berdo’a
dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
para pembaca pada umumnya.
Atas saran dan kritik konstruktif untuk kebaikan dan kesempurnaan
tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih.
Daftar Pustaka
Abdul Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gramedia, 2000.
Al-Halidi, Muhammad Abdul Aziz, Irsyadus Syariy, jilid 4 , Beirut: Darl al-
Kotob al-Alamiyah, 1996.
Ahmad Thib Raya, Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam
Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Al-Jaelani, Zubair Umar, al-Khulashatul Wafiyah, Surakarta : Melati.
Al Qurtuby, Somanto, Arus Cina-Islam-Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya,
2003.
Ambary, Hasan, Muarif Menemukan Peradaban, Jakarta: PT Logos Wancana
Ilmu, 1998.
Anam, A.Syifaul, Studi tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab
Khulasoh alWafiyah dengan metode hakiki bi tahqiq,Skripsi Sarjana
fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2001.
Ar-Razi, Fakhrudin At-tafsir al-Kabir, Beirut dar al-Fikr, 1398 H juz 5.
Azhari, Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia, Studi
Ataspemikiran Saadoe’ddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
(Anggota IKAPI) , 2002.
, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta:
Suara Muhamadiyah, 2007.
Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta : Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, 1981.
, al- Qur’an dan Terjemahnya A-Jumanatu ‘Ali, Bandung: CV Penerbit J-
ART, 2005.
Direktorat Pendidikan dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, Kumpulan Materi Pelatihan Ketrampilan
Khusus Bidang Hisab-Rukyat, Masjid Agung Jawa Tengah, 2007.
Djambek, Saadoeddin, Almanak Djamilijah, Djakarta, 1959.
Efendi, Zul, Ilmu Falak, Bukit Tinggi: STAIN Bukit Tinggi, 2002.
Endraswar, Suwardi, Budaya Jawa,Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005.
Fauzi, Tahrir, Studi Analisis Penetapan Awal Bulan Kamariah Sistem Aboge di
Desa Kracak Kecamatan Ajibaranag Kabupaten Banyumas Jawa
Tengah, Semarang: IAIN Walisongo, 2010.
Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996.
Hambali, Slamet, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi
Hijriyah dan Jawa) , 2009.
, Melacak Metode Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan Keraton
Yogyakarta.
Hariwijaya, M., Islam Kejawen, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006.
Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimawaan Yogya
meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah Menyatukan NU & Muhammadiyah dalam
Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga,
2007.
, Analisis kritis tentang hisab awal bulan Qamariyah dalam kitab
Sullamun Nayyirain, Skripsi sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, 1997.
, Zubaer Umar Al-Jaelany Dalam Sejarah Pemikiran Hisab Rukyah Di
Indonesia, Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2002.
, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional(Studi Atas Pemikiran
Muhammad Mas Manshu al-Batawi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, 2004.
, Pemikiran Hisab Rukyah Abdul Djalil (Studi Atas Kitab Fath al-Rauf al-
Mannan), Semarang: Fakultas Syari’ah, IAIN Walisongo, 2005.
, Fiqh Hisab Rukyah Kejawen Studi Atas Penentuan Poso dan Riyoyo
Masyarakat Dusun Golak Desa Kenteng Ambarawa Jawa Tengah,
Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2006.
Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat, dkk, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi
Adammakna, Ngayugyakarta: CV Buana Karya, 1990.
Khazin, Muhyidin, 99 Tanya Jawab Masalah Hisab & Rukyat, Yogyakarta:
Ramadhan Press, 2009.
, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004.
, Kamus Ilmu Falak,Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
Ki Sabdacarakatama, Sejarah Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: Narasi, 2008.
KRT. Rintaiswara, KHP Widyabudaya, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat
Pusat Budaya Jawa, 2004.
Maktabah Syamilah, Shahih Bukhari, edisi ke-2, zus. 6, hadis ke- 1776
Mansur, Muh, Sulamun Nayirain, Jakarta: Madrasah al- Khoiriyah al-
Mansyuriyah, 1925.
Maskufa, Ilmu Falak, Jakarta: GP Press, 2009.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Rosdakarya,
2002.
Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996.
Mujab, Sayful, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam
Kitab Ittifaq Dzatil Bain, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang, 2007.
Mulder, Niels, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, Yogyakarta :PT. LKiS
Printing Cemerlang, 2001.
Munawwir, Achmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. I
Surabaya: Pustaka Progressif, 1984.
Nawawi, Abd. Salam, Algoritma Hisab Ephimeris, Semarang: Pendidikan dan
Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyah Nahdotul Ulama, 2006.
Purwadi, Sejarah Sultan Agung Harmoni Antara Agama Dengan Negara,
Yogyakarta: Media Abadi, 2004.
Qardlawi, Yusuf, Konsep Ibadah Dalam Islam, Surabaya: Central Media, 1993.
Ruskanda, Farid, 100 Masalah Hisab & Rukyah, Gema Insani Press: Jakarta,
1996.
Saksono, Tono, Mengkompromikan Hisab Rukyat, Amythas Publicita, Center For
Islamic Studies: Jakarta.
Saksono, Widji, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah
Walisongo, Bandung: Mizan, 1995.
Sek.Jen PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah
Falakiyah PBNU, 2006.
Simamora, P., Ilmu Falak (KOSMOGRAFI), Jakarta: CV. Pedjuang Bangsa, 1985.
, Ilmu Falak Cara Praktis Menghitung Waktu Shalat Arah Kiblat Dan
Awal Bulan, Sidoarjo: Aqaba, 2009.
Simon, Hasanu, Misteri Syekh Siti Jenar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
S, Soewito, Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram), Delanggu, 1970.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
Tjokorda Rai Sudharta, dkk, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), Balai
Pustaka: Jakarta, 2008.
Wardan, Muh, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957.
W.L. Olthof, Alih Bahasa: H.R. Sumarsono, Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi
Adam Sampai Tahun 1647, Yogyakarta:Narasi, 2007.
W. M. Smart, Textbook on Spherical Astronomi, revisied by R.M. Green,
Cambridge University Prees: Cambridge London New York New
Rochelle Melbourne Sydney, Sixt Edition, 1997.
Zakaria, M. Rizal, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Kalender Jawa
Islam Aboge Sebagai Ancer-Ancer Rukyah Dalam Penentuan 1 Syawal
1430 H Aliran Thoriqoh Naqsabandiyah Kholidiyah Mujadidah Al-
Aliyah Dusun Kapas Klopo Peterongan Jombang, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2010.
Arsip Widyabudaya wawancara H.Sudarmadi dengan KRT. Rintaiswara, B. A.,
pada tanggal 8 Desember 2009.
Makalah seminar Nasional sehari hisab rukyah di Tugu Bogor Jawa Barat pada
tanggal 27 April 1992.
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara, Senin, 04 Oktober 2010, bertempat di
Widyabudaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Wawancara dengan KRT Rintaiswara, Senin, 13 Maret 2011.
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Senin, 27 Desember 2010
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Kamis, 14 April 2011.
Wawancara dengan Sayful Mujab, pada hari Jumat, tanggal 31 Desember 2010.
http://wikipedia.pranatamangsa.com diambil pada tanggal 10 Juni 2009.
http://kompasiana.com. Diambil tanggal 5 Mei 2011.
http://www.babadbali.com/pewarigaan/kalender-jawa.htm ditulis oleh Hendro
Setyanto, Asisten di Observatorium Bosscha, Departemen Astronomi-
ITB Lembang, Forum Kajian Ilmu Falak "ZENITH". Pada tanggal 3 Mei
2010
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Anifatul Kiftiyah
Tempat, Tanggal Lahir : Madiun, 3 Agustus 1989
Alamat Asal : Masangan Kulon RT. 16 RW.o6 Sukodono,
Sidoarjo, Jawa Timur.
Alamat Sekarang : PP. Daarun Najaah Jl. Stasiun No. 275 Jerakah
Tugu Semarang 50151
Pendidikan Formal :
- MI. DARUSSALAM Pagesangan Surabaya,
lulus tahun 2001.
- MTs. UNGGULAN PP. AMANATUL
UMMAH, lulus tahun 2004.
- MA. UNGGULAN PP. AMANATUL
UMMAH, lulus tahun 2007.
- IAIN Walisongo Semarang Fakultas Syari’ah
lulus tahun 2011.
Pendidikan Non Formal :
- PP. IHYA’ ULUMIDDIN, Singojuruh,
Banyuwangi, tahun 2001.
- PP. AMANATUL UMMAH, Siwalankerto
Utara, Surabaya tahun 2002-2007.
- PP. DAARUN NAJAAH, Jerakah, Tugu,
Semarang (2007 – sekarang)
Semarang, 12 Juni 2011
Anifatul Kiftiyah